B10 dunia islam

advertisement
dunia islam
REPUBLIKA ● AHAD, 6 FEBRUARI 2011
B10
WIKIMEDIA
Kehidupan
Muslim Di Georgia
Georgia
Oleh Heri Ruslan
Rebutan Kerajaan-kerajaan Islam
I
ISLAM HADIR DI WILAYAH GEORGIA
SEJAK 645 M, KETIKA PASUKAN TENTARA
ISLAM DI ERA KEPEMIMPINAN KHALIFAH
UMAR BIN KHATTAB MENGUASAI
WILAYAH TIMUR NEGARA ITU.
DAYS.NET.COM
kawasan pusat perdagangan antara dunia Islam dan
negara-negara di Eropa Utara.
Wilayah Georgia pun menjadi provinsi penyangga bagi
kekhalifahan Islam, ketika itu, dalam menghadapi dominasi
Bizantium dan Khazar. Seiring waktu, Tbilisi pun menjadi
wilayah Muslim. Namun, pada 1122 M, situasi berubah
ketika Raja David IV merebut Tbilisi dari Kekhalifahan
Islam. Tbilisi pun sempat menjadi ibu kota sebuah negara
Kristen.
WIKIMEDIA
Oleh Heri Ruslan
eorgia. Negara trans-benua yang terletak di
sebelah timur Laut Hitam itu memiliki peran
penting dalam sejarah penyebaran Islam di
benua Eropa dan Asia. Negara pecahan Uni
Soviet itu berbatasan dengan Rusia di
sebelah utara, Turki di sebelah barat daya,
Armenia di sebelah selatan, dan Azerbaijan di sebelah timur.
Negara yang memiliki luas 69.700 kilometer persegi itu
adalah rumah bagi 423 ribu umat Islam. Menurut data Pew
Report, pada 2009 populasi Muslim di Georgia sekitar 9,9
persen dari total penduduk yang mencapai 4,4 juta jiwa.
Umat Muslim di negara itu berasal dari tiga etnis, yakni
Azeris di daerah pedalaman dan Tbilisi, etnis Muslim
Georgia di Ajara, dan etnis Checen Kists di wilayah timur
laut.
Islam hadir di wilayah Georgia sejak 645 M. Pasukan
tentara Islam di era kepemimpinan Khalifah Umar bin
Khattab berhasil menguasai wilayah Timur Georgia dan
menancapkan kekuasaan di Tbilisi. Hingga tahun 735 M,
sebagian besar wilayah negara itu telah dikuasai penguasa
Muslim.
Di era kekuasaan Dinasti Umayyah yang berbasis di
Damascus, Khalifah Marwan II menempatkan perwakilannya di wilayah Georgia. Ketika berada dalam kekuasaan
Kekhalifahan Islam, Tbilisi atau al-Tefelis menjelma menjadi
G
slam di Georgia terbilang memiliki pengaruh yang
besar. Di negara itu terdapat sedikitnya tujuh
madrasah (sekolah agama Islam) di Georgia. Umat
Islam di Georgia ada yang beraliran Suni dan ada
pula yang Syiah. Kedua penganut aliran dalam Islam itu
hidup saling berdampingan.
Islamofobia masih menjadi fenomena yang
mengkhawatirkan di Georgia. Banyak orang Georgia
yang khawatir terhadap ideologi Islam dan pengaruh
luar yang dapat menyebabkan kekerasan internal.
Keberadaan Muslim Chechec Kists kerap kali menjadi
suatu sumber ketegangan politik antara Georgia dan
Rusia.
Untunglah Georgia di bawah kepemimpinan Mikheil
Saakashvili mulai memperhatikan aspirasi umat Islam.
Baru-baru ini, Saakashvili menyerukan agar izin pembangunan masjid di Georgia tak boleh lagi dipersulit.
Sebelumnya, umat Islam sangat sulit untuk membangun
masjid karena proses perizinannya begitu sulit.
“Dengan menolak untuk membangun mesjid di
Georgia, sama artinya bagi kita menolak hak ratusan
ribu Muslim yang tinggal di wilayah ini untuk menjadi
warga negara Georgia,” kata Presiden Georgia, melalui
saluran televisi PIK.
Menurut Saakashvili, mendirikan masjid bukanlah
masalah agama, tapi hak seluruh penduduk Georgia
untuk beribadah. “Mereka tidak dapat ditolak haknya
untuk mempraktikkan tradisi agama mereka,” ungkap
sang Presiden. Kebijakan Saakashvili itu banyak ditentang masyarakat non-Muslim.
“Sangat mudah untuk membuang slogan populis, tapi
kita harus memiliki sikap tanggung jawab terhadap
sesama warga negara kita terlepas dari identitas agama
dan asal usulnya,” paparnya. Pemerintah Georgia pun
menandatangani kesepakatan dengan Turki.
Kesepakatan itu berupa mempermudah perizinan
pembangunan masjid di Georgia dan perbaikan gereja di
Turki. Kebijakan Presiden Mikheil Saakashvili itu tentu
menjadi angin segar bagi umat Islam Georgia di tengah
merebaknya Islamofobia di negara itu.
Sebagai minoritas, sungguh tak mudah bagi Muslim
Georgia untuk menjalani kehidupan beragama. Bahkan,
menurut laman Caucaz, umat Islam cenderung untuk
sulit diakui dalam ideologi nasional baru Georgia.
Terlebih, rezim Saakashvili lebih cenderung menerapkan
nilai-nilai Kristen.
Sebagai salah satu bukti, Rezim Saakashvili menggunakan bendera baru sebagai simbol negara itu. Lambang
Raja David yang dipakai pada bendera negara itu menunjukkan bahwa Georgia berupaya untuk membangunkan
kembali negara Kristen.
Dinasti Timurid
Sepanjang sejarah, Georgia menjadi wilayah yang
diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan Muslim, seperti
Timurid, Turki Usmani, serta Dinasti Safawiyyah. Memasuki
abad ke-14, Georgia kembali dikuasai Kerajaan Islam.
Dinasti Timurid yang dipimpin Timur Lenk menguasai
Tbilisi—ibu kota Georgia—pada tahun 1386 M.
Kekuasaan Dinasti Timurid pun terbentang dari Asia
Tengah hingga Anatolia. Ketika berhasil menguasai Tbilisi,
pasukan tentara Timur Lenk menangkap raja Bagrat V. Pada
akhir 1401, pasukan tentara Timur Lenk menginvansi
wilayah Kaukasus. Raja Georgia pun mengajukan perdamaian dengan mengirimkan utusan kepada Timur Lenk.
Perhatian Dinasti Timurid untuk menguasai seluruh
wilayah Georgia terpecah, karena harus menghadapi pengaruh Dinasti Turki Usmani yang mulai membesar.
Timur Lenk pun menyetujui perdamaian dengan Raja
Georgia dengan syarat membantu mengirimkan pasukan.
Setelah Dinasti Timurid runtuh, Georgia menjadi rebutan
Dinasti Safawiyah dan Turki Usmani. Dari abad ke-16 hingga
ke-18, kedua kerajaan Islam itu berebut pengaruh dan
kekuasaan di kawasan Kaukasus. Kedua kerajaan itu pada 29
Mei 1555 menandatangani kesepakatan di Amasya.
Wilayah Georgia dibagi menjadi dua bagian. Georgia
Barat meliputi wilayah bagian barat dan selatan menjadi
kekuasaan Turki Usmani, sedangkan Georgia Timur masuk
dalam genggaman Dinasti Safawiyah.
Dominasi Dinasti Safawiyah di Georgia telah menyebabkan terjadinya migrasi suku-suku Turki dari wilayah
tersebut. Proses Islamisasi pun terjadi di berbagai daerah.
Tak hanya itu, syariat Islam juga ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Georgia Timur, Kekaisaran Safawiyah mempercayakan
wilayah itu pada Kerajaan Kartli. Pada 1716, penguasa
Kartli, Vakhtang VI, memeluk Islam dan penguasa
Safawiyah menjadikannya sebagai raja Kartli. Bakhtang IV
lebih memilih pro-Rusia.
Memasuki abad ke-19 M, dua kekuatan Islam di Georgia,
FLICKR.COM
Komunitas Muslim
Kekuatan umat Islam di Georgia terdapat pada etnis
Ajarian dan Azeris. Selain itu, ada pula komunitas
Muslim lainnya yang lebih kecil, yakni Abkhaz. Orangorang etnis Abkhaz dikenal dengan sebutan Abkhazian.
Mereka tinggal dan menetap di wilayah Abkhazia dan
kota-kora lainnya di Georgia.
Etnis kecil lainnya yang memeluk Islam adalah Kistin.
Mereka menetap di lembah Pankisi – tepatnya di Timur
Laut Georgia. Jumlah komunitas Muslim dari etnis itu
mencapai 12 ribu jiwa. Mereka merupakan pengikut
Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. ■
FLICKR.COM
yakni Dinasti Turki Usmani dan Safawiyyah mulai meredup.
Kekuatan umat Islam di Georgia pun semakin melemah.
Pada masa itu, Kristen Rusia di bawah pimpinan Tsar
menguasai Georgia. Jumlah umat Islam pun kian menyusut
meski tak sampai hilang.
Kondisi umat Islam kian terjepit di awal masa kekuasaan
Soviet. Ideologi atheis yang dipegang rezim pada masa itu
berupaya mematikan semua agama, termasuk Islam.
Undang-undang Islam (Syariah) yang telah diberlakukan di
beberapa wilayah yang ditempati umat Islam akhirnya
dihapus pada 1926.
Untunglah, kondisi itu segera berubah. Sejak 1944,
politik antiagama mulai berkurang. Seiring munculnya kebijakan Perestroika, umat Islam kembali bisa beribadah.
Lewat sebuah kompromi, kaum Muslim mendapat kebebasan untuk menjalankan ibadah. Saat Perang Dunia II,
Pemerintah Soviet mendirikan Dewan Agama Muslim untuk
mengendalikan umat Islam di daerah tersebut.
Sejak pecahnya Uni Soviet, umat Islam Georgia mulai
membangun jaringan dengan organisasi di luar nenegri
seperti Iran dan Turki. Menurut laman Caucaz, jumlah umat
Muslim di Georgia terus menurun. Jika pada 1989 jumlahnya mencapai 640 ribu jiwa atau setara 12 persen dari total
populasi penduduk, pada 2009 hanya tinggal mencapai 423
ribu jiwa atau setara 9,9 persen dari jumlah penduduk.
Salah satu faktor yang membuat jumlah umat Islam
menurun, menurut laman Caucaz, terjadi karena banyaknya
umat Islam yang hijrah ke Rusia untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih layak, serta ada juga yang migrasi ke
Azerbaijan karena alasan keluarga. ■
Download