II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial 2.1.1

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Modal Sosial
2.1.1 Pengertian Modal Sosial
Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat
atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial beserta komponen-komponennya menjadi perekat yang
akan menjaga kesatuan anggota kelompok. Modal yang satu ini penting
diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama, dalam konteks hubungan
antar-individu dalam komunitas, lembaga, asosiasi, kelompok, tim dan
sejenisnya. Di dalam prosesnya, gerakan itu ditopang oleh nilai dan
norma yang khas, yaitu trust, saling memberi dan menerima, toleransi,
penghargaan, partisipasi, kerja sama dan proaktif, serta nilai-nilai
positif saling mengikat dan menjadi penentu kualitas dan energi sosial
yang dihasilkan agar dapat membawa kemajuan bersama. Pengikatan
inilah yang menyatukan setiap anggota kelompok dan member aksi
bersama yang dilakukan secara efisien dan efektif (Djohan, 2007).
Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinisikan, modal
sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu
sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan
hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi
sosial yang lain. Sedangkan Putnam (1993) mendefinisikan modal
sosial adalah sejenis perekat sosial yang memfasilitasi tindakan di
tingkat masyarakat yang pada gilirannya, memungkinkan berbagai
manfaat bagi kegiatan sosial kemasyarakatan.
Fukuyama
(1995)
mendefinisikan
modal
sosial
sebagai
serangkaian nilai-nilai atau norma-normal informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama diantara mereka. Sejalan dengan Fukuyama, Cox
E. (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai hubungan-hubungan
yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas
hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
6
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
kelompok secara bersama-sama.
Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan modal sosial
sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan
dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas
untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi
besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
2.1.2 Dimensi Modal Sosial
Keberagaman definisi modal sosial muncul dari perbedaan
tingkat analisis yang menjadi fokus para periset. Narayan dan Cassidy
(2001) yang memiliki fokus pada tingkat analisis makro, membagi
modal sosial menjadi beberapa dimensi yang meliputi:
1. Karakteristik kelompok
2. Norma yang mengikat
3. Kebersamaan
4. Pergaulan sehari-hari
5. Hubungan dalam network
6. Kesukarelaan dan kepercayaan
Disisi lain, Nahapiet dan Ghoshal (1998) berfokus pada tingkat
analisis individu dalam menyusun dimensi modal sosial menjadi tiga
dimensi, yaitu:
1. Dimensi struktural
Dimensi struktural merupakan sebuah pola hubungan antar
orang dan interaksi sosial yang ada dalam organisasi. Nehapiet dan
Ghoshal (1998) mendefinisikan modal sosial struktural sebagai
keseluruhan bentuk dari hubungan antar pelaku-pelaku sosial.
Menurut McFayden dan Canella (2004), dimensi struktural
menyangkut kedekatan dan adanya hubungan antar anggota jaringan
kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Dimensi
struktural memiliki makna bahwa posisi seseorang dalam struktur
interaksi akan memberinya keuntungan tertentu. Dengan demikian,
7
seseorang yang memiliki interaksi yang baik dengan rekan kerjanya
akan berkinerja dengan lebih baik.
Adanya interaksi yang baik akan sangat kondusif untuk
kerjasama yang baik antar anggota organisasi. Interaksi yang baik
akan mengakibatkan intensitas hubungan kerja yang semakin baik
dan menumbuhkan kedekatan antar karyawan. Dengan demikian,
seseorang akan lebih mudah mendapatkan bantuan dan dukungan
dari rekan kerjanya, misalnya seseorang akan bisa saling mengakses
sumberdaya dan informasi dengan sesama rekan kerja. Hal ini akan
memperlancar proses kerja anggota organisasi, yang akan membuat
anggota organisasi tersebut berkinerja dengan lebih baik. Dimensi
ini juga menjelaskan model hubungan seperti pengukuran keeratan,
hubungan, hirarki, dan organisasi yang sesuai.
2. Dimensi relasional
Dimensi relasional merupakan asset yang diciptakan dan
tumbuh dalam hubungan antar anggota organisasi yang mencakup
kepercayaan, kelayakan dipercayakan, norma dan sangsi, kewajiban
dan harapan, identitas, dan identifikasi (Nehapiet dan Ghoshal,
1998).
Kepercayaan adalah atribut yang melekat dalam suatu
hubungan. Kelayakan dipercaya merupakan atribut yang melekat
pada individu yang terlibat dalam hubungan tersebut. Makin tinggi
tingkat kepercayaan antar rekan kerja dalam suatu organisasi,
orang-orang dalam organisasi tersebut dikatakan memiliki tingkat
kelayakan
dipercaya
yang
tinggi.
Dalam
kondisi
saling
mempercayai yang tinggi, orang akan lebih mampu bekerja dengan
lebih baik dalam suatu pertukaran sosial dalam bentuk kerja sama
dengan orang lain. Dengan demikian, dimensi relasional juga akan
mempengaruhi proses kerja seseorang, sehingga akan membuat
orang bekerja dengan lebih baik.
Dimensi relasional mencakup pertukaran antar invidu,
rekan-rekan kerja yang saling mengenal atau saling bertukar
8
pendapat (McFayden dan Canella, 2004). Dengan kata lain dimensi
relasional lebih merujuk pada sifat hubungan (misalnya rasa hormat,
saling menghargai, dan persahabatan) yang menentukan perilaku
anggota jaringannya.
3.
Dimensi kognitif
Dimensi
kognitif
merupakan
sumber
daya
yang
memberikan representasi dan interpretasi bersama, serta menjadi
sistem makna antar pihak dalam organisasi. Nahapiet dan Ghoshal
(1998) mendefinisikan dimensi ketiga ini sebagai bahasa bersama
(shared languages), berbagi cerita (shared narratives) dan visi
bersama (shared vision) yang memfasilitasi pemahaman tentang
tujuan kolektif dan cara bertindak dalam suatu system sosial.
Bahasa bersama (shared languages) akan tampak pada
penggunaan kata-kata tertentu sebagai kata-kata (istilah-istilah)
yang dipahami bersamana dalam komunikasi antar anggota
organisasi. Berbagi cerita (shared narratives) akan tampak jika
anggota organisasi seringkali menceritakan hal-hal yang sama
dalam bentuk “mitos organisasi” ataupun tentang hal-hal yang
terjadi dalam kehidupan kerja mereka. Jika ada bahasa bersama
(shared languages) dan berbagi cerita (shared narratives),
komunikasi antara anggota akan lebih baik dan terbuka.
Bahasa bersama (shared languages) dan berbagi cerita
(shared narratives) juga akan mempengaruhi persepsi anggota
organisasi. Bahasa bersama (shared languages) dan berbagi cerita
(shared narratives) akan menciptakan persepsi yang sama antar
anggota organisasi yang akan mempercepat proses komunikasi
untuk menunjang kinerja. Umumnya dimensi kognitif dalam bentuk
bahasa bersama (shared languages) dan berbagi cerita (shared
narratives) akan mengarah ke pemahaman yang sama tentang
tujuan organisasi (visi bersama). Jika anggota organisasi memiliki
pemahaman yang sama tentang tujuan organisasi mereka akan bisa
bekerja dengan lebih baik.
9
2.2. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
2.2.1 Pengertian OCB
Organizational
Citizenship
Behavior
(OCB)
merupakan
kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan direward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa
perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan
untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedurprosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan "nilai
tambah karyawan" yang merupakan salah satu bentuk perilaku pro
sosial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna
membantu (Aldag & Resckhe. 1997:1 dalam Rahardiningtyas).
Organ (1988) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu
yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan
sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
OCB merupakan:
1. Perilaku yang bersifat suka rela, bukan merupakan tindakan yang
terpaksa terhadap hal-hal
yang mengedepankan kepentingan
organisasi.
2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja,
tidak diperintahkan secara formal.
3. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem
reward yang formal.
2.2.2 Dimensi OCB
Beberapa
dikembangkan.
pengukuran
Skala
tentang
Morrison
OCB
(1995)
seseorang
merupakan
salah
telah
satu
pengukuran yang sudah disempurnakan dan memiliki kemampuan
psikometrik
yang
baik
(Aldag
&
Resckhe,
1997:4-5
dalam
Hardaningtyas). Skala ini mengukur kelima dimensi OCB sebagai
berikut:
10
Dimensi 1: Altruisme (Altruism) – paham (sifat) suka memperhatikan
dan mengutamakan kepentingan di dalam organisasi,
dimana hal ini sangat menguntungkan perusahaan
a. Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau
istirahat.
b. Membantu rekan kerja yang pekerjaannya overload.
c. Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun
tidak diminta.
d. Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat
mereka tidak masuk.
e. Meluangkan waktu untuk membantu orang lain
berkaitan
dengan
permasalahan
-
permasalahan
pekerjaan.
f. Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka
memiliki permasalahan.
g. Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa
diminta.
Dimensi 2: Kehormatan (Courtesy) – Perilaku, proses, cara yang
memberikan
bentuk
bentuk
penghormatan
terhadap
perusahaan
a. Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang
membantu image organisasi.
b. Memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan
yang dianggap penting.
c. Membantu
mengatur
kebersamaan
secara
departemental.
Dimensi 3: Kebajikan sipil (Civic Virtue) - Menyimpan informasi
tentang kejadian-kejadian maupun perubahan-perubahan
dalam organisasi
a. Mengikuti perubahan-perubahan dan perkembanganperkembangan dalam organisasi.
11
b. Membaca dan mengikuti pengumuman–pengumuman
organisasi.
c. Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik
untuk organisasi
Dimensi 4: Sikap sportif (Sportsmanship) - kemauan untuk bertoleransi
tanpa mengeluh, menahan diri dari aktivitas-aktivitas
mengeluh dan mengumpat.
a. Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi.
b. Tidak mengeluh tentang segala sesuatu.
c. Tidak
membesar-besarkan
permasalahan
di
luar
proporsinya.
Dimensi 5: Kesadaran (Conscientiousness) - perilaku yang melebihi
prasyarat minimum seperti kehadiran, kepatuhan terhadap
aturan, dan sebagainya
a. Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadwal
kerja dimulai.
b. Tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim
ataupun lalu lintas, dan sebagainya.
c. Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar
pekerjaan.
d. Datang segera jika dibutuhkan.
e. Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki
ekstra 6 hari.
2.2.3 Manfaat OCB dalam Perusahaan
Berdasarakan hasil penelitian-penelitian mengenai pengaruh
OCB terhadap kinerja organisasi (Podsakoff & MacKenzie dalam
Podsakoff et al. 2000 ), dapat disimpulkan hasil sebagai berikut:
1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja.
a. Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat
penyelesaian
tugas
rekan
kerjanya,
dan
meningkatkan produktivitas rekan tersebut.
pada
gilirannya
12
b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang
ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice
ke seluruh unit kerja atau kelompok.
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer.
a. Karyawan yang menampilkan perilaku kebajikan sipil (civic
virtue) akan membantu manajer mendapatkan saran dan/atau
umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk
meningkatkan efektivitas unit kerja.
b. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik
dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis
manajemen.
3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan
organisasi secara keseluruhan.
a. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan
masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan
manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk
melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan.
b. Karyawan yang menampilkan kesadaran (conscientiousness) yang
tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer
sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang
lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang
diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting.
c. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan
dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi
mengurangi biaya untuk keperluan tersebut.
d. Karyawan
yang
(sportsmanship)
menampilkan
akan
sangat
perilaku
menolong
sikap
sportif
manajer
tidak
menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan
keluhan-keluhan kecil karyawan.
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk
memelihara fungsi kelompok.
13
a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan
semangat, moral, dan kerekatan kelompok, sehingga anggota
kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan
waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.
b. Karyawan yang menampilkan perilaku kehormatan (courtesy)
terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok,
sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik
manajemen berkurang.
5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatankegiatan kelompok kerja.
a. Menampilkan perilaku kebajikan sipil (civic virtue), seperti
menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit
kerjanya, akan membantu koordinasi di antara anggota kelompok,
yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kelompok.
b. Menampilkan perilaku kehormatan (courtesy), misalnya saling
memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim
lain, akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan
waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan terbaik.
a. Perilaku menolong dapat meningkatkan moral dan kerekatan serta
perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga
akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi
menarik dan mempertahankan karyawan yang baik
b. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan
perilaku sikap sportif (sportsmanship), misalnya tidak mengeluh
karena permasalahan-permasalahan kecil, akan menumbuhkan
loyalitas dan komitmen pada organisasi.
7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
14
a. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau
yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas
(dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.
b. Kesadaran (conscientious) karyawan cenderung mempertahankan
tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi
variabilitas pada kinerja unit kerja.
8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan.
a. Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar
dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang
terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana
merespon
perubahan
tersebut,
sehingga
organisasi
dapat
beradaptasi dengan cepat.
b. Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada
pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan
informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi.
c. Karyawan yang menampilkan perilaku kesadaran (conscientious),
misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan
mempelajari keahlian baru, akan meningkatkan kemampuan
organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
Berdasarkan paparan diatas bisa disimpulkan bahwa OCB
menimbulkan dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatnya
kualitas pelayanan, meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkan
tingkat turnover. Penting bagi sebuah organisasi untuk meningkatkan
OCB di kalangan karyawannya.
2.3. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang berhubungan dengan modal sosial dan OCB
dalam suatu perusahaan atau organisasi yang telah dilakukan dapat dilihat
pada Tabel 1.
15
Tabel 1. Penelitian-penelitian Terdahulu Tentang Modal Sosial dan OCB
No
Penulis
1
Fukuyama
(1995)
2
Podsakoff
dan
MacKenzie
(1997)
3
David J.
Houston
(2000)
4
Wisnu
Prajogo
(2003)
5
Ferry
Novliadi
(2007)
Variabel
Modal sosial,
efektivitas
organisasional,
biaya transaksi
OCB dan kualitas
pelayanan
Dependen:
OCB Public
Personel
Independen:
Job Satisfaction
Modal sosial,
Kepemimpinan
Transaksional,
Kepemimpinan
Transformasional.
Persepsi terhadap
kualitas interaksi
atasan bawahan,
persepsi terhadap
dukungan
organisasional,
OCB
Hasil
Modal sosial berhubungan positif
dengan efektivitas organisasional
melalui
pengurangan
biaya
transaksi organisasional.
Membuktikan bahwa semakin
tinggi tingkat OCB di kalangan
karyawan
dalam
sebuah
perusahaan, akan membuat tingkat
kepuasan konsumen terhadap
perusahaan tersebut juga tinggi
yang ditandai dengan rendahnya
tingkat complain yang diterima
perusahaan.
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa motivasi
kerja Public Personel
berpengaruh secara signifikan
terhadap OCB nya
1. Adanya
dukungan
pada
pengaruh
kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan
transformasional pada dimensi
relasional modal sosial.
2. Tidak member dukungan pada
pengaruh
kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan
transformasional pada dimensi
struktural modal sosial.
3. Dimensi kognitif modal sosial
tidak akan dipengaruhi oleh
kepemimpinan transaksional
Kualitas interaksi atasan-bawahan
dan dukungan organisasi berpengaruh positif pada pelaksanaan
OCB pada karyawan sesuai dengan
teori pertukaran sosial (social
exchange theory).
Download