Bab II 2007ala

advertisement
25
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
1. Besar, Luas Masalah GAKI, Penyebab dan Akibatnya
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
adalah sekumpulan gejala atau
kelainan yang ditimbulkan karena tubuh mengalami kekurangan iodium secara
terus menerus dalam waktu lama sehingga berdampak pada gangguan
perkembangan fisik dan mental manusia (Depkes 1996).
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang banyak diderita oleh berbagai kelompok umur termasuk ibu
hamil. Prevalensi GAKI pada ibu hamil yang diukur dari Total Goitre Rate (TGR)
adalah sekitar 16% (Depkes 1998). Total Goitre Rate merupakan pembesaran
kelenjar gondok atau tiroid.
Pada umumnya GAKI disebabkan masyarakat kurang mengkonsumsi zat
iodium dari bahan makanan. Penderita GAKI yang ditemukan banyak tinggal di
daerah pegunungan, karena tanah di daerah tersebut kurang mengandung iodium
akibat pengikisan lapisan tanah atau erosi sehingga tanaman kurang mengandung
iodium. Selain itu, kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti selenium, zat besi
dapat memperburuk keadaan GAKI tersebut (Arthur 1993; Hess 1998).
Gangguan akibat kekurangan iodium terjadi pada setiap kelompok umur
sejak janin sampai usia dewasa dan mulai dari tingkat ringan sampai dengan
tingkat berat sesuai dengan tingkat kekurangan iodium. Ibu hamil dan janin yang
mengalami kekurangan iodium tingkat berat berisiko ibu mengalami keguguran,
bayi yang dilahirkan mati (stillbirth) dan apabila hidup akan menderita gangguan
tumbuh kembang bahkan dapat menjadi cebol (kretin). Tabel 1 menunjukkan
secara rinci gangguan akibat kekurangan iodium.
Pada ibu hamil dengan berbagai tingkat kekurangan iodium akan
mengalami gangguan pada fungsi tiroid yang berakibat berkurangnya sekresi
hormon tiroid. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin dan bayi yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang mengalami
defisiensi hormon tiroid akan mengalami keterbelakang perkembangan mental
26
dan menurunkan skor Intelegence Quotient (IQ) sebesar 10-15 poin dibandingkan
dengan anak yang normal (Delange & Fisher 2006).
Tabel 1 Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Semua Kelompok Umur
Tahap perkembangan
Kelainan GAKI
Janin
- abortus dan lahir mati
- angka kematian perinatal dan bayi meningkat
- kretin neurologik: bisu tuli dan mata juling
- kretin miksedematos: cebol dan keterlambatan mental dan
psikomotor
Neonatus
- gondok neonatal
- hipotiroid neonatal
Anak dan
- gondok, hipotoroid juvenil
Remaja
- gangguan fungsi mental
- keterlambatan perkembangan fisik
Dewasa
- gondok dengan segala akibatnya
- hipotiroid dan gangguan fungsi mental
Sumber: Djokomoeljanto (1989).
2. Upaya Penanggulangan GAKI
a. Penanggulangan GAKI Dahulu dan Sekarang
Sejak jaman dahulu kala pengobatan terhadap penyakit gondok telah
dilakukan. Penyakit gondok dilaporkan telah ada sejak jaman Yunani kuno dan
pengobatannya menggunakan tumbuhan laut (sponge) (Wildman & Medeiros
2000). Tahun 1850 seorang dokter Perancis bernama Chatin menemukan bahwa
kandungan iodium dalam tanah berhubungan dengan kejadian penyakit gondok.
Kemudian pada awal abad 20, iodium
dikenal menjadi pengobatan untuk
penyakit gondok (Wildman & Medeiros 2000).
Iodium pertama digunakan dalam larutan yang dikenal dengan larutan
Lugol, kemudian berkembang menjadi larutan minyak iodium yang diberikan
secara injeksi atau per oral (kapsul). Selain itu, iodinasi air minum dan irigasi,
fortifikasi makanan dengan iodium dan iodisasi garam telah dilakukan untuk
mencegah kekurangan iodium.
Metoda injeksi minyak iodium atau secara intramuskular (IM) pertama kali
dicoba di Papua Nugini (Buttfield & Hetzel 1967) dan sejak itu cakupannya telah
mencapai jutaan penduduk di seluruh dunia (Dunn 1987). Dampak mencolok
injeksi minyak iodium tampak empat tahun kemudian berupa pengecilan kelenjar
27
gondok dan menghilangnya kretin endemik (Buttfield & Hetzel 1967). Cara ini
mendapat pengakuan dunia dan digunakan luas termasuk di Indonesia.
Keuntungan iodium yang diberikan secara injeksi adalah efeknya cepat dan
berlangsung lama sampai 3 tahun. Kelemahannya adalah harga lebih mahal karena
harus menggunakan jarum suntik, memerlukan tenaga terlatih dan memungkinkan
tertular penyakit infeksi melalui jarum suntik yang digunakan berulang (Dunn
1987).
Dalam kemasan 1 ml minyak iodium yang diberikan secara IM mengandung
480 mg iodium. Kehilangan iodium dalam urin pada hari pertama setelah injeksi
minyak iodium adalah 6% (Dunn 1987; Chastin 1992). Efek pemberian dengan
minyak iodium tersebut dapat meningkatkan kadar EIU selama 3,5 tahun dan
setelah itu kadar EIU kembali seperti kadar pada awal sebelum diberi injeksi
minyak iodium (Burgi & Helbling 1996)
Pemberian minyak iodium secara oral merupakan cara cepat dan singkat
untuk mengatasi kekurangan iodium. Dibandingkan dengan pemberian IM,
distribusinya tidak memerlukan tenaga terlatih, tidak menyebabkan bahaya
transmisi penyakit infeksi dan murah karena tidak membutuhkan alat suntik.
Kelemahannya terletak pada compliance dilapangan akibat transportasi atau
kesulitan mencapai penderita
Efek dari minyak iodium (Lipiodol) secara oral dengan dosis tunggal 200480 mg iodine meningkatkan status iodium dan dapat menurunkan prevalensi
gondok (Eltom et al. 1985; Benmiloud et al. 1994; Elnagar et al. 1995). Efek
proteksi minyak iodium secara oral lebih singkat yaitu hanya 1 tahun
dibandingkan dengan injeksi yang mempunyai efek 3 tahun. Kehilangan iodium
melalui urin pada hari pertama pemberian sekitar 48% (Dun 1987; Chastin 1992).
Selain minyak iodium dengan merek dagang Lipiodol, dikenal juga merek
lain Brassiodol dan Yodiol. Bahan baku Lipiodol dari minyak biji opium,
Brassiodol dari minyak biji lobak dan Yodiol dari minyak kacang tanah. Kadar
asam lemak tidak jenuh tunggal pada minyak biji opium lebih rendah
dibandingkan minyak kacang tanah dan minyak biji lobak. Kemampuan retensi
iodium lebih tinggi pada asam lemak tidak jenuh yang mempunyai lebih banyak
ikatan rangkap tunggal (Sirajudin 2003).
28
Sejak tahun 1920 garam beriodium telah digunakan untuk penanggulangan
masalah gondok di Swiss (Djokomoeljanto 1989). Sampai saat ini banyak negara
menggunakan metoda ini dalam menanggulangi GAKI. Cara ini sangat murah dan
mempunyai cakupan yang luas.
b. Program Pemerintah dalam Menanggulangi GAKI
Upaya Pemerintah yang dilakukan yaitu berupa program jangka pendek dan
panjang. Jangka panjang dengan iodisasi garam dan jangka pendek dengan
distribusi kapsul minyak beriodium. Selain itu penyuluhan tentang manfaat garam
beriodium dan pembinaan terhadap produsen garam juga dilakukan oleh
Pemerintah.
Iodisasi dilakukan pada garam dengan alasan garam merupakan media yang
paling baik untuk menyampaikan iodium, karena garam merupakan bahan
makanan yang dikonsumsi semua orang setiap hari sehingga menjamin masukan
iodium dalam menu sehari hari. Garam yang beredar di Indonesia untuk konsumsi
rumah tangga sesuai Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1991 dan SK Menteri
Perindustrian No 29/M/SK/2/1995 harus mengandung iodium 30-80 ppm (Tim
Penanggulangan GAKY Pusat 2005; BPS 2000). Garam iodium yang dikonsumsi
sekitar 10 g diharapkan dapat memenuhi kebutuhan iodium masyarakat (WHO
2001). Target garam beriodium untuk semua atau Universal Salt Iodization(USI)
dapat dicapai apabila 90% masyarakat mengkonsumsi garam mengandung cukup
iodium (BPS 2000).
Kapsul minyak beriodium ditujukan untuk penduduk dengan risiko tinggi di
daerah endemik berat dan sedang. Pendistribusian kapsul beriodium sebanyak satu
kapsul Yodiol selama kehamilan dengan metoda blanket approach. Melalui
metoda ini semua ibu hamil di daerah endemik memperoleh kapsul yodiol dan
diharapkan terhindar dari kekurangan iodium selama kehamilan.
Sebelumnya tahun 1974-1991 suntikan lipiodol secara intramuscular
merupakan satu-satunya metode penanggulangan GAKI secara crash program
(Djokomoeljanto 1989). Suntikan lipiodol dihentikan karena biaya operasional
yang mahal dan diganti dengan kapsul Lipiodol. Akhirnya kapsul lipiodol diganti
29
juga dengan kapsul Yodiol tahun 1993 yang harganya lebih murah dengan
efektifitas yang sama dengan kapsul Lipiodol.
Sampai saat ini kapsul minyak iodium (yodiol) sudah didistribusikan secara
luas di daerah GAKI berat atau sedang di seluruh Indonesia, terutama pada
penduduk dengan risiko tinggi yakni anak sekolah, wanita usia subur dan wanita
hamil. Kapsul minyak beriodium merupakan larutan iodium dalam minyak
berbentuk kapsul lunak, mengandung 200 mg iodium. Dosis pemberian kapsul
minyak beriodium ditentukan sebagai berikut : (1) Wanita usia subur (15-49 th) :
2 kapsul/tahun (2) Ibu hamil : 1 kapsul pada masa hamil (3) Ibu menyusui: 1
kapsul masa menyusui (4) Anak SD kelas 1-6 : 1 kapsul/tahun (Depkes 2000a).
Garam krosok tanpa iodium diakui masih ditemukan, diperdagangkan dan
digunakan oleh ibu rumah tangga di beberapa daerah Indonesia (Lamid et al.
1992). Kurangnya informasi dan harga yang murah menyebabkan ibu rumah
tangga masih memilih garam krosok tersebut. Oleh karena itu perlu di lakukan
penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat garam beriodium terutama
kepada ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga sangat menentukan dalam
memilih dan menggunakan garam yang beriodium sehari-hari di rumah tangga.
Melalui penyuluhan kepada ibu rumah tangga diharapkan terjadi perubahan
perilaku ibu agar lebih mengutamakan aspek kesehatan dalam memilih garam
yang digunakan sehari-hari.
Pembinaan terhadap produsen garam beriodium perlu dilakukan
mengingat masih ditemukan garam yang beredar mengandung iodium tidak sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Kandungan iodium dalam garam
lebih rendah dari kadar yang ditetapkan maupun kandungan iodium yang tinggi
melebihi kadar yang ditentukan
3. Zat Goitrogenik
Zat goitrogenik merupakan faktor lingkungan yang memperberat GAKI.
Peran goitrogenik pada kelenjar tiroid tergantung pada macam senyawa
goitrogenik dan senyawa antitiroid. Tiosianat merupakan salah satu zat
goitrogenik. Kerja senyawa tiosianat atau senyawa mirip tiosianat menghambat
ambilan iodium (iodida) oleh kelenjar tiroid. Molekul iodida dan tiosianat
30
berkompetisi untuk diangkut ke dalam sel folikular karena komposisi molekul
tiosianat mirip dengan iodida.
Sianogenik glikosida dalam beberapa makanan pokok merupakan prekursor
tiosianat (Gaitan et al. 1986). Singkong atau ubi kayu mengandung sianogenik
glikosida, linamarin, yang mengalami hidrolisis setelah kontak dengan ensim
linamarinase yang ada dalam singkong. Perubahan linamarin menjadi sianida
kemudian dikonversikan menjadi tiosianat dijelaskan pada Gambar 1 dibawah ini.
Linamarin dihidrolisis oleh ensim glikosida menghasilkan acetone
cyanohydrin dan hidrogen sianida (HCN) kedua senyawa ini dikenal dengan nama
cyanogens. Hidrolisis linamarin oleh ensim glikosida sangat tergantung oleh
ensim linamarase yang dibebaskan dari tanaman pada kelembapan tinggi dan
temperatur rendah. Cyanogen dapat dihilangkan melalui proses pengolahan.
Sebaliknya pemecahan cyanohydrin menjadi sianida difasilitasi oleh pH basa,
kelembapan yang rendah dan temperatur yang tinggi. HCN yang dihasilkan segera
hilang mungkin karena larut dalam air atau menguap atau hilang karena
pembentukan cyanohydrin kedua. Sianida di konversikan menjadi tiosianat oleh
ensim yang ada di hati dan ginjal. Dalam proses ini, atom sulfur ditambahkan
kedalam reaksi disuplai oleh asam amino sistein (Rosling 1994 ).
Gambar 1 Cyanogenesis pada Singkong dan Metabolisme Sianida pada Manusia
(Rosling 1994 ).
31
Batas maksimum asupan sianida yang aman dikonsumsi manusia adalah 10
mg (0.4 mmol) dan dosis yang lebih tinggi meningkatkan kadar methaemoglobin
pada jaringan dan menimbulkan gejala keracunan (Lundquist 1985). Adanya
ensim rhodanese pada jaringan dan reaksi sulfan-sulfur (asam amino mengandung
sulfur dari makanan) akan mengkonversi sianida yang berlebihan menjadi
tiosianat yang kurang toksik dan diekskresi melalui urin (Rosling 1994).
Penelitian epidemiologi di kepulauan Maluku menemukan ada keterkaitan
daerah endemik goiter dengan konsumsi tinggi makanan yang mengandung
tiosianat yang diiringi dengan rendahnya EIU (Thaha et al. 2002). Walaupun
demikian penghambatan terhadap transpor aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid
hanya efektif bila kosentrasi iodium di dalam darah normal atau lebih rendah
(Wilson & Foster 1992). Suplementasi iodium yang diberikan dalam jumlah yang
cukup dan teratur dapat mengatasi masalah hambatan transpor aktif tersebut
(Gaitan 1986).
4. Indikator GAKI
WHO (2001) merekomendasikan pengukuran berat atau ringan GAKI
dengan menggunakan dua indikator yaitu indikator klinis dan biokimia. Indikator
klinis merupakan metoda non-invansive yaitu dengan
mengukur pembesaran
kelenjar tiroid dengan cara palpasi dan ultrasonografi. Indikator biokimia dengan
mengukur ekskresi iodium urin dan spesimen darah untuk menentukan
tiroglobulin
serta
hormon
tirotropin
(TSH)
darah.
Walaupun
tidak
direkomendasikan oleh WHO (2001), penentuan fungsi hormon tiroid sering
dilakukan dalam diagnose GAKI.
a. Pengukuran pembesaran kelenjar tiroid .
Cara palpasi mempunyai kelayakan lebih tinggi dari pada dengan cara
ultrasonografi. Pengukuran prevalensi gondok endemik dengan cara palpasi lebih
mudah dan ekonomis serta hanya membutuhkan pelatihan yang khusus bagi
tenaga kesehatan. Cara ultrasonografi lebih mahal karena membutuhkan 1 set
peralatan khusus lengkap dengan komputer dan tenaga yang terlatih untuk
mengoperasikan peralatan tersebut. Interpretasi hasil pengukuran pembesaran
32
kelenjar tiroid pada wanita hamil dilakukan secara hati-hati karena selama
kehamilan terdapat pembesaran kelenjar tioid karena terjadi hiperplasia kelenjar
tiroid dan bertambahnya daerah vaskularisasi (Cunningham et al. 1989).
b.Tiroglobulin
Tiroglobulin yang dirilis kedalam sirkulasi merupakan indikator ketidak
cukupan asupan iodium. Asupan iodium yang rendah menyebabkan terjadi
proliferasi sel tiroid yang menghasilkan hiperplasia dan hipertrofi. Keadaan ini
meningkatkan kadar serum tiroglobulin (WHO 2001).
c. Ekskresi Iodium Urin (EIU)
EIU merupakan indikator biokimia yang non invasive. EIU merupakan
marker
yang
baik
untuk
menentukan
asupan
iodium
terkini
(WHO/Unicef/ICCIDD 1993). Asupan iodium kemudian dicerna dan diabsorpsi
serta masuk kedalam peredaran darah dengan cepat. Sisa iodium yang tidak
diabsorpsi diekskresikan terbanyak melalui urin dan sebagian kecil melalui
keringat, feses dan udara pernapasan yang dihembuskan (Pernnington 1988).
Ekskresi Iodium Urin individu sangat bervariasi dari hari ke hari bahkan dalam
sehari tergantung asupan iodium.
Eksresi Iodium Urin yang dikumpulkan pagi hari cukup memadai untuk
pengukuran iodium pada populasi, sehingga tidak memerlukan contoh urin selama
24 jam (WHO 2001). Nilai EIU biasanya tidak terdistribusi dengan normal
sehingga untuk menginterpretasikan nilai EIU populasi sebaiknya menggunakan
median dari pada angka rerata (WHO/UNICEF/ICCIDD 1994). Distribusi EIU
dapat digunakan untuk menilai asupan iodium dan status iodium populasi.
Indikator EIU juga dapat menilai tingkat endemik suatu daerah.
Pada Tabel 2 diuraikan bahwa kekurangan iodium ringan apabila asupan
iodium dengan EIU dibawah 100 μg/L, sedangkan kekurangan iodium sedang jika
EIU dibawah 50 μg/L. Kekurangan iodium berat apabila EIU dibawah 20 μg/L.
Status iodium optimal apabila median EIU 100-199 μg/L. Median EIU 200-299
μg/L dikategorikan status iodium berisiko menyebabkan iodine induced
hyperthyroidisim atau disebut dengan IIH. Asupan iodium berlebihan apabila
33
median EIU > 300 μg/L dan status iodium pada keadaan ini dapat menimbulkan
resiko yang buruk terhadap kesehatan dengan munculnya penyakit autoimun,
penyakit tiroid atau iodine induced hyperthyroidism.
Tabel 2 Kriteria Secara Epidemiologi untuk Menilai Status Iodium
berdasarkan Median EIU pada Anak Sekolah
Median UIE
(μg/L)
Asupan iodium
Status iodium
< 20 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium berat
20 -49 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium sedang
50-99 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium ringan
100-199 μg/L
Cukup
Optimal
200-299 μg/L
Lebih dari cukup
Berisiko hipertiroid atau iodine induced
hyperthyroidism (IIH) dalam waktu
5-10 tahun setelah pemberian garam
beriodium pada golongan rawan.
≥ 300 μg/L
Berlebihan
Berisiko terhadap kesehatan
(IIH, autoimun, penyakit tiroid)
Sumber : WHO(2001).
d. Hormon TSH
Hormon TSH merupakan indikator terbaik untuk mendeteksi gejala
hipotiroid primer (Greenspan & Baxter 1995). Pemeriksaan GAKI dan
monitoringnya pada masyarakat menggunakan pemeriksaan serum atau bercak
darah kering TSH bayi neonatal dan serum TSH dapat menentukan ketersediaan
dan kecukupan dari hormon tiroid (WHO/UNICEF/ICCIDD/1994). Kadar
hormon tiroid yang rendah pada kelenjar pituitari karena sintesis hormon tiroid
yang berkurang merangsang pelepasan hormon TSH yang dapat dideteksi dalam
darah. Hormon TSH merangsang semua tahapan metabolisme iodida mulai dari
peningkatan ambilan (uptake) iodida dari sirkulasi, transpor iodida hingga
peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon tiroid
(Greenspan & Baxter 1995).
34
e. Fungsi hormon tiroid.
Penentuan konsentrasi serum hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
biasanya tidak direkomendasikan untuk memonitor GAKI pada populasi karena
kedua uji tersebut sangat mahal dan merupakan indikator yang kurang sensitif
(WHO 2001). Selain itu pemeriksaan serum T4 dan T3 pada ibu hamil ditemukan
meningkat (Harada 1979), sehingga interpretasi hasil uji T4 dan T3 menjadi bias
dalam menentukan uji fungsi tiroid pada ibu hamil. Perubahan yang mencolok
selama kehamilan terjadi karena peningkatan protein transpor iodium yaitu Tiroid
Binding Globulin (TBG), namun kadar hormon tiroid bebas atau free tiroksin
(FT4) dalam keadaan seimbang atau normal (Greenspan & Baxter 1995).
B. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Iodium
1. Sejarah Penemuan Iodium
Penemuan iodium dirintis oleh Bernard Courtois yang berasal dari Perancis
pada tahun 1811. Profesinya sebagai pembuat bubuk mesiu yang digunakan dalam
perang saat itu mengantarkannya menemukan uap yang berwarna ungu. Uap ungu
tersebut merupakan hasil isolasi dari rumput laut (seaweed) yang ditambahkan
asam sulfat yang berlebihan kemudian uap ungu tersebut dapat dikristalkan.
Karena kekurangan dana maka temuannya lebih disempurnakan oleh koleganya
Charles Bernard Desormes (1777-1862); Joseph Louis Gay-Lussac (1778-1850)
dan Andre-Marie Ampere (1775-1836) (Wikipedia 2007).
Iodium berasal dari kata Yunani: iodes artinya violet; yang merupakan
elemen kimia dengan simbol I, nomor atom 53 dan berat atom 127. Iodium
merupakan halogen seperti halogen lain (brom, fluor) dan iodium cenderung
menerima elektron dan ada di alam sebagai ion negatif. Secara kimia iodium
kurang reaktif dibandingkan halogen lainnya (Wikipedia 2007). Biasanya iodium
berikatan dengan logam atau non logam yang membentuk iodida (Wildman &
Medeiros 2000).
2. Sumber Iodium dan Guna Iodium
Kadar iodium
dari tanaman sangat tergantung kandungan iodida tanah
dimana tanaman itu tumbuh atau tergantung pada pupuk yang digunakan.
35
Sebagian besar iodium tumbuhan dalam bentuk anorganik (Matovinovic 1988)
Kadar iodium air minum tergantung pada kandungan iodium dari batu-batuan dan
tanah sumber air berasal. Demikian juga kandungan iodium hewan tergantung
pada tanaman yang dimakan dan pakan yang digunakan serta air minum.
Makanan laut atau seafood merupakan sumber iodium yang baik dari pada ikan
segar dari air tawar maupun tumbuhan dari darat. Gambaran kandungan iodium
bahan makanan di daerah endemik berdasarkan hasil penelitian Purwaningsih
(1997) disajikan pada Lampiran 22.
Iodium digunakan untuk obat, fotografi, bahan cat (dyes), antiseptik dan
food suplemen. Sebagai unsur kelumit (trace element), iodium dibutuhkan oleh
manusia dalam jumlah yang kecil, sedangkan peranan iodium secara biologi
sebagai pembentuk hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) (Wikipedia 2007)
3. Kebutuhan dan Kecukupan Iodium
Kebutuhan iodium sangat bervariasi sangat tergantung dari usia, jenis
kelamin dan ekskresi urin (Karyadi 1984). Kebutuhan iodium per hari adalah 1-2
μg per kg BB per hari (Almatsier 2001). Angka kecukupan iodium di Indonesia
untuk wanita usia 16-19 th: 150 μg/hari dan 20-59 th: 150 μg/hari untuk ibu
hamil ada tambahan sebesar 25μg/hari iodium untuk kebutuhan janin dan laktasi
(Kartono & Sukatri 2004).
4. Pencernaan dan Penyerapan Iodium
Iodium (I) dalam bahan makanan terikat pada asam amino atau dalam
bentuk bebas, terutama dalam bentuk iodat (IO3-) dan dalam bentuk iodida (I-).
Selama dicerna iodat dari bahan makanan akan mengalami reduksi oleh glutathion
menjadi iodida sedangkan iodida (I-) langsung diserap dari lambung dan usus
halus. Kemudian iodida memasuki enterosit bersama sebagian kecil iodium yang
terikat asam amino yang tidak seefisien ion iodida. Iodida bebas (I-) diserap dari
enterosit memasuki sirkulasi darah didistribusikan diseluruh cairan ekstra sel
yang kemudian menembus kesemua jaringan tubuh. Iodida yang muncul di dalam
darah dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein (Groff & Grooper 2000;
Berdanier 2000).
36
Adapun pencernaan dan penyerapan kapsul minyak beriodium dijelaskan
sebagai berikut: kapsul minyak beriodium dikonsumsi per oral, kemudian dicerna
dalam usus halus. Setelah itu minyak beriodium diabsorbsi dan masuk kedalam
peredaran darah, diantaranya memasuki kelenjar tiroid, disimpan dalam jaringan
lemak tubuh dan sisanya dibuang melalui urin (Dunn & Van Der Haar 1990).
Seperti diketahui kapsul minyak iodium (Yodiol) mengandung asam oleat 43.3%;
asam linoleat 29.9% dan asam linolenat 0.40% (Sirajuddin 2003). Iodium yang
terikat pada asam lemak ikatan rangkap tunggal (etil oleat) akan tertahan lebih
lama dalam tubuh dibandingkan yang terikat pada asam lemak ikatan rangkap
ganda (etil linoleat atau etil linolenat) (Van der Heide et al. 1989). Iodium yang
tidak terikat pada asam lemak memasuki sirkulasi darah dalam bentuk iodida (I-)
(Groff & Grooper 2000).
Iodida dalam sirkulasi, sepertiganya ditangkap kelenjar tiroid, sebagian kecil
memasuki jaringan dan sebagian besar dibuang melalui urin (Djokomoeljanto
1994). Iodida dalam sirkulasi darah ada yang masuk kedalam kelenjar saliva tetap
dalam bentuk inorganik iodida dan biasanya akan diabsoprsi kembali (Husaini
1992). Kelenjar tiroid mengandung 70-80% total iodida tubuh dan dapat
menangkap 120 μg iodida per hari. (Groff & Gropper 2000).
Kelenjar tiroid terbentuk dari banyak bola-bola kecil (folikel) dan
berkembang menjadi 2 lobus lateral tiroid yang dihubungkan oleh suatu jembatan
jaringan yang disebut ismus tiroid. Ismus tirod terletak dibawa kartilago tiroid di
pertengahan antara apeks kartilago tiroid (”Adam’s apple”). Masing-masing
folikel dikelilingi oleh lapisan sel yang disebut koloid. Sel-sel folikel mensitesa
tiroglobulin yang dikeluarkan kedalam lumen folikel. Biosintesa hormon tiroksin
(T4) dan hormon triiodotironin (T3) terjadi dalam tiroglobulin (Ganong
1995)(Greenspan & Baxter 1995).
5. Sintesa, Sekresi Hormon Tiroid dan Transpor Hormon Tiroid
Iodida yang diserap kedalam peredaran darah sebanyak sepertiganya
ditangkap oleh kelenjar tiroid sedangkan sisanya dikeluarkan melalui urin. Kurang
lebih 95% simpanan iodium tubuh berada dalam kelenjar tiroid sedangkan sisanya
berada dalam sirkulasi darah (0.04-0.57%) dan jaringan ( Djokomoeljanto 1996).
37
Kelenjar tiroid merupakan tempat mensintesa hormon tiroid dari bahan baku
iodium (Gambar 2). Kemudian iodium disintesa dan disekresi oleh kelenjar tiroid
melalui beberapa langkah:
-Tahap ”trapping” dimana iodium dikonsentrasikan oleh kelenjar tiroid
dan
dibawa ke kelenjar tiroid. Penangkapan iodium oleh kelenjar tiroid dari darah
melalui sebuah pompa ensim ATP yang memompa Na+ kedalam dan K+ keluar
dari kelenjar tiroid. Penangkapan iodida oleh folikel kelenjar tirod dari darah
dengan proses transpor aktif. Sedikitnya 60 μg iodida harus ditangkap oleh
kelenjar tiroid per hari untuk memproduksi hormon tiroid yang cukup (Wildman
& Medeiros 2000).
Gambar 2 Model Metabolisme Iodida dalam Folikel Tiroid ( Martin et al. 1987)
38
-Tahap organifikasi iodium: dimana iodium dioksidasi dan bereaksi (iodinasi)
dengan tirosil residu dalam tiroglobulin (Tg). Iodinasi pertama yaitu iodium
diikat pada asam amino tirosil dari tiroglobulin yang diaktifkan oleh ensim
peroksidase menjadi 3-monoiodotirosine (MIT). Iodinasi kedua yaitu iodium
diikat dengan MIT menjadi 3,5 diiodotirosin (DIT).
-Tahap penggabungan (coupling): dua molekul dari diiodotirosin bergabung
menjadi hormon tiroksin (T4) dan satu DIT dan MIT bergabung menjadi T3.
Kemudian disimpan dalam koloid dari lumen folikuler tiroid.
-Tahap pelepasan dimana hormon tiroid dirilis kedalam sirkulasi darah dan MIT
dan DIT mengalami deiodinasi (Djokomoeljanto 1996).
Setiap hari kira-kira 80-90 μg hormon 3,5,3’,5’-tetraiodothyronine (T4) atau
disebut hormon tiroksin dan 10-20 μg hormon 3,5,3’-triiodothyronine (T3)
diproduksi dan disekresikan ke dalam darah. Kelenjar tiroid secara aktif
mengabsorbsi iodium dari darah untuk membuat dan mensekresi hormon ini ke
dalam darah. Penurunan hormon tiroid dalam darah akan meningkatkan sekresi
TSH (tirotropin) oleh kelenjar hipofisa dan sebaliknya peningkatan hormon tiroid
akan menurunkan sekresi hormon TSH. Mekanisme ini diatur melalui efek umpan
balik negatif yang melibatkan kerja kelenjar tiroid, hipotalamus dan hipofisa
(Guyton 1982).
Hipofisis mensekresikan hormon TSH dan dihambat melalui umpan balik
negatif oleh hormon T4 dan T3 dalam darah (Granner 1985). Kerja TSH melalui
cyclic AMP dan fosfolipase C yang mempengaruhi 4 tahap sintesa dan sekresi
hormon tiroid dalam kelenjar tiroid. Secara khusus hormon TSH merangsang
semua tahapan metabolisme iodium dari meningkatnya ambilan iodium oleh
kelenjar tiroid hingga peningkatan sekresi hormon tiroid (Greenspan & Baxter
1994).
Kadar serum TSH normal adalah sekitar 0.5 -5 mU/L meningkat pada
hipotiroid dan menurun pada hipertiroid. Waktu paruh TSH plasma adalah sekitar
30 menit dan kecepakatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/ml/hari
(Greenspan & Baxter1994).
39
Kelenjar tiroid memproduksi 100% hormon T4 yang disirkulasikan dalam
darah tetapi 5% - 10% nya merupakan hormon T3. Walaupun kosentrasi plasma
hormon T4 lebih besar dari hormon T3 tetapi hormon T3 lebih aktif dan lebih
potensial (Groff & Gropperr 2000). Hormon tiroid yang disekresi kemudian
berikatan dengan transpor protein darah kemudian didistribusikan ke target sel
perifer. Tiga transpor protein pembawa hormon tiroid ialah: a)Thyroid Hormone
Binding Globulin (TBG) ditemukan dalam plasma dengan kapasitas rendah tetapi
dengan afinitas yang tinggi terhadap hormon T4 dan T3; b) Albumin dan c)
Transthyretin (prealbumin). Umumnya hormon T4 terikat pada TBG. Ada
sebagian kecil <0.1% dari hormon T4 dan hormon T3 tidak berikatan dengan
protein transpor tetapi dalam bentuk bebas yang secara hormonal lebih aktif
(Groff & Grooper 2000).
6. Metabolisme Iodium
Metabolisme iodium setelah kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid
dapat dilihat dalam Gambar 2. Dalam gambar ini diperkirakan dari asupan 500 μg
iodida (I-) setelah dicerna menghasilkan kurang lebih 500 μg I- yang memasuki
pool iodida ekstraselular. Sebanyak 40 μg iodida yang dibebaskan kelenjar tiroid
dan 60 μg iodida yang dibebaskan dari jaringan juga memasuki pool ekstraselular.
Kemudian dari pool iodida ekstraselular, sepertiga iodida pool memasuki kelenjar
tiroid (115 μg I-) dan sisanya keluar melalui urin (485 μg I-). Konsentrasi iodida
dalam pool tiroid sangat besar mencapai 8000 μg I- (8 mg) dan merupakan tempat
cadangan hormon tiroid. Setiap hari dilepas 75 μg I- (hormon T3, T4) membentuk
pool sirkulasi sekitar 600 μg I- sebagai T3 dan T4. Kemudian dari pool ini dilepas
sekitar 75 μg I- sebagai hormon T3 dan T4 digunakan dalam jaringan hati, otot,
jantung dan otak. Jumlah tersebut dikembalikan ke pool iodida sekitar 60 μg Idan 15 μg I- dikonyugasi dengan glukoronida atau sulfat dalam hati dan diekskresi
melalui feses (Greenspan & Baxter 1995).
40
Gambar 3 Metabolisme Iodium (Greenspan & Baxter1995).
Hormon T4 yang didistribusikan ke jaringan tepi akan mengalami konversi
(monodeiodinase) menjadi hormon T3 oleh pengaruh ensim deiodinase-5’.
Hampir semua tiroksin dalam darah dikonversikan (deiodinasi) menjadi T3
setelah memasuki jaringan tepi. Ada 3 tipe deiodinase yaitu deiodinase-5’ tipe 1,
deiodinase-5’ tipe 2 dan deiodinase-5’ tipe 3. Deiodinase-5’ tipe 1 merupakan
ensim yang mengkonversikan hormon T4 menjadi hormon T3 di dalam kelenjar
tiroid, hepar, ginjal, otot jantung, otot rangka. Deiodinase-5’ tipe 2 berperan
mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3 pada jaringan otak dan kelenjar
hipofisa. Ensim deiodinase-5’ tipe mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3
pada jaringan plasenta, sel glia (Lazarus 1993; Brody 1999).
Hormon T3 di jaringan akan mengalami proses metabolisme pada tingkat
seluler. Hormon T3 merupakan hormon yang menjembatani kerja hormon pada
41
tingkat seluler. Kemudian hormon T3 berikatan dengan reseptor hormon tiroid
nukleus untuk inisiasi transkripsi mRNA mengarah kepada produksi protein baru
termasuk mempengaruhi aktifitas sejumlah ensim, sintesa koensim dan vitamin
dan kemampuan metabolisme lainnya. Terdapat 3 macam reseptor hormon trioid
yaitu : TR α1, TR ß2 dan TR ß2 (Lazarus 1999).
7. Keseimbangan Dinamis (Turnover) Iodida dan Waktu Paruh Iodida dan
Hormon Tiroid.
Turnover atau keseimbangan dinamis iodida dalam darah sangat singkat
terutama diatur oleh ambilan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, dalam
plasma waktu paruh iodida sekitar 10 jam tetapi dapat lebih singkat apabila
kelenjar tiroid aktif secara berlebihan dalam keadaan tirotoksikosis atau dalam
keadaan defisiensi iodium. Turnover hormon tiroid relatif lambat/pelan. Waktu
paruh hormon tiroid (T4) normal sekitar 7 hari. Waktu paruh untuk hormon
tiroid lainnya yaitu T3 antara 1,5 sampai 3 hari (Stanbury 1996)
8. Efek Spesifik Hormon Tiroid terhadap Tubuh
Molekul T4 dan T3 mempunyai 4 dan 3 atom iodium. T4 sebagian besar
sebagai prekursor T3 yang secara biologis lebih aktif (Wikipedia 2007). T4 atau
hormon tiroid mempengaruhi hampir setiap sel dalam tubuh manusia. Hormon
tiroid juga meningkatkan aktifitas pemecahan glukosa sehingga meningkatkan
metabolisme dalam tubuh (Wildman & Medeiros 2000). Kekurangan hormon
tiroid dapat menurunkan basal metabolisme sampai 50% sedangkan produksi
yang berlebih dari hormon tiroid dapat mengakibatkan laju metabolisme basal
100% (Wildman & Medeiros 2000). Dari banyak efek hormon tiroid pada tubuh
manusia dapat disimpulkan 3 efek yang utama pada tubuh yaitu 1) mengatur
metabolisme dan keseimbangan energi, 2) mengatur pertumbuhan dan
perkembangan, dan 3) mengatur aktifitas sistem syaraf (Tortora & Anagnostakos
1990). Lebih rinci pada Tabel 3 di bawah diuraikan beberapa efek spesifik
hormon tiroid (Wilman & Medeiros 2000).
42
Tabel 3 Pengaruh Hormon Tiroid dalam Mekanisme Tubuh
Mekanisme
Pengaruh hormon tiroid
Metabolisme
Karbohidrat
merangsang absorpsi gula dan ambilan oleh sel, meningkatkan
metabolisme karbohidrat, khususnya glikolisis dan
glukoneogenesis, meningkatkan rilis hormon insulin
Metabolisme
Lemak
meningkatkan mobilisasi lemak jaringan adipose,
meningkatkan kandungan plasma asam lemak bebas (FFA)
dan meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sel,
mengurangi plasma kolesterol dan trigliserida diduga
dengan meningkatkan kandungan asam empedu-kolesterol
dan membuang melalui feses.
Sintesa Protein
meningkatkan sintesa protein, tetapi dalam jumlah berlebih
menyebabkan katabolisme protein
Metabolisme Basal meningkatkan metabolisme pada semua sel, kekurangan
hormon tiroid menyebabkan metabolisme basal turun 50%
Sistem Kardiovaskuler
meningkatkan denyut jantung; meningkatkan volume darah
Respirasi
Makanan/
Pencernaan
meningkatkan respirasi karena metabolisme seluler meningkat
meningkat nafsu makan dan konsumsi makanan,
meningkat laju sekresi cairan lambung dan motilitas dari
saluran pencernaan makanan dan
kekurangan hormon tiroid menyebabkan konstipasi
Skeletal Muscle
meningkat kontraksi vigor
Central Nervous
System
meningkat ”elation”, jumlah yang berlebih menyebabkan
gugup dan cemas
Kelenjar Endokrin meningkat laju sekresi endokrin
Sumber: Wildman dan Medeiros (2000)
C. Iodium dan Kehamilan
Selama hamil terutama pada trimester pertama, terjadi adaptasi fisiologi
yang ditandai peningkatan kadar Thyroid Binding Globulin (TBG) dan kenaikan
ini sebagai respon terhadap meningkatnya hormon estrogen dan Human Chorionic
Gonadotropin (hCG), sehingga merangsang kelenjar tiroid ibu membesar
(Cunningham 1989). Kondisi tersebut menyebabkan goiter sementara pada masa
kehamilan dan akan kembali normal setelah melahirkan.
43
Selama kehamilan, iodium dibutuhkan untuk ibu sendiri dan pertumbuhan
janin sehingga kebutuhan iodium ibu hamil meningkat. Peningkatan kebutuhan
jumlah iodium juga untuk menutupi kehilangan iodium
melalui peningkatan
renal clearance iodium.
Gambar 4 Morfologi Embrio dan Janin (Rathus 1988)
Iodium atau hormon T4 ditransfer melalui plasenta dan hal ini menunjukkan
pentingnya peranan hormon tiroid pada pembentukan embrio dan janin. Sebelum
usia kehamilan mencapai 12-18 minggu, hormon T4 dan reseptor hormon tiroid
ditemukan pada jaringan janin. Namun produksi hormon tiroid janin dimulai pada
trimester 2 (deViljder 1996). Gambaran morfologi embrio dan janin diuraikan
secara lengkap pada Gambar 4.
1. Iodium untuk Perkembangan Otak Janin Manusia
Iodium dalam bentuk hormon tiroid berperan pada perkembangan otak.
Pada sel otak, T4 dan T3 mengalami monoiodinase dimana T4 dikonversi menjadi
hormon rT3 dan T3 di konversi menjadi T2 dengan bantuan ensim deiodinase -5’
44
tipe 3. Ensim ini ditemukan di plasenta dan mempunyai peran melindungi dan
menghindari hormon tiroid yang berlebihan mencapai janin (Bernal 2005).
Reseptor hormon T3 pada sel nukleus mengikat T3 dan jumlah T3 yang terikat
pada reseptor tersebut meningkat 6-10 kali pada kehamilan 10-16 minggu
(Vulsma et al. 1989).
Pada janin, hormon tiroksin (T4) dapat ditemukan pada kehamilan trimester
pertama (kehamilan 6 minggu) yaitu pada cairan coelomic, jauh sebelum dimulai
sekresi hormon T4 oleh tiroid janin pada 24 minggu kehamilan. (Contempre et al.
1993). Walaupun pada usia 24 minggu janin dapat mensekresi T4 sendiri, transfer
tiroid dari ibu ke janin masih tetap berlanjut sampai kehamilan trimester 3.
Bahkan dalam darah ari-ari pada saat bayi lahir ditemukan 30% serum T4 berasal
dari ibu (Delange et al.1989; Vulsma et al. 1989).
Perkembangan otak dikategorikan dalam dua periode berdasarkan laju
pertumbuhan maksimal (Dobbing & Sands 1973), terlihat pada Gambar 4.
Gambar 5 Fungsi Tiroid Janin dan Postnatal pada Manusia dan Hubungannya
dengan Laju Pertumbuhan Cepat Otak (Delange & Fisher 2006).
45
Periode pertama terjadi selama trimester 1 dan 2 atau antara umur
kehamilan 3 dan 5 bulan. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan
organisasi neuron. Kemudian periode kedua terjadi pada trimester 3 sampai 2 – 3
tahun post natal. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan myelinisasi sel
glial. Periode pertama terjadi sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi optimal dan
suplai hormon tiroid pada tumbuh kembang janin hampir seluruhnya berasal dari
ibu. Pada periode kedua, suplai hormon tiroid pada janin berasal dari sekresi janin
sendiri dan suplai dari ibu melalui plasenta (Morreale de Escobar et. al. 2000).
2. Kelebihan dan Kekurangan Iodium pada Janin Dalam Kandungan
Tiroid janin mulai mengakumulasi iodium pada kehamilan 10 minggu tetapi
yang bebas dari efek Wolff-Chaikoff hanya selama 4 minggu kehamilan. Roti
dan Braverman (1996) melaporkan bahwa janin yang terpapar oleh ibu hamil yang
mengalami kelebihan iodium (obat), dapat menyebabkan gondok dan hipotirod
khususnya di daerah defisiensi iodium. Ibu hamil yang mengalami kelebihan
iodium berisiko meningkatnya transient kosentrasi TSH ari-ari bayi (Novaes et al.
1994; Roti & Braverman 1996).
Janin yang defisiensi iodium karena ibu selama hamil kekurangan iodium,
akan mengalami gangguan dalam produksi dan sintesa hormon tiroid janin dan
ibu. Suplai hormon tiroid yang tidak cukup pada janin menyebabkan terjadi
gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak janin. Dampak negatifnya bayi
yang dilahirkan mengalami hipotiroid.
Hormon tiroid berfungsi dalam tumbuhkembang dengan cara diferensiasi
sel dan ekspresi gene. Hormon tiroid T3 mengikat reseptor nukleus yang
mengatur ekspresi gene spesifik dalam otak janin dan kehidupan postnatal. T3
terikat pada reseptor inti didapat dari konversi T4 melalui deiodinase-5’tipe 2, dan
bukan dari sirkulasi T3 (Morreale de Escobar et al. 2004; Delange 2001)
3. Bukti-Bukti Pengaruh Kekurangan Iodium pada Tumbuh Kembang Janin
Bukti kekurangan iodium pada tumbuh kembang janin dikumpulkan dari
penelitian pada hewan yang bunting yang dibuat kekurangan iodium dan pada
anak yang mengalami kekurangan iodium.
46
Penelitian telah dilakukan pada tikus, marmot, dan domba yang relevan
dengan masalah kretin endemik dan kerusakan otak hasil akibat kekurangan
iodium. Tikus diberi makanan yang biasa dikonsumsi oleh penduduk desa Jixian
di China (Li et al. 1985; Zhong et al. 1983; Hetzel & Hay 1979). Desa tersebut
termasuk desa endemik GAKI dengan prevalensi kretin endemik 11%. Diit terdiri
dari jagung dan gandum, sayuran dan air diambil dari daerah ini dengan kadar
iodium diit ini sebesar 4.5 ug/kg. Setelah 4 bulan diberi diit, tampak nyata timbul
neonatal goiter, serum T4 janin lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan
berat otak tikus menurun.
Marmot bunting dibuat defisiensi iodium tingkat berat dengan memberikan
campuran diit jagung yang kurang iodium akan melahirkan bayi yang mengalami
defisiensi iodium yang ditunjukkan dari pertumbuhan rambut yang jarang (Mano
et al. 1987). Kelenjar gondok induk membesar diikuti dengan penurunan kadar
plasma T4 pada trimester kedua dan kadar plasma T4 pada bayi juga menurun.
Berat otak bayi marmot juga turun secara signifikan pada trimester kedua bila
dibandingkan pada trimester pertama. Hal tersebut menunjukkan penurunan berat
dan jumlah sel cerebellum akibat kurang iodium yang berat pada otak primata.
Domba dibuat defisiensi iodium dengan memberikan diit rendah kandungan
iodium. Pada usia 140 hari janin mengalami defisiensi iodium dan pertumbuhan
fisik berbeda dengan janin kontrol (Potter et al. 1981). Pengamatan lain
menemukan bahwa kekurangan iodium menyebabkan pertumbuhan wool kurang,
kerusakan pembentukan otak dan keterlambatan maturasi tulang yang diindikasi
keterlambatan munculnya epiphyses pada kerangka domba (Hetzel et al. 1988).
Pada kehamilan umur 56 hari, hasil histologi jaringan tiroid ditemukan
hyperplasia. Penurunan berat otak dan kandungan DNA dimulai sejak dini yaitu
pada usia 70 hari. Indikasi penurunan jumlah sel otak terjadi dan hal ini
dimungkinkan oleh adanya keterlambatan multiplikasi neuroblast secara normal
yang terjadi pada hari ke 40-80 hari. Penemuan kejadian di cerebellum serupa
dengan yang terjadi pada marmot (Potter et al. 1981). Hal ini disebabkan ada
hubungan penurunan kandungan iodium pada kelenjar tiroid janin dengan
penurunan plasma T4. Hal ini menunjukkan pentingnya hormon tiroid untuk ibu
dan janin dalam perkembangan otak janin
47
Kekurangan iodium pada anak-anak di daerah yang kekurangan iodium
tingkat sedang menyebabkan terjadi abnormalitas dalam perkembangan
psikomotor dan intelektual anak-anak dan orang dewasa yang secara klinis
eutiroid tetapi tidak ada tanda atau gejala kretin endemik. Hal ini dibuktikan dari
19 kajian meta analisis pada fungsi neuromotor dan kognitif pada kondisi
kekurangan iodium sedang dan berat berakibat kehilangan 13,5 IQ poin
(Bleichrodt 1994).
Tabel 4 Defisit Perkembangan Mental pada Bayi dan Anak Sekolah pada
Keadaan Kekurangan Iodium Berat dan Sedang
Daerah
Spanyol
Sicily,
Italia
Tes/Uji
Bayley
McCarthy
Cattell
Bender-Gestalt
Tuscany
Wechsler Raven
Tuscany
WISC
Reaksi waktu
India
Verbal,
Tes pictorial
Tes motivasi
Bender-Gestallt
Raven
Tes psikomotor
verbal
Tes non verbal
Tes intelektual
Tes psikomotor
Iran
Malawi
Benin
Temuan
Perkembangan psikomotor
dan mental rendah
dibanding kontrol
Kemampuan motor
persepsi rendah
Neuromuscular abnormal
Neurosensorial abnormal
IQ verbal rendah
Motor persepsi rendah
Kecepatan respon
motorik rendah
Kemampuan belajar rendah
Retardasi perkembangan
psikomotor
Defisit IQ 10 poin
dibanding kontrol
Defisit IQ 5 poin
dibanding kontrol
Sumber
Bleichrodt et al.
(1989)
Vermiglio et al.
(1990)
Fenzi et al.
(1990)
Vitti et al.(1992)
Aghini-Lombardi
et. al.(1995)
Tiwari et al.
(1996)
Azizi et al.
(1993)
Shrestha (1994)
Van den Briel et
al. (2000)
4. Perubahan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini dan Konsekuensi Terhadap
Status Gizi Bayi dan Anak
Sebanyak 10% bayi lahir mempunyai tanda biokimia kegagalan fungsi tiroid
yang disebabkan kekurangan iodium tingkat berat dan asupan tiosianat yang
berlebihan di daerah endemik GAKI di Ubangi, Zaire (Delange 1986). Individu
yang hipotiroid tingkat berat juga mempunyai angka kematian yang tinggi
48
(Contempre 1993), walaupun dapat bertahan hidup sampai remaja tetap menjadi
hipotiroid. Hal ini dapat dilihat pada individu yang menjadi endemik kretin
miksodem pada usia dewasa.
Skema di bawah ini dibuat oleh Delange (1986), tampak hipotiroid yang
berat pada bayi mungkin masih dapat diperbaiki karena masih dalam periode
perkembangan otak tetapi tidak dapat mengkoreksi kerusakan pada perkembangan
mental. Fenomena ini sering terjadi dilaporkan pada anak-anak eutiroid yang
mengalami keterlambatan mental karena anak tersebut dahulu hipotiroid yang
telah mendapatkan pengobatan. Hipotiroid pada bayi yang berlanjut pada usia
remaja atau dewasa berkembang menjadi kretin endemik.
Serum T4
Euthyroid
Range
Hypothyroid
Range
Gambar 6 Skema Hubungan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini sampai Masa
Anak-anak (Delange 1986).
Kongenital hipotiroid dapat dicegah pada ibu hamil yang mengalami
defisiensi iodium. Koreksi defisiensi iodium secara klinis dan biokimia pada bayi
dapat memperbaiki normal fungsi hipotiroid, tetapi perbaikan hanya sebagian jika
intervensi terjadi selama masa anak dan remaja. Kasus hipotiroid tidak dijumpai,
49
tetapi kemungkinan terjadi kerusakan otak minor jika koreksi terjadi pada
permulaaan masa anak-anak, atau terjadi hipotiroid pada tingkat tertentu yang
diikuti dengan defisiensi mental yang berat jika koreksi terlambat pada masa
anak-anak dan remaja.
Bayi lahir dengan fungsi tiroid yang normal dan fungsi tiroid ini selanjutnya
tetap normal. Bayi akan tetap tidak hipotiroid dan tidak mengalami mental
retardasi. Hipotiroid mungkin terjadi pada bayi umur diatas 3 tahun, akan
menghasilkan hipotiroid dan retardasi mental yang dapat diperbaiki atau disebut
”late onset hipotiroidism”. Hal ini menunjukkan pentingnya uji saring (skrining)
neonatal untuk mendeteksi hipotiroid kongenital yang disebabkan oleh pengaruh
lingkungan.
5. Dosis Iodium Dalam Kapsul Minyak Iodium untuk Ibu Hamil
Pemberian kapsul minyak beriodium untuk berbagai kelompok umur di
daerah endemik GAKI sedang dan berat berbeda. Menurut Depkes (2000b),
kapsul dibagikan untuk wanita usia subur (2 kapsul/tahun); ibu hamil (1 kapsul
pada masa hamil); ibu menyusui (1 kapsul masa menyusui) dan anak SD kelas 1-6
(1 kapsul/tahun). Merujuk dari program Depkes, ibu selama hamil di daerah
endemik GAKI mendapat 1 kapsul minyak iodium dengan dosis iodium 200 mg
Tabel 5 Dosis Iodium dan Frekuensi Minyak Iodium per Oral/Intra Muskular
(IM) per Kelompok Umur
Durasi
efek
Kelompok umur
3 bln
Oral
6 bln
Oral
12 bln
Oral
>1 th
IM
WUS (wanita usia subur) 100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
Ibu hamil
50-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I
Bayi
20- 40 mg I
Anak 1-5 th
40-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I
Anak 6-15 th
100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
Laki dewasa
100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
50-100 mg I 100-300 mg I 240 mg I
Sumber: WHO/UNICEF/ICCIDD (1992)
50
Dosis iodium dan frekuensi minyak iodium yang direkomendasikan oleh
WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) untuk target grup ditunjukkan pada Tabel 5.
Secara oral, dosis yang direkomendasikan untuk ibu hamil selama 3, 6 dan 12
bulan adalah 50-100 mg Iodium (I); 100-300 mg I dan 300-480 mg I. Dosis iodium
dalam kapsul minyak iodium dibagikan pada ibu hamil di Indonesia masih dalam
batas dosis iodium yang direkomendasikan oleh WHO yaitu 100-300 mg I.
6. Penelitian di Berbagai Negara Menggunakan Minyak Iodium untuk
Wanita Hamil
Penelitian dari beberapa negara telah memberikan suplemen minyak iodium
dengan dosis tinggi (iodium ≥ 200 mg) dan dosis rendah (iodium <200mg).
Penelitian Cao et al. (1994) di China, Anwar et al. (1998) di Bangladesh, Zaleha
et al. (2000) di Malaysia dan Hadisaputro et al. (2004) di Indonesia, memberi ibu
hamil 1 kapsul minyak iodium dengan dosis 400 mg (Tabel 6). Ibu yang mendapat
suplemen kapsul iodium menunjukkan EIU selama hamil meningkat. Bayi yang
dilahirkan mempunyai berat badan lebih tinggi dari pada kontrol. Kasus bayi
dengan TSH neonatal (blood spot) tinggi ditemukan lebih sedikit dibandingkan
kontrol. Perkembangan mental bayi dan anak lebih baik apabila iodium diberikan
lebih awal yaitu pada trimester 1 dan 2. Semua penelitian tersebut menggunakan
kapsul Lipiodol kecuali penelitian di Indonesia menggunakan kapsul Yodiol.
Penelitian yang dilakukan Chaouki dan Benmiloud (1994) di Aljazair
memberikan ibu selama hamil kapsul Lipiodol dengan dosis iodium 200 mg. Dari
penelitian tersebut ditemukan kadar EIU ibu nifas meningkat 2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan keadaan awal penelitian ketika ibu hamil. Serum TSH ibu
nifas menurun sekitar 50% dan free T4 meningkat dibandingkan pada awal
penelitian. Tidak ditemukan bayi yang lahir dengan tanda-tanda neonatal
hipotiroid. Dampak terhadap kesehatan bayi akibat pemberian minyak iodium
secara oral diberikan pada ibu hamil trimester 1 di Aljazair yaitu dapat
menurunkan angka keguguran dan bayi lahir mati (Chouki & Benmiloud 1994).
51
Tabel 6 Penelitian tentang Kapsul Minyak Iodium Dosis Tinggi pada Ibu Hamil
Penelitian/
Lokasi
Dosis iodium
selama hamil
Hasil
1. Zaleha et al. 2000
Malaysia
480 mg
EIU meningkat selama hamil
Setelah 6 & 12 bulan intervensi terjadi
hipertiroid dari pemeriksaan serum FT4
2. Anwar et al.1998
Bangladesh
400 mg
Rerata BB lahir lebih tinggi
Proporsi serum T4 total bayi rendah (<16
nmol/L) kecil
Proporsi serum TSH (>4,8mU/L) bayi
kecil
3. Cao et al. 1994
China
400 mg
Perbaikan neurologik:
besar: iodium diberi trimester 1 & 2
kecil : iodium diberi pd trimester 3
4. Hadisaputro et al
2004, Ngawi
400 mg
200 mg
Dosis 400 mg lebih baik pada
perkembangan motorik kasar
5. Chaouki dan
Benmiloud. 1994
Aljazair
240 mg
Neonatal hipotiroid tidak ditemukan
Ibu nifas : EIU naik 2 x
TSH turun 50%, FT4 naik
Kasus hiperiroid atau tirotoksikosis juga ditemukan di Sudan. Orang dewasa
yang menderita GAKI dilaporkan mengalami tirotoksikosis setelah mendapat
suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995).
Selain kapsul kapsul minyak iodium dosis tinggi, kapsul minyak iodium
dosis rendah dilaporkan juga telah diberikan kepada orang dewasa yang berumur
20-30 tahun di Zaire. Kapsul minyak iodium dengan dosis 47 mg dan 118 mg
diberikan selama setahun. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda dengan
penelitian yang memberikan kapsul minyak iodium dosis tinggi yaitu pembesaran
kelenjar gondok berkurang, kadar EIU menjadi normal pada bulan ke 6 dan 9 dan
tidak ditemukan efek samping seperti kasus hipertiroid. Pemberian kapsul minyak
iodium dosis rendah lebih efektif, efisien dan dapat diterima dari pada pemberian
melalui intra muskular dan tidak mempunyai efek samping seperti halnya minyak
iodium dosis tinggi (Tonglet et al. 1992).
52
D. Uji Saring Hipotiroid Kongenital pada Bayi Baru Lahir dan Bayi
Nenonatal
Hipotiroid kongenital merupakan kekurangan hormon tiroid sejak lahir hal
ini disebabkan kekurangan iodium yang terjadi sebelumnya yaitu sejak dalam
kandungan. Bila terlambat diobati akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan mental yang tidak bisa dipulihkan
kembali
atau irriversible
(Rustama 2003). Upaya deteksi dini perlu dilakukan sehingga pengobatan dapat
dilakukan dengan segera, agar bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Upaya deteksi dini dengan uji saring (skrining) pada bayi baru lahir atau
bayi neonatal sebagai berikut:
a. Pada bayi baru lahir (umur 2-6 hari ) dilakukan pengambilan sampel darah dari
tali pusar atau dari tumit. Kemudian darah diteteskan diatas kertas saring (filter
paper) dan dikeringkan. Batasan (cut-off) untuk bayi yang dicurigai positif
hipotiroid yang digunakan yaitu :
cut-off 25 uU/ml: untuk sampel darah dari tali pusar
cut-off 20 uU/ml: untuk sampel darah dari tumit
Apabila sampel dicurigai positif dengan nilai diatas cut-off tersebut diatas maka
dilakukan pemeriksaan ulang TSH dan T4 darah vena serta mencari gejala
klinis hipotiroid kongenital (Rustama 2003).
b. Pada bayi neonatal (umur 4 -14 hari) dilakukan pengambilan sampel darah dari
tali pusar atau tumit bayi, kemudian tetesan darah ditampung diatas kertas
saring (Sunartini 2006). Batasan (cut-off) untuk bayi yang diduga positif
hipotiroid sama dengan pada bayi baru lahir
E. Kekurangan dan Kelebihan Iodium (Iodine Excess)
1. Kekurangan Iodium
Kekurangan iodium adalah suatu keadaan dimana asupan iodium kurang
dari bahan makanan sehari-hari sehingga ambilan iodium oleh kelenjar tiroid
berkurang. Akibatnya produksi dan sekresi hormon tiroid menurun. Dalam
keadaan ini terjadi
meningkatkan pelepasan TSH dari hipofisa. Kondisi ini
menyebabkan kelenjar gondok bekerja keras untuk memproduksi lebih hormon
tiroid. Peningkatan stimulasi TSH merupakan adaptasi normal tetapi dapat
53
menyebabkan gondok apabila defisiensi iodium terus berlanjut. Rendahnya kadar
hormon tiroid dalam darah disebut hipotiroid (Dunn & Van Der Haar 1990).
Gejala hipotiroid yang umum ditemukan seperti fatigue, gondok, depresi, berat
badan kurang, temperatur tubuh basal turun dan perkembangan mental yang
terlambat (Wikipedia 2007)
2. Kelebihan Iodium (Iodine Excess)
Kelebihan iodium dapat menimbulkan beberapa efek samping. Batasan
asupan iodium yang dianggap toksik masih beragam. Food and Drug Board dari
Medicine Institute, US National Academy telah mengatur bahwa batas atas yang
dapat ditolerir asupan iodium orang dewasa sebanyak 1100 μg per hari (Dunn
2002). WHO merekomendasikan bahwa intake sampai 1 mg/hari pada orang
dewasa yang eutiroid masih aman (WHO 1994). Elemental iodium adalah toksik
bila dikonsumsi dalam jumlah yang besar yaitu 2-3 gram (Wikipedia 2007).
Berikut ini adalah contoh efek biokimia akibat pemberian iodium dosis
tinggi. Penelitian distribusi iodium dosis tinggi dengan dosis 150 mg per hari
menurunkan pelepasan hormon T4 dan T3 dalam sirkulasi sehingga hipotalamus
(TRH) merangsang peningkatan kosentrasi TSH. Ketika pemberian tidak
diteruskan pasien kembali eutiroid (Roti & Braverman 1996).
Efek dari asupan iodium yang berlebihan secara terus menerus dapat
menyebabkan
iodine-induced
hyperthyroidism
(IIH)
atau
hipertiroid/tirotoksikosis, iodine-induced hypotiroidism atau hipotiroid, dan
penyakit kanker tiroid (Dunn 2002). Oleh karena itu program iodisasi garam dan
kapsul minyak beriodium di daerah defisiensi iodium memerlukan perhatian. Para
ahli sependapat bahwa pemberian iodium pada daerah yang cukup atau daerah
endemik secara terus menerus dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok,
atau produksi hormon tiroksin berlebihan (hipertiroid), atau terjadi hipotiroid, atau
dapat memicu terjadi respon autoimun, serta penyakit kanker tiroid (Sutanegara
2004).
Mekanisme terjadi hipotiroid akibat kelebihan iodium karena efek WolfChaikoff (Roti & Braverman 1996). Peningkatan pemberian iodida (I-)
meningkatkan inhibisi organifikasi iodida sehingga hormogenesis hormon tiroid
54
menurun diduga disebabkan oleh inhibisi pembangkitan H2O2 oleh kandungan Iintratiroidal yang tinggi.
Mekanisme terjadi hipertiroid atau Iodine Induced Hyperthyroidism (IIH)
yang kadang-kadang disebut dengan Jodbasedow yaitu akibat kelebihan iodium
karena beban iodida yang meningkat terus menerus pada pasien yang sebelumnya
dengan kelenjar tirod yang normal, pasien dengan penyakit Graves atau pada
pasien orang tua atau dewasa dengan goiter multinoduler (Greenspan & Baxter
1994).
Data epidemiologi tentang kasus hipertiroid yang pernah terjadi akibat
pemberian iodium secara terus menerus:
1. Iodisasi garam dengan dosis iodium tinggi
- Di Tasmania fortifikasi roti (5-10th) dengan iodium ditingkatkan menjadi 150
μg. Komplikasi Jodbasedow ditemukan sekitar 0.4% dari populasi 3.319 orang
(IDD Newsletter 1996).
- Di Zaire iodisasi garam selama 2 th dengan dosis iodium 100 ppm.
EIU naik menjadi 200-500 μg/hr; 14% serum TSH tidak terdeteksi ; serum T4
dan T3 naik ada gejala tirotoksikosis.
- Di Zimbabwe garam iodisasi dengan dosis iodium sampai 148 ppm dilaporkan
terjadi tirotoksikosis (Todd et al. 1995).
2. Suplementasi iodium
- Di Sudan orang dewasa yang menderita GAKI mengalami tirotoksikosis
setelah mendapat suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995).
- Pemberian suplemen iodium dosis tinggi pada daerah yang kekurangan
iodium endemik seperti di Brazil dan Spanyol terjadi hipertiroid (Roti &
Braverman 1996).
- Pemberian minyak iodium dilaporkan terjadi tirotoksikosis pada orang dewasa
dan anak sekolah :
Malaysia (8 dari 240 orang orang dewasa) Maberly et al. (1982)
Sudan (4 dari 117 orang orang dewasa) Elnagar et al. (1995)
Sudan (1 dari 2393 anak sekolah) Eltom et al. (1985)
55
Gejala hipertiroid/tirotoksikosis yaitu degup jantung keras, sangat gugup,
lemah, tak tahan panas dan kehilangan berat badan. Kadang-kadang hipertiroid
menjadi berat dan mematikan. Peningkatan hipertiroid diasosiasikan dengan
peningkatan ketersediaan iodium di daerah yang sebelumnya defisiensi iodium.
F. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Vitamin A dan Beta Karoten
Vitamin A merupakan salah satu dari vitamin yang larut dalam lemak.
Penemuannya bermula dari pengamatan McCollum th 1913-1917 pada tikus yang
diberi diit serelia yang mengandung lemak. Kemudian tikus yang diamati
mengalami gangguan pertumbuhan. Ketika pakan tikus ditambah ekstrak kuning
telur, ternyata kesehatannya pulih kembali. Akhirnya dari pengamatannya,
ditemukan ’a fat soluble factor A’ yang terdapat dalam makanan tertentu yang
penting untuk kelangsungan hidup dan untuk pertumbuhan (Underwood 1998;
Day HG 1997).
Istilah vitamin A merujuk kepada retinol (alkohol), retinal (aldehide),
retinoic acid (metabolit retinal) dan vitamin A juga merujuk kepada prekursor
vitamin A (Groff & Gropper 1995). Prekursor vitamin A adalah karotenoid yang
umum adalah beta karoten. Karotenoid lain yang mempunyai aktifitas secara
biologis seperti ß-karoten, adalah α-karoten, γ-karoten dan likopen. Diantara
karoten tersebut, beta karoten yang paling potensial. Dari sekitar 600 karotenoid
yang ada hanya sekitar 50 an dapat dikonversi dan mempunyai aktifitas vitamin
(Berdanier 2000).
Sifat fisik vitamin A dan beta karoten yaitu berwarna kuning, larut dalam
lemak atau pelarut lemak. Selain itu vitamin A dan beta karoten masing-masing
mempunyai bentuk konfigurasi cis dan trans dan masing masing mempunyai
ikatan rangkap. Ikatan rangkap inilah mencirikan adanya sifat antioksidan
(Berdanier 2000).
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh yaitu berperan dalam
sintesa protein, reproduksi, pertumbuhan dan penglihatan (Berdanier 2000). Beta
karoten merupakan prekursor vitamin A di dalam tubuh dan secara in-vitro beta
karoten mempunyai aktifitas sebagai antioksidan.
56
Gambar 7 Vitamin A dan Beta karoten (Brody 1999).
1. Sumber Vitamin A dan Beta Karoten
Retinol bentuk aktif dari vitamin A jarang ditemukan dalam makanan.
Dalam makanan vitamin A ditemukan dalam bentuk retinil ester (retinil palmitat)
yang ditemukan umumnya pada makanan dari hewan seperti kuning telur, hati,
minyak ikan susu dan mentega. (Groof & Grooper 2000).
Dalam pangan nabati, vitamin A dalam bentuk prekursor vitamin A atau
provitamin A. Provitamin A dalam tanaman berupa karotenoid. Makanan yang
kaya karoten adalah buah yang berwarna, sayuran berwarna, wortel, sayuran daun
hijau dan minyak sayuran. Kandungan beta karoten dari bahan makanan bervariasi
tergantung
kondisi pertumbuhan dan penanganan pasca panen dan juga
pencernaan mempengaruhi ketersediaannya (Berdanier 2000).
2. Pencernaan Vitamin A dan Beta Karoten
Bahan makanan yang dikonsumsi yang mengandung vitamin A (sebagai
retinil ester seperti retinil palmitat) dari pangan hewani, provitamin A dalam
57
pangan nabati dan beta karoten elemental (suplemen) mengalami proses
pencernaan dalam tubuh. Di lambung, protein dalam makanan yang dikonsumsi
dihidrolisis oleh ensim pepsin. Pemisahan protein dari retinil ester dan karotenoid
dari bahan makanan berlanjut di usus halus oleh ensim proteolitik dan di pankreas
oleh ensim esterase. Pada saat bersamaan di pankreas, asam lemak (triasilgliserol,
fosfolipid dan kolesterol ester) dihidrolisa juga oleh ensim pakreas. Di usus halus
retinol dan karotenoid dilepas dan larut dalam cairan misel bersama dengan
komponen makanan yang larut lemak. Kemudian cairan misel tersebut berdifusi
melalui lapisan glikoprotein yang mengelilingi microvili dari duodenum dan
jejunum masuk ke enterosit (Groff & Grooper 2000).
Dalam sel mukosa usus dan juga terjadi sedikit di hati, beta-karoten
dikonversi oleh ensim beta karoten 15,15’-dioxygenase menjadi retinal.
Kemudian retinal berikatan dengan cellular retinoid binding protein (CRBP) II
kemudian dikonversi menjadi retinol oleh retinal reductase yang merupakan ensim
NADH/NADPH-dependen. Tidak seluruh beta karoten dikonversi menjadi retinal,
diperkirakan sampai 30% beta karoten meninggalkan usus tanpa oksidasi.
Walaupun retinal interkonversi menjadi retinol, beberapa retinal diperkirakan
dioksidasi menjadi retinoic acid (Groff & Grooper 2000).
Retinol mengalami proses reesterifikasi di enterosit dengan melalui dua
cara yaitu:
1. Melibatkan cellular retinol binding protein (CRBP) II, sintesa tergantung
kepada retinoic acid. CRBP II mengikat retinol dan retinal. Kemudian
CRBP II mereduksi retinal menjadi retinol. CRBP II mengikat retinol
diesterifikasi oleh ensim lechitin retinol acyl transferase (LRAT) untuk
membentuk retinyl palmitat.
2. Cara kedua reesterifikasi melibatkan pengikatan retinol kepada protein sel
yang non spesifik, kemudian reesterifikasi oleh ensim acyl CoA retinol
acyl transferase (ARAT) (Groff & Grooper 2000).
58
Gambar 8 Absorpsi Vitamin A dan Karoten dalam Sel Usus Halus
(Groff & Gropper 2000).
3. Penyerapan Vitamin A dan Karotenoid
Asam retinoat langsung masuk vena porta dan diangkut dalam plasma
berikatan dengan albumin. Retinil palmitat/ester yang terbentuk bersama
sebagian kecil retinol yang tidak diesterfikasi dan karotenoid diserap bergabung
dengan kilomikron yang mengandung kolesterol ester, fosfolipid, triasilgliserol
dan apoprotein. Kemudian kilomikron ini langsung dibawa kedalam limfatik
sistem yang akhirnya masuk kedalam sirkulasi darah (Groff & Gropper 2000).
Kilomikron mengirim retinil ester, beberapa retinol yang tidak diesterifikasi,
karotenoid ke jaringan ekstra hepatik seperti bone marrow, sel darah, ginjal,
adipose tisue, otot, paru-paru, limpa. Kilomikron remnan mengirim retinil ester
dan karotenoid yang tidak ditangkap oleh jaringan tepi ke hati. Karotenoid
59
mencapai hati kemudian mengalami berbagai proses antara lain dipecah menjadi
retinol, bergabung dengan VLDL yang disintesa di hati dan didistribusikan ke
jaringan tubuh atau disimpan di hati (Groff & Grooper 2000)
4. Metabolisme Vitamin A dan Karotenoid
Di dalam sel parenkhim hati, retinil ester dari kilomikron remnan di
hidrolisis menjadi retinol. Retinol mengikat CRBP dan mengalami esterifikasi
menjadi retinil ester yang kemudian diangkut ke sel hati yang disebut sel stellate
(Wake 1994). Retinol disimpan dalam bentuk retinil ester dalam sel stellate.
Sekitar 50-80% vitamin A disimpan di hati (sel stellate) dalam bentuk retinil ester
terutama palmitat. Jaringan adipose juga merupakan tempat penyimpanan untuk
retinol dan beta karoten dari kilomikron (McLaren & Frigg 2001). Dalam keadaan
normal penyimpanan ini cukup untuk beberapa bulan. Sel stellate hati tidak dapat
menerima retinil ester lagi ketika terjadi hipervitaminosis (Groff & Grooper
2000).
Mobilisasi retinol dari hati dan dikirim ke jaringan target dalam bentuk
holo-retinol-binding-protein (holo-RBP). Holo-RBP dibentuk dari retinol dilepas
oleh hidrolase dari bentuk penyimpanan ester dengan 1 molekul RBP. Pada
plasma, holo-RBP juga berinteraksi dengan sebuah molekul transthyretin (TTR)
atau dikenal dengan nama prealbumin yang juga mengikat hormon tiroxin (T4).
Retinol-RBP-TTR komplek bersikulasi dalam plasma dengan masa paruh sekitar
11 jam yang tidak di filter oleh gromelurus. Beberapa jaringan menangkap retinol
dari RBP-TTR komplek termasuk adipose, skeletal muscle, ginjal, sel darah putih
dan bone marrow. Berbeda dengan retinol yang dimobilisasi di hati untuk
diangkut ke jaringan lain, retinoic acid diproduksi dalam jumlah kecil tidak jelas
dimana diproduksi
retinoic acid apakah diusus halus atau dihati. Kosentrasi
retinoic acid dalam plasma rendah. Dalam sitoplasma sel, retinoic acid mengikat
kepada cellular retinoic acid-binding protein (CRABP). CRABP seperti CRBP,
berfungsi untuk mengontrol kosentrasi retinoic acid yang bebas, mencegah
katabolisme dan mengarahkan penggunaan retinoic acid
Grooper 2000).
intrasel. (Groff &
60
Gambar 9 Metabolisme Vitamin A dan RBP di dalam Hati
(Groff & Grooper 2000).
5. Fungsi Gen dan Retinoid (Diferensiasi Sel)
Pada sel retinoic acid bekerja sebagai hormon untuk mempengaruhi ekspresi
gen dan mengontrol perkembangan sel (Groff & Grooper 2000). Retinoic acid
bekerja dengan mengaktifkan reseptor vitamin A pada sel nukleus. Dikenal dua
isomer dari retinoic acid adalah: all trans-retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid.
Peran reseptor vitamin A memediasi kerja vitamin A, mengatur ekspresi gen yang
responsive terhadap vitamin A, mempertahankan kesehatan dan mencegah
penyakit. Dua reseptor nukleus yang dikenal yaitu Retinoic acid reseptor : RARs
(RAR-alpha, RAR-beta dan RAR-gamma) dan Retinoid X reseptor :RXRs (RXRalpha; TXR-beta; dan RXR-gamma). All trans retinoic acid mengaktifkan RARs
dan 9-cis-retinoic acid mengaktifkan RXRs (Blaner 1998). Menurut Olson 1996,
masing-masing reseptor mempunyai 6 domain antara lain yaitu
61
1. aktifasi amino-terminal domain (A/B)
2. pengikatan DNA domain (C)
3. daerah hinge (D)
4. ligand-binding domain (E)
5. carboxy-terminal tail terlibat dalam heterodimer
Gambar 10 Aktifitas Vitamin A di dalam Sel (Blaner 1998).
Aktifitas vitamin A dalam sel melalui kerja retinoic acid mengaktifkan
vitamin A pada sel nukleus baik RARs atau RXRs. Retinoic acid hanya mengikat
pada RAR reseptor sedangkan 9-cis retinoic acid hanya mengikat RXRs. Nuclear
reseptor mengikat elemen yang respon dalam gen spesifik untuk meningkatkan
atau menurunkan tingkat ekspresi gen. Elemen respon adalah nucleotide
sequences (dalam DNA yang membangun gen). Disimpulkan bahwa vitamin A
melalui aksi trans dan 9-cis-retinoic acid adalah regulator sangat penting dari
transkripsi seperti ditunjukkan dalam gambar 10 (McLaren & Martin 2001;
Blanner 1998).
6. Ekskresi Vitamin A dan Karotenoid
Produk oksidasi vitamin A terkonyugasi dengan glucoronida dan
dikeluarkan sebagai komponen dari asam empedu. Melalui proses tersebut,
62
sejumlah 70% vitamin A hilang. Metabolit karoten juga terbawa dalam asam
empedu untuk diekskresikan. Sisa 30% vitamin A metabolites dikeluarkan melalui
urin (Wildman & Medeiros 2000).
7. Kecukupan, Kebutuhan dan Toksisitas Vitamin A dan Beta Karoten
Kecukupan vitamin A untuk wanita hamil 370 μg RE dan tingkat asupan
yang aman vitamin A yang di rekomendasi 800 μg RE (retinol ekivalent) (Muhilal
& Sulaeman 2004b). Kekurangan vitamin A terbanyak ditemukan pada balita di
negara berkembang. Tanda-tanda kekurangan pada balita yaitu gangguan
pertumbuhan, keratinisasi sel epitel, xeropthalmia dan bahkan penyebab kebutaan.
Tanda sub klinis balita dinegara berkembang banyak mengalami kadar plasma
vitamin A dibawah normal.
Asupan vitamin A berlebihan terutama dari suplemen dapat menimbulkan
keracunan tingkat akut, kronik maupun teratogenik. Keracunan tingkat akut bila
asupan vitamin A dosis sangat tinggi, biasanya > 100 kali Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan pada orang dewasa. Keracunan tingkat kronis yang lebih
umum terjadi, karena asupan vitamin A dengan dosis ≤ 10 kali AKG dan berulang
kali dikonsumsi dalam jangka waktu mingguan bahkan tahunan. Gejala awal
keracunan yang muncul mual, muntah-muntah, pusing, vertigo dan pada tingkat
kronik timbul kulit kering dan gatal, hepatomegali.
Pada ibu hamil asupan
vitamin A berlebihan dikhawatirkan menimbulkan keracunan teratogenik. Efek
teratogenik yang ditimbulkan yaitu kelainan pertumbuhan janin, aborsi, lahir cacat
dan melahirkan keturunan cacat mental yang permanen. Dosis yang aman
disarankan IVACG pada ibu hamil agar tidak terjadi efek teratogenik adalah
asupan vitamin A sampai dengan 10.000 IU (3000 μg RE) per hari atau sampai
dengan 25.000 IU (8500 μg RE) per minggu (Olson 1996; IVACG 1999).
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi karotenoid baik dari makanan maupun
suplemen dibuktikan tidak memberikan efek teratogenik (Hatcock et al. 1990;
Bendich 1988).
63
8. Konversi Vitamin A dan Karotenoid Lainnya
Istilah dari “retinol activity equivalent” (RAE) dikenalkan oleh Institute of
Medicine (IOM) untuk mengganti “retinol equivalent” (RE) yang digunakan oleh
FAO/WHO (1988). Penggantian didasarkan atas penelitian bioefikasi karotenoid.
Bioefikasinya diperkirakan lebih rendah pada populasi di negara berkembang.
Revisi konversi vitamin A dan karotenoid menurut International Vitamin A
Consultative Group (IVACG 2002) adalah sebagai berikut :
Tabel 7 Konversi Vitamin A dan Karotenoid
Retinol Activity Equivalent (RAE)
1 μg RAE
Commonly Used Units
= 1 RE of retinol (vitamin A)
1 μg retinol (vitamin A)
2 μg β-carotene dalam minyak (suplemen)
12 μg β-carotene dari bahan makanan
24 μg provitamin A karotenoid lain dalam
bahan makanan
3.33 IU vitamin A aktif dari retinol
Sumber: IVACG (2002)
9. Beberapa Penelitian Tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten
Penelitian tentang suplemen vitamin A dan beta karoten yang diberikan
pada ibu hamil di Nepal dilaporkan oleh Katz (2000) dan West (1999). Hasil
temuan kedua penelitian tersebut yaitu baik vitamin A maupun beta karoten
efektif dalam menurunkan angka kematian ibu (maternal mortality). Vitamin A
diketahui mempunyai efek teratogenik. Namun dalam dua penelitian tersebut
dosis vitamin A yang diberikan sebesar 7000 μg retinol ekivalen setara dengan
23310 IU per minggu masih merupakan dosis aman yang disarankan oleh IVACG
(IVACG 1999). Dosis beta karoten yang diberikan per minggu sebesar 42 mg dan
beta karoten tidak mempunyai efek teratogenik.
64
Tabel 8 Penelitian tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten pada Ibu Hamil
Penelitian /
Lokasi
Dosis dan
Lama intervenís
Desain penelitian/
Jumlah sampel
Hasil penelitian dan
kesimpulan
Katz .2000
Nepal
Retinol 7000 μg
per minggu
Randomized
Cluster Trial
Dari 43559 WUS; 17373 hamil;
bayi lahir 15987.
Beta karoten
42 mg
per minggu
Ada 3 grup
(n=43559)
- retinol 7000 μg
per minggu
ekivalen dengan
retinyl palmitat
(vitamin A)
- all-trans β- karoten
42 mg per minggu
- placebo
Fetal loss dari :
-grup placebo
92.0/1000 kehamilan
-RR grup retinol
RR 1.06 (95%
CL:0.91,1.25)
-grup beta karoten
RR 1,03 (95% CL:0.87,1.19)
West 1999
Nepal
Vitamin A (7000
μg retinol
ekivalen)
per minggu
β-karoten 42 mg
(ekivalen dengan
7000 μg retinol)
per minggu
Lama intervensi:
3 ½ th
Double blind,
cluster randomized
dari
44646 WUS
22189 ibu hamil
Ada 3 grup:
- plasebo
- vitamin A (7000
μg retinol)
-Beta karoten 42 mg
Mortalitas bayi 6 bulan:
grup placebo
70.8/1000 kelahiran
grup retinol
RR: 1.05 (95% CL:0.87,1.25)
grup beta karoten
RR 1.03 (95% CL:0.86,1.22)
Kesimpulan: dosis retinol atau
beta karoten untuk WUS pra
konsepsi, hamil dan 6 bln
postpartum tidak memperbaiki
fetal/ infant survival
Mortality selama hamil
(per 100.000 kehamilan)
- 704; 426; 361 untuk placebo;
vitamin A; beta karoten
- RR vit A 0,60
(95% CL; 0.37-0.97)
- RR karoten 0,51
(95% CL; 0.30-0.86)
- penurunan vitamin A 40%
(p<0.04)
- penurunan 49% (p<0.01)
- vitamin A dan beta karoten
dapat menurunkan mortalitas
44% dan ratio maternal
mortality turun dari 645
menjadi 385 kematian per
100.000 kelahiran
Kesimpulan: suplementasi
WUS dengan vitamin A/ beta
karoten menurunkan maternal
mortalitas
Download