Kelompok 2 Resty (E13115310) Firdha Aulia Ismail (E13115502) Khatibul Umam (E13115020) Resky S. (E13115018) THE CLASSICAL GOLD STANDART Sebelum perang dunia pertama, pemerintah menggunakan gold standart dalam sistem moneter. Dalam sistem ini, pemerintah menetapkan mata uang nasional dengan mendasarkan pada sejumlah emas. Contohnya, antara tahun 1834 dan 1933, pemerintah Amerika Serikat menetapkan bahwa 20.67 dollar senilai dengan emas satu ons. Standar pada emas muncul ditengah sistem moneter internasional pada tahun 1870-an. Inggris telah mengadopsi gold standart ini sejak awal abad kedelapan belas, tetap sebagain besar mata uang lainnya tetap berdasarkan pada perak atau pada kombinasi antara perak dan emas. Selama 1870-an, sebagian negara eropa serta negara-negara US meninggalan silver standart dan beralih ke gold standart. Negara-negala lain kemudian ikut meninggalkan sistem ini pada tahun 1880-an dan 1980-an. Banyaknya negara yang mengadopsi gold standart merefleksikan apa yang para ahli ekonomi sebut sebagi “network externalities” ─ keuntungan mengadopsi standar emas tumbuh sejalan dengan sejumlah negara yang sudah mengadopsi emas. Stabilitas nilai tukar ini memfasilitasi pertumbuhan yang cepat dari perdagangan internasional dan arus keuangan pada akhir abad kesembilan belas. Dengan alat tukar yang telah ditetapkan, perubahan harga di setiap negara dipengaruhi oleh arus silang pergerakan emas; harga meningkat jika emas masuk ke dalam suatu negara dan menurun jika terjadi arus keluar. Arus silang emas sebaliknya dipengaruhi oleh mekasnisme “price specie-flow.” Mekasnisme ini Mengharukan Amerika Serikat mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tiba-tiba. Dengan ditetakannya persediaan uang (sebenarnya persediaan emas), pertumbuhan tersebut akan menurunkan tekanan harga. Hal ini dikarenakan semakin banyak ketersediaan barang untuk dibeli dengan satuan uang yang telah ditetapkan, harga rata-rata barang tersebut pasti akan menurun. Jika harga domestik AS jatuh, ekspor akan meningkat dan impor akan berkurang sehingga menyebabkan surplus pada neraca pembayaran. Surplus ini akan menarik emas kembali ke AS. Pada akhirnya, ekspansi moneter yang dihasilkan akan mendorong harga domestic AS kembali ke harga rata-rata. Negar lain pun akan mengalami dinamika yang relatif sama. Itu akan mengembangkan pemulihan deficit sebagai hal yang selalu dipasangkan dengan surplus. Defisit ini akan menghasilkan emas mengalir keluar (gold outflow) dimana arus ini akan menyebabkan harga menurun di negaranegar lain. Mekanisme price specie-flow dengan demikian akan menyebabkan inlasi dan deflasi berulang-ulang dalam negara yang menggunakan gold standart. Pemerintah tidak sharusnya menggunakan kebijakan moneter untuk mengatasi perubahasn-perubahan harga tersebut. Sebaliknya, pemerintah sehararusnya mengikuti “aturan permainan.” Aturan tersebut membuat negara harus kehilangan emas sebagai akibat dari defisit eksternal untuk meningkatkan tingkat diskonto ― suku bunga yang dipinjamkan bank sentral ke bank lain. Hal ini dimaksukan untuk membatasi kredit domestik dan investasi domestik yang lamban. Kredit yang lebih sulit akan menguatkan tekanan deflasi yang disebabkan oleh emas yang terus bergerak ke luar negeri. Dengan mengumpulkan emas sebagai konsekuensi dari surplus eksternal, negara diharapkan dapat menurunkan tingkat diskonto untuk memperbanyak kredit dan meningkatkan investasi. Untuk itu, aturan permainan mengharuskan bank sentral untuk mengatur kebijakan moneter sebagai tindakan untuk menyeimbangkan neraca pembayaran dibanding untuk memperbaiki kondisi ekonomi domestic. Dengan cara ini, gold standart memaksa pemerintah untuk mengesampingkan stabilitas harga dalam negeri untuk menjaga satbilitas nilai tukar eksternal. Ketidakstabilan harga domestik merupakan suatu hal yang substansial. Di Amerika Serikat misalnya harga domestik menurun sebesar 28 % diantara tahun 1869 dan 1879, kemudian meningkat sebesar 11 persen dalam 5 tahun berikutnya, lalu kembali menurun sebesar 25 % diantara tahun 1884 dan 1896, dan kembali meningkat secara berangsur-angsur selama 15 tahun berikutnya. Koefisien variasi menunjukkan pengukuran ketidakstabilan harga domestik yang lebih sistematis. Koefisien ini merupakan rasio antara standar deviasi perubahan persentase tahunan harga domestik dengan rata – rata perubahan persentase tahunan. Ketidakstabilan harga yang lebih besar mengakibatkan koefisien variasi yang lebih besar pula. Antara tahun 1880 dan 1913, koefiesien variasi untuk Amerika Serikat ialah sebesar 17. Sebagai perbandingan, koefisien variasi di era pasca perang dunia kedua yang merupakan era dengan tingkat fleksibitas pertukaran yang lebih besar hanya memiliki koefisien variasi sebesar 0,8. Oleh karena itu, walaupun standar emas menstabilkan tingkat pertukaran, stabilitas eksternal muncul pada harga dari ketidakstabilan harga domestik yang substansial. Ketidak-stabilan harga domestik memicu timbulnya konflik. Seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-19. Petani padi dihimpit oleh defasi sepanjang tahun 1884 hingga 1896. Harga komoditas jatuh lebih cepat dibanding harga barang manufaktur dan jasa yang petani beli sehingga mengurangi daya beli pertanian. Apalagi, kebanyakan petani memiliki utang sehingga kejatuhan harga komoditas membuat mereka mendistribusikan pendapatan mereka lebih banyak pada poembayaran utang. Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat merasa memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan sistem ke Bimetallic Standart. Bimetallic Standart merupakan sistem moneter di mana satuan mata uang didasarkan pada emas dan perak. Mereka yang pro sistem ini berpendapat bahwa standar perak akan menaikkan persediaan uang dan meningkatkan harga komoditas. Pergerakan mulai muncul pada 1896 ketika sayap pro-standar perak mengalahkan sayap pro-standar emas dalam partai Demokrat. Kemenangan ini disimbolkan dengan nominasi William Jenning Bryan sebagai kandidat presiden tahun 1896. Bryan menyampaikan pidato di hadapan konvensi bahwa petani tidak akan “dipaku di salib emas.” Namun pada akhirnya, Bryan kalah oleh William McKinley dari Partai Republikan. Selanjutnya standar perang kehilangan kekuatannya bersamaan denga harga komoditas yang terus naik dan tetap tinggi hingga akhir Perang Dunia I.