proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis

advertisement
MDVI
Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9
Artikel Asli
PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA PASIEN PSORIASIS
VULGARIS BERDASARKAN KRITERIA NATIONAL CHOLESTEROL
EDUCATION PROGRAM ADULT TREATMENT PANEL III
DI RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO DAN SEBUAH
KLINIK SWASTA DI JAKARTA
Mirawati Setyorini, Wieke Triestianawati, Benny E Wiryadi, Tjut Nurul Alam Jacoeb
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Latar belakang: Pasien psoriasis berisiko terhadap beberapa komorbiditas yang mengancam jiwa, misalnya
penyakit kardiovaskular dan metabolik. Psoriasis, sindrom metabolik, dan penyakit kardiovaskular diduga
saling berkaitan dan terjadi akibat inflamasi kronik sistemik. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai
proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris.
Subyek dan metode: Dilakukan studi deskriptif dengan rancangan potong lintang pada 40 pasien psoriasis
vulgaris di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan sebuah klinik swasta
Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria dalam metode diagnostik sindrom yang dipakai adalah
kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) tahun 2005.
Hasil: Proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris sebesar 55% (22 dari 40 orang). Pada
penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan
pasien psoriasis dengan sindrom metabolik. Hubungan antara usia awitan, durasi, dan keparahan psoriasis
dengan sindrom tersebut juga tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian lain yang
sejenis. Negara Asia memiliki predisposisi genetik resistensi insulin sehingga umumnya prevalensi sindrom
metabolik lebih tinggi dibandingkan negara lain. (MDVI 2012: 39/1;2 -9)
Kata kunci : Psoriasis vulgaris, sindrom metabolik, kriteria NCEP ATP III
ABSTRACT
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat
Telp. 021-31935383
Email: [email protected]
2
Background: Psoriasis patients have some risks of life-threathening comorbidities, such as cardiovascular
and metabolic diseases. Psoriasis, metabolic syndrome, and cardiovascular disease are connected one
another and exist due to systemic chronic inflammation. Up until now, there is no study about proportion of
metabolic syndrome in Indonesian psoriasis vulgaris patients.
Objective: To know the proportion of metabolic syndrome in psoriasis vulgaris patients.
Subjects and method: The study is a descriptive study with cross sectional design to forty psoriasis vulgaris
patients in the Dermatovenereology Clinic dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and a private clinic Jakarta
that fulfill the study criterias. The choosen diagnostic criteria of the syndrome is National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) 2005.
Result: Proportion of metabolic syndrome is 55% or 22 from 40 subjects. There is no association between
gender, age, and education level with metabolic syndrome. Also there is no significant association statistically
between age-onset, duration, and severity of psoriasis with metabolic syndrome.
Conclusion: Proportion of metabolic syndrome in this study is higher when compared with other similar
studies, perhaps it is due to some cut-off point differences in the NCEP ATP III 2005 criteria. Besides, Asian
countries also have genetic predisposition of insulin resistance so proportion of metabolic syndrome is higher
than others (MDVI 2012: 39/1; 2-9)
Keyword : Psoriasis vulgaris, metabolic syndrome, NCEP-ATP III criteria
M. Setyorini dkk.
PENDAHULUAN
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik pada
kulit berupa perubahan pertumbuhan dan diferensiasi
epidermis, serta abnormalitas biokimiawi, imunologik,
dan vaskular. Etiologi penyakit ini belum diketahui secara
pasti. Prevalensi psoriasis pada tiap populasi sangat
bervariasi, berkisar antara 0,1-11,8%.1 Tahun 2007-2008
proporsi kasus baru psoriasis di Divisi Dermatologi
Umum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
(IKKK) RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
sebesar 1,73% dengan tipe terbanyak berupa psoriasis
vulgaris, yaitu sebesar 82,98% (Data morbiditas Divisi
Dermatologi Umum Departemen IKKK RSCM).
Psoriasis umumnya tidak mengancam jiwa namun
dapat mempengaruhi kualitas hidup.2 Namun, akhir-akhir
ini banyak laporan yang menyebutkan bahwa pasien
psoriasis berisiko terhadap beberapa komorbiditas yang
mengancam jiwa, misalnya penyakit kardiovaskular dan
metabolik.2-4 Selain itu, pasien psoriasis memiliki beberapa
faktor risiko penyakit kardiovaskular lain yang lebih tinggi
dibandingkan populasi umum, misalnya merokok, konsumsi
minuman beralkohol, obesitas, stres, dan aktivitas fisiknya
rendah.5,6
Inflamasi kronik pada psoriasis terjadi akibat terlalu
banyak produksi sitokin proinflamasi dari sel T helper1
(Th1), di antaranya tumor necrosis factor (TNF)-α, sehingga
dapat menjadi predisposisi bagi penyakit lain yang memiliki komponen inflamasi, misalnya penyakit kardiovaskular
dan metabolik. Psoriasis, sindrom metabolik, dan penyakit
kardiovaskular diduga saling berkaitan dan terjadi akibat
inflamasi kronik sistemik.3,4 Dengan demikian psoriasis
diharapkan dapat menjadi indikator eksternal penyakit
sistemik dengan dasar inflamasi tersebut.4,7
Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor
risiko penyakit kardiovaskular yang berasal dari proses
metabolisme tubuh (kardiometabolik).3,4,8,9 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sindrom metabolik merupakan
prediktor kuat untuk penyakit kardiovaskular dan
diabetes.9,10 Prevalensi sindrom metabolik berdasarkan
kriteria National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP-ATP III) ditemukan cukup
tinggi pada beberapa negara Asia.9 Penelitian di Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta pada tahun 2006
mendapatkan sindrom metabolik (NCEP-ATP III tahun
2001) sebesar 26,3%.11 Perbedaan prevalensi sindrom
metabolik pada tiap populasi dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin, ras, obesitas, pola diet, aktivitas fisik, faktor
genetik, faktor endokrin, konsumsi alkohol, penyakit
penyerta,12 dan kebiasaan merokok.13
Beberapa pedoman kriteria sindrom metabolik telah
dikemukakan oleh beberapa organisasi kesehatan. Kriteria
yang relatif lebih mudah, telah dipakai secara luas, praktis,
Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis
serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
dibandingkan dengan kriteria yang lain adalah kriteria
yang dikeluarkan oleh NCEP-ATP III dari The American
Heart Association tahun 2005. 4,14,17, Sindrom metabolik
berdasarkan kriteria NCEP-ATP III untuk Asia terpenuhi
bila minimal terdapat 3 dari 5 komponen, yaitu obesitas
abdominal (lingkar perut ≥ 90 cm pada laki-laki, ≥80 cm
pada perempuan), peningkatan trigliserida (TG) serum
(≥150 mg/dL atau dalam terapi), kadar kolesterol highdensity lipoprotein (HDL) rendah (laki-laki <40mg/dL,
perempuan <50 mg/dL, atau dalam terapi), peningkatan
tekanan darah (TD) (≥130/85 mmHg atau dalam terapi),
dan peningkatan kadar glukosa darah (GD) puasa (≥100
mg/dL atau dalam terapi).3,4,8,12,15
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara psoriasis dengan sindrom metabolik.
Gisondi dkk.10 tahun 2007 menemukan 30,1% pasien
psoriasis vulgaris di Italia disertai sindrom metabolik
(kriteria NCEP-ATP III), sedangkan pada pasien dengan
kelainan dermatologis lain hanya 20,6% yang disertai
sindrom metabolik. Pasien psoriasis vulgaris dengan risiko
sindrom metabolik tersebut berusia di atas 40 tahun dengan
durasi penyakit yang lebih lama.10 Di Jerman, Sommer
dkk.16 menemukan pasien psoriasis vulgaris yang dirawat
inap memiliki risiko hampir 6 kali lebih besar mengalami
sindrom metabolik (kriteria WHO) dibandingkan dengan
pasien nonpsoriasis (melanoma) pada tahun 2006. Risiko
tersebut berhubungan dengan keparahan dan durasi
psoriasis.16
Penanganan sindrom metabolik pada pasien psoriasis
dapat mempengaruhi gambaran klinis psoriasis. Karena
alasan tersebut, maka sindrom metabolik pada pasien
psoriasis perlu diidentifikasi dan ditangani. Penatalaksanaan
sindrom tersebut berperan penting pula dalam penatalaksanaan psoriasis.17,18 Berdasarkan latar belakang pengetahuan
tersebut, saat ini para ahli dituntut untuk lebih dapat menangani psoriasis secara komprehensif yang melibatkan
kerjasama multidisiplin.3,4 Upaya untuk mengidentifikasi
kelompok pasien psoriasis yang berisiko tinggi mengalami sindrom metabolik ataupun kardiovaskular perlu
dilakukan untuk dapat merencanakan penatalaksanaan
psoriasis lebih dini secara lebih agresif dan bersifat multidisiplin sehingga dapat mencegah sindrom metabolik dan
penyakit kardiovaskular.4
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai proporsi
sindrom metabolik pada pasien psoriasis vulgaris di Indonesia
yang kemungkinan memiliki perbedaan karakteristik dengan
pasien psoriasis di luar negeri. Kriteria sindrom metabolik
yang dipakai adalah kriteria NCEP-ATP III tahun 2005
karena kriteria tersebut relatif lebih mudah, telah dipakai
secara luas, praktis, serta memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan kriteria
yang lain.
3
MDVI
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pengambilan sampel darah dilakukan di poliklinik
IKKK-RSCM dan sebuah klinik swasta di Jakarta.
Pemeriksaan kadar trigliserida (TG), kolesterol HDL, dan
gula darah (GD) puasa dilakukan di laboratorium Prodia
Jakarta Pusat karena darah diambil sekaligus untuk
pemeriksaan penelitian lain yang tidak tersedia di
laboratorium RSCM.
Subyek penelitian (SP) adalah semua pasien psoriasis
vulgaris yang memenuhi kriteria penelitian dan diambil
secara berurutan sampai tercapai jumlah sampel (consecutive sampling). Kriteria penerimaan adalah pasien psoriasis
vulgaris yang didiagnosis secara klinis, berusia 20 tahun
ke atas, dan bersedia menjadi SP dengan menandatangani
surat persetujuan penelitian (informed consent). Pasien
tidak diikutsertakan dalam penelitian bila mendapat terapi
psoriasis sistemik (kortikosteroid, metotreksat, siklosporin,
asitretin, etretinat, obat biologik), atau fototerapi dalam 1
bulan terakhir, perempuan hamil, atau memiliki penyakit
lain yang dapat mengganggu pengukuran lingkar perut
(tumor intra/sekitar abdomen). Besar sampel ditetapkan
sebanyak 40 orang.
Derajat keparahan psoriasis dinilai berdasarkan
perhitungan skor psoriasis area and severity index (PASI)
cara Fredericksson dan Pettersson. Salah satu ketetapan
skor PASI membagi derajat keparahan psoriasis menjadi
3 kategori, yaitu ringan apabila PASI<5, sedang bila
PASI 5 - <10, dan berat bila PASI ≥ 10.19 Usia awitan
psoriasis SP dikelompokkan sesuai Henseler dkk, yaitu
usia awitan ≤40 tahun dan >40 tahun.1,20 Durasi psoriasis
dibagi menjadi <10 tahun dan ≥10 tahun.
Pemeriksaan lingkar perut dilakukan dengan menggunakan pita pengukur lingkar tubuh non elastis. Pengukuran dilakukan pada titik teratas tulang pinggul (spina
iliaka anterior superior/tonjolan tulang iliaka). Pengukuran
dilakukan saat akhir ekspirasi normal. Kemudian tekanan
darah diukur dan ditentukan dengan menghitung nilai
rerata dari 3 kali pengukuran. Pemeriksaan kadar TG,
kolesterol HDL, dan GD puasa menggunakan alat Advia
1800 automatic dengan metoda enzimatik gliserol fosfat
oksidase untuk pemeriksaan TG dan kolesterol HDL,
serta metode heksokinase untuk pemeriksaan GD puasa.
Data penelitian dikumpulkan dan dicatat dalam
formulir penelitian. Data dianalisis dengan bantuan komputer
menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan
Statistical Programme for Social Sciences (SPSS) 11.5.
Statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif. Hasil
tambahan mengenai hubungan antara variabel kategorik
akan diuji secara statistik menggunakan uji Chi-square
atau uji Fischer disertai regresi logistik. Hubungan
bermakna bila nilai p<0,05.
4
Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret
2010. Berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan,
terkumpul SP sebanyak 40 pasien psoriasis vulgaris.
Karakteristik subyek penelitian. Data dermografik dan
profil psoriasis subyek penelitian ini dapat dilihat pada tabel
1. Jumlah SP laki-laki lebih banyak daripada perempuan,
yaitu berturut-turut 24 orang (60%) dan 16 orang (40%).
Kelompok SP terbanyak pada usia 40-49 tahun dan 50-59
tahun, masing-masing sebesar 27,5%. Nilai rerata usia SP
adalah 46,58 ± 12,37 tahun dengan usia SP termuda 21
tahun dan tertua 74 tahun. Pendidikan SP terbanyak
adalah tingkat menengah (40%) dan tinggi (40%).
Sebagian besar SP (75%) mengalami psoriasis dengan
usia awitan ≤ 40 tahun. Nilai rerata usia awitan psoriasis
pada SP adalah 32,30 ± 15,69 tahun, dengan usia termuda 5
tahun dan tertua 69 tahun. Pada penelitian ini durasi psoriasis
terbanyak adalah 10 tahun atau lebih (67,5%). Nilai median
durasi psoriasis SP adalah 12 tahun dengan durasi terpanjang
42 tahun dan tersingkat 1 tahun. Sebanyak 40% SP
mengalami psoriasis derajat ringan, derajat sedang sebesar
37,5%, dan derajat berat sebesar 22,5%.
Tabel 1. Data demografik dan profil psoriasis subyek penelitian (N=40)
Karakteristik
Jumlah (N)
Persentase (%)
24
16
60
40
3
9
11
11
6
7,5
22,5
27,5
27,5
15
Tingkat pendidikan
Rendah
Menengah
Tinggi
8
16
16
20
40
40
Usia awitan psoriasis
≤ 40 tahun
> 40 tahun
30
10
75
25
Durasi psoriasis
< 10 tahun
≥ 10 tahun
13
27
32,5
67,5
Keparahan psoriasis
Ringan
Sedang
Berat
16
15
9
40
37,5
22,5
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Usia
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
50-59 ahun
> 60 tahun
Keterangan: N=jumlah subyek penelitian
M. Setyorini dkk.
Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis
Proporsi sindrom metabolik dan komponen sindrom.
Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini didapatkan
sebesar 55% atau 22 dari 40 SP (lihat tabel 2). Subyek
penelitian dengan obesitas abdominal lebih banyak
daripada SP yang lingkar perut normal, 70% versus 30%.
Tabel 2. Proporsi sindrom metabolik dan komponen sindrom subyek
penelitian (N=40)
Karakteristik
Jumlah (N)
Persentase (%)
18
22
45
55
12
28
30
70
12
28
30
70
28
12
70
30
Kolesterol HDL
Normal
Rendah
20
50
50
Gula darah puasa
Normal
Meningkat
27
Sindrom metabolik
Non sindrom
Sindrom
Lingkar perut
Normal
Obesitas abdominal
Tekanan darah
Normal
Meningkat
Trigliserida
Normal
Tinggi
20
13
Keterangan: N=jumlah subyek penelitian
Meskipun penelitian tidak dirancang untuk menilai
hubungan antara karakteristik demografik dan profil psoriasis
dengan kejadian sindrom metabolik, penulis mencoba
mengolah data yang tersedia sebagai hasil tambahan.
Hubungan antara karakteristik sosiodemografik dengan
sindrom metabolik. Dengan melihat tabel 3, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin,
usia, dan tingkat pendidikan dengan sindrom metabolik pada
penelitian ini. Namun SP perempuan cenderung mengalami
sindrom metabolik dibandingkan SP laki-laki. Pada
kelompok usia SP 40-49 tahun lebih banyak (81,82%)
dijumpai sindrom metabolik dibandingkan kelompok usia
yang lain. Sedangkan kelompok usia 20-29 tahun merupakan kelompok usia yang paling sedikit ditemukan
sindrom metabolik. Walaupun tidak ada literatur yang
menghubungkan tingkat pendidikan dengan sindrom
metabolik, penulis ingin mencoba melihat hasilnya pada
penelitian ini. Pada SP dengan tingkat pendidikan rendah,
proporsi sindrom metabolik lebih banyak dibandingkan
dengan tingkat pendidikan menengah maupun tinggi.
67,5
32,5
anyak daripan kadar TG s
Tabel 3. Hubungan antara karakteristik demografik subyek penelitian dengan sindrom metabolik (N=40)
Variabel
Sindrom metabolik
Non sindrom
Sindrom
(N=18)
(N=22)
p
OR
IK95%
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
12 (50%)
6 (37,5%)
12 (50%)
10 (62,5%)
0.44
1,67
0,46-6,06
Usia
20-29 tahun
30-39 tahun
40-49 tahun
50-59 tahun
>60 tahun
2 (66,67%)
5 (55,56%)
2 (18,18%)
6 (54,55%)
3 (50%)
1 (33,33%)
4 (44,44%)
9 (81,82%)
5 (45,45%)
3 (50%)
0,74
0,13
0,71
0,64
1,60
9,00
1,67
2,00
0,10-24,70
0,52-155,24
0,11-24,26
0,11-35,81
3 (37,5%)
7 (43,75%)
8 (50%)
5 (62,5%)
9 (56,25%)
8 (50%)
0,77
0,56
0,77
0,60
0,14-4,39
0,11-3,40
Tingkat pendidikan
Rendah
Menengah
Tinggi
Keterangan: N=jumlah subyek penelitian, nilai p bermakna bila <0,05, OR=odds ratio, IK95%=interval kepercayaan 95%
5
MDVI
Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9
Hubungan antara profil psoriasis dengan sindrom
metabolik. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan
bermakna secara statistik antara usia awitan, durasi, dan
keparahan psoriasis dengan sindrom metabolik (lihat tabel 4).
Berdasarkan usia awitan psoriasis, kelompok usia awitan
di atas 40 tahun cenderung lebih banyak mengalami
sindrom metabolik (60%). Kelompok SP dengan durasi
psoriasis > 10 tahun lebih banyak mengalami sindrom
metabolik (62,96%) dibandingkan dengan kelompok
durasi kurang dari 10 tahun. Berdasarkan derajat
keparahan psoriasis, sindrom metabolik ini sudah banyak
ditemukan pada psoriasis vulgaris ringan (62,5%).
Tabel 4. Hubungan antara profil psoriasis subyek penelitian dengan
sindrom metabolik (N=40)
Variabel
Sindrom metabolik
Non sindrom
Sindrom
(N=18)
(N=22)
p
OR
IK95%
Usia awitan
psoriasis
>40 tahun
≤ 40 tahun
4 (40%)
14 (46,67%)
6 (60%)
16 (53,33%)
0,71
0,76
0,18-3,26
Durasi psoriasis
< 10 tahun
≥ 10 tahun
8 (61,54%)
10 (37,04%)
5 (38,46%)
17 (62,96%)
0,15
2,72
0,70-10,63
Keparahan
psoriasis
Ringan
Sedang
Berat
6 (37,5%)
7 (46,67%)
5 (55,56%)
10 (62,5%)
8 (53,33%)
4 (44,44%)
0,60
0,39
0,69
0,48
0,16-2,87
0,09-2,52
Keterangan: N=jumlah subyek penelitian, nilai p bermakna bila <0,05,
OR=odds ratio, IK95%=interval kepercayaan 95%
Hasil tambahan penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara karakteristik demografik dan profil psoriasis dengan sindrom metabolik.
Namun hal ini belum tentu menunjukkan keadaan yang
sesungguhnya oleh karena disain dan perhitungan sampel
penelitian tidak dirancang untuk melihat hubungan tersebut.
PEMBAHASAN
Data penelitian ini menunjukkan jumlah SP laki-laki
lebih banyak daripada perempuan. Penelitian Takahashi
dkk.19 pada tahun 2010 di Jepang juga menemukan psoriasis
lebih banyak pada laki-laki (72,8%) dibandingkan perempuan
(27,2%). Hasil penelitian ini hampir sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan insidens psoriasis secara
umum di dunia hampir serupa pada perempuan maupun
laki-laki.1
Subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia 4049 tahun dan 50-59 tahun. Hasil penelitian ini sesuai
dengan Shapiro dkk.21 yang menyatakan distribusi pasien
psoriasis semakin meningkat sesuai dengan peningkatan
usia karena penyakit ini bersifat kronik, namun mulai
menurun setelah usia lanjut akibat komorbiditas yang
6
meningkat. Selain itu, Gelfand dkk.22 pada tahun 2004
menyatakan bahwa puncak insidens psoriasis ditemukan
pada usia dua puluhan dan usia lima puluhan.
Tingkat pendidikan SP terbanyak adalah tingkat
menengah dan tinggi. Penelitian terdahulu oleh Indiranta23 di
RSCM tahun 2009 menemukan tingkat pendidikan SP
terbanyak pada tingkat menengah (45,7%), sedangkan
tingkat rendah sebesar 28,3% dan tingkat tinggi 26,1%.
Perbedaan proporsi tersebut kemungkinan akibat perbedaan
lokasi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri atas SP
yang berobat ke RSCM (16 SP) dan juga SP yang berobat
ke klinik swasta (24 SP). Penulis berpendapat umumnya
pasien yang berobat ke klinik swasta berpendidikan lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang berobat ke
rumah sakit umum. Namun penulis tidak menemukan
kepustakaan mengenai hubungan tingkat pendidikan
dengan pasien psoriasis vulgaris.
Sebagian besar SP mengalami psoriasis pada usia
awitan ≤ 40 tahun. Hal tersebut sesuai dengan Henseler24
pada tahun 1985 yang membagi psoriasis menjadi 2 tipe
berdasarkan usia awitan, yaitu tipe 1 (≤ 40 tahun) sebesar
75% dan tipe 2 (>40 tahun) sebesar 25%.24 Sommer dkk.16
di Jerman juga menemukan hal serupa, jumlah psoriasis
tipe 1 (60,2%) lebih besar daripada tipe 2 (36,9%). Nilai
rerata usia awitan psoriasis pada penelitian ini adalah
32,30 ± 15,69 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan usia awitan psoriasis
sebenarnya dapat dimulai pada usia berapa pun, namun
paling sering pada usia 15-30 tahun.1
Psoriasis merupakan penyakit yang bersifat kronik
residif. Sebagian besar SP telah mengalami psoriasis selama
10 tahun atau lebih. Penelitian ini hampir sesuai dengan
beberapa penelitian lain. Sommer dkk.16 juga menemukan
bahwa pasien psoriasis vulgaris memiliki nilai median durasi
penyakit 13 tahun pada laki-laki, sedangkan perempuan
16 tahun.16 Nilai rerata durasi penyakit pada pasien
psoriasis di Mesir oleh Ahmed dkk.25 pada tahun 2009
sebesar 14,9 ± 8,7 tahun. Sebagian besar SP memang
tergolong psoriasis tipe 1 dengan awitan lebih dini dan
umumnya refrakter terhadap terapi sehingga lesi bertahan
lama sehingga durasi psoriasis menjadi panjang.
Derajat keparahan psoriasis terbanyak pada penelitian ini adalah derajat ringan. Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian di Jepang pada tahun 2006-2008 yang
mendapatkan psoriasis derajat ringan 33,3%, derajat
sedang 34,6%, dan derajat berat 32,1%.19 Pada penelitian
ini sebagian besar SP sudah mendapatkan berbagai macam
terapi topikal sehingga hal ini dapat menyebabkan
proporsi psoriasis derajat ringan lebih tinggi dibandingkan
derajat sedang maupun berat.
Proporsi sindrom metabolik pada penelitian ini sebesar 55% atau 22 dari 40 SP. Gisondi dkk.10 menemukan
sindrom metabolik (kriteria NCEP ATP III tahun 2001)
pada pasien psoriasis vulgaris di Italia sebesar 30,1%.
Ahmed dkk.25 menemukan proporsi sindrom metabolik
M. Setyorini dkk.
pada pasien psoriasis vulgaris di Mesir sebesar 23,8%.
Sedangkan Takahashi dkk.19 menemukan proporsi sindrom
metabolik (Japan Committe for Diagnostic Criteria) pada
psoriasis di Jepang sebesar 24,4%. Proporsi sindrom
metabolik pada penelitian ini lebih besar dibandingkan
penelitian tersebut diatas kemungkinan akibat nilai
ambang komponen sindrom metabolik yang digunakan
sedikit berbeda. Penelitian Gisondi dkk. dan Ahmed dkk.
masih memakai kriteria NCEP ATP III tahun 2001,
sedangkan penelitian Takahashi dkk. menggunakan Japan
Committe for Diagnostic Criteria. Kriteria yang dipakai
pada penelitian ini adalah kriteria NCEP ATP III baru
sesuai dengan kesepakatan tahun 2005, sehingga SP
dengan sindrom metabolik ditemukan lebih banyak.
Selain perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan, prevalensi sindrom metabolik yang tinggi memang
umumnya ditemukan pada beberapa negara Asia karena
memiliki predisposisi genetik resistensi insulin.26 Sindrom
metabolik tiap populasi juga dapat dipengaruhi berbagai
faktor, antara lain ras, jumlah kasus obesitas, pola diet,
aktivitas fisik, konsumsi alkohol,12 kebiasaan merokok,13
dan pola hidup sehari-hari.25
Subyek penelitian yang memiliki obesitas abdominal
lebih banyak daripada SP yang normal (70% : 30%).
Penelitian Gisondi dkk.10 pada pasien psoriasis vulgaris di
Italia mendapatkan pasien yang memiliki obesitas abdominal
hanya sebesar 57,1%.10 Sedangkan Ahmed dkk. di Mesir
menemukan obesitas abdominal sebesar 43%.25 Perbedaan
ini sebagai akibat terjadinya penumpukan lemak viseral
sehingga menyebabkan obesitas abdominal umumnya
lebih banyak ditemukan pada penduduk Asia, terutama
Asia Selatan bila dibandingkan dengan penduduk AfrikaAmerika dan Eropa.12,13
Subyek penelitian dengan peningkatan TD (70%)
lebih banyak dibandingkan yang normal (30%). Gisondi
dkk.10 mendapatkan pasien psoriasis vulgaris dengan TD
meningkat (>135/85 mmHg atau dalam terapi) hanya sebesar
40,8%. Ahmed dkk.25 mendapatkan TD meningkat sebesar
41,9%. Perbedaan proporsi ini dapat terjadi akibat perbedaan
nilai peningkatan TD pada kriteria NCEP ATP III lama
tahun 2001 yang dipakai pada penelitian sebelumnya, yaitu
sebesar >135/85 mmHg. Pada penelitian ini kriteria
peningkatan TD adalah > 130/85 mmHg.
Sebanyak 30% SP mengalami peningkatan kadar TG
serum. Gisondi dkk,10 juga menemukan 37,8% pasien
psoriasis vulgaris yang memiliki kadar TG meningkat.
Sedangkan Ahmed dkk.25 mendapatkan kadar TG meningkat pada 24,3% kasus.25 Kadar trigliserida (TG) umumnya
lebih dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari dan pola diet
yang berbeda pada tiap populasi,12 namun hasil penelitian
ini hampir sesuai dengan kedua penelitian di atas.
Proporsi SP dengan kadar kolesterol HDL normal
sama banyak dengan SP dengan kadar kolesterol HDL
rendah. Gisondi dkk.10 menemukan pasien psoriasis vulgaris
dengan kadar kolesterol HDL rendah hanya sebanyak
Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis
18%. Ahmed dkk.25 menemukan kadar kolesterol HDL
rendah pada 15,23% pasien psoriasis. Penelitian ini
mendapatkan hasil yang berbeda karena menurut
penelitian Gelfand dkk.27 tahun 2006, abnormalitas lipid
pada pasien psoriasis lebih ditentukan oleh faktor genetik
dibandingkan faktor lain, misalnya usia, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi alkohol,
indeks massa tubuh, maupun tekanan darah sistolik.
Selain itu, kepustakaan lain menyebutkan pola diet juga
dapat mempengaruhi kadar kolesterol HDL.13
Subyek penelitian dengan GD puasa meningkat sebesar
32,5%. Ahmed dkk.25 juga menemukan 19,7% pasien
psoriasis vulgaris dengan kadar GD puasa meningkat.
Sedangkan Gisondi dkk.10 menemukan 19,2% pasien
psoriasis vulgaris dengan kadar GD puasa meningkat.
Perbedaan proporsi ini kemungkinan terjadi akibat
perbedaan nilai GD puasa pada kriteria NCEP ATP III lama
tahun 2001 pada penelitian sebelumnya, yaitu sebesar ≥110
mg/dL. Selain itu, kepustakaan diperoleh data bahwa
penduduk negara Asia juga memiliki predisposisi genetik
terhadap diabetes melitus tipe 2 (resistensi insulin).28
Subyek penelitian perempuan cenderung lebih mudah
mendapat sindrom metabolik dibandingkan SP laki-laki,
namun hubungan jenis kelamin dengan sindrom metabolik
tidak berbeda bermakna. Penelitian ini sesuai dengan
Gisondi dkk.10 yang menyatakan bahwa prevalensi
sindrom metabolik pada psoriasis vulgaris di Italia tidak
berhubungan dengan jenis kelamin.10 Sedangkan Ahmed
dkk.25 menemukan bahwa pasien psoriasis vulgaris laki-laki
di Mesir lebih berisiko mendapatkan sindrom metabolik
dibandingkan perempuan. Kepustakaan menyatakan
bahwa prevalensi sindrom metabolik tiap jenis kelamin
dapat sangat bervariasi pada tiap populasi maupun tiap
kelompok etnis.13
Sindrom metabolik paling banyak dijumpai pada
kelompok usia SP 40-49 tahun. Namun hubungan antara
usia SP dengan sindrom metabolik tidak bermakna.
Penelitian ini hampir sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang
melaporkan pasien psoriasis vulgaris di Italia dengan
sindrom metabolik mulai ditemukan pada pasien yang
berusia di atas 30 tahun dan risiko lebih besar ditemukan
mulai usia 40 tahun. Kepustakaan menyebutkan peningkatan
risiko sindrom metabolik pada pasien psoriasis dimulai
pada usia pertengahan (40-49 tahun) dan semakin
meningkat sesuai pertambahan usia.9, 29
Walaupun tidak ada kepustakaan yang menghubungkan tingkat pendidikan dengan sindrom metabolik,
penulis ingin mencoba melihat hasilnya pada penelitian
ini. Pada SP dengan tingkat pendidikan rendah, proporsi
sindrom metabolik lebih banyak. Tingkat pendidikan
rendah cenderung lebih berisiko mendapatkan sindrom
metabolik dibandingkan tingkat pendidikan menengah
maupun tinggi. Namun hubungan antara tingkat
pendidikan dengan sindrom metabolik tidak bermakna.
Menurut penulis, SP dengan tingkat pendidikan tinggi
7
MDVI
memiliki pengetahuan lebih banyak dalam menjaga kesehatan sehingga dapat mengurangi risiko kejadian
sindrom metabolik.
Berdasarkan usia awitan psoriasis, kelompok usia
awitan di atas 40 tahun cenderung lebih banyak terdapat
sindrom metabolik. Namun hubungan antara usia awitan
psoriasis dengan sindrom metabolik tidak berbeda bermakna. Penelitian ini serupa dengan Gisondi dkk.10 yang
menemukan usia awitan psoriasis berhubungan dengan
sindrom metabolik secara bermakna, yaitu nilai rerata usia
awitan sebesar 49,4 ± 18,8 tahun. Sedangkan usia awitan
pasien psoriasis tanpa disertai sindrom metabolik 36,6 ±
15,5 tahun.
Kelompok SP yang menderita psoriasis selama 10
tahun atau lebih cenderung mengalami proporsi sindrom
metabolik lebih besar. Namun hubungan antara durasi
psoriasis dengan sindrom metabolik tidak bermakna.
Sesuai dengan Gisondi dkk.10 yang menemukan durasi
psoriasis berhubungan dengan sindrom metabolik dengan
nilai rerata durasi sebesar 18,1 ± 16,1 tahun. Ahmed
dkk.25 juga menemukan durasi psoriasis berhubungan
bermakna dengan sindrom metabolik, dengan nilai rerata
20 ± 8,3 tahun. Psoriasis yang sudah berlangsung lama
sudah mengalami inflamasi sistemik kronik sehingga
dapat menginduksi resistensi insulin yang berakibat
munculnya sindrom metabolik.25
Berdasarkan derajat keparahan psoriasis, sindrom
metabolik ini sudah banyak ditemukan pada psoriasis
vulgaris ringan. Namun hasil ini tidak menunjukkan
hubungan bermakna antara keparahan psoriasis dengan
sindrom metabolik. Hasil penelitian ini berbeda dengan
Ahmed dkk.25 yang menemukan hubungan bermakna
antara proporsi sindrom metabolik dengan keparahan
psoriasis. Namun hasil penelitian ini sesuai dengan
Gisondi dkk.10 yang menemukan bahwa proporsi sindrom
metabolik pada psoriasis vulgaris tidak berhubungan
dengan keparahan psoriasis, baik berdasarkan skor PASI
maupun body surface area (BSA). Penelitian tersebut
sudah menemukan sindrom metabolik mulai dari psoriasis
derajat ringan.10
Hasil tambahan penelitian ini menunjukkan tidak
ada hubungan bermakna antara karakteristik demografik
dan profil psoriasis dengan sindrom metabolik. Namun
hal ini belum tentu menunjukkan keadaan yang
sesungguhnya oleh karena disain dan perhitungan sampel
penelitian tidak dirancang untuk melihat hubungan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan
penelitian selanjutnya dengan disain dan perhitungan
sampel yang sesuai untuk menilai hubungan antara usia
awitan, durasi, dan keparahan psoriasis dengan sindrom
metabolik sehingga diharapkan dapat merencanakan
upaya penapisan dini.
8
Vol.39. No.1 Tahun 2012:2-9
KESIMPULAN DAN SARAN
Proporsi sindrom metabolik pada pasien psoriasis
vulgaris berdasarkan kriteria NCEP ATP III sebesar 55%.
Proporsi sindrom metabolik SP pada penelitian ini lebih
besar dibandingkan penelitian lain yang sejenis kemungkinan akibat nilai ambang komponen sindrom metabolik
kriteria NCEP ATP III tahun 2005 sedikit berbeda. Selain
itu, prevalensi sindrom metabolik yang tinggi umumnya
ditemukan pada beberapa negara Asia karena memiliki
predisposisi genetik resistensi insulin.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Gudjonsson JE, Elder JT. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s
in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008.
h. 169-93.
Kremers HM, McEvoy MT, Dann FJ, Gabriel SE. Heart disease in
psoriasis. J Am Acad Dermatol. 2007; 57: 347-54.
Gottlieb AB, Dann F, Menter A. Psoriasis and the metabolic
syndrome. J Drugs Dermatol. 2008; 7: 563-72.
Kourosh AS, Miner A, Menter A. Psoriasis as the marker of
underlying systemic disease. Skin Therapy Lett. 2008;13:1-5.
Kimball AB, Gladman D, Gelfand JM, Gordon K, Horn EJ,
Korman NJ, dkk. National psoriasis foundation clinical consensus
on psoriasis comorbidities and recommendations for screening. J
Am Acad Dermatol. 2008; 58: 1031-42
Neimann AL, Shin DB, Wang X, Margolis DJ, Troxel AB,
Gelfand JM. Prevalence of cardiovascular risk factors in patients
with psoriasis. J Am Acad Dermatol. 2006; 55: 829-35.
Federman DG, Shelling M, Prodanovich S, Gunderson CG,
Kirsner RS. Psoriasis: An opportunity to identify cardiovascular
risk. Br J Dermatol. 2009;160:1-7.
Azfar RS, Gelfand JM. Psoriasis and metabolic disease: Epidemiology and pathophysiology. Curr Opin Rheumatol. 2008;20: 416-22.
Krentz AJ, Wong ND. Metabolic syndrome and cardiovascular
disease. New York: Informa Healthcare; 2007.
Gisondi P, Tessari G, Conti A, Piaserico S, Schianchi S, Gianetti A,
dkk. Prevalence of metabolic syndrome in patients with psoriasis: a
hospital-based case-control study. Br J Dermatol. 2007;157: 68-73.
Soegondo S, Gustaviani R. Sindrom metabolik. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publising;
2009. h. 1867-76.
Byrne CD, Wild SH. The metabolic syndrome. London: John
Wiley & Sons; 2005.
Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ. The metabolic syndrome.
Lancet. 2005;365:1415-28.
Lorenzo C, Williams K, Hunt KJ, Haffner SM. The National
Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III,
International Diabetes Federation, and World Health Organization
definitions of the metabolic syndrome as a predictors of incident
cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care. 2007;30:8-13.
Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH,
Franklin BA, dkk. An American Heart Association/National Heart,
Lung, and Blood Institute scientific statement: Diagnosis and
management of the metabolic syndrome. Curr Opin Cardiol.
2006;21:1-6.
Sommer DM, Jenisch S, Suchan M, Christophers E, Weichenthal M.
Increased prevalence of the metabolic syndrome in patients with
moderate to severe psoriasis. Arch Dermatol Res. 2006; 298: 321-8.
Saraceno R, Ruzzetti M, Martino MUD, Renzo LD, Cianci R,
Lorenzo AD, dkk. Does metabolic syndrome influence psoriasis?
Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2008;12:339-41.
M. Setyorini dkk.
18. Cohen AD, Sherf M, Vidavsky L, Vardy DA, Shapiro J,
Meyerovitch J. Association between psoriasis and the metabolic
syndrome. Dermatology. 2008;216:152-5.
19. Takahashi H, Takahashi I, Honma M, Ishida-Yamamoto A, Iizuka
H. Prevalence of metabolic syndrome in Japanese psoriasis
patients. J Derm Sci. 2010; 57:132-46.
20. Griffiths CEM, Christophers E, Barker JNWN, Chalmers RJG,
Chimenti S, Krueger GG, dkk. A classification of psoriasis
vulgaris according to phenotype. Br J Dermatol. 2007;156: 258-62.
21. Shapiro J, Cohen AD, David M, Hodak E, Chodik G, Viner A,
dkk. The association between psoriasis, diabetes melitus, and
atherosclerosis in Israel: a case-control study. J Am Acad
Dermatol. 2007; 56: 629-34.
22. Gelfand JM, Feldman SR, Stern RS, Thomas J, Rolstad T, Margolis
DJ. Determinants of quality of life in patients with psoriasis: a study
from tha US population. J Am Acad Dermatol. 2004;51:704-8.
23. Indiranta FA. Proporsi derajat keparahan psoriasis vulgaris dan
hubungannya dengan kadar apolipoprotein B darah. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2009.
Proporsi sindrom metabolik pasien psoriasis
24. Henseler T, Christophers E. Psoriasis of early and late onset:
characterization of two types of psoriasis vulgaris. J Am Acad
Dermatol. 1985;13:450-6.
25. Ahmed EF, Saliem MK, El-kamel MF, Abdelgawad MM, Shady I.
Prevalence of metabolic syndrome in Egyptian patients with
psoriasis. Egypt J Derm & Androl. 2009;29:91-100.
26. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH,
Franklin BA, dkk. Diagnosis and management of the metabolic
syndrome: An American Heart Association/National Heart, Lung,
and Blood Institute scientific statement. Circulation. 2005;112:
2735-52.
27. Gelfand JM, Neimann AL, Shin DB, Wang X, Margolis DJ, Troxel
AB. Risk of myocardial infarction in patients with psoriasis.
JAMA. 2006; 296: 1735-41.
28. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH,
Franklin BA, dkk. An American Heart Association/National Heart,
Lung, and Blood Institute scientific statement: Diagnosis and
management of the metabolic syndrome. Curr Opin Rheumatol.
2009; 21:1-6.
29. Gottlieb AB, Chao C, Dann F. Psoriasis comorbidities. J Dermatol
Treat. 2008;19:5-21.
9
Download