BAB II LANDASAN TEORI II.A. KONSEP DIRI II.A.1. Definisi Konsep Diri Konsep diri merupakan hal yang penting artinya bagi kehidupan individu karena pemahaman mengenai konsep diri akan menentukan dan mengarahkan perilaku dalam berbagai situasi (Shavelson dalam Purwanti dkk., 2000), serta dapat menentukan keberhasilan individu dalam hubungannya dengan masyarakat (Hurlock, 1998). Menurut Burns (1993) konsep diri merupakan gambaran campuran dari apa yang dipikirkan oleh individu, pendapat orang lain mengenai diri individu dan diri individu yang diinginkan. Selanjutnya Calhoun dan Acocella (1990) menjelaskan bahwa konsep diri adalah gambaran mental individu terhadap dirinya sendiri yang terdiri dari pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, pengharapan bagi diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri. Sementara Centi (1993) mengatakan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang dirinya sendiri, dan bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri menjadi manusia sebagaimana yang diharapkan. Penglihatan individu atas dirinya sendiri disebut gambaran diri (self image). Perasaan individu tentang dirinya sendiri merupakan penilaian individu atas dirinya sendiri (self evaluation). Harapan individu atas dirinya sendiri menjadi cita-cita diri (self ideal). Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Universitas Sumatera Utara konsep diri merupakan gambaran mental individu yang berisikan tentang bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana individu merasa tentang dirinya yang merupakan penilaian diri sendiri, serta bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri sebagaimana yang diharapkan. II.A.2. Perkembangan Konsep Diri. Sewaktu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang diri sendiri dan tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri serta tidak memiliki harapan sendiri (Caplan, dalam Calhoun & Acocella, 1995). Konsep diri terbentuk melalui sejumlah pengalaman yang tersusun secara hirarki yang berkembang sejalan dengan pertumbuhannya, terutama sebagai akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu yang diperoleh melalui hubungannya dengan orang lain. Menurut Cooley (dalam Calhoun & Acocella, 1990) interaksi individu dengan orang lain merupakan sumber informasi penting bagi perkembangan konsep diri. Individu biasanya menggunakan orang lain untuk menunjukkan siapa dirinya. Individu membayangkan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya dan bagaimana orang lain menilai penampilannya. “Orang lain” yang dianggap bisa mempengaruhi konsep diri seseorang adalah : a. Orang tua Universitas Sumatera Utara Keluarga terutama orang tua merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui individu pada awal kehidupannya. Orang tua memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Orang tua akan memberikan informasi yang besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Orang tua akan memberikan informasi yang menetap pengharapan bagi anaknya. Orang tua juga mengajar anak bagaimana cara menilai dirinya sendiri. Anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau yang disia-siakan oleh orang tuanya akan mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan membentuk konsep diri yang negatif pada anak (Calhoun & Acocella, 1990). b. Teman sebaya Kelompok teman sebaya menduduki posisi kedua setelah orang tua dalam mempengaruhi konsep diri anak. Dalam hal ini masalah penerimaan dan penolakan dari teman sebaya akan mempengaruhi konsep diri anak. c. Masyarakat Masyarakat memiliki harapan tertentu seseorang dan harapan ini masuk ke dalam diri individu, kemudian akan berusaha melaksanakan harapan tersebut. Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa orang tuanya, ras dan lain-lain sehingga hal ini akan mempengaruhi konsep diri seseorang. Kemudian Brooks (dalam Sobur, 2005) mengatakan bahwa perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Penilaian diri–memandang diri sendiri sebagai objek (Self Aperaisal-viewing Self as Object). Istilah ini menunjukkan suatu pandangann yang menjadikan diri sendiri sebagai objek dalam komunikasi atau bagaimana kesan kita terhadap diri kita sendiri. Pertama-tama kita mengamati perilaku fisik secara langsung kemudian memberikan penilaian. Penilaian ini akan mempengaruhi kesan kita terhadap diri sendiri. Semakin besar pengalaman positif yang dimiliki individu semakin positif konsep dirinya. Sebaliknya semakin besar pengalaman negatif yang dimiliki individu semakin negatif konsep dirinya. 2. Reaksi dan respon dari orang lain (Reaction and Response of Others) Konsep diri tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri sendir namun jufa tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri sendiri namun juga berkembang dalam rangka interaksi kita dengan masyarakat. Dalam berinteraksi dengan masyarakat individu akan mendapatkan evaluasi. Oleh karena itu konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri kita. 3. Peran yang kita mainkan–peran yang ditrerima (Roles you play–Role taking ) Setiap individu memainkan peran yang berbeda-beda dan pada setiap peran tersebut individu diharapkan akan melakukan tindakan dengan cara tertentu pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Semakin banyak peran yang kita mainkan dan dianggap positif oleh orang lain, semakin positif konsep diri kita. 4. Kelompok rujukan (Reference Groups) Universitas Sumatera Utara Kelompok rujukan adalah kelompok dimana kita menjadi anggota di dalamnya. Setiap kelompok rujukan memiliki norma tertentu yang mengatur tingkah laku seseorang. Jika kita menganggap penilaian dan reaksi dari kelompok rujukan itu penting maka hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri kita. Semakin banyak kelompok rujukan yang menganggap diri kita positif, semakin positif pula konsep diri kita. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diartikan kesimpulan bahwa individu dilahirkan dengan belum memiliki konsep diri. Konsep diri terbentuk melalui sejumlah pengalaman dan prsoes belajar. Adapun yang menjadi sumber informasi bagi perkembangan konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain yaitu orang tua, teman sebaya, serta masyarakat. Proses belajar yang dilakukan individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh melalui penilaian yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, bagaimana reaksi danrespon orang lain terhadap apa yang sudah dilakukan, tuntutan peran yang dimainkan serta penilaian dan reaksi yang diterima dari kelompok rujukan. II.A.3. Jenis-Jenis Konsep Diri Hasil penilaian seseorang terhadap diri dapat berupa konsep diri yang negatif maupun konsep diri yang positif. Menurut Calhoun & Acocella ( 1990) konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 1. Konsep Diri Positif Universitas Sumatera Utara Dasar dari konsep dari yang positif bukanlah kebanggan yang besar tentang dirinya tetapi lebih kepada penerimaan diri. Individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah individu yang mengenai dirinya dengan baik dan menerima diri apa adanya, bersifat stabil dan bervariasi sehingga mampu menyimpan informasi yang positif atau negatif tentang dirinya, mampu memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya tanpa menganggapnya sebagai suatu ancaman, merancang tujuan yang realistik, menganggap hidup sebagai sesuatu yang meyenangkan dan penuh kejutan, menganggap hidup sebagai suatu proses penemuan sehingga mampu bertindak dengan berani dan memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat. 2. Konsep Diri Negatif Individu yang memiliki konsep diri yang negatif adalah individu yang memiliki pandangan yang tidak teratur tentang dirinya, tidak mengenal siapa dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya, berusaha untuk mengubah konsep dirinya secara terus menerus atau melindungi konsep dirinya yang kuat dengan cara mengubah atau menolak informasi baru, menganggap apa yang diperolehnya tidak sebanding dengan apa yang diperoleh orang lain, membuat tujuan yang sangat tinggi dan tidak realistik sehingga sering mengalami kegagalan dalam mencapainya, percaya bahwa dirinya tidak dapat mencapai sesuatu apapun yang berharga. Selain itu individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu yang memiliki pandangan yang terlalu stabil dan kaku terhadap dirinya sendiri akibat dari didikan yang terlalu keras sehingga mereka menciptakan citra diri yang Universitas Sumatera Utara tidak menghendaki terjadinya penyimpangan dari seperangkat aturan yang ada. Selanjutnya Hurlock (1996) juga membagi konsep diri menjadi dua tingkatan yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu dengan konsep diri positif mengembangkan sifat percaya diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya sendiri secara realistis. Individidu juga mampu menilai hubungannya dengan orang lain secara tepat dan menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. Sebaliknya individu yang memiliki konsep diri negatif mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, individu masih ragu dan kurang percaya diri sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Berdasarkan penjelasan diatas, maka individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang mengenal dirinya dengan baik sehingga mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas serta mampu menyesuaikan diri dengan baik. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu yang tidak memandang dirinya dengan sangat teratur atau terlalu stabil serta tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik. II.A.4. Dimensi Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh individu. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), gambaran mental yang dimiliki individu memiliki tiga dimensi yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri. Universitas Sumatera Utara a. Pengetahuan Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan berkaitan dengan apa yang kita ketahui tentang diri kita, termasuk dalam hal ini jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, usia dan sebagainya. Pengetahuan ini diperoleh individu dengan cara membandingkan dirinya dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan ini bisa dirubah dengan cara merubah tingkat laku individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembandingnya. b. Pengharapan Dimensi kedua dari konsep diri adalah pengharapan berkaitan dengan kemungkinan menjadi apa kita dimasa mendatang dan sering disebut sebagai diri idela (ideal self). Setiap individu memiliki harapan yang berbeda-beda bagi dirinya sendiri. Harapan dapat membangkitkan kekuatan yang akan mendorong seseorang untuk mencapai harapan tersebut dimasa depan. c. Penilaian Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian. Penilaian menyangkut unsure evalusia, seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita tentang diri kita yang ideal (ideal self) dan yang actual maka akan semakin terendah harga diri kita. Sebaliknya orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan menyukai siapa dirinya dan apa yang dikerjakannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi penilaian merupakan komponen pembentukan konsep diri yang cukup signifikan. Deaux (1993) mengatakan bahwa Universitas Sumatera Utara kesenjangan antara diri kita yang aktual dan diri kita yang ideal akan menimbulkan depresi, sementara bila kesenjangan antara diri kita yang aktual dengan diri kita yang ideal semakin kecil maka kita akan memperoleh kepuasan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki setiap individu terdiri dari 3 dimensi, yaitu pengetahuan mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri sendiri, dan harapan mengenai diri sendiri. Pngetahuan adalah apa yang diketahui individu tentang dirinya sendiri yang diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan kelompok pembanding. Pengharapan adalah apa yang diinginkan individu dimasa yang akan datang Penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu terhadap dirinya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat terjadi dan bagaimana perasaaan individu terhadap dirinya sendiri. II.A.5. Perubahan Konsep Diri Fitts & Hurlock (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa konsep diri individu secara kontinu akan berkembang dan mengalami perubahan sepanjang kehidupan hingga mencapai perkembangan tertentu yang relatif konsisten. Sulit bagi seseorang untuk menilai keadaan dirinya belum stabil. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja sebagai bukti keberhasilan remaja (dalam Eliana, 2003) ada beberapa faktor yang menyebabkan konsep diri menjadi tidak stabil yaitu faktor perubahan fisik, lingkungan, dan peran (role). Pada masa pubertas, remaja mengalami beberapa perubahan fisik yang mendadak disertai dengan perubahan mental. Pada masa pubertas, konsep diri Universitas Sumatera Utara akan berubah dan hal ini merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan seseorang. Perubahan lingkungan juga bisa mempengaruhi perubahan konsep diri. Misalnya anak yang harus berpisah dengan keluarganya karena kuliah di tempat lain. Pengalaman ditempat yang baru, tentu berbeda dengan pengalaman ketika tinggal dengan keluarga. Perubahan peran juga dapat merubah konsep diri. Hal ini terjadi apabila individu terpaksa menjalani peran itu atau karena individu tidak siap menjalani peran baru tersebut. Perubahan peran akan menyebabkan individu mempertanyakan siapa dirinya, selain itu perubahan peran akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hubungan interpersonal sehingga pada akhirnya akan meningkatkan identitas diri yang negatif (Shereran & Abraham dalam Baron, 1997). Adanya perbedaan tuntutan peran antara laki-laki dengan perempuan oleh keluarga, sekolah dan masyarakat juga dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Pria sering diharapkan untuk menjadi kuat, tidak cengeng dan tahan menghadapi kehidupan sedangkan wanita dibenarkan untuk bersikap lembut atau menangis. Dengan kata lain peran jenis kelamin turut mempengaruhi konsep diri individu. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki setiap individu akan terus berkembang dan mengalami perubahan hingga mencapai perkembangan tertentu yang relatif konsisten. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan konsep diri menjadi tidak stabil atau berubah yaitu : perubahan fisik, perubahan lingkungan dan perubahan peran. Universitas Sumatera Utara II.B. PENYESUAIAN DIRI II.B.1. Defenisi Penyesuaian Diri Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (dalam Ali & Asrori, 2004) penyesuai diri dapat ditinjau dari 3 sudut pandang, yaitu : 1. Penyesuaian diri sebagai adaptasi (Adaptation) Dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha untuk mempertahankan diri secara fisik, fisiologis, atau biologis. 2. Penyesuaian diri sebagai konformitas (Conformity) Dalam sudut pandang ini, setiap individu selalu diarahkan untuk menghindari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional agar mereka tidak ditolak oleh lingkungannya dengan cara mengikuti norma-norma yang berlaku. 3. Penyesuaian diri sebagai penguasaan (Mastery) Dalam sudut pandang ini, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi. Dengan kata lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan individu menghadapi realitas hidup dengan cara yang baik, akurat sehat dan mampu bekerjasama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi faktor lingkungan sehingga dorongan emosi, dan kebiasaan menjadi lebih terkendali dan terarah. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tiga sudut pandang diatas, penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku yang diperjuangkan individu agar dapat menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari lingkungan tempat individu berada. Menurut Mu’tadin (2005) penyesuai diri merupakan salah satu persyaratan bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu. Dalam proses penyesuaian diri, individu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi ini dapat berupa individu mengubah dirinya sesuai dengan keadaan lingkungan (penyesuaian pasif) atau mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya sendiri (penyesuaian aktif) (Gerungan dalam Sobur, 2005). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar dapat menghadapi kebutuhan dari dalam dirinya, ketegangan, frustasi serta konflik sehingga hubungan individu dengan lingkungannya menjadi lebih harmonis. II.B.2. Karakteristik Penyesuaian Diri Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan tertentu yang menyebabkan individu tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan tersebut bisa berasal dari dalam diri individu atau bisa juga berasal dari luar diri individu. Menurut Universitas Sumatera Utara Hartono dan Sunarto (2006), penyesuaian diri dapat dilakukan secara baik dan buruk. a. Penyesuaian Diri yang Baik Menurut Hartono & Sunarto (2006) individu yang mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik ditandai dengan hal-hal sebagai berikut : 1. Tindak menunjukkan adanya ketegangan emosional 2. Tidak menunjukkan mekanisme–mekanisme psikologis 3. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi 4. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri 5. Memiliki kemampuan untuk belajar 6. Menghargai pengalaman 7. Bersikap realistik dan obyektif Hal yang sama juga diungkapkan oleh Schneiders (1964) yang mengatakan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki 7 karakteristik. Adapun 7 karakteristik penyesuaian diri yang normal menurut scneiders (1964), antara lain: 1. Tidak menunjukkan emosi yang berlebihan (absence of ecessive emotionality) Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang berlebihan atau emosi yang merusak. Individu mampu menanggapi berbagai situasi atau masalah dengan emosi yang tenang dan terkontrol. 2. Tidak menunjukkan mekanisme psikologis (absence of psychological mechanisms) Dalam menghadapi masalah ataupun konflik, individu yang memiliki penyesuaian diri yang normal akan menunjukkan reaksi berterus terang Universitas Sumatera Utara daripada reaksi yang disertai dengan mekanisme-mekanisme psikologis seperti rasionalisasi, proyeksi, sour-grape, atau kompensasi. 3. Tidak menunjukkan perasaan frustasi pribadi (absence of the sense of personal frustration) Penyesuaian diri yang normal sebagian besar ditandai dengan perasaan bebas dari frustasi pribadi. Perasaan frustasi hanya akan membuat individu mengalami kesulitan dan kadangkala tidak memungkinkan individu untuk beraksi secara normal terhadap situasi atau masalah. 4. Adanya pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction) Individu yang melakukan penyesuaian diri yang normal biasanya mampu mempertimbangkan masalah, konflik dan frustasi secara rasional serta mampu mengarahkan dirinya untuk menyelesaikan masalah yang muncul. 5. Kemampuan untuk belajar (ability to learn) Proses penyesuaian diri yang normal ditandai dengan sejumlah pertumbuhan atau perkembangan yang berhubungan dengan cara menyelesaikan situasisituasi yang penuh konflik, frustasi dan ketegangan. 6. Memanfaatkan pengalaman (utilization of past experience) Penyesuian diri yang normal ditandai dengan kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu dalam menghadapi tuntutan situasi yang ada. 7. Sikap realistik dan objektif (realistic and objective atitude) Karakteristik ini berhubungan dengan orientasi individu dalam menghadapi kenyataan. Sikap ini didasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu Universitas Sumatera Utara dan pemikiran rasional yang memungkinkan individu untuk menilai dan menghargai situasi, masalah, maupun keterbatasan-keterbatasan yang ada. Menurut Hartono & Sunarto (2006) penyesuaian diri yang baik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : 1. Menghadapi masalah secara langsung Dalam situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibatnya. Individu melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seseorang mahasiswa terlambat menyerahkan tugas karena sakit maka dia memberitahukan kepada dosennya apa yang menjadi penyebabnya. 2. Melakukan penjelajahan ( eksplorasi) Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalah. Misalnya seorang mahasiwa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas akan mencari bahan untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan cara membaca buku, konsultasi dan diskusi. 3. Coba-coba (trial and eror ) Dalam cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba dalam arti kalau menguntungkan akan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. 4. Mencari pengganti ( substitusi) Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya gagal nonton film digedung bioskop, dia pindah nonton tv. 5. Menggali kemampuan diri Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus yang ada dalam dirinya, kemudian mengembangkannya sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang mahasiwa yang mengalami kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dengan cara memberikan les private. Dari usahanya tersebut ia dapat mengatasi kesulitan keuangannya. 6. Belajar Dengan belajar individu akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantunya dalam menyesuaikan diri. Misalnya seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan keguruan. 7. Inhibisi dan pengendalian diri Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut dengan inhibisi. Disamping itu individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakan. 8. Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat Dalam situasi ini individu melakukan tindakan-tindakan berdasarkan suatu perencanaan cermat. Keputusan akan diambil setelah mempertimbangkan terlebih dahulu untung ruginya. Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik/normal adalah individu yang tidak menunjukkan emosi yang berlebihan, tidak menunjukkan mekanisme psikologis, tidak menunjukkan frustasi pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, memiliki kemampuan untuk Universitas Sumatera Utara belajar dapat memanfaatkan pengalaman serta memiliki sikap yang realistik dan objektif. Penyesuaian diri yang baik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan menghadapi masalah secara langsung, eksplorasi, coba-coba, mencari pengganti, menggali kemampuan diri, belajar, inhibisi dan pengendalian diri serta perencanaan yang cermat. b. Penyesuaian Diri yang Buruk Menurut Hartono & Sunarto (2006) individu yang gagal melakukan penyesuaian diri yang baik akan melakukan penyesuaian yang buruk. Penyesuaian diri yang buruk ditandai dengan reaksi-reaksi sebagai berikut : 1. Reaksi bertahan (defence reaction) Individu berusaha mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus dari reaksi ini antara lain : - Rasionalisasi, yaitu reaksi bertahan dengan cara mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya. - Represi, yaitu berusaha untuk menekankan pengalaman yang tidak menyenangkan kedalam alam tidak sadar. Individu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. - Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. - Teknik anggur asam atau sour grape, yaitu dengan memutar-balikkan kenyataan. 2. Reaksi menyerang (Aggressive Reaction ) Universitas Sumatera Utara Orang yang memiliki penyesuaian diri yang buruk menunjukkan tingkah laku yang sifatnya menyerang untuk menutupi kegagalannya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksinya selalu tampak dalam tingkah laku : - Senang mengganggu orang lain - Selalu membenarkan diri sendiri - Ingin memiliki segalanya - Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. - Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka - Menunjukkan sikap menyerang dan merusak - Keras kepala dalam perbuatannya - Bersikap balas dendam - Merampas hak orang lain - Marah secara berlebihan 3. Reaksi melarikan diri (Escape Reaction) Dalam reaksi ini individu yang mempunyai penyesuaian diri yang salah atau buruk akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, reaksinya terlihat dalam tingkah laku sebagai berikut : - Fantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai) - Regresi, yaitu individu kembali kepada tingkah laku yang menyerupai perilaku ditingkat perkembangan yang lebih awal. - Banyak tidur - Minuman minuman keras - Menjadi pecandu ganja dan narkotik Universitas Sumatera Utara - Bunuh diri Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang buruk menunjukkan ciri-ciri yang berlawanan dengan penyesuaian diri yang baik/normal dan selalu disertai dengan reaksi-reaksi bertahan, menyerang serta melarikan diri dalam menghadapi situasi, masalah, konflik maupun ketegangan yang ada. II.B.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri Menurut Hartono & Sunarto (2006) seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagian dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya (Mu’tadin, 2005). Schneiders (dalam Ali dan Asrori, 2004), mengatakan setidaknya ada lima faktor yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, yaitu : 1. Kondisi Fisik Aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah : a. Hereditas dan konstitusi fisik Semakin dekat kapasitas pribadi, sifat atau kecenderungan yang berkaitan dengan konstitusi fisik maka semakin besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri. Bahkan dalam hal tertentu kecenderungan kearah malasuai diturunkan secara genetis melalui temperamen. Contohnya, sifat pemarah akan mempengaruhi kemampuan individu Universitas Sumatera Utara dalam menyesuaikan diri. Faktor lain yang berkaitan dengan konstitusi fisik dan dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah inteligensi dan imaginasi. b. Sistem utama tubuh Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri adalah sistem saraf, kelenjar, dan otot. Sistem saraf yang sehat dan normal merupakan syarat mutlak bagi fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara maksimal dan memiliki pengaruh yang baik pula terhadap penyesuaian diri individu dan sebaliknya. c. Kesehatan fisik Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri yang sangat penting bagi proses penyesuaian diri. Contohnya individu yang sangat lelah akan kurang percaya diri dan kurang mampu melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab. 2. Kepribadian Unsur-unsur keperibadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah : a. Kemauan dan kemampuan untuk berubah Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku dan sikap. Oleh sebab itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan serta kemampuan seseorang untuk merespon lingkungan, Universitas Sumatera Utara maka semakin besar kemungkinannya untuk mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. b. Pengaturan diri Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan malasuai dan penyimpangan kepribadian. Kemampuan pengaturan diri ini dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan realisasi diri. c. Realisasi diri Proses penyesuaian diri sangat erat kaitannya dengan perkembangan kepribadian. Jika perkembangan kepribadian berjalan normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja maka didalamnya tersirat potensi latent baik dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan nilai-nilai, penghargaan diri dan lingkungan serta karakteristik lainnya menuju pembentukan kepribadian yang dewasa. d. Inteligensi Baik-buruknya penyesuaian diri individu ditentukan oleh kapasitas inteligensinya, sebab inteligensi dapat mempengaruhi perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan. Contohnya, kualitas pemikiran individu memungkinkan individu tersebut untuk memilih dan mengambil keputusan penyesuaian diri secara inteligen dan akurat. 3. Pendidikan Unsur-unsur pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah : Universitas Sumatera Utara a. Belajar Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri individu karena pada umumnya respon-respon dan sifat kepribadian yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap kedalam diri individu melalui proses belajar. b. Pengalaman Pengalaman yang menyehatkan dan pengalaman traumatik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses penyesuian diri. Pengalaman yang menyehatkan dapat dijadikan dasar untuk ditransfer oleh individu ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Sementara pengalaman traumatik hanya akan membuat individu cenderung raguragu, kurang percaya diri, rendah diri, atau bahkan merasa takut ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. c. Latihan-Latihan Latihan merupakan proses belajar yang diorientasikan kepada perolehan keterampilan atau kebiasaan. Tidak jarang seseorang yang sebelumnya memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik dan kaku, tetapi karena melakukan latihan sungguh-sungguh akhirnya lambat laun menjadi bagus dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru. d. Determinasi diri Kemampuan individu dalam menentukan dirinya sendiri sangat penting dalam proses penyesuaian diri. Contohnya, individu yang Universitas Sumatera Utara mengalami penolakan dari orang tuanya menyebabkan individu tersebut merasa ditolak oleh orang lain ataupun lingkungannya. Dengan determinasi diri, individu tersebut secara bertahap dapat mengatasi penolakan maupun pengaruh buruk lainnya yang muncul karena penolakan orang tua tersebut. 4. Lingkungan Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri meliputi: a. Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga merupakan lingkungan utama yang sangat penting dalam proses penyesuaian diri individu. Unsur-unsur dalam keluarga, seperti interaksi orang tua dengan anak, interaksi anggota keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik anggota keluarga, dan gangguan dalam keluarga akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu. b. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah juga dapat menjadi kondisi yang memungkinkan berkembang atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri individu. Pada umumnya sekolah dipandang sebagai sarana yang berguna untuk mempengaruhi kehidupan dan perkembangan intelektual, sosial, nilai-nilai, sikap dan moral siswa. c. Lingkungan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi perkembangan penyesuaian diri individu. Konsistensi nilai-nilai, sikap, aturan-aturan, norma moral, dan perilaku masyarakat akan di identifikasi oleh individu yang berada dalam masyaarakat tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian dirinya. d. Agama dan Budaya Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, yang memberi makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan individu. Budaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu, hal ini dapat dilihat dari karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian baik agama maupun budaya memiliki pengaruh yang berarti bagi perkembangan penyesuaian diri individu. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi fisik, kepribadian, pendidikan, lingkungan, agama dan budaya. II.B.4. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri Universitas Sumatera Utara Menurut Mu’tadin (2005) penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu : 1. Penyesuaian Pribadi Penyesuian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objek sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaaannya ditandai dengan tidak adanya kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa tidak puas, rasa kurang serta keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya kegagalan penyesuaian diri pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. 2. Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat disekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat disekitar tempat tinggalnya, atau masyarakat luas secara umum. Dalam penyesuaian sosial, individu harus mematuhi norma-norma dan peraturan sosial yang berlaku di masyarakat. Biasanya orang yang berhasil Universitas Sumatera Utara melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti bersedia untuk membantu orang lain, meskipun mereka sendiri mengalami kesulitan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada 2 aspek dalam penyesuaian diri. Pertama penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungan disekitarnya. Kedua adalah penyesuaian sosial, yaitu keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan orang lain secara umum dan dengan kelompoknya secara khusus. II.C. PRESTASI BELAJAR II.C.1. Defenisi Belajar Belajar adalah perubahan perilaku peserta didik secara bertahap, terarah, melalui satu proses terencana dan bertahap, sehingga pada akhirnya proses belajar peserta didik akan memiliki keterampilan. Menurut Syah (1995) belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dijalani oleh peserta didik, baik ketika mereka berada di sekolah/kampus, maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Suryabrata (1995) mengatakan bahwa hasil belajar akan nampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan. II.C.2. Defenisi Prestasi Belajar Menurut Gage dan Berliner (1984) prestasi belajar adalah segala sesuatu yang dicapai dan merupakan hasil dari proses belajar. Sementara menurut Sudjana Universitas Sumatera Utara ( dalam Suryabratra, 1995) prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Chaplin (1997) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil akademis yang digunakan baik dalam bentuk lisan, tertulis, dan tugas-tugas. Adapun tujuan dari penilaian prestasi belajar adalah untuk mengetahui prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dalam belajar. Di perguruan tinggi, prestasi belajar mahasiswa ditentukan oleh angka indeks prestasi. Indeks prestasi ditentukan pada setiap akhir semester dalam bentuk evlauasi perkuliahan dan evaluasi praktikum. Evaluasi perkuliahan dilakukan dengan cara mengadakan ujian tengah semester dan ujian akhir semester serta nilai tugas, sedangkan evaluasi praktikum merupakan gabungan nilai dari pelaksanaan kegiatan praktikum, laporan praktikum dan ujian praktikum (Yoel dkk., 2002). Indeks prestasi selama satu semester disebut sebagai indeks prestasi semester (IPS), yang dihitung dengan cara mengalikan jumlah beban kredit yang diambil dalam satu semester dengan bobot prestasi masing-masing mata kuliah kemudian membaginya dengan jumlah beban kredit yang diambil selama satu semester. Berdasarkan nilai indeks prestasi yang diperoleh mahasiswa maka dapat ditentukan berapa jumlah beban SKS maksimum yang bisa dibawa oleh setiap mahasiswa untuk semester berikutnya. Hal ini dapat dilihat melalui daftar tabel 2 berikut ini : Tabel 2 Beban Studi Berdasarkan Indeks Prestasi ( dalam buku panduan Akademik Program Studi Psikologi USU, 2004) Universitas Sumatera Utara IP SEMESTER BEBAN SKS MAKSIMUM 3 24 2,50 – 2,99 22 2,00 – 2,49 20 1,50 – 1,99 17 < 1,50 15 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan belajar dan kemampuan yang dicapai seseorang setelah mengikuti proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka ataupun huruf. Di Perguruan Tinggi prestasi belajar mahasiswa dapat dilihat dalam bentuk indeks prestasi yang diperoleh mahasiswa dalam setiap semester. II.C.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Marwaty (2003) mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari birokrasi sistem perkuliahan, dosen, lingkungan, keluarga, maupun faktor yang bersumber dari diri individu tersebut. Sementara menurut Hakim (2000) prestasi belajar peserta didik tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik itu sendiri. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri orang yang belajar dan faktor yang berasal dari luar diri orang tersebut ( Hakim, 2000). a. Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar : 1. Kesehatan Universitas Sumatera Utara Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar seseorang. Bila seseorang tidak sehat, sakit kepala, demam, dan sebagainya, maka seseorang akan menjadi tidak bergairah untuk belajar. Demikian juga halnya jika kesehatan rohani (jiwa) kurang baik, misalnya mengalami gangguan pikiran, perasaan kecewa karena konflik dengan orang tua, hal ini dapat mengganggu atau mengurangi semangat belajar seseorang. Karena itu pemeliharaan kesehatan sangat penting bagi setiap orang baik fisik maupun mental, agar badan tetap kuat, pikiran selalu segar dan tetap bersemangat dalam melaksanakan kegiatan belajar. 2. Inteligensi dan bakat Seseorang yang memiliki inteligensi yang baik umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang inteligensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir sehingga prestasi belajarnya pun rendah. 3. Minat dan motivasi Sebagaimana halnya dengan inteligensi dan bakat, minat dan motivasi adalah dua aspek psikis yang juga besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar. Minat dapat timbul karena daya tarik dari luar dan juga datang dari sekolah/ Perguruan Tinggi, keadaan ruangan belajar, pelaksanaan tata tertib dan sebagainya turut mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. 4. Cara belajar Universitas Sumatera Utara Cara belajar seseorang juga akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Belajar tanpa memperhatikan teknik dan faktor fisiologis, psikologis dan ilmu kesehatan, akan menyebabkan hasil yang kurang memuaskan. b. Faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar : 1. Keluarga Keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak serta famili yang tinggal dalam satu rumah. Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecilnya pengasilan orang tua, rukun atau tidaknya kedua orang tua, tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, semuanya itu turut mempengaruhi prestasi belajar anak. 2. Sekolah/Perguruan Tinggi Keadaan sekolah/Perguruan Tinggi tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar seseorang. Kualitas guru/dosen, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan peserta didik, keadaan fasilitas di sekolah/ Perguruan Tinggi, keadaan ruangan belajar, pelaksanaan tata tertib dan sebagainya turut mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. 3. Masyarakat Keadaan masyarakat juga menentukan prestasi belajar. Bila disekitar tempat tinggal anak didik keadaan masyarakatnya terdiri dari orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak untuk lebih giat belajar. Tetapi sebaliknya, apabila anak didik tinggal di lingkungan banyak anak- Universitas Sumatera Utara anak nakal, tidak bersekolah dan pengangguran, hal ini dapat mengurangi semangat belajar mereka sehingga motivasi belajar menjadi berkurang. 4. Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan tempat tinggal, dapat mempengaruhi prestasi belajar. Keadaan bangunan, lingkungan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas yang bising, suara hiruk-pikuk orang disekitar tempat tinggal, polusi udara, iklim yang terlalu panas, turut mempengaruhi gairah belajar seseorang. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar diri individu (faktor eksternal). II.D. MAHASISWA II.D.I Defenisi Mahasiswa Baru Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 60 tahun 1999 (dalam Sudarman, 2004) mahasiswa didefinisikan sebagai peserta didik yang terdapat dan belajar pada perguruan tinggi tertentu dengan persyaratan harus memiliki surat tanda belajar pendidikan tingkat menengah atas dan memiliki kemampuan yang dipersyaratkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Menurut Monks (2001) mahasiswa adalah kalangan muda berusia antara 18-21 tahun. Selanjutnya Kenniston (dalam Santrock, 1999) mendefinisikan mahasiswa sebagai masa transisi dari usia remaja ke usia dewasa yang ditandai dengan kondisi ekonomi dan pribadi yang bersifat sementara. Mahasiswa tidak Universitas Sumatera Utara dapat disamakan dengan usia remaja karena pada usia remaja perjuangan hidup individu adalah untuk menemukan identitas atau arti diri. Sedangkan pda saat mahasiswa perjuangan hidup lebih ke arah pengembangan atau pembentukan otonomi diri serta keterlibatan sosial. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar di Perguruan Tinggi dengan rentang usia antara 18-21 tahun. II.D.2. Berbagai penyesuaian Pada Mahasiswa Penyesuaian diri dalam lingkungan kehidupan sangat penting artinya agar terjadi keseimbangan dan tidak ada tekanan yang bisa mengganggu berfungsinya suatu aspek kepribadian. Menurut Kartono (1985) masa mahasiswa merupakan masa yang penuh dengan tantangan dan kesukaran, masa yang menuntut remaja untuk menentukan sikap dan pilihan, dan masa yang menuntut kemampuan untuk menyesuaikan diri. Mahasiswa yang berada pada masa remaja lanjut memang menghadapi berbagai kesulitan penyesuaian diri dan tidak semua mampu mengatasinya sendiri bahkan banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan baik dalam menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru sebagai mahasiswa dan berbagai persoalan dalam pergaulan maupun dalam studi. Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa masalah penyesuaian diri yang dialami oleh mahasiwa di Perguruan Tinggi, yaitu : 1. Perbedaan sifat pendidikan di SMU-Perguruan Tinggi a. Kurikulum Universitas Sumatera Utara Isi kurikulum di Perguruan Tinggi biasanya lebih sedikit dari pada isi kurikulum di SMU. Namun materi perkuliahan di perguruan tinggi jauh lebih banyak dibandingkan dengan materi pelajaran yang ada di SMU, sehingga mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan cara belajar dan pengumpulan informasi yang lebih efektif dibandingkan dengan cara belajar di SMU. Jika mahasiswa senang dengan bidang yang dipilih, kelanjutan studi dan semangat belajar terjamin akan lebih lancar. Tetapi apabila mahasiswa tidak menyukai studinya, maka semangat belajarnya akan menurun dan dapat menimbulkan gangguan pada kepribadian dan fungsi kehidupannya. b. Disiplin Di Perguruan Tinggi disiplin yang diterapkan biasanya tidak seketat disiplin yang ada di SMU karena mahasiswa dianggap sudah lebih dewasa dan mereka dituntut untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Longgarnya disiplin di Perguruan Tinggi akan mengubah cara belajar mahasiswa sehingga dapat menyebabkan kesulitan tersendiri. c. Hubungan mahasiswa-dosen Pola hubungan yang ada di Perguruan Tinggi sangat berbeda dengan hubungan yang ada di SMU. Dialog langsung pada tingkat awal perkuliahan dimana jumlah mahasiswa biasanya besar, cenderung jarang dilakukan diruangan perkuliahan. Pada tingkat yang lebih tinggi dimana jumlah mahasiswa sudah mulai berkurang, hubungan dosen-mahasiswa bisa terjamin dalam bentuk dialog yang lebih baik. Karena itu mahasiswa harus bisa menyesuaikan diri dengan cara dosen memberikan kuliah yang Universitas Sumatera Utara masih banyak menggunakan cara tradisional yakni dosen hanya menerangkan tanpa memperdulikan apakah mahasiswanya mengerti atau tidak. 2. Hubungan Sosial Pada masa remaja lanjut, pola pergaulan sudah bergeser dari pola pergaulan yang homoseksual kearah heteroseksual. Seiring dengan pergeseran dari dependensi ke independensi, mahasiswa merasa lebih bebas bergaul. Masalah pergaulan bisa menjadi masalah yang cukup rumit, baik mengenai percintaan, kesulitan penyesuaian diri dan keterlibatan dalam pengaruh kelompok pergaulan yang bersifat negatif. 3. Masalah Ekonomi Sekalipun mahasiswa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan secara psikis, namun mereka masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya. Mereka tidak bebas dalam menggunakan uang yang diberikan orang tua pada mereka. Jika studi lancar dan orang tua cukup mampu untuk membiayai perkuliahan maka masalah keuangan tidak akan menjadi suatu masalah bagi mahasiswa yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya jika studi tidak lancar dan perekonomian orang tua kurang mendukung, maka mahasiswa akan mengalami konflik antara keinginan untuk meneruskan kuliah di satu pihak dan keinginan bekerja dipihak lain. Kebanyakan mahasiswa mendahulukan salah satu dari pilihan tersebut sehingga yang lain kurang diperhatikan. Jika permasalahan ini terus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang memuaskan maka proses studi mahasiswa akan terhambat. 4. Pemilihan bidang jurusan Universitas Sumatera Utara Antara bakat dan minat dengan kesempatan yang ada sering kali menimbulkan masalah yang rumit. Seringkali ditemukan mahasiswa memasuki Perguruan Tinggi dengan keadaan terpaksa karena salah pilih jurusan. Hal ini akan mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa terutama dalam menekuni jurusannya tersebut. Oleh kartena itu mahasiswa perlu diberikan bimbingan dan pengarahan agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan kampusnya. Sehubungan dengan masalah penyesuaian diri ini maka mahasiswa perlu diberikan bimbingan baik oleh penasehat akademik maupun oleh dosen. Menurut Crow & Crow (dalam Gunarsa, 2000) mahasiswa perlu diberikan bimbingan karena bimbingan memiliki fungsi dasar sebagai cara yang digunakan untuk membantu individu dalam menghadapi situasi yang bermasalah. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa di Perguruan Tinggi umumnya berkaitan dengan perbedaan sifat pendidikan antara SMU dengan Perguruan Tinggi, hubungan sosial, masalah ekonomi, dan pemilihan bidang jurusan, sehingga mahasiswa perlu diberikan bimbingan baik oleh penasehat akademik maupun dari dosen. II. E. HUBUNGAN KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN PRESTASI BELAJAR Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis pendidikan. Hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung pada proses belajar yang dialami oleh mahasiswa/i, baik ketika berada di sekolah atau di kampus, dilingkungan rumah atau di keluarganya sendiri (Syah, 1995). Oleh karena itu mahasiswa perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan belajarnya. Universitas Sumatera Utara Tiap-tiap orang memiliki kemampuan penyesuaian yang berbeda-beda. Begitu juga halnya dengan mahasiswa, ada mahasiswa yang mampu menyesuaikan diri dengan baik tetapi ada juga mahasiswa yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik. Mahasiswa yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus terutama terhadap iklim belajarnya akan mampu mengikuti proses perkuliahan dengan lancar dan mampu meraih prestasi dengan baik, sebaliknya mahasiswa yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus terutama terhadap iklim belajarnya akan mengalami hambatan dalam meraih prestasi belajar (Julianti dalam Sukadji dkk., 2001). Adapun kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki mahasiswa ini tidak berkembang dengan sendirinya melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kepribadian yaitu konsep diri. Jika mahasiswa memiliki konsep diri yang positif maka mereka mampu menilai hubungannya dengan orang lain secara tepat sehingga akan tumbuh kemampuan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. Sementara mahasiswa yang memiliki konsep diri negatif biasanya akan memiliki sikap ragu dan kurang percaya diri sehingga pada akhirnya akan menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock, 1996). Gage dan Berliner (1984) menambahkan bahwa konsep diri turut mempengaruhi prestasi seseorang. Bila seseorang memandang positif terhadap kemampuan yang dimilikinya maka orang tersebut akan memiliki keyakinan untuk meraih prestasi sebaliknya jika seseorang memandang negatif terhadap kemampuan yang dimilikinya maka dalam diri orang tersebut akan timbul perasaan tidak mampu untuk meraih prestasi yang tinggi. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dan penyesuaian diri secara bersama-sama terhadap prestasi belajar mahasiswa di Perguruan Tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin positif konsep diri mahasiswa maka penyesuaian diri akan semakin baik dan prestasi belajar akan semakin tinggi demikian sebaliknya jika konsep diri mahasiswa negatif maka penyesuaian diri mereka akan semakin buruk dan prestasi belajar mereka pun menjadi rendah. II.F. HIPOTESA Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : “Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dan penyesuaian diri secara bersama-sama terhadap prestasi belajar mahasiswa baru”. Universitas Sumatera Utara