pengelolaan ekosistem lahan irigasi

advertisement
PENGELOLAAN EKOSISTEM LAHAN IRIGASI
(smno.tnh.fpub)
Sawah Irigasi
Sawah yang merupakan bagian dari luas potensial yang sumber airnya berasal dari
saluran melalui sistem jaringan irigasi melalui sistem jaringan irigasi
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian.
Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan
manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat
dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air
tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan
membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu
per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Potensi Irigasi
Agar tanaman dapat hidup dengan subur, selain dipengaruhi oleh faktor cuaca dan
kandungan unsur hara didalam tanah, juga harus memperoleh cukup air. Pemberian air
yang mencukupi merupakan faktor penting bagi pertumbuhan tanaman. Demikian pula
halnya dengan usaha meningkatkan produktivitas suatu lahan pertanian. Ketersediaan
air merupakan faktor penting, tanpa air yang cukup produktivitas suatu lahan tidak
maksimal. Salah satu upaya penyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan
membangun irigasi.
Irigasi merupakan usaha pengadaan dan pengaturan air secara buatan, baik air tanah
maupun air permukaan untuk menunjang pertanian. Sedangkan Daerah Irigasi adalah
suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jaringan irigasi. Berdasarkan
cara pengaturan, pengukuran, serta kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat
dikelompokkan menjadi tigas jenis, yaitu : jaringan irigasi sederhana, jaringan irigasi
semi teknis dan jaringan irigasi teknis.
Tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai dan sebagainya hanya tumbuh dan
berproduksi dengan baik apabila memperoleh air cukup pada saat yang tepat. Pada
suatu studi menunjukkan kurangnya pengendalian air merupakan pembatas tunggal
terbesar dan bertanggung jawab terhadap perbedaan 35 persen antara hasil aktual dan
potensial. Dalam peningkatan produksi pangan, biasanya irigasi mempunyai peranan
penting, yaitu :
1. Menyediakan air untuk tanaman dan dapat digunakan untuk mengatur
ketersediaan lengas tanah bagi tanaman
2. Membantu menyuburkan tanah melalui kandungan hara dan bahan organik
yang dibawa oleh air irigasi
3. Memungkinkan penggunaan pupuk dan obat – obatan dalam dosis tinggi
4. Dapat menekan perkembangan hama penyakit tertentu
5. Dapat menekan pertumbuhan gulma
6. Memudahkan pengolahan tanah dan penanaman bibit padi.
Menurut laporan Bank Dunia 1983 menyebutkan bahwa kenaikan produksi beras di
Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor dengan nilai kontribusi (sebagai faktor
tunggal) terhadap kenaikan sebagai berikut :
1. Air atau irigasi 16 persen
2. Penggunaan bibit unggul 5 persen
3. Penerapan teknologi seperti pupuk, pestisida dan lain – lain 4 persen, dan
sisanya sebesar 75 persen merupakan interaksi dari ketiga faktor tersebut
(Suzanna dan Hutapea, 1995).
Agroekosistem padi sawah irigasi sampai saat ini merupakan kontributor terbesar bagi
produksi padi di Indonesia. Selama kurun waktu lima dasawarsa, antara tahun 1950 –
2000 luas irigasi Indonesia hanya meningkat 5 persen dari 3,5 juta ha pada tahun 1950
menjadi 5,2 juta ha pada tahun 2000, sedangkan pada kurun waktu yang sama irigasi di
dunia meningkat lebih dari tiga kali lipat yaitu dari 80 juta ha pada tahun 1950 menjadi
270 juta ha pada tahun 2000. Rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara
lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua
dasawarsa terakhir, khususnya di pulau Jawa antara tahun 1978 – 1998 misalnya
konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha (Irawan, 2004).
Sawah irigasi masih tetap merupakan sumber daya lahan yang terpenting dalam
mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih memberikan kontribusi
sebesar sekitar 90 persen, sedangkan pangsa produksi berkisar 95 persen. Bila terjadi
penurunan luas sawah irigasi yang tidak terkendali maka akan mengakibatkan turunnya
kapasitas lahan sawah untuk produksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas
jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit
dipertahankan.
Hal yang memprihatinkan dari program investasi publik dibidang irigasi, sawah irigasi
yang terkonversi besar peluangnya adalah sawah yang baru direhabilitasi. Misalnya
tidak lama setelah sistem irigasi Cisadane direhabilitasi dengan dana bantuan World
Bank pada tahun 1970 an sebagian dari sawah irigasinya dikonversi menjadi lapangan
terbang. Demikian pula perluasan perkotaan dan industri mengkonversi sawah – sawah
irigasi di pinggir wilayah perkotaan.
Rehabilitasi irigasi dianggap yang paling berhasil menunjang peningkatan produksi
tanaman pangan khususnya padi walaupun ada kecendrungan terjadinya peningkatan
pengeluaran pembiayaan persatuan luas yang cukup menonjol dan menjadi lebih
singkatnya daur ulang rehabilitasi irigasi.
Pembangunan Saluran Sekunder Rawagebang sudah hampir selesai. Sumber: http://regiannoz.blogspot.com/2009/10/rehab-irigasi-beres-dikebut-rehab-ss.html diunduh 11/6/2011)
Pekerjaan proyek rehabilitasi dan pembangunan Saluran Sekunder (SS) Beres di
Desa Ciberes, Kecamatan patokbeusi, dikebut. Hal tersebut dilakukan agar proyek
tersebut dapat selesai pada pertengahan bulan depan. Saat ini, untuk pekerjaan
leaning yang berada di SS Rawagebang sepanjang 450 meter akan segera selesai dan
harapan sawah milik petani seluas 548 hektar dan sawah yang diairi oleh SS Beres
seluar 2.127 hektar akan segera terairi dengan lancar, rehab 50 meter saluran
Poponcol dan bangun sadapnya, rehab saluran Sengon sekitar sepanjang 40 meter
dan bangun sadapnya, perehaban BTT 22 Beres sekitar sepanjang 22 meter. Khusus
untuk rehabilitasi saluran kemungkinan akan bertambah, karena dari sepanjang
saluran kedua SS tersebut banyak kerusakan yang dijumpai, namun yang paling dapat
dibuktikan sejauh mana volume pekerjaan ini setelah pekerjaan selesai.
Masyarakat yang tergantung pada irigasi untuk penghidupannya, seluruhnya ditata
dalam hubungan dengan sistem distribusi dan pengaturan air. Hal ini menunjukkan
bahwa pengadaan proyek irigasi adalah salah satu upaya penting guna membangun
masyarakat desa yang menggantungkan harapan penghidupannya dari hasil sektor
pertanian. Keberadaan penyediaan air yang cukup tidak hanya memperluas pembukaan
areal persawahan tetapi sekaligus meningkatkan intensitas pertanaman dari satu kali
dalam setahun menjadi dua kali dalam setahun. Selain itu potensi air yang tersedia akan
dapat meningkatkan penganekaragaman hasil pertanian.
Peningkatan produksi pertanian sebagai hasil penyediaan air yang cukup
juga akan mempengaruhi faktor – faktor produksi yang lain, sekaligus
diharapkan akan memotivasi anggota masyarakat untuk bersedia
membayar kewajibannya atas jasa pelayanan air yang diterimanya.
Renovasi Bangunan Irigasi Di Lampung Barat
Sumber: http://berita.lampungbarat.com/renovasi-bangunan-irigasi-di-lampungbarat/ … diunduh 11/6/2011
Guna meningkatkan produksi beras di Lampung Barat, tahun ini pemkab setempat
melalui Dinas Pertanian akan merenovasi 21 bangunan irigasi yang tersebar di
sepuluh kecamatan. Beberapa waktu lalu, sejumlah lokasi tersebut telah disurvei
dinas setempat. ’’Dana yang dibutuhkan untuk renovasi 21 irigasi itu adalah Rp3,8
miliar dari DAK (dana alokasi khusus),” menurut Kabid Pengelolaan Lahan dan Air
(PLA) Distan Lambar. Rencana lokasi kegiatan rehabilitasi tersebut di antaranya
Kecamatan Sumberjaya, meliputi Way Sukajadi, Way Gunungraya, Way Muarajaya I,
Way Abung I, Way Abung II, dan Way Tenong Purawiwitan.
Perbaikan itu dilakukan berdasarkan proposal dari kelompok tani atau masyarakat
yang disampaikan kepada Distan. ’’Mereka menyatakan irigasi yang ada di daerahnya
rusak sehingga perlu diperbaiki, kemudian kami ke lapangan guna melakukan survei
karena layak untuk diperbaiki maka kami melaksanakan perencanaan”. Diharapkan
perbaikan sejumlah jaringan irigasi dapat meningkatkan produksi beras di daerah ini.
Pembangunan irigasi merupakan suatu kerniscayaan dan keharusan yang tidak dapat
ditolak bagi pembangunan pertanian dan ketahanan pangan apapun ideologinya,
karena kerusakan irigasi adalah lonceng kematian bagi kedaulatan pangan.
Jenis Irigasi
Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai
melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake)
kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian.
Di sini dikenal saluran primer, sekunder, dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan
dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih
dulu.
Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana
lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas
sekali atau secara lokal.
Irigasi dengan Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan
seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu,
kemudian menetes ke akar.
Irigasi Tradisional dengan Ember
Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu
juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.
Irigasi Pompa Air
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudian dialirkan
dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi
ini dapat terus mengairi sawah.
Teknologi Hemat Air Di Lahan Sawah Irigasi
Padi adalah tanaman unik karena mampu tumbuh di dalam kondisi hidrologi, jenis
tanah, iklim yang berbeda, dan satu satunya tanaman serealia yang tumbuh di lahan
basah. Ancaman serius yang dihadapi budidaya padi adalah semakin menurunnya
ketersediaan air. Penyebab penurunan ketersediaan air bervariasi dan bersifat spesifik
namun umumnya terjadi penurunaan kualitas dan sumber air, tidak berfungsinya sistem
irigasi dan meningkatnya kompetisi kebutuhan air misalnya untuk perumahan dan
industri. Hal tersebut menjadi ancaman bagi ketersediaan pangan yang berkelanjutan,
padahal praktek pengelolaan air lahan sawah di tingkat petani umumnya dilakukan
penggenangan secara terus menerus, oleh karena itu diperlukan pengelolaan air
diantaranya dengan menerapkan teknologi hemat air.
Prinsip teknologi hemat air adalah mengurangi aliran yang tidak produktif seperti
rembesan, perkolasi, dan evaporasi, serta memelihara aliran transpirasi. Hal tersebut
bisa dilaksanakan mulai saat persiapan lahan, tanam, dan selama pertumbuhan
tanaman. Salah satu alternatif teknologi dalam pengelolaan air (water management)
adalah alternate wetting and drying (AWD) atau pengairan basah kering (PBK).
Teknologi ini telah diadaptasi di negara-negara penghasil padi seperti China, India,
Philipina, dan Indonesia. Secara umum, penggunaan teknologi ini tidak menyebabkan
penurunan hasil yang signifikan dan dapat meningkatkan produktivitas air.
Prinsif Pengairan Basah Kering
Prinsif dari penerapan PBK adalah memonitor kedalaman air dengan menggunakan alat
bantu berupa pipa. Setelah lahan sawah diairi, kedalaman air akan menurun secara
gradual. Ketika kedalaman air mencapai 15 cm di bawah permukaan tanah, lahan
sawah kembali diairi sampai ketinggian sekitar 5 cm. Pada waktu tanaman padi
berbunga, tinggi genangan air dipertahankan 5 cm untuk menghindari stress air yang
berpotensi menurunkan hasil. Batas kedalaman air 15 cm ini dikenal dengan PBK aman
(safe AWD) yang bermakna bahwa kedalaman air sampai batas tersebut tidak akan
menyebabkan penurunan hasil yang signifikan karena akar tanaman padi masih mampu
menyerap air dari zona perakaran. Setelah itu, pada fase pengisian dan pemasakan,
PBK dapat dilakukan kembali. Apabila terdapat banyak gulma pada saat awal
pertumbuhan, PBK dapat ditunda 2 sampai 3 minggu sampai gulma dapat ditekan.
Manfaat pengairan berselang dan metode basah-kering
1. Bersinergi dengan pemupukan, karena serapan hara tinggi terjadi pada
kondisi tanah basah-kering
2. Dapat menekan keracunan tanaman akibat akumulasi besi (Fe) dalam tanah
3. Apabila dikombinasikan dengan pengendalian gulma menggunakan cara
manual (gasrok/landak) dan pemupukan, maka pupuk dapat bercampur
dengan tanah sehingga pemakaiannnya lebih efisien.
4. Menghambat perkembangan hama (penggerek batang, wereng coklat, keong
mas), dan penyakit (busuk batang dan busuk pelepah daun).
5. Tanaman padi lebih tahan rebah karena sistem perakaran yang lebih dalam.
Pipa berlubang sebagai alat bantu
Pipa paralon (PVC) bisa digunakan sebagai alat teknologi PBK untuk mengamati
air di bawah permukaan. Pipa bisa diganti dengan bahan lain seperti bambu atau bahan
lainnya. Banyaknya alat yang diperlukan tergantung pada tofografi lahan, satu alat bisa
mewakili luasan 500 m2, sedangkan pada kemiringan 3 – 5% satu unit alat mewakili 100
m2. Pipa berukuran 35 cm dibenamkan sedalam 20 cm, sehingga tinggi pipa dari
permukaan tanah adalah 15 cm, kemudian tanah di dalam pipa dikeluarkan. Untuk
tahapan pengkajian atau uji coba, petani memonitor/mengukur kedalaman air di dalam
pipa setiap interval waktu 2 hari dan melakukan teknik basah kering (pengairan lahan
sawah) sesuai dengan prinsif PBK. Setelah petani percaya PBK tidak menurunkan hasil
secara nyata, pipa yang dibenamkan cukup 15 cm sesuai dengan PBK aman dan tidak
perlu lagi mengukur dengan mistar. Petani pun bisa mencoba mengubah batas PBK
aman yakni dengan menambah batas kedalaman muka air untuk diairi misalnya 20 cm,
25 cm, dan 30 cm.
Rajaram, g. and D. C. Erbach. 1999. Effect of wetting and drying on soil physical
properties. Journal of Terramechanics. Volume 36, Issue 1, January 1999, Pages 39-49
Tanah-tanah pertanian senantiasa mengalami siklus musiman pengeringan dan pembasahan.
Pengaruh cekaman kekeringan, pada satu siklus pembasahan-pengeringan, terhadap sifat
fisika tanah dengan tekstur tertentu (misalnya lempung-liat) dapat diteliti di laboratorium.
Sifat-sifat fisika tanah yang dipengaruhi oleh pengeringan-pembasahan tersebut adalah bobot
isi (BI), resistensi penetrasi, kekuatan geser, adhesion, ukuran agregat dan stabilitas agregat.
Perlakuan cekaman kekeringan yang diteliti adalah pembasahan tanah kering udara yang
kadar air awalnya 12% (atas dasar bobot kering) hingga kadar airnya mencapai 27, 33 dan
40%, kemudian masing-masing dikeringkan hingga mencapai kadar air awalnya , yaitu 12%.
Sehingga tanah dikenakan tiga macam cekaman kekeringan yang berbeda. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kekuatan tanah yang dinyatakan dengan indicator resistensi penetrasi
dan cohesion, ukuran agregat tanah, ternyata meningkat dengan derajat cekaman kekeringan.
Akan tetapi BI tanah tidak berubah secara nyata dengan tiga macam perlakuaan cekaman
kekeringan tersebut.
Blackwell. M. S. A., P. C. Brookes, N. de la Fuente-Martinez, P. J. Murray, K. E.
Snars, J. K. Williams and P. M. Haygarth. 2009. Effects of soil drying and rate of rewetting on concentrations and forms of phosphorus in leachate. Biology and Fertility
of Soils. Volume 45, Number 6, 635-643.
Pengeringan dan pembasahan kembali suatu tanah dapat menghasilkan modifikasi jumlah
dan bentuk unsure hara yang dapat diangkut melalui pencucian dari tanah memasuki air
permukaan. Peneliti menguji pada kondisi laboratorium, hypothesis bahwa laju pembasahan
kembali tanah yang dikeringkan dapat mempengaruhi pelarutan dan konsentrasi bentukbentuk fosfat dalam lindi hasil pencucian. Contoh tanah grassland pelostagnogley (sieved
moist <2 mm) dikeringkan pada 35°C dan contoh tanah lainnya dipertahankan pada 40%
water-holding capacity. Air (25 ml) ditambahkan sepuluh kali dengan interval waktu teratur
masing-masing 2.5-ml ke permukaan kedua contoh tanah dengan periode 0, 2, 4, 24 dan
48 jam, menghasilkan laju aplikasi air yang berbeda. Lindi hasil pencucian dikumpulkan dan
dianalisis kandungan bentuk-bentuk fosfatnya.
Laju kecepatan pembasahan kembali suatu tanah ternyata mengubah konsentrasi P,
terutama bentuk P-larut yang ada dalam hasil pencucian. Konsentrasi P-larut tertinggi
terdapat pada lindi hasil pencucian dari perlakuan 2 jam, sedangkan konsentrasi P-partikulat
tertinggi pada perlakuan 0 jam. Pada semua perlakuan ternyata P tidak reaktif, oleh karena
itu dianggap bentuknya organik. Pengeringan tanah menurunkan biomasa mikroba, tetapi hal
ini tidak secara langsung berhubungan dengan peningkatan P dalam lindi hasil pencucian.
Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa perubahan pola frekuensi dan intensitas hujan
mempengaruhi jumlah P yang tercuci dari tanah.
Produktivitas Padi Sawah
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pemerintah membuat kebijaksanaan
perangsang berproduksi, yaitu dengan kebijakan harga dan non harga. Kebijakan harga
seperti penetapan harga dasar yang dimaksudkan untuk merangsang petani melakukan
usaha taninyadengan baik. Sedangkan kebijaksanaan non harga yaitu dengan
membangun Koperasi Unit Desa (KUD) atau kios – kios saprodi di sentra –
sentraproduksi atau dekat dengan tempat tinggal petani agar sarana produksi seperti
pupuk, bibit dan obat – obatan (pestisida) lebih cepat tersedia pada saat dibutuhkan
serta memudahkan petani untuk memasarkan produksinya. Tersedianya sarana atau
faktor produksi atau input belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi.
Namun bagaimana petani melakukan usaha taninya secara efisien adalah upaya yang
sangat penting.
Diserang Hama, Produksi Padi Lamongan Anjlok
Sumber: http://arsipberita.com/show/diserang-hama-produksi-padi-lamongananjlok-157975.html... diunduh 11/6/2011
Musim tanam tahun 2010 lalu, kondisi pertanian padi di Lamongan mengalami kendala
akibat perubahan iklim dan serangang hama wereng. Produksi padi mencapai 857.000 ton
dengan produktivitas 6,205 ton per hektar. Produksi tersebut turun 35.000 ton dibanding
produksi padi tahun 2009 sebanyak 892.613 ton. Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Lamongan Jawa Timur menetapkan target produksi padi musim tanam tahun
ini sama dengan tahun lalu sebanyak 834.368 ton. Sasaran luas panen padi ditetapkan
sebesar 130.903 hektar dengan perkiraan rata-rata produktivit as 6,359 ton per hektar.
Kondisi cuaca tahun ini diperkirakan sama dengan musim lalu sehingga target produksi
sama dengan tahun lalu. Perkiraan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
kondisi cua ca tahun ini masih akan sama dengan tahun lalu. Musim tanam pertama tahun
ini luas tanam padi di Lamongan mencapai mencapai 70.325 hektar. Hingga akhir Januari,
sudah ada 14.043 hektar yang dipanen. Menyiasati hama wereng pihaknya menyiapkan
beberapa langkah termasuk mengatur pola tanam, gerakan pengendalian dini hama
tanaman, serta pemberantasan hama secara represif. "Awal tahun ini, hama wereng sudah
menyerang 11.000 hektar lahan padi, 765 hektar diantaranya dinyatakan puso.
Turunnya produksi sebesar 35.000 ton belum menggeser Lamongan sebagai produsen padi
terbesar di Jawa Timur. Para penyuluh lapangan diharapkan selalu aktif turun memberikan
penyuluhan dan pemantauan hama agar petani tidak salah langkah. Petani diimbau agar
benar-benar mematuhi pola tanam sehingga bisa memutus rantai tumbuh kembang hama
tanaman. Produksi padi Lamongan tahun ini masih bisa ditingkatkan jika bisa menggenjot
produktivitas menjadi 7 ton per hektar.
Secara umum produktivitas dipengaruhi oleh kendala biologi dan kendala sosial
ekonomi. Kendala biologi yaitu disebabkan perbedaan varitas, adanya tumbuhan
pengganggu, serangan hama dan penyakit, perbedaan kesuburan tanah dan
sebagainya. Kendala sosial ekonomi yaitu perbedaan besarnya biaya dan penerimaan
usaha tani, kurangnya biaya usaha tani yang diperoleh dari kredit, harga produksi,
kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan petani, adanya faktor
ketidakpastian, resiko berusaha tani dan sebagainya.
Terjadinya kendala biologi dan kendala sosial ekonomi, seringkali berlainan antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Jadi sifatnya sangat lokal dan spesifik atau sangat
kondisional sekali. Pertama di dataran tinggi akan berbeda dengan situasi pertanian
didataran rendah dan pertanian didaerah pasang surut akan berbeda dengan pertanian
di daerah persawahan.
Model PTT: Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
Peningkatan Hasil Padi Sawah Irigasi dengan Pendekatan Model Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
Pengembangan model PTT padi telah dilakukan Desa Jenggik Utara, Kecamatan
Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur pada MH 2006/2007. Model
pengembangan PTT padi sawah irigasi melibatkan petani setempat yang sekaligus
menjadi pelaksana atau petani looperator. Setelah permasalahan dilapangan
dikumpulkan dan kebiasaan petani dievaluasi secara mendalam, maka disusun model
teknologi yang akan dikembangkan. Pengembangan demplot PTT padisawah irigasi
pada luasan 5,60 ha yang melibatkan 10 petani pemilik penggarap dan hanya
penggarap. Dengan introduksi teknologi baru seperti : Varietas unggul, teknik
pengendalian hama dan penyakit secara terpadui (PHT) dan teknik budidaya lainnya
yang lebih efisien diharapkan selain ada peningkatan produksi juga akan meningkatkan
kesejahteraan petani lahan sawah irigasi. Varietas yang digunakan sesuai dengan
pilihan petani yang dianggap baik diantaranya adalah : Situ Bagendit, Kalimas, Cigeulis,
Ciherang, Cibogo, Mekongga, Cimelati, Tukad Unda, Cilosari Ciliwung, Merawu dan Aek
Sibundong, serta beberapa galur harapan termasuk galur Hibrida H 57. Jarak tanam
yang diperkenalkan adalah sistem tegel 20 cm x 20 cm, dan Legowo 2 : 1 ( 40 x 20 x 10)
cm, ditanam 2-3 bibit per lubang tanam. Pupuk kandang dengan takaran sebanyak 2
t/ha diberikan dua minggu sebelum tanam. Pemberian pupuk pertama 10 HST berupa
50 kg/ha urea bersamaan dengan 100 kg/ha SP 36 dan 50 kg KCL/ha dengan cara
disebar rata. Satu minggu setelah pemberian pupuk pertama diadakan pembacaan
bagan warna daun (BWD/LCC). Satu minggu setelah pemupukan pertama dilakukan
pengamatan warna daun dengan alat BWD pada 10 daun teratas yang telah membuka
penuh secara acak, bila telah mencapai rata-rata kurang dari skala 4 perlu dilakukan
tambahan pupuk urea lagi dengan takaran 75 kg/ha. Pengendalian gulma dilaskukan
dua kali pada umur 15 dan 30 HST dan pengendalian hama dan penyakit berdasarkan
konsep
PHT.
Topik khusus yang dibahas oleh pemandu atau nara sumber disesuaikan dengan
tahapan integrasi komponen teknologi. Pemandu SLPHT adalah pengamat hama atau
tenaga lainnya yang telah mendapatkan pelatihan sebagai pemandu SLPHT.
Narasumber utamanya adalah peneliti dari BPTP-NTB dan BB-Padi. Kegiatan sekolah
lapang berlangsung dan diikuti oleh 20 orang peserta petani kooperator serta
berpartisifasi aktif. Pada pertemuan dilakukan kegiatan belajar yang meliputi : 1)
mengalami melalui pengamatan sendiri di sawah, 2) mengungkapkan apa yang dilihat
dengan menggambar ekosistem, 3) menganalisa dengan mendiskusikan apa yang
ditemukan, 4) Mengumpulkan atau mengambil keputusan apa yang diperlukan dengan
kondisi pertanaman saat ini, dan 5) menerapkan hasil pemahaman di lahan masingmasing. Pada saat pertemuan langsung diinformasikan teknologi yang berhubungan
dengan
PTT
padi
sawah
irigasi
maupun
sawah
tadah
hujan.
Kondisi pertanaman sampai saat ini di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong
Gading, Kabupaten Lombok Timur sudah memasuki umur 30 HST, secara umum
pertanaman di lapangan menampilkan pertanaman hijau merata dan lebih nampak pada
model perlakuan sistem tanam legowo maupun tandur jajar sistem tegel.
EFISIENSI PRODUKSI SISTEM USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI TEKNIS
Penelitian efisiensi produksi sistem usahatani padi sawah telah dilakukan di lahan
sawah irigasi teknis di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan
pertimbangan kondisi agroekosistem (AEZ) yang berlangsung dari bulan Juli hingga
Nopember 2005. Penelitian bertujuan untuk mengetahui rasionalitas petani di dalam
menggunakan faktor produksi. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dengan menggunakan regresi linear berganda, dilanjutkan dengan uji efisiensi
alokatif. Hasil analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa luas panen, pestisida dan
tenaga kerja berpengaruh positip terhadap produksi padi sawah dimana peningkatan
produksi masih bisa dicapai dengan penambahan ketiga faktor produksi tersebut. Hasil
uji efisiensi alokatif menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pendapatan yang
maksimal petani perlu mengurangi penggunaan pupuk SP-36. Oleh karena itu untuk
mencapai produksi yang optimal dan keuntungan maksimal maka perlu memperluas
areal panen, penambahan pestisida dan tenaga kerja serta mengurangi jumlah pupuk
SP-36.
Pendahuluan
Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat di dalam negeri dari produksi pangan nasional. Berbagai upaya
telah ditempuh pemerintah melalui kegiatan pengamanan lahan sawah di daerah
irigasi, peningkatan mutu intensifikasi serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian.
Salah satu bahan pangan nasional yang diupayakan ketersediaannya tercukupi
sepanjang tahun adalah beras yang menjadi makanan pokok bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Sumber daya lahan di Sulawesi Tenggara masih sangat
berpotensi untuk pengembangan pertanian. Menurut laporan BPS Sulawesi Tenggara
(2005), luas lahan sawah adalah 90.730 ha yang tersebar di 10 kabupaten, sedangkan
lahan tegalan/kebun seluas 1.196 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan
seluas 281.692 ha. Khusus untuk lahan sawah yang menurut jenis pengairannya
diketahui bahwa lahan sawah yang paling banyak adalah lahan sawah berpengairan,
yaitu seluas 70.786 ha atau 78,02 persen dari total lahan sawah.
Dari luasan tersebut lahan sawah mempunyai peranan yang strategis dalam
penyediaan program ketahanan pangan, penyerapan tenaga kerja dan sumber
pendapatan petani. Pengembangan padi sawah semakin meningkat terkait dengan
kebutuhan konsumsi beras dan meningkatnya jumlah penduduk. Oleh karena itu titik
berat perbaikan sumberdaya lahan sawah banyak diperuntukkan untuk pemacuan
peningkatan produktivitas. Menurut laporan Dinas Petanian Sulawesi Tenggara (2005),
produktivitas padi sawah selama 5 tahun terakhir (2001 – 2005) sebesar 3,72 t/ha
dengan rata-rata peningkatan 0,14 persen per tahun.
Nilai produktivitas ini masih tergolong rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan
karena berdasarkan hasil penelitian Idris et al., (2004) menunjukkan bahwa beberapa
varietas padi sawah di Sulawesi Tenggara dengan menerapkan teknologi dapat
memberikan hasil 4 – 6 t/ha, dan Suharno et al., (2000) melaporkan bahwa melalui
perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan, waktu tanam yang tepat dan
pengendalian jasad pengganggu, hasil padi sawah dengan menanam varietas unggul
dapat mencapai 4,4 – 7,2 ton/ha. Perbedaan hasil antara hasil penelitian dengan
produksi di tingkat petani disebabkan oleh penggunaan benih yang bermutu rendah,
teknologi yang belum sesuai anjuran dan adanya faktor pembatas lahan yaitu tingkat
kesuburan yang rendah. Hal ini seperti dilaporkan oleh Mustaha et al., (2002) bahwa
ketersediaan hara pada sebagian besar lahan pertanian di Sulawesi Tenggara berada
pada kategori rendah hingga sangat rendah. Selain itu jenis tanah Podsolik Merah
Kuning yang memiliki karakteristik kandungan unsur hara makro (N, P dan K) rendah,
kandungan unsur mikro (Al dan Fe) yang tinggi, reaksi tanah yang masam, kandungan
bahan organik yang rendah, serta kandungan basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, Na dan
K) yang rendah (Kartono, 2002).
Berdasarkan potensi lahan sawah yang terluas adalah Kabupaten Konawe, yaitu 38.021
ha atau 41,91 persen dari luas lahan sawah Sulawesi Tenggara. Pengembangan padi
sawah di Kecamatan Uepai merupakan salah satu kebijakan pemerintah daerah untuk
mewujudkan sebagai lumbung pangan, khususnya beras di Kabupaten Konawe. Namun
dengan berbagai keterbatasan daya dukung lahan dan teknologi di tingkat petani maka
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja petani didalam
berusahatani padi sawah sehingga diperoleh gambaran tingkat efisiensi sarana
produksi terhadap produksi padi sawah.
Untuk menganalisis efisiensi produksi maka terlebih dahulu dilakukan analisis faktor
produksi yang mengikuti model fungsi produksi Cobb-Douglas. Bentuk matematis fungsi
produksi padi sawah dinyatakan sebagai :
Ln Y = ln a + α1 ln X1 + α2 ln X2 + α3 ln X3 + α4 lnX4 + α5 lnX5 + α6 lnX6 + α7 lnX7+ ε
dengan :
Y = produksi padi sawah (kg)
X1 = jumlah benih (kg)
X2 = luas panen (ha)
X3 = pupuk Urea (kg
X4 = pupuk SP-36 (kg)
X5 = pupuk KCl (kg)
X6 = pestisida (ml)
X7 = tenaga kerja (HKP)
Untuk menganalisis efisiensi penggunaan sarana produksi dengan melakukan pengujian
efisiensi alokatif atau efisiensi harga. Uji efisiensi harga telah digunakan oleh Malian et
al., (1989) yang menganalisis efisiensi benih unggul kedelai di Jawa Tengah dan
digunakan oleh Kadir et al., (2002) untuk menguji efisiensi faktor produksi usahatani
kapas dan jagung di Sulawesi Selatan. Alokasi penggunaan sarana produksi dikatakan
efisien apabila nilai marginal produk (NPMxi) sama dengan harga inputnya (Pxi), artinya
alokasi sarana produksi telah mencapai titik optimal atau telah efisien. Ini juga berarti
bahwa perbandingan antara nilai produk marginal dengan harga input pada titik
kombinasi tersebut sama dengan satu (Widodo, 1989). Secara matematis efisiensi
alokatif dituliskan sebagai berikut :
NPMxi = Pxi atau NPMxi/Pxi = 1 = ki
Apabila ki = 1 berarti penggunaan input efisien, ki > 1 penggunaan input belum efisien
dan masih perlu ditambah, sedangkan bila ki < 1 penggunaan input sudah tidak efisien
dan perlu dikurangi.
Penerapan Teknologi Usahatani
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah merupakan salah satu tahap penyiapan media tumbuh bagi tanaman.
Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan menggunakan traktor diolah 3
kali hingga kondisi tanah siap tanam, yaitu bajak satu kali, kemudian digaru dan
diratakan. Pengolahan tanah dilakukan antara bulan Juli – Agustus.
2. Pesemaian
Benih disiapkan untuk menjadi bibit biasanya diambil dari hasil panen sebelumnya
sehingga lama penyimpanan benih antara 1 – 2 bulan. Untuk mematahkan masa
dormansi benih direndam selama satu malam kemudian diangin-anginkan selama 24
jam, kemudian benih dihambur di pesemaian. Setelah bibit berumur 15 hari, dicabut dan
diikat, akar bibit dicuci sehingga air dan lumpur di perakaran terbuang untuk
mempermudah penanaman. Luas pesemaian antara 20 m2 – 200 m2 sesuai dengan
luas lahan yang akan ditanami.
3. Penanaman Bibit
Petani melakukan penanaman dengan menggunakan sistem tanam pindah (tapin)
dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Cara menanam bibit dari pesemaian dengan cara
mencaplak atau mengajir dan rata-rata bibit padi ditanam sebanyak 3-4 batang per
rumpun. Penanaman dilakukan dimana kondisi tanah macak-macak. Pada MK 2005
penanaman padi dilakukan pada bulan Agustus.
4. Pemupukan
Semua responden petani padi sawah melakukan pemupukan dengan pupuk buatan
terutama pupuk Urea dan SP-36. Dalam hal pengadaan pupuk dikelola oleh kelompok
tani, ada petani yang membayar langsung, namun ada pula petani yang membayar
pada saat panen. Dilihat dari jumlah takaran pupuk masih beragam, yakni dari 66,67 –
333,33 kg/ha Urea atau rata-rata 209,50 kg/ha, SP-36 antara 0 – 133,33 kg/ha atau
rata-rata 76,60 kg/ha, sedangkan KCl hanya 10 persen petani responden menggunakan
pupuk KCl dengan dosis antara 62,5 – 66,67 kg/ha sedangkan 90 persen responden
tidak menggunakan pupuk KCl.
Aplikasi pemberian pupuk pada umumnya pupuk Urea diberikan dua kali, sedangkan
pupuk yang lain diberikan satu kali. Waktu pemupukan pertama pada saat tanaman
berumur 15 – 25 HST dan pemupukan kedua pada 40 – 45 HST. Cara pemberian pupuk
dilakukan dengan cara menghambur diantara barisan tanaman.
5. Penggunaan Pestisida
Kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman dalam usahatani padi sawah
merupakan salah satu faktor penentu untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Jenis
hama
yang ditemui di areal pertanaman padi sawah pada MK 2005 adalah ulat grayak dan
walang
sangit, namun tingkat serangan kedua hama tersebut belum melampaui batas ambang
kendali.
Fungsi Produksi Padi Sawah
Hasil analisis regresi fungsi produksi usahatanu padi sawah di Kecamatan Uepai
diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup besar, yaitu 0,9123. Nilai koefisien
tersebut berarti 91,23 persen produksi padi sawah dipengaruhi oleh variabel-variabel
dalam model yang meliputi luas panen, jumlah benih, pupuk, pestisida, dan tenaga
kerja, sedangkan 8,77 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar model seperti curah
hujan, kelembaban, suhu udara dan sebagainya.
Sarana produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi adalah luas panen,
pestisida dan tenaga kerja, sedangkan benih dan pupuk tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap produksi. Dalam fungsi produksi Cobb- Douglas koefisien regresi
merupakan elastisitas dari setiap faktor produksi terhadap hasil. Hasil estimasi koefisien
regresi luas panen adalah 0,4998, hal ini berarti apabila areal panen bertambah 10
persen maka produksi padi meningkat 4,998 persen, demikian pula sebaliknya apabila
luas panen berkurang 10 persen maka produksi akan menurun 4,391 persen. Rata-rata
produksi padi sawah pada MK 2005 sebesar 3,420 ton yang diperoleh dari luasan 0,729
ha atau produktivitas 4,69 /ha.
Produksi padi sawah di Kecamatan Uepai pada MK 2005 tidak dipengaruhi oleh
banyaknya benih yang ditanam. Rata-rata benih yang digunakan petani sebanyak 48,84
kg atau 67 kg/ha yang melebihi kebutuhan benih padi untuk keperluan satu hektar, yaitu
25 – 30 kg/ha. Berlebihnya jumlah benih tersebut dikarenakan benih disemaikan terlebih
dahulu hingga menjadi bibit. Setelah berumur 15 hari bibit dipindahkan ke pertanaman.
Dengan demikian tanaman yang tumbuh berasal dari bibit yang terseleksi sehingga
secara statistik jumlah benih tidak pempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi
padi.
Demikian pula pupuk yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap produksi, artinya
penambahan atau pengurangan pupuk tidak bermakna, namun hal ini bukan berarti
bahwa tanaman tidak memerlukan tambahan unsur hara bagi pertumbuhannya. Pupuk
yang digunakan oleh petani pada setiap musim tanam lebih banyak dari jenis Urea dan
SP-36 dengan dosis masing-masing 209,5 kg/ha dan 76,6 kg/ha. Tidak berpengaruhnya
pupuk Urea terhadap produksi padi sawah diduga oleh sifat pupuk Urea yang mudah
terurai baik oleh penguapan maupun pencucian walaupun dosis yang diberikan telah
melampaui dosis anjuran namun waktu pemberian masih kurang tepat sehingga
tanaman tidak opimal merespon unsur N. Demikian pula pupuk SP-36 dan KCl yang
jumlahnya masih dibawah anjuran sehingga ketersediaan unsur P2O5 dan K2O yang
tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman.
Hal ini senada dengan pendapat Suwalan et al., (2004) bahwa respon tanaman
terhadap pemberian pupuk akan meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis,
dosis, waktu dan cara pemberian.
Serangan hama yang ditemui di lapangan adalah hama walang sangit, ulat grayak dan
ulat tentara. Tingkat serangan dari ketiga hama tersebut masih dibawah batas ambang
ekonomi, namun sebagai tindakan pencegahan agar serangan tidak semakin meluas
peani melakukan penyemproan dengan pestisida. Jenis pestisida yang digunakan
adalah Lansette dan Matador dengan rata-rata dosis 1,16 l/ha. Perlakuan ini ternyata
berpengaruh positip terhadap upaya penyelamatan produksi, sehingga petani masih
bisa mengintensifkan penyemprotan bila terjadi serangan yang lebih berat.
Pada usahatani padi sawah, tenaga kerja digunakan dari saat pengolahan tanah hingga
pasca panen. Jumlah tenaga kerja yang dipakai dalam satu musim rata-rata 57,74 hari
setara pria (HKP). Hasil estimasi koefisien regresi dari tenaga kerja sebesar 0,5123 dan
berpengaruh positip terhadap produksi, artinya produksi padi akan meningkat 5,123
persen apabila ada penambahan tenaga kerja sebanyak 10 persen. Hal ini
menyebabkan pengelolaan usahatani akan semakin intensif dengan penambahan
curahan tenaga kerja di dalam proses produksi.
Efisiensi Penggunaan Sarana Produksi
Dalam kegiatan usahatani sering ditemui banyak petani melakukan aktivitas kegiatan
usahatani berdasarkan kebiasaan dan pengalaman semata sehingga rasionalitas sering
terabaikan. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya beberapa permasalahan di lingkungan
petani, seperti keterbatasan modal dan sulitnya memperoleh sarana produksi sehingga
mempengaruhi petani di dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu untuk melihat
rasionalitas petani didalam berusahatani dalam upaya meningkatkan pendapatan maka
dilakukan uji efisiensi alokasi penggunaan sarana produksi.
Penggunaan benih, pupuk Urea dan KCl, pestisida serta tenaga kerja telah mencapai
optimal. Di lokasi sawah ini, penggunaan pupuk SP-36 sebanyak 76,60 kg/ha perlu
dikurangi walaupun jumlahnya masih dibawah anjuran yaitu 100 – 150 kg/ha untuk
mencapai efisien. Dilihat dari sisi ekonomi, harga pupuk SP-36 di tingkat petani
mencapai Rp 1.550/kg sehingga dengan mengurangi alokasi biaya pembelian pupuk
maka tingkat pendapatan petani akan mengalami peningkatan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Secara teknis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah adalah luas
panen, pestisida dan tenaga kerja. Ketiga faktor produksi tersebut masih bisa dinaikkan
jumlahnya untuk meningkatkan produksi.
2. Secara ekonomis efisiensi produksi dalam usahatani padi di lahan sawah irigasi
belum optimal. Pencapaian efisien masih dimungkinkan dengan mengurangi
penggunaan pupuk SP-36 untuk menambah pendapatan.
3. Dengan adanya beberapa faktor produksi terutama pupuk yang tidak berpengaruh
nyata terhadap produksi maka disarankan untuk melakukan percobaan dengan
menggunakan dosis sesuai dengan acuan rekomendasi untuk melihat potensi hasil padi
sawah di lahan irigasi.
PENGEMBANGAN PRIMA TANI BERBASIS LAHAN SAWAH IRIGASI
PELAKSANAAN PRIMA TANI
1.1. Proses Implementasi Pelaksanaan Prima Tani
1.1.1. Pemilihan lokasi Contoh
Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) merupakan sentra produksi beras di
provinsi Sulawesi Utara. Atas arahan Pemda Bolmong, kegiatan Prima Tani
dilaksanakan di desa Cempaka kecamatan Sang Tombolang, dengan komoditas
unggulan padi sawah, yang didukung sarana irigasi Bendung Ayong desa Cempaka,
berjarak 10 km dari pusat kecamatan dan kantor BPP, 100 km dari ibu kota kabupaten
Kotamobagu dan 205 km dari ibu kota provinsi Manado.
Jumlah penduduk desa Cempaka 501 jiwa, terdiri dari 127 KK. Letak geografis pada titik
ordinat 0˚48’45” - 0˚50’00” Lintang Utara dan 123˚52’55”- 123˚54’10” Bujur Timur
(Gambar 1). Luas wilayah desa berdasarkan pengukur digital adalah 430 ha dengan
elevasi 15 – 359 m dpl, sebesar 84% luas areal adalah sawah, tegalan dan kebun 12%
1.1.2. Organisasi pelaksana dan jaringan kerjasama
Organisasi pelaksana Prima Tani di tingkat provinsi Sulut sudah terbentuk melalui Kep.
Gubernur Sulut No : 22 Tahun 2006, akan tetapi belum ditindaklanjuti dengan
pembuatan tupoksi. Organisai pelaksana di tingkat Kabupaten Bolmong, walaupun draf
Kep. Bupati sudah diusulkan sejak Juni 2007. Sekalipun demikian Dinas Praskim Sulut
sudah menyusun program perbaikan jalan pertanian di desa Cempada 2008, Dinas
Pengairan Sulut menyusun rehabilitasi saluran primer bendung Ayong 2008, Dinas
Pengairan Bolmong merehabilitasi saluran sekunder bendung Ayong 2007. Dinas
Pertanian Bolmong memberikan alat rontok padi 2007, dan BPP Sang Tombolang yang
operasional di desa Primatani 2007.
1.1.3. Pemilihan komoditas unggulan
Komoditas unggulan di Lab Agribisnis Cempaka adalah padi sawah. Penetuan
komoditas unggulan ini mengacu pada komoditas unggulan Kabupaten Bolmong,
arahan Pemda Bolmong, hasil PRA dan hasil analisis sumberdaya lahan dan air, yang
dikerjakan bersama antara BPTP, Balitklimat, Balitnak, dan Puslitbangtan. Komoditas
penunjang semangka, kakao, ternak sapi.
1.1.4. Perumusan inovasi teknologi dan kelembagaan
Perumusan inovasi teknologi dan kelembagaan yang dituangkan dalam rancang bangun
lab agribisnis disusun atas kerja sama BPTP, pemandu teknologi dari Puslitbangtan,
Penyelia dari PSE, dan disosialisasikan kepada Pemda Bolmong untuk mendapatkan
umpan balik. Dasar-dasar penyusunan inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan
adalah hasil PRA dan analisis SDL, umpan balik stakeholder dan petani, kebijakan
Pemda, ketersediaan teknologi pada tingkat Balai dan Puslit.
1.1.5. Pembentukan Klinik Agribisnis
Klinik Agribisnis yang diketuai oleh petugas PPL setempat belum ada topoksi dan belum
berjalan efektif (dibangun sejak akhir Agustus 2007), namun peran dan fungsinya sudah
berjalan pada Juni 2007. Hal ini disebabkan karena adanya Posko Primatani yang
dimulai pada akhir Mei 2007 di mana para peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa mulai
menginap di lokasi. Semenjak itu setiap hari banyak petani yang datang berdiskusi
tentang permasalahan lapang, terutama padi sawah. Di tempat ini juga kebanyakan
pelatihan dan pertemuan petani diadakan.
1.1.6. Pengembangan dan fungsi laboratorium agribisnis
Dari aspek diseminasi, dalam jangka pendek lahan-lahan percontohan ini tidak saja
menjadi sekolah lapang bagi petani kooperator, tetapi kenyataannya juga menjadi show
window bagi banyak petani lainnya, baik dari dalam desa maupun luar desa Cempaka.
Tampilan fisik tanaman padi percontohan, baik pada fase vegetatif mapupun generatif
yang jauh lebih unggul dari pada di luar percontohan, menjadikan daya tarik tersendiri
bagi petani. Fenomena yang sama juga nampak pada plot-plot penangkaran benih padi
unggul yang disamping tertata sangat apik juga tampilan fisik yang eksklusif, sehingga
sebelum panen sudah banyak petani yang memesan benih.
Kelembagaan agribisnis yang diintroduksi dan dikembangkan masih terbatas pada Klinik
Agribisnis sebagai lembaga inovasi dan kelembagaan Penangkar Benih padi unggul
sebagai salah satu kelembagaan input. Sekalipun ke dua kelembagaan ini merupakan
inovasi introduksi, namun demikian sejak mulai dibangun sampai saat ini terasa besar
manfaatnya bagi petani. Sebagai desa yang terisolasi secara geografis dan
administratif, kehadiran klinik agribisnis dan lembaga penangkar benih membuat akses
petani terhadap beberapa teknologi dan informasi menjadi terbuka lebar dan peluang
adopsi inovasi teknologi menjadi besar.
1.1.7. Pengembangan sumberdaya petani/kelompok
Berdasarkan hasil PRA di Cempaka maka jumlah kelompok tani di Cempaka adalah 5
kelompok. Dari ke lima kelompok tersebut kenyataannya tidak aktif. Pembinaan
kelompok tani difasilitasi BPPK Sang Tombolang melalaui PPL setempat. Nara sumber
pembina adalah penyuluh BPTP dan PPL setempat. Pelatihan petani meliputi
pendekatan PTT padi sawah irigasi, teknologi budidaya semangka, teknologi
menangkar benih padi, Kelembagaan penangkar benih padi, Kelembagaan Klinik
Agribisnis. Dari ke 5 kelompok yang ada, terdapat satu kelompok yang sudah mulai
beraktifitas kembali. Kebanyakan petani tidak tertarik dengan kelompok tani akibat
masalah-masalah internal kelompok di masa lalu.
1.2. Peluang Keberhasilan
1.2.1. Internal
Sampai saat ini Puslitbangtan, Puslitbangnak, dan Puslitbang Sosek berpatrisipasi
secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media cetak dalam sosialisasi
inovasi teknologi. Puslitanak terlibat langsung dalam kegiatan analisis sumberdaya
lahan dan air.
1.2.2. Eksternal
Dukungan instansi terkait pada tahun pertama Prima Tani (2007) memang belum
signifikan. Pada tahun 2007 beberapa instansi pendukung meliputi Dinas Pertanian dan
Peternakan Bolmong, Dinas Pengairan Bolmong, Dinas Pengairan Provinsi, Dinas
Kimpraswil Sulut. Kesesuain inovasi PTT padi dengan kelembagaan agribisnis yang ada
sekarang di Cempaka memang belum semuanya tepat dan menyebabkan respon petani
masih kurang.
Masalah kesulitan tenaga kerja, lemahnya kemampuan modal kerja, akses ke lembaga
keuangan dan lembaga input yang sulit menyebabkan respon terhadap inovasi baru
melemah.
1.2.3. Pengembangan jaringan kerja sama (internal dan eksternal)
Untuk usahatani komoditas padi, fungsi kelembagan keuangan, kelembagaan pasar
input, kelembagaan pasca panen dan kelembagaan pasar output diperanan tunggal
pengusaha swasta yang berodal besar dan mampu membuka akses ke luar. Beberapa
komoditas penunjang sperti kelapa, kakao, semangka dan lain-lain petani memang
sudah membangun akses ke luar sebelum Prima Tani dan tidak tergantung pedagang
input.
1.3.Kinerja Prima Tani
1.3.1. Pembentukan/Penguatan kelembagaan tingkat pedesaan
Laboratorium Agribisnis desa Cempaka, walaupun masih belum mendekati AIP, namun
akses informasi dan pengetahuan masyarakat tentang informasi teknologi cukup
meningkat. Hal ini disebabkan banyak informasi teknologi yang dipercepat sampai ke
petani. Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelatihan petani, dan inovasi
penangkar benih padi. Kelembagaan / pasar input, pasar output, serta modal kerja
secara eksisting masih ditangani tunggal pengsuaha yang belum tentu berpola pikir
saling ketergantungan karena bunga kredit yang kurang transparan kepada petani.
Beberapa kelembagaan yang berprospek untuk dikembangkan pada tingkat
kelompok tani adalah Lembaga Kredit Mikro, dan lembaga tenaga kerja sesuai
kebutuhan lapangan.
1.3.2. Terpilihnya komoditas dan teknologi unggulan
Komoditas unggulan di desa Cempaka adalah padi sawah, sedangkan komoditas
penunjang adalah tanaman semusim semangka, jagung, dan kacang hijau dan tanaman
tahunan kelapa dan kakao. Ternak yang dapat diintegrasikan dengan tanaman unggulan
adalah ternak sapi.
Terpilihnya padi sebagai komoditas unggulan adalah atas dasar bahwa sekitar 84%
potensi lahan adalah sawah, lahan kering hanya sekitar 10% yang umumnya
merupakan pertanian terpadu antara kelapa dan kakao dan jagung. Pemilihan
komoditas ungulan juga adalah berdasarkan hasil analisis sumberdaya lahan dan air,
dan berdasarkan hasil PRA.
1.3.3. Sinergi program antara Prima Tani dan program pemda dan pemangku
kepentingan yang lain
Pengembangan Primatani berbasis sawah irigasi di Cempaka secara langsung telah
mendukung program Pemda. Walaupun dukungan sharing dana antara BPTP dengan
Pemda Bolmong masih tergolong sedikit, namun sedikit-demi sedikit komitmen kerja
sama semakin kuat.
Selain dukungan instansi Dinas Pengairan Provinsi dan kabupaten, juga melalui Dinas
Pertanian sudah mengalokasikan program pemberdayaan petani (P3TIP) untuk tahun
2008 di desa Cempaka. Adopsi pendekatan Prima tani oleh Pemda belum nampak,
kecuali terhadap beberapa komponen inovasi teknologi padi sawah seperti varitas
unggul baru, juga program perberdayaan petani (P3TIP) akan memanfaatkan beberapa
inovasi ari Prima Tani.
1.3.4. Dampak
Kegiatan Prima Tani di desa Cempaka dalam jangka pendek memang belum benarbenar menjadi ajang kunjungan bagi penyuluh, siswa dan mahasiswa serta petanipetani lua. Namun masyarakat petani desa Cempaka mulai dapat mengakses langsung
beberapa inovasi baru, bahkan dapat kerkomunikasi langsung dengan sumber teknologi
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dampak kegiatan Prima Tani terhadap peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga
tani di Cempaka memang belum nampak, kecuali petani kooperator percontohan yang
berhasil meningkatkan produksi gabah dari 3,5 t/ha sebelum kegiatan menjadi 5 t/ha
setelah percontohan demikian pula petani adopter seluas hanya 4 ha mendapatkan hasil
yang hampir mendekati 5 t/ha.
II. MASALAH DAN UPAYA PEMECAHANNYA
2.1. Masalah
Subsistem rantai hulu : pasar input sangat terbatas, mahal, transaksi dikredit dengan
ikatan tidak transparan. Ini mendorong petani enggan menggunakan input sesuai
dengan kebutuhan dan tepat waktu. Akses ke lembaga keuangan pemerintah masih
tertutup sehingga tetap bergantung pada pengusaha gilingan padi dengan bunga yang
ditentukan sepihak. Dukungan instansi pemerintah terhambat oleh letak geografis desa
Cempaka yang cukup terisolir.
Subsistem rantai proses : Sarana irigasi yang mengalami kerusakan selama sekitar 7
tahun menyebabkan pasokan air berkurang dan tidak menentu, pada musim panas
hanya sekitar 20 % sawah ditanami. Kekurangan tenaga kerja menyulitkan adopsi
inovasi PTT padi. SDM petani yang rata-rata tidak dapat baca – tulis menghambat
diseminasi pola pelatihan yang menggunakan media cetak dan bahasa baku.
Subsistem rantai hilir : Kelembagaan pasca panen untuk komoditas padi di desa
Cempaka ditangani pengusaha gilingan padi sebanyak 5 unit. Kegiatan terdiri dari
pengangkutan gabah dari sawah ke gudang, penjemuran, penyimpanan dan
penggiligan padi menjadi beras. Semua tahapan berjalan lancar sperti tidak ada
masalah. Namun subsistem hilir ini sebernarnya merupakan bentuk pengikatan pihak
pengusaha hilir (lembaga input dan keuangan) terhadap petani.
2.2. Upaya Pemecahannya
Subsistem rantai hulu : Upaya pemecahan untuk 2007 belum ada, biarkan berjalan,
tetapi secara perlahan dimulai tahun 2008 dari salah satu kelompok memulai kegiatan
kelembagaan kooperasi, disini perlu modal awal yang dikumpulkan petani atau distimulir
dengan sitkapital dari Primatani.
Subsistem rantai proses : Kerusakan sarana irigasi, upaya yang dilakukan adalah
bermohon ke Pemda (delengkapi data dukung) dalam hal ini Dinas Pengairan Provinsi
dan Kabupaten. Hasil sementara yang diperoleh bahwa rehabilitas saluran airigasi
primer akan dimasukkan dalam program 2008 oleh Dinas Provinsi. Bahkan Dinas
Pengairan Kabupaten pada tahun 2007 mengalokasikan dana perbaikan dan perawatan
saluran sekunser. Kekurangan tenaga kerja akan mengintroduksi beberapa alat
pertanian seperti atabela dan alat penyiang untuk mengurangi biara tenaga kerja
manusia. Masalah SDM petani yang rata-rata tidak dapat baca – tulis akan berupaya
menggunakan teknik penyuluhan peragaan lapangan, bahasa lisan, dan bahasa visual
seperti poster dan foto-foto.
Subsistem rantai hilir : Upaya pemecahan untuk 2007 belum ada, biarkan berjalan,
tetapi secara perlahan dimulai tahun 2008 dari salah satu kelompok memulai kegiatan
kelembagaan kooperasi, disini perlu modal awal yang dikumpulkan petani atau distimulir
dengan sitkapital dari Primatani.
Usahatani Terpadu untuk Sawah Irigasi
Menggabungkan usaha pertanian, perikanan dan peternakan dalam satu tempat kini
bukan hal yang mustahil. Disamping mendatangkan pendapatan sampingan,
penggabungan usaha tani terpadu yang berpijak pada pemanfaatan hubungan saling
menguntungan antara satu sama lain ini (simbiosis mutualisme) juga memberikan
dampak lingkungan yang positif bagi pertanian berkelanjutan. Hanya saja , mindazbesi
ini baru bisa dilaksanakan pada sawah yang airnya lancar (irigasi).
Mengusahakan beberapa macam komoditas dalam satu tempat bisa dilakukan dimana
saja, termasuk diantaranya adalah pada sawah irigasi. Tidak sedikit petani kita yang
memiliki lahan sawah yang mengandalkan pengairan dari irigasi tersebut. Daripada
mengusahakan hanya satu komoditas saja, misalnya padi, mengapa tidak berfikir untuk
menam-bah penghasilan dengan mengga-bungkan beberapa komoditas yang saling
menunjang di dalam ekosistem sawah itu sendiri.
BPTP Malang-Jawa Timur baru-baru ini telah menggagas suatu sistem usahatani
terpadu yang dinamakan Mindazbesi. Dari namanya yang agak aneh itu, kita tentu
bertanya-tanya seperti apa mindazbesi itu. Mindazbesi merupakan kependekkan dari
mina – padi – azolla- bebek dan sapi. Usahatani terpadu mindazbesi yang
menggabungkan beberapa komoditas dalam satu ekosistem sawah irigasi yang
melibatkan padi, ikan, azolla, serta ternak ini dilatar belakangi dari besarnya potensi
lahan sawah irigasi terutama dari ketersediaan air yang terjamin selama pertumbuhan
tanaman. Mengapa harus mindazbesi? Konsep mindazbesi ini lebih didasarkan pada
pemikiran untuk mengelola secara optimal sawah yang terjamin perairannya dengan
memadukan intensifikasi dan diversifikasi yang mana antar bagian yaitu padi, azolla,
ikan, bebek dan padi memiliki hubungan/keterkaitan yang saling menguntungkan satu
sama lain. Adanya bebek dan sapi dalam pertanaman minapadi-azolla yang bersifat
saling melengkapi (komplementer) ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan
petani, gizi masyarakat dan distribusi tenaga kerja secara merata dan yang paling
penting adalah penerapan teknologi yang ramah lingkungan (sustainable farming).
Keunggulan Usahatani Terpadu
Penggabungan beberapa jenis komoditas dalam ekosistem sawah irigasi yang memiliki
hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ini tidak hanya memberikan
keuntungan pada ekosistem itu sendiri namun juga keuntungan bagi petani yang
mengusahakannya, yaitu : dapat meningkatkan pendapatan dan pemenuhan
karbohidrat serta protein hewani. Dengan mengusahakan padi, sekaligus ikan, azolla,
bebek dan itik ini tentu saja memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan bila
kita hanya mengusahakan satu komoditas saja. Pengusahaan tanaman padi tidak hanya
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan semata namun juga untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat. Sedangkan adanya ikan dan bebek ini
secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi sumber protein hewani.
Mengapa demikian?
Karena dengan adanya kotoran yang berasal dari bebek sapi serta ikan menjadi pupuk
organik yang selain dibutuhkan tanaman padi juga dapat memperbaiki sifat fisik maupun
kimia tanahnya. Kotoran yang dihasilkan oleh bebek maupun sapi dapat dimanfaatkan
sebagai media makanan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang menjadi makanan
alami ikan. Sedangkan perilaku bebek dan ikan yang suka mengaduk-aduk tanah dalam
mencari makanan dapat menyebabkan struktur tanah sawah menjadi lebih baik.
IKAN
Pakan ikan berasal dari azolla, gulma, hama padi dan dedak. Kotoran yang dihasilkan
dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman padi, azolla dan tanah sawah. Hasil yang
diperoleh berupa daging ikan.
SAPI
Pakan berupa jerami, azolla, gulma dan dedak sedangkan kotoran yang dihasilkan
dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman padi dan sawah sedangkan hasil yang
diperoleh dari ternak sapi berupa : tenaga untuk pengolahan lahan, daging dan uang,
tentunya.
BEBEK
Bebek membutuhkan pakan berupa gabah sisa panen, gulma padi, azolla dan dedak,
kotoran yang dihasilkannya akan menjadi pupuk organik bagi tanah sawah dan hasil
yang didapat berupa telur dan daging. Kehadiran bebek, dan ikan serta sapi yang
memakan gulma tertentu sebagai saingan tanaman padi memberikan keuntungan
karena kita tidak perlu melakukan kegiatan penyiangan lebih banyak. Selain itu, adanya
pertumbuhan azolla yang menutupi permukaan air tanah dapat menekan dan
mengurangi ruang tumbuh gulma padi. Selain dapat mengurangi gulma, kehadiran
bebek, sapi dan ikan juga dapat menjadi predator hama-hama padi seperti ikan yang
memakan serangga tertentu (wereng) serta bebek yang menyukai ulat dan bekicot
perusak tanaman padi sehingga dapat menekan perkembangan populasi hama.
Keunggulan lain adalah dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi maupun
produktivitas per satuan luas dan waktu selain itu, adanya usahatani terpadu ini dapat
menyebabkan terjadinya distribusi dan aktivitas kerja yang berorientasi pada
keseimbangan gender.
Tahapan - tahapan SIstem Usahatani Terpadu di Sawah Irigasi
Persyaratan
Apakah semua sawah irigasi bisa menerapkan usahatani ini? Tentu saja tidak karena
selain memerlukan penanganan lebih intensif juga harus memenuhi beberapa kondisi
tertentu. Karena dalam penanaman padi ini juga mengikut sertakan ternak ikan, maka
sistem penanamannya pun harus memberikan keleluasan bagi ikan maupun
pertumbuhan azolla itu sendiri. Jadi, dalam hal ini budidaya minapadi-azolla sangat
dianjurkan menggunakan cara tanam sistem legowo. Cara tanam legowo ini tidak lain
adalah merupakan upaya rekayasa ruang tumbuh menjadi barisan tanaman pinggir
yang diharapkan dapat meningkatkan produksi padi. Adanya ruang antar baris tanaman
yang lebih lebar tentu saja memberikan perkembangan ikan dan tanaman azolla tumbuh
secara baik. Selain untuk tujuan tersebut, penggunaan cara legowo akan
mempermudah bagi kita dalam pemeliharaan ikan, azolla serta tanaman padi itu sendiri.
Lokasi harus aman dan pengairan terjamin.
Agar lebih mudah dikontrol dan demi keamanan, maka lokasi mindazbesi haruslah
berada dalam lahan yang dekat dengan rumah. Kemudian diusahakan dilakukan pada
areal sawah yang bukan daerah banjir maupun endemis hama. Hal ini dimaksudkan
karena akan sia-sia usaha kita menanam azolla dan ikan bila sawahnya mudah sekali
kebajiran sehingga resiko kehilangan ikan sangat besar. Dan yang penting dalam
pemilihan lokasi mindazbesi adalah lahan sawah irigasi tersebut terjamin pengairannya.
Untuk apa mengusahakan di sawah irigasi bila sistem pengairannya tidak lancar?
Apalagi kita mengusahakan mina padi yang notabene membutuhkan air yang cukup.
Dilengkapi “caren”
Setelah kita mendapatkan lahan yang sesuai, langkah berikutnya adalah proses
pengolahan tanah. Hal ini penting karena pengolahan untuk mina padi tidak sama
dengan tanam padi biasa. Pada saat pengolahan pertama, berikan pupuk kandang yang
matang berupa kompos dari kotoran sapi dan bebek. Petakan sawah haruslah
dilengkapi dengan caren yang dibuat bersamaan pengolahan terakhir dengan lebar 40 –
45 cm dan kedalaman 25 – 30 cm yang panjangnya disesuaikan petakan sawah. Caren
ini haruslah dilengkapi pipa pemasukan dan pelimpasan air serta di bagian ujung nya
diberi kawat kasa (saringan). Fungsi caren ini adalah untuk mengatur keluar masuknya
air dalam petakan serta memudahkan pemanenan ikan.
BENTUK-BENTUK PEMATANG DAN CAREN IKAN
Bibit padi yang berumur 21- 25 hari setelah semai dengan jumlah 2 – 3 batang per
rumpun siap ditanam pada lahan yang sudah diolah. Penanaman sistem legowo yang
direkomendasikan adalah 2 : 1 artinya dengan jarak tanam 40 cm x (20 cm x 10 cm).
Karena pada mina padi digabungkan dengan azolla dan ikan, maka varietas padi yang
ditanam haruslah memiliki karaterisitik batang yang kokoh, cepat beranak dan struktur
akarnya kuat seperti Ciliwung, IR-64, Citanduy, Cisadane dll.
Kemudian 3 – 5 hari setelah penanaman padi, kita lakukan penanaman azolla
microphylla. Sehari kemudian barulah ditanam ikan. Jumlah azolla segar yang diberikan
adalah 1000 kg/ha sedangkan populasi ikan berukuran 10 – 12 cm sebanyak 2000
ekor/ha. Lama pemeliharaan dan jenis ikan yang ditanam tergantung tujuan. Ikan yang
dipelihara bisa menggunakan mas, nila, tawes, lele dan lain-lain dimana lama
pemeliharaannya sekitar 45 – 60 hst (padi menjelang berbunga). Ketinggian air dalam
petakan sawah sebaiknya 15 – 30 cm. Sedangkan untuk bebek dan sapi dapat dibuat
kandangnya di sekitar tanaman padi dan menghadap utara selatan agar menerima
cahaya matahari yang cukup.
Azolla, Pupuk hijau baik untuk padi
Tabel Kandungan Nutrisi pada Tanaman Azolla Sp.
1. Nitrogen 4.5
2. Fosfor 0.70
3 Kalsium 0.70
4 Kalium 3.30
5 Magnesium 0.60
6 Mangan 0.10
7 Besi 0.20
8 Protein Kasar 27.00
9 Lemak Kasar 3.20
10 Gula 3.50
11 Amilum 6.50
12 Klorofil 0.50
13 Abu 10.50
14 Serat Kasar 9.10
Azolla sp. adalah jenis tumbuhan paku air yang mengapung banyak terdapat di perairan
yang tergenang terutama di sawah-sawah dan di kolam, mempunyai permukaan daun
yang lunak mudah berkembang dengan cepat dan hidup bersimbosis dengan Anabaena
azollae yang dapat memfiksasi Nitrogen (N2) dari udara. Pada kondisi optimal Azolla
akan tumbuh baik dengan laju pertumbuhan 35% tiap hari Nilai nutrisi Azolla
mengandung kadar protein tinggi antara 24-30%. Kandungan asam amino essensialnya,
terutama lisin 0,42% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat jagung, dedak, dan
beras pecah (Arifin, 1996) dalam Akrimin 2002.
Tanaman Azolla Sp. memang sudah tidak diragukan lagi konstribusinya dalam
mempengaruhi peningkatan tanaman padi. Hal ini telah dibuktikan dibeberpa tempat
dan beberapa negara. Konstribusi terbesar azolla adalah dengan menjaga hasil panen
tetap tinggi. Meskipun penggunaannya sebagai pupuk hijau pada tanaman padi masih
dilakukan di China dan Vietnam, dengan adanya peningkatan biaya tenaga kerja ,
membuatnya kurang diminati. Meskipun demikian, seiiring dengan perkembangan pupuk
hijau, penggunaan azolla ini kini lebih banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan.
Dengan adanya mindazbesi yang menggabungkan mina padi dengan azolla, selain
menjadikannya sebagai pakan perikanan juga konstribusi dapat digunakan untuk
peningkatan produksi padi.
Mudah Pemeliharaannya
Untuk tanaman padi, dosis pupuk yang diberikan adalah 45 Kg N, (100 Kg Urea), 25 Kg
P2O5 (70 Kg SP-36) dan 25 Kg K2O a(40 Kg KCl) per hektare. Dengan waktu
pemberian adalah 15 Kg N, 25 Kg P2O5 dan 25 Kg K2O per Hektare saat tanam, 15 Kg
N saat umur 28 hst dan 15 Kg N umur 42 hst. Bila ada serangan hama yang cukup
serius dapat diberikan pestisida yang sesuai hamanya.
Ikan yang dipelihara sebenarnya sudah mendapatkan pakan langsung dari azolla yang
ditanam dengan padi. Agar pertumbuhan ikan lebih baik, maka dapat diberikan pakan
tambahan dedak dengan takaran 4 – 5 % dari berat badan ikan yang diberikan setiap
pagi.
Bebek yang dipelihara dapat diberikan pakan dua kali yaitu pagi dan sore. Pelepasan
bebek ke lahan dapat dilakukan hanya setelah padi berumur 21 – 56 hst. Pakan alami
yang didapatkan dari lahan sawah seperti rumput muda, azolla, cacing, siput, wereng,
ulat dll. Ransum makanan di kandang dapat menggunakan 1,5 – 2 ons per ekor per hari
yang terdiri dari biji pecah 30%, dedak 34,5 %, azola segar 10 % tepung ikan/tulang
20% bungkil kelapa 5 % dan garam dapur 0,5 %.
Untuk sapi, dapat diberikan pakan berupa jerami yang dipotong dan disiram urea 6%
dalam larutan 100 % air yang diinkubisi dalam lubang yang dilapisi dan ditutup plastik.
Pakan jerami yang telah siap dicampur dedak 30 % , azolla 7 % dan garam 1,5 %.
Selain itu dapat juga ditambahkan rumput segar 18,5 %, mineral plus vitamin 1 %.
Adanya ternak sapi selain mengurangi gulma sebagai makanannya, juga kotoran yang
dihasilkan menjadi pupuk hijau bagi lahan sawah.
Panen Bertahap
Pemanenan mindazbesi dilakukan dengan memanen ikan terlebih dahulu yaitu pada
saat padi menjelang berbunga (65 hari). Dengan cara air yang ada di petakan
dikeluarkan . Ikan akan terkumpul dalam caren sehingga mempermudah untuk
penangkapan. Setelah itu azolla dan gulma yang ada diinjak-injak/dibenamkan dalam
tanah sebagai pupuk organik. Sehari kemudian air dimasukkan ke dalam petakan tinggi
5 – 8 cm. 10 hari sebelum panen padi, air dikeluarkan terlebih dahulu sampai sawah
kering untuk kemudian dapat dilakukan pemanenan padi. Pemanenan padi dilakukan
bila 95 % bulir gabah telah menguning. Gabah dapat dirontokkan di ditempat dengan
tresher. Setelah pemanenan selesai, maka bebek bisa dilepas kempali ke petakan
sawah untuk mencari sisa gabah panen sebagai makanannya.
Dengan demikian, selain kita bisa menjual ikan dan padi hasil mina padi, kita juga
mendapat keuntungan dari azolla, bebek dan sapi yang menjadi pupuk organik bagi
lahan sawah kita.
KEBUTUHAN AIR IRIGASI
Irigasi Padi Sawah
Pengelolaan air irigasi padi sawah sangat penting untuk memaksimumkan pemanfaatan
pengembangan teknologi budidaya padi. Dasar utama dalam pengelolaan air tersebut
adalah pengetahuan tentang kondisi air yang optimum dalam kaitannya dengan tahap
pertumbuhan padi dan beberapa metoda untuk mendapatkan kondisi optimum tersebut.
Keperluan air irigasi untuk tanaman padi
Seringkali dikatakan bahwa irigasi tanaman padi di sawah adalah merupakan suatu
proses penambahan air hujan untuk memenuhi keperluan air tanaman. Tanaman padi
sawah memerlukan air cukup banyak dan menginginkan genangan air untuk menekan
pertumbuhan gulma dan sebagai usaha pengamanan apabila terjadi kekurangan air. Di
daerah tropik walaupun pada musim hujan, sering terjadi suatu perioda kering sampai 3
minggu tidak turun hujan. Pada situasi tersebut diperlukan air irigasi untuk menjamin
pertumbuhan tanaman padi yang baik. Pada umumnya tinggi genangan air adalah
sekitar 50 - 75 mm untuk padi varietas unggul (HYV)3, sedangkan untuk varietas lokal
antara 100 - 120 mm. Maksimum genangan air pada HYV adalah sekitar 15 cm.4
Apabila laju evaporasi sekitar 2 - 6 mm/hari dan perkolasi atau rembesan sekitar 6
mm/hari, maka lapisan genangan air tersebut akan mencapai nol pada selang waktu 4
sampai 15 hari, apabila tidak ada hujan dan air irigasi. Apabila situasi tersebut berlanjut
sampai beberapa minggu terutama pada masa pertumbuhan tanaman yang peka
terhadap kekeringan maka akan terjadi pengurangan produksi.
Suatu tetapan konversi keperluan air biasanya dinyatakan dengan mm/hari yang dapat
dikonversi ke suatu debit kontinyu pada suatu areal yakni 1 l/det/ha = 8,64 mm/hari atau
1 mm/hari = 0,116 l/det/ha5.
Pengolahan tanah
Terdapat beberapa metoda yang berbeda dalam perhitungan keperluan air tanaman dan
umumnya perhitungan tersebut tidak mencakup keperluan air selama pengolahan tanah.
Sebagai contoh suatu metoda yang direkomendasikan oleh FAO hanya didasarkan
pada evapotran- pirasi tanaman acuan, faktor tanaman, pertimbangan semua
kehilangan air irigasi dan hujan efektif. Keperluan air selama pengolahan tanah padi
sawah umumnya menentukan puncak keperluan air irigasi pada suatu areal irigasi.
Beberapa faktor penting yang menentukan besarnya keperluan air selama pengolahan
tanah adalah sebagai berikut :
(1) Waktu yang diperlukan untuk pengolahan tanah yakni:
(a) perioda waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah
(b) pertambahan areal pengolahan tanah dalam suatu grup petakan sawah yang sangat
tergantung pada ketersediaan tenaga kerja manusia, hewan atau traktor.
(2) Volume air yang diperlukan untuk pengolahan tanah, yang tergantung pada:
(a) lengas tanah dan tingkat keretakan tanah pada waktu mulai pengolahan tanah
(b) laju perkolasi dan evaporasi
(c) kedalaman lapisan tanah yang diolah menjadi lumpur.
Beberapa hasil penelitian di Bali dan Sumatera menunjukkan keperluan air yang cukup
besar antara 18 - 50 mm/hari (2,1 – 5,8 l/det/ha) dengan total keperluan air sekitar 400 900 mm.
Perioda pengolahan tanah
Kondisi sosial dan tradisi yang ada serta ketersediaan tenaga kerja manusia, hewan
atau traktor di suatu daerah sangat menentukan lamanya pengolahan tanah. Pada
umumnya perioda yang diperlukan setiap petakan sawah untuk pengolahan tanah (dari
mulai air diberikan sampai siap tanam) adalah sekitar 30 hari. Sebagai suatu pegangan
biasanya sekitar 1,5 bulan diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah di suatu
petak tersier. Pada beberapa kasus di mana alat dan mesin mekanisasi tersedia dalam
jumlah yang cukup, perioda tersebut dapat diperpendek sampai sekitar 1 bulan. Total
perioda pengolahan tanah di suatu daerah irigasi biasanya antara 1,5 sampai 3 bulan
tergantung pada jumlah golongan7 yang dipakai.
Volume air yang diperlukan untuk pengolahan tanah
Keperluan air selama pengolahan tanah mencakup keperluan untuk menjenuhkan tanah
dan suatu lapisan genangan yang diperlukan segera setelah tanam. Rumus
di bawah ini dapat digunakan untuk menduga keperluan air pada waktu pengolahan
tanah:
S = [S(a) - S(b)] x N x d x 10-4 + Fl + Fd
di mana S: keperluan air pengolahan lahan (mm), S(a): lengas tanah sesudah
pelumpuran (%), S(b): lengas tanah sebelum pelumpuran (%), N: porositas tanah (%), d:
kedalaman lapisan tanah yang dilumpurkan (mm), Fl : kehilangan air selama
pelumpuran (mm), Fd: tinggi genangan di petakan sawah setelah tanam (mm).
Meskipun rumus tersebut cukup akurat untuk menghitung keperluan air akan tetapi
beberapa parameter sering terjadi beragam di lapangan. Dengan demikian seringkali
keperluan air pengolahan tanah diduga dari pengalaman di lapangan. Untuk tanah
bertekstur liat berat tanpa retakan, keperluan air diambil sebesar 250 mm. Jumlah ini
mencakup untuk penjenuhan, pelumpuran dan juga 50 mm genangan air setelah tanam.
Apabila lahan dibiarkan bera untuk waktu yang cukup lama (misal 1,5 bulan) sehingga
tanah retak-retak, jumlah air yang diperlukan sekitar 300 mm. Untuk tekstur yang lebih
ringan angka tersebut akan lebih besar dari angka di atas.
Debit yang diperlukan
Laju penambahan areal pada waktu pengolahan tanah di suatu jalur petakan-petakan
sawah yang mendapat pasok air dari satu inlet secara kolektif dalam suatu petak tersier,
akan menentukan besarnya debit yang diperlukan. Terdapat 3 konsep tentang laju
pertambahan areal pengolahan tanah dalam suatu kelompok petakan sawah yakni :
(a) Debit yang masuk ke inlet konstan selama pengolahan tanah (I mm/hari = konstan)
(b). Laju pertambahan areal lahan yang diolah konstan (dy/dt dalam ha/hari = konstan)
Laju pertambahan areal lahan yang diolah mengikuti kurva distribusi Gauss atau yang
lainnya dengan nilai maksimum pada pertengahan perioda pengolahan lahan (T) atau
dy/dt = maksimum pada t = ½ T. Kasus yang pertama akan diuraikan di sini dan dikenal
sebagai metoda pendekatan dari van de Goor dan Ziljstra. Konsep tersebut mengatakan
bahwa suatu debit konstan diberikan pada suatu bagian dari unit tersier selama
pengolahan tanah. Selama perioda tersebut diasumsikan air akan mengalir mengisi
petakan-petakan sawah secara progresif. Sementara itu petakan yang lebih rendah
akan terisi melalui limpasan dari petakan di atasnya setelah penuh. Diasumsikan bahwa
petakan di atasnya secara kontinyu diisi air untuk memenuhi kehilangan air akibat
perkolasi dan evaporasi.
Dengan demikian pada tingkat awal, keperluan air adalah untuk penjenuhan tanah dan
mempertahankan suatu genangan lapisan air, sedangkan pada ahir perioda pengolahan
tanah mempertahankan lapisan genangan air adalah merupakan faktor yang dominan
(the topping up requirement). Dengan demikian bagian areal unit tersier yang sedang
diolah (A ha) menerima volume air pada perioda waktu dt sebesar I A dt, dengan debit
sebesar I. Dari jumlah air tersebut sebagian (M y dt) digunakan untuk mempertahankan
lapisan air di lahan yang telah dijenuhkan (y ha), sedangkan sisanya (S dy) digunakan
untuk menjenuhkan areal baru sebesar dy ha.
Keperluan air untuk pesemaian
Areal pesemaian umumnya antara 2% - 10% dari areal tanam. Lama pertumbuhan
antara 20 - 25 hari. Jumlah keperluan air di pesemaian kurang lebih sama dengan
penyiapan lahan. Sehingga keperluan air untuk pesemaian biasanya disatukan dengan
keperluan air untuk pengolahan tanah.
Keperluan air pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman
Tahap pertumbuhan padi dibagi menjadi: (a) pesemaian (10-30 hss)8 (seedling atau
juvenile period), (b) periode pertumbuhan vegetatif (0-60 hst), (c) periode reproduktif
atau generatif (50-100 hst) dan (d) periode pematangan (100-120 hst) (ripening period) .
Periode pesemaian
Periode ini merupakan awal pertumbuhan yang mencakup tahap perkecambahan benih
serta perkembanganradicle (akar muda) danplume (daun muda). Selama periode ini air
yang dikonsumsi sedikit sekali. Apabila benih tergenang cukup dalam pada waktu cukup
lama sepanjang periode perkecambahan, maka pertumbuhanradicle akan terganggu
karena kekurangan oksigen.
Pertumbuhan vegetatif
Periode ini merupakan periode berikutnya setelah tanam(transplanting) yang mencakup
(a) tahap pemulihan dan pertumbuhan akar (0-10 hst), (b) tahap pertumbuhan anakan
maksimum (10-50 hst) (maximum tillering) dan (c) pertunasan efektif dan pertunasan
tidak efektif (35-45 hst). Selama periode ini akan terjadi pertumbuhan jumlah anakan.
Segera setelah tanam, kelembaban yang cukup diperlukan untuk perkembangan akarakar baru. Kekeringan yang terjadi pada peiode ini akan menyebabkan pertumbuhan
yang jelek dan hambatan pertumbuhan anakan sehingga mengakibatkan penurunan
hasil. Pada tahap berikutnya setelah tahap pertumbuhan akar, genangan dangkal
diperlukan selama periode vegetatif ini. Beberapa kali pengeringan (drainase)
membantu pertumbuhan anakan dan juga merangsang perkembangan sistim akar untuk
berpenetrasi ke lapisan tanah bagian bawah. Fungsi respirasi akar pada periode ini
sangat tinggi sehingga ketersediaan udara (aerasi) dalam tanah dengan cara drainase
(pengeringan lahan) diperlukan untuk menunjang pertumbuhan akar yang mantap.
Selain itu drainase juga membantu menghambat pertumbuhan anakan tak-efektif(noneffective tillers).
Tabel 1. Kebutuhan air untuk penyiapan lahan padi sawah (mm/hari)
…………..
Periode reproduktif (generatif)
Periode ini mengikuti periode anakan maksimum dan mencakup tahap perkembangan
awal malai (panicle primordia) (40-50 hst), masa bunting (50-60 hst)(booting),
pembentukan bunga (60-80 hst) (heading and flowering). Situasi ini dicirikan dengan
pembentukan dan pertumbuhan malai.
Pada sebagian besar dari periode ini dikonsumsi banyak air. Kekeringan yang terjadi
pada periode ini akan menyebabkan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh
terganggunya pembentukan panicle, heading, pembungaan dan fertilisasi yang
berakibat pada peningkatan sterilitas sehingga mengurangi hasil.
Periode pamatangan (ripening atau fruiting)
Periode ini merupakan periode terakhir dimana termasuk tahapan pembentukan susu
(80-90 hst)(milky), pembentukan pasta (90-100 hst)(dough), matang kuning (100-110
hst) (yellow ripe) dan matang penuh (110-120 hst) (full ripe). Selama periode ini sedikit
air diperlukan dan secara berangsur-angsur sampai sama sekali tidak diperlukan air
sesudah periode matang kuning (yellow ripe). Selama periode ini drainase perlu
dilakukan, akan tetapi pengeringan yang telalu awal akan mengakibatkan bertambahnya
gabah hampa dan beras pecah (broken kernel), sedangkan pengeringan yang terlambat
mengakibatkan kondisi kondusif tanaman rebah.
Pada periode vegetatif jumlah air yang dikonsumsi sedikit, sehingga kekurangan air
pada periode ini tidak mempengaruhi hasil secara nyata asalkan tanaman sudah pulih
dan sistim perakarannya sudah mapan. Tahapan sesudah panicle primordia, khususnya
pada masa bunting,heading dan pembungaan memerlukan air yang cukup. Kekurangan
air selama periode tersebut menghasilkan pengurangan hasil tak terpulihkan. Dengan
demikian perencanaan program irigasi di areal dimana jumlah air irigasinya terbatas
untuk menggenangi sawah pada seluruh periode, prioritas harus diberikan untuk
memberikan air irigasi selama periode pemulihan dan pertumbuhan akar serta seluruh
periode pertumbuhan reproduktif.
Jumlah konsumsi air dan hasil padi
Jumlah air yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman padi dari mulai tanam sampai
panen tergantung pada berbagai faktor yakni: (a) lengas tanah tahap awal, (b) jenis dan
kesuburan tanah, (c) lama periode pertumbuhan, (d) metoda kultur-teknik, (e) topografi,
(f) varietas tanaman dan lain-lain.
Penelitian di IRRI9 (1970) selama musim kemarau tahun 1969 memperlihatkan bahwa
jika total jumlah air yang dikonsumsi antara 750 mm~1000 mm, tidak memperlihatkan
perubahan hasil yang nyata. Tetapi jika lebih kecil dari 550 mm, maka tidak ada hasil
yang didapat (Gambar 4). Di Taiwan hasil penelitian pada musim hujan memperlihatkan
penurunan hasil yang cukup nyata jika jumlah air yang dikonsumsi tanaman kurang dari
600 mm. Di Jepang, Iyozaki (1956) melaporkan bahwa keperluan air untuk
mendapatkan hasil optimum adalah antara selang 20 mm sampai 30 mm per hari.
Jumlah ini dapat dipertimbangkan optimum pada kondisi pemupukan berat dan teknik
pemeliharaan intensif. Varietas unggul umumnya tidak memperlihatkan penurunan hasil
pada kedalaman genangan sampai 15 cm. Di atas kedalaman genangan tersebut
diduga akan terjadi penurunan hasil akibat dari pelemahanculms dan pengurangan
jumlah anakan
Pengelolaan air terkendali juga memperlihatkan pengurangan pertumbuhan gulma.
Williams (1969) memperlihatkan dengan genangan 15 cm, pertumbuhan rumputrumputan dan teki-tekian(sedges) akan tertekan, tetapi pada genangan 7,5 cm beberapa
gulma berdaun lebar dan teki-tekian tumbuh dengan baik. Sebagai kesimpulan,
lingkungan air pada tanaman padi adalah relatif kritis pada kondisi di bawah jenuh tetapi
relatif toleran terhadap genangan air pada kedalaman antara 10 ~ 15 cm. Di atas
kedalaman tersebut akan terjadi pengurangan hasil.
Metoda pemberian air pada padi sawah
Terdapat dua metoda pemberian air untuk padi sawah yakni: (a) Genangan terusmenerus (continuous submergence) yakni sawah digenangi terus menerus sejak tanam
sampai panen; (b) Irigasi terputus atau berkala (intermittent irrigation) yakni sawah
digenangi dan dikeringkan berselang-seling. Permukaan tanah diijinkan kering pada
saat irigasi diberikan.
Keuntungan irigasi berkala adalah sebagai berikut: (a) menciptakan aerasi tanah,
sehingga mencegah pembentukan racun dalam tanah, (b) menghemat air irigasi, (c)
mengurangi masalah drainase, (d) mengurangi emisi metan10, (e) operasional irigasi
lebih susah. Keuntungan irigasi kontinyu adalah: (a) tidak memerlukan kontrol yang
ketat, (b) pengendalian gulma lebih murah, (c) operasional irigasi lebih mudah.
Evapotranspirasi Tanaman
Evapotranspirasi tanaman dapat diketahui dengan cara pengukuran dan pendugaan.
Metoda pendugaan evapotranspirasi acuan (ETo) dapat digunakan apabila data iklim di
daerah tersebut tersedia. Berbagai metoda pendugaan ETo menurut FAO adalah: (a)
Thornthwaite, (b) Blaney dan Criddle, (c) Radiasi, (d) Panci evaporasi, dan (d) Penman.
Akhir-akhir ini (1999) FAO merekomendasikan metoda Penman-Monteith untuk
digunakan jika data iklim tersedia (suhu rerata udara harian, jam penyinaran rerata
harian, kelembaban relatif rerata harian, dan kecepatan angin rerata harian. Selain itu
diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan laut.
Evapotranspirasi tanaman acuan (reference crop evapotranspiration, ETo) didefinisikan
sebagai evapotranspirasi dari tanaman rumput berdaun hijau, tinggi sekitar 15 cm,
tumbuh sehat, cukup air, dan menutupi tanah dengan sempurna.
Evapotrasnpirasi tanaman untuk tanaman tertentu dihitung dengan persamaan:
ETc = kc x ETo,
dimana ETc: evapotranspirasi tanaman tertentu (mm/hari), ETo: evapotranspirasi
tanaman acuan (mm/hari), kc: koefisien tanaman yang tergantung pada jenis dan
periode pertumbuhan tanaman.
Nilai koefisien tanaman untuk tanaman padi disarankan menggunakan data dari FAO
juga, karena nilai kc padi dari beberapa literatur di Indonesia umumnya menggunakan
pendugaan evapotranspirasi tanaman acuan dengan metoda yang berlainan. Koefisien
tanaman padi yang disarankan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan FAO tercantum
pada Tabel 2
Tabel 2. Koefisien tanaman padi (kc)
Selama penyiapan Lahan
Varietas Unggul Baru
Varietas Lokal
1,20
1,20
Setengah bulanan sesudah tanam
0,5
1,20
1,20
1,0
1,27
1,20
1,5
1,33
1,32
2,0
1,30
1,40
2,5
1,30
1,35
3,0
0
1,24
3,5
1,12
4,0
0
Perkolasi dan Rembesan
Pada lahan yang baru dibuka laju perkolasi biasanya sangat tinggi sekitar 10 mm/hari
atau lebih. Pada proses pelumpuran, koloid partikel liat akan mengendap ke lapisan
bawah pada kedalaman lapisan olah (sekitar 20 cm) membentuk suatu lapisan tanah.
Sesudah puluhan tahun pengolahan tanah dengan pelumpuran biasanya lapisan kedap
(lapisan tapak bajak)11 akan terbentuk sehingga laju perkolasi berkurang menjadi
sekitar 1 - 3 mm/hari pada tekstur liat berat. Sedangkan pada tanah bertekstur ringan
kadang-kadang masih cukup tinggi sekitar 10 mm/hari.
Pada kondisi tersebut laju perkolasi merupakan aspek dominan dalam penentuan
jumlah keperluan air. Rembesan(seepage) didefinisikan sebagai kehilangan air melalui
galengan yang disebabkan oleh lubang tikus, ketam atau retakan tanah pada galengan.
Apabila lahan relatif datar dan genangan air di petakan sawah relatif sama, maka
rembesan cenderung mengecil. Pada lahan miring dengan teras bangku maka
kehilangan karena rembesan sangat tinggi (sekitar 20 mm/hari). Petakan sawah tertinggi
harus diairi secepat mungkin dan laju pembuangan air di petakan terendah harus
secepat mungkin.
………………
Pengukuran jumlah air yang dikonsumsi tanaman
Untuk menentukan jumlah air yang dikonsumsi tanaman dapat digunakan berbagai
metoda sebagai berikut: (a) metoda tangki pengamatan, (b) percobaan petakan di
lapangan, dan (c) metodainflow- outflow (keseimbangan air).
Metoda tangki pengamatan
Beberapa drum dipasang di sawah (Gambar 5). Masing-masing terdiri dari 3 buah drum
yakni: (a) drum A adalah tangki dengan dasar terbuka berisikan tanaman untuk
mengukur penggunaan air konsumtif dan perkolasi (E+T+P), (b) Drum B adalah tangki
dengan dasar terbuka tanpa tanaman untuk mengukur evaporasi dan perkolasi (E+P),
dan (c) drum C dengan dasar tertutup tanpa tanaman untuk mengukur evaporasi (E).
Dengan demikian: Transpirasi = A – B; Perkolasi = B – C; Evapotrasnpirasi = A – (B – C)
Percobaan petakan di lapangan .
Pengukuran konsumsi air dengan petakan-petakan sawah di lapangan pada areal irigasi
yang seragam umumnya lebih dapat diandalkan hasilnya dibandingan dengan
pengukuran pada drum.
Ukuran petakan lapangan bervariasi dengan bentuk dan variasi petakan sawah pada
areal yang mewakili. Tiang ukur miring (sloping gages) dipasang untuk pengamatan
tinggi muka air harian (Gambar 6). Jika petakan yang diamati cukup banyak, maka hasil
yang didapat akan lebih teliti. Pematang sekeliling petakan harus tertutup dan kedap air
untuk menghindari bocoran, inflow (IR atau GI) atau outflow (DR atau GO).
Keperluan air harian di petakan, diperoleh dengan membagi total kedalaman air yang
terukur tiang ukur miring segera sesudah hujan atau sesudah irigasi dengan jumlah hari
yang diperlukan untuk mengeringkan petakan.
Metoda keseimbangan air (inflow- outflow)
Metoda ini terdiri dari pengukuran air yang masuk dan yang keluar dari petakan terpilih.
Keseimbangan air dapat ditulis sebagai berikut:
RN + IR + GI = DR + GO + ET +∆ WD + P
dimana RN: hujan, IR: inflow air permukaan (irigasi), DR: outflow air permukaan
(drainase), GI: lateral inflow airtanah dangkal, GO: lateral outflow airtanah dangkal, ET:
evapotranspirasi,∆WD: perubahan simpanan(storage), P: perkolasi.
Dengan cara lain maka
IR – DR = ET + (GO – GI) +∆ WD + P – RN
Selama musim kemarau RN diasumsikan nol, maka dapat diasumsikan GO = GI.
Jika∆WD diasumsikan konstan, maka jumlah air yang dikonsumsi D = ET + P = (IR –
DR). Jumlah tersebut menggambarkan keperluan air untuk evapotranspirasi tanaman
ditambah dengan perkolasi. Perkolasi dapat dipisahkan dari D dengan menghitung ET
dengan persamaan empirik
Hujan efektif
Hujan efektif adalah bagian dari total hujan yang secara langsung memenuhi keperluan
air untuk tanaman. Hujan efektif untuk padi sawah merupakan aspek yang masih
dipertentangkan, sehingga asumsi hujan efektif dalam perencanaan proyek masih
beragam. Hujan efektif untuk sawah tadah hujan hampir 100%, sedangkan pada sawah
beririgasi dimana genangan dipertahankan penuh secara kontinyu maka hujan efektif
dapat dikatakan nol. Pada kenyataannya efektifitas hujan pada petakan sawah
merupakan sesuatu yang kompleks dan tergantung pada: (a) karakteristik hujan, apakah
hujan terjadi dengan interval waktu teratur atau sangat beragam; (b) keragaman tinggi
genangan air di petakan-petakan sawah, dan (c) metoda pemberian air irigasi apakah
kontinyu atau berkala.
Pada daerah irigasi dengan topografi begelombang sampai miring, pemberian air irigasi
ke petakan sawah umumnya dilakukan dari saluran kwarter masuk ke petakan sawah
tertinggi kemudian setelah petakan tersebut cukup mendapat air, maka air melimpas ke
petakan di bawahnya. Petakan-petakan sawah yang mendapat air dari satu inlet
membentuk suatu jalur (inlet group) (Gambar 7). Limpasan air ke petakan bawah dibuat
dengan jalan memotong galengan di petakan atas pada elevasi tertentu sehingga
limpasan terjadi dengan sendirinya apabila genangan yang diinginkan di petakan atas
telah dicapai. Sistim irigasi ini disebut dengan pemberian air dari petak ke petak (plot to
plot irrigation).
Dalam situasi debit air berkurang dari rencana maka petakan sawah atas masih
mendapatkan air secara penuh sedangkan yang di bawah tidak mendapatkan air. Jadi
apabila jumlah air irigasi diperhitungkan dengan hujan efektif (misalnya 30% dari
keperluan tanaman), maka 30% petakan bawah akan tidak memperoleh air irigasi
sampai hujan betul-betul terjadi. Apabila hujan turun maka akan terjadi limpasan dari
petakan atas dan mengisi petakan bawah, akan tetapi kemungkinan pada waktu itu
tanaman di petakan bawah telah mengalami cekaman(stress) kekurangan air.
Ketergantungan terhadap hujan di petakan bawah dapat ditanggulangi dengan
menggunakan persentase hujan efektif yang lebih kecil dan menerima kenyataan bahwa
sebagian hujan yang akan terbuang cukup besar. Apabila pemberian air dilakukan
secara rotasi (giliran) maka hujan efektif akan lebih besar dari pada pemberian air
kontinyu. Efektifitas hujan akan lebih besar apabila selang waktu rotasi tersebut menjadi
lebih lama, akan tetapi selang waktu rotasi dibatasi oleh jumlah hari di mana genangan
di petakan sawah akan kembali nol (biasanya 5 sampai 10 hari). Efektifitas hujan pada
daerah irigasi berkisar antara 100% pada sawah tadah hujan dan 0% pada irigasi teknis
sempurna. Hujan efektif untuk padi sawah beririgasi dalam mm/hari umumnya diduga
sebesar 70% dari hujan tengah bulanan dengan perioda ulang 5 tahun (dalam mm/hari)
selama pengolahan lahan, dan 40% sesudah tanam sampai panen.
Pergantian lapisan genangan air
Pada waktu pemupukan genangan air diturunkan sampai ketinggian tertentu (macakmacak). Kemudian sesudah pemupukan air dipertahankan macak-macak beberapa hari
sambil dilakukan penyiangan (merumput). Setelah itu lapisan genangan air secara
berangsur-angsur ditambah sampai mencapai tinggi genangan yang dikehendaki.
Dengan demikian tambahan air irigasi pada proses itu harus diperhitungkan.
Umumnya untuk HYV tinggi genangan sekitar 70 mm. Pengeringan pada waktu
pemupukan mengakibatkan genangan sekitar 10 - 20 mm (macak-macak). Dengan
demikian diperlukan sekitar 50 mm air untuk mengembalikan ke genangan semula.
Waktu yang diperlukan untuk pergantian air tergantung pada varietas padi, perioda
tumbuh dan kebiasaan lokal. Cukup beralasan dalam perencanaan untuk
mengasumsikan 3 kali pengeringan, yakni (a) pada waktu tanam, (b) 1 bulan sesudah
tanam pada waktu masa anakan, dan (c) 2 bulan sesudah tanam pada waktu
pembentukan malai. Biasanya pengisian air kembali sesudah tanam diperhitungkan
dalam perhitungan keperluan air untuk pengolahan tanah. Lama waktu pengisian
kembali setebal 50 mm air biasanya diasumsikan memerlukan waktu sekitar ½ bulan,
jadi laju pengisian adalah sebesar 3,3 mm/hari.
Keperluan Air Neto untuk suatu "inlet group"
Pada umumnya suatu kelompok petakan sawah menerima air dari saluran kwarter atau
tersier melalui suatu inlet yang digunakan secara kolektif. Satu jalur terdiri dari beberapa
petani pemilik petakan sawah (lihat Gambar 7). Jumlah petani dalam satu inlet kolektif
tergantung pada: (a) ukuran petakan sawah, (b) kerapatan jaringan distribusi dalam unit
tersier, (c) luas garapan setiap petani, dan (d) topografi. Umumnya satu jalur terdiri dari
5 sampai 25 petani dengan total luasan antara 1 - 10 ha. Pada suatu kasus dimana
hanya satu usahatani dalam satu jalur, maka jalur tersebut menjadi suatu farm inlet.
Keperluan air neto untuk suatu jalur dapat dihitung dengan pendekatan bertahap
dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berbeda dalam penentuan keperluan air
tanaman di petakan sawah seperti penyiapan lahan, pengisian lapisan air, pergantian air
dan hujan efektif. Tahapan waktu 10 atau 14 hari diperlukan untuk membuat tabel
perhitungan.
Suatu contoh perhitungan keperluan air neto untuk suatu jalur dengan awal kegiatan 1
Nopember, 16 Nopember dan 1 Desember disajikan dalam Tabel 3, 4 dan 5.
Perhitungan pada tabel tersebut didasarkan pada data setengah bulanan
evapotranspirasi dan setengah bulanan hujan dengan perioda ulang 5 tahun. Beberapa
pertimbangan lainnya adalah:
(a) Pengolahan tanah
Lama pengolahan tanah, T = 30 hari
Keperluan air untuk pengolahan tanah pertama (MT1) pada ahir musim
kemarau, S(1) = 300 mm
Keperluan air untuk pengolahan tanah kedua (MT2) pada ahir musim hujan,
S(2) = 250 mm
Debit yang diperlukan (I) selama pengolahan tanah (dari Tabel 1)
(b) Topping up requirement: keperluan air untuk mempertahankan genangan
Koefisien tanaman kc untuk HYV (dari Tabel 2)
perkolasi dan rembesan P+S = 2 mm/hari
(c) Pergantian lapisan air setelah pengeringan:
Waktu drainase petakan sawah 1 dan 2 bulan setelah tanam
Lama pengisian kembali ½ bulan, WLR = 3,3 mm/hari
(d) Hujan efektif :
Faktor hujan efektif selama pengolahan tanah, r = 0,7
Faktor hujan efektif selama tahap pertumbuhan, r = 0,4
(e) Tahap pematangan padi dan pemberaan :
Pematangan mulai dari 2,5 bulan setelah tanam berlangsung selama 0,5
bulan
Sawah diberakan selama ½ bulan setelah panen.
Untuk menghindari keperluan air puncak pada suatu periode, maka areal dalam satu
daerah irigasi dibagi menjadi beberapa golongan dengan beda awal tanam sekitar ½
bulanan. Pada contoh ini Golongan I dimulai MT1 pada 1 Nopember, dan MT2 pada 16
Maret; Golongan II mulai MT1 pada 16 Nopember, dan MT2 pada 1 April; Golongan III
mulai MT1 pada 1 Desember, dan MT2 pada 16 April.
Dari Tabel 3, 4, dan 5 dapat dilihat bahwa keperluan air terbesar terjadi pada
pengolahan tanah di awal musim tanam sekitar 1,4 ~ 1,5 lt/det/ha. Keperluan untuk
pengolahan tanah pada MT2 (1,1 lt/det/ha) lebih kecil daripada MT1 (1,5 lt/det/ha),
disebabkan karena total keperluan untuk pengolahan tanah (terutama untuk
penjenuhan) lebih kecil yakni 250 mm pada MT2 dan 300 mm pada MT1. Air irigasi neto
selama pertumbuhan tanaman berkisar antara 0,61 ~ 0,75 lt/det/ha, akan tetapi air
irigasi yang diperlukan setelah pengeringan sawah berkisar antara 1,08 ~ 1,17 lt/det/ha.
Total jumlah air irigasi yang diperlukan per musim tanam di jalur inlet adalah sekitar 958
mm (9.580 m3/ha) pada MT1, dan 809 mm (8.090 m3/ha) pada MT2
KEBUTUHAN AIR TANAMAN TEBU
Kebutuhan air tanaman (KAT) sangat dipengaruhi oleh iklim (hujan, temperatur,
lama dan total radiasi matahari, kecepatan angin dan kelembaban nisbi udara), sifat
fisik tanah (tekstur, nilai pF, dan infiltrasi), dan nilai Kc yang berhubungan dengan
fase pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air tanaman didefinisikan sebagai jumlah
air yang diperlukan untuk mengganti air yang hilang melalui evapotranspirasi dari
suatu tanaman yang sehat dan tumbuh pada tempat terbuka. Nilai KAT dapat
disetarakan dengan nilai evapotranspirasi aktual yang besarannya tidak hanya
spesifik untuk tiap tanaman, akan tetapi juga merupakan fungsi dari tingkat
pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, apabila luas permukaan daun meningkat,
maka transpirasi juga meningkat, sehingga menyebabkan kebutuhan air tanaman
meningkat. Sesuai dengan kondisi pertumbuhan tanaman, pada tanaman tebu yang
belum berinisiasi sesungguhnya kebutuhan air relatif sedikit, dan setelah fase
perkecambahan kebutuhan air mulai meningkat dan makin meningkat dengan cepat
kebutuhannya pada saat pertumbuhan vegetatif. Pada saat terjadi peristiwa
generatif sesungguhnya kebutuhan air mulai menurun dari kebutuhan maksimal,
kemudian mengalami penurunan kebutuhan yang cukup tajam pada saat tebu
mengalami penuaan dan senescence dan tidak aktif lagi melakukan transpirasi. Oleh
karena itu, keberhasilan dalam aplikasi air irigasi yang mampu menunjang
produktivitas tebu sangat dipengaruhi kuantitas, frekuensi dan interval pemberian
air.
Jumlah air irigasi (Ir) adalah jumlah kebutuhan air tanaman (KAT) dikurangi dengan
jumlah air yang masuk secara alami (H) yaitu air hujan, air limpasan, air rembesan
dan lain-lain. Pada budidaya tebu, jumlah air yang dibutuhkan sangat menentukan
keberhasilan produktivitas mengingat tanaman tebu membutuhkan air cukup
banyak terutama pada awal-awal pertumbuhan dan pada fase pertumbuhan cepat.
Namun, apabila dalam pemberian air kurang dikontrol secara baik sehingga terjadi
pemberian air secara berlebihan dan bahkan menghasilkan kondisi air yang
menyebabkan genangan, dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan
produktivitas tebu. Oleh karena itu, kuantitas air yang diperhatikan tidak saja hanya
melihat fase pertumbuhan tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi tanah terutama
kelembaban tanah. Irigasi tidak diperlukan apabila jumlah air yang masuk secara
alami sama dengan atau lebih besar dari kebutuhan air tanaman.
Interval pemberian air irigasi dapat ditentukan apabila pengamatan penurunan kadar
lengas dari kapasitas lapangan (setelah penambahan air irigasi atau hujan) sampai
dengan terjadi kondisi titik layu permanen dapat dilakukan, dan dihitung dengan
memakai rumus di samping.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa kebutuhan air pada tanaman tebu
dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan, umur tanaman dan kelembaban tanah.
Pertumbuhan tanaman tebu sekurang-kurangnya terdiri dari tiga fase, yaitu : fase
pertumbuhan cepat, fase pertumbuhan agak lambat dan fase pertumbuhan lambat.
Yang dimaksud fase pertumbuhan cepat adalah fase pertumbuhan pembelahan sel
secara intensif dominan dalam pembentukan sel vegetatif. Secara agronomis fase
pertumbuhan
cepat
ditunjukkan
dalam
fase
pertunasan/perkecambahan,
pembentukan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang secara teoritis berdasarkan
umur biologis sekitar 1-6 bulan setelah tanam. Pertumbuhan agak lambat adalah
pembelahan sel vegetatif yang diikuti oleh pembelahan sel generatif mengawali
pengisian sink tebu dengan karbohidrat. Biasanya fase tersebut berada pada kisaran
umur biologis tanaman tebu 7-9 bulan. Sedangkan fase lambat adalah pembelahan
sel generatif sangat dominan untuk menghasilkan penimbunan gula pada sink tebu.
Karena pada fase cepat pembelahan sel vegetatif untuk membentuk biomasa
maksimal terjadi secara dominan, maka pada fase ini dibutuhkan air yang cukup
banyak, yaitu sekitar 70% bagian tanaman terdiri dari air, sedangkan pada fase
agak lambat menunjukkan keadaan yang sebaliknya, kebutuhan air dari luar tubuh
tanaman. diperlukan sangat sedikit untuk mengefisienkan pembentukan
karbohidrat. Memperhatikan penomena demikian, maka perbedaan kebutuhan air
berdasarkan pertumbuhan tanaman dan dikaitkan dengan ketersediaan air yang
dipengaruhi oleh kemampuan dan ketersediaan air dalam tanah dapat diilustrasikan
pada tabel di bawah.
Tabel Kebutuhan air irigasi berdasarkan fase pertumbuhan tebu dan
kelembaban tanah
Fase
pertumbuhan
Umur (bulan)
Kelembaban
tanah (%)
Air irigasi
Fase cepat
0-5
10-20
Frekuensi per
bulan
2-3
Interval (hari)
10-14
Tinggi air
(mm)
4-10
Fase agak
lambat
Fase lambat
5-7
18-30
1-2
7-10
2-4
>7
10-30
1
20-30
1-2
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik, 2005. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2004. Kendari.
Idris, Suharno, Djasmi, Amiruddin dan G. Kartono, 1999. Pengkajian SUP padi berbasis
ekoregional lahan irigasi di Sulawesi Tenggara. Laporan Hasil Pengkajian/Penelitian
BPTP Sulawesi Tenggara.
Kadir, S., Muslimin, Rosmiati, J. Biri, dan Benyamin S., 2002. Analisis komparatif
usahatani kapas dan jagung di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Prosiding
Expose Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbang Tanah dan
Agroklimat, Bogor. p629-638.
Kartono, G., 2002. Pengelolaan sumberdaya lahan dalam upaya peningkatan
pendapatan petani dan keberlanjutan sistem usahatani di Sulawesi Tenggara. Pros.
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Tepat Guna Berorientasi Agribisnis untuk
Pemberdayaan Pertanian Wilayah. Puslitbang Sosek Pertanian Bogor.
Malian, A.H., Rachmanto, B., dan Djauhari, A., 1989. Efisiensi produksi dan system
distribusi benih unggul kedelai di Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Pertanian, Balai
Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. 9(2):56-61
Mustaha, M.A., Agussalim, I. Landu dan Rusdi, 2002. Hasil analisis sampel tanah
Kabupaten Kendari. Pelatihan Pengambilan dan Analisis Sampel Tanah. Kegiatan
Proyek DAFEP Kabupaten Kendari.
Suharno, Idris, M. Darwin, Sahardi dan Subandi, 2000. Keunggulan dan peluang
pengembangan padi varietas Konawe. Laporan Hasil Pengkajian/Penelitian BPTP
Sulawesi Tenggara. 19p.
Suwalan, S., Nana, S., Bambang S., R. Kusmawa dan Didi Ardi, 2004. Penggunaan
Pupuk Alternatif pada Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Widodo, S., 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java, Indonesia. Gadjah
Mada Univercity Press, Yogyakarta.
Raharjo, Adam . 2008. POTENSI MATA AIR UNTUK KEBUTUHAN IRIGASI TANAMAN
PADI DI KECAMATAN POLANHARJO KABUPATEN KLATEN. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ankum, P.,1989. Irrigation Water Requirement: at field, tertiary and main system level.
International Institute for Hydraulic and Environmental Engineering. Delft, The
Neherlands.
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1984. Crop Water Requirements. FAO. Irrigation
and Drainage Paper no.24, Rome.
Dastane, N.G., 1974. Effective Rainfall in Irrigated Agriculture. FAO, Irrigation and
Drainage Paper No 25. Rome
Dedi Kusnadi Kalsim, 2002 (edisi ke 2). Rancangan Irigasi Gravitasi, Drainase dan
Infrastruktur. Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Martin Smith, 1991. CROPWAT (ver.5.7): Manual and Guidelines. FAO
Arif, S. S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancangbangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier
dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman
(Crop Diversification): Studi Kasus di Daerah Irigasi (DI) Cikuesik, Cirebon.
Ban, S. 1984. Penentuan Kebutuhan Irigasi Air Tanah. Makalah disampaikan pada
Seminar Tentang Irigasi Air tanah. Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) –
Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Boss, M. G. and W. Walters. 1990. "Water Charges and Irrigataion Efficiencies".
Irrigation and Drainage Systems, 4: 267 – 278.
Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Values:
Theory and Methods. Resources for the Future, Washington, D.C.
Gleick, P.H. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water
Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C.
Gomez-Limon, J.A. and J. Berbel. 2000. Multicriteria Analysis of Derived Water
Demand Functions: A Spanish Case Study. Agricultural Systems, 63: 49-72.
Johansson, R.C. 2000. Pricing Irrigation Water: A Literature Survey. The World
Bank, Washington, D.C.
Postel, S. 1994. "Carrying Capacity: Earth's Bottom Line," In State of the World 1994.
Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable Society, W.W.
Norton & Co. Ltd., New York.
Rosegrant, M.W., X. Cai and S.A. Cline. 2002. World Water and Food to 2025:
Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute,
Washington, D.C. www.ifpri.org
Seckler, D. R., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World
Water Demand and Supply, 1990 – 2025: Scenarios and Issues, International
Water Management Institute, Research Report # 19, Colombo.
Soenarno dan R. Syarief. 1994. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik
Sumber Air di Pulau Jawa. Makalah pada Panel Diskusi Antisipasi dan
Penanggulangan Kekeringan Jangka Panjang, PERAGI dan PERHIMPI,
Sukamandi.
Tsur, Y. and A. Dinar. 1995. Efficiency and Equity Considerations in Pricing and
Allocating Irrigation Water. Policy Research Working Paper. The World Bank,
Washington, D.C.
Tsur, Y. and A. Dinar. 1997. The Relative Efficiency and Implementation Costs of
Alternative Methods for Pricing Irrigation Water. The World Bank Economic
Review, 11 (2): 243 – 262.
Tsur, Y., A. Dinar, R. M. Doukkali and T.L. Roe. 2002. Efficiency and Equity
Implications of Irrigation Water Pricing. Paper Presented at The Seminar "LES
POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO & MACRO
ECONOMIQUES" Agadir – Maroc.
Young, R.. A. 1996. Measuring Benefits for Water Investment and Policies. World
Bank Technical Paper No. 338. The World Bank, Washington, D.C.
SUMARYANTO DAN BONAR M. SINAGA. ESTIMASI NILAI EKONOMI AIR
IRIGASI DAN STRATEGI PEMANFAATANNYA DALAM
PENENTUAN IURAN IRIGASI.
Download