Khutbah Jum'at bertetangga yang ideal SETYADI RAHMAN Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Khutbah hari ini akan membicarakan tentang sesuatu yang setiap orang membutuhkannya. Tentang perkara besar yang dahulu malaikat Jibril seringkali berwasiat kepada Nabi Muhammad Saw. Begitu kerapnya malaikat Jibril berwasiat, sampai-sampai Rasulullah Saw menyangka bahwa malaikat Jibril akan menetapkannya sebagai ahli waris (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi). Perkara besar yang dimaksud adalah tentang tetangga beserta hakhaknya. Yang dimaksud dengan tetangga secara syar’i adalah orang yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kita, yang menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar alAsqalani rahimahullah, meliputi tetangga yang muslim maupun yang kafir; tetangga yang ahli ibadah maupun yang fasiq; tetangga yang merupakan kawan maupun lawan; tetangga pribumi maupun orang asing; tetangga yang bermanfaat maupun yang berbahaya; tetangga yang merupakan kerabat dekat maupun kerabat jauh; dan tetangga yang rumahnya paling dekat maupun paling jauh. Oleh karena itu, tetangga yang rumahnya dekat dengan rumah kita tidaklah sama dengan tetangga yang rumahnya jauh dari rumah kita. Hak-hak yang mereka miliki juga tidak sama. Demikian pula tetangga yang masih kerabat dekat tidaklah sama dengan yang hubungan kekerabatannya jauh. Begitu juga tetangga yang taat beragama tentu berbeda dengan tetangga yang fasiq atau zalim yang suka menyakiti orang lain. Pertetanggaan itu tidaklah terbatas pada lingkungan tempat tinggal saja, melainkan juga meliputi tetangga pada lingkungan pekerjaan, pasar, masjid, dalam perjalanan, tempat belajar, dan sebagainya. Bahkan juga mengandung pengertian tetangga antarnegara di sekitarnya. Zumratal mukminin rahimakumullah. Mari kita simak firman Allah SwT berikut. Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh ….” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 36 ). Kemudian Rasulullah Saw memperkuat ihwal tetangga dengan sabdanya: Artinya: “… dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia memuliakan tetangganya ….” (H.R. Muttafaq Alaihi.). Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dalam kitab Syarhu Shahîhi Muslim li n-Nawâwiy menjelaskan makna hadis di atas, bahwa barang siapa yang memeluk syari’at Islam, maka wajib baginya memuliakan tetangganya dan berbuat baik kepadanya. Itu semua merupakan pengertian tentang hak tetangga dan anjuran untuk menjaganya. Sementara itu, Syekh Abu Muhammad bin Abi Jamrah berpendapat bahwa menjaga tetangga merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Pendapat kedua ulama tersebut selaras dengan sabda Rasulullah Saw tentang kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya, yaitu: SUARA MUHAMMADIYAH 06 / 97 | 16 - 31 MARET 2012 31 Khutbah Jum'at Artinya: “Hak seorang muslim yang wajib ditunaikan muslim lainnya ada enam. Ditanyakan sahabat: ‘Apa saja hal itu wahai Rasulullah’? Beliau menjawab: ‘Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya; apabila dia mengundangmu maka jawablah undangannya; apabila dia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasehat; apabila dia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah dia; apabila dia sakit maka jenguklah; dan apabila dia mati maka iringilah jenazahnya (sampai ke kuburan).’” (H.R. Muslim). Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Rasulullah Saw sampai bersumpah tiga kali untuk memperingatkan agar kita tidak menyakiti tetangga.. tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.’” (H.R Bukhari). Tetangga itu sendiri bertingkattingkat yang sebagian lebih tinggi daripada sebagian lainnya. Terdapat sebuah hadis riwayat Ahmad dan lainnya yang menceritakan kisah seorang wanita yang dikatakan Rasulullah saw masuk neraka gara-gara menyakiti tetangganya, padahal dia seorang wanita yang rajin shalat malam dan berpuasa di siang harinya, serta gemar bersedekah atau berinfak. Sebaliknya, beliau juga menetapkan seorang wanita masuk surga hanya karena perilakunya yang baik kepada tetangganya meskipun dia hanya melaksanakan shalat yang wajibwajib saja, berpuasa juga hanya di bulan Ramadhan, dan sedekahnya hanyalah berupa sepotong keju. KHUTBAH II Artinya: “’Demi Allah, dia tidak beriman!’ ‘Demi Allah, dia tidak beriman!’ ‘Demi Allah, dia tidak beriman!’ Seorang sahabat bertanya: ‘Siapa dia (yang tidak beriman itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Orang yang 32 SUARA MUHAMMADIYAH 06 / 97 | 22 RABIULAKHIR - 8 JUMADILAWAL 1433 H Jamaah sidang Jum’ah rahimakumullah. Marilah kita pungkasi pertemuan yang mulia ini dengan berdoa secara khusuk lagi tawadhuk, semoga Allah SwT berkenan memberikan kepada kita, antara lain, kemampuan untuk membangun interaksi yang positif tanpa diskriminasi dalam kehidupan bertetangga, baik bertetangga antarindividu, antarrumah, atau antarkampung dalam pengertian sempit, maupun antarnegara dalam pengertian luas. Âmîn yâ Rabba l-‘âlamîn.l Khutbah Jum'at pereMpUAn dAn peRAdaban I. MARWAH ATMADJA manusia. Karena itu kita harus mensyukuri karunia itu dengan cara Qur'ani. Yaitu melengkapi keimanan kita dengan selalu beramal shalih. Bukankah dalam Al-Qur’an hampir semua kata iman selalu diikuti dengan kata amalalus shalihat? Shalawat dan salam semoga terus tercurah kepada kepada Nabi kita Muhammad saw, Nabi terakhir yang menutup dan menyempurnakan semua risalah suci yang telah diajarkan oleh para Nabi sebelumnya. Tidak ada Nabi lain setelah Muhammad. Tidak ada manusia yang pantas kita teladani dalam semua aspek kehidupan selain Muhammad. Jamaah jum'at Rahimakumullah. Marilah kita selalu memanjatkan puji syukur kita kepada Allah SwT. Dialah yang telah memberi semua fasilitas yang sekarang ada tanpa kita minta. Sungguh betapa banyaknya nikmat Tuhan yang kadang tidak kita syukuri. Lebih dari itu semua, yang juga harus kita syukuri adalah bahwa kita telah diberi-Nya anugerah keimanan. Suatu anugerah yang tidak diberikan kepada semua Jamaah Jum'at Rahimakumullah. Ada banyak fitnah yang dialamatkan kepada Islam dan Nabi Muhammad terkait urusan perempuan. Oleh pembenci Islam, Islam dan Nabi Muhammad sering dicitrakan tidak baik terhadap perempuan. Kisah Nabi yang menikahi banyak perempuan (poligami), selalu dibesar-besarkan dengan cara yang keliru dan disengaja untuk mencitrakan Nabi sebagai manusia pemuja syahwat. Mereka tidak pernah membuka kenyataan dengan jujur, tidak pernah mengatakan kalau dari seluruh istri Nabi itu hanya satu orang, yaitu Ummul Mukminin Aisyah yang masih gadis ketika dinikahi. Selain Aisyah, semua istri Nabi adalah para janda yang sudah berumur yang sudah tidak menarik lagi secara syahwati. Islam juga dicitrakan sebagai ajaran yang tidak menghargai perempuan sebagai manusia yang utuh, itu dibuktikan dalam persaksian dan dalam urusan waris. Dua orang saksi perempuan dianggap sama dengan satu orang saksi laki-laki, bagian satu ahli waris laki-laki setara dengan bagian ahli waris perempuan. Kebanyakan dari kita banyak yang terkecoh dan termakan oleh provokasi yang tampak meyakinkan seperti ini. Benarkah tuduhan itu? marilah kita lihat berdasarkan data sejarah. Pada masa jahiliyyah, kaum perempuan tidak pernah dianggap sebagai manusia. Perempuan dianggap sebagai properti atau barang kekayaan. Jangankan untuk mendapatkan warisan, perempuan masa jahiliyyah justru dijadikan barang warisan. Kalau ada orang yang meninggal, maka istri-istri yang masih muda dan cantik diwariskan kepada anaknya atau kepada kerabat yang lain. Mereka dibagi seperti membagi unta, kuda, dan domba. Kalau kemudian Islam memberikan hak waris kepada kaum perempuan bukankah itu merupakan hal sangat luar biasa? Demikian juga dalam persaksian, sebelum Islam ada, kaum perempuan jahiliyyah tidak pernah dihitung sebagai manusia kalau kemudian persaksiannya diterima bukakah itu juga merupakan pengangkatan SUARA MUHAMMADIYAH 06 / 97 | 16 - 31 MARET 2012 33 Khutbah Jum'at derajat yang luar biasa? Hampir semua peradaban manusia yang ada di dunia ini, pada masa silam juga meletakkan perempuan di tempat yang sangat hina. Ada yang menyebutnya sebagai hewan yang berwujud menyerupai manusia, ada pula yang menyebutnya sebagai lakilaki yang tidak sempurna. Bagaimana dengan Islam? Islam meletakkan perempuan sebagai manusia seutuhnya, sesuai Firman Allah menyatakan sikap. Perempuan dalam Islam berhak menggugat cerai suaminya. Ajaran agama dan peradaban manakah yang memberikan hak seperti itu bagi kaum perempuan pada abad VIII Masehi? KHUTBAH II Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl 97) Ayat ini secara jelas menekankan kalau laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal shalih harus disertai iman. Islam mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk menghormati kaum ibu. Dari seluruh ajaran Islam, kita tidak akan lagi menjumpai ajaran yang memosisikan perempuan sebagai benda mati, ataupun sebagai objek pasif yang tidak dianggap keberadaannya. Perempuan dalam Islam diposisikan sebagai mitra sejajar yang berhak untuk menyatakan pendapat dan 34 Jamaah Jum’at yang dirahmati Sudah jelas bahwa Islam adalah ajaran yang mempelopori peradaban manusia untuk memuliakan kaum perempuan dan memanusiakan perempuan dalam SUARA MUHAMMADIYAH 06 / 97 | 22 RABIULAKHIR - 8 JUMADILAWAL 1433 H arti yang seutuhnya. Islam memposisikan perempuan sebagai subyek peradaban bukan sekedar sebagai obyek peradaban. Dalam hati yang paling dalam marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah kita telah meperlakukan kaum permpuan sesuai dengan tuntunan Islam yang memuliakan kaum ibu kita itu? Atau justeru kita telah berperilaku jahiliy dengan menganggap perempuan sekedar sebagai obyek yang kita atur-atur dengan seperangkat aturan yang aneh-aneh hanya supaya terlihat mulia? Akhirnya marilah kita berdoa kepada Allah SwT semoga Allah SwT senantiasa memberikan lindungan dan karunia-Nya kepada kita.l I. Marwah Atmadja, Sekjend Pemuda Penegak Amanat Proklamasi RI Propinsi DIY