BAB III UNI EROPA DAN DINAMIKA HUBUNGAN RUSIA DAN GEORGIA A. Uni Eropa Uni Eropa merupakan sebuah organisasi internasional yang tidak hanya merupakan wadah dari negara-negara yang berdekatan secara geografis. Selain merupakan sebuah organisasi regional, Uni Eropa dikenal sebagai organisasi yang menuju pada lembaga supranasional yang memiliki legimitimasi kuat untuk mengatur negara-negara anggotanya. Sejarah panjang pembentukan Uni Eropa dimulai dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC) dan European Atomic Community (Euratom). Ketiganya kemudian melalui proses dan tahapan sehingga membentuk Uni Eropa seperti saat ini. Uni Eropa sampai saat ini beranggotakan 27 negara. Keunikannya adalah setiap negara anggotanya memiliki independensi tetapi tetap tunduk pada keputusan-keputusan Uni Eropa. Beberapa peristiwa bersejarah dan penting yang dilalui oleh Uni Eropa dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel 3.1 Tahun dan Sejarah Uni Eropa 1952 1958 Belgia, Perancis, Jerman Barat, Itali, Luxemburg, dan Belanda membentuk European Coal and Steel Community Traktat Roma sebagai dasar berdirinya European Economic Community termasuk juga Euratom 1 1973 1979 1981 1985 1986 1987 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 2001 Inggris, Irlandia, Denmark bergabung dengan EC Parlemen Eropa terbentuk serta beroperasinya European Monetary System (EMS) Yunani menjadi negara anggota ke sepuluh Program menyempurnakan pasar tunggal sebelum tahun 1992 Spanyol dan Portugal menjadi negara anggota ke sebelas dan ke duabelas Single European Act (SEA) memutuskan sebuah legislasi pasar tunggal dan memperluas kekuasaan parlemen Eropa The Madrid European Council meluncurkan rencana pencapaian sebuah kesatuan ekonomi dan moneter (economic and monetary union) Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu Dua konferensi paralel antarpemerintah yang menghasilkan traktat Uni Eropa di Maastricht dan pemimpin Uni Eropa mengesahkan Maastricht European Council Traktat Uni Eropa ditandatangani di Maastricht dan dikirimkan ke negara anggota untuk diratifikasi, referendum pertama di Denmark menolak usulan tersebut. Pasar tunggal mulai berlaku sejak 1 Januari. Pada bulan Mei, referendum kedua di Denmark meratifikasi Traktat Maastricht dan mulai berlaku secara efektif pada bulan November. Uni Eropa dan tujuh negara anggota EFTA dari European Economic Area, menjadi pasar tunggal di sembilan belas negara. Melalui negosiasi, UE melengkapi keanggotaannya, Austria, Finlandia, Norwegia, dan Swedia Austria, Finlandia, dan Swedia bergabung dengan UE pada 1 Januari. Traktat Nice merupakan antarpemerintah tahun 2000 hasil dari konferensi Sumber: diolah dari Ade Maman Suherman, 2003. Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi 2 Beberapa poin menjadi syarat yang diterapkan oleh Uni Eropa ketika sebuah negara ingin menjadi anggotanya, antara lain yaitu: memiliki demokrasi yang stabil yang menjamin supremasi atau kepastian hukum, adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan kaum minoritas, memiliki ekonomi pasar terbuka, dan menerapkan administrasi publiknya berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa. Uni Eropa dalam menjalankan tugasnya terdiri atas struktur organisasi atau badan-badan utama sebagai berikut: 1. European Commission atau Komisi Eropa, merupakan badan eksekutif dari Uni Eropa yang bersifat independen dan bertugas membuat rancangan undang-undang, selain itu komisi merepresentasikan Uni Eropa secara global, dalam hal ini contohnya adalah menegosiasikan persetujuan antara Uni Eropa dengan negara lain.1 2. European Parliament atau Parlemen Eropa, anggotanya dipilih setiap lima tahun sekali. Parlemen Eropa ini memiliki kekuasaan legislasi dan memiliki kewenangan untuk menentukan anggaran Dewan Eropa serta dapat merubah ataupun menolaknya. 1 European Union. European Comission: Purpose, http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/european-commission/index_en.htm, pada 3 Februari 2013 diakses 3 3. European Council atau Dewan Uni Eropa, bertugas sebagai badan representatif keluar pada isu-isu keamanan.2 Selain itu berbagi tugas dan tanggung jawab dengan parlemen dalam menyetujui undang-undang, dengan komisi mengatur prioritas dan tujuan Uni Eropa secara umum. 4. European Court of Justice, merupakan mahkamah Eropa yang bertugas menentukan aturan-aturan yang tidak sesuai dengan Traktat Roma. 5. The Council of Ministers, memungkinkan pemerintahan dari negara anggota ikut serta dalam pengambilan keputusan di Uni Eropa. 6. The European Central Bank atau Bank Sentral Eropa, berperan sebagai pengendali “eurosystem” yaitu sistem mata uang tunggal Eropa. Uni Eropa sebagai lembaga supranasional yang merupakan organisasi antar pemerintah memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk mempengaruhi kondisi politik dari negara-negara anggotanya. Tidak diragukan lagi bahwa Uni Eropa merupakan organisasi yang paling berpengaruh di kawasan Eropa. Hal ini terlihat bahwa tidak hanya terbatas pada negara-negara anggotanya, Uni Eropa memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap negara-negara lain di kawasannya yang bukan merupakan anggotanya. Tujuan Uni Eropa untuk menciptakan kemajuan perkembangan politik dan ekonomi bagi negara 2 European Union. EU Presidents: who does what ?, http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/eupresidents/index_en.htm, Februari 2013 diakses pada 3 4 anggotanya untuk mencapai pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan, menjadi tanggung jawab yang cukup besar bagi organisasi tersebut. Uni Eropa memiliki kelebihan yaitu mampu menarik negara-negara di kawasan Eropa untuk ingin bergabung dalam organisasi ini. Hard power yang dimiliki Uni Eropa yaitu merupakan tindakan nyata yang memaksa dan memiliki sanksi dalam penegakan hukum atau aturannya, sedangkan soft power nya adalah hal tidak terlihat secara nyata tapi sifatnya mengikat anggota Uni Eropa yaitu adanya ideologi dan kebudayaan yang sama. Contoh yang terlihat misalnya Turki yang menginginkan keanggotaan Uni Eropa. Turki memandang Uni Eropa sebagai sebuah kekuatan yang besar dan akan membawa dampak positif jika menjadi anggotanya. Sebagai sebuah organisasi internasional, tentunya Uni Eropa tidak akan berdiam diri menyaksikan konflik-konflik yang terjadi di sekitarnya baik pada level regionalnya, maupun global. Uni Eropa menjalin hubungan diplomatik dengan hampir semua negara di dunia. Uni Eropa memiliki kemitraan strategis dengan para aktor utama di internasional, memiliki hubungan baik dengan negara-negara berkembang di seluruh dunia, dan telah menandatangani perjanjian kerjasama bilateral dengan sejumlah negara di sekitarnya. Di luar negeri, Uni Eropa diwakili oleh suatu jaringan yang terdiri dari 136 Delegasi Uni Eropa, yang memiliki fungsi yang serupa dengan kedutaan besar. Berikut ini adalah beberapa contoh yang mengilustrasikan apa yang dilakukan oleh Uni Eropa di 5 seluruh dunia, untuk melindungi kepentingan Eropa dan mempromosikan nilai-nilainya:3 1. Uni Eropa memberi dukungan stabilitas di negara-negara Balkan. Proyekproyek bantuan di tujuh negara mendapatkan bantuan dana dari Uni Eropa untuk membantu pembangunan masyarakat yang stabil. Di Kosovo, Uni Eropa menurunkan pasukan peradilan dan polisi berkekuatan 1900 personil untuk membantu menegakkan aturan hukum. Negara-negara di bagian barat Balkan telah menjadi kandidat atau calon kandidat anggota Uni Eropa sebagai bagian dari kebijakan perluasannya. 2. Uni Eropa adalah anggota dari Kuartet, bersama dengan PBB, Amerika Serikat dan Rusia, yang berupaya untuk mendorong terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Penyelesaian konflik Arab-Israel merupakan prioritas strategis bagi Eropa. Tujuan Uni Eropa adalah solusi dua negara di mana Negara Palestina yang merdeka, demokratis dan berkesinambungan hidup berdampingan dengan Israel dan negara-negara tetangga lainnya. 3. Uni Eropa menawarkan kepada negara-negara tetangganya suatu hubungan istimewa yang disusun dalam Kebijakan Kawasan Eropa (European Neighbourhood Policy). Kebijakan ini dirancang untuk 3 Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN. Apa Kegiatan Kami?, http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/, diakses pada 2 Februari 2013 6 memperkuat kesejahteraan, keamanan dan stabilitas semua mitra dan menghindari timbulnya garis pemisah baru antara Uni Eropa yang telah diperluas dengan negara-negara di kawasan Mediterania selatan, Eropa Timur dan Kaukasus Selatan. 4. Uni Eropa turut serta dalam perundingan Protokol Kyoto tentang Perubahan Iklim dan, dengan meluncurkan suatu agenda domestik untuk karbon rendah yang mungkin merupakan yang paling canggih dan paling maju di dunia, terus menjadi pelaku penting terkait isu ini, sehingga berperan besar dalam mendorong suatu agenda yang ambisius untuk perubahan. Uni Eropa memusatkan perhatiannya pada upaya untuk membangun suatu koalisi untuk suatu kesepakatan yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. 5. Uni Eropa menjalin kerjasama erat dengan Perserikatan BangsaBangsa dalam berbagai masalah. Keyakinan Uni Eropa tentang multilateralisme mencerminkan keterikatan dengan peraturan mengikat berdasarkan perundingan dalam hubungan internasional, dan secara tegas dituangkan dalam Traktat Lisabon. Apabila memungkinkan, Uni Eropa berupaya untuk menggantikan atau menurunkan kadar politik kekuasaan dengan aturan-aturan dan norma-norma, sehingga membuat hubungan internasional lebih serupa dengan tatanan domestik: lebih damai dan terkirakan. 7 6. Uni Eropa menjalankan misi-misi militer, politik atau sipil untuk membantu dalam upaya membangun dan menjaga perdamaian di sejumlah negara di Eropa, Afrika dan kawasan lain, seperti di Afghanistan. 7. Uni Eropa berkomitmen terhadap hak asasi manusia dan berupaya untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati di seluruh dunia. Uni Eropa telah menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu aspek sentral dari hubungan luar negerinya: dalam dialog-dialog politik yang dilakukannya dengan negara-negara yang bukan anggota Uni Eropa melalui kebijakan pembangunan dan bantuannya atau melalui tindakannya dalam forumforum multilateral, seperti PBB. 8. Uni Eropa bertindak sebagai pelaku tunggal dalam perdagangan luar negeri dan mendukung prinsip-prinsip perdagangan internasional yang bebas dan adil. Berhubung Uni Eropa bernegosiasi dengan satu suara, Uni Eropa dapat memberikan pengaruh yang nyata. Secara bersama-sama, 27 negara anggota Uni Eropa menguasai 19 persen dari ekspor dan impor dunia. Karena norma-norma teknisnya dipergunakan secara luas di seluruh dunia, Uni Eropa seringkali menentukan aturan perdebatan. 9. Uni Eropa mendukung pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara mitranya, dan siap untuk membantu apabila negara-negara tersebut mengalami bencana. Secara bersama-sama, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya merupakan donor terbesar di dunia untuk pembangunan dan 8 bantuan kemanusiaan. Kontribusinya mencapai 60 persen dari bantuan pembangunan resmi di dunia. 10. Uni Eropa siap menghadapi tantangan untuk mengelola isu-isu ekonomi dan keuangan internasional, misalnya dalam konteks G-20. Uni Eropa memberi kontribusi untuk upaya yang sedang berlangsung untuk mereformasi lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF serta mengatur ulang sektor keuangan internasional. Mata uang bersama, yaitu euro, memberikan pengaruh tambahan atas wilayah euro dan Bank Sentral Eropa. Upaya untuk menjadi penengah dalam konflik yang terjadi antara Rusia dan Georgia, bukan merupakan satu-satunya yang pernah dilakukan. Uni Eropa juga berperan dalam beberapa konflik seperti konflik antara Serbia dan Kosovo, Bosnia-Herzegovina, serta konflik separatisme Transnistria Moldova. Konflik yang terjadi di Moldova, misalnya merupakan bentuk lain dari konflik yang terjadi di negara tetangga Uni Eropa. Moldova adalah negara yang terletak di wilayah Eropa Timur, tepatnya di sebelah timur laut Rumania. Pada mulanya, Moldova merupakan bagian dari Rumania. Moldova kemudian bergabung dengan Uni Soviet ketika akhir Perang Dunia II, hingga akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada Agustus 1991. Namun sejak tahun 1989, muncul konflik separatisme yang dilakukan oleh gerakan yang 9 menamakan diri mereka Pridnestrovian Moldavian Soviet Socialist Republic, yang tempat tinggalnya di wilayah Transnistrian, wilayah ini terletak di antara sungai Dniester dan perbatasan Ukraina. PMR (Pridnestrovian Moldavian Republic) adalah pemerintahan di daerah pecahan Transnistria yang kekuasaannya tidak diakui oleh pemerintah Moldova. Uni Eropa meyakini bahwa PMR diuntungkan dengan adanya transaksi ilegal, baik senjata maupun barang-barang lainnya yang diperjualbelikan secara gelap, selama konflik berlangsung. Oleh karena itu pada tahun 2004 Uni Eropa menjalankan prosedur double check terhadap impor baja dari Moldova, yang bertujuan untuk menekan eksplorasi pertambangan di Transnistria oleh PMR. Kemudian impor baja dari wilayah tersebut tidak akan diterima oleh Uni Eropa tanpa ada persetujuan dan pengakuan dari pemerintah Moldova. Penyebab munculnya gerakan ini adalah kekhawatiran minoritas yang berbahasa Rusia atas kebijakan pemerintah Moldova menjadikan bahasa Rumania sebagai bahasa utama. Mereka menaruh curiga bahwa pemerintah sedang berupaya untuk bergabung kembali dengan Rumania dan memilih untuk mendeklarasikan wilayah Transnistria dengan nama Pridnestrovian Moldavian Republic (PMR). Konflik ini juga menarik perhatian PBB dan melibatkan banyak pihak lainnya, seperti Ukraina, Rusia, dan Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Permasalahan konflik ini tidak kunjung selesai dan perundingan menemui jalan buntu. Pada tahun 2005, pemerintah Moldova meminta bantuan Uni Eropa untuk menyelesaikan 10 konflik yang telah menahun ini. Menanggapi permintaan Moldova, European Council mengirimkan perwakilan khusus Uni Eropa di Moldova. Uni Eropa sendiri mulai memperlihatkan kebijakan luar negeri terhadap kasus Transnistria pada tahun 2002, di mana sejak saat itu, isu konflik tersebut seringkali diangkat saat berhubungan dengan Rusia dengan Ukraina. Resolusi konflik di wilayah tersebut menjadi perhatian Uni Eropa karena dianggap sebagai sebuah penyelesaian hambatan bagi EU Enlargement Vision yang terdapat di dalam EU Commission Paper yang ditujukan kepada Moldova di tahun 2002. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bagaimana konflik tersebut tidak melibatkan tindak kekerasan terorisme atau perusakan lingkungan, akan tetapi lemahnya pemerintahan Moldova dianggap sebagai penyebab tidak selesainya konflik Transnistria. Pada tahun 2003, Uni Eropa dan NATO di bawah Amerika Serikat menjadi pihak ketiga yang ditunjuk langsung oleh Moldova dalam mediasi resolusi konflik tersebut.4 Uni Eropa selanjutnya melakukan berbagai upaya, termasuk bekerjasama dengan Amerika Serikat guna menjadi observer dan membentuk EU Border Assistance Mission (EUBAM) di wilayah tersebut.5 4 Nicu Popescu. The EU in Moldova-Settling Conflicts in the Neighborhood. 2005, hal.9, http://www.iss.europa.eu/uploads/media/occ60.pdf, diakses pada 4 Februari 2013 5 Daria Isachenko, 2010. The EU Border Mission at Work Around Transdniestria: a win-win case?, Societes Politiques Comparees, hal. 2 11 Pada Maret 2005, Uni Eropa akhirnya mengirimkan perwakilan melalui mekanisme European Union Special Representatives (EUSR).6 Uni Eropa memiliki kepentingan untuk memenuhi tujuannya yaitu menstabilkan, mengamankan, memakmurkan, dan menciptakan iklim atau lingkungan yang demokratis. Dalam upayanya untuk menciptakan hal tersebut, maka Uni Eropa harus membuat perjanjian Common Foreign and Security Policy (CFSP) yang lebih mengikat dan lebih kuat. Berkontribusi dalam resolusi konflik di dalam ruang lingkup Uni Eropa adalah kunci untuk mencapai tujuan-tujuan Uni Eropa. B. Hubungan Rusia dan Georgia Ossetia Selatan dan Abkhazia merupakan wilayah yang terletak di Georgia yang etnisnya mayoritas berbeda dengan orang asli Georgia. Secara etnis, Ossetia Selatan dan Georgia sangat berbeda dari sejarah dan bahasa. Bahasa Ossetia Selatan berasal dari Indo-Eropa Iran, sedangkan Abkhazia termasuk kelompok bahasa Kaukasus Barat Laut. Budaya kedua wilayah ini berinteraksi secara langsung dengan etnis Georgia.7 Perbedaan ini membuat keduanya ingin melepaskan diri dari Georgia, khususnya Ossetia Selatan ingin bergabung dengan Ossetia Utara yang merupakan bagian dari Rusia. Saat perang dingin berlangsung, Ossetia Selatan adalah bagian dari Georgia. Akan tetapi ketika perang dingin selesai, Ossetia Selatan ingin 6 Ibid Paula Garb, 2009. The View from Abkhazia of South Ossetia Ablaze. Central Asian Survey Vol. 28 No.2, Routledge, hal. 235-246 7 12 memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun 1991 dan awal tahun 1992 Georgia harus mengambil tindakan offensive melawan gerakan pemberontakan Ossetia Selatan. Pada tahun selanjutnya, 1993 hal serupa dilakukan Georgia untuk mempertahankan integritasnya karena wilayah lainnya, yaitu Abkhazia juga ingin memisahkan diri.8 1. Sebelum Konflik di Ossetia Selatan 2008 Rusia dan Georgia merupakan dua negara yang berbatasan darat secara langsung. Kedua negara ini dulunya adalah bagian dari Union of Soviet Socialist Republic (USSR) atau yang dikenal dengan Uni Soviet. Setelah bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, Georgia menyatakan kemerdekaannya dan kemudian lebih dikenal sebagai negara di kawasan Kaukasus Selatan, bersama dengan Armenia dan Azerbaijan. Fakta bahwa dulunya sama-sama merupakan negara anggota Uni Soviet menjadikan Rusia tetap menjaga hubungan yang baik dengan Georgia. Bagi Rusia, Georgia memiliki arti penting dan masih tetap dianggap sebagai bagian dari wilayah kesatuan Rusia karena adanya kedekatan historis maupun kultural. Kawasan Kaukasus dapat dikatakan sulit untuk dipisahkan dari strategi keamanan Rusia. Secara umum, Rusia berkepentingan untuk menjaga keutuhan wilayahnya di bagian selatan yang menjadi perbatasan (Dagestan, Chechnya, dan Ossetia Utara). Hal ini berkaitan dan sejalan dengan kebijakan 8 Charles King, 2008. The Five-Day War, Foreign Affairs vol 87 number 6, November-December 2008, hal. 2-11 13 luar negeri Rusia terhadap negara-negara di kawasan tersebut yaitu Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Rusia akan selalu mengambil langkah tegas karena pentingnya posisi Kaukasus yang di dalamnya sudah termasuk Georgia, Ossetia Selatan, dan Abkhazia. Apa yang dilakukan oleh Rusia tidak terlepas dari kekhawatiran akan menguatnya pengaruh pro-Amerika melalui beberapa peluang yang diciptakan, seperti dukungan finansial pada masa-masa perubahan kepemimpinan di Georgia. Medvedev, presiden Rusia saat itu menyebutkan pentingnya hubungan dengan “negara-negara dekat” yang memiliki kaitan historis-kultural yang kuat dan perlunya memperhatikan kawasan ini.9 Pasca runtuhnya Uni Soviet, Rusia berusaha untuk tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara bekas pecahannya termasuk Georgia. Kerjasama yang ingin dijalin oleh Rusia dengan negara-negara pecahan Uni Soviet dibuktikan dengan pembentukan Commenwealth of Independendent States (CIS). CIS merupakan bentuk kerjasama negara-negara bekas anggota Uni Soviet. Organisasi ini dibentuk pada Desember tahun 1991, CIS diharapkan dapat menjadi kelanjutan dari USSR. Georgia sendiri bergabung dua tahun kemudian pada Desember 1993. Hubungan antara Rusia dan Georgia pada saat itu masih terbilang cukup baik. Selain keduanya merupakan 9 A. Fahrurodji, 2008. Konflik Ossetia Selatan dan Strategi Keamanan Rusia di Kawasan Kaukasus,Glasnost vol.4 no.2, Oktober 2008-Maret 2009, hal. 25-26 14 anggota CIS, hal ini terlihat dari awal mula keterlibatan Rusia dalam konflik ini adalah sebagai mediator. Rusia membantu dalam upaya penyelesaian konflik kedua wilayah yang ingin memisahkan diri dari Georgia tersebut dengan tujuan agar tidak terjadi perang kembali.10 Hal ini terlihat dari usaha yang dilakukan Rusia pada Juni 1992 untuk mengontrol perjanjian gencatan senjata antara Georgia dan Ossetia Selatan, serta adanya perjanjian tambahan pada Juli 1992 mengenai bersama-sama membentuk Joint Control Commision (JCC) atau Komisi Pengawasan Bersama yang bertujuan menjaga stabilitas kawasan serta mengawasi perdamaian di antara kedua kubu yang berkonflik. Selain itu, pada tahun 1994 Rusia menjadi pasukan perdamaian untuk mencegah kontak bersenjata kembali antara Georgia dan Abkhazia yang sedang gencatan senjata.11 Pada masa itu Georgia berada di posisi percaya pada Rusia sebagai mediatornya dalam penyelesaian konflik ini. Bahkan presiden Georgia yang menjabat saat itu, Eduard Shevardnadze setuju untu memperbanyak pasukan Rusia yang ditempatkan di wilayah perbatasan untuk menjaga keamanan dan menandatangani perjanjian yang isinya mempertahankan empat basis militer Rusia di Georgia selama 40 tahun. Georgia dan Rusia menandatangani 10 Robert Nalbandov, 2009. The Battle of Two Logics : Appropriateness And Consequentiality in Russian Interventions in Georgia, Caucasian Review of International Affairs vol. 3 (1), Winter 2009, hal 20-35 11 Cory Welt, 2009. Balancing the Balancer : Russia, the West, and Conflict Resolution in Georgia, Global Dialogue, Summer 2009, hal. 22-36 15 perjanjian Treaty of Friendship, Neighbourlines, and Cooperation. Jadi apa yang terlihat pada waktu itu adalah Rusia berperan cukup besar sebagai mediator maupun penjaga keamanan dalam upaya penyelesaian konflik Georgia, Ossetia Selatan, dan Abkhazia. Tetapi konflik antara Georgia dan Ossetia Selatan ini tidak terselesaikan juga. Pada tahun 1998 konflik kembali terjadi antara Georgia dan Abkhazia, upaya Rusia yang terlibat sebagai mediator tidak menghasilkan perdamaian bagi Georgia, Ossetia Selatan, dan Abkhazia. Melihat kegagalan dari upaya Rusia ini, Shevardnadze mulai mengambil tindakan sendiri dan membuat strategi baru untuk kelangsungan hubungan Georgia dengan Ossetia Selatan maupun Abkhazia. Pada akhir tahun 1990-an, Georgia bersama dengan Azerbaijan dan Uzbekistan menolak untuk memperbaharui keanggotan mereka dalam CIS Collective Security Treaty. Georgia menginginkan untuk mengganti pasukan Rusia yang telah ditempatkan di daerah perbatasan konflik dengan tentaranya sendiri. Selain itu Georgia juga membatalkan pendirian basis pertahanan pasukan Rusia dalam jangka panjang. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Georgia menunjukkan bahwa Georgia ingin menjaga jarak dari Rusia. Georgia mulai terlihat aktif menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat dan Eropa di bidang keamanan dan energi. Georgia menyampaikan keinginannya untuk menjadi anggota NATO, seperti yang telah disampaikan pasca Perang Dingin. Selanjutnya pada tahun 2001 Georgia menginginkan Rusia untuk menarik pasukannya dari Tbilisi dan Abkhazia. Di 16 sisi lain, mulai terlihat adanya dukungan dari Rusia terhadap Ossetia Selatan dan Abkhazia agar mendapatkan pengakuan sebagai wilayah yang merdeka. Perubahan sikap Georgia semakin jelas terlihat ketika terjadi pergantian pemimpin dari Shevardnandze ke Mikhail Saakashvili pada tahun 2003. Saakashvili dikenal sebagai pemimpin yang mengarahkan kepemimpinannya ke negara-negara barat. Ia mencanangkan pembangunan Georgia dengan reformasi ekonomi liberal dan kampanye pemerintahan antikorupsi serta memberantas kriminalitas. Selain itu Saakashvili juga menyatakan keinginannya untuk menyatukan kembali Ossetia Selatan dan Abkhazia pada Georgia.12 Pada tahun 2004 Georgia menolak tawaran Rusia untuk menandatangani A-Good-Neighbor Treaty dan lebih cenderung memilih Amerika Serikat untuk membantunya. 2. Kronologi Konflik Rusia dan Georgia di Ossetia Selatan 2008 Konflik yang terjadi antara Rusia dan Georgia mencapai puncaknya pada bulan Agustus tahun 2008. Serangan Rusia ke Georgia pada Agustus 2008 sangat mengagetkan dunia internasional yang saat itu perhatian mereka terfokus pada pembukaan Olimpiade di Beijing.13 Dalam beberapa hari perang terus berlanjut antara Rusia yang menyerang pasukan Georgia di Ossetia Selatan. Rusia kemudian mengumumkan pengakuannya atas kemerdekaan 12 Alexander Cooley, 2009. Western Values as Power Politics: The Struggle for Mastery in Eurasia, Global Dialogue, Winter 2009, hal. 82-91 13 Jeffrey Mankoff, Russian Foreign Policy : The Return of Great Power Politics, (UK : Rowman & Littlefield Publishers Inc, 2009), hal.1 17 Ossetia Selatan serta Abkhazia walaupun di sisi lain banyak mendapat protes dari negara-negara barat. Awal mula konflik bersenjata mulai terlihat pada awal Agustus, pada malam tanggal 1 Agustus militer Georgia terlibat pertempuran dengan pasukan Ossetia Selatan. Georgia berusaha untuk mempertahankan wilayahnya, dimana Ossetia Selatan sendiri ingin memisahkan diri dari Georgia. Masing-masing pihak saling menuduh, dan menolak untuk mengakui siapa yang memulai serangan. Georgia mengklaim bahwa kelompok separatis Ossetia Selatan melanggar kesepakatan gencatan senjata. Saling menyerang ini mengakibatkan kematian enam orang dari pihak Ossetia Selatan dan melukai 22 orang lainnya, diakibatkan senjata yang digunakan oleh tentara Georgia.14 Hal ini menyebabkan pemimpin Ossetia Selatan memerintahkan masyarakat untuk mengungsi demi menghindari kekerasan yang terjadi. Pengungsi kemudian diarahkan ke Ossetia Utara, yang merupakan bagian dari Rusia. Melihat keadaan tersebut, Rusia pada tanggal 5 Agustus menyatakan akan turun tangan dalam konflik ini dengan mengirimkan sukarelawannya ke Ossetia Selatan. Sukarelawan kemudian mulai diberangkatkan dari Ossetia Utara. Semenjak awal mula konflik, warga Ossetia Selatan yang di antaranya merupakan orang Rusia meminta perlindungan pada militer Rusia. Titik 14 Civil.ge. Six Die in South Ossetia Shootout, http://www.civil.ge/eng/article.php?id=18871, diakses pada 2 Februari 2013 18 puncak peperangan tepatnya terjadi pada 7 Agustus 2008, saat itu Georgia melakukan serangan besar-besaran pada ibukota Ossetia Selatan yaitu Tshkhivanli. Serangan ini cukup mengejutkan, karena beberapa saat sebelumnya kedua pihak sepakat untuk mengadakan gencatan senjata. Pemimpin gerakan separatis Ossetia Selatan, Eduard Kokoity menuduh Georgia melakukan pengkhianatan atas kesepakatan mereka. Di sisi lain pemimpin pasukan Georgia mengatakan aksi serangan tersebut bertujuan untuk menetralisir keadaan, dimana pejuang separatis Ossetia Selatan menyerbu masyarakat sipil.15 Perwakilan khusus Rusia di Ossetia Selatan, Yuri Popov mengatakan pernyataan Georgia tidak dapat dipercaya, oleh karenanya NATO perlu mempertimbangkan kembali jika Georgia ingin menjadi anggotanya. Kemudian pada 8 Agustus, Rusia mengirimkan tanktank melintasi batas negara Georgia. Aksi dari Rusia ini sebagai balasan atas serangan Georgia terhadap Ossetia Selatan, tidak hanya itu Rusia juga mengirimkan pasukannya ke wilayah separatis lainnya Abkhazia. Tindakan Rusia ini telah menimbulkan protes dari dunia internasional dikarenakan banyaknya masyarakat sipil yang meninggal. Konflik terus berlanjut, pada 9 Agustus 2008, jet milik Rusia menyerang dengan menjatuhkan bom di Gori, pusat kota Georgia.16 15 BBC News. Day-by-day: Georgia-Russia Crisis, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551576.stm, diakses pada 3 Februari 2013 16 BBC News. Peace Bid as Ossetia Crisis Rage, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551595.stm, diakses pada 3 Februari 2013 19 Setidaknya ada 42 titik di wilayah Georgia yang diserang oleh Rusia, seperti yang terlihat pada peta berikut.17 Gambar 3.1 Peta Serangan Rusia ke Wilayah Georgia Sumber : http://www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-2008-bomb.htm Setelah Perang Dingin berakhir, Rusia mengalami kekalahan yang dapat dikatakan cukup memalukan. Serangan Rusia ke Georgia menurut Rusia adalah sebagai bentuk dukungannya terhadap pengakuan kedaulatan terhadap negara merdeka, dalam hal ini Ossetia Selatan dan Abkhazia. Yang menjadi 17 Global Security. Georgia Territories Bombed by Russian jets, http://www.globalsecurity.org/military/world/war/georgia-2008-bomb, diakses pada 3 Februari 2013 20 permasalahan dan sorotan dunia internasional adalah upaya Rusia untuk mendukung kedua wilayah tersebut dari agresi Georgia adalah dengan menggunakan kekuatan militer. Dalam hal ini, Rusia memiliki alasan mengapa negara tersebut menyerang Georgia yaitu Rusia menganggap bahwa Georgia menggunakan kekerasan dalam upaya menguasai lagi Ossetia Selatan yang merdeka yang memang pro-Rusia. Walaupun agresi Georgia tidak ditujukan kepada Rusia, namun serangan Rusia ke Georgia adalah sebagai upaya Rusia untuk menghentikan agresi Georgia ke Ossetia Selatan. Tindakan Rusia tersebut menandakan kebangkitan Rusia setelah hampir 20 tahun berada dalam masa istirahat atas kekalahannya dalam Perang Dingin. Tindakan Rusia tersebut juga menimbulkan ketakutan bagi negaranegara tetangganya. Bagi negara-negara tetangga Rusia, agresi Rusia ke Georgia merupakan awal baru bagi Rusia untuk menunjukkan kekuatan militernya seperti yang dimilikinya pada masa era Perang Dingin. Dengan serangan Rusia tersebut dunia internasional dapat melihat bahwa keberadaan Rusia masih dapat diperhitungkan, terlebih dengan bukti kekuatan militer Rusia dalam serangannya ke Georgia. Rusia seperti ingin memperlihatkan ketidaksukaannya pada pemerintahan Georgia yang sangat pro-Barat. Merespon serangan yang dilakukan oleh Rusia, maka parlemen Georgia menyetujui bahwa negara dinyatakan dalam keadaan perang. Sementara itu Rusia mengklaim telah merebut ibukota Ossetia Selatan dari Georgia. Tidak hanya Ossetia Selatan, melihat apa yang terjadi pada 10 21 Agustus wilayah Abkhazia yang juga ingin memisahkan diri dari Georgia, melakukan perlawanan. Pada hari yang sama delegasi utusan perdamaian dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) menuju ke Georgia. Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner tiba di Tbilisi untuk memulai perundingan mengenai gencatan senjata. Pada mulanya gencatan senjata sulit diupayakan, kedua belah pihak tetap saling menuduh dan membalas serangan. Akhirnya pada 12 Agustus 2008, kedua belah pihak baik Georgia maupun Rusia, sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan menandatangani enam butir kesepakatan yang diajukan oleh Presiden Perancis, selaku ketua Uni Eropa, Nicolas Sarkozy. Kesepakatan ini dicapai setelah Sarkozy mengunjungi Moskow lalu kemudian Tbilisi untuk memediasi kedua kepala negara agar menandatangani persetujuan gencatan senjata18 Setelah kesepakatan gencatan senjata, kedua pihak kemudian masingmasing mulai menarik pasukannya dari daerah konflik. Meskipun demikian, Rusia masih menolak untuk menarik pasukannya di wilayah perbatasan. Rusia kemudian mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai bagian yang sudah terpisah dari Georgia. Pernyataan Rusia ini diumumkan pada 26 Agustus 2008, meski mendapat banyak kecaman dari negara-negara barat dan hanya diikuti oleh beberapa negara saja. 18 BBC News. Day-by-day: Georgia-Russia Crisis, http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7551576.stm, diakses pada 3 Februari 2013 22 3. Pasca Konflik di Ossetia Selatan 2008 Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 pada masa pemerintahan Presiden Dmitry Medvedev. Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan pengakuan kepada republik Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai anggota baru komunitas dunia, negara yang merdeka. Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu. Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. Konflik yang terjadi pada tahun 2008 di Ossetia Selatan telah memutuskan hubungan bilateral antara Rusia dan Georgia. Konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Georgia tetap menyisakan perbedaan di antara keduanya, walaupun berhasil diredam. Rusia mengakui kedaulatan Ossetia Selatan dan Abkhazia, meskipun mendapat banyak kecaman. Sebaliknya Georgia dan negara-negara barat di belakangnya tetap pada pendirian untuk tidak mengakui kemerdekaan dua wilayah tersebut. Rusia melalui Presiden Vladimir Putin, presidennya saat ini, menegaskan bahwa tidak akan membatalkan keputusannya mengakui kemerdekaan wilayah-wilayah separatis Georgia, yakni negara Abkhazia dan Ossetia 23 Selatan.19 Hal ini menyebabkan hubungan antara Rusia dan Georgia sulit untuk diperbaiki. Ada beberapa usaha yang terlihat dari kedua pihak, baik Rusia maupun Georgia untuk memperbaiki hubungannya setelah perang yang terjadi pada tahun 2008 tersebut. Akan tetapi, hal ini menemui beberapa kendala diantaranya adalah karena Rusia tidak menyukai pemimpin Georgia saat itu, Mikhail Saakashvili. Hal ini tercermin dari pendapat masing-masing kepala negara, dalam sebuah wawancara oleh wartawan Moskow, Medvedev mengatakan bahwa "hubungan yang normal" akan mustahil selama Mikhail Saakashvili adalah presiden Georgia.20 Georgia pun sebaliknya, menyatakan bahwa Rusia adalah musuh dan hanya menjadikan pemerintahannya sebagai kelanjutan dari kerajaan lamanya dan dalam rangka “sphere of influence.” Pada Oktober 2012, Georgia menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin barunya. Sebelumnya Rusia juga telah berganti pemimpin dari Medvedev menjadi Vladimir Putin, dimana Putin menyalahkan Georgia pada masa pemerintahan Saakashvilli atas permasalahan hubungan bilateral kedua negara. Namun demikian, Putin tetap menyampaikan keinginannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Georgia, seperti yang diungkapkan daalm pernyataannya. 19 Berita Satu. Rusia Takkan Cabut Pengakuan Kemerdekaan 2 Negara Separatis Georgia, http://www.beritasatu.com/, diakses pada 27 Januari 2013 20 James Brooke. Voice of America, Relations Between Russia, Georgia Still at Standoff, http://www.voanews.com/, diakses pada 28 Januari 2013 24 “We have never considered the Georgian government and the Georgian people the same. And I really hope that these brotherly people will finally realize that Russia is not an enemy but a friend and relations will recover, this is the result of the policies that the Georgian leadership pursued and are still trying to hold”21 Putin menyatakan bahwa pemerintahan Georgia yang terlalu berkiblat ke Amerika Serikat yang menyebabkan terjadinya ekskalasi konflik pada tahun 2008. Akan tetapi ia menyadari bahwa Georgia memiliki ikatan hiostoris dan kultural yang sangat erat dengan Rusia dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebenarnya pencairan hubungan kedua negara ini yang terkesan beku pasca konflik sudah mulai ada. Presiden Mikhail Saakashvili mengusulkan bebas visa masuk bagi warga Rusia yang ingin menjalankan bisnis, berwisata ataupun mengunjungi keluarganya di Georgia. Hal ini tidak terlepas dari harapan besar Georgia agar Rusia mau melakukan penutupan basis militernya di Ossetia Selatan dan Abkhazia serta penutupan kantor diplomatik Rusia disana, dan akses dari petugas bea cukai Georgia ke perbatasan Rusia dengan Abkhazia dan Ossetia. Tindakan ini disambut baik oleh Rusia yang siap untuk memperbaiki kembali hubungan antara keduanya. Sebagai tanggapan, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menginstruksikan Kementerian Luar Negeri untuk mulai memulihkan hubungan diplomatik dengan Georgia. Rusia sendiri telah berusaha untuk bergabung dengan World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1993. Hambatan terakhir yang tersisa 21 Ria Novosti Website Group. Russia Hopes to Restore Relations with Georgia-Putin, http://en.rian.ru/world/20120222/171463007.html, diakses pada 1 Februari 2013 25 untuk masuk adalah Georgia yang telah menolak untuk memberikan Rusia akses masuk sejak kedua negara terlibat perang singkat. 22 Dalam pemilihan umum di Georgia tersebut ada dua calon utama yang bersaing, yaitu Koalisi “Impian Georgia” yang dipimpin oleh pengusaha milyarder pro-Rusia Bidzina Ivanishvilli dan “Gerakan Nasional Bersatu” Presiden Mikhail Saakashvilli untuk menguasai parlemen. Pemilihan umum ini kemudian dimenangkan oleh Bidzina Ivanishvilli, dia adalah seorang milyarder yang banyak meraup keuntungan di Rusia. Terpilihnya Ivanishvilli membawa tanda-tanda positif pemerintahan baru Georgia akan memperbaiki hubungannya dengan Rusia, bahwa Georgia akan kembali dekat dengan Rusia dan menjauhi negara-negara barat sebagaimana pada pemerintahan sebelumnya. Rusia berharap kemenangan itu akan membantu proses normalisasi hubungan kedua negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich, mengatakan, melalui sebuah pernyataan, masyarakat Georgia telah memutuskan untuk memilih perubahan. Ia mengungkapkan harapan bahwa Georgia akan bergerak menuju normalisasi dan pembangunan hubungan yang konstruktif dan saling menghormati dengan negara-negara tetangganya.23 Namun demikian, Ivanishvilli menyatakan bahwa ia akan berusaha membina hubungan baik dengan Rusia dan di sisi lain 22 Innokenty Adyasov. Ria Novosti Website Group, First Signs of Thaw Between Russia and Georgia, http://en.rian.ru/analysis/20120302/171687297.html, diakses pada 1 Februari 2013 23 Voice of America Bahasa Indonesia. Rusia Harapkan Normalisasi Hubungan Rusia-Georgia Pasca Pemilu, http://www.voaindonesia.com/content/rusia-harapkan-normalisasi-hubungan-georgiarusia-pasca-pemilu/1519518.html, diakses pada 1 Februari 2013 26 tidak akan menghalangi jalan Georgia yang ingin bergabung sebagai anggota NATO maupun Uni Eropa. Pada intinya adalah Georgia dan Rusia memiliki saling keterkaitan satu sama lain dimana keduanya saling membutuhkan. Perbaikan hubungan bilateral yang ingin ditempuh setelah konflik bersenjata, menuntut adanya inisiatif dan syarat masing-masing dari kedua belah pihak untuk memulainya. Menteri Luar Negeri Georgia, Maya Pandzhikidze mengatakan bahwa pendudukan Rusia di wilayah Gerogia merupakan ancaman keamanan nasional dan juga bagi Eropa. Ia mendukung adanya perbaikan hubungan dengan Rusia, bagi pemerintahan baru Georgia perbaikan hubungan ini akan menjadi prioritas utama. Meskipun baginya tetap mustahil selama Rusia tidak menarik pasukannya yang berada di wilayah Rusia.24 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa prioritas kebijakan luar negeri Georgia adalah sebagai berikut: Georgia melanjutkan perjalanan Eropa dan Euro-Atlantik integrasi, kemitraan strategis dengan Amerika Serikat. Georgia juga bermaksud membuat upaya memperkuat hubungan dengan negara-negara tetangga dan hubungan peningkatan dengan Rusia.25 24 Aulia Akbar. Okezone. Georgia: Rusia Jadi Ancaman Nasional dan Keamanan Eropa, http://jakarta.okezone.com, diakses pada 1 Februari 2013 25 Georgia Times. Terms of Reestablishing Relations Between Georgia and Russia Announced, http://www.georgiatimes.info/en/news/82245.html, diakses pada 1 Februari 2013 27