tantangan akademis dan prospek pragmatis

advertisement
TANTANGAN DAN PROSPEK
PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI INDONESIA
Oleh Muhbib Abdul Wahab
:‫ملخص البحث‬
‫ من بينها نشر صورة سيئة مفادها أن العربية لغة‬،‫إن تعليم اللغة العربية يواجه تحديات عدة‬
‫ والحق أن تعليم العربية شأنه‬.‫ وهي لغة عاجزة عن مواكبة التقدم العلمي والتكنولوجي‬،‫صعبة التعلم‬
‫ فصعوبة العربية‬.‫شأن تعليم مواد أخرى يتوقف على عدة عوامل نفسية وتربوية واجتماعية وثقافية‬
‫ وإنما هي راجعة إلى ضعف دوافع المتعلمين إلى‬،‫ليست راجعة إلى صعوبة موادها اللغوية بالذات‬
‫ وإذا تأملنا في واقع‬.‫ وما أشبه ذلك‬،‫ ومنهجها التعليمي‬،‫دراستها ومحدودية معلوماتهم عن العربية‬
‫ فإن من حقنا أن نتفاءل بأن مستقبل تعليم اللغة‬،‫المسلمين والمعاهد التعليمية اإلسالمية بإندونيسيا‬
‫ وذلك بشروط أهمها أننا ال بد من أن نبذل جهودنا في تطوير روح البحث‬،‫العربية سيكون باهرا‬
‫ وتنمية الشبكات التعاونية مع األطراف المعنية بالنهوض‬،‫العلمي وترقية مستوى أعمالنا األكاديمية‬
.‫بتعليم اللغة العربية بإندونيسيا‬
Kata Kunci: Tantangan, Prospek, Pendidikan Bahasa Arab, pengembangan
epistemologi, kurikulum bahasa Arab.
A. Prolog
Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa
Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini
berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia
sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas
telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab
dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan
bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa
Arab di Indonesia jauh lebih ―tua dan senior‖ dibandingkan dengan bahasa asing
lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang bercitra lebih
baik, mengapa citra dan apresiasi masyarakat Indonesia –yang mayoritas penduduk
Muslim yang merupakan komunitas Muslim terbesar di dunia-- terhadap bahasa Arab

Penulis adalah dosen dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Makalah ini sudah dimuat dalam Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni 2007: 118. Jurnal ini diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
tampaknya kurang menggembirakan? Apakah posisi bahasa Arab sebagai bahasa kitab
suci al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. selama ini tidak cukup memberikan
daya dorong (inspirasi dan motivasi) bagi umat Islam untuk mau mengkajinya secara
lebih intens? Apakah studi basaha Arab di Indonesia hanya dipacu oleh semangat
(motivasi) untuk memahami ajaran Islam semata, dan terbatas di kalangan kaum
tradisional ―santri‖ saja, sehingga studi bahasa Arab kurang mendapatkan momentum
untuk berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu dan menarik minat banyak kalangan?
Dan jika bahasa Arab harus direfungsionalisasi, baik secara ilmiah-akademik maupun
profesional-pragmatik, bagaimana hal ini dapat dilakukan?
Sederetan pertanyaan reflektif tersebut menarik dikemukan karena selama ini kita
sebagai pengkaji atau pendidik bahasa Arab tampaknya baru sekedar memposisikan
bahasa Arab sebagai alat (wasîlah) –untuk memahami teks keislaman yang berbahasa
Arab-- dan belum memfungsikannya sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu
dikembangkan melalui berbagai penelitian dan pembacaan kembali secara kritis.
Pandangan kita terhadap bahasa Arab selama ini boleh jadi juga ―termakan‖ oleh
pendapat ulama masa lalu bahwa bahasa Arab itu –utamanya nahwu dan sharaf—telah
―matang dan terbakar‖1, dalam arti bahwa ilmu ini sudah sudah tidak mungkin lagi
dikembangkan dan diperbaharui. Betulkan demikian?
Boleh jadi pertayaan tersebut ada benarnya, terutama jika dihubungkan dengan
kesan sebagian besar orang bahwa bahasa Arab itu sulit (dipelajari, dipahami,
1
Ilmu bahasa Arab tradisional, oleh Amîn al-Khûlî, dari segi potensi pengembangannya
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) ‘ilm nadhaja wa ihtaraqa (ilmu yang sudah matang dan terbakar),
seperti ilmu nahwu dan ilmu kalam (teologi), (2) ‘ilm la nadlaja wa la ikhtaraq (ilmu yang tidak matang
dan tidak terbakar), seperti tafsir dan ‘ilm al-bayân; dan ‘ilm nadlaja wa ma ikhtaraqa (ilmu yang sudah
matang tetapi tidak terbakar), seperti: fiqh dan hadits. Lihat Amîn al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahwi
wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1961), Cet. I, h. 127 Pendapat bahwa
nahwu itu sudah ―matang dan selesai‖ disanggah oleh Tammâm Hassân. Menurutnya, nahwu sebagai
ilmu tetap berkembang, bergantung pada perspektif dan metode penelitian yang digunakan. Metode
deskriptif (manhaj washfî) yang disumbangkan oleh linguistik modern cukup kompatibel untuk dijadikan
sebagai media untuk melihat ulang (i’âdah al-nazhar) dan mengembangkan nahwu dan ilmu-ilmu bahasa
Arab lainnya. Lihat Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Ma’nâhâ, (Kairo: al-Haiah
al-Mishriyyah al-‗Ammah li al-Kitâb, 1985), Cet. III, h. 7. Dalam karyanya yang terbaru, Ijtihâdât
Lughawiyyah, ia menyerukan pentingnya ijtihad dalam pemikiran bahasa Arab, karena pemikiran
linguistik Arab banyak terkungkung oleh sejarahnya itu sendiri, di samping karena kurangnya daya kritis
para ulama bahasa Arab kontemporer terhadap warisan intelektual Arab klasik. Bahkan menurut ‗Abd alSalâm al-Musaddî, hegemoni nahwu historis (al-nahwu al-târîkhî) itu jauh lebih kuat dibandingkan
dengan perkembangan pengetahuan (al-tathawwur al-ma’rifî). Maksudnya, warisan pemikiran nahwu
yang telah menyejarah itu, dengan aneka perbedaan pendapat dan aliran yang ada berikut tokoh-tokohnya,
lebih banyak diwacanakan daripada substansi keilmuan nahwu itu sendiri. Lihat Tammâm Hassân,
Ijtihâdât Lughawiyyah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007); dan ‗Abd al-Salâm al-Musaddî, ―al-Lughah al‗Arabiyyah wa al-Tahaddiyât al-Jadîdah‖, diakses dari http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article, 30
Juni 2007.
2
dipraktikkan; tidak seperti –misalnya—bahasa Inggris atau Mandarin). Tingkat
kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab diduga kuat karena ilmu bahasa Arab itu
sudah cukup matang, komplit dan sekaligus kompleks. Mitos apa yang sesungguhnya
menghantui sulitnya mempelajari dan menguasai bahasa Arab?
Tulisan ini mencoba memberikan pemikiran ulang dan refleksi (rethinking and
reflecting) mengenai tantangan dan prospek studi dan pendidikan bahasa Arab di
Indonesia. Tantangan apa saja yang sesungguhnya dihadapi oleh para pegiat dan
peminat studi bahasa Arab di Indonesia oleh dewasa ini? Bagaimana membuka peluang
dan prospek yang menarik bagi peminat studi bahasa Arab di tengah persaingan global?
Bagaimana pula lembaga pendidikan tinggi Islam, utamanya UIN dan IAIN, dapat
mengembangkan epistemologi keilmuan bahasa Arab yang kokoh dan dinamis? Sikap,
tradisi, dan etika akademis seperti apakah yang perlu dirumuskan untuk membangun
keilmuan bahasa Arab sehingga dapat memberikan prospek cerah di masa depan?
B. Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian)
hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di
lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk
memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi
pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:
1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan
memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi ini dapat berupa belajar
keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari
keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmuilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan kitâbah).
Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau
obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik
dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra
Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk
kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan
3
(muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi
dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.
4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami
dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme,
kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya
beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.2
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai
UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam Jakarta. Hanya
saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong ―miskin‖ sumber daya manusia dan sumbersumber studi (referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat
adalah PBA FITK Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan
penulis, yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang
masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan
kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan
pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab.
Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan
sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif ―tertolong‖ oleh keberadaan LIPIA (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas al-Imâm
Muhammad ibn Sa‘ûd di Riyâdh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber
belajar yang relatif memadai, melainkan juga membantu PBA memberikan native
speaker dan koran-koran berbahasa Arab untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau
jauh dari PBA UIN Jakarta, mungkin nasib PBA tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA
yang ada di luar Jakarta.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil
―ijtihad institusional‖ masing-masing, bukan merupakan ―ijtihad struktural‖ (baca:
Depag RI). Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai
pentingnya kerjasama atau networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah
kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA
FITK menjadi semacam ―lokomotif atau kiblat‖ bagi PBA-PBA lainnya –antara lain
karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi PBA-PBA lainnya—
namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui kurikulumnya sudah semakin
2
Muhbib Abdul Wahab, ―Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi‖, Makalah
disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29 Mei 2006.
4
mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem
sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang
dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA
kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga
daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya
saing ini perlu dibenahi dengan memberikan aneka ―keterampilan plus‖, seperti:
keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis)3, keterampilan
mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan
manajerial, dan keterampilan sosial.
C. Tantangan Pendidikan Bahasa Arab
Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Suriah,
Iraq, Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu Arab fushha
dan Arab ‘âmmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks dan
nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan,
ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab ‗âmmiyah
digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di
berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan sebagainya). Frekuensi dan
tendensi penggunaan bahasa Arab ‗âmmiyah tampaknya lebih sering dan lebih luas,
tidak hanya di kalangan masyarakat
umum, melainkan juga kalangan masyarakat
terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru
menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja.
Menurut ‗Abd al-Shabûr Syâhîn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan
pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa
Arab fushha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan
proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‗âmmiyah atau dialek lokal (al3
Ada kecenderungan untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis keterampilan komunikasi
global. Melalui kurikulum yang demikian lulusan PBA diharapkan memiliki kompetensi berbahasa Arab
aktif. Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PSPBA) Universitas Negeri Malang (UNM) misalnya
mengalokasikan 58 sks (46%) untuk mata kuliah keterampilan berbahasa dari total 126 sks mata kuliah
bidang studi. Dari segi kuantitas, jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan 18 sks yang
dialokasikan Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Yogyakarta. Selain itu,
pembentukan keterampilan berbahasa diawali dengan program bahasa Arab intensif selama satu tahun
dengan bobot 24 sks. Lihat Imam Ansori, ―Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era Global‖,
dalam dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab
dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung: UIN Bandung, 2007),
h. 143-4.
5
lahajât al-mahalliyah). Jika jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling
tidak ada 22 ragam bahasa ‗âmmiyah. Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan
kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal Iskandaria (Alexandria) tidak sama
dengan dialek Thantha, dan sebagainya.4
Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan
baru, yaitu munculnya fenomena al-fush’amiyyah )‫(الفصعمية‬, campuran ragam fushha
dan ‘âmmiyah. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena
terjadi degramatisasi atau pengeleminasian beberapa gramatika (qawâ’id). Kaedahkaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qawâ’id pada
umumnya tidak efektif. Kultur fush’amiyyah lebih dominan daripadi kultur akademik
yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab. Bahkan di kalangan perguruan
tinggi Mesir, termasuk di Fakultas Adab, sebagian besar dosennya banyak
menggunakan ragam baru ini. 5
Kedua, masih menurut Syâhîn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan
pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat,
termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang
tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi
penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan
generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk
terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas
nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa
yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi.6
Farîd al-Anshârî menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (alisti’mâr al-‘awlamî al-jadîd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini
memang dimaksudkan untuk ―membunuh karakter dan identitas budaya‖, terutama
Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut
kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam,
khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam
negara-negara Islam, baik melalui ―intervensi langsung‖ maupun melalui operasi agen4
Baca ‗Abd al-Shabûr Syâhîn, ―al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‗Arabiyyah‖,
dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah al-‘Arabiyyah… ila aina?, (Rabath: Isesco, 2006).
5
Bandingkan Abd al-Shabûr Syâhîn, ―al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‗Arabiyyah‖,
dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
6
Syâhîn, ―al-Tahaddiyât…‖ dalam http://www.isesco.org.ma … 25 Juli 2007.
6
agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda yang ―diselundupkan‖
ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya
Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam,
dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.7
Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga
pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser –meskipun belum sampai digantikan—
oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains.
Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan
dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak
menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, mata acara atau program tayangan televisi
di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang
sekuler dan materialistik.8 Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa
Arab secara serius menjadi menurun.
Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab
fushha, dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa Al-Qur‘an
dan Al-Sunnah, karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan
memahami sumber-sumber ajaran Islam. Sebagian kalangan –boleh jadi karena
ketidaktahuan bahasa Arab ‗âmmiyah—cenderung anti bahasa Arab ‗âmmiyah, karena
mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat merusak bahasa Arab fushha. Betulkah
demikian?
Menurut penulis, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam
kenyataannya, masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam
bahasa Arab tersebut secara proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Banyak
para guru atau dosen di perguruan tinggi di Mesir, Arab Saudi, Syria, dan lainnya tetap
fasih berbahasa fushha, meskipun dalam pergaulan keseharian dengan sesamanya lebih
cenderung menggunakan ‗âmmiyah. Yang hendak ditegaskan di sini adalah bahwa studi
bahasa Arab diperguruan tinggi Islam di Indonesia perlu dikembangkan tidak hanya
berorientasi penguasaan bahasa Arab fushha semata, melainkan juga bahasa Arab
‗âmmiyah perlu mendapat ―ruang dan waktu‖ (porsi), meski hanya sekedar pengenalan
7
Farîd al-Anshârî, ―Ishlâh al-Ta’lîm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Âlam al-Islâmî,”
diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.
8
Manshûr ibn Shâlih al-Yûsuf, ―al-Lughah al-‗Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‗Ashr‖, diakses dari
http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.
7
dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi secara alami dan efektif
dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun informal.
Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fushha dengan
âmmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak dapat
memahami al-Qur‘an dengan baik juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana
mungkin orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab
âmmiyah, sedangkan mereka sendiri (para orientalis) secara akademis mempelajari
bahasa Arab fushha sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa
Arab fushha akan tetap lestari meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa
Arab âmmiyah. Kecenderungan berbahasa Arab âmmiyah tampaknya lebih didasari oleh
kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu: komunikasi lisan yang lebih mengutamakan
aspek kepraktisan, simpel, dan cepat. Namun demikian, maraknya penggunaan bahasa
Arab âmmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam atau setidaktidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau bangsa Arab pada umumnya.9
Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disorientasi: tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur program
kurikulum PBA yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak semuanya
revelan dengan visi dan misi PBA. Mata kuliah seperti: Nushûsh Adabiyyah dan ‗ilm al‘Arûdh (Metrics) agaknya sudah tidak revelan dengan kebutuhan riil mahasiswa
maupun kebutuhan pasar. Selain itu, antara satu mata kuliah dengan lainnya terkesan
kurang saling melengkapi dan memperkuat basis dan kerangka keilmuan. Sebagai
contoh kasus, ketika membelajarkan insyâ’ (composition), penulis masih banyak
disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu dan
sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang
seharusnya dipecahkan dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga
menunjukkan bahwa para mahasiswa belum banyak menerima latihan (tadrîbât
nahwiyyah atau sharfiyyah) yang –jika dikembangkan—semestinya membuat mereka
terlatih menyusun kalimat baku secara baik dan benar.
Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih
mendua dan setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi kailmuan.
9
Lihat Nazîr Muhammad Maktabî, al-Fushha fi Muwâjahat al-Tahaddiyât, (Beirut: Dâr alBasyâ‘ir al-Islâmiyyah, 1991).
8
Keduanya memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya
perlu dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi
keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat keterampilan
bahasa secara mumpuni? Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai disiplin ilmu yang
berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka epistemologinya, melainkan juga
substansi dan metodologinya.
Jika orientasi pertama yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA
bermuara pada pengembangan keterampilan: mendengar, berbicara, membaca, menulis,
dan menerjemahkan. Sisanya, 30% untuk pengayaan materi keilmuan bahasa Arab,
kefakultasan dan MKU (Mata Kuliah Umum/Universitas). Sebaliknya jika orientasi
kedua yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bernuansa: ‘ilm al-ashwât
(fonologi), ‘ilm al-sharf (morfologi), ‗ilm al-nahwi (sintaksis), ‘ilm al-dilâlah
(semantik), ‘ilm al-mu’jam (leksikografi), metodologi penelitian bahasa Arab, linguistik
terapan (‗ílm al-lughah al-tathbîqî), sosiolinguistik (‘ilm al-lughah al-ijtimâ’î),
psikolinguistik (‘ilm al-lughah al-nafsî), linguistik teks (‘ilm lughat al-nashsh), sejarah
dan filsafat bahasa Arab, dan sebagainya.10
Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan
lembaga pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini
dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara
mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan
sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan bahasa Arab
(seperti mempelajari tafsir, fiqh, hadits, dan sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa
Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik (fushha turâts), bahasa Arab
modern/kontemporer (fushha mu’âshirah) atau bahasa Arab pasaran (‘âmmiyyah).
Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan antara mengikuti perkembangan
10
Harus diakui bahwa saat ini bahasa Arab sedang kalah ―pasaran‖ dibandingkan dengan bahasa
internasional lainnya, seperti bahasa Inggris dan Mandarin karena beberapa sebab. Salah satunya adalah
karena umat Islam saat ini terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ―hegemoni
bahasa Inggris‖ yang cukup kuat karena banyaknya negara yang pernah menjadi jajahan Inggris,
termasuk Amerika, yang kemudian menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, seperti di India, Malaysia, Singapura, di samping karena
stabilnya sistem politik dan perekonomian negara ini.
9
dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini, bahasa Arab banyak diajarkan
dengan menggunakan metode qawâ’id wa tarjamah.11
Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan
pendidikan bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta
kecenderungan sebagai pelajar atau mahasisiwa bahasa Arab untuk ―mengambil jalan
yang serba instan‖ tanpa menulis proses ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat
dari karya-karya dalam bentuk makalah dan skripsi yang agaknya cenderung merosot
atau kurang berbobot mutunya. Mahasiswa yang sudah berada di ―dunia PBA‖ bahasa
Arab seakan tidak betah dan ingin mencari ―dunia lain‖, sehingga –ini perlu disurvei
dan dibuktikan secara akademis—tidak sedikit yang mengeluh bahwa jurusan bahasa
Arab itu sebetulnya bukan ―habitat‖ mereka yang sesungguhnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi
Mas‘ud terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada International Islamic
University Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab
menunjukkan bahwa
penyebab kesulitan belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau
materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar
belakang belajar bahasa Arab (87%),
materi/kurikulum perguruan tinggi (83%),
kesulitan memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas yang tidak
kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80% penyebab kesulitan belajar
bahasa Arab adalah faktor psikologis. 77% di antara mereka memiliki kesan negatif
terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata kuliah bahasa Arab dianggap
mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus.12 Jadi, faktor penyebab kesulitan
belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab itu sendiri (faktor
internal sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor psikologis (minat,
motivasi, tidak percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan metode
yang dipilih dalam pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan faktorfaktor psikologis, edukatif, dan sosial kultural.
11
Emzir, ―Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah dan Sekolah Umum,‖
dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan
Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung: UIN Bandung, 2007), h. 2-3.
12
Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Mas‘ud, ―Shu‘ûbat Ta‘allum al-Lughah al-‗Arabiyyah
lada Thullâb al-‗Ulûm al-Insâniyyah (‗Ilm al-Siyâsah) fi al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah al-‗Âlamiyyah bi
Malaysia‖, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional: Bahasa
Arab dan Sastra Islam Kurikulum dan Perkembangannya, Bandung, 23-25 Agustus 2007, h. 23-25.
10
Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga
masih relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh
minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan
pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintasuniversitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita dengan
perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat pasokan
sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu, penting juga
ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk penyediaan sumber
belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negara-negara
berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang13, jika dibandingkan dengan negaranegara Barat, seperti Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya.
D. Pengembangan Epistemologi dan Kurikulum Bahasa Arab
Tantangan dan berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan bahasa Arab tidak
mungkin dapat dipecahkan secara personal, tetapi harus melalui pendekatan
institusional dan melibatkan banyak pihak. Namun yang mendesak untuk kita
diskusikan secara lebih mendalam adalah pengembangan epistemologi dan kurikulum
bahasa Arab pada jurusan Pendidikan bahasa Arab. Yang dimaksud dengan
pengembangan epistemologi bahasa Arab adalah pengokohan bangunan keilmuan
bahasa Arab agar arah pengembangan pengkajian bahasa Arab lebih dinamis. Dari
bangunan epistemologi inilah, struktur keilmuan dapat dikembangkan lebih jauh dalam
kurikulum bahasa Arab. Berikut ini adalah beberapa pokok pikiran mengenai model
pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab.
Pertama, revitalisasi sinergi ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang
mempunyai kedekatan bidang kajian, sehingga terjadi proses ―take and give‖ (al-akhdz
13
Diakui bahwa Universitas Islam al-Imam Muhammad Ibn Sa‘ûd yang berpusat di Riyâdh telah
membuka Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab/LIPIA (Ma’had al-‘Ulûm al-Islâmiyyah wa al‘Arabiyyah) di beberapa negara seperti: Jepang, Indonesia, Mauritania, Jibouti, dan Amerika Serikat atas
biaya Saudi. Lembaga ini, antara lain bertujuan untuk menyebarluaskan pendidikan bahasa Arab.
Lembaga ini juga menyediakan perpustakaan yang relatif memadai. Namun, program semacam ini tidak
diikuti oleh negara-negara teluk lainnya yang kaya minyak bumi seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan
Qatar. Keberadaan LIPIA di Jakarta cukup memberikan kontribusi positif bagi pendidikan bahasa Arab di
Indonesia, namun belum cukup menjangkau dan memenuhi animo pelajar Muslim di Indonesia karena
keterbatasan daya tampung dan lainnya. Ke depan, lembaga semacam LIPIA ini diharapkan dapat
didirikan di Indonesia atas biaya beberapa negara Arab tersebut; atau setidak-tidaknya dapat dibuka
Kuwait Corner, Qatar Corner, Emirat Corner, dan sebagainya, sehingga tercipta al-tabâdul al-‘ilmî wa
al-tsaqâfî (pertukaran ilmu dan budaya). Baca Hamd ibn Nâshir al-Dakhîl, Maqâlât wa Âra’ fi al-Lughah
al-‘Arabiyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994), Cet. IV, h. 83.
11
wa al-‘athâ’) seperti: ilm al-Nashsh (tekstologi)14, ‘ilm al-makhathûthât (filologi)15,
‘ilm al-uslûb16 (stilistika) dan sebagainya. Dengan demikian, ilmu bahasa Arab tidak
hanya menjadi basis studi, tetapi juga mempunyai ―jaringan keilmuan‖ yang lebih luas
dan multifungsi. Dalam konteks pengembangan kurikulum, pokok-pokok bahasan
masing-masing ilmu (baca: mata kuliah) sebaiknya me
Kedua, pengembangan cabang-cabang bahasa Arab menjadi ilmu mandiri,
seperti: ‗ilm al-tarjamah, ilm al-insyâ, ilm ushûl al-nahwi, ilm al-Mu’jam (leksikografi)
dan sebagainya, sehingga ilmu-ilmu ini tidak hanya sekedar ―suplemen‖, tetapi menjadi
ilmu yang lebih substantif, sistematis, dan mendalam.17 Seiring dengan semakin
menguatnya basis dan tradisi keilmuan, jika memungkinkan di suatu saat nanti, PBA
dapat membuka program studi atau peminatan: metodologi penelitian bahasa Arab
tarjamaah Arab-Indonesia, metodologi pembelajaran bahasa Arab, pengembangan
kurikulum bahasa Arab, teknologi pendidikan bahasa Arab, dan sebagainya.
Ketiga, pembandingan, adaptasi, dan improvisasi ilmu bahasa Arab dengan
bahasa Inggris dan Perancis yang saat ini lebih maju dan modern. Upaya ini sebetulnya
sudah dilakukan, terutama dalam konteks pembagian metodologi pembelajaran bahasa
Arab. Namun tokoh-tokoh pengembangnya relatif masih terbatas. Di antaranya adalah
Kamâl Ibrâhîm Badrî, Muhammad Ismâ‘îl Shînî, Rusydî Ahmad Thu‘aimah, Mahmûd
Kâmil al-Nâqah, Rusydî Khathir, Mahmud Fahmî Hijazi, Tammâm Hassân, dan Abduh
14
Lihat Teun A. van Dijk, ‘Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadâkhil al-Ikhtishâshât, terj. dari
Textwissenscaft, eine interdiziplinare Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, (Kairo: Dâr al-Qâhirah, 2002).
15
Kajian mengenai teks di dunia Arab cukup semarak karena peradaban Islam mewariskan teks yang
sangat melimpah. Nashr Hâmid Abû Zaid menyatakan bahwa jika peradaban Mesir kuno adalah
peradaban pascakematian (Mummi, piramida, makam raja-raja); peradaban Yunani adalah peradaban
nalar (akal, filsafat), maka peradaban Islam adalah peradaban teks (nash). Lihat Nashr Hamid Abû Zaid,
Mafhûm al-Nashsh: Dirâsat fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb,
1993), h. 11.
16
Kajian mengenai stilistika pada merupakan bagian dari ilmu balaghah. Seiring dengan
perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab, dan estetika (keindahan, termasuk keindahan bahasa),
muncullah kajian yang lebih intensif dan mengarah kepada pembentukan ilmu uslûb. Di antara karya
yang berkaitan dengan ilmu ini adalah: al-Uslûb: Dirâsah Balâghiyyah Tahliliyyah li Ushûl al- Asâlîb alAdabiyyah (1993) karya Ahmad al-Syâyib; ‘Ilm al-Uslub: Mabadi’uhu wa Ijra’atuhu (1983) karya
Shalâh Fadhl; dan Jamâliyyah al-Uslûb: al-Shûrah al-Fanniyah fi al-Adab al-‘Arabî karya Fâyiz alDâyah.
17
Tarjamah misalnya semula hanya merupakan salah satu cabang bahasa Arab yang
―disubordinasikankan‖ dalam buku-buku pelajaran bahasa Arab. Dalam perkembangannya, tarjamah
kemudian menjadi sebuah mata kuliah, dan belakangan menjadi sebuah program studi seperti yang ada
pada Fakultas Adab dan Humaniora. Demikian pula, karya-karya tentang tarjamah mula-mula misalnya
hanya berupa fann (seni); belakangan kata ‘ilm disebutkan secara tegas. Lihat misalnya, Muhammad
‗Inâni, Fann al-Tarjamah, (Kairo: al-Syarikah al-Mishriyyah al-‗Âlamiyyah, 1992); Muhammad alDîdâwi, ‗Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, (Tunis; Dâr al-Ma‘rifah, 1992); dan
Ibrâhîm Badawî al-Jîlânî, ‘Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-‘Arabiyyah ‘ala al-Lughât, (Kairo: al-Maktab al‗Arabi li al-Ma‘ârif, 2000).
12
al-Rajihî.18 Semua tokoh tersebut pernah mengenyam pendidikan tinggi di Barat, seperti
Amerika, Perancis, Inggris, dan Jerman.
Keempat, revitalisasi pendasaran dan pengaitan pengembangan penelitian
bahasa Arab dengan ―nuansa Islam‖ dan sumber utama ajaran Islam, yaitu: al-Qur‘an
dan al-Sunnah. Dewasa ini cukup marak dilakukan oleh para sarjana di perguruan tinggi
Arab. Beberapa karya yang dapat disebut di sini, antara lain, adalah: al-Isytirâk, alLafzhî fi al-Qur’ân al-Karîm Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Al-Tarâduf, fi alQur’an,Al-Karîm, Baina al-Nazhariyyah, wa al-Thabîq, Al-Tarâduf, fi al-Qur’ân, alKarîm Baina al-Nazhariyyah wa Al-Tathbîq, ketiganya karya Muhammad Nuruddîn alMunajjid (1999), al-Nahw al-Qur’ânî: Qawâ’id wa Syawâhid karya Jamîl Ahmad
Dhafr (1998), dan al-Manhaj al-Islâmî fi al-Naqd al-Adabî karya Sayyid Sayyid ‗Abd
al-Razzâq (2001).
Kelima, penguatan penelitian dan pendidikan bahasa Arab melalui aplikasi dan
improvisasi linguistik modern dan pengalaman positif di bidang pembelajaran bahasa
dari Barat dengan tetap mempertahankan kekhususan atau karakteristik ilmu-ilmu
bahasa Arab, baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun semantiknya. 19 Upaya
semacam ini, antara lain, terlihat dalam beberapa karya seperti: Dirâsat Nahwiyyah wa
Dilâliyah wa Falsafiyyah fi Dhaui al-Lisâniyyah al-Mu’âshirah karya Mâzin Al-Wa‘r
(2001), al-Dilâlah wa Al-Harakah: Dirâsah li Af’âl Al-Harakah fi Al-‘Arabiyyah Al18
Pemikiran tokoh-tokoh tersebut juga sangat layak dijadikan sebagai obyek penelitian, baik dalam
rangka penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi. Di antara tokoh pendidikan bahasa Arab yang sangat
produktif adalah Rusydî Ahmad Thu‘aimah. Selain aktif di Isesco, dia adalah peneliti, dosen terbang di
berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Di antara karyanya yang banyak menjadi referensi dalam
pendidikan bahasa Arab bagi non-Arab adalah al-Marji’ fi Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li alNâthiqîna bi Lughât Ukhra (1986); Ta’lîm al-Kibar: Takhthîth Barâmijihi wa Tadrîs Mahârâtihi (1999),
Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîna biha: Manâhijuhu wa Asâlîbuhu (1989); Manâhij
Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Ta’lîm al-Asâsî (2001); Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Dîn
baina al-‘Ilm wa al-Fann (2000); dan yang terbaru, Ta’lîm al-Lughah Ittishâliyyan: Manâhijuhu wa
Istirâjiyyatuhu (2006).
19
Dalam konteks ini, usaha Tammâm Hassân (1918—sekarang), linguis Mesir kontemporer, untuk
mengaplikasikan teori-teori linguistik modern dalam kajian bahasa Arab (terutama nahwu) cukup
berhasil. Ia mendasarkan studinya dengan membangun landasan ilmiah terlebih, yaitu merumuskan
Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1955), metodologi penelitian bahasa. Setelah itu, ia membongkar
(mendekonstruksi) warisan intelektual klasik (nahwu), lalu merekonstruksinya dengan menawarkan
model kajian bahasa Arab yang lebih realistis, rasional, dan pragmatis. Pendekatan dalam kajian bahasan
menurutnya sangat luas dan luwes, sesuai dengan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa Arab dapat didekati
dari perspektif pendidikan, penelitian, sejarah, kritik, dan evaluasi. Berbagai pendekatan tersebut, setelah
diaplikasikan, menghasilkan sejumlah karya yang cukup monumental. Di antaranya: al-Lughah al‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1973), al-Ushûl: Dirasah Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi
‘Inda al-‘Arab: al-Nahw –Fiqh al-Lughah – al-Balâghah (1981); al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah al‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîna bihâ (1984); al-Khulâshah al-Nahwiyyah (2000), al-Bayân fi Rawâ’i alQur’ân (1993). Mengenai biografi intelektualnya, lihat ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm
Hassân Râ’idan Lughawiyyan, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2002), Cet. I, h. 13-33.
13
Mu’âshirah fi Ithâr Al-Manâhij al-Hadîtsah dan al-Dilalah wa al-Kalâm Dirâsah li
Afal Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mu’âshirah fi Ithâr Al-Manâhij al-Hadîtsah
keduanya karya Muhammad Muhammad Dâwûd (2002).
E. Prospek Pendidikan Bahasa Arab
Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita berusaha
untuk menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkîr al-îjâbî) dan bersikap
penuh kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan
bahasa Arab. Menurut penulis, ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa depan
yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersamasama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena
seseorang yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk
mendalami dan mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan
studi ilmu-ilmu keislaman seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan
sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumbersumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai alat dan modal
hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa Arab, baik itu ilmu
maupun keterampilan berkomunikasi lisan.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa
Arab yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik
dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang
sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan
Sastra Arab) atau lainnya, meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA
mengambil Program Akta Mengajar (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan
kewenangan menjadi guru.
Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan
metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab
dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui
penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya
komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama
ini menjadi hambatan –setidak-tidaknya kurang mengundang minat meneliti—adalah
rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting pimpinan UIN ―mewajibkan‖
14
setiapkan dosen untuk meneliti dan/atau menulis karya-karya akademik yang relevan
dengan bidang keilmuannya. Kebijakan ―wajib meneliti‖ ini, tentu saja, harus dibarengi
dengan pemberian ―insentif‖ (ujrah) yang memadai: membuat khusyu‘, tekun, dan
menikmati proses penelitiannya.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik
mengenai keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya.
Profesi ini cukup menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif
belum mendapat apresiasi yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor
yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan
penerjemahan besar-besaran, terutama pada masa Hârûn al-Rasyîd (786-809 M) dan alMa‘mûn (786-833 M). Gerakan penerjemahan itu disosialisasikan dengan ditunjang
oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-Hikmah (Wisma Kebijaksanaan).
Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui
Departemen Luar Negeri, agar ―pos-pos‖ yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab
dapat diisi oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan politik. Jika
program peminatan atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat
dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni
pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena itu,
pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan kapasitas
dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada Pendidikan Bahasa
Arab mutlak harus ―didisiplinkan‖, baik dari segi keilmuan maupun kesejahteraan.
Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita
selama ini masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan
teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum
mendapat sentuhan ―modernitas‖ yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif.
Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh
Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan
SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan
pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi
pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik
tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya
akademik (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang
15
dapat memberikan pencerahan masyarakat. ―Lahan‖ pemikiran pendidikan bahasa Arab
sejauh ini belum ―tergarap‖ dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih ―miskin‖
produktivitas keilmuan. Menurut Mahmûd Fahmî Hijâzî, studi bahasa Arab masih terus
memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah
modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga bahasa
Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beradaptasi dengan
perkembangan ilmu dan teknologi.20
F. Epilog
Dari uraian reflektif dan elaboratif di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak
persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan
dicarikan solusinya secara akademik dan –dalam batas-batas tertentu—secara politik.
Isu pencitraan buruk terhadap bahasa Arab, penggantian fushhâ dengan âmmiyah,
rendahnya minat dan motivasi sebagian peserta didik dalam belajar bahasa Arab
seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita masih harus berpikir, bersikap, dan
berdedikasi lebih optimal (dedicate more and more) untuk kemajuan pendidikan bahasa
Arab di Indonesia.
Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan
sebagai peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi
peminat dan penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Epistemologi keilmuan dan
kurikulum perlu dibenahi dan diorientasikan kepada pembentukan kamahiran yang
kompetitif di era global ini. Semua itu menuntut banyak pihak untuk bersinergi dalam
menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan pengembangan yang dilandasi oleh kajian
akademik yang mendalam. Selama lembaga pendidikan Islam masih eksis, prospek
pendidikan bahasa Arab tetap akan cerah dan menjadi daya tarik tersendiri.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat membentuk tradisi
keilmuan bahasa Arab yang dinamis, termasuk tradisi melakukan penelitian, dan upaya
serius dari pemerintah (Depag maupun Diknas) untuk lebih peduli dan berkomitmen
untuk memayungi kebijakan-kebijakan tentang pendidikan bahasa Arab di Indonesia
yang lebih menguatkan posisi tawar bahasa Arab. Menarik ditegaskan, bahwa
pemerintah Malaysia di bawah Perdana Menteri Abdullah Badawi menerbitkan
20
Mahmûd Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ wa Musykilât,
(Kairo: Dâr Qubâ‘, 1998), Cet. I, h. 79.
16
kebijakan berupa pewajiban bagi semua lembaga pendidikan (Islam, Kristen, Budha,
Konghucu, dsb.) untuk mengajarkan bahasa Arab pada tingkat dasar dan menengah,
karena pemerintah menghendaki para lulusan lembaga pendidikannya itu mempunyai
daya saing dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutal masyarakat global. Selain itu,
penggunaan bahasa Arab pada bandara internasional Kuala Lumpur sebagai salah satu
media informasi (di samping bahasa Inggris, Mandarin, dan Melayu), ternyata banyak
mengundang mengundang minat wisatawan dan investori dari Timur Tengah, di
samping membuka lapangan kerja bagi lulusan pendidikan bahasa Arab.
Akhirnya, kita berharap pemerintah banyak belajar dari pengalaman negara yang
sudah lebih maju (seperti Malaysia) dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan
dengan pendidikan bahasa Arab. Jika setiap tahun kita memberangkatkan lebih dari 210
ribu jamaah haji ke Arab Saudi dan sekian banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah,
mengapa kita tidak banyak berusaha menarik minat wisatawan dan investor dari
kawasan Timur Tengah? Jadi, pendidikan bahasa Arab akan semakin memberi prospek
yang cerah dan mencerahkan jika kebijakan pemerintah dalam bidang ini lebih visioner.
Daftar Pustaka
‗Ârif, ‗Abd al-Rahmân Hasan (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan, Kairo:
‗Âlam al-Kutub, Cet. I, 2002.
‗Inâni, Muhammad, Fann al-Tarjamah, Kairo: al-Syarikah al-Mishriyyah al‗Âlamiyyah, 1992.
Abdul Wahab, Muhbib, ―Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi‖,
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29
Mei 2006.
Abû Zaid, Nashr Hâmid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsat fi Ulûm al-Qur’ân, Kairo: alHai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1993.
Anshârî, Farîd, ―Ishlâh al-Ta’lîm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Âlam alIslâmî,” diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20
Agustus 2007.
Ansori, Imam, ―Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era Global‖, dalam
dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar
Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya,
Bandung: UIN Bandung, 2007.
al-Dakhîl, Hamd ibn Nâshir, Maqâlât wa Âra’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Riyâdh:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994, Cet. IV..
Emzir, ―Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah dan
Sekolah Umum,‖ dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.),
Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam:
Kurikulum dan
Perkembangannya, Bandung: UIN Bandung, 2007.
Hassân, Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Ma’nâhâ, Kairo: al-Haiah alMishriyyah al-‗Ammah li al-Kitâb, Cet. III, 1985.
Hassân, Tammâm, Ijtihâdât Lughawiyyah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007.
17
Hijâzî, Mahmûd Fahmî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ wa
Musykilât, Kairo: Dâr Qubâ‘, Cet. I, 1998.
al-Jîlânî, Ibrâhîm Badawî, ‘Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-‘Arabiyyah ‘ala al-Lughât,
Kairo: al-Maktab al-‗Arabi li al-Ma‘ârif, 2000.
al-Khûlî, Amîn, Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa alAdab, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, Cet. I, 1961.
Maktabî, Nazîr Muhammad, al-Fushha fi Muwâjahat al-Tahaddiyât, Beirut: Dâr alBasyâ‘ir al-Islâmiyyah, 1991.
Manshûr ibn Shâlih al-Yûsuf, ―al-Lughah al-‗Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‗Ashr‖,
diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.
Muhammad al-Dîdâwi, ‗Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Tunis;
Dâr al-Ma‘rifah, 1992.
Musaddî, ‗Abd al-Salâm, ―al-Lughah al-‗Arabiyyah wa al-Tahaddiyât al-Jadîdah‖,
diakses dari http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article, 30 Juni 2007.
Syâhîn, ‗Abd al-Shabûr, ―al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‗Arabiyyah‖,
dalam al-Tuwaijirî (Ed.), al-Lughah al-‘Arabiyyah… ila aina?, Rabâth: Isesco,
2006.
Syâhîn, Abd al-Shabûr, ―al-Tahaddiyât al-lati Tuwâjihu al-Lughah al-‗Arabiyyah‖,
dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
Syamsuddin, Jamsuri Muhammad dan Mahdi Mas‘ud, ―Shu‘ûbat Ta‘allum al-Lughah
al-‗Arabiyyah lada Thullâb al-‗Ulûm al-Insâniyyah (‗Ilm al-Siyâsah) fi al-Jâmi‘ah
al-Islâmiyyah al-‗Âlamiyyah bi Malaysia‖, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan
Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional: Bahasa Arab dan Sastra Islam
Kurikulum dan Perkembangannya, Bandung: UIN Bandung, 23-25 Agustus
2007.
van Dijk, Teun A., ‘Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadâkhil al-Ikhtishâshât, terj. dari
Textwissenscaft, eine interdiziplinare Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, Kairo:
Dâr al-Qâhirah, 2002.
18
Download