Belajar Mencintai Akhirat Melalui Shalat Jum’at Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I Penyuluh Agama Islam Fungsional Kantor Kementerian Agama Kabupaten Magetan Ma’asyirah Muslimin, Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah Marilah kita terus berupaya meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan berbagai nikmat-Nya kepada kita, berupa nikmat iman, Islam, kesehatan lahir maupun batin sehingga pada saat ini kita dapat hadir di masjid ini untuk menunaikan kewajiban kita sebagai seorang muslim, yakni dengan menjalankan shalat Jum’at berjama’ah di masjid yang berkah ini. Hal ini patut kita syukuri sebab betapa banyak saudara-saudara kita yang diberi nikmat dengan sehatnya tubuh, kemampuan untuk melangkah ke masjid, tetapi karena tidak mendapatkan nikmat sehatnya ruhani dan kesadaran beragama, sebagian mereka merasa enggan atau tidak memiliki kemauan untuk menjalankan kewajiban agamanya. Sebaliknya, betapa banyak saudara-saudara kita yang berkeinginan untuk dapat hadir menjalankan shalat Jum’at, tetapi karena Allah masih mengujinya dengan berbagai keterbatasan, misalnya sedang terbaring di rumah sakit, sedang melakukan perjalanan jauh, dan sebagainya, mereka pun tidak dapat hadir di masjid ini. Maka kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi kita kesehatan, menggerakkan hati kita, serta melangkahkan kaki kita untuk menghadiri shalat Jum’at ini. Dengan demikian, sempurnalah nikmat Allah bagi kita berupa kesehatan jasmani dan ruhani. Kita dapat merasakan betapa lezatnya iman, sehingga apapun kesibukan kita seharian ini, tidak menggoyahkan tekad kita untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at ini. Oleh karenanya, sudah sepantasnya bagi kita yang telah diberi nikmat untuk kemudian mensyukuri nikmat tersebut, minimal dengan mengucapkan hamdalah, “alhamdu lillahi rabbil ‘alamin”, diiringi upaya untuk terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, dengan menjalankan segala perintah-Nya, baik yang wajib maupun sunnah; serta menjauhi segala larangan-Nya, baik yang haram, syubhat, maupun makruh. Dengan cara tersebut, Allah berjanji akan menambahkan nikmat dan anugerah-Nya kepada kita. Amin ya Rabbal Alamin. Jama’ah Sidang Jum’ah yang Berbahagia, Hari Jum’at ini merupakan hari yang sangat istimewa untuk umat Islam. Jika seharian penuh manusia bergelut dengan dunia, maka Allah memanggilnya lima kali sehari melalui shalat maktubah. Jika selama sepekan manusia mengejar penghidupan dunia, maka Allah mengundangnya melalui shalat Jum’at. Sekali dalam sepekan, Allah mengumpulkan umat Islam di rumah-Nya, menghentikan sejenak umat Islam dari berbagai kesibukannya, untuk semata-mata beribadah dan mendengarkan seruan kebaikan dan ajaran Islam melalui khutbah Jum’at. Karena itulah, hari Jum’at disebut sebagai sayyidul ayyam, pemuka atas hari-hari lainnya. Seperti kita ketahui, tidak hanya agama Islam saja yang memiliki hari istimewa. Agama-agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani, masing-masing juga memiliki hari istimewa. Agama Yahudi, memiliki hari Sabbath sebagai hari khusus peribadatan. Allah mengambil perjanjian dengan Bani Israel bahwa pada hari Sabbath mereka dikhususkan untuk semata-mata beribadah kepada Allah. Allah menguji keimanan Bani Israel; apakah lebih memilih MPA 314 / November 2012 29 Allah dengan beribadah kepada-Nya, atau justru memilih dunia dengan sibuk mengumpulkan harta. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an: ”.... Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: ”Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: ”Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabbath”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (Qs. al-Nisa’: 153-154) Untuk menguji keimanan Bani Israel, maka pada saat itu, Allah justru memberikan banyak kemudahan dalam memperoleh rizki justru pada hari Sabbath. Mereka yang berdagang akan mendapatkan banyak laba dan keuntungan. Para nelayan yang mencari ikan di laut akan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Dan hanya pada hari Sabbath itulah, semua aktivitas duniawi justru mendapatkan hasil yang lebih banyak bila dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Padahal hari Sabbath adalah hari dimana Bani Israel dikhususkan untuk semata-mata beribadah kepada Allah. Dan mereka gagal dalam ujian itu karena ternyata lebih mengutamakan mengejar dunia daripada beribadah kepada Allah. Hari Sabbath ini kemudian kita kenal sebagai hari Sabtu. Oleh karenanya, hari istimewa bagi agama Yahudi adalah hari Sabtu. Hadirin Sidang Jum’ah Rahimakumullah, Jika agama Yahudi memiliki hari Sabtu sebagai hari istimewa, agama Nasrani juga memiliki hari Minggu sebagai hari istimewa. Dalam bahasa Inggris, hari Minggu disebut ’Sunday’ yang berarti ”Hari untuk Penyembahan Dewa Matahari”, seperti halnya Monday yang berarti ”Hari untuk Penyembahan Dewi Bulan”. Hal ini sesuai dengan kepercayaan bangsa Yunani dan Romawi Kuno yang meyakini ”Dewa Matahari” sebagai ”Dewa Tertinggi”. Oleh karenanya, hari Minggu digunakan sebagai hari tertinggi dan hari pertama di antara hari-hari lainnya, dan pada Sunday atau hari Minggu ini dikhususkan umat Nasrani untuk beribadah. Di sinilah terjadi apa yang disebut proses Christianization of Greeco-Romans atau ”Kristenisasi Kepercayaan Yunani-Romawi”. Di Indonesia, kata ’Minggu’ sendiri berasal dari bahasa Portugal, ’Domingo’ atau ‘Domingus’ yang berarti “Hari untuk Tuhan”. Bahkan, Domingo juga merupakan nama salah seorang penyebar agama Nasrani di Indonesia yang berasal dari Portugis. Dan untuk mengabadikan nama Domingo tersebut, kaum penjajah menggunakan 30 MPA 314 / November 2012 nama Minggu sebagai pengganti hari Ahad. Padahal penggunaan nama ’Ahad’ sebagai hari pertama dalam sepekan sudah digunakan sejak zaman Walisongo hingga awal abad ke-19 Masehi. Pada hari Minggu, umat Nasrani menjalankan ibadah di gereja-gereja, sehingga sekolah-sekolah diliburkan, demikian juga kantor-kantor dan instansi pemerintah maupun swasta, pabrik-pabrik, dan tempat-tempat lainnya. Mengapa libur? Karena pada hari Minggu, umat Nasrani akan pergi ke gereja untuk beribadah. Inilah warisan peninggalan penjajah yang masih bangsa kita gunakan hingga saat ini. Kaum Muslimin Rahimakumullah, Tidak terkecuali, agama Islam sebagai agama samawi terakhir dan penyempurna dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu, juga memiliki hari istimewa, yaitu hari Jum’at. Pada hari ini, tidak seperti agama Yahudi yang melarang aktivitas duniawi pada hari Sabtu, Allah memperbolehkan umat Islam untuk mencari penghidupan dunia, asalkan ketika tiba waktunya shalat Jum’at, semua bentuk perniagaan dan aktivitas lainnya segera ditinggalkan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 9-10: ”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. al-Jumu’ah: 9-10) Ayat di atas mengajarkan kepada kita agar tidak hubbuddunya (cinta dunia) secara berlebihan. Sesibuk apapun kita, seberat apapun pekerjaan kita, dan sebesar apapun keuntungan perniagaan kita, tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan shalat Jum’at. Ada masanya bagi kita untuk berhenti sejenak melepaskan urusan dunia, untuk kemudian menghadapkan wajah dan hati kita kepada Allah SWT. Ketika seruan adzan dikumandangkan, para pedagang hendaknya segera menutup tokonya, para petani hendaknya segera meninggalkan sawah dan ladangnya, dan para pekerja hendaknya meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk menuju masjid mengikuti pelaksanaan shalat Jum’at. Dan setelah shalat Jum’at ditunaikan, Allah mempersilakan kepada kita untuk kembali kepada kesibukan kita, bertebaran mencari karunia Allah di muka bumi. Dan Allah pun mengingatkan agar dalam mencari rizki tersebut, kita banyak mengingat Allah agar mendapatkan keuntungan dan keberuntungan yang banyak pula. Ada pesan menarik dari redaksi ”fantasyiru fil ardh” (bertebaranlah di muka bumi) dalam Surat al-Jumu’ah di atas. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, dalam ayat tersebut, Allah SWT mengajarkan kepada umat Islam agar go global, dan tidak hanya puas dalam keunggulan lokal. Dan untuk bisa go global, umat Islam harus membekali diri dengan berbagai penguasaan bahasa, baik itu bahasa Inggris, Arab, Mandarin, dan sebagainya. Sebab tanpa penguasaan bahasa internasional, mustahil umat Islam dapat bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah. Di samping tentu saja, umat Islam harus membekali dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk dapat menguasai dunia. Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah, Mari kita berkaca pada kondisi umat Islam dewasa ini. Apakah mereka mengikuti jejak Bani Israel dengan memilih mengejar dunia atau lebih memilih Allah dengan menjalankan shalat Jum’at. Apakah harta yang telah dikumpulkan selama 6 hari tidak cukup sebagai persediaan pada hari Jum’at, sehingga pelaksanaan shalat Jum’at yang cuma satu jam masih saja ditinggalkan. Apakah shalat merupakan beban yang sangat berat padahal merupakan kontrol iman seorang muslim. Padahal jika iman adalah pondasi, maka shalat adalah tiang atau dinding suatu bangunan keislaman seseorang. Jika seorang muslim tidak mendirikan tiang dan dinding keislamannya dengan shalat, maka robohlah keislamannya. Dalam suatu hadits, Nabi bersabda, ”Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa menegakkannya, maka kokohlah agamanya. Dan barangsiapa merobohkannya (dengan meninggalkannya), maka robohlah agamanya.” Lalu, apa tanda-tanda orang yang telah merobohkan agama? Merekalah yang menganggap shalat dan ibadah-ibadah lainnya sebagai kebutuhan Tuhan dan bukan kebutuhan manusia. Seakan-akan Allah membutuhkan manusia agar disembah dan dipuji. Syahadat dianggap bahwa Allah krisis pengakuan ketuhanan sehingga manusia diwajibkan untuk berikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Shalat dianggap bahwa Allah ingin selalu diingat lima kali sehari. Ibadah haji dianggap bahwa Allah butuh untuk dikunjungi, dan seterusnya. Orang-orang seperti ini lupa dan kehilangan kesadaran fitrahnya bahwa hidup dan matinya seseorang itu berada dalam genggaman Allah, sukses dan gagalnya berada dalam qudrah dan iradah-Nya. Mereka meninggalkan shalat, padahal shalat merupakan tanda syukur seorang hamba atas Tuhannya. Subuh kesiangan, Dhuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya’ ketiduran. Rutinitas keseharian mereka jalani tanpa ibadah dan makna. Seakan-akan manusia bisa hidup sendiri dan mendapatkan apapun keinginannya tanpa pertolongan Allah. Apakah memang pandangan hidup dan jalan hidup seperti ini yang dapat menyelamatkan dirinya dari siksa Allah di akhirat? Enggan mengeluarkan zakat, karena menganggap harta yang diperoleh merupakan hasil kerja kerasnya. Tidak segera mendaftar haji, meskipun di rumahnya berjejer berbagai kendaraan mewah. Termasuk, shalat Jum’at yang disyari’atkan sekali dalam sepekan jarang pula dijalankan. Jika dilakukan pun, lebih sering terlambat hingga akhir-akhir khutbah. Padahal khutbah Jum’at berfungsi untuk menegur bagi yang menyimpang, mengingatkan bagi yang lupa dan lalai, memantapkan bagi yang sudah baik, serta mengajak bersama-sama menuju tujuan hidup manusia di dunia, yakni beribadah kepada Allah SWT. Orang-orang yang hubbuddunya (cinta dunia) memiliki seribu satu alasan untuk menghindari kewajibannya. Padahal Allah mengetahui isi hati orang-orang munafiq penuh dengan penyakit dan Allah akan menambah penyakitnya itu. ”Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Qs. Al-Baqarah: 10) Ma’asyiral Muslimin yang Dimuliakan Allah, Jika saat ini kita masih belum bisa mencintai akhirat seperti kita mencintai dunia, maka marilah kita belajar melalui shalat. Bagaimana kita dididik segera bangun untuk shalat shubuh, meskipun saat itu sedang nyenyaknyenyaknya tidur. Bagaimana kita diajarkan untuk segera memenuhi panggilan adzan, meskipun kita masih sibuk dengan pekerjaan. Termasuk, bagaimana kita dididik untuk mengutamakan akhirat daripada dunia melalui pelaksanaan shalat Jum’at ini. Itu semua bisa dilatih asalkan ada kemauan yang kuat, perspektif yang lurus, disertai pembiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dengan cara demikian, insya Allah, kita dapat menikmati betapa lezatnya mencintai akhirat, dan bersungguh-sungguh dalam meraih keutamaan akhirat, dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah SWT. Mengakhiri khutbah Jum’at ini, marilah kita berdoa, semoga Allah SWT mengaruniakan taufiq dan hidayahNya kepada kita agar tetap istiqomah di atas jalan hidup Islam yang lurus dan kiranya Allah SWT menerima semua amal dan ibadah kita. Amin ya Rabbal Alamin. MPA 314 / November 2012 31