BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Belajar 2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Menurut Santrock (2007), motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000). Uno (2008) menjelaskan motivasi sebagai dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. 10 Uno (2008) menjelaskan motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Uno (2008) menjelaskan motivasi belajar sebagai dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Hal ini mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) adanya hasrat dan keinginan berhasil; b) adanya kebutuhan dan dorongan dalam belajar; c) adanya harapan dan cita-cita masa depan; d) adanya penghargaan dalam belajar; e) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; f) adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. 11 2.1.2 Jenis-jenis Motivasi Belajar Ryan dan Deci (dalam Luqman, 2011) dalam teori self-determination membagi tipe motivasi berdasarkan orientasi tujuannya (goal oerientation) yaitu, amotivation, intrinsic motivation, dan extrinsic motivation, berikut penjelasannya; a. Amotivation Ryan dan Deci (2000) menjelaskan bahwa amotivation yaitu sebagai bentuk kurangnya niat dalam melakukan sesuatu. Ketika tidak termotivasi, tingkah laku seseorang terlihat kurangnya niat atau hasrat dan kurangnya rasa alasan personal dalam bertindak. Amotivasi adalah hasil dari tidak adanya perhatian terhadap aktifitas, tidak merasa kompeten untuk melakukan sesuatu, atau tidak percaya bahwa sesuatu yang diinginkan akan ada hasilnya. Barkoukis, et al (dalam Syah, 2011) menjelaskan bahwa amotivation adalah tidak adanya kemungkinan dari sesuatu yang akan terjadi antara suatu tindakan yang dilakukan dan hasil akhirnya. Individu yang amotivated tidak terlihat seperti memiliki maksud dan tujuan dan mereka tidak terlihat seperti memiliki pendekatan pada hasil akhirnya secara sistematis. Keterlibatan mereka dalam suatu aktifitas adalah bukan sebuah hasil yang mereka inginkan. Barkoukis, et al (dalam Syah, 2011) menjelaskan bahwa amotivation disebabkan oleh empat, yaitu: (a) keyakinan mereka tentang kurangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas; (b) keyakinan mereka bahwa strategi yang diadopsi tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan; (c) keyakinan mereka terhadap aktifitas tersebut terlalu membebani individu tersebut; (d) keyakinan bahwa meskipun usaha yang dilakukan sangat tinggi itu tidak sebanding dengan kesuksesan yang diraih pada kinerja dalam penyelesaian tugas. 12 b. Intrinsic Motivation Ryan dan Deci (2000) mendefinisikan motivasi instrinsik sebagai melakukan suatu aktifitas untuk memenuhi kepuasan dasar ketimbang untuk memisahkan akibat yang akan terjadi dari aktifitas tersebut. Ketika secara instrinsik termotivasi seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu untuk kesenangan atau melibatkan tantangan melainkan karena dorongan dari luar, tekanan, hadiah atau penghargaan. Meskipun begitu, dengan kata lain, motivasi instrinsik timbul bersamaan dengan diri individu, motivasi instrinsik juga timbul dari hubungan antara individu dan aktifitas yang di lakukannya. Sedangkan Sardiman (2008) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Kemudian kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya (misalnya kegiatan belajar), maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dengan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. 13 c. Extrinsic Motivation Ryan dan Deci (2000) menjabarkan motivasi ekstrinsik sebagai konstruk yang berhubungan apabila sebuah aktifitas selesai dilakukan dengan perintah untuk mencapai beberapa hasil yang terpisah. Motivasi ekstrinsik demikian berbeda dengan motivasi intrinsik, yang mana melakukan aktifitas semata-mata hanya untuk kesenangan dari melakukan aktfitas tersebut, dari pada nilai yang yang ada pada aktifitas tersebut. Sebagai contoh, pelajar yang mengerjakan tugasnya hanya karena dia takut terkena sangsi dari orang tuanya jika tidak mengerjakan tugas tersebut juga termasuk tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik karena dia mengerjakan tugas tersebut untuk mencapai hasil yaitu menghindari sangsi yang akan diberikan. Begitu juga, seorang pelajar yang mengerjakan tugas karena dia secara pribadi percaya apa yang dia kerjakan itu bernilai atau berarti untuk dirinya dalam memilih karir di masa depan juga termasuk termotivasi secara ekstrinsik karena dia juga bernanggapan dia melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang ada melainkan karena dia menemukan ketertarikan dalam melakukan hal tersebut. Sardiman (2008) motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya, atau temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar mendapatkan hadiah. 14 Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar. Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi ekstrinsik ini tidak baik atau tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik. 2.1.3 Aspek-aspek Motivasi Belajar Aspek-aspek motivasi belajar menurut Walgito (2004), yaitu : a. Aspek arousal merupakan keadaan dorongan dalam diri organism, yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan jasmani karena keadaan mental serta berpikir dan ingatan. b. Aspek direction merupakan perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan. c. Aspek maintenance merupakan upaya mempertahankan tingkah laku untuk mencapai sasaran. Motif sebagai pendorong umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait- mengkait dengan faktor-faktor lain atau hal-hal yang dapat mempengaruhi motif tersebut. Kalau orang ingin mengetahui arah sesuatu seperti yang dikerjakan, maka orang tersebut akan terkait dengan motivasi atau perilaku yang termotivasi (motivated behavior). Aspek-aspek motivasi belajar menurut Purwanto dan Wijayanti (2004) menyatakan motivasi mengandng komponen pokok, yaitu: 15 a. Menggerakkan berarti menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin seseorang dengan cara tertentu. b. Motivasi yang mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku, sehingga menyediakan suatu orientasi tujuan tingkah laku individu diarahkan pada sesuatu. c. Untuk menopang dan menjaga tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas dan arah dorongan-dorongan dan kekuatan individu. 2.1.4 Bentuk-bentuk Motivasi Belajar Proses belajar-mengajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik diperlukan untuk mendorong siswa agar turut melakukan aktivitas belajarnya. Menurut Sardiman (2006) ada beberapa bentuk dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah: a. Memberi angka Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Bagi siswa angka-angka itu merupakan motivasi yang kuat. Sehingga yang biasa dikejar siswa adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik-baik. b. Hadiah Hadiah dapat dikatakan sebagai motivasi tetapi tidak selalu karena hadiah untuk suatu pekerjaan mungkin tidak akan menarik perhatian bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat dalam pekerjaan tersebut. c. Saingan atau kompetisi Saingan atau kompetisi dapat dijadikan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar. d. Ego-involvement Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerima sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. e. Memberi ulangan Para siswa akan giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Memberi ulangan seperti juga merupakan sarana motivasi. 16 f. Mengetahui hasil Dengan mengetahui hasil pekerjaan apalagi kalau terjadi kemajuan akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui grafik hasil belajar semakin meningkat maka ada motivasi dalam diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat. g. Pujian Pujian ini merupakan suatu bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Dengan pujian yang tepat yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri. h. Hukuman Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. i. Hasrat untuk belajar Hasrat untuk belajar berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik memang ada motivasi untuk belajar sehingga hasilnya akan baik. j. Minat Motivasi sangat erat hubungannya dengan minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepat kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. k. Tujuan yang diakui Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik olah siswa, merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang hendak dicapai, karena dirasa berguna dan menguntungkan maka akan timbul gairah untuk terus belajar. 2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Dalam proses belajar motivasi dapat tumbuh maupun hilang atau berubahdikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini fakor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar menurut Spitzer’s (dalam Frith, 2004); a. Action Keterlibatan pelajar secara aktif dalam proses pembelajaran baik secara fisik dan mental. b. Fun Kesenangan, membantu untuk memperkuat pelajar dan mengembangkan kesempatan dalam format yang berbeda dan keterlibatan pelajar. Permainan komputer adalah sebuah contoh yang baik bagaimana menyatukan aktifitas belajar yang menyenangkan. 17 c. Choice Pilihan, mengembangkan variasi dan kontrol pembelajaran. Pilihan mungkin dapat dikembangkan melalui pemilihan metode pembelajaran, isi atau materi intruksi. d. Social Interaction Interaksi sosial, adalah kebutuhan tertinggi berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow. Kesempatan atau peluang untuk berinteraksi sosial dapat dicontohkan melalui diskusi grup kecil, panduan teman sebaya, kolaborasi antara pemecahan masalah dan pembuat keputusan. e. Error Tolerance Toleransi kesalahan, biasanya jarang terjadi di latar pendidikan. Pelajar harus merasa nyaman ketika berbuat kesalahan dan mempunyai kesempatan belajar dari kesalahan tersebut. f. Measurement Penilaian, seperti nilai pada pelajaran olahraga bisa menjadi faktor yang memotivasi. Dalam penilaian lingkungan pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam daya yang dapat meningkatkan meliputi pemusatan pada evaluasi formatif, mengumpulkan masukan dari pelajar pada apa yang seharusnya di nilai, dan mendorong penilaian diri. g. Feedback Dalam pelajaran, umpan balik ini selalu menjadikan anak kurang berani. Umpan balik yang membangun harus diterapkan secara berlanjut, mengarahkan dan memusatkan hal positif kepada bagaimana kinerja si anak dapat dikembangkan di masa depan. h. Challenge Tantangan, dapat memotivasi terutama sekali jika respon pelajar pada tantangan tersebut melalui setting tujuan (goal setting). Secara mengejutkan setting tujuan yang dilakukan secara pribadi cenderung lebih ambisius dari pada yang dilakukan oleh orang lain, dalam artian, tujuan yang di inginkan berdasarkan keinginan sendiri dari pada tujuan yang di arahkan oleh orang lain. i. Recognition Pengakuan, harus tampak pada saat pencapaian yang rendah begitu juga yang tinggi. Ini begitu penting untuk mengarahkan hal-hal yang positif kepada pelajar. 2.2.6 Fungsi Motivasi Belajar Menurut Sardiman (2006) bahwa motivasi selain berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi juga berfungsi sebagai berikut: a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang telah dicapai. 18 c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan mana yang akan dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan- perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. 2.2.7 Motivasi Belajar pada Anak Berbakat Menurut Heward (1996), karakteristik perilaku belajar dengan motivasi tinggi yang dimiliki oleh anak berbakat, yaitu: a. Konsisten dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi minatnya. b. Senang mengerjakan tugas secara independen dimana mereka hanya memerlukan sedikit pengarahan. c. Ingin belajar, menyelidiki, dan mencari lebih banyak informasi. d. Memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal pembelajaran, seperti mudah menangkap pelajaran, memiliki ketajaman daya nalar, daya konsentrasi baik, dan lain sebagainya. 2.2 Konsep Diri 2.2.1 Pengertian Konsep Diri Salah satu aspek kepribadian yang akan sangat mewarnai perilaku individu adalah adalah konsep diri. Konsep diri adalah bagian yang penting dalam kehidupan individu, konsep diri merupakan refleksi yang dipandang, dirasakan, dan dialami individu mengenai dirinya sendiri. Adanya konsep diri tersebut menunjang individu menjalani hidupnya, karena bagaimanapun dia memandang dirinya begitu pula dia menjalani kehidupannya. 19 Konsep diri atau Self-concept menurut Syamsu Yusuf (2002) yang dimaksud dengan Self-concept adalah (a). persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri. (b). Kualitas persiapan individu tentang dirinya, dan (c). Suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya. Manning (2007) menjelaskan konsep diri (self-concept) sebagai persepsi pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam persepsi diri (self-perception) yang ada pada dirinya. Pada perkembangan pelajar, mereka lebih baik memahami bagaimana orang lain memandang kemampuan mereka dan lebih baik mereka membedakan antara usaha-usaha yang mereka lakukan dan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Sebagai hasilnya, persepsi-diri mereka menjadi lebih tinggi dan akurat. Wigfield, et al (2005) menjelaskan konsep diri sebagai kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka. Lebih lanjut Mead (dalam Rohman, 2011), konsep diri adalah kemampuan seseorang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek. Diri adalah kemampuan khas untuk menjadi subyek sekaligus obyek. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan konsep diri merupakan pandangan individu mengenai segala sesuatu yang terkait dengan dirinya sendiri baik yang bersifat, fisik, psikis, serta sosial yang diperoleh dari pengalaman serta interaksi dengan orang lain. 20 2.2.2 Komponen Konsep Diri Konsep diri merupakan multi dimensional, menurut Calhoun & Acocella (1995), konsep diri memiliki tiga dimensi yaitu pengetahuan mengenai diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, serta penilaian mengenai diri. Pudjijogyanti (1993) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dari dua komponen yaitu komponen kognitif serta komponen afektif. a. Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu mengenai dirinya, misalnya “saya ini anak bodoh”, atau “saya ini anak pemberani”, serta sebagainya. Komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya?”, yang akan membuat gambaran objektif mengenai diri saya (the picture about my self), serta melahirkan citra diri (self-image). b. Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan diri (self-acceptance), serta harga diri (self-esteem) pada individu. Contoh pernyataan dari komponen afektif adalah “saya kecewa sebagai anak yatim”, atau “walaupun kulit saya hitam, tapi saya senang’, serta sebagainya. Jadi komponen afektif merupakan gambaran subjektif seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Syamsu Yusuf (2002) Self-concept memiliki tiga komponen utama: a. Physical self-concept ; yaitu citra diri seseorang tentang penampilan dirinya/body image. b. Psychological self-concept ; yaitu konsep sesorang tentang kemampuan/keunggulan dan ketidakmampuan/kelemahan dirinya, dan 21 masa depannya, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya; honesty, selfcomfidance, independence, dan courage. c. Attitudinal ; yaitu komponen yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan dan keterhinaannya. 2.2.3 Aspek-aspek Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu. Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). a. Pengetahuan Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain yang merupakan sesuatu yang merujuk pada istilah kualitas, seperti individu yang egois, baik hati, tenang, dan bertempramen tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembanding. 22 b. Harapan Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang (Rogers, dalam Calhoun & Acocella, 1990). Singkatnya setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbedabeda pada setiap individu. c. Penilaian Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri. Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya. 2.2.4 Proses Pembentukan serta Perkembangan Konsep Diri pada Remaja Erikson (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa yang penuh gejolak (strum und drang). Keremajaan adalah merupakan suatu “penangguhan psikososial” pada saat harus membuat pilihan-pilihan seperti pilihan karir, nilai-nilai, gaya hidup, serta hubungan personal, karena pengetahuan serta pengalaman mereka tidak memadai. Dalam rangka mencapai identitas dirinya, mereka sering kali menunjukan perilaku-perilaku yang bermengenaian dengan nilai-nilai yang ada di keluarga maupun di masyarakat. Mereka sering kali terlibat dalam kelompok-kelompok kecil yang kompak,saling membantu dalam obrolan-obrolan sebagai akibat dari krisis identitas yang mereka alami. Menurut Erikson (dalam Burns, 1993), bahaya dari 23 periode masa remaja ini adalah terjadinya “difusi diri” atau “diri mengambang”. Misalnya munculnya perasaan tidak mampu menarik perhatian orang-orang tertentu. Hal itu juga disebabkan antara lain oleh perubahan yangbegitu cepat pada dirinya. Sejauh mana hal itu akan mengarah pada masalah-masalah psikologis yang lebih parah atau bukan, seperti mengarah pada tindakan kejahatan , neurosis, ataupun psikosis, tergantung pada bagaimana perkembangan konsep diri sebelumnya. Apabila perkembangan konsep diri sebelumnya positif, self-esteemnya juga berkembang dari pengalaman-pengalaman kesuksesan, maka remaja remaja yang bersangkutan akan dapat melihat kembali visi hidupnya secara lebih jelas di masa selanjutnya. Sekalipun tidak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari gejolak-gejolak perasaan tersebut. Erikson gejala-gejala itu sebagai sesuatu yang wajar sebagai proses transisional dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam kondisi seperti itu, penting sekali bagi remaja besertanya orang dewasa yang dapat dijadikan sebagai panutan atau figur identifikasi. jika tidak, masalah-masalah kepribadian yang dialaminya itu bisa mengarah pada delinquensi moral. Paling tidak dalam bentuk tindakan-tindakan agresif yang dapat merugikan diri sendiri. Seperti melalaikan tugas-tugasnya sebagai seorang anak, sebagai siswa, atau sebagai pribadi yang masih dalam perkembangan. Konsep diri pada individu tidak hanya ditentukan oleh satu faktor, melainkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang melekat pada dirinya maupun hal-hal yang berada diluar dirinya, yaitu lingkungan. Terbentuknya konsep diri pada individu tergantung pada keyakinannya terhadap 24 penilaian serta pendapat orang lain mengenai dirinya, maka dari itu hubungan individu dengan orang lain merupakan faktor yang penting dalam proses terbentuknya konsep diri. Berkenaan dengan proses pembentukan konsep diri, Gunarsa (dalam Rosmiati, 2004) mengungkapkan bahwa konsep diri tersusun atas tahapantahapan. Yang paling dasar adalah konsep diri primer, dimana konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Kemudian setelah anak bertambah besar, ia mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya. Ia mempunyai lebih banyak teman, lebih banyak kenalan serta sebagai akibatnya, ia mempunyai lebih banyak pengalaman. Akhirnya anak akan memperoleh konsep diri yang baru serta berbeda dari apa yang sudah terbentuk dalam lingkungan rumahnya. Ini menghasilkan suatu konsep diri sekunder. Bagaimana konsep diri sekunder ini terbentuk, banyak ditentukan pula oleh bagaimana konsep diri primernya. Sejalan dengan pendapat itu, William Fitts (dalam Fridayani, 2004) mengungkapkan bahwa konsep diri terdiri dari dua bagian yaitu konsep diri internal yang terbentuk oleh pengamatan individu mengenai diri sendiri yaitu apa yang kita lakukan (perilaku diri), siapa kita (identitas diri) serta bagaimana perasaan mengenai diri kita (penilaian diri). Konsep diri eksternal terbentuk dari physical self (kesehatan serta keterampilan), moral ethical (orang baik atau tidak baik), personal self (nilai diri di luar fisik serta lingkungan), family self (diri 25 sebagai anggota keluarga) serta social self (penilaian diri dalam interaksi dengan lingkungan). Menurut Burns (1993) terdapat lima sumber yang sangat penting dalam pembentukan konsep diri, yaitu : a) Citra tubuh, evaluasi terhadap diri (fisik) sebagai suatu objek yang jelas berbeda; b) Bahasa, kemampuan untuk mengkonseptualisasikan serta memverbalisasikan diri serta orang lain; c) Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungannya mengenai bagaimana orang lain yang dihormatinya memansertag pribadi tersebut serta mengenai bagaimana pribadi tadi secara relatif ada dibandingkan dengan norma serta nilai masyarakat yang bermacam-macam; d) Identifikasi dengan model peranan seks yang sesuai stereotype; e) Pola membesarkan anak. 2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada remaja, selain faktor lingkungan yaitu keluarga, guru serta teman sebaya, faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri siswa itu sendiri juga sangat mempengaruhi. Hurlock (1997) mengemukakan faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja adalah sebagai berikut ini. a. b. c. Usia kematangan. Remaja yang matang lebih awal, yang diperlukan seperti orang yang hampir dewasa mengmbangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Penampilan diri. Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Kepatutan seks. Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat serta perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. 26 d. e. f. g. h. Nama serta julukan. Remaja peka serta merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan. Hubungan keluarga. Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain serta ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Teman-teman sebaya. Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara, yaitu : 1. Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan mengenai konsep teman-temannya mengenai dirinya. 2. Ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok. Kreatifitas. Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain serta dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas serta identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Cita-cita. Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu serta reaksi-reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya serta memberikan konsep diri yang lebih buruk atau negatif. Lebih lanjut Syamsu Yusuf (2002) mengemukakan bahwa terdapat delapan faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri , yaitu : a. Kondisi Fisik Kondisi Fisik merupakan hal yang paling kelihatan serta yang paling dapat dirasakan, sehingga Kondisi Fisik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi kosep diri, bahkan Burns (1993) mengungkapkan bahwa tubuh merupakan ciri yang sentral di dalam banyak persepsi diri. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jourard serta Secord (Burns, 1993) bahwa perasaan harga diri yang tinggi berkorelasi kuat dengan sikap penerimaan terhadap keadaan fisik seseorang. b. Cita-cita/Harapan Cita-cita merupakan sesuatu yang diinginkan oleh seseorang atau pengharapan bagi diri, dalam istilah lain disebut diri ideal (Calhoun&Acocella, 1995). Cita-cita/Harapan merupakan hal yang penting bagi pembentukan konsep diri. Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu serta reaksi-reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya serta memberikan konsep diri yang lebih buruk atau negatif. Semakin senjang diri ideal seseorang dengan kenyataan dirinya, maka konsep dirinya akan semakin negatif. Tetapi apabila individu memiliki pengharapan yang sesuai dengan keadaan dirinya, maka individu tersebut akan memiliki konsep diri yang positif. 27 c. Kondisi Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pendidikan bagi individu, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan sangat berdampak pada konsep diri anak. Selain itu keharmonisan hubungan diantara anggotaanggota keluarga juga mempengaruhi konsep diri anak. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian Stott (Burns,1993), didapatkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga di mana terdapat penerimaan, rasa saling percaya serta kecocokan diantara orang tua serta anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih mandiri serta berpansertagan lebih positif mengenai diri mereka sendiri (memiliki konsep diri yang positif). Sejalan dengan pendapat di atas, Coopersmith (Burns,1993) menyatakan bahwa konsep diri yang positif lebih mungkin timbul bila anak-anak diperlakukan dengan penghargaan, diberikan standar-standar yang didefinisikan dengan jelas serta baik, serta diberikan pengharapan-pengharapan akan sukses yang masuk akal. d. Teman Sebaya Ketika kanak-kanak, konsep diri yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya yaitu keluarga, namun ketika memasuki masa remaja, ia mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya. Ia mempunyai lebih banyak teman, lebih banyak kenalan serta sebagai akibatnya, ia mempunyai lebih banyak pengalaman. 2.3 Kajian Penelitian Yang Berhubungan Penelitian Yanti (2008) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar pada Mahasiswa Program S1 di Perguruan Tinggi Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsep diri pada mahasiswa program S1 dengan motivasi belajar termasuk dalam kategori sedang sebanyak 56 mahasiswa. Disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri mahasiswa dengan motivasi belajar dengan hasil uji kolerasi product moment diperoleh nilai koefisien kolerasi hitung sebesar 0,621 yang berarti hubungan kedua variabel menunjukkan adanya hubungan kuat. Penelitian Lutfi (2009) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar pada Mahasantrimahad Sunan Ampel Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan 28 yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi belajar dengan kontribusi hubungan sebesar 46,3%. Penelitian Sahputra (2009) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar pada Mahasiswa S1 Keperawatan Semester III Kelas Ekstensi PSIK FK USU Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara konsep diri dengan motivasi belajar terdapat hubungan yang bermakna dengan r=0,384 dan p=0,006. Penelitian Aditi (2012) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 7 Padang Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri yang yang dimiliki siswa kelas XI di SMA Negeri 7 Padang adalah lebih dari separuh siswa memiliki konsep diri positif (55,7%) dan sebagian besar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi (88,1%). Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsep diri dengan motivasi belajar siswa dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Sedangkan Khikmah (2008) tentang Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Konsep Diri Akademik Pada Santri Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara motivasi belajar dengan konsep diri tidak ada hubungan yang signifikan dengan r=0,193 dan p=0,534 (p>0,05). Berarti di dalam penelitian ini aspek dari motivasi belajar tidak berpengaruh terhadap konsep diri akademik. 29 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dan motivasi belajar pada siswa kelas X Teknik Kendaraan Ringan SMK Saraswati Salatiga. 30