BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Udema (Inflamasi) Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan. Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia dan pengaruh fisika. Gejala respon antiinflamasi meliputi rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan) (Oryza et al., 2014). a. Rubor (kemerahan) Rubor atau kemerahan biasanya hal yang pertama terlihat di daerah yang mengalami inflamasi. Reaksi pada saat peradangan mulai muncul, sehingga arteriol yang mensupali ke daerah tersebut melebar, sehingga lebih banyak darah darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau hanya sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi dengan darah (Price et al., 1995). b. Kalor (panas) Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan atau rubor dari reaksi peradangan akut. Panas merupakan sifat dari reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, dalam keadaan normal permukaan tubuh lebih dingin dari 370 C, daerah peradangan pada kulit disekelilingnya menjadi lebih panas, penyebabnya darah yang disalurkan tubuh (pada suhu 370 C) ke permukaan yang terkena lebih banyak dari pada darah yang disalurkan ke daerah normal. Kondisi ini terlihat pada daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena pada jaringan tersebut telah memiliki suhu inti 370 C (Price et al., 1995). c. Tumor (pembengkakkan) Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke dalam jaringan-jaringan interstisial. Campuran dari 3 Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016 4 cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat yaitu cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih (leukosit) meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat (Price et al., 1995). d. Dolor (nyeri) Reaksi peradangan bisa dihasilkan dengan berbagai macam cara yakni seperti berubahnya pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu yang bisa merangsang ujung-ujung syaraf. Pengeluaran zat kimia tersebut seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang syaraf, selain itu pembengkakan jaringan yang radang menyebabkan meningkatnya tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa sakit (Price et al., 1995). e. Functio laesa (gangguan fungsi) Gangguan fungsi diketahui sebagai bentuk dari konsekuensi suatu radang. Gerakan secara sadar ataupun gerakan secara refleks yang terjadi di daerah radang akan mengalami hambatan oleh rasa nyeri, pembengkakan yang hebat secara fisik akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan (Price et al., 1995). Fase inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu: 1. Respon awal terhadap jaringan yang cedera, hal ini disebut juga dengan inflamasi akut, mediator yang terlibat pada respon awal ini yakni histamin, serotonin, prostaglandin, leukotrien, bradikinin, yang pada umumnya diawali oleh pembentukan respon imun. 2. Respon imun teraktivasi ketika sejumlah sel yang dapat melawan organisme asing atau subtansi antigen yang terlepas selama respon inflamasi akut serta inflamasi kronik. 3. Keluarnya sejumlah mediator yang tidak berperan aktif pada respon inflamasi akut. Mediator yang diaktivasi dan terlibat Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016 5 pada respon inflamasi kronis ini yaitu Granulocyte- macrophage, interleukin, interferon, tumor neucrosis factor. Banyak substansi dikeluarkan secara endogen yang dikenal dengan mediator respon radang, diantaranya: a. Amina vasoaktif Amina vasoaktif yang dapat menghasilkan dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, amina vasoaktif ini yang paling penting yaitu histamin. Histamin juga merupakan mediator utama pada beberapa reaksi alergi yang umum. b. Metabolit asam arakidonat Asam arakidonat berasal dari berbagai fosfolipid membran sel dan akan diaktifkan ketika terjadi cedera. Asam arakidonat dibentuk dari dua jalur yang berbeda yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase kemudian menghasilkan prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. c. Berbagai macam produk sel Leukosit, granulosit, monosit, limfosit, merupakan suatu produk sel yang membantu tubuh untuk melawan agen-agen yang berbahaya yang akan masuk kedalam tubuh, ketika ada agen yang tidak dikenali oleh produk sel secara langsung produk sel tadi menghancurkan antigen tersebut yang kemudian akan terjadi peradangan karena proses perlawanan produk sel dengan antigen. B. Antiinflamasi Untuk menghambat enzim-enzim yang menyebabkan inflamasi di atas diperlukan obat antiinflamasi. Obat antiinflamasi yaitu golongan obat yang mempunyai aktivitas menekan peradangan. Ada berbagai cara penghambatan peradangan yaitu: 1. Menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang. 2. Pembentukan prostaglandin dihambat dari sel-sel pembentuknya. Obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a. Obat antiinflamasi NSAID (Non-steroid antiinflamasi drug) Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016 6 Obat-obat golongan NSAID merupakan suatu kelompok sediaan dengan struktur kimia yang sangat heterogen. Mekanisme kerja NSAID yang telah dilaporkan oleh Vane dan kawan-kawan pada tahun 1971 yang berhubungan dengan biosintesis prostaglandin bahwa dosis rendah obat golongan NSAID dapat menghambat produksi enzimatik prostaglandin. Secara umum obat NSAID tidak menghambat biosintesis leukotrien, NSAID menghambat enzim cyclooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat manjadi PGG2 terganggu (Gunawan, 2008). b. Obat Antiinflamasi golongan Steroid Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon kortikosteroid memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini akan mengalami perubahan konformasi dan akan bergerak menuju nukleus kemudian berikatan dengan kromatin. Ikatan ini akan menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Kemudian akan merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik di hati. Steroid juga bersifat sebagai katabolik pada sel limfoid dan fibroblas. Selain itu, steroid juga merangsang sintesis protein yang bersifat menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid. Umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid diantaranya yaitu penyimpanan glikogen di hati dan efek antiinflamasi (Ganiswarna etal., 1995). Obat yang digunakan sebagai kontrol positif pada penelitian ini yaitu Natrium diklofenak. Pada klasifikasi selektivitas penghambatan COX, diklofenak termasuk golongan kelompok obat preferential COX-2 inhibitor. Absorpsi obat berlangsung cepat melalui saluran cerna, yang terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolit lintas petama (first-pass) sebesar 40-50%. Waktu paruh sangat singkat yaitu 1-3 Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016 7 jam, diklofenak juga diakumulasi oleh cairan sinovial yang menjelaskan efak terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Pemakaian dosis diklofenak pada orang dewasa yaitu 100-150 mg sehari, tidak dianjurkan pemakaian obat ini selama kehamilan (Tan et al., 2007). Gambar 1. Struktur Natrium diklofenak (Anonim, 1995) C. Metode Uji Inflamasi Metode uji inflamasi untuk pembentukan edema menggunakan karagenin. Karagenin merupakan polimer linear yang tersusun dari sekitar 25.000 turunan galaktosa yang pada strukturnya dipengaruhi oleh kondisi dan sumber ekstraksi. Fraksi karagenin terbagi menjadi 3 yaitu: karagenin kappa, karagenin ioata, dan karagenin lamda. Berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya yakni karagenin kappa mengandung sebanyak 25-30%, karagenin iota 28-35%, dan karagenin lamda 32-39%. Karena karagenin di dapat dari hasil isolasi ganggang Gigartina pistillata atau Chondrus crispus sehingga dapat larut dalam air dingin, air panas, susu, dan pada laurtan gula, sehingga dapat digunakan sebagai pengental atau penstabil berbagai makanan dan minuman (Hidayati et al., 2005). Karagenin dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karena karagenin mempunyai sifat antigenik dan tidak menyebabkan efek sistemik. Dengan dosis karagenin 0,4 ml yang di injeksikan secara subplantar pada tikus putih galur wistar. Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016 8 D. Uraian Tanaman Klasifikasi Tanaman Klasifikasi bawang dayak yaitu sebagai berikut (Puspadewi et al., 2013): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledonae Ordo : Liliales Famili : Iridaceae Genus : Eleutherine Spesies : Eleutherine palmifolia (L) Merr. Deskripsi Tanaman Tanaman habitus herba semusim, merambat, dengan tinggi 30-40 cm. Mempunyai batang semu, membentuk umbi. Daun tunggal, bentuk pita, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berwarna hijau. Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang, panjang tangkai ± 40 cm, bentuk silindris, kelopak terdiri dari dua daun kelopak, hijau kekuningan, mahkota terdiri dari empat daun mahkota, lepas, panjang + 5 mm, putih, benang sari empat, kepala sari kuning, putik bentuk jarum, panjang ± 4 mm, putih kekuningan. Akar serabut dan berwarna coklat muda. Umbinya berlapis, berwarna merah, berbentuk bulat telur dan memanjang (Anonim, 2011). Bawang dayak digunakan sebagai pengobatan alami oleh masyarakat lokal karena bawang dayak memiliki metabolit sekunder yaitu alkaloid, glikosida, flavonoid, fenolik, steroid dan tanin (Nela et al., 2013). E. Hipotesis Ekstrak etanol umbi bawang dayak memiliki efek menurunkan volume edema pada kaki tikus putih edema galur wistar. Uji Aktivitas Antiiflamasi..., Agus Hidayat, Fakultas Farmasi, UMP, 2016