BAB II LANDASAN TEORI II.A. KONSEP DIRI II.A.1. Definisi Konsep

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. KONSEP DIRI
II.A.1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri merupakan hal yang penting artinya bagi kehidupan individu
karena pemahaman mengenai konsep diri akan menentukan dan mengarahkan
perilaku dalam berbagai situasi (Shavelson dalam Purwanti dkk., 2000), serta
dapat menentukan keberhasilan individu dalam hubungannya dengan masyarakat
(Hurlock, 1998). Menurut Burns (1993) konsep diri merupakan gambaran
campuran dari apa yang dipikirkan oleh individu, pendapat orang lain mengenai
diri individu dan diri individu yang diinginkan.
Selanjutnya Calhoun dan Acocella (1990) menjelaskan bahwa konsep diri
adalah gambaran mental individu terhadap dirinya sendiri yang terdiri dari
pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, pengharapan bagi diri sendiri, dan
penilaian terhadap diri sendiri. Sementara Centi (1993) mengatakan bahwa konsep
diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana
individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa
tentang dirinya sendiri, dan bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri
menjadi manusia sebagaimana yang diharapkan. Penglihatan individu atas dirinya
sendiri disebut gambaran diri (self image). Perasaan individu tentang dirinya
sendiri merupakan penilaian individu atas dirinya sendiri (self evaluation).
Harapan individu atas dirinya sendiri menjadi cita-cita diri (self ideal).
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Universitas Sumatera Utara
konsep diri merupakan gambaran mental individu yang berisikan tentang
bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan
pengetahuan diri, bagaimana individu merasa tentang dirinya yang merupakan
penilaian diri sendiri, serta bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri
sebagaimana yang diharapkan.
II.A.2. Perkembangan Konsep Diri.
Sewaktu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang diri sendiri
dan tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri serta tidak memiliki harapan
sendiri (Caplan, dalam Calhoun & Acocella, 1995).
Konsep diri terbentuk melalui sejumlah pengalaman yang tersusun secara
hirarki yang berkembang sejalan dengan pertumbuhannya, terutama sebagai
akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Baldwin
dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep
diri adalah hasil belajar individu yang diperoleh melalui hubungannya dengan
orang lain.
Menurut Cooley (dalam Calhoun & Acocella, 1990) interaksi individu
dengan orang lain merupakan sumber informasi penting bagi perkembangan
konsep diri. Individu biasanya menggunakan orang lain untuk menunjukkan siapa
dirinya. Individu membayangkan bagaimana pandangan orang lain terhadap
dirinya dan bagaimana orang lain menilai penampilannya. “Orang lain” yang
dianggap bisa mempengaruhi konsep diri seseorang adalah :
a. Orang tua
Universitas Sumatera Utara
Keluarga terutama orang tua merupakan lingkungan sosial pertama yang
ditemui individu pada awal kehidupannya. Orang tua memberikan pengaruh
yang besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Orang tua akan
memberikan informasi yang besar terhadap perkembangan konsep diri
individu. Orang tua akan memberikan informasi yang menetap pengharapan
bagi anaknya. Orang tua juga mengajar anak bagaimana cara menilai dirinya
sendiri. Anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau yang disia-siakan oleh
orang tuanya akan mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi tentang
dirinya sehingga hal ini akan membentuk konsep diri yang negatif pada anak
(Calhoun & Acocella, 1990).
b. Teman sebaya
Kelompok teman sebaya menduduki posisi kedua setelah orang tua dalam
mempengaruhi konsep diri anak. Dalam hal ini masalah penerimaan dan
penolakan dari teman sebaya akan mempengaruhi konsep diri anak.
c. Masyarakat
Masyarakat memiliki harapan tertentu seseorang dan harapan ini masuk ke
dalam diri individu, kemudian akan berusaha melaksanakan harapan tersebut.
Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak,
seperti siapa orang tuanya, ras dan lain-lain sehingga hal ini akan
mempengaruhi konsep diri seseorang.
Kemudian Brooks (dalam Sobur, 2005) mengatakan bahwa perkembangan
konsep diri dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Penilaian diri–memandang diri sendiri sebagai objek (Self Aperaisal-viewing
Self as Object).
Istilah ini menunjukkan suatu pandangann yang menjadikan diri sendiri
sebagai objek dalam komunikasi atau bagaimana kesan kita terhadap diri kita
sendiri. Pertama-tama kita mengamati perilaku fisik secara langsung
kemudian memberikan penilaian. Penilaian ini akan mempengaruhi kesan kita
terhadap diri sendiri. Semakin besar pengalaman positif yang dimiliki individu
semakin positif konsep dirinya. Sebaliknya semakin besar pengalaman negatif
yang dimiliki individu semakin negatif konsep dirinya.
2. Reaksi dan respon dari orang lain (Reaction and Response of Others)
Konsep diri tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri sendir
namun jufa tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri
sendiri namun juga berkembang dalam rangka interaksi kita dengan
masyarakat.
Dalam
berinteraksi
dengan
masyarakat
individu
akan
mendapatkan evaluasi. Oleh karena itu konsep diri dipengaruhi oleh reaksi
serta respon orang lain terhadap diri kita.
3. Peran yang kita mainkan–peran yang ditrerima (Roles you play–Role taking )
Setiap individu memainkan peran yang berbeda-beda dan pada setiap peran
tersebut individu diharapkan akan melakukan tindakan dengan cara tertentu
pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan dengan peran yang
berbeda berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Semakin banyak peran
yang kita mainkan dan dianggap positif oleh orang lain, semakin positif
konsep diri kita.
4. Kelompok rujukan (Reference Groups)
Universitas Sumatera Utara
Kelompok rujukan adalah kelompok dimana kita menjadi anggota di
dalamnya. Setiap kelompok rujukan memiliki norma tertentu yang mengatur
tingkah laku seseorang. Jika kita menganggap penilaian dan reaksi dari
kelompok rujukan itu penting maka hal ini akan menjadi kekuatan untuk
menentukan konsep diri kita. Semakin banyak kelompok rujukan yang
menganggap diri kita positif, semakin positif pula konsep diri kita.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diartikan kesimpulan bahwa individu
dilahirkan dengan belum memiliki konsep diri. Konsep diri terbentuk melalui
sejumlah pengalaman dan prsoes belajar. Adapun yang menjadi sumber informasi
bagi perkembangan konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain yaitu
orang tua, teman sebaya, serta masyarakat. Proses belajar yang dilakukan individu
dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh melalui penilaian yang dilakukan
terhadap dirinya sendiri, bagaimana reaksi danrespon orang lain terhadap apa
yang sudah dilakukan, tuntutan peran yang dimainkan serta penilaian dan reaksi
yang diterima dari kelompok rujukan.
II.A.3. Jenis-Jenis Konsep Diri
Hasil penilaian seseorang terhadap diri dapat berupa konsep diri yang
negatif maupun konsep diri yang positif. Menurut Calhoun & Acocella ( 1990)
konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
1. Konsep Diri Positif
Universitas Sumatera Utara
Dasar dari konsep dari yang positif
bukanlah kebanggan yang besar
tentang dirinya tetapi lebih kepada penerimaan diri. Individu yang
memiliki konsep diri yang positif adalah individu yang mengenai dirinya
dengan baik dan menerima diri apa adanya, bersifat stabil dan bervariasi
sehingga mampu menyimpan informasi yang positif atau negatif tentang
dirinya, mampu memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya tanpa menganggapnya sebagai suatu
ancaman, merancang tujuan yang realistik, menganggap hidup sebagai
sesuatu yang meyenangkan dan penuh kejutan, menganggap hidup sebagai
suatu proses penemuan sehingga mampu bertindak dengan berani dan
memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat.
2. Konsep Diri Negatif
Individu yang memiliki konsep diri yang negatif adalah individu yang
memiliki pandangan yang tidak teratur tentang dirinya, tidak mengenal
siapa dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya, berusaha untuk
mengubah konsep dirinya secara terus menerus atau melindungi konsep
dirinya yang kuat dengan cara mengubah atau menolak informasi baru,
menganggap apa yang diperolehnya tidak sebanding dengan apa yang
diperoleh orang lain, membuat tujuan yang sangat tinggi dan tidak realistik
sehingga sering mengalami kegagalan dalam mencapainya, percaya bahwa
dirinya tidak dapat mencapai sesuatu apapun yang berharga. Selain itu
individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu yang memiliki
pandangan yang terlalu stabil dan kaku terhadap dirinya sendiri akibat dari
didikan yang terlalu keras sehingga mereka menciptakan citra diri yang
Universitas Sumatera Utara
tidak menghendaki terjadinya penyimpangan dari seperangkat aturan yang
ada.
Selanjutnya Hurlock (1996) juga membagi konsep diri menjadi dua
tingkatan yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu dengan konsep
diri positif mengembangkan sifat percaya diri, harga diri dan kemampuan untuk
melihat dirinya sendiri secara realistis. Individidu juga mampu menilai
hubungannya dengan orang lain secara tepat dan menumbuhkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang baik. Sebaliknya individu yang memiliki konsep diri
negatif mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, individu masih
ragu dan kurang percaya diri sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan
sosial yang buruk.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka individu yang memiliki konsep diri
positif adalah individu yang mengenal dirinya dengan baik sehingga mampu
menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, mampu
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas serta mampu menyesuaikan
diri dengan baik. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif adalah
individu yang tidak memandang dirinya dengan sangat teratur atau terlalu stabil
serta tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik.
II.A.4. Dimensi Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh individu.
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), gambaran mental yang dimiliki individu
memiliki tiga dimensi yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang
diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
a. Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan
berkaitan dengan apa yang kita ketahui tentang diri kita, termasuk dalam
hal ini jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, usia dan sebagainya.
Pengetahuan ini diperoleh individu dengan cara membandingkan dirinya
dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan ini bisa dirubah dengan
cara merubah tingkat laku individu tersebut atau dengan cara mengubah
kelompok pembandingnya.
b. Pengharapan
Dimensi kedua dari konsep diri adalah pengharapan berkaitan dengan
kemungkinan menjadi apa kita dimasa mendatang dan sering disebut
sebagai diri idela (ideal self). Setiap individu memiliki harapan yang
berbeda-beda bagi dirinya sendiri. Harapan dapat membangkitkan
kekuatan yang akan
mendorong seseorang untuk mencapai harapan
tersebut dimasa depan.
c. Penilaian
Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian. Penilaian menyangkut
unsure evalusia, seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin
besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita tentang diri kita yang ideal
(ideal self) dan yang actual maka akan semakin terendah harga diri kita.
Sebaliknya orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan menyukai
siapa dirinya dan apa yang dikerjakannya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dimensi penilaian merupakan komponen pembentukan
konsep diri yang cukup signifikan. Deaux (1993) mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
kesenjangan antara diri kita yang aktual dan diri kita yang ideal akan
menimbulkan depresi, sementara bila kesenjangan antara diri kita yang
aktual dengan diri kita yang ideal semakin kecil maka kita akan
memperoleh kepuasan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang
dimiliki setiap individu terdiri dari 3 dimensi, yaitu pengetahuan mengenai diri
sendiri, penilaian mengenai diri sendiri, dan harapan mengenai diri sendiri.
Pngetahuan adalah apa yang diketahui individu tentang dirinya sendiri yang
diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan kelompok pembanding.
Pengharapan adalah apa yang diinginkan individu dimasa yang akan datang
Penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu terhadap dirinya saat ini
dengan apa yang menurutnya dapat terjadi dan bagaimana perasaaan individu
terhadap dirinya sendiri.
II.A.5. Perubahan Konsep Diri
Fitts & Hurlock (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa konsep diri
individu secara kontinu akan berkembang dan mengalami perubahan sepanjang
kehidupan hingga mencapai perkembangan tertentu yang relatif konsisten. Sulit
bagi seseorang untuk menilai keadaan dirinya belum stabil. Konsep diri yang
stabil sangat penting bagi remaja sebagai bukti keberhasilan remaja (dalam Eliana,
2003) ada beberapa faktor yang menyebabkan konsep diri menjadi tidak stabil
yaitu faktor perubahan fisik, lingkungan, dan peran (role).
Pada masa pubertas, remaja mengalami beberapa perubahan fisik yang
mendadak disertai dengan perubahan mental. Pada masa pubertas, konsep diri
Universitas Sumatera Utara
akan berubah dan hal ini merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
seseorang. Perubahan lingkungan juga bisa mempengaruhi perubahan konsep diri.
Misalnya anak yang harus berpisah dengan keluarganya karena kuliah di tempat
lain. Pengalaman ditempat yang baru, tentu berbeda dengan pengalaman ketika
tinggal dengan keluarga.
Perubahan peran juga dapat merubah konsep diri. Hal ini terjadi apabila
individu terpaksa menjalani peran itu atau karena individu tidak siap menjalani
peran
baru
tersebut.
Perubahan
peran
akan
menyebabkan
individu
mempertanyakan siapa dirinya, selain itu perubahan peran akan menimbulkan
masalah yang berkaitan dengan hubungan interpersonal sehingga pada akhirnya
akan meningkatkan identitas diri yang negatif (Shereran & Abraham dalam Baron,
1997). Adanya perbedaan tuntutan peran antara laki-laki dengan perempuan oleh
keluarga, sekolah dan masyarakat juga dapat mempengaruhi konsep diri
seseorang. Pria sering diharapkan untuk menjadi kuat, tidak cengeng dan tahan
menghadapi kehidupan sedangkan wanita dibenarkan untuk bersikap lembut atau
menangis. Dengan kata lain peran jenis kelamin turut mempengaruhi konsep diri
individu.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang
dimiliki setiap individu akan terus berkembang dan mengalami perubahan hingga
mencapai perkembangan tertentu yang relatif konsisten. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan konsep diri menjadi tidak stabil atau berubah yaitu :
perubahan fisik, perubahan lingkungan dan perubahan peran.
Universitas Sumatera Utara
II.B. PENYESUAIAN DIRI
II.B.1. Defenisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment
atau personal adjustment. Menurut Schneiders (dalam Ali & Asrori, 2004)
penyesuai diri dapat ditinjau dari 3 sudut pandang, yaitu :
1. Penyesuaian diri sebagai adaptasi (Adaptation)
Dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri cenderung diartikan
sebagai usaha untuk mempertahankan diri secara fisik, fisiologis, atau
biologis.
2. Penyesuaian diri sebagai konformitas (Conformity)
Dalam sudut pandang ini, setiap individu selalu diarahkan untuk
menghindari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun
emosional agar mereka tidak ditolak oleh lingkungannya dengan cara
mengikuti norma-norma yang berlaku.
3.
Penyesuaian diri sebagai penguasaan (Mastery)
Dalam sudut pandang ini, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan
untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara tertentu
sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi. Dengan kata
lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan individu menghadapi
realitas hidup dengan cara yang baik, akurat sehat dan mampu
bekerjasama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu
memanipulasi faktor lingkungan sehingga dorongan emosi, dan kebiasaan
menjadi lebih terkendali dan terarah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tiga sudut pandang diatas, penyesuaian diri dapat diartikan
sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku dapat
diartikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah
laku yang diperjuangkan individu agar dapat menghadapi kebutuhan-kebutuhan
internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan keselarasan
antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari lingkungan tempat
individu berada.
Menurut Mu’tadin (2005) penyesuai diri merupakan salah satu persyaratan
bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu. Dalam proses penyesuaian
diri, individu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi ini dapat
berupa
individu mengubah dirinya sesuai dengan keadaan lingkungan
(penyesuaian pasif) atau mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya
sendiri (penyesuaian aktif) (Gerungan dalam Sobur, 2005).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri
merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku
individu agar dapat menghadapi kebutuhan dari dalam dirinya, ketegangan,
frustasi serta konflik sehingga hubungan individu dengan lingkungannya menjadi
lebih harmonis.
II.B.2. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri,
karena kadang-kadang ada rintangan tertentu yang menyebabkan individu tidak
berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan tersebut bisa berasal
dari dalam diri individu atau bisa juga berasal dari luar diri individu. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Hartono dan Sunarto (2006), penyesuaian diri dapat dilakukan secara baik dan
buruk.
a. Penyesuaian Diri yang Baik
Menurut Hartono & Sunarto (2006) individu yang mampu melakukan
penyesuaian diri dengan baik ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Tindak menunjukkan adanya ketegangan emosional
2. Tidak menunjukkan mekanisme–mekanisme psikologis
3. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi
4. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri
5. Memiliki kemampuan untuk belajar
6. Menghargai pengalaman
7. Bersikap realistik dan obyektif
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Schneiders (1964) yang
mengatakan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki 7 karakteristik. Adapun 7
karakteristik penyesuaian diri yang normal menurut scneiders (1964), antara lain:
1. Tidak menunjukkan emosi yang berlebihan (absence of ecessive
emotionality)
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang
berlebihan atau emosi yang merusak. Individu mampu menanggapi berbagai
situasi atau masalah dengan emosi yang tenang dan terkontrol.
2. Tidak menunjukkan mekanisme psikologis (absence of psychological
mechanisms)
Dalam menghadapi masalah ataupun konflik, individu yang memiliki
penyesuaian diri yang normal akan menunjukkan reaksi berterus terang
Universitas Sumatera Utara
daripada reaksi yang disertai dengan mekanisme-mekanisme psikologis
seperti rasionalisasi, proyeksi, sour-grape, atau kompensasi.
3. Tidak menunjukkan perasaan frustasi pribadi (absence of the sense of
personal frustration)
Penyesuaian diri yang normal sebagian besar ditandai dengan perasaan
bebas dari frustasi pribadi. Perasaan frustasi hanya akan membuat individu
mengalami kesulitan dan kadangkala tidak memungkinkan individu untuk
beraksi secara normal terhadap situasi atau masalah.
4. Adanya pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation
and self direction)
Individu yang melakukan penyesuaian diri yang normal biasanya mampu
mempertimbangkan masalah, konflik dan frustasi secara rasional serta
mampu mengarahkan dirinya untuk menyelesaikan masalah yang muncul.
5. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)
Proses penyesuaian diri yang normal ditandai dengan sejumlah pertumbuhan
atau perkembangan yang berhubungan dengan cara menyelesaikan situasisituasi yang penuh konflik, frustasi dan ketegangan.
6. Memanfaatkan pengalaman (utilization of past experience)
Penyesuian diri yang normal ditandai dengan kemampuan individu untuk
belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu dalam menghadapi
tuntutan situasi yang ada.
7. Sikap realistik dan objektif (realistic and objective atitude)
Karakteristik ini berhubungan dengan orientasi individu dalam menghadapi
kenyataan. Sikap ini didasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu
Universitas Sumatera Utara
dan pemikiran rasional yang memungkinkan individu untuk menilai dan
menghargai situasi, masalah, maupun keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Menurut Hartono & Sunarto (2006) penyesuaian diri yang baik dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti :
1. Menghadapi masalah secara langsung
Dalam situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya
dengan segala akibatnya. Individu melakukan segala tindakan sesuai
dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seseorang mahasiswa
terlambat menyerahkan tugas karena sakit maka dia memberitahukan
kepada dosennya apa yang menjadi penyebabnya.
2. Melakukan penjelajahan ( eksplorasi)
Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat
menghadapi dan memecahkan masalah. Misalnya seorang mahasiwa yang
merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas akan mencari bahan
untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan cara membaca buku,
konsultasi dan diskusi.
3. Coba-coba (trial and eror )
Dalam cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba dalam arti
kalau menguntungkan akan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan.
4. Mencari pengganti ( substitusi)
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat
memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya gagal
nonton film digedung bioskop, dia pindah nonton tv.
5. Menggali kemampuan diri
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan
khusus yang ada dalam dirinya, kemudian mengembangkannya sehingga
dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang mahasiwa yang
mengalami
kesulitan
dalam
keuangan,
berusaha
mengembangkan
kemampuannya dengan cara memberikan les private. Dari usahanya
tersebut ia dapat mengatasi kesulitan keuangannya.
6. Belajar
Dengan belajar individu akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan
yang dapat membantunya dalam menyesuaikan diri. Misalnya seorang
guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang
berbagai pengetahuan keguruan.
7. Inhibisi dan pengendalian diri
Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus
dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang
disebut
dengan
inhibisi.
Disamping
itu
individu
harus
mampu
mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakan.
8. Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat
Dalam situasi ini individu melakukan tindakan-tindakan berdasarkan suatu
perencanaan cermat. Keputusan akan diambil setelah mempertimbangkan
terlebih dahulu untung ruginya.
Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik/normal
adalah individu yang tidak menunjukkan emosi yang berlebihan, tidak
menunjukkan mekanisme psikologis, tidak menunjukkan frustasi pribadi,
memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, memiliki kemampuan untuk
Universitas Sumatera Utara
belajar dapat memanfaatkan pengalaman serta memiliki sikap yang realistik dan
objektif. Penyesuaian diri yang baik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
dengan menghadapi masalah secara langsung, eksplorasi, coba-coba, mencari
pengganti, menggali kemampuan diri, belajar, inhibisi dan pengendalian diri serta
perencanaan yang cermat.
b. Penyesuaian Diri yang Buruk
Menurut Hartono & Sunarto (2006) individu yang gagal melakukan
penyesuaian diri yang baik akan melakukan penyesuaian yang buruk. Penyesuaian
diri yang buruk ditandai dengan reaksi-reaksi sebagai berikut :
1. Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak mengalami
kegagalan. Bentuk khusus dari reaksi ini antara lain :
-
Rasionalisasi, yaitu reaksi bertahan dengan cara mencari-cari alasan
untuk membenarkan tindakannya.
-
Represi, yaitu berusaha untuk menekankan pengalaman yang tidak
menyenangkan kedalam alam tidak sadar. Individu berusaha
melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan.
-
Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak
lain untuk mencari alasan yang dapat diterima.
-
Teknik anggur asam atau sour grape, yaitu dengan memutar-balikkan
kenyataan.
2. Reaksi menyerang (Aggressive Reaction )
Universitas Sumatera Utara
Orang yang memiliki penyesuaian diri yang buruk menunjukkan tingkah
laku yang sifatnya menyerang untuk menutupi kegagalannya. Ia tidak mau
menyadari kegagalannya. Reaksinya selalu tampak dalam tingkah laku :
-
Senang mengganggu orang lain
-
Selalu membenarkan diri sendiri
-
Ingin memiliki segalanya
-
Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
-
Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
-
Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
-
Keras kepala dalam perbuatannya
-
Bersikap balas dendam
-
Merampas hak orang lain
-
Marah secara berlebihan
3. Reaksi melarikan diri (Escape Reaction)
Dalam reaksi ini individu yang mempunyai penyesuaian diri yang salah
atau buruk akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan
kegagalannya, reaksinya terlihat dalam tingkah laku sebagai berikut :
-
Fantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk
angan-angan (seolah-olah sudah tercapai)
-
Regresi, yaitu individu kembali kepada tingkah laku yang menyerupai
perilaku ditingkat perkembangan yang lebih awal.
-
Banyak tidur
-
Minuman minuman keras
-
Menjadi pecandu ganja dan narkotik
Universitas Sumatera Utara
-
Bunuh diri
Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang buruk
menunjukkan ciri-ciri yang berlawanan dengan penyesuaian diri yang baik/normal
dan selalu disertai dengan reaksi-reaksi bertahan, menyerang serta melarikan diri
dalam menghadapi situasi, masalah, konflik maupun ketegangan yang ada.
II.B.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
Menurut Hartono & Sunarto (2006) seorang individu tidak dilahirkan
dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan
diri. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagian
dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam
kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya
(Mu’tadin, 2005).
Schneiders (dalam Ali dan Asrori, 2004), mengatakan setidaknya ada lima
faktor yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, yaitu :
1. Kondisi Fisik
Aspek-aspek
yang
berkaitan
dengan
kondisi
fisik
yang
dapat
mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah :
a. Hereditas dan konstitusi fisik
Semakin dekat kapasitas pribadi, sifat atau kecenderungan yang
berkaitan dengan konstitusi fisik maka semakin besar pengaruhnya
terhadap penyesuaian diri. Bahkan dalam hal tertentu kecenderungan
kearah malasuai diturunkan secara genetis melalui temperamen.
Contohnya, sifat pemarah akan mempengaruhi kemampuan individu
Universitas Sumatera Utara
dalam menyesuaikan diri. Faktor lain yang berkaitan dengan konstitusi
fisik dan dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah inteligensi dan
imaginasi.
b. Sistem utama tubuh
Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian
diri adalah sistem saraf, kelenjar, dan otot. Sistem saraf yang sehat dan
normal merupakan syarat mutlak bagi fungsi psikologis agar dapat
berfungsi secara maksimal dan memiliki pengaruh yang baik pula
terhadap penyesuaian diri individu dan sebaliknya.
c. Kesehatan fisik
Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya
diri, harga diri yang sangat penting bagi proses penyesuaian diri.
Contohnya individu yang sangat lelah akan kurang percaya diri dan
kurang mampu melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung
jawab.
2. Kepribadian
Unsur-unsur
keperibadian
yang
penting
pengaruhnya
terhadap
penyesuaian diri adalah :
a. Kemauan dan kemampuan untuk berubah
Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian
diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk
kemauan, perilaku dan sikap. Oleh sebab itu, semakin kaku dan tidak
ada kemauan serta kemampuan seseorang untuk merespon lingkungan,
Universitas Sumatera Utara
maka semakin besar kemungkinannya untuk mengalami kesulitan
dalam penyesuaian diri.
b. Pengaturan diri
Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan
malasuai dan penyimpangan kepribadian. Kemampuan pengaturan diri
ini dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian
diri dan realisasi diri.
c. Realisasi diri
Proses penyesuaian diri sangat erat kaitannya dengan perkembangan
kepribadian.
Jika
perkembangan
kepribadian
berjalan
normal
sepanjang masa kanak-kanak dan remaja maka didalamnya tersirat
potensi latent baik dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan
nilai-nilai,
penghargaan diri dan lingkungan serta karakteristik
lainnya menuju pembentukan kepribadian yang dewasa.
d. Inteligensi
Baik-buruknya penyesuaian diri individu ditentukan oleh kapasitas
inteligensinya, sebab inteligensi dapat mempengaruhi perkembangan
gagasan, prinsip dan tujuan. Contohnya, kualitas pemikiran individu
memungkinkan individu tersebut untuk memilih dan mengambil
keputusan penyesuaian diri secara inteligen dan akurat.
3. Pendidikan
Unsur-unsur pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri
individu adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Belajar
Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri
individu karena pada umumnya respon-respon dan sifat kepribadian
yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap
kedalam diri individu melalui proses belajar.
b. Pengalaman
Pengalaman yang menyehatkan dan pengalaman traumatik memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap proses penyesuian diri. Pengalaman
yang menyehatkan dapat dijadikan dasar untuk ditransfer oleh individu
ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Sementara
pengalaman traumatik hanya akan membuat individu cenderung raguragu, kurang percaya diri, rendah diri, atau bahkan merasa takut ketika
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
c. Latihan-Latihan
Latihan merupakan proses belajar yang diorientasikan kepada
perolehan keterampilan atau kebiasaan. Tidak jarang seseorang yang
sebelumnya memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik
dan kaku, tetapi karena melakukan latihan sungguh-sungguh akhirnya
lambat laun menjadi bagus dalam melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungan yang baru.
d. Determinasi diri
Kemampuan individu dalam menentukan dirinya sendiri sangat
penting dalam proses penyesuaian diri. Contohnya, individu yang
Universitas Sumatera Utara
mengalami penolakan dari orang tuanya menyebabkan individu
tersebut merasa ditolak oleh orang lain ataupun lingkungannya.
Dengan determinasi diri, individu tersebut secara bertahap dapat
mengatasi penolakan maupun pengaruh buruk lainnya yang muncul
karena penolakan orang tua tersebut.
4. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri meliputi:
a. Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan utama yang sangat
penting dalam proses penyesuaian diri individu. Unsur-unsur dalam
keluarga, seperti interaksi orang tua dengan anak, interaksi anggota
keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik anggota keluarga,
dan gangguan dalam keluarga akan berpengaruh terhadap penyesuaian
diri individu.
b. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah juga dapat menjadi kondisi yang memungkinkan
berkembang atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri
individu. Pada umumnya sekolah dipandang sebagai sarana yang
berguna
untuk
mempengaruhi
kehidupan
dan
perkembangan
intelektual, sosial, nilai-nilai, sikap dan moral siswa.
c. Lingkungan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi perkembangan
penyesuaian diri individu. Konsistensi nilai-nilai, sikap, aturan-aturan,
norma moral, dan perilaku masyarakat akan di identifikasi oleh
individu yang berada dalam masyaarakat tersebut sehingga akan
berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian dirinya.
d. Agama dan Budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan
sumbangan nilai-nilai, keyakinan, yang memberi makna sangat
mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan individu. Budaya
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
individu, hal ini dapat dilihat dari karakteristik budaya yang
diwariskan kepada individu melalui berbagai media dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian baik agama
maupun budaya memiliki pengaruh yang berarti bagi perkembangan
penyesuaian diri individu.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi fisik, kepribadian, pendidikan,
lingkungan, agama dan budaya.
II.B.4. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mu’tadin (2005) penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu :
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya
sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan
lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya,
apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objek sesuai
dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi
ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung
jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya.
Kehidupan kejiwaaannya ditandai dengan tidak adanya kecemasan yang
menyertai rasa bersalah, rasa tidak puas, rasa kurang serta keluhan
terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya kegagalan penyesuaian diri
pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan
dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
2. Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai keberhasilan seseorang dalam
menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dan terhadap
kelompoknya pada khususnya. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup
hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain.
Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat
disekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat
disekitar tempat tinggalnya, atau masyarakat luas secara umum. Dalam
penyesuaian sosial, individu harus mematuhi norma-norma dan peraturan
sosial yang berlaku di masyarakat. Biasanya orang yang berhasil
Universitas Sumatera Utara
melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan mengembangkan sikap
sosial yang menyenangkan, seperti bersedia untuk membantu orang lain,
meskipun mereka sendiri mengalami kesulitan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada 2 aspek
dalam penyesuaian diri. Pertama penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan individu
untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara
individu dengan lingkungan disekitarnya. Kedua adalah penyesuaian sosial, yaitu
keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan orang lain secara umum
dan dengan kelompoknya secara khusus.
II.C. PRESTASI BELAJAR
II.C.1. Defenisi Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku peserta didik secara bertahap, terarah,
melalui satu proses terencana dan bertahap, sehingga pada akhirnya proses belajar
peserta didik akan memiliki keterampilan. Menurut Syah (1995) belajar adalah
kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap
penyelenggaraan jenis pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya
pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang
dijalani oleh peserta didik, baik ketika mereka berada di sekolah/kampus, maupun
di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Suryabrata (1995) mengatakan
bahwa hasil belajar akan nampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan.
II.C.2. Defenisi Prestasi Belajar
Menurut Gage dan Berliner (1984) prestasi belajar adalah segala sesuatu
yang dicapai dan merupakan hasil dari proses belajar. Sementara menurut Sudjana
Universitas Sumatera Utara
( dalam Suryabratra, 1995) prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki seseorang setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Chaplin
(1997) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil akademis yang digunakan
baik dalam bentuk lisan, tertulis, dan tugas-tugas. Adapun tujuan dari penilaian
prestasi belajar adalah untuk mengetahui prestasi atau hasil yang telah dicapai
oleh peserta didik dalam belajar.
Di perguruan tinggi, prestasi belajar mahasiswa ditentukan oleh angka
indeks prestasi. Indeks prestasi ditentukan pada setiap akhir semester dalam
bentuk evlauasi perkuliahan dan evaluasi praktikum. Evaluasi perkuliahan
dilakukan dengan cara mengadakan ujian tengah semester dan ujian akhir
semester serta nilai tugas, sedangkan evaluasi praktikum merupakan gabungan
nilai dari pelaksanaan kegiatan praktikum, laporan praktikum dan ujian praktikum
(Yoel dkk., 2002).
Indeks prestasi selama satu semester disebut sebagai indeks prestasi
semester (IPS), yang dihitung dengan cara mengalikan jumlah beban kredit yang
diambil dalam satu semester dengan bobot prestasi masing-masing mata kuliah
kemudian membaginya dengan jumlah beban kredit yang diambil selama satu
semester.
Berdasarkan nilai indeks prestasi yang diperoleh mahasiswa maka dapat
ditentukan berapa jumlah beban SKS maksimum yang bisa dibawa oleh setiap
mahasiswa untuk semester berikutnya. Hal ini dapat dilihat melalui daftar tabel 2
berikut ini :
Tabel 2
Beban Studi Berdasarkan Indeks Prestasi
( dalam buku panduan Akademik Program Studi Psikologi USU, 2004)
Universitas Sumatera Utara
IP SEMESTER
BEBAN SKS
MAKSIMUM
3
24
2,50 – 2,99
22
2,00 – 2,49
20
1,50 – 1,99
17
< 1,50
15
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah
tingkat keberhasilan belajar dan kemampuan yang dicapai seseorang setelah
mengikuti proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka ataupun huruf. Di
Perguruan Tinggi prestasi belajar mahasiswa dapat dilihat dalam bentuk indeks
prestasi yang diperoleh mahasiswa dalam setiap semester.
II.C.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Marwaty (2003) mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang mahasiswa di
Perguruan Tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari birokrasi sistem
perkuliahan, dosen, lingkungan, keluarga, maupun faktor yang bersumber dari diri
individu tersebut. Sementara menurut Hakim (2000) prestasi belajar peserta didik
tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik itu
sendiri. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri orang yang belajar dan faktor yang
berasal dari luar diri orang tersebut ( Hakim, 2000).
a. Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar :
1. Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap
kemampuan belajar seseorang. Bila seseorang tidak sehat, sakit kepala,
demam, dan sebagainya, maka seseorang akan menjadi tidak bergairah
untuk belajar. Demikian juga halnya jika kesehatan rohani (jiwa) kurang
baik, misalnya mengalami gangguan pikiran, perasaan kecewa karena
konflik dengan orang tua, hal ini dapat mengganggu atau mengurangi
semangat belajar seseorang. Karena itu pemeliharaan kesehatan sangat
penting bagi setiap orang baik fisik maupun mental, agar badan tetap kuat,
pikiran selalu segar dan tetap bersemangat dalam melaksanakan kegiatan
belajar.
2. Inteligensi dan bakat
Seseorang yang memiliki inteligensi yang baik umumnya mudah belajar
dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang inteligensinya
rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir
sehingga prestasi belajarnya pun rendah.
3. Minat dan motivasi
Sebagaimana halnya dengan inteligensi dan bakat, minat dan motivasi
adalah dua aspek psikis yang juga besar pengaruhnya terhadap prestasi
belajar. Minat dapat timbul karena daya tarik dari luar dan juga datang dari
sekolah/ Perguruan Tinggi, keadaan ruangan belajar, pelaksanaan tata
tertib dan sebagainya turut mempengaruhi prestasi belajar peserta didik.
4. Cara belajar
Universitas Sumatera Utara
Cara belajar seseorang juga akan mempengaruhi prestasi belajarnya.
Belajar tanpa memperhatikan teknik dan faktor fisiologis, psikologis dan
ilmu kesehatan, akan menyebabkan hasil yang kurang memuaskan.
b. Faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar :
1. Keluarga
Keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak serta famili yang tinggal dalam satu
rumah. Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
anak dalam belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecilnya
pengasilan orang tua, rukun atau tidaknya kedua orang tua, tenang atau
tidaknya situasi dalam rumah, semuanya itu turut mempengaruhi prestasi
belajar anak.
2. Sekolah/Perguruan Tinggi
Keadaan sekolah/Perguruan Tinggi tempat belajar turut mempengaruhi
tingkat keberhasilan belajar seseorang. Kualitas guru/dosen, metode
mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan peserta didik,
keadaan fasilitas di sekolah/ Perguruan Tinggi, keadaan ruangan belajar,
pelaksanaan tata tertib dan sebagainya turut mempengaruhi prestasi belajar
peserta didik.
3. Masyarakat
Keadaan masyarakat juga menentukan prestasi belajar. Bila disekitar
tempat tinggal anak didik keadaan masyarakatnya terdiri dari orang-orang
yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi
dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak untuk lebih giat belajar.
Tetapi sebaliknya, apabila anak didik tinggal di lingkungan banyak anak-
Universitas Sumatera Utara
anak nakal, tidak bersekolah dan pengangguran, hal ini dapat mengurangi
semangat belajar mereka sehingga motivasi belajar menjadi berkurang.
4. Lingkungan sekitar
Keadaan lingkungan tempat tinggal, dapat mempengaruhi prestasi belajar.
Keadaan bangunan, lingkungan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas
yang bising, suara hiruk-pikuk orang disekitar tempat tinggal, polusi
udara, iklim yang terlalu panas, turut mempengaruhi gairah belajar
seseorang.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor yang
berasal dari dalam diri individu (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar
diri individu (faktor eksternal).
II.D. MAHASISWA
II.D.I Defenisi Mahasiswa Baru
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 (dalam
Sudarman, 2004) mahasiswa didefinisikan sebagai peserta didik yang terdapat dan
belajar pada perguruan tinggi tertentu dengan persyaratan harus memiliki surat
tanda belajar pendidikan tingkat menengah atas dan memiliki kemampuan yang
dipersyaratkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Menurut Monks (2001) mahasiswa adalah kalangan muda berusia antara
18-21 tahun. Selanjutnya Kenniston (dalam Santrock, 1999) mendefinisikan
mahasiswa sebagai masa transisi dari usia remaja ke usia dewasa yang ditandai
dengan kondisi ekonomi dan pribadi yang bersifat sementara. Mahasiswa tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat disamakan dengan usia remaja karena pada usia remaja perjuangan hidup
individu adalah untuk menemukan identitas atau arti diri. Sedangkan pda saat
mahasiswa perjuangan hidup lebih ke arah pengembangan atau pembentukan
otonomi diri serta keterlibatan sosial.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan
peserta didik yang terdaftar dan belajar di Perguruan Tinggi dengan rentang usia
antara 18-21 tahun.
II.D.2. Berbagai penyesuaian Pada Mahasiswa
Penyesuaian diri dalam lingkungan kehidupan sangat penting artinya agar
terjadi keseimbangan dan tidak ada tekanan yang bisa mengganggu berfungsinya
suatu aspek kepribadian. Menurut Kartono (1985) masa mahasiswa merupakan
masa yang penuh dengan tantangan dan kesukaran, masa yang menuntut remaja
untuk menentukan sikap dan pilihan, dan masa yang menuntut kemampuan untuk
menyesuaikan diri.
Mahasiswa yang berada pada masa remaja lanjut memang menghadapi
berbagai kesulitan penyesuaian diri dan tidak semua mampu mengatasinya sendiri
bahkan banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan baik dalam menyesuaikan
diri dengan statusnya yang baru sebagai mahasiswa dan berbagai persoalan dalam
pergaulan maupun dalam studi. Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa masalah
penyesuaian diri yang dialami oleh mahasiwa di Perguruan Tinggi, yaitu :
1. Perbedaan sifat pendidikan di SMU-Perguruan Tinggi
a. Kurikulum
Universitas Sumatera Utara
Isi kurikulum di Perguruan Tinggi biasanya lebih sedikit dari pada isi
kurikulum di SMU. Namun materi perkuliahan di perguruan tinggi jauh
lebih banyak dibandingkan dengan materi pelajaran yang ada di SMU,
sehingga mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan cara belajar dan
pengumpulan informasi yang lebih efektif dibandingkan dengan cara
belajar di SMU. Jika mahasiswa senang dengan bidang yang dipilih,
kelanjutan studi dan semangat belajar terjamin akan lebih lancar. Tetapi
apabila mahasiswa tidak menyukai studinya, maka semangat belajarnya
akan menurun dan dapat menimbulkan gangguan pada kepribadian dan
fungsi kehidupannya.
b. Disiplin
Di Perguruan Tinggi disiplin yang diterapkan biasanya tidak seketat
disiplin yang ada di SMU karena mahasiswa dianggap sudah lebih dewasa
dan mereka dituntut untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka
lakukan. Longgarnya disiplin di Perguruan Tinggi akan mengubah cara
belajar mahasiswa sehingga dapat menyebabkan kesulitan tersendiri.
c. Hubungan mahasiswa-dosen
Pola hubungan yang ada di Perguruan Tinggi sangat berbeda dengan
hubungan yang ada di SMU. Dialog langsung pada tingkat awal
perkuliahan dimana jumlah mahasiswa biasanya besar, cenderung jarang
dilakukan diruangan perkuliahan. Pada tingkat yang lebih tinggi dimana
jumlah mahasiswa sudah mulai berkurang, hubungan dosen-mahasiswa
bisa terjamin dalam bentuk dialog yang lebih baik. Karena itu mahasiswa
harus bisa menyesuaikan diri dengan cara dosen memberikan kuliah yang
Universitas Sumatera Utara
masih banyak menggunakan cara tradisional yakni dosen hanya
menerangkan tanpa memperdulikan apakah mahasiswanya mengerti atau
tidak.
2. Hubungan Sosial
Pada masa remaja lanjut, pola pergaulan sudah bergeser dari pola pergaulan
yang homoseksual kearah heteroseksual. Seiring dengan pergeseran dari
dependensi ke independensi, mahasiswa merasa lebih bebas bergaul. Masalah
pergaulan bisa menjadi masalah yang cukup rumit, baik mengenai percintaan,
kesulitan penyesuaian diri dan keterlibatan dalam pengaruh kelompok
pergaulan yang bersifat negatif.
3. Masalah Ekonomi
Sekalipun mahasiswa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan secara
psikis, namun mereka masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Mereka tidak bebas dalam menggunakan uang yang diberikan orang tua pada
mereka. Jika studi lancar dan orang tua cukup mampu untuk membiayai
perkuliahan maka masalah keuangan tidak akan menjadi suatu masalah bagi
mahasiswa yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya jika studi tidak lancar dan
perekonomian orang tua kurang mendukung, maka mahasiswa akan
mengalami konflik antara keinginan untuk meneruskan kuliah di satu pihak
dan keinginan bekerja dipihak lain. Kebanyakan mahasiswa mendahulukan
salah satu dari pilihan tersebut sehingga yang lain kurang diperhatikan. Jika
permasalahan ini terus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang memuaskan
maka proses studi mahasiswa akan terhambat.
4. Pemilihan bidang jurusan
Universitas Sumatera Utara
Antara bakat dan minat dengan kesempatan yang ada sering kali menimbulkan
masalah yang rumit. Seringkali ditemukan mahasiswa memasuki Perguruan
Tinggi dengan keadaan terpaksa karena salah pilih jurusan. Hal ini akan
mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa terutama dalam menekuni
jurusannya tersebut. Oleh kartena itu mahasiswa perlu diberikan bimbingan
dan pengarahan agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan kampusnya.
Sehubungan dengan masalah penyesuaian diri ini maka mahasiswa perlu
diberikan bimbingan baik oleh penasehat akademik maupun oleh dosen. Menurut
Crow & Crow (dalam Gunarsa, 2000) mahasiswa perlu diberikan bimbingan
karena bimbingan memiliki fungsi dasar sebagai cara yang digunakan untuk
membantu individu dalam menghadapi situasi yang bermasalah.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang
dihadapi mahasiswa di Perguruan Tinggi umumnya berkaitan dengan perbedaan
sifat pendidikan antara SMU dengan Perguruan Tinggi, hubungan sosial, masalah
ekonomi, dan pemilihan bidang jurusan, sehingga mahasiswa perlu diberikan
bimbingan baik oleh penasehat akademik maupun dari dosen.
II. E. HUBUNGAN KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN
PRESTASI BELAJAR
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat
penting dalam setiap penyelenggaraan jenis pendidikan. Hal ini berarti bahwa
berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung pada proses
belajar yang dialami oleh mahasiswa/i, baik ketika berada di sekolah atau di
kampus, dilingkungan rumah atau di keluarganya sendiri (Syah, 1995). Oleh
karena itu mahasiswa perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan belajarnya.
Universitas Sumatera Utara
Tiap-tiap orang memiliki kemampuan penyesuaian yang berbeda-beda.
Begitu juga halnya dengan mahasiswa, ada mahasiswa yang mampu
menyesuaikan diri dengan baik tetapi ada juga mahasiswa yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan baik. Mahasiswa yang mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan kampus terutama terhadap iklim belajarnya akan mampu
mengikuti proses perkuliahan dengan lancar dan mampu meraih prestasi dengan
baik, sebaliknya mahasiswa yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan
kampus terutama terhadap iklim belajarnya akan mengalami hambatan dalam
meraih prestasi belajar (Julianti dalam Sukadji dkk., 2001).
Adapun kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki mahasiswa ini tidak
berkembang dengan sendirinya melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah faktor kepribadian yaitu konsep diri. Jika mahasiswa memiliki
konsep diri yang positif maka mereka mampu menilai hubungannya dengan orang
lain secara tepat sehingga akan tumbuh kemampuan penyesuaian pribadi dan
sosial yang baik. Sementara mahasiswa yang memiliki konsep diri negatif
biasanya akan memiliki sikap ragu dan kurang percaya diri sehingga pada
akhirnya akan menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk
(Hurlock, 1996). Gage dan Berliner (1984) menambahkan bahwa konsep diri turut
mempengaruhi prestasi seseorang. Bila seseorang memandang positif terhadap
kemampuan yang dimilikinya maka orang tersebut akan memiliki keyakinan
untuk meraih prestasi sebaliknya jika seseorang memandang negatif terhadap
kemampuan yang dimilikinya maka dalam diri orang tersebut akan timbul
perasaan tidak mampu untuk meraih prestasi yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dan penyesuaian diri secara
bersama-sama terhadap prestasi belajar mahasiswa di Perguruan Tinggi. Hal ini
berarti bahwa semakin positif konsep diri mahasiswa maka penyesuaian diri akan
semakin baik dan prestasi belajar akan semakin tinggi demikian sebaliknya jika
konsep diri mahasiswa negatif maka penyesuaian diri mereka akan semakin buruk
dan prestasi belajar mereka pun menjadi rendah.
II.F. HIPOTESA
Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
“Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dan
penyesuaian diri secara bersama-sama terhadap prestasi belajar mahasiswa baru”.
Universitas Sumatera Utara
Download