kedudukan kreditor separatis sebagai pemegang

advertisement
KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS SEBAGAI PEMEGANG HAK JAMINAN
DALAM MELAKSANAKAN HAK EKSEKUTORIAL HARTA DEBITOR YANG
DINYATAKAN PAILIT (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR 758L/PDT.SUS/2012)
Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, Parulian P Aritonang (Pembimbing)
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi yang diatur di dalam
Undang-Undang Kepailitan Indonesia. Selanjutnya, dalam skripsi ini akan dibahas kedudukan Bank BTN sebagai
kreditor separatis dan pelaksanaan eksekusi, upaya hukum yang dapat dilakukan, dan membahas apakah putusan
Hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif, sedangkan analisa datanya adalah metode kualitatif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan Bank BTN
kedudukannya sebagai kreditor separatis karena ada jaminan hak tanggungan, Pelaksanaan hak eksekusi harta
jaminan debitor sebagai kreditur separatis dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Upaya hukum yang dapat diajukan bank BTN dari awal pemberian kredit yaitu mengevaluasi calon nasabah dengan
prinsip 5C, monitoring jaminan, berperan aktif dalam meminta surat pemberitahuan insolvensi untuk eksekusi yang
ada persetujuan hakim pengawas, ketika mengetahui ada pihak ketiga dalam jaminan harta pailit adalah mengajukan
permohonan kepada hakim pengawas untuk mengubah syarat penangguhan, melakukan Peninjauan Kembali. Serta
dapat diketahu bahwa putusan hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi kurang tepat.
Kata kunci : Kreditor Separatis, Kurator, Eksekusi
Position Creditors Separatists As Holder Guarantee The Rights To Implement Right
Otherwise Executorial Bankrupt Debtor's Asset (Case Study: Decision No. 758L / Pdt.Sus /
2012)
Abstract
This research discuss the position of creditors separatist and execution are set out in the Insolvency Act Indonesia.
Furthermore, in this paper will discuss the position of Bank BTN secure creditor and execution, legal remedies that
can be done, and discuss whether the decision of the Supreme Court Justices are in accordance with the Insolvency
Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. This study uses normative juridical research, while
data analysis is qualitative methods. From these results it can be concluded that the Bank BTN secure creditor
position because it has a guarantee security rights, implementation of property rights guarantees execution debtor as
secure creditor can execute the bankruptcy estate as if nothing happened bankruptcy. Remedy which may be filed
BTN from the beginning of the loan is to evaluate the prospective customer with the principle 5C, assurance
monitoring, active in requesting notification of the execution of the existing insolvency judge supervisory approval,
when knowing there is a third party in the bankruptcy estate collateral is to apply to the supervisory judge to change
the terms of the suspension, do Reconsideration. As well been known that the Supreme Court judge's decision on
appeal is not quite right.
Keywords: Creditors Separatists, Curator, Execution
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupan ini hampir sebagian besar orang baik orang
perorangan maupun badan hukum pernah berhubungan dengan utang. Utang yang
merupakan kewajiban bagi debitur wajib dipenuhi atau dilunasi, namun demikian ada
kalanya debitur tidak memenuhi kewajiban atau debitur berhenti membayar utangnya.
Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena tidak mampu membayar atau
tidak mau membayar.1 Baik karena alasan debitur tidak mampu membayar ataupun tidak
mau membayar akibatnya adalah sama yaitu kreditur akan mengalami kerugian karena
tidak dipenuhi piutangnya. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban debitur kepada kreditur
berarti ada sengketa diantara debitur dan kreditur. Ada banyak cara untuk menyelesaikan
sengketa berkaitan dengan keadaan berhenti membayar oleh debitur. Kepailitan
merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa tersebut di samping cara-cara
penyelesaian yang lain.
Dalam konteks kepailitan dikenal adanya prinsip Paritas Creditorum dan prinsip
Pari Passu Prorata Parte. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, pembagian harta debitor
untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor dilakukan tidak sekedar sama rata,
melainkan juga disesuaikan dengan proporsinya. Singkatnya, kreditor yang memiliki
tagihan lebih besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar dari pada
kreditor yang tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte menemukan
relevansinya dalam kondisi harta debitor yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan
jumlah utang-utang debitor.
Dalam hukum, kreditor-kreditor tertentu yang didahulukan haknya disebut
kreditor-kreditor preferen atau secured creditors, sedangkan kreditor-kreditor lainnya itu
disebut kreditor-kreditor konkuren atau unsecured creditors.2 Hal ini juga ditegaskan
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatakan “Debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
1
Man S. Sastrawidjaja,2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni,
Bandung, hlm.2.
2
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, Grafiti, Jakarta, hlm.5.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, naik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”3
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan kreditur
adalah baik kreditur konkuren, kreditur preferen maupun kreditur separatis. Yang
dimaksud kreditur separatis adalah kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek dan agunan kebendaan
lainnya.4 Dalam hal inilah dipahami bahwa kreditur separatislah yang harus didahulukan
dalam pelunasan hutang debitur karena kreditur separatis pemegang jaminan kebendaan.
Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan kebendaan antara debitor dan
kreditor dengan tujuan menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu
kewajiban, prestasi atau utang debitor kepada kreditor. Betapa tidak adilnya seorang
kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor
yang tidak memegang jaminan kebendaan. Padahal maksud adanya lembaga jaminan
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan. Jika pada akhirnya
disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan
dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna
lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan
dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak
diberikan preferensi oleh undang-undang, maka tidak ada gunanya undang-undang
melakukan pengaturan tersebut.5 Bila tidak ada cara untuk mempertemukan kepentingan
masing-masing, maka dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum
kepailitan dan hukum jaminan.
Dalam praktek kepailitan yang terjadi di Indonesia, jarang sekali ditemui kreditor
separatis yang melaksanakan sendiri hak eksekutorial terhadap jaminan kebendaan yang
dimilikinya. Walaupun Undang-Undang Kepailitan memberikan peluang untuk itu,
namun kenyataannya tidak mudah diterapkan. Salah satu kendalanya adalah karena
3
Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No 37
Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN 3778, Ps 2 ayat (1).
4
Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, hlm.75.
5
J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.281.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
jangka waktu pelaksanaan hak eksekutorial tersebut sampai saat ini masih menjadi
perdebatan. Sebagian praktisi hukum kepailitan berpendirian bahwa hak eksekusi kreditor
separatis dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling
lambat dua bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.6 Artinya, kesempatan kreditor
separatis melaksanakan hak eksekutorialnya hanya dua bulan. Limitasi jangka waktu ini
didasarkan pada pemahaman yang sepotong terhadap pasal 59 ayat (1) Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Disisi lain terlihat bahwa penyelesaian melalui lembaga kepailitan ini diharapkan
dapat memberikan keamanan dan menjamin terlaksananya kepentingan pihak-pihak yang
berkepentingan yaitu debitur dan kreditur. Namun demikian harapan penyelesaian utang
piutang melalui lembaga kepailitan dapat menjamin kepentingan para pihak, ada
kemungkinan kurang dirasakan sepenuhnya oleh kreditur separatis. Hal ini disebabkan
karena adanya pengaturan tentang pembatasan hanya selama dua bulan untuk
mengeksekusi harta debitor pailit, terhadap hal ini dianggap bahwa hak-hak kreditur
separatis kurang dilindungi kedudukannya. Ketentuan yang mengatur hak-hak kreditur
separatis antara lain diatur dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 59 Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Terkait dengan tema kedudukan kreditor separatis maupun mengenai kepailitan
yang telah penulis uraikan, dalam praktek penulis menemukan suatu kasus yang menarik
mengenai kedudukan kreditor separatis terkait dalam hal pelaksaan eksekutorial harta
debitur pailit. Kasus ini diawali dengan bahwa PT. Mitra Safir Sejahtera telah diputus
pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 28
Febuari 2012. Dalam hal kasus ini PT. Bank Tabungan Negara merupakan kreditur
separatis sebab PT. Bank Tabungan Negara memiliki barang jaminan dan surat-surat asli
dari debitur pailit.
Dalam kasus ini kurator menafsirkan atas ketentuan Pasal 292 Undang Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta debitor langsung berada dalam
insolvensi, sehingga menurut kurator masa insolvensi PT. Mitra Safir Sejahtera sudah
6
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.68.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
dimulai sejak penetapan pailit oleh majelis hakim pengadilan Niaga tanggal 28 Febuari
2012 dan akibatnya hak eksekusi PT. Bank Tabungan Negara otomatis telah berakhir 28
April 2012. Kurator PT. Mitra Safir Sejahtera telah mengingatkan kepada PT. Bank
Tabungan Negara bahwa ada masa insolvensi selama dua bulan untuk kreditur separatis
melaksanakan
hak
eksekusi
melalui
surat
nomor
014/AKH-IN-AS/MSS-
PAILIT/VI/2012, terhitung sejak tanggal 28 Februari 2012 sampai dengan tanggal 28
April 2012 hak eksekusi Bank BTN. Namun yang terjadi selama dua bulan PT. Bank
Tabungan Negara tidak menggunakan haknya atau telah lewat waktu untuk menjual
lelang atas barang jaminan dari debitor pailit dan setelah lewat batas waktunya untuk
eksekusi
PT. Bank Tabungan Negara tetap menahan boedel pailit PT. Mitra Safir
Sejahtera dan akan melakukan lelang pada tanggal 12 Juni 2012.
Alasan Bank BTN tidak mengeksekusi harta pailit adalah bahwa surat untuk
eksekusi Nomor 14/AKH-IN-AS/MSS-PAILIT/III/2012 yang dikirimkan oleh kurator
tanpa persetujuan hakim pengawas, sehingga menurut bank BTN hal tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum karena dalam pelaksanaan tugasnya kurator telah melampaui
wewenangnya yaitu kurator memproduksi keputusan sendiri tanpa persetujuan dan
sepengetahuan hakim pengawas. Kemudian alasan kedua yaitu Bank BTN mengikuti
Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan eksekusi 90 hari, karena ternyata jaminan
berupa perumahan graha roda di Tangerang merupakan lahan sengketa yang melibatkan
orang ketiga sehinga sesuai Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan harus
ditangguhkan 90 hari, serta alasan terakhir Bank BTN tidak mengeksekusi adalah karena
mengikuti Pasal 178 ayat (1) bahwa penentuan agenda Rapat Pencocokan Piutang dan
Verivikasi yaitu 11 April 2012, sehingga jangka waktu paling lambat berakhir hak
eksekusi Bank BTN 13 Juni 2012.
Dalam hal ini majelis hakim menolak permohonan kasasi dari PT. Bank
Tabungan Negara karena alasan kasasi tidak dapat dibenarkan. Dari gambaran kasus
tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai kedudukan kreditor separatis
dalam eksekusi harta jaminan debitor pailit dan sejak kapan kreditur separatis dapat
mengeksekusi harta debitor pailit, sehingga penulis mengangkat topik penelitian ini
dengan judul “Kedudukan Kreditor Separatis Sebagai Pemegang Hak Jaminan Dalam
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Melaksanakan Hak Eksekutorial Harta Debitor Yang Dinyatakan Pailit (Studi Kasus :
Putusan Nomor 758 L/Pdt.Sus/2012).
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan hak eksekusi harta jaminan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailtan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimana upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap
putusan pailit P.T Mitra Safir Sejahtera?
3. Apakah putusan Hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
TUJUAN PENELITIAN
1. Menjelaskan kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan waktu mulai berlakunya
hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak
eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Menjelaskan upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap
putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera.
3. Menjelasakan apakah putusan hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif akan berdasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kedudukan kreditor separatis sebagai
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
pemegang hak jaminan dalam melaksanakan hak eksekutorial harta debitor yang
dinyatakan pailit. Bentuk penelitian tersebut dipilih oleh penulis untuk memberikan
paparan normatif yang berkaitan dengan hukum yang terkait dalam melakukan penelitian
ini.
Adapun tipologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian deskriptif
ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan waktu
mulai berlakunya hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam
melaksanakan hak eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, menjelaskan upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya
terhadap putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera dan Penelitian juga akan memberikan
penjelasan mengenai apakah putusan hakim Mahkamah Agung sudah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Selanjutnya jenis data yang dipergunakan penulis adalah data sekunder, yakni
dengan data yang diperoleh dari kepustakaan. Dalam memperoleh data penulis akan
mengambil dari berbagai literatur berupa buku teks, jurnal, skripsi maupun tesis.
Pembahasan dengan data sekunder dilakukan dengan mendatangi perpustakaan, pusat
dokumentasi, dan dari bahan pustaka yang dimiliki oleh penulis.
Adapun jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum
primer diantaranya yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer, antara lain merupakan buku, jurnal kuliah, artikel ilmiah, skripsi dan juga
tesis.7
Dalam melakukan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
dokumen atau penelusuran kepustakaan, yaitu dengan melakukan analisis isi sehingga
ditemukan pesan dan maksud yang terkandung di dalam dokumen-dokumen tersebut.
7
Sri Mamudji,et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,2005),hlm.30-31
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Pengolahan data dilakukan guna mengadakan sistemasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis, dengan menarik asas-asas hukum dan juga menelaah sistematika
peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini akan disajikan berupa laporan penelitian dalam bentuk deskriptif
analitis, yang mana dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun,
mengklasifikasi serta menganalisa data-data yang diperoleh. Dengan demikian diperoleh
penjelasan secara utuh guna memahami kedudukan kreditor separatis dan pelaksanaan
waktu mulai berlakunya hak kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan dalam
melaksanakan hak eksekusi harta debitor yang pailit sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, upaya hukum kreditur separatis dalam melaksanakan haknya terhadap putusan
pailit PT. Mitra Safir Sejahtera dan menjelaskan apakah putusan hakim Mahkamah
Agung sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
PEMBAHASAN
Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki jaminan utang kebendaan atau
hak jaminan kebendaan seperti pemegang hak tanggungan, hipotek, gadai, fidusia, dan
lain-lain. Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditor
tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti dia dapat menjual dan
mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya.
Dengan adanya kata seolah-olah dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan,
maka harta separatis tersebut tetap masuk dalam harta budel pailit meskipun dipisahkan
dengan harta pailit yang lain. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa harta separatis tidak
termasuk dalam harta budel pailit.8
Bank Tabungan Negara (BTN) yang menerima jaminan hak tanggungan dari PT.
Mitra Safir Sejahtera, berkedudukan sebagai kreditor separatis, yang separatisnya
dilindungi oleh Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan. Hak Separatis dari Bank Tabungan
8
Munir Fuady,Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Cet IV, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2010), hal.97.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Negara (BTN) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor konkuren. Kedudukan
lebih tinggi yang dimaksud adalah Bank Tabungan Negara (BTN) memiliki hak atas
pemenuhan piutang secara preferen, yang berarti pemenuhan pembayaran piutang Bank
Tabungan Negara (BTN) didahulukan dari kreditor konkuren. Dimana jaminan
kebendaan berupa hak tanggungan yang diberikan oleh PT. Mitra Safir Sejahtera kepada
Bank Tabungan Negara (BTN) berupa :
a) Tanah dan bangunan yang terletak di Desa Bitung Jaya. Kecamatan Cikupa, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten (dikenal dengan “Pembangunan Proyek Perumahan Graha
Roda Mutiara”), dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan.
b) Tanah dan Bangunan yang terletak di Desa Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota
Tangerang, Provinsi Banten (dikenal dengan “Pembangunan Ruko”), dengan Sertifikat
Hak Guna Bangunan.
Mengenai pelaksanaan eksekusi harta jaminan, di dalam teorinya eksekusi
kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari
sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Menurut Undang-Undang Kepailitan,
Penangguhan dimaksud bertujuan, antara lain untuk:
I. Memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
II. Memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
III. Memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Penjelasan Pasal 56 Ayat (1) UU Kepailitan menjelaskan: “Selama
berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh
pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan
baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan
sita atas benda yang menjadi agunan.”
Pranata hukum yang disebut sebagai penangguhan eksekusi jaminan utang
(stay atau cool down period atau legal moratorium), terjadi karena hukum (by the
operation of law), tanpa perlu diminta sebelumnya oleh kurator. Sungguhpun hak untuk
mengeksekusi jaminan utang ada ditangan kreditor separatis, kreditor separatis tersebut
tidak dapat mengeksekusinya. Untuk masa tertentu, ia masih berada dalam masa tunggu,
setelah masa tunggu tersebut berlalu, ia baru diperkenankan untuk mengeksekusi jaminan
utangnya. Hak eksekusi kreditor separatis dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.
Artinya, kesempatan kreditor preferen melaksanakan hak eksekutorialnya hanya 2 bulan.
Namun apabila telah lewat batas waktu yang telah ditentukan eksekusi tidak terpenuhi
maka kreditur harus menyerahkan barang yang menjadi agunan kepada kurator untuk
selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.
Dalam Kasus ini Bank BTN tidak mengikuti ketentuan pada Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan untuk mengeksekusi harta pailit, walaupun pihak kurator
telah mengingatkan kepada pihak Bank BTN tentang masa insolvensi selama 2 bulan
yaitu semenjak tanggal 28 Febuari 2012 sampai dengan 28 April 2012 yaitu melalui surat
nomor 014/AKH-IN-AS/MSS-PAILIT/VI/2012 tanggal 8 Maret 2012 dimana isinya
mengenai pemberitahuan masa insolvensi bagi Bank BTN sebagai kreditor separatis
untuk melaksanakan hak eksekusi terhitung sejak tanggal 28 Febuari 2012 sampai dengan
tanggal 28 April 2012. Akan tetapi pihak Bank Tabungan Negara mengikuti ketentuan
penangguhan eksekusi sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan.
Hal yang menjadi dasar hukum pihak Bank BTN untuk tidak mengeksekusi harta
pailit PT. Mitra Safir Sejahtera padahal kedudukannya sebagai kreditor separatis yang
pertama adalah bahwa surat pemberitahuan masa insolvensi bagi Bank BTN sebagai
kreditur separatis untuk melaksanakan hak eksekusi yang dikirimkan oleh kurator tanpa
persetujuan hakim pengawas. Kedua, Bank BTN mengikuti Pasal 56 ayat (1) mengenai
penangguhan eksekusi 90 hari, karena ternyata jaminan berupa perumahan graha roda di
Tangerang merupakan lahan sengketa yang melibatkan pihak ketiga sehingga sesuai
Pasal 56 ayat (1) UUK harus ditangguhkan 90 hari. Terakhir yaitu bahwa Bank BTN
mengikuti Pasal 178 ayat (1), bahwa penentuan agenda Rapat Pencocokan Piutang dan
Verivikasi yaitu 11 April 2012, sehingga jangka waktu paling lambat berakhir hak
eksekusi Bank BTN 13 Juni 2012.
Penulis dalam hal kasus ini berpendapat bahwa kurator telah melebihi
kewenangannya dalam memberikan surat eksekusi kepada kreditor dalam hal ini Bank
BTN tanpa melalui persetujuan hakim pengawas, karena pada dasarnya semua hal yang
berkaitan dengan pemberesan harta pailit kurator harus memberitahu dan meminta
persetujuan kepada hakim pengawas.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Alasan Bank BTN tidak langsung mengeksekusi harta pailit yang kedua ialah
karena adanya pihak ketiga dalam jaminan harta pailit. Dalam prakteknya pihak ketiga ini
bukanlah berurusan dengan bank, sehingga pihak ketiga ini haruslah berurusan dengan
kurator, karena hubungan bilateral pihak ketiga adalah debitor/kurator – pihak ketiga,
sehingga Pasal 56 ayat (1) terpenuhi yaitu apabila ada pihak ketiga yang meminta
menuntut hartanya berada dalam penguasaan debitor atau kurator maka eksekusi kreditor
ditangguhkan 90 hari, hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 56 ayat (1) agar kurator
dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal untuk menyelesaikan pihak ketiga yang
ada pada jaminan Bank BTN.
Dalam kasus ini seharusnya Bank BTN tidak bisa secara sepihak mengambil
keputusan bahwa dapat secara langsung menangguhkan eksekusi tanpa memberitahukan
kepada kurator maupun hakim pengawas, meskipun Undang-Undang Kepailitan
memfasilitasi hal tersebut dalam Pasal 56 ayat (1). Seharusnya Bank BTN yang merasa
eksekusi harta pailitnya harus ditangguhkan 90 hari, karena ada pihak ketiga di dalam
jaminan tersebut yang juga menuntut bagiannya, Bank BTN tidak dengan sendirinya
menangguhkan eksekusi namun hal yang harus dilakukan oleh pihak Bank BTN adalah
mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengubah syarat penangguhan atau
syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus dilakukan Penangguhan eksekusi,
dan apabila kurator menolak permohonan untuk mengubah bahwa eksekusi harus
dilakukan penangguhan, maka Bank BTN dapat mengajukan permohonan kepada hakim
pengawas, dan dalam waktu paling lambat satu hari setelah permohonan kepada kurator
diterima nantinya hakim pengawas wajib memerintahkan kurator untuk segera
memanggil dengan surat tercatat atau kurir, kreditor atau pihak ketiga untuk di dengar
pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Dalam hal ini pengawas wajib
memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah
permohonan kepada kurator dan nantinya hakim pengawas akan mempertimbangkan
bahwa perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga yang dimaksud, hal ini sudah
diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Kepailitan. Dan mengenai mengenai surat
pemberitahuan insolvensi tanpa persetujuan hakim pengawas pada pasal 189 ayat (1),
seharusnya kreditor lebih aktif memintanya kepada kurator, dimana kreditor seharusnya
bukan hanya menunggu namun juga harus aktif meminta kepada kurator maupun hakim
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
pengawas mengenai surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak
eksekusi dengan persetujuan hakim pengawas, karena hal ini akan berpengaruh pada saat
kreditor akan melelang harta pailit, dimana membutuhkan persetujuan hakim pengawas.
Penulis juga berpendapat bahwa alasan ketiga Bank BTN untuk tidak
mengeksekusi harta pailit karena mengikuti ketentuan Pasal 178 ayat (1) yaitu dimana
bank BTN dapat mengeksekusi sesudah rapat pencocokan piutang, menurut penulis Bank
BTN tidak perlu menunggu rapat pencocokan piutang untuk dapat mengeksekusi harta
pailit karena kedudukannya sebagai kreditor separatis sudah diketahui sejak Bank BTN
mengajukan tagihan kepada kurator dan kurator telah melakukan pencatatan asset-asset
dari PT. Mitra Safir Sejahtera yang ada pada Bank BTN, sehingga dengan demikian Bank
BTN yang telah menyatakan dirinya sebagai kreditor separatis dapat membuktikan
keabsahan piutang dan tagihan debitor utangnya telah ada dan kurator juga tidak ada
masalah mengenai jumlah atau nilai piutang atau tagihan tersebut, sehingga Bank BTN
seharusnya bisa saja melakukan eksekusi langsung. Dan juga bila mengikuti Pasal 55
ayat (1) dijelaskan bahwa Kreditor separatis dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah
tidak terjadi kepailitan, sehingga Bank BTN karena kedudukannya sebagai separatis
dapat langsung mengesekusi harta pailit tanpa menunggu rapat pencocokan piutang,
namun eksekusi tersebut haruslah atas persetujuan hakim pengawas dan kurator.
Melihat dari masalah pailitnya PT.Mitra Safir Sejahtera ini, maka upaya hukum
yang dapat diajukan bank dari awal yaitu bahwa pada saat Bank BTN memproses
pemberian Kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera, idealnya dalam suatu proses
pemberian kredit perbankan, legal officer Bank BTN seharusnya lebih banyak aktif dan
berperan mulai pada saat analisa pendahuluan sampai pada pencairannya. Selebihnya,
akan lebih banyak ditangani oleh pejabat perkreditan yang oleh perbankan modern saat
ini dikenal dengan Account Officer. Sedangkan apabila kredit yang diberikan tersebut
menjadi bermasalah, maka akan diserahkan dan diambil alih oleh suatu bagian yang
dikenal dengan Settlement Departemen. Dalam kasus Bank BTN ini terlihat bahwa
petugas kredit yang kurang hati hati dalam memberi kredit ke debitur juga pihak
manajemen yang kurang memahami mengenai manajemen resiko kredit sehingga kredit
ini bisa disebut juga kredit yang macet. Manajemen hanya percaya kepada petugas kredit
dan hanya melihat jaminan kredit mencukupi apa tidak dan bila jaminan kredit sangat
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
mencukupi, manajemen langsung menyetujui permohonan kredit tersebut. Padahal
seharusnya legal officer Bank BTN harus menggunakan pertimbangan yang lazim
digunakan untuk mengevaluasi calon nasabah yang sering disebut dengan prinsip 5C atau
“the five 5C principles” dan prinsip ini harus dipegang dan di mengerti serta
dilaksanakan oleh petugas kredit ataupun legal officer, Prinsip 5 C itu antara lain adalah
caracter (karakter), collateral (jaminan kredit), capacity (kapasitas), capital (modal),
condition economy.
Prinsip dasar ini merupakan prinsip awal sebelum pencairan kredit walaupun
sebenarnya banyak aspek lain yang mendukung dan sangat berpengaruh terhadap analisa
dan hal tersebut sangat umum dilakukan namun demikian hal diatas hanya sebagai filter
awal dalam menyeleksi customer yang akan meminjam uang dari bank.
Peraturan Bank Indonesia juga telah menerapkan bahwa dalam pemberian kredit,
Bank harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ( Know Your Customer Principles). Dalam
menerapkan prinsip mengenal nasabah dijelasakan bahwa Bank wajib:
a. Menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah;
b. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
c. Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi Nasabah;
d. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Dan juga sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib
meminta informasi mengenai:
a. Identitas calon Nasabah;
b. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon Nasabah dengan
Bank;
c. Informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon
Nasabah; dan
d. Identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama
pihak lain.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia mengenai prinsip mengenal customer
dijelaskan bahwa Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik
transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. Ketentuan-ketentuan ini seharusnya Bank
BTN sudah harus ikuti dari awal pemberian kredit kepada debitor PT. Mitra Safir
Sejahtera karena hal yang paling mendasar untuk mencegah timbulnya kredit bermasalah
atau kredit macet adalah setelah pencairan kredit dimana bila kredit dicairkan bukan
berarti masalah selesai justru sebaliknya, masalah akan dihadapi bank sampai lunasnya
pemberian kredit tersebut. Oleh karena itu seharusnya dari awal Bank BTN harus secara
intens monitoring debitur PT. Mitra Safir Sejahtera agar dalam penggunaan uang tidak
melenceng dari rencana semula sesuai dengan permohonan kredit dan juga seharusnya
Bank BTN mengunjungi debitur pada periode tertentu atau secara teratur, memantau
perkembangan pembayaran angsuran setiap bulannya dan apabila terjadi kelambatan
segera dicari penyebabnya serta Bank harus aktif meminta laporan keuangan setiap tiga
bulan sekali dari debitur. Bila debitur dalam angsuran pembayaran setiap bulan sering
mengalami keterlambatan hendaknya cukup waspada dan perlu monitor lebih aktif.
Upaya Hukum Bank BTN saat proses pembuatan akta hak tanggungan sebagai
jaminan kredit kepada debitor PT. Mitra Safir Sejahtera sebaiknya Bank BTN harus lebih
berhati-hati walaupun pada awalnya tidak ada pihak ketiga, namun pada akhirnya
terikatnya pihak ketiga dalam kasus ini. Dapat diketahui hak tanggungan adalah hak
jaminan untuk pelunasan hutang tertentu yang dibebankan pada hak atas tanah, baik
termasuk mapun tidak termasuk benda-benda yang ada di atas tanah tersebut merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut, pemegang hak tanggungan mana diberikan hak
untuk diutamakan/ didahulukan terhadap kreditor-kreditor lainnya. Untuk itu harusnya
Bank BTN memeriksa dan meyakini keadaannya adalah apakah tanah tersebut tidak
sementara dibebani dengan hak tanggungan oleh pihak atau kreditur lainnya. Apabila
diatas tanah tersebut terdapat pembebanan hak tanggungan, maka pada saat eksekusinya
nanti pihak bank tidak akan didahulukan pembayarannya. Hal-hal yang harus diperiksa
dan diyakini kebenarannya dan keadaannya adalah keadaan tanah, luas, bentuk, batasbatas dan objek yang ada di atas tanah tersebut, berdasarkan sertifikat/tanda bukti hak
atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit tersebut. Memeriksa kebenaran, keaslian
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
dan keabsahan sertifikat tanda bukti hak atas tanah tersebut pada kantor Badan
Pertanahan Nasional dan memastikan bahwa tidak ada sengketa dan tidak sementara
dibebani dengan hak tanggungan atau dialihkan dengan hak-hak sementara. Menurut
penulis dalam hal adanya konsumen yang menjadi pihak ketiga sehingga menghambat
eksekusi harta pailit PT. Mitra Safir Sejahtera memanglah kurangnya prinsip kehatihatian Bank BTN. Dari awal ketika membuat akta pemberian Hak Tanggungan tidak ada
masalah namun ketika PT. MSS pailit dan eksekusi ternyata ada konsumen yang
menyatakan bahwa mereka telah membeli tanah untuk pembangunan proyek perumahan,
dalam hal ini BTN kurang monitoring debitur PT.Mitra Safir Sejahtera pada periode
tertentu atau secara teratur untuk melihat perkembangan PT. Mitra Safir Sejahtera, maka
terjadilah itikad buruk debitor untuk menjual hak tanggungan tersebut kepada pihak
ketiga.
Di dalam kasus dijelaskan bahwa kurator mengirimkan surat Nomor 14/AKH-INAS/MSS-PAILIT/III/2012 tanggal 8 Maret 2012, perihal surat pemberitahuan masa
insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi, dimana atas penetapan masa insolvensi
tersebut tanpa persetujuan hakim pengawas dan tertuju kepada karyawan yang tidak
berkompeten. Memang pada faktanya hal ini merupakan salah satu kesalahan kurator
sebab Pasal 189 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan kurator wajib menyusun suatu daftar
pembagian. Daftar pembagian tersebut harus dimintakan persetujuan oleh kurator kepada
hakim pengawas. Dan juga dapat dilihat bahwa betapa pentingnya persetujuan hakim
pengawas dalam daftar pembagian budel pailit sebab Pasal 192 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan menyatakan daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas wajib
disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh para kreditor selama
tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tesebut
disetujui. Berapa lama waktu bagi penyediaan daftar pembagian piutang yang telah
disetujui oleh hakim pengawas di kepaniteraan pengadilan niaga, harus ditetapkan oleh
hakim pengawas, Undang-Undang Kepailitan tidak menentukan jangka waktu tersebut.
Jadi sekalipun tidak ditentukan oleh Undang-Undang Kepailitan, sebaiknya salinan daftar
pembagian piutang tersebut ditempatkan pula di kantor kurator, agar dapat dilihat oleh
para kreditor selama tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas
sebagaimana dimaksud diatas. Oleh karena itu menurut penulis upaya Hukum Bank BTN
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
saat mengetahui PT. Mitra Safir Sejahtera Pailit dan Kurator memberikan surat
pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi tanpa persetujuan
hakim pengawas yaitu Bank BTN tidak boleh hanya menunggu surat pemberitahuan
untuk eksekusi yang ada persetujuan hakim pengawas dan langsung dengan sepihak
menangguhkan eksekusi, karena Bank BTN sebagai kreditor separatis harus berperan
aktif, hal ini karena Bank BTN memiliki hak yang didahulukan dalam mengeksekusi
harta pailit, sehingga sebagai pihak yang ingin hartanya di dahulukan maka Bank BTN
seharusnya mengambil inisiatif untuk meminta surat pemberitahuan untuk eksekusi yang
sudah ada persetujuan hakim pengawas, kepada kurator maupun hakim pengawas.
Di dalam kasus ini juga dijelaskan bahwa adanya pihak ketiga yaitu konsumen
sehingga menurut Bank BTN, eksekusi ditangguhkan 90 hari sejak pernyataan pailit
diucapkan, hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU. Dalam kasus ini
seharusnya Bank BTN tidak bisa secara sepihak mengambil keputusan bahwa dapat
secara langsung menangguhkan eksekusi tanpa memberitahukan kepada kurator maupun
hakim pengawas. Upaya hukum yang seharusnya dilakukan pihak Bank BTN adalah
mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengubah syarat penangguhan atau
syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus dilakukan Penangguhan eksekusi
dan apabila kurator menolak permohonan untuk mengubah bahwa eksekusi harus
dilakukan penangguhan, maka Bank BTN dapat mengajukan permohonan kepada hakim
pengawas, dan dalam waktu paling lambat satu hari setelah permohonan kepada kurator
diterima nantinya hakim pengawas wajib memerintahkan kurator untuk segera
memanggil dengan surat tercatat atau kurir, kreditor atau pihak ketiga untuk di dengar
pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Dalam hal ini hakim pengawas wajib
memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah
permohonan kepada kurator dan nantinya hakim pengawas akan mempertimbangkan
bahwa perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga yang dimaksud.
Dan menurut penulis, upaya hukum yang bisa dilakukan Bank BTN yaitu
Peninjauan Kembali, karena kasus ini sudah pada tingkat Kasasi. Pada dasarnya,
prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum
bisa ditemukan, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh)
hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (b)
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan hakim yang
bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan hakim Mahkamah Agung kurang tepat karena apabila hakim
membenarkan tindakan kurator yang mengirimkan surat pemberitahuan masa insolvensi
untuk melaksanakan hak eksekusi kepada kreditor tanpa persetujuan hakim pengawas,
hal ini sudah melanggar ketentuan di dalam Undang-Undang Kepailitan, karena pada
dasarnya setiap tindakan kurator untuk pengurusan dan pemberesan harta pailit harus
dengan konsultasi dan persetujuan hakim pengawas.
Jika tindakan kurator yang memerlukan persetujuan dilaksanakan tanpa adanya
persetujuan
terlebih
dahulu
dari
hakim
pengawas,
kurator
dapat
dimintai
pertanggungjawaban karena hal ini telah melampaui wewenang kurator. Menurut Pasal
72 Undang-Undang Kepailitan, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau
kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit. Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, kurator bukan saja
bertanggung jawab karena perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga
karena kelalaian. Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 72 maka kurator dapat digugat
dan wajib membayar ganti kerugian apabila kelalaiannya, lebih-lebih lagi karena
kesalahannya dilakukan dengan sengaja telah menyebabkan pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap harta pailit, terutama kreditor konkuren dirugikan.
Dilain sisi hakim Mahkamah Agung kurang tepat dalam mengambil keputusan
ini, karena para pihak disini juga adanya kelalaian yaitu kurator, hakim pengawas dan
juga kreditor, dimana Hakim pada dasarnya dalam Undang-Undang Kepailitan bersifat
pasif, dan kreditor yang harus bersifat aktif.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Kelalaian kurator dan hakim pengawas ialah bahwa adanya hubungan yang tidak
sejalan atau dua arah, dimana kurator memberikan surat pemberitahuan masa insolvensi
untuk melaksanakan hak eksekusi harta pailit tanpa persetujuan hakim
pengawas.
Padahal kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan
harta pailit, dimana kurator senantiasa berada di bawah pengawasan hakim pengawas.
Tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang
menjadi tugas kurator9. Hakim pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas
pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh kurator dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitor dan kreditor. Dalam kondisi inilah diperlukan
peran pengawasan oleh hakim pengawas. Oleh karena itu, kurator harus menyampaikan
laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya
setiap tiga bulan.10
Dalam kasus ini juga seharusnya kreditor harus berperan aktif dalam meminta
surat pemberitahuan masa insolvensi untuk melaksanakan hak eksekusi yang ada
persetujuan hakim pengawas dan tidak langsung secara sepihak menangguhkan eksekusi
tanpa melaporkan kepada kurator atau hakim pengawas walaupun undang-undang
memfasilitasi hal tersebut dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, karena
pada dasarnya Kreditur adalah pihak yang aktif sedangkan yang berpiutang atau debitur
adalah pihak pasif .11
KESIMPULAN
Dari uraian bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dari
penelitian ini bahwa:
1. Kedudukan Bank BTN yang menerima jaminan hak tanggungan dari PT. Mitra Safir
Sejahtera, berkedudukan sebagai kreditor separatis. Pelaksanaan hak eksekusi harta
jaminan PT. Mitra Safir Sejahtera sebagai kreditur separatis menurut Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pada Pasal 55 ayat(1) bahwa dapat mengeksekusi harta pailit seolah-olah tidak terjadi
9
Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pasal 74 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
11
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal. 10
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
kepailitan. Namun di dalam kasus ini terdapat beberapa kelalaian kreditor dan juga
kurator sehingga hak eksekusi harus ditangguhkan karena kurator telah melebihi
kewenangannya dalam memberikan
surat pemberitahuan masa insolvensi untuk
melaksanakan hak eksekusi kepada Bank BTN tanpa melalui persetujuan hakim
pengawas dan adanya pihak ketiga dalam jaminan harta pailit pada proyek perumahan
grada roda mutiara.
2. Upaya hukum yang dapat diajukan bank dari awal pemberian kredit menggunakan
pertimbangan untuk mengevaluasi calon nasabah dengan prinsip 5C dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, berhatihati Saat proses pembuatan akta hak tanggungan sebagai jaminan kredit kepada debitor
PT. Mitra Safir Sejahtera, dan melakukan monitoring terhadap debitur PT.Mitra Safir
Sejahtera, Bank BTN meminta surat pemberitahuan untuk eksekusi yang ada persetujuan
hakim pengawas, mengajukan permohonan kepada kurator atau hakim pengawas untuk
mengubah syarat penangguhan atau syarat bahwa karena adanya pihak ketiga maka harus
dilakukan Penangguhan eksekusi dan yang terakhir Bank BTN dapat melakukan
Peninjauan Kembali.
3. Putusan hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi tidak sesuai dengan UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
SARAN
1. Undang-Undang Kepailitan seharusnya mengatur tentang kedudukan kreditor pemegang
Hak Tanggungan secara konsisten dan sesuai dengan prinsip hukum kepailitan. Jadi
pemegang Hak Tanggungan dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan. Maka pemerintah hendaknya melakukan penyempurnaan berupa perubahan
dari Undang-Undang Kepailitan itu sendiri.
2. Bank dalam memberikan persetujuan kredit kepada debitur didasarkan pada penilaian
yang total atas permintaan kredit dan atas diri deitur, yaitu kelayakan permintaan kredit
yang diajukan oleh debitur dengan perkiraan keadaan ekonomi dan usaha yang dijalani
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
debitur baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, untuk menghindari dari
risiko kredit macet.
DAFTAR REFERENSI
Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.
Barulzaman, Mariam Darus. Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis,Volume
11.2000.
Fuady Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
“Hak Eksekutorial Kreditor Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan?”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20364/hak-eksekutorial-kreditor-separatiskapan-dapat-dilaksanakan. Diunduh pada tanggal 9 Oktober 2014.
Indonesia, Undang- Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. LN No.131 Tahun 2004, TLN No.4443.
“Undang-Undang Kepailitan yang mengamputasi Undang-Undang Hak Tanggungan”
http://hery-shietra.blogspot.com/2013/10/undang-undang-kepailitan-yang.html. Diunduh
pada tanggal 11 Oktober 2014.
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti,2010.
Widjaja Gunawan & Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002.
Wignojosumarto, Parwonto. Peran dan Hubungan Hakim Pengawas dengan
Kurator/Pengurus serta Permasalahannya dalam Praktik Kepailitan dan PKPU,
(Makalah Disampaikan pada Lokakarya Kurator dan Hakim Pengawas: Tinjauan
Secara Kritis. Jakarta 30-33 Juli 2002.
Kedudukan kreditor separatis sebagai ..., Windry Yohanna Shinta Uli Situmorang, FH UI, 2014
Download