BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia ke arah peningkatan kecerdasan dan produktivitas kerja merupakan salah satu sasaran pembangunan di Indonesia. Salah satu upaya yang mempunyai dampak yang cukup penting dalam peningkatan sumber daya manusia adalah peningkatan status gizi masyarakat. Unsur gizi yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin, air dan mineral haruslah saling mendukung. Protein merupakan salah satu unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan berasal dari dua sumber yaitu hewan dan tumbuhan. Salah satu sumber protein hewani adalah susu yang merupakan sumber nutrisi lengkap untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok manusia (Buckle et al.,1987). Mutu protein susu sepadan nilainya dengan protein daging dan telur, dan terutama sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu asam amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh (Widodo, 2002a). Susu merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi karena mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap seperti laktosa, lemak, protein, berbagai vitamin, dan mineral (Widodo, 2003b).. Kandungan air di dalam susu sangat tinggi, yaitu sekitar 87,5% dengan kandungan gula susu (laktosa) sekitar 5%; protein sekitar 3,5%; dan lemak sekitar 3-4% (Widodo, 2002a). Nilai gizi susu sangat sempurna, akan tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi susu. Permasalahan bagi beberapa orang susu dapat menyebabkan terjadinya gejala diare, murus-murus, atau mual beberapa saat setelah minum susu 1 (intolerance), baik berupa lactose intolerance maupun protein intolerance. Lactose intolerance adalah suatu keadaan tidak adanya atau tidak cukupnya jumlah enzim laktase di dalam tubuh seseorang. Enzim laktase adalah enzim yang bertugas untuk menguraikan gula laktosa menjadi gula-gula yang lebih sederhana, yaitu glukosa dan galaktosa. Laktosa bersifat sebagai disakarida, sedangkan glukosa dan galaktosa merupakan monosakarida yang dapat dicerna dan diserap oleh usus untuk proses metabolisme (Widodo, 2002a). Protein intolerance adalah suatu keadaan protein yang ada di dalam susu adalah laktoglobulin, yang di dalam tubuh orang tertentu dapat bertindak sebagai antigen yang sangat kuat sehingga dapat menyebabkan terjadinya alergi (Widodo, 2002a). Permasalahan lain yang ada pada susu yaitu sangat mudah rusak. Susu merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, sehingga bukan saja bermanfaat bagi manusia tetapi juga bagi jasad renik pembusuk. Kontaminasi bakteri mampu berkembang dengan cepat sehingga susu menjadi rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Pengolahan susu adalah salah satu cara yang bermanfaat untuk memperpanjang daya guna, daya tahan simpan, serta untuk meningkatkan nilai ekonomi susu. Salah satu upaya pengolahan susu yang sangat prospektif adalah dengan fermentasi susu. Fermentasi susu adalah salah satu bentuk pengolahan susu dengan melibatkan aktivitas satu atau beberapa spesies mikroorganisme yang dikehendaki. Proses fermentasi dapat mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa sehingga lebih mudah dicerna, sehingga bagi yang tidak mampu mencerna laktosa (Intolerace 2 lactose) masih dapat menikmati susu dalam bentuk fermentasi susu (Rizky dan Zubaidah, 2015) Kefir merupakan salah satu produk fermentasi yang difermentasi dengan bakteri asam laktat dan khamir. Bakteri yang berperan dalam proses fermentasi kefir yaitu campuran Saccharomices kefir, Lactobacillus burgaricus, dan Streptococcus lactic. Kefir dapat difortifikasi dengan beberapa jenis bahan pangan antara lain, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan umbi- umbian. Fortifikasi kefir dengan bahan pangan tersebut diduga dapat menambah cita rasa, daya tarik produk, serta dapat meningkatkan nilai fungsional produk pada kefir. Salah satu bahan pangan yang dapat difortifikasi pada pembuatan kefir yaitu ubi ungu. Ubi ungu adalah pangan lokal yang memiliki potensi tinggi sebagai pangan fungsional karena kaya akan gizi dan komponen aktif seperti antioksidan yaitu asam phenolat, dan tokoferol yang dapat mencegah timbulnya beberapa penyakit (Woolfe, 1992). Antosianin dalam ubi ungu berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga dapat mencegah terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif (Jusuf et al., 2008). Antioksidan dapat mendonorkan elektronnya kepada molekul radikal bebas, sehingga dapat menstabilkan radikal bebas dan menghentikan reaksi berantai. Contoh antioksidan antara lain fenol, vitamin C, vitamin E (Sies, 1997). Namun demikian, informasi tentang kajian fortifikasi ubi ungu pada proses fermentasi susu menjadi kefir khususnya dalam kaitan pengaruh masa simpan masih kurang. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dikaji sehingga akan didapat gambaran kapasitas antioksidan kefir ubi ungu selama penyimpanan. 3 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karasteristik sifat-sifat dan antioksidan dari susu fermentasi kefir berbasis ketela ungu selama penyimpanan? 2. Apakah peningkatan masa simpan kefir berpengaruh terhadap indikator antioksidan lainnya? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan masa simpan terbaik kefir ubi ungu yang layak untuk dikonsusmsi. 2. Menganalisis kapasitas anitoksidan pada kefir ubi ungu pada lama penyimpanan yang berbeda. 3. Mengevaluasi kualitas kefir ubi ungu pada lama penyimpanan yang berbeda. 1.4 Hipotesis Hipotesis penelitian ini bahwa peningkatan masa simpan fermentasi susu kefir yang di fortifikasi dengan ubi ungu akan berpengaruh nyata terhadap kapasitas antioksidan dari susu fermentasi kefir. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 4 1. Sebagai referensi keilmuan tentang potensi kefir ubi ungu dengan masa simpan yang terbaik yang mendukung pengembangan ilmu pengolahan hasil ternak selanjutnya. 2. Penelitian ini sebagai alternatif bagi konsumen yang membutuhkan inovasi pengaruh lama penyimpanan kefir ubi ungu. 5