The Effectivity of Fish Meal Reduction at Different Levels of Protein

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Umum Ikan Lele
Ikan lele (Clarias sp) merupakan ikan lele asli Indonesia. Budidaya ikan
ini biasanya dilakukan di kolam-kolam tergenang hampir diseluruh propinsi di
Indonesia. Karena ikan ini memiliki alat pernafasan labirin, ikan ini memiliki
kemampuan untuk hidup pada kadar oksigen yang rendah oleh karena itu ikan ini
dapat dipelihara pada kepadatan yang tinggi. Ikan ini memiliki kemampuan
merangkak di luar air, sehingga di sebut “ walking catfish“. Adapun ciri-ciri
utama ikan ini adalah badan licin tidak bersisik dan memanjang, kepala gepeng
(depressed), mulut mendatar dan di ujung kepala, memiliki empat pasang kumis,
sirip punggung dan sirip dubur panjang mencapai panjang ekor, sirip ekor
berbentuk bulat diujungnya dan badan berwarna abu-abu. Klasifikasi ikan lele
adalah Phillum Chordata, Kelas Actinopterygii, Ordo Siluriformis, Familia
Clariidae dan Genus Clarias.
Kebutuhan Nutrien Ikan Lele
Protein adalah merupakan komponen utama jaringan dan organ dari
tubuh hewan dan juga senyawa nitrogen lainnya seperti asam nukleat, enzim,
hormon dan vitamin, sehingga keberadaannya harus secara terus menerus disuplai
dari makanan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Furuichi 1988).
Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh
komposisi asam amino pakan. Ikan membutuhkan 10 jenis asam amino essensial
untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal yaitu arginin, histidin,
metionin, lisin, fenilalanin, isoleusin, treonin, triptofan dan valin. Asam amino
esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus
tersedia dalam pakan (NRC, 1983).
Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung
dipengaruhi oleh komposisi asam amino pakan. Ikan, seperti hewan lain tidak
memiliki kebutuhan protein yang mutlak tetapi memerlukan suatu campuran yang
seimbang antara asam amino esensial dan non-esensial. Selanjutnya NRC (1983)
mengemukakan pula bahwa kekurangan asam amino esensial menyebabkan
5
penurunan pertumbuhan. Jumlah asam amino yang akan digunakan untuk
pertumbuhan juga
semakin menurun seiring dengan penurunan tingkat
pertumbuhan. Jumlah asam amino yang digunakan untuk pertumbuahan dan
maintenance sangat tergantung dengan kualitas protein, tingkat asupan protein
dan kandungan energi yang dapat dicerna dari pakan serta keadaan fisiologi ikan
itu sendiri. Asam amino yang digunakan sebagai sumber energi akan dideaminasi
dan dilepaskan sebagai amonia yang akan dikeluarkan melalui insang. Pakan yang
mempunyai kualitas protein yang baik akan menghasilkan eksresi nitrogen yang
lebih sedikit dari pada pakan yang mempunyai kualitas protein yang buruk
(Furuichi 1988). Kebutuhan asam amino yang diberikan oleh NRC disajikan pada
Tabel 1. masing-masing untuk lele (catfish), trout, salmon, karper atau mas (carp),
dan nila atau mujahir (tilapia).
Tabel 1. Kebutuhan Asam Amino Untuk Ikan Menurut NRC
Lele
(Channel
Catfish)
3.000
32 (28)
Rainbow
Trout
Pacific
Salmon
Karper
(Common
Carp)
3.200
35 (30,5)
Tilapia
(Nila)
Energi (kcal DE/kg pakan
3.600
3.600
3000
Protein (Kecernaan) %
38 (34)
38 (34)
32 (28)
Asam Amino
Arginin (%)
1,20
1,5
2,04
1,31
1,18
Histidin (%)
0,42
0,7
0,61
0,64
0,48
Isoleusin (%)
0,73
0,9
0,75
0,76
0,87
Leusin (%)
0,98
1,4
1,33
1,00
0,95
Lisin (%)
1,43
1,8
1,70
1,74
1,43
Methionin + sintin (%)
0,64
1,0
1,36
0,94
0,90
Fenilalanin + tirosin (%)
1,40
1,8
1,73
1,98
1,55
Treonin (%)
0,56
0,8
0,75
1,19
1,05
Tiptofan (%)
0,14
0,2
0,17
0,24
0,28
Valin (%)
0,84
1,2
1,09
1,10
0,78
Sumber : Nutrient Requirements of Fish (1993) dalam Subandiyono dan Sri Hastuti, 2009
Penelitian membuktikan bahwa antar spesies ikan terdapat perbedaan
yang sangat besar dalam kebutuhannya terhadap asam amino. Beberapa perbedaan
tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pada laju pertumbuhan, bobot
pakan yang dikonsumsi, dan sumber asam amino dalam pakan. Kekurangan atau
defisiensi akan protein atau asam amino esensial berakibat menurunkan perolehan
bobot.
6
Kebutuhan Protein dan Energi
Protein adalah nutrien yang sangat penting untuk fungsi
jaringan
normal, untuk pemeliharaan tubuh, penggantian jaringan-jaringan tubuh yang
rusak dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan protein ikan dipengaruhi oleh berbagai
factor seperti ukuran ikan, suhu air, tingkat pemberian pakan, jumlah dan kualitas
pakan alami, kandungan energi pakan dan kualitas protein (Watanabe, 1988).
Kebutuhan protein pada stadia awal lebih tinggi dibanding selama fase lanjutan
dari pertumbuhan. Lovell (1989) menyatakan bahwa channel catfish yang
berukuran 3 g memerlukan protein yang 4 kali lebih banyak dibandingkan ikan
berukuran 250 g untuk pertumbuhan maksimum. Menurut Agus Kurnia (2002),
diacu dalam Page dan Andrew (1973), kebutuhan protein bervariasi menurut
bobot tubuh.
Mereka menemukan bahwa channel catfish ukuran 14-100 g
memerlukan pakan yang mengandung 35% protein, sedangkan yang berukuran
114-500 g memerlukan hanya 25% protein. Namun, pada umumnya ikan
membutuhkan protein sekitar 35-50% dalam pakannya (Hepher, 1990).
Kebutuhan protein pakan untuk beberapa jenis catfish telah ditentukan pada stadia
yang berbeda dari pertumbuhan dan pada kondisi yang beragam. Ikan lele Clarias
batrachus memerlukan kadar protein 30% (Chuapoehuk, 1987) dan African
Catfish, C. gariepinus, 45-49% (Machiels & Henken, 1984) dalam pakan.
Protein berperan penting untuk pertumbuhan (Watanabe, 1988).
Kandungan protein mencapai 60-75% dari bobot tubuh ikan, sehingga ikan
membutuhkan protein untuk pertumbuhannya yang hanya bisa dipasok melalui
pakan (Akiyama et al., 1992 diacu dalam Velasco et al., 2000). Selanjutnya
kebutuhan protein kasar untuk ikan lele Clarias batrachus adalah 30% sedangkan
untuk Clarias gariepinus adalah 40%.
Protein berfungsi sebagai zat pembangun yang membentuk jaringan baru
untuk pertumbuhan, pengganti jaringan yang rusak, reproduksi, sebagai zat
pengatur dalam pembentukan enzim dan hormon serta penjaga dan pengatur
berbagai proses metabolisme dalam tubuh dan berfungsi sebagai zat pembakar
karena unsur karbon didalamnya dapat difungsikan sebagai sumber energi pada
saat kebutuhan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Sahwan, 2003).
7
Kebutuhan ikan akan protein sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain ketersediaan energi non protein (lemak dan karbohidrat), spesies,
ukuran dan umur ikan, kualitas protein, suhu air, serta tingkat pemberian pakan
(Furuichi, 1988; Watanabe, 1988; Shiau, 1998). Kekurangan protein akan
menyebabkan ikan kehilangan bobot tubuhnya karena protein dari beberapa
jaringan vital akan diambil kembali untuk memelihara fungsi jaringan yang lebih
vital lagi dan untuk mengganti sel yang mati. Sebaliknya kelebihan protein pada
makanan akan menyebabkan proporsi protein yang disimpan dalam jaringan
hanya sedikit, sedang selebihnya akan diubah dan digunakan sebagai sumber
energi. Kelebihan protein juga akan menyebabkan pembuangan nitrogen yang
banyak ke lingkungan budidaya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan
perbandingan antara energi dan protein yang optimum di dalam makanan
(Boonyaratpalin, 1991).
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan bahan pakan sumber protein dan asam amino
berkualitas tinggi tergantung jenis ikan yang digunakan. Pada prinsipnya
pembuatan tepung ikan adalah suatu proses pengeringan yang bertujuan untuk
mendapatkan tepung berkadar air hingga 10%, sehingga produk tetap stabil dan
terbebas dari pertumbuhan bakteri dan penguraian enzim (Burkle et al. 2007).
Lim (2004) menyatakan bahwa tepung ikan banyak digunakan sebagai
sumber protein sebagian besar spesies budidaya. Hal ini disebabkan oleh
kandungan protein yang tinggi, profil asam amino yang sesuai, kecernaan protein
dan asam amino yang tinggi. Tepung ikan mengandung protein 60-80% dan
hampir 80-95% dapat dicerna ikan serta memiliki nilai lisin dan metionin yang
tinggi, yaitu dua jenis asam amino yang jumlahnya sedikit pada bahan-bahan
pakan yang berasal dari tumbuhan (Lovel 1988).
Bahan baku pembuatan tepung ikan dapat berupa ikan segar utuh serta
limbah hasil perikanan berupa sisa-sisa pengolahan dan ikan rucah yang tidak
dimanfaatkan secara ekonomis. Tepung ikan dengan bahan baku ikan lemuru utuh
segar mengandung protein 71.62 %, ikan lemuru hasil limbah pengalengan
mengandung protein 55.04%, sedangkan limbah kepala udang dijadikan tepung
kepala udang dengan kandungan protein 35.90%, kandungan protein tepung ikan
8
mutu 1 adalah 65%, mutu II 55% dan mutu III 45% (SNI 1996). Kandungan
tepung ikan yang tinggi digunakan sebagai bahan pakan ikan pada stadia awal
atau pada ikan karnivora. Namun demikian karena harganya yang relatif mahal
jika dibandingkan dengan sumber protein nabati lainnya, maka penggunaan
tepung ikan dikombinasikan dengan sumber protein nabati untuk ikan omnivora
(Li, 2000).
Poultry By-Product Meal (PBM)
Poultry By-Product Meal (PBM) merupakan bagian yang tidak
termanfaatkan dari pemotongan unggas yang masih dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein bagi pakan ikan sebagai substitusi dari pakan ikan, terdiri atas
kepala, kaki, telur yang tidak berkembang dan jeroan. Kemudian, bagian tersebut
lebih baik harus dihancurkan dan dibersihkan. Bulu tidak digunakan dalam proses
Poultry By-product Meal yang juga disebut Poultry offal meal atau tepung
buangan unggas. Kandungan protein dari PBM rata-rata adalah 61% (Hertrampf
JW, 2000).
Kira-kira 70% dari berat hidup dari ayam petelur dan broiler adalah
dikonsumsi manusia. Kepala, kaki dan jumlah isi perut 19.7% pada ayam petelur
dan 16.5% pada ayam broiler. Bagian dari buangan yang tidak dikonsumsi
jumlahnya menurun dari 0.4% per 100 g meningkat pada berat hidup pada ayam
broiler.
Poultry By-product Meal adalah terdiri dari bermacam-macam material.
Protein memiliki keunggulan dari jaringan penghubung. Jumlah rata-rata protein
kasar 61% dari 56,4 untuk ”whole poulty meal” 84,2% adalah lebih rendah dalam
protein dan dan hampir sama untuk jumlah lemak. Poultry By-product Meal selalu
termasuk beberapa urea dari saluran pencernaan. Jumlah 0,5% dianggap normal.
Tingginya urea pada Poultry By-product Meal mengindikasikan bahwa
pencampuran. Bulu yang kasar juga digunakan untuk pencampuran produk yang
menurunkan kualitas proteinnya. Poultry By-product Meal merupakan sumber
asamamino esensial yang baik.
9
Meat Bone Meal (MBM)
Meat Bone Meal (MBM) atau tepung daging dan tulang merupakan
bahan baku pakan yang terbuat dari hasil pengolahan limbah hewn ternak.
Kandungan protein yang terdapat pada MBM berkisar antara 45-55%, (Lovell,
1989). Namun NRC (1993) menyatakan bahwa kandungan protein MBM masih
berada di bawah tepung ikan. Scoot ,Nesheim, and Young (1982) juga
menambahkan bahwa tepung tulang dan daging (MBM) memiliki kandungan
asam amino methionine dan cystine dalam jumlah sedikit tetapi memiliki
kandungan asam amino lysine yang tinggi. Selain itu, karena merupakan hasil
pengolahan limbah ternak yakni tulang dan daging maka bahan ini memiliki
kandugan fosfor yang tinggi (Lovell, 1989). Namun pemakaian MBM dalam
pakan ikan tidak dapat seutuhnya menggantikan tepung ikan sebagai sumber
protein hewani . Millamena et al., (2002) menyebutkan bahwa sumber protein
yang baik dalam pakan ikan adalah bahan baku yang memeiliki kandungan asam
amino mendekati kandungan asam amino ikan budidaya. Hal tersebut yang
membatasi bagi MBM dalam persentase pemakaian dalam pakan ikan. Lebih
lanjut Millamena et al., (2002) menyebtkan bahwa sumber protein yang baik
dalam pakan ikan adalah bahan baku yang memiliki kandungan asam amino
mendekati komposisi asam amino ikan budi daya. Lebih lanjut Millamena et al.,
(2002) menyatakan bahwa rekomndasi pemakaian MBM pada formulasi pakan
ikan karnivor 20% dan ikan herbivor serta omnivor hanya mencapai 25%.
Tepung Bungkil Kedelai
Menurut Li (2000), tepung bungkil kedelai mengandung 42-48% protein
kasar dan 0,5-3,5% minyak. Tepung bungkil kedelai memiliki profil asam amino
terbaik jika dibandingkan sumber protein nabati lainnya. Tepung bungkil kedelai
memiliki hampir semua asam amino esensial serta palatabilitas yang tinggi untuk
ikan jenis channel catfish. Faktor anti nutrisi di tepung kedelai, terutama trypsin
inhibitor dapat dikurangi melalui proses pemanasan pada pembuatan pakan ikan.
10
Kecernaan Pakan
Pakan yang masuk ke saluran pencernaan akan dicerna menjadi senyawa
sederhana berukuran mikro, dimana asam amino dihidrolisis menjadi asam - asam
amino atau peptida sederhana, lemak menjadi gliserol dan asam lemak dan
karbohidrat menjadi gula sederhana (Helver, 1988). Senyawa-senyawa sederhana
tersebut kemudian diabsorbsi melalui sel-sel enterosit yang terdapat di dinding
usus, selanjutnya melalui peredaran darah dialirkan ke seluruh tubuh. Pakan yang
dicerna oleh tubuh ikan dapat diukur sehingga diperoleh nilai kecernaan
(koefisien kecernaan). Nilai kecernaan ini menggambarkan kemampuan ikan
dalam mencerna suatu pakan dan juga menggambarkan kualitas pakan yang
dikonsumsi oleh ikan.
Ekskresi Amonia
Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi ,
maka lemak dan karbohidrat ini akan menghasilkan oksidasi lengkap menjadi
karbondioksida dalam air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi,
hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai sumber energi sedangkan nitrogen
(amino) yang dipakai sebagai sumber energi, maka ikan dapat dimetabolisme dan
harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus amino dikeluarkan dari asam
amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksi dikatalis oleh
enzim amino transferase didalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamat
dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kemudian dilepas
kepembuluh darah hepatic untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang
dalam hal ini insang melalui sistem sirkulasi darah (Dosdat et al., 1996 ; Hepher,
1990).
Eksresi amonia menunjukkan jumlah relatif protein pakan yang dicerna
untuk sintesis protein atau sumber energi (Ming, 1985). Amonia dalam perairan
terdapat dalam dua bentuk yaitu un-ionized (NH3) dan ionized (NH4+). Amonia
dalam bentuk NH3 bersifat lipofilik yang mudah berdifusi melalui membran
respirasi sehingga bersifat toksik bagi kehidupan akuatik dibandingkan NH 4+ yang
kemampuan penetrasinya ke dalam membran respirasi lebih kecil (Jobling, 1994).
Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan
11
perairan. Konsentrasi amonia akan meningkat dengan meningkatnya pH dan
temperatur. Lingkungan dengan konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan
ikan stres, pertumbuhan terhambat bahkan kematian (Forsberg & Summerfelt,
1992; Jobling, 1994).
Ming (1985) mengemukakan bahwa meningkatnya eksresi amonia
dengan cepat lebih banyak dibandingkan oleh laju eksresi nitrogen eksogenous
yang lebih tinggi dibandingkan eksresi nitrogen endogenous. Laju eksresi amonia
eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein
pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non protein) dan laju
pemberian pakan, sedangkan eksresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi
asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling, 1994).
Jobling (1994) mengemukakan bahwa eksresi amonia ikan yang diberi
pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang berpuasa, peningkatan tersebut
bahkan sampai 2 kali lebih tinggi (Kashio et al., 1993). Eksresi amonia akan
meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan, dan beberapa jam kemudian
terjadi puncak eksresi.
Toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda-beda, tergantung pada
spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming, 1985).
Secara umum, konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/l.
Konsentrasi amonia sebesar 0,4–2 mg/l sudah cukup untuk menyebabkan
kematian ikan dalam waktu singkat.
Download