hubungan antara konsep diri dan motivasi belajar siswa kelas x

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Motivasi Belajar
2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak
(move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu,
membuat
mereka
tetap
melakukannya,
dan
membantu
mereka
dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Menurut Santrock (2007), motivasi adalah proses yang memberi semangat,
arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah
perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Dalam kegiatan belajar,
motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa
yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan
belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000).
Uno (2008) menjelaskan motivasi sebagai dorongan dasar
yang
menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri
seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan
dorongan dalam dirinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari
luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai
dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota
masyarakat.
10
Uno (2008) menjelaskan motivasi dan belajar merupakan dua hal yang
saling mempengaruhi. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif
permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan
(reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan
berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor
ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan
kegiatan belajar yang menarik.
Uno (2008) menjelaskan motivasi belajar sebagai dorongan internal dan
eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang
mendukung. Hal ini mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang
dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) adanya hasrat dan keinginan berhasil; b) adanya kebutuhan dan dorongan dalam
belajar; c) adanya harapan dan cita-cita masa depan; d) adanya penghargaan
dalam belajar; e) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; f) adanya
lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat
belajar dengan baik.
Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa dengan
menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang
menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga
tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.
11
2.1.2 Jenis-jenis Motivasi Belajar
Ryan dan Deci (dalam Luqman, 2011) dalam teori self-determination
membagi tipe motivasi berdasarkan orientasi tujuannya (goal oerientation) yaitu,
amotivation, intrinsic motivation, dan extrinsic motivation, berikut penjelasannya;
a.
Amotivation
Ryan dan Deci (2000) menjelaskan bahwa amotivation yaitu sebagai
bentuk kurangnya niat dalam melakukan sesuatu. Ketika tidak termotivasi,
tingkah laku seseorang terlihat kurangnya niat atau hasrat dan kurangnya rasa
alasan personal dalam bertindak. Amotivasi adalah hasil dari tidak adanya
perhatian terhadap aktifitas, tidak merasa kompeten untuk melakukan sesuatu,
atau tidak percaya bahwa sesuatu yang diinginkan akan ada hasilnya.
Barkoukis, et al (dalam Syah, 2011) menjelaskan bahwa amotivation adalah
tidak adanya kemungkinan dari sesuatu yang akan terjadi antara suatu tindakan
yang dilakukan dan hasil akhirnya. Individu yang amotivated tidak terlihat seperti
memiliki maksud dan tujuan dan mereka tidak terlihat seperti memiliki
pendekatan pada hasil akhirnya secara sistematis. Keterlibatan mereka dalam
suatu aktifitas adalah bukan sebuah hasil yang mereka inginkan.
Barkoukis, et al (dalam Syah, 2011) menjelaskan bahwa amotivation
disebabkan oleh empat, yaitu: (a) keyakinan mereka tentang kurangnya
kemampuan untuk melakukan aktifitas; (b) keyakinan mereka bahwa strategi yang
diadopsi tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan; (c) keyakinan mereka
terhadap aktifitas tersebut terlalu membebani individu tersebut; (d) keyakinan
bahwa meskipun usaha yang dilakukan sangat tinggi itu tidak sebanding dengan
kesuksesan yang diraih pada kinerja dalam penyelesaian tugas.
12
b.
Intrinsic Motivation
Ryan dan Deci (2000) mendefinisikan motivasi instrinsik sebagai
melakukan suatu aktifitas untuk memenuhi kepuasan dasar ketimbang untuk
memisahkan akibat yang akan terjadi dari aktifitas tersebut. Ketika secara
instrinsik termotivasi seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu untuk
kesenangan atau melibatkan tantangan melainkan karena dorongan dari luar,
tekanan, hadiah atau penghargaan. Meskipun begitu, dengan kata lain, motivasi
instrinsik timbul bersamaan dengan diri individu, motivasi instrinsik juga timbul
dari hubungan antara individu dan aktifitas yang di lakukannya.
Sedangkan Sardiman (2008) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak
perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang yang senang membaca, tidak
usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku
untuk dibacanya.
Kemudian kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya
(misalnya kegiatan belajar), maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini
adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu
sendiri. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk
motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dengan diteruskan
berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan
aktivitas belajarnya. Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi intrinsik
akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang
ahli dalam bidang studi tertentu.
13
c.
Extrinsic Motivation
Ryan dan Deci (2000) menjabarkan motivasi ekstrinsik sebagai konstruk
yang berhubungan apabila sebuah aktifitas selesai dilakukan dengan perintah
untuk mencapai beberapa hasil yang terpisah. Motivasi ekstrinsik demikian
berbeda dengan motivasi intrinsik, yang mana melakukan aktifitas semata-mata
hanya untuk kesenangan dari melakukan aktfitas tersebut, dari pada nilai yang
yang ada pada aktifitas tersebut.
Sebagai contoh, pelajar yang mengerjakan tugasnya hanya karena dia takut
terkena sangsi dari orang tuanya jika tidak mengerjakan tugas tersebut juga
termasuk tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik karena dia mengerjakan
tugas tersebut untuk mencapai hasil yaitu menghindari sangsi yang akan
diberikan.
Begitu juga, seorang pelajar yang mengerjakan tugas karena dia secara
pribadi percaya apa yang dia kerjakan itu bernilai atau berarti untuk dirinya dalam
memilih karir di masa depan juga termasuk termotivasi secara ekstrinsik karena
dia juga bernanggapan dia melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang ada
melainkan karena dia menemukan ketertarikan dalam melakukan hal tersebut.
Sardiman (2008) motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan
berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu
belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai
baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya, atau temannya. Jadi yang penting bukan
karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang
baik, atau agar mendapatkan hadiah.
14
Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk
motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan
dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar.
Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi ekstrinsik ini tidak baik atau tidak
penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan
komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang
menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik.
2.1.3 Aspek-aspek Motivasi Belajar
Aspek-aspek motivasi belajar menurut Walgito (2004), yaitu :
a.
Aspek arousal merupakan keadaan dorongan dalam diri organism, yaitu
kesiapan bergerak karena kebutuhan jasmani karena keadaan mental serta
berpikir dan ingatan.
b.
Aspek direction merupakan perilaku yang timbul dan terarah karena
keadaan.
c.
Aspek maintenance merupakan upaya mempertahankan tingkah laku untuk
mencapai sasaran.
Motif sebagai pendorong umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait-
mengkait dengan faktor-faktor lain atau hal-hal yang dapat mempengaruhi motif
tersebut. Kalau orang ingin mengetahui arah sesuatu seperti yang dikerjakan,
maka orang tersebut akan terkait dengan motivasi atau perilaku yang termotivasi
(motivated behavior).
Aspek-aspek motivasi belajar menurut Purwanto dan Wijayanti (2004)
menyatakan motivasi mengandng komponen pokok, yaitu:
15
a.
Menggerakkan berarti menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin
seseorang dengan cara tertentu.
b.
Motivasi yang mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku, sehingga
menyediakan suatu orientasi tujuan tingkah laku individu diarahkan pada
sesuatu.
c.
Untuk menopang dan menjaga tingkah laku, lingkungan sekitar harus
menguatkan intensitas dan arah dorongan-dorongan dan kekuatan individu.
2.1.4 Bentuk-bentuk Motivasi Belajar
Proses belajar-mengajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik
diperlukan untuk mendorong siswa agar turut melakukan aktivitas belajarnya.
Menurut Sardiman (2006) ada beberapa bentuk dan cara yang dapat digunakan
untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah:
a.
Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Bagi
siswa angka-angka itu merupakan motivasi yang kuat. Sehingga yang biasa
dikejar siswa adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik-baik.
b.
Hadiah
Hadiah dapat dikatakan sebagai motivasi tetapi tidak selalu karena hadiah
untuk suatu pekerjaan mungkin tidak akan menarik perhatian bagi seseorang yang
tidak senang dan tidak berbakat dalam pekerjaan tersebut.
c.
Saingan atau kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat dijadikan sebagai alat motivasi untuk
mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun
persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar.
d.
Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas
dan menerima sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan
harga diri adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting.
Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang
baik dengan menjaga harga dirinya.
e.
Memberi ulangan
Para siswa akan giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Memberi
ulangan seperti juga merupakan sarana motivasi.
16
f.
Mengetahui hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan apalagi kalau terjadi kemajuan akan
mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui grafik hasil
belajar semakin meningkat maka ada motivasi dalam diri siswa untuk terus
belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
g.
Pujian
Pujian ini merupakan suatu bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus
merupakan motivasi yang baik. Dengan pujian yang tepat yang menyenangkan
dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri.
h.
Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara
tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.
i.
Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk
belajar. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik memang ada motivasi
untuk belajar sehingga hasilnya akan baik.
j.
Minat
Motivasi sangat erat hubungannya dengan minat. Motivasi muncul karena
ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepat kalau minat merupakan alat
motivasi yang pokok. Proses belajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan
minat.
k.
Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik olah siswa, merupakan alat
motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang hendak
dicapai, karena dirasa berguna dan menguntungkan maka akan timbul gairah
untuk terus belajar.
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Dalam proses belajar motivasi dapat tumbuh maupun hilang atau
berubahdikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini
fakor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar menurut Spitzer’s
(dalam Frith, 2004);
a.
Action
Keterlibatan pelajar secara aktif dalam proses pembelajaran baik secara
fisik dan mental.
b.
Fun
Kesenangan, membantu untuk memperkuat pelajar dan mengembangkan
kesempatan dalam format yang berbeda dan keterlibatan pelajar. Permainan
komputer adalah sebuah contoh yang baik bagaimana menyatukan aktifitas belajar
yang menyenangkan.
17
c.
Choice
Pilihan, mengembangkan variasi dan kontrol pembelajaran. Pilihan
mungkin dapat dikembangkan melalui pemilihan metode pembelajaran, isi atau
materi intruksi.
d.
Social Interaction
Interaksi sosial, adalah kebutuhan tertinggi berdasarkan hirarki kebutuhan
Maslow. Kesempatan atau peluang untuk berinteraksi sosial dapat dicontohkan
melalui diskusi grup kecil, panduan teman sebaya, kolaborasi antara pemecahan
masalah dan pembuat keputusan.
e.
Error Tolerance
Toleransi kesalahan, biasanya jarang terjadi di latar pendidikan. Pelajar
harus merasa nyaman ketika berbuat kesalahan dan mempunyai kesempatan
belajar dari kesalahan tersebut.
f.
Measurement
Penilaian, seperti nilai pada pelajaran olahraga bisa menjadi faktor yang
memotivasi. Dalam penilaian lingkungan pembelajaran dapat dikelompokkan ke
dalam daya yang dapat meningkatkan meliputi pemusatan pada evaluasi formatif,
mengumpulkan masukan dari pelajar pada apa yang seharusnya di nilai, dan
mendorong penilaian diri.
g.
Feedback
Dalam pelajaran, umpan balik ini selalu menjadikan anak kurang berani.
Umpan balik yang membangun harus diterapkan secara berlanjut, mengarahkan
dan memusatkan hal positif kepada bagaimana kinerja si anak dapat
dikembangkan di masa depan.
h.
Challenge
Tantangan, dapat memotivasi terutama sekali jika respon pelajar pada
tantangan tersebut melalui setting tujuan (goal setting). Secara mengejutkan
setting tujuan yang dilakukan secara pribadi cenderung lebih ambisius dari pada
yang dilakukan oleh orang lain, dalam artian, tujuan yang di inginkan berdasarkan
keinginan sendiri dari pada tujuan yang di arahkan oleh orang lain.
i.
Recognition
Pengakuan, harus tampak pada saat pencapaian yang rendah begitu juga
yang tinggi. Ini begitu penting untuk mengarahkan hal-hal yang positif kepada
pelajar.
2.2.6 Fungsi Motivasi Belajar
Menurut Sardiman (2006) bahwa motivasi selain berfungsi sebagai
pendorong usaha dan pencapaian prestasi juga berfungsi sebagai berikut:
a.
Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi.
b.
Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang telah dicapai.
18
c.
Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan mana yang
akan dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan
perbuatan- perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
2.2.7 Motivasi Belajar pada Anak Berbakat
Menurut Heward (1996), karakteristik perilaku belajar dengan motivasi
tinggi yang dimiliki oleh anak berbakat, yaitu:
a.
Konsisten dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi minatnya.
b.
Senang mengerjakan tugas secara independen dimana mereka hanya
memerlukan sedikit pengarahan.
c.
Ingin belajar, menyelidiki, dan mencari lebih banyak informasi.
d.
Memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal pembelajaran, seperti
mudah menangkap pelajaran, memiliki ketajaman daya nalar, daya
konsentrasi baik, dan lain sebagainya.
2.2
Konsep Diri
2.2.1 Pengertian Konsep Diri
Salah satu aspek kepribadian yang akan sangat mewarnai perilaku individu
adalah adalah konsep diri. Konsep diri adalah bagian yang penting dalam
kehidupan individu, konsep diri merupakan refleksi yang dipandang, dirasakan,
dan dialami individu mengenai dirinya sendiri. Adanya konsep diri tersebut
menunjang individu menjalani hidupnya, karena bagaimanapun dia memandang
dirinya begitu pula dia menjalani kehidupannya.
19
Konsep diri atau Self-concept menurut Syamsu Yusuf (2002) yang
dimaksud dengan Self-concept adalah (a). persepsi, keyakinan, perasaan, atau
sikap seseorang tentang dirinya sendiri. (b). Kualitas persiapan individu tentang
dirinya, dan (c). Suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan
pandangan orang lain tentang dirinya.
Manning (2007) menjelaskan konsep diri (self-concept) sebagai persepsi
pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam
persepsi diri (self-perception) yang ada pada dirinya. Pada perkembangan pelajar,
mereka lebih baik memahami bagaimana orang lain memandang kemampuan
mereka dan lebih baik mereka membedakan antara usaha-usaha yang mereka
lakukan dan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Sebagai hasilnya,
persepsi-diri mereka menjadi lebih tinggi dan akurat.
Wigfield, et al (2005) menjelaskan konsep diri sebagai kepercayaan diri
dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran
mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.
Lebih lanjut Mead (dalam Rohman, 2011), konsep diri adalah kemampuan
seseorang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek. Diri adalah
kemampuan khas untuk menjadi subyek sekaligus obyek.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan
konsep diri merupakan pandangan individu mengenai segala sesuatu yang terkait
dengan dirinya sendiri baik yang bersifat, fisik, psikis, serta sosial yang diperoleh
dari pengalaman serta interaksi dengan orang lain.
20
2.2.2 Komponen Konsep Diri
Konsep diri merupakan multi dimensional, menurut Calhoun & Acocella
(1995), konsep diri memiliki tiga dimensi yaitu pengetahuan mengenai diri
sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, serta penilaian mengenai diri.
Pudjijogyanti (1993) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dari dua komponen
yaitu komponen kognitif serta komponen afektif.
a.
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu mengenai dirinya,
misalnya “saya ini anak bodoh”, atau “saya ini anak pemberani”, serta
sebagainya. Komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya?”,
yang akan membuat gambaran objektif mengenai diri saya (the picture
about my self), serta melahirkan citra diri (self-image).
b.
Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap dirinya.
Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan diri (self-acceptance), serta
harga diri (self-esteem) pada individu. Contoh pernyataan dari komponen
afektif adalah “saya kecewa sebagai anak yatim”, atau “walaupun kulit saya
hitam, tapi saya senang’, serta sebagainya. Jadi komponen afektif
merupakan gambaran subjektif seseorang mengenai dirinya sendiri.
Menurut Syamsu Yusuf (2002) Self-concept memiliki tiga komponen
utama:
a.
Physical self-concept ; yaitu citra diri seseorang tentang penampilan
dirinya/body image.
b.
Psychological
self-concept
;
yaitu
konsep
sesorang
tentang
kemampuan/keunggulan dan ketidakmampuan/kelemahan dirinya, dan
21
masa depannya, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya; honesty,
selfcomfidance, independence, dan courage.
c.
Attitudinal ; yaitu komponen yang menyangkut perasaan seseorang tentang
dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa
depannya,
sikapnya
terhadap
keberhargaan,
kebanggaan
dan
keterhinaannya.
2.2.3 Aspek-aspek Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seorang
individu. Gambaran mental yang dimiliki oleh individu memiliki tiga aspek yaitu
pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang
dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri
(Calhoun & Acocella, 1990).
a.
Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang
dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri.
Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin,
kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain yang merupakan sesuatu yang merujuk pada
istilah kualitas, seperti individu yang egois, baik hati, tenang, dan bertempramen
tinggi. Pengetahuan bisa diperoleh dengan membandingkan diri individu dengan
kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap
sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku
individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembanding.
22
b.
Harapan
Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain individu mempunyai
satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set
pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang
(Rogers, dalam Calhoun & Acocella, 1990). Singkatnya setiap individu
mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbedabeda pada setiap individu.
c.
Penilaian
Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri.
Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari.
Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya
saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya.
2.2.4 Proses Pembentukan serta Perkembangan Konsep Diri pada Remaja
Erikson (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa
yang penuh gejolak (strum und drang). Keremajaan adalah merupakan suatu
“penangguhan psikososial” pada saat harus membuat pilihan-pilihan seperti
pilihan karir, nilai-nilai, gaya hidup, serta hubungan personal, karena pengetahuan
serta pengalaman mereka tidak memadai. Dalam rangka mencapai identitas
dirinya, mereka sering kali menunjukan perilaku-perilaku yang bermengenaian
dengan nilai-nilai yang ada di keluarga maupun di masyarakat.
Mereka sering kali terlibat dalam kelompok-kelompok kecil yang
kompak,saling membantu dalam obrolan-obrolan sebagai akibat dari krisis
identitas yang mereka alami. Menurut Erikson (dalam Burns, 1993), bahaya dari
23
periode masa remaja ini adalah terjadinya “difusi diri” atau “diri mengambang”.
Misalnya munculnya perasaan tidak mampu menarik perhatian orang-orang
tertentu. Hal itu juga disebabkan antara lain oleh perubahan yangbegitu cepat pada
dirinya. Sejauh mana hal itu akan mengarah pada masalah-masalah psikologis
yang lebih parah atau bukan, seperti mengarah pada tindakan kejahatan , neurosis,
ataupun psikosis, tergantung pada bagaimana perkembangan konsep diri
sebelumnya.
Apabila perkembangan konsep diri sebelumnya positif, self-esteemnya juga
berkembang dari pengalaman-pengalaman kesuksesan, maka remaja remaja yang
bersangkutan akan dapat melihat kembali visi hidupnya secara lebih jelas di masa
selanjutnya. Sekalipun tidak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari
gejolak-gejolak perasaan tersebut. Erikson gejala-gejala itu sebagai sesuatu yang
wajar sebagai proses transisional dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Dalam kondisi seperti itu, penting sekali bagi remaja besertanya orang
dewasa yang dapat dijadikan sebagai panutan atau figur identifikasi. jika tidak,
masalah-masalah kepribadian yang dialaminya itu bisa mengarah pada
delinquensi moral. Paling tidak dalam bentuk tindakan-tindakan agresif yang
dapat merugikan diri sendiri. Seperti melalaikan tugas-tugasnya sebagai seorang
anak, sebagai siswa, atau sebagai pribadi yang masih dalam perkembangan.
Konsep diri pada individu tidak hanya ditentukan oleh satu faktor,
melainkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang melekat pada
dirinya maupun hal-hal yang berada diluar dirinya, yaitu lingkungan.
Terbentuknya konsep diri pada individu tergantung pada keyakinannya terhadap
24
penilaian serta pendapat orang lain mengenai dirinya, maka dari itu hubungan
individu dengan orang lain merupakan faktor yang penting dalam proses
terbentuknya konsep diri.
Berkenaan dengan proses pembentukan konsep diri, Gunarsa (dalam
Rosmiati, 2004) mengungkapkan bahwa konsep diri tersusun atas tahapantahapan. Yang paling dasar adalah konsep diri primer, dimana konsep ini
terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu
lingkungan rumahnya sendiri.
Kemudian setelah anak bertambah besar, ia mempunyai hubungan yang
lebih luas daripada hanya sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya. Ia
mempunyai lebih banyak teman, lebih banyak kenalan serta sebagai akibatnya, ia
mempunyai lebih banyak pengalaman. Akhirnya anak akan memperoleh konsep
diri yang baru serta berbeda dari apa yang sudah terbentuk dalam lingkungan
rumahnya. Ini menghasilkan suatu konsep diri sekunder. Bagaimana konsep diri
sekunder ini terbentuk, banyak ditentukan pula oleh bagaimana konsep diri
primernya.
Sejalan dengan pendapat itu, William Fitts (dalam Fridayani, 2004)
mengungkapkan bahwa konsep diri terdiri dari dua bagian yaitu konsep diri
internal yang terbentuk oleh pengamatan individu mengenai diri sendiri yaitu apa
yang kita lakukan (perilaku diri), siapa kita (identitas diri) serta bagaimana
perasaan mengenai diri kita (penilaian diri). Konsep diri eksternal terbentuk dari
physical self (kesehatan serta keterampilan), moral ethical (orang baik atau tidak
baik), personal self (nilai diri di luar fisik serta lingkungan), family self (diri
25
sebagai anggota keluarga) serta social self (penilaian diri dalam interaksi dengan
lingkungan).
Menurut Burns (1993) terdapat lima sumber yang sangat penting dalam
pembentukan konsep diri, yaitu : a) Citra tubuh, evaluasi terhadap diri (fisik)
sebagai suatu objek yang jelas berbeda; b) Bahasa, kemampuan untuk
mengkonseptualisasikan serta memverbalisasikan diri serta orang lain; c) Umpan
balik yang ditafsirkan dari lingkungannya mengenai bagaimana orang lain yang
dihormatinya memansertag pribadi tersebut serta mengenai bagaimana pribadi
tadi secara relatif ada dibandingkan dengan norma serta nilai masyarakat yang
bermacam-macam; d) Identifikasi dengan model peranan seks yang sesuai
stereotype; e) Pola membesarkan anak.
2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada remaja,
selain faktor lingkungan yaitu keluarga, guru serta teman sebaya, faktor-faktor
internal yang terdapat dalam diri siswa itu sendiri juga sangat mempengaruhi.
Hurlock (1997) mengemukakan faktor yang mempengaruhi konsep diri
remaja adalah sebagai berikut ini.
a.
b.
c.
Usia kematangan. Remaja yang matang lebih awal, yang diperlukan seperti
orang yang hampir dewasa mengmbangkan konsep diri yang
menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Penampilan diri. Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa
rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap
cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan
perasaan rendah diri.
Kepatutan seks. Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat serta perilaku
membantu remaja mencapai konsep diri yang baik.
26
d.
e.
f.
g.
h.
Nama serta julukan. Remaja peka serta merasa malu bila teman-teman
sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama
julukan yang bernada cemoohan.
Hubungan keluarga. Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat
dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan
orang lain serta ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.
Teman-teman sebaya. Teman-teman sebaya mempengaruhi pola
kepribadian remaja dalam dua cara, yaitu :
1. Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan mengenai
konsep teman-temannya mengenai dirinya.
2. Ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian
yang diakui oleh kelompok.
Kreatifitas. Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam
bermain serta dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan
individualitas serta identitas yang memberi pengaruh yang baik pada
konsep dirinya.
Cita-cita. Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan
mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu
serta reaksi-reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang lain atas
kegagalannya serta memberikan konsep diri yang lebih buruk atau negatif.
Lebih lanjut Syamsu Yusuf (2002) mengemukakan bahwa terdapat delapan
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri , yaitu :
a.
Kondisi Fisik
Kondisi Fisik merupakan hal yang paling kelihatan serta yang paling dapat
dirasakan, sehingga Kondisi Fisik merupakan hal yang penting dalam
mempengaruhi kosep diri, bahkan Burns (1993) mengungkapkan bahwa tubuh
merupakan ciri yang sentral di dalam banyak persepsi diri. Hal tersebut diperkuat
oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jourard serta Secord (Burns, 1993)
bahwa perasaan harga diri yang tinggi berkorelasi kuat dengan sikap penerimaan
terhadap keadaan fisik seseorang.
b.
Cita-cita/Harapan
Cita-cita merupakan sesuatu yang diinginkan oleh seseorang atau
pengharapan bagi diri, dalam istilah lain disebut diri ideal (Calhoun&Acocella,
1995). Cita-cita/Harapan merupakan hal yang penting bagi pembentukan konsep
diri. Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami
kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu serta reaksi-reaksi
bertahan di mana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya serta memberikan
konsep diri yang lebih buruk atau negatif. Semakin senjang diri ideal seseorang
dengan kenyataan dirinya, maka konsep dirinya akan semakin negatif. Tetapi
apabila individu memiliki pengharapan yang sesuai dengan keadaan dirinya, maka
individu tersebut akan memiliki konsep diri yang positif.
27
c.
Kondisi Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pendidikan
bagi individu, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan sangat berdampak
pada konsep diri anak. Selain itu keharmonisan hubungan diantara
anggotaanggota keluarga juga mempengaruhi konsep diri anak. Hal itu sesuai
dengan hasil penelitian Stott (Burns,1993), didapatkan bahwa anak-anak yang
berasal dari keluarga di mana terdapat penerimaan, rasa saling percaya serta
kecocokan diantara orang tua serta anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih
mandiri serta berpansertagan lebih positif mengenai diri mereka sendiri (memiliki
konsep diri yang positif). Sejalan dengan pendapat di atas, Coopersmith
(Burns,1993) menyatakan bahwa konsep diri yang positif lebih mungkin timbul
bila anak-anak diperlakukan dengan penghargaan, diberikan standar-standar yang
didefinisikan dengan jelas serta baik, serta diberikan pengharapan-pengharapan
akan sukses yang masuk akal.
d.
Teman Sebaya
Ketika kanak-kanak, konsep diri yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi
oleh lingkungan terdekatnya yaitu keluarga, namun ketika memasuki masa
remaja, ia mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar
hubungan dalam lingkungan keluarganya. Ia mempunyai lebih banyak teman,
lebih banyak kenalan serta sebagai akibatnya, ia mempunyai lebih banyak
pengalaman.
2.3
Kajian Penelitian Yang Berhubungan
Penelitian Yanti (2008) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan
Motivasi Belajar pada Mahasiswa Program S1 di Perguruan Tinggi Kota Malang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsep diri pada mahasiswa program
S1 dengan motivasi belajar termasuk dalam kategori sedang sebanyak 56
mahasiswa. Disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri
mahasiswa dengan motivasi belajar dengan hasil uji kolerasi product moment
diperoleh nilai koefisien kolerasi hitung sebesar 0,621 yang berarti hubungan
kedua variabel menunjukkan adanya hubungan kuat.
Penelitian Lutfi (2009) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan
Motivasi Belajar pada Mahasantrimahad Sunan Ampel Al-Aly UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
28
yang signifikan antara konsep diri dengan motivasi belajar dengan kontribusi
hubungan sebesar 46,3%.
Penelitian Sahputra (2009) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan
Motivasi Belajar pada Mahasiswa S1 Keperawatan Semester III Kelas Ekstensi
PSIK FK USU Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara konsep diri
dengan motivasi belajar terdapat hubungan yang bermakna dengan r=0,384 dan
p=0,006.
Penelitian Aditi (2012) dengan judul Hubungan Konsep Diri Dengan
Motivasi Belajar Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 7 Padang Tahun 2012. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsep diri yang yang dimiliki siswa kelas XI di
SMA Negeri 7 Padang adalah lebih dari separuh siswa memiliki konsep diri
positif (55,7%) dan sebagian besar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi
(88,1%). Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsep
diri dengan motivasi belajar siswa dengan nilai p=0,000 (p<0,05).
Sedangkan Khikmah (2008) tentang Hubungan Antara Motivasi Belajar
Dan Konsep Diri Akademik Pada Santri Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara motivasi belajar dengan
konsep diri tidak ada hubungan yang signifikan dengan r=0,193 dan p=0,534
(p>0,05). Berarti di dalam penelitian ini aspek dari motivasi belajar tidak
berpengaruh terhadap konsep diri akademik.
29
2.4
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara konsep diri dan motivasi belajar pada siswa kelas X Teknik
Kendaraan Ringan SMK Saraswati Salatiga.
30
Download