I. PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Sindrom Metabolik adalah kelainan metabolisme tubuh yang ditandai dengan kondisi berupa obesitas sentral dengan meningkatnya lingkar pinggang, meningkatnya trigiserid, tekanan darah, glukosa darah dan menurunnya kadar kolesterol HDL dalam darah. Sindrom ini berhubungan erat dengan keadaan obesitas, diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular (Bogsan et al., 2011). Prevalensi penderita sindrom metabolik di dunia semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan The National Health and Nutritional Examination Survey (NHANES), prevalensi sindrom metabolik pada orang dewasa di Amerika Serikat meningkat hingga 23% mulai tahun 1988 sampai dengan 1994 dan meningkat 34% mulai tahun 2003 sampai dengan 2006 (Abedini et al, 2014). Data obesitas pada orang dewasa di Amerika Serikat menurut CDC (2015) semakin meningkat yaitu 27,4% pada tahun 2011, 27.7% pada tahun 2012, dan 28,3% pada tahun 2013. Data prevalensi sindrom metabolik di Indonesia belum ada, namun berdasarkan kriteria sindrom metabolik maka didapatkan data dari RISKESDA (2013) bahwa dari tahun 2007 sampai 2013 prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara meningkat 2 persen, sedangkan diabetes melitus 1 persen. Prevalensi obesitas sentral meningkat 7.8% selama tahun 2007-2013. Pada tahun 2013 penduduk Indonesia berumur >15 tahun didapatkan bahwa kadar kolesterol total abnormal 35,9%, tetapi HDL rendah 22,9%. Diet dan gaya hidup merupakan faktor penting yang mempengaruhi orang menjadi mudah mengalami sindrom metabolik. Beberapa fakta mengungkapkan bahwa obesitas berhubungan erat dengan kerja mikroflora pencernaan. Perubahan komposisi mikroflora pencernaan karena diet yang tidak sehat berpengaruh terhadap peningkatan perolehan energi pada saluran pencernaan (Kavatcheva-Datchary dan Arora, 2013). Mikroflora pencernaan memiliki fungsi yang berhubungan erat dengan kesehatan inangnya. Penelitian pada pasien yang mengalami obesitas dan non obesitas menunjukkan, bahwa yang mengalami obesitas memiliki keanekaragaman mikroflora yang miskin dibandingkan dengan yang tidak mengalami obesitas (Van Olden et al., 2015). Berbeda dengan hasil penelitian Nakayama et al. (2015) pada anak sekolah umur 7-10 tahun dari 10 kota di Asia menunjukkan bahwa indeks diversitas Shannon Wiener yang tinggi pada sampel bakteri feses belum tentu menunjukkan komunitas bakteri yang ada didalamnya menyehatkan tubuh. Hasil menunjukkan bahwa Anak-anak Jepang yang memiliki indeks keragaman mikroba paling kecil justru memiliki kelimpahan Bifidobacterium yang lebih besar dibandingkan anak-anak Indonesia yang memiliki Indeks Diversitas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman mikroflora pencernaan. Oleh karena itu banyak peneliti beranggapan bahwa pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik sebagai pendamping diet dapat meningkatkan mikroflora yang menguntungkan bagi kesehatan inangnya. Kefir merupakan susu fermentasi tradisional menggunakan kefir grain yang mengandung campuran komplek bakteri, yeast dan polisakarida. Kefir dipercayai sebagai pangan fungsional yang dapat meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit (Nalbantoglu et al., 2014). Kefir dapat dibuat dengan memfermentasi susu sapi maupun susu kambing. Hasil penelitian Satir dan GuzelSeydim (2015) menunjukkan bahwa kefir susu kambing memiliki populasi mikroba (Lactobacillus spp., Lactococcus spp., Lactobacillus acidophilus, Bifidobacterium dan Yeast) dan senyawa antioksidan (senyawa fenolat) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kefir susu sapi. Penelitian lain menunjukkan bahwa kefir mengandung peptida bioaktif yang memiliki kemampuan sebagai imunomodulator, antioksidan dan hipokolesteromik (Ebner et al., 2015). Selain itu komplek mikrobia yang terkandung pada kefir diketahui ada yang dapat bertindak sebagai probiotik yang menjaga kestabilan mikroflora pencernaan seperti Lactobacillus kefiri (Likotrafiti et al., 2015). Glukomanan diketahui berpotensi sebagai prebiotik yaitu meningkatkan pertumbuhan mikroflora baik pada sistem pencernaan. Penelitian Chen et al. (2005) menunjukkan pada tikus yang diberi diet glukomanan konjac dapat meningkatkan populasi Bifidobacteria tetapi menurunkan jumlah Clostridium perfingens dan E.coli pada saluran pencernaan. Sedangkan Harmayani et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian glukomanan dari umbi porang dapat meningkatkan kandungan Short Chain Fatty Acid (SCFA) yang berpotensi untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan dapat menurunkan jumlah E.coli namun hanya sedikit mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria dan Lactobacilli. Kefir-GM merupakan susu kambing dengan tambahan glukomanan porang (Amorphophallus oncophylus) yang difermentasi oleh kefir grain (kumpulan bakteri dan yeast). Kefir-GM ini diduga dapat memberikan efek lebih baik bagi penderita sindrom metabolik. Penelitian mengenai pengaruh pemberian kefir dan glukomanan pada penderita sindrom metabolik terhadap mikroflora saluran pencernaan masih sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan penelitian pengaruh pemberian kefir-GM terhadap keragaman dan komposisi komunitas bakteri digesta sindrom metabolik dengan tikus Sprague Dawley sebagai hewan coba. 1.2.Permasalahan Penelitian Permasalahan penelitian yang dapat dikemukakan adalah 1. Apakah pemberian glukomanan mempengaruhi keragaman dan komposisi bakteri pada kefir? 2. Apakah pemberian kefir dan kefir-GM mempengaruhi keragaman dan komposisi bakteri digesta tikus Sprague Dawley sindrom metabolik? 3. Apakah pemberian kefir dan kefir-GM mempengaruhi berat badan dan asupan pakan tikus sindrom metabolik? 1.3.Keaslian Penelitian Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Adapun penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain: 1. Penelitian Chen et al. (2014) yang berjudul “Kefir Improves Fatty Liver Syndrome by Inhibiting the Lipogenesis Pathway in Leptin-deficient Ob/Ob Knockout Mice” yang menganalisis pengaruh kefir terhadap metabolisme lemak hati pada tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kefir mampu menekan penambahan berat badan, meningkatkan metabolisme basal dan pengeluaran energi tubuh melalui penghambatan jalur lipogenesis. 2. Penelitian Judiono et al. (2011) yang berjudul “Effect of Oral Clear Kefir Probiotics on Glycemic Status, Lipid Peroxsidation, Antioxidative Properties of Streptozotocin Induced Hyperglycemia Wistar Rats” yang menganalisa pengaruh pemberian kefir terhadap status glikemik, peroksidasi lipid dan status antioksidan pada tikus wistar diinduksi STZ. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan glukosa darah dan lipid peroksida, serta peningkatan kadar antioksidannya. 3. Penelitian Chen et al., (2005) yang berjudul “Unhydrolyzed and Hydrolyzed Konjac glucomannans Modulated Cecal and Fecal Microflora in Balb/c Mice” yang menganalisa pengaruh pemberian glukomanan konjak terhadap mikroflora pencernaan tikus seperti Bifidobacteria, C.perfringens dan E. coli menggunakan media selektif. Hasil menunjukkan adanya peningkatan jumlah bakteri anaerob dan Bifidobacteria sekum, penurunan jumlah Clostridium perfringens dan peningkatan konsentrasi asetat dan propionat setelah 2 minggu dan 4 minggu perlakuan. 4. Penelitian Harmayani et al., (2014) yang berjudul “Characterization of Glucomannan from Amorphophallus oncophyllus and its Prebiotic Activity in vivo” yang mengkarakterisasi glukomanan dari umbi porang dan mengevaluasi potensi prebiotik invivo. Potensi prebiotik dilihat dari populasi bakteri Lactobacilli, Bifidobacteria dan E.coli sampel digesta yang ditumbuhkan pada media selektif. Hasil menunjukkan bahwa adanya glukomanan porang memiliki karakteristik yang berbeda dengan glukomannan komersial dengan kelarutan lebih tinggi (86.43 ± 1.32%), derajat asetilasi (13.7%), namun kemampuan mengikat air lebih rendah (34.50 ± 2.32 g air/g glucomannan), viskositas (5400 cps), dan Derajat Polimerisasi (9.4). Tikus Wistar yang diberi diet glukomanan porang dapat menghambat pertumbuhan E.coli, sedikit berefek pada Bifidobacteria dan Lactobacillus, serta meningkatkan produksi SCFA dan meningkatkan pH sekum. 5. Penelitian Veige et al. (2014) yang berjudul “Changes of Human Gut Microbiome Induced by a Fermented Milk Product”. Penelitian ini menggunakan sampel digesta dari manusia dan susu fermentasi yang diberikan dengan tambahan campuran mikroba Bifidobacterium animalis, Streptococcus thermophilus, Lactobacillus delbrueckii, dan Lactococcus Lactic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan produksi SCFA dan penurunan jumlah patogen Bilophila wadowoth pada pengkonsumsi susu fermentasi. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui pengaruh pemberian glukomanan terhadap keragaman bakteri pada kefir susu kambing berglukomanan 2. Mengetahui pengaruh pemberian kefir susu kambing dan kefir susu kambing berglukomanan terhadap keragaman bakteri digesta tikus Sprague Dawley sindrom metabolik 3. Mengetahui pengaruh pemberian kefir susu kambing dan kefir susu kambing berglukomanan terhadap berat badan dan asupan pakan tikus sindrom metabolik. 1.5.Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat agar nantinya produk kefir yang disuplementasi glukomanan ini dapat dikembangkan menjadi suplemen untuk terapi penderita sindrom metabolik.