23 Voice of America Bahasa Indonesia. Rusia Harapkan

advertisement
BAB III
UNI EROPA DAN DINAMIKA HUBUNGAN RUSIA DAN GEORGIA
A. Uni Eropa
Uni Eropa merupakan sebuah organisasi internasional yang tidak
hanya merupakan wadah dari negara-negara yang berdekatan secara geografis.
Selain merupakan sebuah organisasi regional, Uni Eropa dikenal sebagai
organisasi yang menuju pada lembaga supranasional yang memiliki
legimitimasi kuat untuk mengatur negara-negara anggotanya. Sejarah panjang
pembentukan Uni Eropa dimulai dari pembentukan European Coal and Steel
Community (ECSC), European Economic Community (EEC) dan European
Atomic Community (Euratom). Ketiganya kemudian melalui proses dan
tahapan sehingga membentuk Uni Eropa seperti saat ini.
Uni Eropa sampai saat ini beranggotakan 27 negara. Keunikannya
adalah setiap negara anggotanya memiliki independensi tetapi tetap tunduk
pada keputusan-keputusan Uni Eropa. Beberapa peristiwa bersejarah dan
penting yang dilalui oleh Uni Eropa dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Tahun dan Sejarah Uni Eropa
1952
1958
Belgia, Perancis, Jerman Barat, Itali, Luxemburg, dan
Belanda membentuk European Coal and Steel
Community
Traktat Roma sebagai dasar berdirinya European
Economic Community termasuk juga Euratom
1
1973
1979
1981
1985
1986
1987
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
2001
Inggris, Irlandia, Denmark bergabung dengan EC
Parlemen Eropa terbentuk serta beroperasinya
European Monetary System (EMS)
Yunani menjadi negara anggota ke sepuluh
Program menyempurnakan pasar tunggal sebelum
tahun 1992
Spanyol dan Portugal menjadi negara anggota ke
sebelas dan ke duabelas
Single European Act (SEA) memutuskan sebuah
legislasi pasar tunggal dan memperluas kekuasaan
parlemen Eropa
The Madrid European Council meluncurkan rencana
pencapaian sebuah kesatuan ekonomi dan moneter
(economic and monetary union)
Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu
Dua konferensi paralel antarpemerintah yang
menghasilkan traktat Uni Eropa di Maastricht dan
pemimpin Uni Eropa mengesahkan Maastricht
European Council
Traktat Uni Eropa ditandatangani di Maastricht dan
dikirimkan ke negara anggota untuk diratifikasi,
referendum pertama di Denmark menolak usulan
tersebut.
Pasar tunggal mulai berlaku sejak 1 Januari. Pada
bulan Mei, referendum kedua di Denmark meratifikasi
Traktat Maastricht dan mulai berlaku secara efektif
pada bulan November.
Uni Eropa dan tujuh negara anggota EFTA dari
European Economic Area, menjadi pasar tunggal di
sembilan belas negara. Melalui negosiasi, UE
melengkapi keanggotaannya, Austria, Finlandia,
Norwegia, dan Swedia
Austria, Finlandia, dan Swedia bergabung dengan UE
pada 1 Januari.
Traktat Nice merupakan
antarpemerintah tahun 2000
hasil
dari
konferensi
Sumber: diolah dari Ade Maman Suherman, 2003. Organisasi Internasional dan Integrasi
Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi
2
Beberapa poin menjadi syarat yang diterapkan oleh Uni Eropa ketika
sebuah negara ingin menjadi anggotanya, antara lain yaitu: memiliki
demokrasi yang stabil yang menjamin supremasi atau kepastian hukum,
adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan kaum
minoritas, memiliki ekonomi pasar terbuka, dan menerapkan administrasi
publiknya berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa.
Uni Eropa dalam menjalankan tugasnya terdiri atas struktur organisasi
atau badan-badan utama sebagai berikut:
1. European Commission atau Komisi Eropa, merupakan badan eksekutif
dari Uni Eropa yang bersifat independen dan bertugas membuat rancangan
undang-undang, selain itu komisi merepresentasikan Uni Eropa secara
global, dalam hal ini contohnya adalah menegosiasikan persetujuan antara
Uni Eropa dengan negara lain.1
2. European Parliament atau Parlemen Eropa, anggotanya dipilih setiap lima
tahun sekali. Parlemen Eropa ini memiliki kekuasaan legislasi dan
memiliki kewenangan untuk menentukan anggaran Dewan Eropa serta
dapat merubah ataupun menolaknya.
1
European Union. European Comission: Purpose,
http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/european-commission/index_en.htm,
pada 3 Februari 2013
diakses
3
3. European Council atau Dewan Uni Eropa, bertugas sebagai badan
representatif keluar pada isu-isu keamanan.2 Selain itu berbagi tugas dan
tanggung jawab dengan parlemen dalam menyetujui undang-undang,
dengan komisi mengatur prioritas dan tujuan Uni Eropa secara umum.
4. European Court of Justice, merupakan mahkamah Eropa yang bertugas
menentukan aturan-aturan yang tidak sesuai dengan Traktat Roma.
5. The Council of Ministers, memungkinkan pemerintahan dari negara
anggota ikut serta dalam pengambilan keputusan di Uni Eropa.
6. The European Central Bank atau Bank Sentral Eropa, berperan sebagai
pengendali “eurosystem” yaitu sistem mata uang tunggal Eropa.
Uni Eropa sebagai lembaga supranasional yang merupakan organisasi
antar pemerintah memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk mempengaruhi
kondisi politik dari negara-negara anggotanya. Tidak diragukan lagi bahwa
Uni Eropa merupakan organisasi yang paling berpengaruh di kawasan Eropa.
Hal ini terlihat bahwa tidak hanya terbatas pada negara-negara anggotanya,
Uni Eropa memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap negara-negara lain
di kawasannya yang bukan merupakan anggotanya. Tujuan Uni Eropa untuk
menciptakan kemajuan perkembangan politik dan ekonomi bagi negara
2
European Union. EU Presidents: who does what ?,
http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/eupresidents/index_en.htm,
Februari 2013
diakses
pada
3
4
anggotanya untuk mencapai pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan,
menjadi tanggung jawab yang cukup besar bagi organisasi tersebut.
Uni Eropa memiliki kelebihan yaitu mampu menarik negara-negara di
kawasan Eropa untuk ingin bergabung dalam organisasi ini. Hard power yang
dimiliki Uni Eropa yaitu merupakan tindakan nyata yang memaksa dan
memiliki sanksi dalam penegakan hukum atau aturannya, sedangkan soft
power nya adalah hal tidak terlihat secara nyata tapi sifatnya mengikat
anggota Uni Eropa yaitu adanya ideologi dan kebudayaan yang sama. Contoh
yang terlihat misalnya Turki yang menginginkan keanggotaan Uni Eropa.
Turki memandang Uni Eropa sebagai sebuah kekuatan yang besar dan akan
membawa dampak positif jika menjadi anggotanya. Sebagai sebuah organisasi
internasional, tentunya Uni Eropa tidak akan berdiam diri menyaksikan
konflik-konflik yang terjadi di sekitarnya baik pada level regionalnya,
maupun global.
Uni Eropa menjalin hubungan diplomatik dengan hampir semua
negara di dunia. Uni Eropa memiliki kemitraan strategis dengan para aktor
utama di internasional, memiliki hubungan baik dengan negara-negara
berkembang di seluruh dunia, dan telah menandatangani perjanjian kerjasama
bilateral dengan sejumlah negara di sekitarnya. Di luar negeri, Uni Eropa
diwakili oleh suatu jaringan yang terdiri dari 136 Delegasi Uni Eropa, yang
memiliki fungsi yang serupa dengan kedutaan besar. Berikut ini adalah
beberapa contoh yang mengilustrasikan apa yang dilakukan oleh Uni Eropa di
5
seluruh dunia, untuk melindungi kepentingan Eropa dan mempromosikan
nilai-nilainya:3
1. Uni Eropa memberi dukungan stabilitas di negara-negara Balkan. Proyekproyek bantuan di tujuh negara mendapatkan bantuan dana dari Uni Eropa
untuk membantu pembangunan masyarakat yang stabil. Di Kosovo, Uni
Eropa menurunkan pasukan peradilan dan polisi berkekuatan 1900
personil untuk membantu menegakkan aturan hukum. Negara-negara di
bagian barat Balkan telah menjadi kandidat atau calon kandidat anggota
Uni Eropa sebagai bagian dari kebijakan perluasannya.
2. Uni Eropa adalah anggota dari Kuartet, bersama dengan PBB, Amerika
Serikat dan Rusia, yang berupaya untuk mendorong terciptanya
perdamaian
di Timur
Tengah.
Penyelesaian
konflik
Arab-Israel
merupakan prioritas strategis bagi Eropa. Tujuan Uni Eropa adalah solusi
dua negara di mana Negara Palestina yang merdeka, demokratis dan
berkesinambungan hidup berdampingan dengan Israel dan negara-negara
tetangga lainnya.
3. Uni Eropa menawarkan kepada negara-negara tetangganya suatu
hubungan
istimewa
yang
disusun
dalam Kebijakan
Kawasan
Eropa (European Neighbourhood Policy). Kebijakan ini dirancang untuk
3
Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN. Apa Kegiatan Kami?,
http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/, diakses pada 2 Februari 2013
6
memperkuat kesejahteraan, keamanan dan stabilitas semua mitra dan
menghindari timbulnya garis pemisah baru antara Uni Eropa yang telah
diperluas dengan negara-negara di kawasan Mediterania selatan, Eropa
Timur dan Kaukasus Selatan.
4. Uni
Eropa
turut
serta
dalam
perundingan
Protokol
Kyoto
tentang Perubahan Iklim dan, dengan meluncurkan suatu agenda domestik
untuk karbon rendah yang mungkin merupakan yang paling canggih dan
paling maju di dunia, terus menjadi pelaku penting terkait isu ini, sehingga
berperan besar dalam mendorong suatu agenda yang ambisius untuk
perubahan. Uni Eropa memusatkan perhatiannya pada upaya untuk
membangun suatu koalisi untuk suatu kesepakatan yang mengikat secara
hukum tentang perubahan iklim.
5. Uni Eropa menjalin kerjasama erat dengan Perserikatan BangsaBangsa dalam
berbagai
masalah.
Keyakinan
Uni
Eropa
tentang
multilateralisme mencerminkan keterikatan dengan peraturan mengikat
berdasarkan perundingan dalam hubungan internasional, dan secara tegas
dituangkan dalam Traktat Lisabon. Apabila memungkinkan, Uni Eropa
berupaya untuk menggantikan atau menurunkan kadar politik kekuasaan
dengan aturan-aturan dan norma-norma, sehingga membuat hubungan
internasional lebih serupa dengan tatanan domestik: lebih damai dan
terkirakan.
7
6. Uni Eropa menjalankan misi-misi militer, politik atau sipil untuk
membantu dalam upaya membangun dan menjaga perdamaian di sejumlah
negara di Eropa, Afrika dan kawasan lain, seperti di Afghanistan.
7. Uni Eropa berkomitmen terhadap hak asasi manusia dan berupaya untuk
memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati di seluruh dunia. Uni
Eropa telah menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu aspek sentral dari
hubungan luar negerinya: dalam dialog-dialog politik yang dilakukannya
dengan negara-negara yang bukan anggota Uni Eropa melalui kebijakan
pembangunan dan bantuannya atau melalui tindakannya dalam forumforum multilateral, seperti PBB.
8. Uni Eropa bertindak sebagai pelaku tunggal dalam perdagangan luar
negeri dan mendukung prinsip-prinsip perdagangan internasional yang
bebas dan adil. Berhubung Uni Eropa bernegosiasi dengan satu suara, Uni
Eropa dapat memberikan pengaruh yang nyata. Secara bersama-sama, 27
negara anggota Uni Eropa menguasai 19 persen dari ekspor dan impor
dunia. Karena norma-norma teknisnya dipergunakan secara luas di seluruh
dunia, Uni Eropa seringkali menentukan aturan perdebatan.
9. Uni Eropa mendukung pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara
mitranya, dan siap untuk membantu apabila negara-negara tersebut
mengalami bencana. Secara bersama-sama, Uni Eropa dan negara-negara
anggotanya merupakan donor terbesar di dunia untuk pembangunan dan
8
bantuan kemanusiaan. Kontribusinya mencapai 60 persen dari bantuan
pembangunan resmi di dunia.
10. Uni Eropa siap menghadapi tantangan untuk mengelola isu-isu ekonomi
dan keuangan internasional, misalnya dalam konteks G-20. Uni Eropa
memberi kontribusi untuk upaya yang sedang berlangsung untuk
mereformasi lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank
Dunia dan IMF serta mengatur ulang sektor keuangan internasional. Mata
uang bersama, yaitu euro, memberikan pengaruh tambahan atas wilayah
euro dan Bank Sentral Eropa.
Upaya untuk menjadi penengah dalam konflik yang terjadi antara
Rusia dan Georgia, bukan merupakan satu-satunya yang pernah dilakukan.
Uni Eropa juga berperan dalam beberapa konflik seperti konflik antara Serbia
dan Kosovo, Bosnia-Herzegovina, serta konflik separatisme Transnistria
Moldova. Konflik yang terjadi di Moldova, misalnya merupakan bentuk lain
dari konflik yang terjadi di negara tetangga Uni Eropa.
Moldova adalah negara yang terletak di wilayah Eropa Timur,
tepatnya di sebelah timur laut Rumania. Pada mulanya, Moldova merupakan
bagian dari Rumania. Moldova kemudian bergabung dengan Uni Soviet
ketika akhir Perang Dunia II, hingga akhirnya memutuskan untuk melepaskan
diri dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada Agustus 1991. Namun sejak
tahun 1989, muncul konflik separatisme yang dilakukan oleh gerakan yang
9
menamakan diri mereka Pridnestrovian Moldavian Soviet Socialist Republic,
yang tempat tinggalnya di wilayah Transnistrian, wilayah ini terletak di antara
sungai Dniester dan perbatasan Ukraina. PMR (Pridnestrovian Moldavian
Republic) adalah pemerintahan di daerah pecahan Transnistria yang
kekuasaannya tidak diakui oleh pemerintah Moldova. Uni Eropa meyakini
bahwa PMR diuntungkan dengan adanya transaksi ilegal, baik senjata maupun
barang-barang lainnya yang diperjualbelikan secara gelap, selama konflik
berlangsung. Oleh karena itu pada tahun 2004 Uni Eropa menjalankan
prosedur double check terhadap impor baja dari Moldova, yang bertujuan
untuk menekan eksplorasi pertambangan di Transnistria oleh PMR. Kemudian
impor baja dari wilayah tersebut tidak akan diterima oleh Uni Eropa tanpa ada
persetujuan dan pengakuan dari pemerintah Moldova.
Penyebab munculnya gerakan ini adalah kekhawatiran minoritas yang
berbahasa Rusia atas kebijakan pemerintah Moldova menjadikan bahasa
Rumania sebagai bahasa utama. Mereka menaruh curiga bahwa pemerintah
sedang berupaya untuk bergabung kembali dengan Rumania dan memilih
untuk mendeklarasikan wilayah Transnistria dengan nama Pridnestrovian
Moldavian Republic (PMR). Konflik ini juga menarik perhatian PBB dan
melibatkan banyak pihak lainnya, seperti Ukraina, Rusia, dan Organization
for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Permasalahan konflik ini
tidak kunjung selesai dan perundingan menemui jalan buntu. Pada tahun
2005, pemerintah Moldova meminta bantuan Uni Eropa untuk menyelesaikan
10
konflik yang telah menahun ini. Menanggapi permintaan Moldova, European
Council mengirimkan perwakilan khusus Uni Eropa di Moldova.
Uni Eropa sendiri mulai memperlihatkan kebijakan luar negeri
terhadap kasus Transnistria pada tahun 2002, di mana sejak saat itu, isu
konflik tersebut seringkali diangkat saat berhubungan dengan Rusia dengan
Ukraina. Resolusi konflik di wilayah tersebut menjadi perhatian Uni Eropa
karena dianggap sebagai sebuah penyelesaian hambatan bagi EU Enlargement
Vision yang terdapat di dalam EU Commission Paper yang ditujukan kepada
Moldova di tahun 2002. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bagaimana konflik
tersebut tidak melibatkan tindak kekerasan terorisme atau perusakan
lingkungan, akan tetapi lemahnya pemerintahan Moldova dianggap sebagai
penyebab tidak selesainya konflik Transnistria. Pada tahun 2003, Uni Eropa
dan NATO di bawah Amerika Serikat menjadi pihak ketiga yang ditunjuk
langsung oleh Moldova dalam mediasi resolusi konflik tersebut.4 Uni Eropa
selanjutnya melakukan berbagai upaya, termasuk bekerjasama dengan
Amerika Serikat guna menjadi observer dan membentuk EU Border
Assistance Mission (EUBAM) di wilayah tersebut.5
4
Nicu Popescu. The EU in Moldova-Settling Conflicts in the Neighborhood. 2005, hal.9,
http://www.iss.europa.eu/uploads/media/occ60.pdf, diakses pada 4 Februari 2013
5
Daria Isachenko, 2010. The EU Border Mission at Work Around Transdniestria: a win-win case?,
Societes Politiques Comparees, hal. 2
11
Pada Maret 2005, Uni Eropa akhirnya mengirimkan perwakilan
melalui mekanisme European Union Special Representatives (EUSR).6 Uni
Eropa memiliki kepentingan untuk memenuhi tujuannya yaitu menstabilkan,
mengamankan, memakmurkan, dan menciptakan iklim atau lingkungan yang
demokratis. Dalam upayanya untuk menciptakan hal tersebut, maka Uni
Eropa harus membuat perjanjian Common Foreign and Security Policy
(CFSP) yang lebih mengikat dan lebih kuat. Berkontribusi dalam resolusi
konflik di dalam ruang lingkup Uni Eropa adalah kunci untuk mencapai
tujuan-tujuan Uni Eropa.
B. Hubungan Rusia dan Georgia
Ossetia Selatan dan Abkhazia merupakan wilayah yang terletak di
Georgia yang etnisnya mayoritas berbeda dengan orang asli Georgia. Secara
etnis, Ossetia Selatan dan Georgia sangat berbeda dari sejarah dan bahasa.
Bahasa Ossetia Selatan berasal dari Indo-Eropa Iran, sedangkan Abkhazia
termasuk kelompok bahasa Kaukasus Barat Laut. Budaya kedua wilayah ini
berinteraksi secara langsung dengan etnis Georgia.7 Perbedaan ini membuat
keduanya ingin melepaskan diri dari Georgia, khususnya Ossetia Selatan ingin
bergabung dengan Ossetia Utara yang merupakan bagian dari Rusia.
Saat perang dingin berlangsung, Ossetia Selatan adalah bagian dari
Georgia. Akan tetapi ketika perang dingin selesai, Ossetia Selatan ingin
6
Ibid
Paula Garb, 2009. The View from Abkhazia of South Ossetia Ablaze. Central Asian Survey Vol. 28
No.2, Routledge, hal. 235-246
7
12
memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun 1991 dan awal tahun 1992 Georgia
harus mengambil tindakan offensive melawan gerakan pemberontakan Ossetia
Selatan. Pada tahun selanjutnya, 1993 hal serupa dilakukan Georgia untuk
mempertahankan integritasnya karena wilayah lainnya, yaitu Abkhazia juga
ingin memisahkan diri.8
1. Sebelum Konflik di Ossetia Selatan 2008
Rusia dan Georgia merupakan dua negara yang berbatasan darat secara
langsung. Kedua negara ini dulunya adalah bagian dari Union of Soviet
Socialist Republic (USSR) atau yang dikenal dengan Uni Soviet. Setelah
bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, Georgia menyatakan kemerdekaannya
dan kemudian lebih dikenal sebagai negara di kawasan Kaukasus Selatan,
bersama dengan Armenia dan Azerbaijan. Fakta bahwa dulunya sama-sama
merupakan negara anggota Uni Soviet menjadikan Rusia tetap menjaga
hubungan yang baik dengan Georgia. Bagi Rusia, Georgia memiliki arti
penting dan masih tetap dianggap sebagai bagian dari wilayah kesatuan Rusia
karena adanya kedekatan historis maupun kultural.
Kawasan Kaukasus dapat dikatakan sulit untuk dipisahkan dari strategi
keamanan Rusia. Secara umum, Rusia berkepentingan untuk menjaga
keutuhan wilayahnya di bagian selatan yang menjadi perbatasan (Dagestan,
Chechnya, dan Ossetia Utara). Hal ini berkaitan dan sejalan dengan kebijakan
8
Charles King, 2008. The Five-Day War, Foreign Affairs vol 87 number 6, November-December
2008, hal. 2-11
13
luar negeri Rusia terhadap negara-negara di kawasan tersebut yaitu Georgia,
Armenia, dan Azerbaijan. Rusia akan selalu mengambil langkah tegas karena
pentingnya posisi Kaukasus yang di dalamnya sudah termasuk Georgia,
Ossetia Selatan, dan Abkhazia. Apa yang dilakukan oleh Rusia tidak terlepas
dari kekhawatiran akan menguatnya pengaruh pro-Amerika melalui beberapa
peluang yang diciptakan, seperti dukungan finansial pada masa-masa
perubahan kepemimpinan di Georgia. Medvedev, presiden Rusia saat itu
menyebutkan pentingnya hubungan dengan “negara-negara dekat” yang
memiliki kaitan historis-kultural yang kuat dan perlunya memperhatikan
kawasan ini.9
Pasca runtuhnya Uni Soviet, Rusia berusaha untuk tetap menjalin
hubungan baik dengan negara-negara bekas pecahannya termasuk Georgia.
Kerjasama yang ingin dijalin oleh Rusia dengan negara-negara pecahan Uni
Soviet dibuktikan dengan pembentukan Commenwealth of Independendent
States (CIS). CIS merupakan bentuk kerjasama negara-negara bekas anggota
Uni Soviet. Organisasi ini dibentuk pada Desember tahun 1991, CIS
diharapkan dapat menjadi kelanjutan dari USSR. Georgia sendiri bergabung
dua tahun kemudian pada Desember 1993. Hubungan antara Rusia dan
Georgia pada saat itu masih terbilang cukup baik. Selain keduanya merupakan
9
A. Fahrurodji, 2008. Konflik Ossetia Selatan dan Strategi Keamanan Rusia di Kawasan
Kaukasus,Glasnost vol.4 no.2, Oktober 2008-Maret 2009, hal. 25-26
14
anggota CIS, hal ini terlihat dari awal mula keterlibatan Rusia dalam konflik
ini adalah sebagai mediator.
Rusia membantu dalam upaya penyelesaian konflik kedua wilayah
yang ingin memisahkan diri dari Georgia tersebut dengan tujuan agar tidak
terjadi perang kembali.10 Hal ini terlihat dari usaha yang dilakukan Rusia pada
Juni 1992 untuk mengontrol perjanjian gencatan senjata antara Georgia dan
Ossetia Selatan, serta adanya perjanjian tambahan pada Juli 1992 mengenai
bersama-sama membentuk Joint Control Commision (JCC) atau Komisi
Pengawasan Bersama yang bertujuan menjaga stabilitas kawasan serta
mengawasi perdamaian di antara kedua kubu yang berkonflik. Selain itu, pada
tahun 1994 Rusia menjadi pasukan perdamaian untuk mencegah kontak
bersenjata kembali antara Georgia dan Abkhazia yang sedang gencatan
senjata.11
Pada masa itu Georgia berada di posisi percaya pada Rusia sebagai
mediatornya dalam penyelesaian konflik ini. Bahkan presiden Georgia yang
menjabat saat itu, Eduard Shevardnadze setuju untu memperbanyak pasukan
Rusia yang ditempatkan di wilayah perbatasan untuk menjaga keamanan dan
menandatangani perjanjian yang isinya mempertahankan empat basis militer
Rusia di Georgia selama 40 tahun. Georgia dan Rusia menandatangani
10
Robert Nalbandov, 2009. The Battle of Two Logics : Appropriateness And Consequentiality in
Russian Interventions in Georgia, Caucasian Review of International Affairs vol. 3 (1),
Winter 2009, hal 20-35
11
Cory Welt, 2009. Balancing the Balancer : Russia, the West, and Conflict Resolution in Georgia,
Global Dialogue, Summer 2009, hal. 22-36
15
perjanjian Treaty of Friendship, Neighbourlines, and Cooperation. Jadi apa
yang terlihat pada waktu itu adalah Rusia berperan cukup besar sebagai
mediator maupun penjaga keamanan dalam upaya penyelesaian konflik
Georgia, Ossetia Selatan, dan Abkhazia. Tetapi konflik antara Georgia dan
Ossetia Selatan ini tidak terselesaikan juga. Pada tahun 1998 konflik kembali
terjadi antara Georgia dan Abkhazia, upaya Rusia yang terlibat sebagai
mediator tidak menghasilkan perdamaian bagi Georgia, Ossetia Selatan, dan
Abkhazia. Melihat kegagalan dari upaya Rusia ini, Shevardnadze mulai
mengambil tindakan sendiri dan membuat strategi baru untuk kelangsungan
hubungan Georgia dengan Ossetia Selatan maupun Abkhazia.
Pada akhir tahun 1990-an, Georgia bersama dengan Azerbaijan dan
Uzbekistan menolak untuk memperbaharui keanggotan mereka dalam CIS
Collective Security Treaty. Georgia menginginkan untuk mengganti pasukan
Rusia yang telah ditempatkan di daerah perbatasan konflik dengan tentaranya
sendiri. Selain itu Georgia juga membatalkan pendirian basis pertahanan
pasukan Rusia dalam jangka panjang. Langkah-langkah yang ditempuh oleh
Georgia menunjukkan bahwa Georgia ingin menjaga jarak dari Rusia.
Georgia mulai terlihat aktif menjalin hubungan kerjasama dengan
Amerika Serikat dan Eropa di bidang keamanan dan energi. Georgia
menyampaikan keinginannya untuk menjadi anggota NATO, seperti yang
telah disampaikan pasca Perang Dingin. Selanjutnya pada tahun 2001 Georgia
menginginkan Rusia untuk menarik pasukannya dari Tbilisi dan Abkhazia. Di
16
sisi lain, mulai terlihat adanya dukungan dari Rusia terhadap Ossetia Selatan
dan Abkhazia agar mendapatkan pengakuan sebagai wilayah yang merdeka.
Perubahan sikap Georgia semakin jelas terlihat ketika terjadi
pergantian pemimpin dari Shevardnandze ke Mikhail Saakashvili pada tahun
2003.
Saakashvili
dikenal
sebagai
pemimpin
yang
mengarahkan
kepemimpinannya ke negara-negara barat. Ia mencanangkan pembangunan
Georgia dengan reformasi ekonomi liberal dan kampanye pemerintahan antikorupsi serta memberantas kriminalitas. Selain itu Saakashvili juga
menyatakan keinginannya untuk menyatukan kembali Ossetia Selatan dan
Abkhazia pada Georgia.12 Pada tahun 2004 Georgia menolak tawaran Rusia
untuk menandatangani A-Good-Neighbor Treaty dan lebih cenderung memilih
Amerika Serikat untuk membantunya.
2. Kronologi Konflik Rusia dan Georgia di Ossetia Selatan 2008
Konflik yang terjadi antara Rusia dan Georgia mencapai puncaknya
pada bulan Agustus tahun 2008. Serangan Rusia ke Georgia pada Agustus
2008 sangat mengagetkan dunia internasional yang saat itu perhatian mereka
terfokus pada pembukaan Olimpiade di Beijing.13 Dalam beberapa hari perang
terus berlanjut antara Rusia yang menyerang pasukan Georgia di Ossetia
Selatan. Rusia kemudian mengumumkan pengakuannya atas kemerdekaan
12
Alexander Cooley, 2009. Western Values as Power Politics: The Struggle for Mastery in Eurasia,
Global Dialogue, Winter 2009, hal. 82-91
13
Jeffrey Mankoff, Russian Foreign Policy : The Return of Great Power Politics, (UK : Rowman &
Littlefield Publishers Inc, 2009), hal.1
17
Ossetia Selatan serta Abkhazia walaupun di sisi lain banyak mendapat protes
dari negara-negara barat.
Awal mula konflik bersenjata mulai terlihat pada awal Agustus, pada
malam tanggal 1 Agustus militer Georgia terlibat pertempuran dengan
pasukan
Ossetia
Selatan.
Georgia
berusaha
untuk
mempertahankan
wilayahnya, dimana Ossetia Selatan sendiri ingin memisahkan diri dari
Georgia. Masing-masing pihak saling menuduh, dan menolak untuk mengakui
siapa yang memulai serangan. Georgia mengklaim bahwa kelompok separatis
Ossetia Selatan melanggar kesepakatan gencatan senjata. Saling menyerang
ini mengakibatkan kematian enam orang dari pihak Ossetia Selatan dan
melukai 22 orang lainnya, diakibatkan senjata yang digunakan oleh tentara
Georgia.14 Hal ini menyebabkan pemimpin Ossetia Selatan memerintahkan
masyarakat untuk mengungsi demi menghindari kekerasan yang terjadi.
Pengungsi kemudian diarahkan ke Ossetia Utara, yang merupakan bagian dari
Rusia.
Melihat keadaan tersebut, Rusia pada tanggal 5 Agustus menyatakan
akan turun tangan dalam konflik ini dengan mengirimkan sukarelawannya ke
Ossetia Selatan. Sukarelawan kemudian mulai diberangkatkan dari Ossetia
Utara. Semenjak awal mula konflik, warga Ossetia Selatan yang di antaranya
merupakan orang Rusia meminta perlindungan pada militer Rusia. Titik
14
Civil.ge. Six Die in South Ossetia Shootout, http://www.civil.ge/eng/article.php?id=18871, diakses
pada 2 Februari 2013
18
puncak peperangan tepatnya terjadi pada 7 Agustus 2008, saat itu Georgia
melakukan serangan besar-besaran pada ibukota Ossetia Selatan yaitu
Tshkhivanli. Serangan ini cukup mengejutkan, karena beberapa saat
sebelumnya kedua pihak sepakat untuk mengadakan gencatan senjata.
Pemimpin gerakan separatis Ossetia Selatan, Eduard Kokoity menuduh
Georgia melakukan pengkhianatan atas kesepakatan mereka. Di sisi lain
pemimpin pasukan Georgia mengatakan aksi serangan tersebut bertujuan
untuk menetralisir keadaan, dimana pejuang separatis Ossetia Selatan
menyerbu masyarakat sipil.15 Perwakilan khusus Rusia di Ossetia Selatan,
Yuri Popov mengatakan pernyataan Georgia tidak dapat dipercaya, oleh
karenanya NATO perlu mempertimbangkan kembali jika Georgia ingin
menjadi anggotanya. Kemudian pada 8 Agustus, Rusia mengirimkan tanktank melintasi batas negara Georgia. Aksi dari Rusia ini sebagai balasan atas
serangan Georgia terhadap Ossetia Selatan, tidak hanya itu Rusia juga
mengirimkan pasukannya ke wilayah separatis lainnya Abkhazia. Tindakan
Rusia ini telah menimbulkan protes dari dunia internasional dikarenakan
banyaknya masyarakat sipil yang meninggal.
Konflik terus berlanjut, pada 9 Agustus 2008, jet milik Rusia
menyerang dengan menjatuhkan bom di Gori, pusat kota Georgia.16
15
BBC News. Day-by-day: Georgia-Russia Crisis, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551576.stm,
diakses pada 3 Februari 2013
16
BBC News. Peace Bid as Ossetia Crisis Rage, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551595.stm,
diakses pada 3 Februari 2013
19
Setidaknya ada 42 titik di wilayah Georgia yang diserang oleh Rusia, seperti
yang terlihat pada peta berikut.17
Gambar 3.1 Peta Serangan Rusia ke Wilayah Georgia
Sumber : http://www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-2008-bomb.htm
Setelah Perang Dingin berakhir, Rusia mengalami kekalahan yang
dapat dikatakan cukup memalukan. Serangan Rusia ke Georgia menurut Rusia
adalah sebagai bentuk dukungannya terhadap pengakuan kedaulatan terhadap
negara merdeka, dalam hal ini Ossetia Selatan dan Abkhazia. Yang menjadi
17
Global Security. Georgia Territories Bombed by Russian jets,
http://www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-2008-bomb, diakses pada 3
Februari 2013
20
permasalahan dan sorotan dunia internasional adalah upaya Rusia untuk
mendukung kedua wilayah tersebut dari agresi Georgia adalah dengan
menggunakan kekuatan militer. Dalam hal ini, Rusia memiliki alasan
mengapa negara tersebut menyerang Georgia yaitu Rusia menganggap bahwa
Georgia menggunakan kekerasan dalam upaya menguasai lagi Ossetia Selatan
yang merdeka yang memang pro-Rusia. Walaupun agresi Georgia tidak
ditujukan kepada Rusia, namun serangan Rusia ke Georgia adalah sebagai
upaya Rusia untuk menghentikan agresi Georgia ke Ossetia Selatan. Tindakan
Rusia tersebut menandakan kebangkitan Rusia setelah hampir 20 tahun berada
dalam masa istirahat atas kekalahannya dalam Perang Dingin.
Tindakan Rusia tersebut juga menimbulkan ketakutan bagi negaranegara tetangganya. Bagi negara-negara tetangga Rusia, agresi Rusia ke
Georgia merupakan awal baru bagi Rusia untuk menunjukkan kekuatan
militernya seperti yang dimilikinya pada masa era Perang Dingin. Dengan
serangan Rusia tersebut dunia internasional dapat melihat bahwa keberadaan
Rusia masih dapat diperhitungkan, terlebih dengan bukti kekuatan militer
Rusia dalam serangannya ke Georgia. Rusia seperti ingin memperlihatkan
ketidaksukaannya pada pemerintahan Georgia yang sangat pro-Barat.
Merespon serangan yang dilakukan oleh Rusia, maka parlemen
Georgia menyetujui bahwa negara dinyatakan dalam keadaan perang.
Sementara itu Rusia mengklaim telah merebut ibukota Ossetia Selatan dari
Georgia. Tidak hanya Ossetia Selatan, melihat apa yang terjadi pada 10
21
Agustus wilayah Abkhazia yang juga ingin memisahkan diri dari Georgia,
melakukan perlawanan. Pada hari yang sama delegasi utusan perdamaian dari
Amerika Serikat, Uni Eropa dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama
di Eropa (OSCE) menuju ke Georgia. Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard
Kouchner tiba di Tbilisi untuk memulai perundingan mengenai gencatan
senjata. Pada mulanya gencatan senjata sulit diupayakan, kedua belah pihak
tetap saling menuduh dan membalas serangan. Akhirnya pada 12 Agustus
2008, kedua belah pihak baik Georgia maupun Rusia, sepakat untuk
melakukan gencatan senjata dan menandatangani enam butir kesepakatan
yang diajukan oleh Presiden Perancis, selaku ketua Uni Eropa, Nicolas
Sarkozy. Kesepakatan ini dicapai setelah Sarkozy mengunjungi Moskow lalu
kemudian Tbilisi untuk memediasi kedua kepala negara agar menandatangani
persetujuan gencatan senjata18
Setelah kesepakatan gencatan senjata, kedua pihak kemudian masingmasing mulai menarik pasukannya dari daerah konflik. Meskipun demikian,
Rusia masih menolak untuk menarik pasukannya di wilayah perbatasan. Rusia
kemudian mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai
bagian yang sudah terpisah dari Georgia. Pernyataan Rusia ini diumumkan
pada 26 Agustus 2008, meski mendapat banyak kecaman dari negara-negara
barat dan hanya diikuti oleh beberapa negara saja.
18
BBC News. Day-by-day: Georgia-Russia Crisis, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551576.stm,
diakses pada 3 Februari 2013
22
3. Pasca Konflik di Ossetia Selatan 2008
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah
Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16
Januari 2009 pada masa pemerintahan Presiden Dmitry Medvedev. Nikaragua
adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan pengakuan kepada
republik Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai anggota baru komunitas dunia,
negara yang merdeka. Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan
pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.
Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia
mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. Konflik yang
terjadi pada tahun 2008 di Ossetia Selatan telah memutuskan hubungan
bilateral antara Rusia dan Georgia.
Konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Georgia tetap
menyisakan perbedaan di antara keduanya, walaupun berhasil diredam. Rusia
mengakui kedaulatan Ossetia Selatan dan Abkhazia, meskipun mendapat
banyak kecaman. Sebaliknya Georgia dan negara-negara barat di belakangnya
tetap pada pendirian untuk tidak mengakui kemerdekaan dua wilayah tersebut.
Rusia melalui Presiden Vladimir Putin, presidennya saat ini, menegaskan
bahwa tidak akan membatalkan keputusannya mengakui kemerdekaan
wilayah-wilayah separatis Georgia, yakni negara Abkhazia dan Ossetia
23
Selatan.19 Hal ini menyebabkan hubungan antara Rusia dan Georgia sulit
untuk diperbaiki.
Ada beberapa usaha yang terlihat dari kedua pihak, baik Rusia maupun
Georgia untuk memperbaiki hubungannya setelah perang yang terjadi pada
tahun 2008 tersebut. Akan tetapi, hal ini menemui beberapa kendala
diantaranya adalah karena Rusia tidak menyukai pemimpin Georgia saat itu,
Mikhail Saakashvili. Hal ini tercermin dari pendapat masing-masing kepala
negara, dalam sebuah wawancara oleh wartawan Moskow, Medvedev
mengatakan bahwa "hubungan yang normal" akan mustahil selama Mikhail
Saakashvili adalah presiden Georgia.20 Georgia pun sebaliknya, menyatakan
bahwa Rusia adalah musuh dan hanya menjadikan pemerintahannya sebagai
kelanjutan dari kerajaan lamanya dan dalam rangka “sphere of influence.”
Pada Oktober 2012, Georgia menyelenggarakan pemilihan umum
untuk memilih pemimpin barunya. Sebelumnya Rusia juga telah berganti
pemimpin dari Medvedev menjadi Vladimir Putin, dimana Putin menyalahkan
Georgia pada masa pemerintahan Saakashvilli atas permasalahan hubungan
bilateral kedua negara. Namun demikian, Putin tetap menyampaikan
keinginannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Georgia, seperti yang
diungkapkan daalm pernyataannya.
19
Berita Satu. Rusia Takkan Cabut Pengakuan Kemerdekaan 2 Negara Separatis Georgia,
http://www.beritasatu.com/, diakses pada 27 Januari 2013
20
James Brooke. Voice of America, Relations Between Russia, Georgia Still at Standoff,
http://www.voanews.com/, diakses pada 28 Januari 2013
24
“We have never considered the Georgian government and the
Georgian people the same. And I really hope that these brotherly
people will finally realize that Russia is not an enemy but a friend and
relations will recover, this is the result of the policies that the
Georgian leadership pursued and are still trying to hold”21
Putin menyatakan bahwa pemerintahan Georgia yang terlalu berkiblat
ke Amerika Serikat yang menyebabkan terjadinya ekskalasi konflik pada
tahun 2008.
Akan tetapi ia menyadari bahwa Georgia memiliki ikatan
hiostoris dan kultural yang sangat erat dengan Rusia dan tidak dapat
dipisahkan begitu saja. Sebenarnya pencairan hubungan kedua negara ini yang
terkesan beku pasca konflik sudah mulai ada. Presiden Mikhail Saakashvili
mengusulkan bebas visa masuk bagi warga Rusia yang ingin menjalankan
bisnis, berwisata ataupun mengunjungi keluarganya di Georgia. Hal ini tidak
terlepas dari harapan besar Georgia agar Rusia mau melakukan penutupan
basis militernya di Ossetia Selatan dan Abkhazia serta penutupan kantor
diplomatik Rusia disana, dan akses dari petugas bea cukai Georgia ke
perbatasan Rusia dengan Abkhazia dan Ossetia. Tindakan ini disambut baik
oleh Rusia yang siap untuk memperbaiki kembali hubungan antara keduanya.
Sebagai tanggapan, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menginstruksikan
Kementerian Luar Negeri untuk mulai memulihkan hubungan diplomatik
dengan Georgia. Rusia sendiri telah berusaha untuk bergabung dengan World
Trade Organization (WTO) sejak tahun 1993. Hambatan terakhir yang tersisa
21
Ria Novosti Website Group. Russia Hopes to Restore Relations with Georgia-Putin,
http://en.rian.ru/world/20120222/171463007.html, diakses pada 1 Februari 2013
25
untuk masuk adalah Georgia yang telah menolak untuk memberikan Rusia
akses masuk sejak kedua negara terlibat perang singkat. 22
Dalam pemilihan umum di Georgia tersebut ada dua calon utama yang
bersaing, yaitu Koalisi “Impian Georgia” yang dipimpin oleh pengusaha
milyarder pro-Rusia Bidzina Ivanishvilli dan “Gerakan Nasional Bersatu”
Presiden Mikhail Saakashvilli untuk menguasai parlemen. Pemilihan umum
ini kemudian dimenangkan oleh Bidzina Ivanishvilli, dia adalah seorang
milyarder yang banyak meraup keuntungan di Rusia. Terpilihnya Ivanishvilli
membawa tanda-tanda positif pemerintahan baru Georgia akan memperbaiki
hubungannya dengan Rusia, bahwa Georgia akan kembali dekat dengan Rusia
dan
menjauhi
negara-negara
barat
sebagaimana
pada
pemerintahan
sebelumnya. Rusia berharap kemenangan itu akan membantu proses
normalisasi hubungan kedua negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri
Rusia, Alexander Lukashevich, mengatakan, melalui sebuah pernyataan,
masyarakat Georgia telah memutuskan untuk memilih perubahan. Ia
mengungkapkan harapan bahwa Georgia akan bergerak menuju normalisasi
dan pembangunan hubungan yang konstruktif dan saling menghormati dengan
negara-negara tetangganya.23 Namun demikian, Ivanishvilli menyatakan
bahwa ia akan berusaha membina hubungan baik dengan Rusia dan di sisi lain
22
Innokenty Adyasov. Ria Novosti Website Group, First Signs of Thaw Between Russia and Georgia,
http://en.rian.ru/analysis/20120302/171687297.html, diakses pada 1 Februari 2013
23
Voice of America Bahasa Indonesia. Rusia Harapkan Normalisasi Hubungan Rusia-Georgia Pasca
Pemilu, http://www.voaindonesia.com/content/rusia-harapkan-normalisasi-hubungan-georgiarusia-pasca-pemilu/1519518.html, diakses pada 1 Februari 2013
26
tidak akan menghalangi jalan Georgia yang ingin bergabung sebagai anggota
NATO maupun Uni Eropa. Pada intinya adalah Georgia dan Rusia memiliki
saling keterkaitan satu sama lain dimana keduanya saling membutuhkan.
Perbaikan hubungan bilateral yang ingin ditempuh setelah konflik
bersenjata, menuntut adanya inisiatif dan syarat masing-masing dari kedua
belah pihak untuk memulainya. Menteri Luar Negeri Georgia, Maya
Pandzhikidze mengatakan bahwa pendudukan Rusia di wilayah Gerogia
merupakan ancaman keamanan nasional dan juga bagi Eropa. Ia mendukung
adanya perbaikan hubungan dengan Rusia, bagi pemerintahan baru Georgia
perbaikan hubungan ini akan menjadi prioritas utama. Meskipun baginya tetap
mustahil selama Rusia tidak menarik pasukannya yang berada di wilayah
Rusia.24 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa prioritas kebijakan luar negeri
Georgia adalah sebagai berikut: Georgia melanjutkan perjalanan Eropa dan
Euro-Atlantik integrasi, kemitraan strategis dengan Amerika Serikat. Georgia
juga bermaksud membuat upaya memperkuat hubungan dengan negara-negara
tetangga dan hubungan peningkatan dengan Rusia.25
24
Aulia Akbar. Okezone. Georgia: Rusia Jadi Ancaman Nasional dan Keamanan Eropa,
http://jakarta.okezone.com, diakses pada 1 Februari 2013
25
Georgia Times. Terms of Reestablishing Relations Between Georgia and Russia Announced,
http://www.georgiatimes.info/en/news/82245.html, diakses pada 1 Februari 2013
27
Download