BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan. Permasalahan krusial yang muncul saat itu adalah banyaknya utang dari perusahaan swasta nasional, BUMN termasuk pemerintah Indonesia kepada perusahaan atau pemerintah asing di mancanegara. Persoalan utang piutang melibatkan begitu banyak pihak, sementara ada pihak-pihak yang berutang yang memanfaatkan kondisi keterpurukan sebagai pembenaran untuk tidak membayar utang. Dalam suasana krisis ekonomi di Indonesia saat itu, maka pilihan untuk dipailitkannya suatu perusahaan menjadi suatu alternatif untuk menyelesaikan utang piutang melalui pranata hukum kepailitan di lembaga peradilan secara cepat, adil, terbuka dan efektif. Mengingat penyelesaian utang piutang melalui lembaga peradilan perdata membutuhkan waktu yang panjang maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor. 1 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Kepailitan tahun 1905. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1998 dan kemudian diganti menjadi Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004. 1 Tujuan hukum kepailitan adalah sebagai berikut 1: 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditor. 2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. 3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya dengan cara memperoleh pembebasan. Sedangkan tujuan umum dari hukum kepailitan adalah menyediakan suatu forum bersama (forum kolektif) untuk mengklasifikasikan (memilahmilah) hak-hak dari berbagai jenis (penagihan) kreditor terhadap harta kekayaan debitor pailit, dimana hartanya sudah tidak cukup nilainya untuk membayar semua tagihan-tagihan para kreditor tersebut 2. Berdasarkan uraian diatas, maka secara singkat dapat dinyatakan bahwa tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Hukum kepailitan memberikan suatu mekanisme dimana para kreditor dapat bersama-sama menentukan apakah sebaiknya perusahaan atau harta kekayaan debitor diteruskan kelangsungan usahanya ataukah tidak dan dapat memaksa kreditor minoritas mengikuti skim karena adanya prosedur pemungutan suara. Di dalam penjelasan UUK-PKPU Nomor. 37 Tahun 2004 1 Sutan Remy Sjahdeini , 2008, HUKUM KEPAILITAN, Memahami Undang-Undang Np. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 28 2 Ibid 2 menjelaskan alasan-alasan terkait dengan perlunya pengaturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 3 : 1. Pengaturan Kepailitan UUK-PKPU Nomor. 37 Tahun 2004 : a. Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. b. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. c. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. 2. Pokok materi UUK-PKPU Nomor. 37 Tahun 2004 a. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran, dalam Undang-Undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. 3 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 3 b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang. 3. UUK-PKPU Nomor. 37 Tahun 2004 didasarkan pada asas a. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. b. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. c. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan 4 pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya. d. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Secara umum, Kreditor yang mengajukan permohonan pailit kepada Debitor melalui pengadilan niaga sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 adalah ingin mendapatkan kembali piutangnya dari penjualan aset Debitor yang dipailitkan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Dalam setiap pembentukan dan pemberlakuan hukum baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri maupun pranata hukum lainnya tentu harus mencerminkan adanya asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas manfaat. Demikian halnya dengan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004, apakah telah memberikan jaminan maupun perlindungan hukum terhadap semua pihak terkait dalam utang piutang khususnya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum kepailitan yang pada akhirnya berujung pada asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas manfaat? Memperhatikan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 pada Bab II tentang syarat mengajukan kepailitan dan mengajuan perdamaian sebagai berikut: 5 1. Bagian I pasal 2 tentang syarat dan putusan pailit menyatakan bahwa : a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. c. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (menurut Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011 dilaksanakan oleh otoritas jasa keuangan atau OJK). d. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan penyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (menurut Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011 dilaksanakan oleh otoritas jasa keuangan atau OJK). e. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 2. Bagian VI pasal 144 tentang Perdamaian : Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor. 6 3. Bagian VI pasal 151 tentang Perdamaian : Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat Kreditor oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. 4. Bagian VI pasal 152 tentang Perdamaian : a. Apabila lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat kreditor dan mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan. b. Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama. Memperhatikan uraian pasal-pasal pada UUK-PKPU Nomor. 37 Tahun 2004 tersebut akan membawa potensi konsekuensi hukum yang dapat merugikan salah satu pihak diantaranya : 1. Perlindungan hukum terhadap pihak Kreditor konkuren dalam proses pengajuan kepailitan. Hal ini tercermin dari : 7 a. syarat pailit dari pasal 2 ayat (1) bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak menyebutkan syarat jumlah utang dari Kreditor yang mengajukan pailit terhadap Debitor. b. syarat perdamaian dari pasal 151 dan pasal 152 bahwa: Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat Kreditor oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Apabila lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat kreditor dan mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan. Pasal 151 dan pasal 152 tersebut diatas dengan jelas menggambarkan bahwa terjadinya perdamaian ataupun ditolaknya perdamaian tergantung dari jumlah suara mayoritas dari Kreditor konkuren tanpa 8 mempertimbangkan jumlah piutang dari masing-masing Kreditor konkuren. 2. Perlindungan hukum terhadap debitor yang memiliki prospek usaha jangka panjang yang baik, sementara secara jangka pendek mengalami kesulitan keuangan yang berujung pada kepailitan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis memandang perlu untuk mengangkat masalah ini ke dalam suatu penelitian yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Konkuren dan Debitor Dalam Proses Pengajuan Kepailitan sesuai Pasal 2 Ayat (1), Pasal 8 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu : Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Kreditor Konkuren dan Debitor Dalam Proses Pengajuan Kepailitan sesuai pasal 2 ayat (1), pasal 8 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditor konkuren dan debitor dalam proses pengajuan kepailitan sesuai pasal 2 ayat (1), pasal 8 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004. 9 1.4 Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk perkembangan ilmu hukum Penelitian ini diharapkan berguna sebagai referensi yang layak dalam bidang Hukum Kepailitan. 2. Untuk pemerintah Sumbangan pemikiran formulasi kebijakan dalam rangka melindungi Debitor dan Kreditor dalam proses kepailitan. 3. Untuk sumbangan pemikiran bagi peneliti berikutnya Penelitian lanjutan tentang hasil proses kepailitan di pengadilan niaga yang menyangkut perlindungan terhadap kreditor maupun debitor. 1.5 Keaslian Penelitian Setelah dilakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum dan perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, materi atau obyek ini belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. 1.6 Penelitian Terdahulu : 1. Keberadaan Lembaga Penjamin Pemegang Polis Asuransi Dalam Hal Perusahaan Asuransi Pailit, tesis Magister Hukum Universtitas Gadjah Mada bulan September 2010 oleh : Noordyana Kusumawardani. Tujuan penelitian : Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pemegang polis pada saat perusahaan asuransi dinyatakan pailit, sejauh mana perlindungan hukum 10 yang ada, pentingnya lembaga penjamin sebagai bentuk pendukung atas analisa data sekunder. Hasil penelitian : a. Secara normatif, kepailitan menyebabkan hilangnya segala hak debitor untuk mengurusi segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit. b. Pada saat pernyataan pailit dijatuhkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku maka pemegang polis memiliki kedudukan sebagai kreditor konkuren, dimana tidak terdapat penjaminan atas pembayaran hak mereka. c. Kurangnya perlindungan hukum kepada pemegang polis dalam hal kepailitan menyebabkan diperlukan suatu lembaga penjamin bagi pemegang polis dalam konstruksi hukum di Indonesia untuk masa yang akan datang. 2. Perlindungan Hukum Kreditor Dalam Permohonan Pailit oleh Debitor, tesis Magister Hukum Universtitas Indonesia bulan Juli 2009 oleh : Andika Yoedistira Tujuan : a. Untuk mengetahui apakah hukum acara dan sistem pembuktian dalam kepailitan telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor dalam hal terjadinya permohonan pailit yang diajukan oleh debitor. 11 b. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembuktian dan penilaian atas alat bukti dalam kepailitan untuk menentukan keadaan pailit bagi debitor dalam permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor. Hasil penelitian : a. Hukum acara dan sistem pembuktian yang terdapat dalam UUKPKPU Nomor. 37 Tahun 2004 khususnya pada acara permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor belumlah mencerminkan adanya keseimbangan pengaturan dan perlindung-an bagi kreditor. b. Tidak adanya kewajiban pemanggilan bagi kreditor dalam pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang dikombinasikan dengan acara singkat dan sistem pembuktian secara sederhana dalam kepailitan cenderung melemahkan posisi kreditor sebagai pihak yang berpiutang dalam proses kepailitan menghadapi posisi debitor sebagai pihak yang berutang. c. Dalam proses kepailitan, sistem pembuktian yang digunakan merupakan bagian dari sistem pembuktian dalam perkara perdata dimana dalam penerapannya, alat-alat bukti yang digunakan adalah alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata. 3. Kedudukan Hukum Kreditor Konkuren Dalam Penyelesaian Utang Debitor Yang Dinyatakan Pailit, tesis Magister Kenoktariatan Fakultas Hukum Universtitas Indonesia bulan Agustus 2005 oleh : Subarjono. Tujuan Penelitian : 12 a. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan hukum kreditor konkuren dalam penyelesaian utang debitor yang dinyatakan pailit. b. Untuk mengetahui apakah kreditor konkuren akan memperoleh hak pembayaran atas utang debitor yang dinyatakan pailit. Hasil penelitian : a. Kedudukan hukum kreditor konkuren dalam penyelesaian utang debitor pailit kurang terlindungi. Hal ini disebabkan karena kreditor konkuren menduduki urutan terakhir dan berada dibawah kreditor separatis dan kreditor preference dalam realisasi penerimaan pembayaran utang dari debitor pailit. b. Kreditor konkuren masih tetap dimungkinkan memperoleh hak pembayaran atas utang debitor pailit. Kemungkinan menjadi semakin kecil karena bersaing dengan kreditor separatis yang berubah menjadi kreditor konkuren dan juga bersaing sesama kreditor konkuren. 13