View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
Usulan Penelitian
ANALISIS SEMANTIK TEKS-TEKS KOLONIAL DI INDONESIA
THE SEMANTIC ANALYSIS OF THE COLONIAL TEXTS IN
INDONESIA
Disusun dan Diajukan oleh
Ade Yolanda Latjuba
PO 300309002
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Penelitian yang memfokuskan perhatian pada kebermaknaan teks-teks
kolonial ini bermula pada keingintahuan akan realitas sosial yang ada di balik
teks-teks yang diproduksi. Teks sebagaimana diketahui umum dapat berarti
verbal, tetapi dapat juga nonverbal, seperti pertunjukkan suatu tarian. Dari
awal tarian itu mulai hingga berakhirnya tarian tersebut dapat dianggap
sebagai satu teks, namun itu berarti kita membicarakan teks dengan
pengertian khusus. Adapun yang menjadi perhatian dalam penelitian ini,
adalah pengertian teks sebagaimana yang umum dipahami. Secara umum
teks dipahami lewat bentuknya, yaitu teks tertulis (written text) dan teks
ujaran (spoken text), namun ujaran akan menjadi teks tertulis bila ia telah
didokumentasikan secara tertulis.
Dokumen tertulis oleh sebagian ahli digunakan untuk merujuk pada hal
yang sama sebagaimana yang dirujuk oleh wacana (discourse).
Kedua
istilah ini, teks dan wacana tidak lain merujuk pada penggunaan bahasa.
Penggunaan bahasa di sini dapat diidentifikasi mulai dari tahap (level) kata
hingga kalimat dan klausa –kalimat yang lebih rumit-. Namun, tidak tertutup
2
kemungkinan adanya pemahaman lain mengenai teks dan wacana. Ini terjadi
karena ada yang beranggapan bahwa teks yang merupakan fakta material
dari gagasan (notion) yang ingin disuarakan, mengambil bentuknya yang
konkret dalam wujud bahasa di atas kalimat dan klausa. Wacana, dalam
wujudnya yang abstrak dapat berupa ide, gagasan, pemikiran, yang bila
diaktualisasikan dalam bentuk teks, dapat muncul dalam bermacam-macam
bentuk (discursive forms). Jadi, bila ingin menganalisis suatu wacana tertentu,
sudah selayaknya kita menaruh perhatian pada berbagai bentuk teks agar
dapat diperoleh pemahaman menyeluruh akan wacana yang dimaksud.
Karena analisis wacana merujuk pada penggunaan bahasa maka unit
linguistik terkecil yang dapat dianalisis adalah kata. Kata, dalam pandangan
strukturalis, merupakan pertautan antara satu tanda (sign) dengan tandatanda lain (other signs) yang membentuk satu tanda yang sesungguhnya
merupakan manifestasi dari citraan bunyi (sound images).
Pemahaman
penganut aliran rationalisme mengatakan bahwa bahasa yang merupakan
manifestasi dari citraan bunyi, keterkaitannya dengan tanda yang diwakili
bersifat semena-mena (arbitrary). Tidak ada satu alasan pun yang mampu
menjelaskan mengapa penutur bahasa Indonesia memilih perlambangan
yang diwakili oleh alfabet Latin
m e r a h untuk sesuatu konsep yang
merupakan hasil persepsi inderawi terhadap keadaan nyata yang berbeda
dari keadaan lainnya, misalnya k u n i n g atau p u t i h. Sementara penuturpenutur bahasa lain lebih suka memilih perlambangan dengan huruf
Latin
3
r o o d
atau r e d
untuk konsep atau ide yang sama. Semua ini
menunjukkan bahwa sumber
pengetahuan primer manusia tidak terletak
pada empiri atau pengalaman yang diserap lewat indera, tetapi sudah ada
disediakan oleh rede atau akal / pikiran, yang dalam bahasa masa kini sering
dirujuk dengan kata kognisi. Kesadaran akan pemahaman ini, dapat
dijelaskan dengan merujuk pada hasil pemikiran Ferdinand de Saussure
(1857-1913), penggagas Strukturalisme modern, yang mengaitkan citraan
bunyi dengan tanda yang arbitrer tanpa harus keluar dari lingkungan mind
tiap-tiap penutur. Gagasan De Saussure ini menjelaskan pula bahwa citraan
bunyi yang terbentuk dari suatu tanda bahasa sebenarnya merujuk pada
konsep atau gambaran pikiran
yang ada di kepala tiap-tiap penutur, dan
tidak merujuk pada objek atau referen yang berada di luar, dalam dunia
realitas. Kedekatan antara tanda bahasa dan gambaran pikiran ini seolaholah
menyatu,
berhimpitan,
sampai-sampai
sukar
untuk
dipisahkan.
Sementara keberadaan gambaran pikiran atau konsep ini hanyalah
merupakan hasil kesepakatan bersama (convention)
masyarakat penutur
suatu bahasa.
Dengan memahami konsep De Saussure akan kearbitreran hubungan
satu tanda dengan apa yang diwakilinya, maka dapat diturunkan pemahaman
bahwa
tanda (baca: kata)
pada hakikatnya tidak memiliki
beban atau
content yang mengandung muatan-muatan positif ataupun negatif, karena ia
4
diturunkan dari suatu pemikiran murni yang dibawa manusia sejak lahir.
Keadaan ini berlaku bila kedekatan antara tanda dan apa yang diwakilinya
berdiam hanya dalam pikiran penuturnya. Keadaan sebaliknya terjadi bila
tanda (baca: kata) telah keluar dari ‘tempat persembunyiannya’ yaitu pikiran
dan digunakan oleh pemiliknya.
Kedekatan antara tanda bahasa dan gambaran pikiran - antara
signifiant dan signifié - dapat disetarakan dengan kedekatan antara kata dan
makna
(meaning), sehingga dengan ini dapat diduga bahwa hubungan
antara kata dan makna seyogianya juga bersifat tanpa beban, artinya tidak
mengandung muatan-muatan penilaian. Kenyataan yang ditemui menyajikan
banyak kata yang dituturkan atau yang diungkapkan dalam bentuk tulisan
menimbulkan ketersinggungan pendengar atau pembacanya. Hal ini
mengindikasikan bahwa kata-kata itu telah aktif digunakan dan tidak hanya
berdiam di dalam kepala penutur. Bukan hanya itu, banyak faktor yang dapat
menjadikan kata dimaknai lebih meluas. Menurut Roeffaers (2004: 30), De
Saussure pun mengakui adanya penyatuan
antara bentuk tanda dengan
maknanya, namun ia tidak membahas masalah signification, ia justru
berbicara mengenai nilai (valeur) yang dikandung oleh suatu tanda, yang
merupakan bagian dari sistem bahasa (langue).
Kata, ketika digunakan akan terkait dengan kata-kata lain, yang
kemudian akan memunculkan makna (meaning). Begitu pula yang dipahami
5
wacana analitis (analitical discourse), ketika kata telah digunakan, baik
secara tertulis ataupun tertutur, maka ia akan menunjuk, merefleksikan, atau
mengasosiasi sesuatu kenyataan di luar dirinya. Pada ruang inilah
penggunaan kata tidak akan bebas dari pemaknaan. Sebagai contoh, pada
permulaan tahun 2011 lalu, medio bulan Januari, media massa luar negeri
dan Indonesia banyak memberitakan ketersinggungan pihak-pihak tertentu
akibat penggunaan kata-kata tertentu. Kata-kata itu adalah blood libel (“fitnah
darah”) yang digunakan Sarah Palin, politisi dari Partai Republik AS, dalam
pernyataannya menanggapi ditembaknya politisi dari Partai Demokrat AS
yang berketurunan Yahudi, Gabrielle Giffords, oleh seseorang di Tucson,
Arizona,
AS,
ketika
sedang
mengadakan
pertemuan
dengan
para
konstituennya di pelataran sebuah Mall (Kompas, 10 dan 15 Januari 2011).
Pernyataann Palin yang menggunakan kata “fitnah darah” ini, telah
menimbulkan ketersinggungan banyak orang, terutama mereka yang memiliki
darah keturunan bangsa Yahudi.
Ini terjadi karena ketika kata tersebut
digunakan, ia tidak bebas dari pemaknaan; dengan melihat konteks yang
ada, maka ia dapat menunjuk, mengasosiasi pada suatu kenyataan yang ada
atau yang pernah ada. Bagi yang memahami sejarah bangsa Yahudi, kata ini
mengingatkan mereka pada peristiwa kelam di
Abad Pertengahan, saat
bangsa Yahudi pernah mengalami fitnah yang dilakukan oleh Kristen Eropa.
Fitnah yang disebarkan berupa rumor ini, mengisukan bahwa orang-orang
6
Yahudi masih melakukan ritual pengorbanan manusia. Karena itu, mereka
dituduh menculik anak-anak Kristen guna dijadikan korban persembahan.
Sebagai akibat dari fitnah tersebut, banyak orang Yahudi ketika itu ditindas,
disiksa, bahkan dibunuh. Peristiwa kelam ini rupanya telah menjadi beban
yang dimuat oleh kata blood libel itu sendiri, terutama bagi masyarakat yang
telah menyimpannya dalam ingatan mereka. Sebenarnya, faktanya kata itu
biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa Inggris yang
merujuk pada orang yang difitnah (Kompas, 15 Januari 2011 “Fitnah Darah”
Jejak Sejarah Kelam Anti-Semitisme di Eropa, 9), tetapi bila digunakan pada
konteks tertentu ia akan memiliki dampak karena dimaknai berbeda dari
makna yang sudah ada sebelumnya.
Pemaknaan kata sebagaimana contoh di atas, merupakan pandangan
poststrukturalis. Poststrukturalis memiliki pandangan yang bertitik tolak dari
pandangan strukturalis, tetapi dengan sedikit modifikasi. Poststrukturalis
mengambil ide strukturalis, bahwa tanda menurunkan (derive) maknanya
tidak melalui relasinya terhadap kenyataan (reality) tetapi melalui relasi intern
dalam jaringan tanda itu sendiri, namun ia menolak pandangan strukturalis
terhadap bahasa sebagai suatu struktur yang stabil (stable), tidak dapat
diubah (unchangeable), dan total (totalising). Bagi poststrukturalis, tanda
tetap memperoleh (acquire) maknanya lewat pembedaan dari tanda lain,
tetapi tanda yang membedakannya dari yang lain itu dapat berubah menurut
7
konteksnya (Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004:9-11). Jadi, bahasa bukan
hanya merupakan saluran di mana informasi mengenai pernyataan mental
dan perilaku atau fakta mengenai dunia dikomunikasikan, melainkan juga
merupakan ‘mesin’ yang menggeneralisasi, dan sebagai hasilnya bahasa
juga menetapkan dunia sosial.
Contoh lain yang menjelaskan bahwa hubungan antara bahasa dan
realita juga bersifat arbitrer, satu poin yang dikembangkan oleh teori
strukturalisme yang datang kemudian dan juga poststrukturalisme. Teori
strukturalisme
menerima
pandangan
bahwa
makna
tanda
individual
dideterminasi (determined) oleh relasinya terhadap tanda-tanda lain, atau
suatu tanda memperoleh maknanya karena berbeda dari tanda lain. Sebagai
contoh kata berbahasa Belanda aap ‘monyet’, kata ini bermakna karena ia
berbeda dari kata-kata lain misalnya geit ‘kambing’, buffel ‘kerbau’, muis
‘tikus’, kat ‘kucing’ dst. Kata aap
ini merupakan bagian dari jaringan
(network) atau struktur kata yang menjadikannya berbeda dari struktur kata
lain yang tidak memberikannya makna ‘aap’ sebagai hewan berkaki empat
yang ‘terampil’. Tidak hanya itu, ia juga menampakkan bentuk yang berbeda
dalam bahasa-bahasa yang berbeda, misalnya: monyet dalam bahasa
Indonesia, monkey atau apes, la signe, der affe dalam bahasa-bahasa lain.
Penjelasan ini berimplikasi pada hubungan antara bahasa dan kenyataan;
bukan dunia yang mendikte kata yang dengan ini dunia digambarkan,
8
sebagaimana sudah dikatakan, ini hanyalah hasil kesepakatan masyarakat
pemakai bahasa. Meski demikian, muatan tanda itu selalu berubah bila
diterapkan pada situasi lain, contohnya ketika dikatakan pada seseorang
bahwa dia “als een klein nietswaardig aapmenschje”1, maka reaksinya tentu
tidak sekedar memahami sebagai makna biasa, yang arbitrer, yang tidak ada
hubungannya dengan kenyataan, tetapi sudah mengandung muatan
mendeskriditkan, ‘mengecilkan’: aapmenschje
adalah manusia yang
dipersamakan dengan monyet.
Bahasa adalah istilah yang paling umum digunakan untuk merujuk
pada apa yang disebut sebagai ‘bahasa-bahasa alamiah’, yakni bentuk
komunikasi yang digunakan makhluk manusia. Dalam linguistik istilah ini
diperluas
dengan mengacu pada proses berpikir manusia
dalam
menciptakan dan menggunakan bahasa. Sesungguhnya, proses berpikir
manusia tidak selalu harus menggunakan bahasa (Callow, 1998:8), karena
dalam keadaan normal sehari-hari, tak jarang manusia pun berpikir secara
non-verbal, misalnya ketika kita tengah menggumam beberapa baris nada
1
Kutipan ini diambil dari salah satu teks kolonial yang menjadi bahan penelitian dan dikutip sesuai
aslinya dengan masih menggunakan ejaan lama. Kutipan selengkapnya adalah sebagai berikut: …Dan
tasten zijn handen naar de sarong en zwaait hij haar open en draait haar weer in nieuwe wrongen om
het magere lijf. Teeken van eerbied voor de meerderen, en hij gaat hurken midden op ‘wegje en zit
daar nu als een klein nietswaardig aapmenschje,omhangen met zijn djimats…(Zeggelen, M. van,
1920, Onderworpenen, Schetsen uit Celebes, p. 22-23)
Terjemahannya: Kemudian tangannya menyentuh sarong dan dia membuka dengan mengibaskannya
dan kembali melingkarkan dengan lipatan baru di sekeliling tubuhnya yang kurus. Tanda rasa hormat
pada orang yang dianggap lebih, dan dia akan membungkuk di tengah jalan dan duduk di sana
sekarang layaknya seorang manusia monyek, kecil, tidak berharga, dengan jimat menggantung.
9
lagu, lalu baris berikutnya kita lupa, maka beberapa saat kita akan
berkonsentrasi mengingat nada yang tepat untuk ditampilkan ke permukaan
dalam pikiran. Begitu pula, ketika kita sedang berpikir tentang warna tas yang
cocok dengan gaun yang akan kita kenakan, kita akan berkonsentrasi
sejenak, sebelum sampai pada keputusan. Semua kegiatan berpikir itu tidak
menggunakan kata-kata, demikian juga bila kita mempelajari masalah
geometri atau persamaan (equation) dalam matematika, pemikiran kita
secara total terserap dalam relasi spasial dan numerik.
Meskipun demikian, dalam pikiran kita tersedia sarana petanda yang
memudahkan kita mengingat atau memunculkan kembali nada melodi yang
terlupakan tadi, misalnya dengan melihat angka atau simbol yang tertera
pada partitur. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa cara lain
manusia berpikir adalah dengan mengeksploitasi tanda-tanda semiotik.
Dalam menciptakan
dan menggunakan sistem tanda secara sistematis,
terutama dalam berbahasa, manusia secara mendasar perlu memperhatikan
konsep linguistik
tentang makna (semantik), struktur kalimat, dan tata
bahasa, agar produk bahasa yang dihasilkan dapat dipahami.
Konsep linguistik tentang makna dapat diklasifikasi dalam beberapa
pengertian, yaitu konsep tentang makna leksikal, makna gramatikal, dan
makna kontekstual. Setiap kata memiliki medan semantik yang mencakup
seluruh kemungkinan pemanfaatannya secara kontekstual dalam batas-batas
10
normal (sebagaimana dikutip dari Cruse, 2004: 199). Dari makna kontekstual
diperoleh pengertian akan makna pragmatik, yaitu makna yang lebih
memperhitungkan makna bahasa dalam penggunaannya (language in use)
daripada makna
leksikal kata secara terisolasi. Karena itu, dalam
menganalisis wacana yang ada dalam teks, konteks mendapat porsi
perhatian yang cukup besar.
Chilton (2004:154, dalam: Blackledge, A., 2005:9) menunjukkan
bahwa makna suatu teks tidak dimuat dalam teks itu sendiri, lebih dari itu
pembaca atau pendengar membuat pengertian terhadap teks dengan jalan
mengaitkannya
dengan
pengetahuan
dan
harapan-harapan
mereka
sebelumnya. Chilton memberi istilah konteks ini dengan ‘backstage
knowledge’ pengetahuan di balik panggung
yang pada dasarnya tidak
terbatas, dan ditentukan tidak hanya lewat pengetahuan tetapi juga lewat
ketertarikan (interest) dan anggapan (presumption) atau keyakinan pembaca.
Bagi Van Dijk (2004) konteks wacana seharusnya tidak hanya didefinisikan
dalam istilah situasi sosial tempat wacana itu terjadi, tetapi lebih dari itu
sebagai representasi mental atau model mental. Model mental adalah
interpretasi personal terhadap wacana oleh pengguna-pengguna bahasa
individual, yang boleh digeneralisasikan sebagai pengetahuan umum tentang
dunia.
11
Memahami keterkaitan bahasa yang ada dalam wacana dengan
pikiran (kognisi) penggunanya, tentu tidak akan lepas dari memahami
keterkaitan antara kata dan makna yang juga dianalogikan dengan kedekatan
antara tanda bahasa dan gambaran pikiran (konsep). Kedekatan antara
tanda bahasa dan gambaran pikiran membentuk satu kesatuan yang
melahirkan makna literal, sedangkan gabungan dua kata atau lebih
melahirkan makna figuratif, yang belum tentu merupakan gabungan makna
literal dari masing-masing kata, karena bisa saja makna yang tercipta adalah
sesuatu yang baru.
Untuk mengetahui bagaimana hal tersebut dapat terjadi, pertama-tama
harus disadari bahwa ilmu bahasa kognisi mengakui sebagian
bahasa manusia
kapasitas
sudah dibawa sejak manusia lahir (ingeboren / innate),
sebagaimana juga diakui oleh teori gramatika generatif Chomsky dengan
konsep LAD (Language Acquisition Device) nya. Akan tetapi, menurut ilmu ini
juga, sisa kapasitas bahasa lainnya diperoleh melalui serapan kenyataan dari
luar dengan memberdayakan pengamatan indera dengan baik, sehingga
diperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan. Keadaan ini memiliki
kesamaan cara perolehan dengan pengetahuan lain selain bahasa, yang
juga dimiliki manusia. Jadi, menurut ahli bahasa kognisi, bahasa merupakan
proses perolehan (acquisition) sekaligus juga proses penyituasian dalam
lingkungan khusus (gesitueerd in specifiek milieu).
12
Penelitian-penelitian bahasa yang berkenaan dengan kognisi manusia,
telah banyak dilakukan orang, bahkan telah melahirkan teori-teori yang kerap
dijadikan rujukan oleh peneliti lain, seperti misalnya proses komunikasi yang
terjadi dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan kognisi ini merupakan
pengembangan dari pendekatan-pendekatan lama yang mungkin dirasa
sudah tidak efektif lagi, misalnya pendekatan behaviorisme. Tidak hanya itu,
pendekatan kognisi juga digunakan dalam ilmu pengetahuan bahasa
(linguistik) dalam mengembangkan temuan-temuannya di bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik satu bahasa yang dahulu sesungguhnya
telah ada, namun kini dirasa telah mencapai titik kejenuhan, sehingga
pendekatan kognisi dilihat sebagai jalan keluar yang membawa kebaruan
temuan.
Untuk mencari tahu representasi mental pengguna bahasa dalam
memahami dan mengekspresikan wacana yang diproduksi lewat teks, perlu
memperhitungkan ketiga elemen yaitu wacana, bahasa, dan kognisi. Wacana
didefinisikan secara luas berarti ide, gagasan yang bersemayam di benak,
pikiran pemilik bahasa, yang dalam bentuknya yang konkret diwujudkan
berupa ekspresi bahasa lisan (talk) atau bahasa tulisan berupa teks.
Meskipun ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai batasan wacana,
intinya
memberikan pemahaman bahwa bahasa yang digunakan dalam
wacana selalu memiliki intensi, maksud tertentu, apakah bentuknya berada di
13
“atas” klausa atau kalimat ataukah bisa hanya diwakili oleh kata atau
kelompok kata, sebagaimana yang diyakini oleh Widdowson (2004). Dari
batasan yang dikenakan pada wacana, dapat dilihat bahwa analisis yang
dapat dilakukan padanya, meliputi analisis pada tataran kata hingga kalimat.
Dalam wujudnya sebagai teks, wacana diorganisasi dari unit-unit linguistik
yang memiliki makna khusus, karena essensi wacana adalah maksud atau
intensi yang dikandungnya yang ingin dipersuasikan pada resipien agar
dapat diproduksi ulang oleh penerima dalam bentuknya yang bermacammacam. Bentuk yang bermacam-macam (discursive forms) ini berimplikasi
pada
penggunaan kata yang memiliki makna ekuivalen, yang tujuannya
adalah maksud semula tetap dapat disampaikan, atau dengan kata lain
wacana berhasil direproduksi secara berantai. Tidak hanya itu, discursive
forms juga dapat menampilkan diri dalam bentuknya yang total berlawanan.
Semua ini merefleksikan bahwa bahasa dalam wacana memiliki keterkaitan
dengan situasi sosio-historis dan sosio-kultural yang melatarbelakangi
kemunculannya.
Hal yang sama dapat dilihat pada wacana kolonial, khususnya wacana
kolonial di Indonesia yang ditulis oleh pengarang-pengarang Belanda, yang
eksis beberapa abad lalu. Teks-teks yang memproduksi dan mereproduksi
wacana ini tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi dan keadaan ketika ia
diproduksi. Karena keadaan ketika itu memperlihatkan situasi bahasa
14
multilingual, maka tidak heran bila kondisi itu tercermin di dalamnya: katakata dan kalimat-kalimat singkat berbahasa Perancis, Inggris, Jerman,
bahkan terutama berbahasa Indonesia lama dan bahasa lokal setempat
seperti bahasa Makassar turut menghiasi penggunaan bahasa Belanda yang
boleh dibilang
agak ouderwets dan telah ‘mengindonesia’ (verindisch)
menurut pendengaran kebanyakan orang-orang Belanda masa kini. Situasi
politik ketika itu juga turut mewarnai wacana yang ada, dan yang paling
mudah diserap pembaca adalah gambaran kondisi sosio-historis yang
mewakili zamannya. Gambaran yang ditampilkan adalah kehidupan dan
aktivitas orang-orang Belanda yang kala itu dikenal dengan sebutan
Hollander, di berbagai tempat di pedalaman hingga hutan-hutan di Hindia;
suka duka menjalani kehidupan dengan sesama orang Belanda Totok
(volbloed Hollander), dengan orang-orang Indisch, yakni orang-orang
Belanda yang berdarah campuran pribumi yang biasa dikenal dengan nama
orang Indo, hingga tantangan yang harus dihadapi karena perbedaan iklim
dengan negara asal, terutama bagi Hollander yang baru tiba di koloni ini.
Kehidupan yang eksklusif, megah di zamannya, terpisah dari kehidupan
rakyat kebanyakan yang berlawanan bagaikan bumi dan langit dalam hal
kemewahan; sketsa kehidupan yang menampilkan pemilik asli negeri ini,
yang di mata para pendatang atau mereka biasa menyebut diri sebagai
Indische gasten (tamu-tamu Hindia), hanya sebagai pelengkap penderita
yang melayani, mempermudah berbagai aktivitas para tuan besar, sehingga
15
dengan demikian kehadiran para inlander, begitu mereka biasa disebut oleh
para
tamu
Hindia
ini,
semakin
memperkuat
wacana
kuasa
yang
dipertontonkan oleh orang-orang Holland yang berdarah asli Belanda.
Mereka tidak hanya menguasai kehidupan penduduk asli bumi pertiwi, tetapi
juga menguasai tanah negeri dan segala kekayaan yang dimiliki. Kehadiran
mereka yang hanya sedikit dalam ukuran kuantitas namun mampu
menyuarakan eksistensi kebesaran kuasa yang dimiliki lewat strategi yang
digunakan. Karena itu wacana kolonial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah wacana kuasa; kata kuasa atau macht dalam bahasa Belanda akan
dijadikan titik pusat yang mengikat dan mengaitkan kata-kata lain yang
memperkuat dan mendukung eksistensi keberadaan kekuasaan itu sendiri.
Latar pemikiran atau background pengetahuan pengguna bahasa
diduga ada kaitannya dengan kata-kata yang dipilih, struktur yang dibangun,
serta strategi yang digunakan untuk menanamkan pemahaman dalam pikiran
pembaca akan wacana kuasa yang sedang disebarluaskan. Karena teks
masa kolonial yang berbahasa Belanda, terutama teks literer banyak
mencerminkan kehidupan dan pemikiran penguasa, maka penelitian ini pun
diarahkan padanya. Mengungkap wacana kuasa dibalik penggunaan katakata tertentu menarik untuk menelisik lebih jauh konteks pemikiran
penggunanya, yang kadang pilihan katanya cukup menggores rasa
kesantunan berbahasa orang yang dikuasai. Mengaitkan penggunaan
16
bahasa dengan konteks pemikiran merupakan usaha lebih lanjut dalam
memaknai teks.
Penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, memang
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti Belanda, namun hal ini hanya
menyentuh sebagian kecil dari yang ingin diungkap, sebagai contoh yang
dapat diutarakan di sini adalah penelitian Van Dijk2 pada tahun 1990-an yang
dilakukan terhadap cara berbahasa masyarakat Belanda bila berbicara
mengenai kalangan minoritas yang ada di sana. Hasilnya menunjukkan
adanya perlakuan diskriminatif secara bahasa, terhadap kalangan yang
dipersepsi sebagai pembuat masalah di masyarakat ini, seperti masalah
ekonomi, sosial, yang berupa kerusuhan, kekerasan, kriminalitas, dan
sebagainya.
Pada tahun 2000-an pernah pula dilakukan penelitian terhadap orang
asing pencari suaka (asielzoeker) di Belanda. Penelitian ini dilakukan oleh Ivo
Nieuwenhuis, dengan bertitik tolak pada dua teks sastra Belanda masa kini,
yang diberi judul: Vreemd Besoek. De koloniale representatie van de
asielzoeker in twee hedendaagse Nederlandse teksten. 3
Penelitian ini
menerapkan pendekatan postkolonial dalam menganalisis teks, yaitu peneliti
pertama-tama mengkritisi dan mendiskusikan pandangan Edward Said yang
2
Hasil penelitian ini dipublikasikan sebagai artikel berjudul: Discourse, Ethnicity, Culture, and Rasism
oleh Teun van dijk , dkk, dan dimuat dalam Discourse As Social Interaction. Discourse Studies 2. A
Multidiciplinairy Introduction yang dicetak ulang tahun 2004.
3
Sumber informasi diperoleh lewat layanan online google.nl yang diakses 16-8-2011.
17
sudah dikenal umum tentang Orientalism. Pandangan ini mengonfrontasikan
Barat dengan Timur, bagaimana sikap berpikir Barat telah mendasari cara
bertindak memperlakukan ‘Yang Lain” Timur (de Oosterse Ander) sebagai
kutub yang berbeda dan berlawanan dengan Barat itu sendiri (Westerse Zelf).
Hal ini berdampak pada cara kolonisator bertindak pada orang-orang yang
dikolonisasi (dijajah).
Walau ada perbedaan essensial antara wacana kolonial dan
representasi pencari suaka, tetapi peneliti melihat adanya kesamaan yang
dapat diperbandingkan di antara keduanya. Pertama, keduanya dibicarakan
dari sudut pandang Barat, dengan konteks dan sumber-sumber penunjang
yang juga berasal dari Barat. Kedua, yang menarik dari penelitian ini, adalah
sikap peneliti yang mengaitkan antara pencari suaka yang notabene adalah
permasalahan masa kini dan sikap kolonial dari kolonisator-kolonisator yang
seharusnya sudah menjadi bagian dari masa lalu. Dari permasalahan yang
mencuat dalam penelitian Ivo Nieuwenhuis ini dapat dimaknai bahwa
sesungguhnya
permasalahan
laten
kolonialisme
masih
tetap
ada
tersembunyi di bawah permukaan, dan masih akan tetap penting untuk diteliti
demi memberi solusi bagi permasalahan relasi ras yang akhir-akhir ini
menghangat kembali dibicarakan di Eropa.
Pertanyaannya sekarang apakah penelitian yang tengah dirancang ini
akan bermuara pada hasil yang sama seperti yang dilakukan peneliti-peneliti
18
Belanda? Tentu saja jawabannya tidak, karena apa yang akan dilakukan
adalah memberikan makna secara komprihensip pada teks kolonial. Memang
tidak dimungkiri bahwa penelitian ini juga akan menyentuh penggunaan
bahasa secara khusus yang diduga mengandung muatan intensi tertentu,
namun di sisi lain kebermaknaan juga ada dalam aspek-aspek bahasa yang
berlaku secara umum. Teks kolonial yang diduga mengandung muatan
wacana
kuasa
ini
tentunya
menggunakan
bahasa
tertentu
yang
merepresentasikan pemikiran penggunanya. Oleh karena itu, pemaknaan
wacana kuasa akan mendapat porsi perhatian tersendiri.
Ujung dari
pemaknaan secara semantik maupun pragmatik diharapkan dapat menguak
kognisi (pemikiran) sang kolonisator dan memberikan gambaran realita ketika
itu
Fokus Penelitian
Penelitian ini bertitiktolak dari teks-teks masa penjajahan dulu. Dalam
hal ini, peneliti mencurahkan banyak perhatian pada produksi bahasa
(wacana) yang digunakan oleh pemroduksi bahasa, yang berdampak pada
pemaknaan oleh penerima; semua ini berkaitan dengan pikiran manusia
penggunanya. Langkah awal yang akan dilakukan adalah membongkar teksteks yang telah dipilih secara selektif (eclectic) dari sejumlah teks yang
masuk kategori teks kolonial untuk mendapatkan data bahasa yang dimaksud.
Untuk itu, pertanyaan mula-mula yang dapat diajukan adalah:
19
1. Bagaimanakah kata-kata dan ungkapan kalimat di seputar wacana
kuasa yang teridentifikasi dalam teks-teks kolonial dapat ditampilkan
dan dianalisis dengan teori wacana?
2. Bagaimana
menginterpretasi dan menganalisis konteks dalam
wacana teks kolonial
3. Bagaimanakah menjelaskan keterkaitan kata-kata yang dipilih untuk
digunakan dalam wacana kolonial ini dengan representasi makna dan
kognisi penggunanya (konteks)?
B. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk menjawab rasa ingin tahu
peneliti akan fenomena bahasa masa lalu yang pernah ada di Indonesia.
Bahasa ini bahkan
pernah menjadi salah satu pilihan bahasa bergengsi
kaum intelektual Indonesia. Namun sejalan dengan perkembangan zaman,
bahasa ini lambat laun tersingkir dari perbincangan dan hanya menyisakan
lembaran-lembaran dokumen yang sarat dengan data dan fakta-fakta sejarah.
Secara khusus, penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang telah diajukan pada sub-bab Fokus Masalah di atas, sebagai berikut:
1. Menampilkan dan menjelaskan data bahasa berupa kata, frasa, dan
kalimat yang diidentifikasi mengandung muatan wacana kolonial
20
2. Menginterpretasi dan menganalisis makna konteks dalam wacana teks
kolonial
3. Menjelaskan keterkaitan penggunaan kata-kata dalam wacana kolonial
dengan representasi makna dan kognisi penggunanya (konteks)
D. Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang cukup
signifikan pada pengembangan teori analisis wacana kritis, yang selama ini
sudah menunjukkan keragaman pemikiran dalam menjawab berbagai
fenomena wacana yang ada di masyarakat masa kini, seperti fenomena yang
ada pada konversasi (percakapan) sehari-hari, berita lewat media komunikasi,
pengajaran (hubungan guru dan murid) dalam bidang pendidikan, dan masih
banyak yang lainnya, termasuk wacana rasisme. Dan kini peneliti mencoba
menyumbangkan pemikiran lewat wacana kolonialisme.
Selain
itu,
diharapkan
penelitian
ini
memberikan
perluasan
pengetahuan akan makna kosakata yang digunakan pada peristiwa (event)
khusus, yang dalam hal ini peristiwa yang bersituasikan masa lalu di
Indonesia. Dalam bidang ilmu bahasa penelitian dengan objek bahasa masa
lalu ini, kiranya dapat memberikan warna berbeda untuk hasil-hasil penelitian
yang di Eropa dan di Amerika telah dihimpun di bawah satu nama historical
21
discourse analysis, yang merupakan bidang ilmu yang berada di bawah
historical pragmatics, suatu bidang ilmu yang relatif masih baru dari linguistik
historis.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.TINJAUAN TEORI dan KONSEP
Untuk
menunjang
penelitian
ini,
pertama-tama
akan
diulas
pengetahuan yang berkaitan dengan fokus perhatian peneliti dan juga teori
yang akan dijadikan landasan berpikir. Tinjauan pustaka dan perspektif
teoretis ini diharapkan dapat membingkai arah penelitian agar tidak keluar
dari tujuan yang telah ditetapkan. Walau disadari bahwa formasi teori
bukanlah proses yang bertujuan mereproduksi kebenaran abadi, setidaktidaknya ia merupakan alat yang didesain untuk membantu memahami dunia.
1. Analisis wacana
Analisis wacana sekarang ini sering dilihat sebagai suatu cara yang
dilokalisasi dalam disiplin ilmu linguistik, walau sesungguhnya ia merupakan
suatu bidang yang mengusik rasa ingin tahu yang bersifat antardisiplin.
Dalam waktu kurang dari setengah abad analisis wacana telah memiliki
status, stabilitas , signifikansi, dan integritas sebagai disiplin yang memiliki
penilaian baik, dan ia merupakan perluasan batasan linguistik konvensional.
Bila merujuk ke belakang ke tahun 1960an, ia didefinisikan sebagai analisis
23
perilaku linguistik (Bhatia, V.K. et al. 2008) dan fokus utamanya pada
konstruksi dan interpretasi makna bahasa yang digunakan pada konteks
sosial khusus.
Pendekatan
yang
lebih
kontemporer
terhadap
bahasa
dalam
penggunaannya, berakar dari sejumlah perkembangan pada Abad 20 dalam
bidang filsafat, antropologi, sosiologi, dan linguistik. Akar dari pandangan
terhadap bahasa ini, mungkin bersumber dari karya Wittgenstein (1951/1972)
yang melihat bahasa sebagai suatu seri ‘permainan’ yang dengannya orang
mengonstruksi apa yang disebut ‘bentuk kehidupan’, cara khusus berinteraksi
dengan orang lain dan sekelilingnya. Kemudian diikuti oleh kemunculan
publikasi karya klasik Austin pada tahun 1962, How to Do Things with Words,
suatu kajian yang menyarankan bahwa pengkajian bahasa tidak hanya
melibatkan strukturnya, tetapi yang penting bagaimana cara ia digunakan,
dibentuk, dan dimunculkan hingga menjadi lebih menonjol, sekurangkurangnya di lingkungan filsafat. Menyusul pemikir-pemikir seperti Foucault
dan Derrida, meskipun apa yang dilakukan mereka bukanlah cara yang
menguatkan apa yang menjadi tradisi Austin, tetapi perlu untuk dicatat bahwa
cara mereka justru memperluas cara menganalisis bahasa, yaitu apa yang
mereka lakukan lebih bersifat divergence daripada convergence terhadap
karya Austin, juga telah membuat bahasa khususnya ‘wacana’ menjadi
sentra untuk memahami praktik sosial.
24
Kegiatan menganalisis wacana bahasa telah banyak dilakukan oleh
para ahli bahasa, sebut saja Harris (1952), Stubbs (1983), yang banyak
dirujuk oleh Widdowson (2004) dalam menganalisis isu-isu kritis dalam
analisis wacana. Widdowson sesungguhnya mengelompokkan dua cara
dalam menghadapi bahasa, pertama analisis, bila yang dihadapai adalah
unit-unit linguistik, terutama dalam memahami maknanya, sedangkan, bila
yang ingin diketahui adalah apa yang dimaksud penulis / penutur
lewat
penggunaan bahasa tertentu, maka alat yang digunakan adalah interpretasi.
Interpretasi berarti mempertimbangkan segi pragmatik dalam penggunaan
bahasa, dan tidak semata-mata hanya masalah semantik.
Penggunaan istilah wacana oleh Nelson Phillips dan Cynthia Hardy
(2002) lebih bersifat khusus; mereka mendefinisikan wacana sebagai
seperangkat
teks yang terhubungkan satu sama lain, di mana praktik
produksi, diseminasi, dan resepsi telah menjadikannya objek yang mengada.
Mereka memberikan contoh
koleksi teks dari berbagai jenis, yang telah
membuat wacana psychiatry menjadi populer dengan gagasannya mengenai
ketaksadaran yang eksis pada Abad 19 (sebagaimana hasil penelitian
Foucault, 1965). Dengan kata lain, realita sosial diproduksi dan dibuat nyata
melalui wacana, interaksi sosial tidak dapat dipahami penuh, jika tidak
merujuk pada wacana yang telah memberinya makna. Karena itu, tugas
25
seorang analis wacana menurut mereka adalah mengeksplorasi relasi antara
wacana dan realita.
Wacana juga dipandang sebagai konstruksi sosial (Phillips, L. and
Jorgensen, M.W., 2004; Phillips, N. and Hardy,C., 2002), paham konstruksi
sosial sesungguhnya merupakan istilah yang memayungi teori-teori baru
mengenai budaya dan masyarakat ( Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004:
4). Akan tetapi analisis wacana hanyalah salah satu di antara beberapa
pendekatan yang biasa digunakan para konstruksionis, walau demikian
penggunaannya paling meluas di antara pendekatan yang lain. Bila dilihat
asal muasalnya, paham ini memiliki akarnya dalam teori poststrukturalisme
Prancis dan penolakannya terhadap totalisasi dan universalisasi teori-teori
seperti Marxisme dan psychoanalysis (Ibid: 6).
a. Wacana bahasa dan konteks budaya.
Di Amerika, munculnya perhatian yang mengaitkan bahasa dengan
kebudayaan sudah dimulai pada tahun-tahun pertama Abad Kedua Puluh,
dengan kehadiran karya Edward Sapir dan Benyamin Lee-Whorf, seperti
juga sebelumnya telah dirintis oleh tradisi Boasian dalam antropologi
linguistik. Adapun di Eropa, pendekatan yang mengaitkan bahasa dengan
lingkungan sosial dan budaya dapat dilihat pada karya Michael Halliday.
Konsep Halliday bertitik tolak dari paradigma strukturalis, dan kognisi dalam
26
gramatika, yang melihat sistem bahasa sebagai suatu sistem yang otonom
dan independen dalam penggunaannya. Namun dalam perkembangannya ia
kemudian mengaitkannya dengan linguistik sosiologi, yaitu suatu disiplin
yang membuka ruang bagi bahasa untuk dikenali struktur sosial, nilai-nilai,
sistem pengetahuan serta pola-pola budaya yang terdapat
dan yang
menyatu di dalamnya. Kemudian konsep ini menggabungkan kedua tataran,
yakni tataran makro sosiologi (Halliday, 1978:65) dan juga tataran mikro
sosiologis, yang padanya makna bahasa dilihat secara spesifik dalam
konteks dan situasi.
Hipotesis relativitas Whorf (1956) terhadap bahasa, menurut Dirven
(2001:176-178) dapat diinterpretasi dengan dua cara. Versi aliran keras
mengatakan bahwa sistem bahasa menentukan atau ‘mendeterminasi’
pemikiran. Tesis ini telah dikesampingkan oleh sebagian orang, karena
manusia nyatanya tanpa bahasa masih dapat mengonstruksi pikirannya
panjang lebar, seperti misalnya pada penciptaan karya seni lukis, tari, dsb.
Adapun versi lemah mengatakan bahwa bahasa mengarahkan pemikiran dan
pengamatan kita. Jika masih tetap berpikir dengan bahasa, ide-ide Whorf
senantiasa masih merupakan tantangan untuk dipikirkan. Karena masyarakat
berevolusi, kategori-kategori pemahaman ini pun dapat disesuaikan dengan
perkembangan atau bahkan dihilangkan. Dalam pengertian ini, gambaran
dunia suatu masyarakat ternyata
tidak pernah statis dan tidak pernah
27
‘dideterminasi ‘ secara penuh oleh alat-alat yang ada dimiliki oleh kategorikategori pemahaman, meskipun memang ia dipengaruhi oleh ketegorikategori tersebut. Demikian juga dengan pandangan individu tertentu
terhadap dunia, sama sekali tidak dideterminasi oleh bahasanya, tetapi ia
memang sangat dipengaruhi oleh bahasanya.
Semua berlaku mutatis mutandis karena satu dan
lain hal perlu
perubahan, ini juga berlaku untuk perilaku komunikasi dalam budaya tertentu.
Gaya komunikasi individu sama sekali tidak pernah dideterminasi oleh
budaya yang ia serap di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Tetapi memang
selalu ada ruang untuk variasi dan pembaharuan yang bersifat sosial dan
individual.
Secara historis, satu alasan mengapa kajian mengenai sosial budaya
begitu disukai dalam bahasa, adalah karena keduanya, bahasa dan budaya,
tampaknya memiliki properti yang sama. Keduanya dapat diperlakukan
sebagai sistem yang mengandung identitas diri yang didefinisikan dari
aturan-aturan yang digunakan untuk mengombinasikan elemen-elemen
masing-masing.
Pada
masa
poststrukturalisme
sekarang
ini,
menurut
Kress,
sebagaimana dikutip dari Wetherell (2005: 284), pendekatan strukturalis tidak
lagi memberikan kepuasan, akibatnya, ia berargumentasi bahwa lebih
28
banyak pandangan yang tertarik dan
menaruh perhatian terhadap relasi
antara bahasa dan konteks sosialnya. Ini terjadi bila peneliti mulai lebih
mengkaji praktik berbahasanya daripada strukturnya. Fokus berbalik
ke
tindakan sosial dan realita yang hidup secara aktual. Tulisan Bakhtin dan
Volosinov (dalam Wetherell, 2005) merupakan contoh yang bagus sekali
karena bagi Bakhtin dan Volosinov makna kata tidak diturunkan dari
tempatnya
dalam
struktur,
tetapi
dari
akumulasi
dan
dinamisasi
penggunaannya secara sosial.
b. Wacana kritis terhadap interaksi sosial.
Dengan meningkatnya isu-isu sosial dan politik mengenai imigran dan
relasi etnis di Eropa dan Amerika Serikat pada sekitar tahun 1990 membuat
analisis wacana mendapat perhatian ketika itu. T. van Dijk (1997/2004) salah
satu di antara analis-analis Critical Discourse Analysis yang melakukan
pengujian terhadap cara anggota kelompok mayoritas di Belanda dan di
Amerika Serikat dalam bercakap (talk) dan menulis (written) mengenai
kelompok minoritas, juga bagaimana relasi etnis menampakkan diri dalam
percakapan sehari-hari, buku teks, bahasa pers, parlemen, korporasi bisnis
dan ilmu pengetahuan. Dalam kajiannya, ia menunjukkan bagaimana
pendekatan multi-disiplin bekerja untuk menampilkan reproduksi rasisme
dalam masyarakat, yang melibatkan relasi yang kompleks antara struktur
29
wacana, representasi kognisi, dan strukrur sosial. Analisis wacana yang
dilibatkan dalam penelitiannya itu terutama difokuskan pada tipe topik yang
lebih disukai, seperti topik perbedaan, penyimpangan, dan ancaman, juga
riwayat perkembangannya, struktur berita, argumentasi, gerakan pemaknaan
secara lokal, seperti stilistika dan properti retorika yang digunakan.
Paradigma yang sama juga digunakan Jӓger dan teman-temannya di
Duisburg (Jerman) (van Dijk, 1997/2004:167) dalam menguji secara
mendetail cara orang Jerman berbicara dan menulis mengenai minoritas dan
pengungsi
pada tahun sekitar 1990, yang menjadikan mereka tiba pada
kesimpulan yang secara esensial sama. Ini memberi ide bahwa model
percakapan dan teks di sana menampakkan diri hampir sama bila berbicara
mengenai ‘orang lain’ (the others). Cara yang hampir sama juga dilakukan
Wodak dkk di Austria. Keingintahuan akan wacana anti Semit di Austria,
didasarkan pada kasus the Waldheim affair, pemilihan presiden yang
presidennya diduga terlibat kejahatan perang Nazi selama Perang Dunia II.
Sebagai tambahan untuk analisis wacana secara mendetail, Wodak mengkaji
berita di media, talk show di TV, percakapan sehari-hari di jalan. Wodak juga
menguji dimensi kognisi, sosial, politik, dan histori. Dalam kerangka yang
lebih luas pada pragmatik dan wacana nasional, Blommaert dan Verschueren
(1992) melakukan pengujian terhadap orang kulit putih di Belgia, bagaimana
mereka berbicara mengenai minoritas dan imigran di sana.
30
Dalam menganalisis texts dan talks, van Dijk memfokuskan pada
properti wacana dan kondisi kontekstual serta konsekuensinya. Beberapa
struktur diskursi dan strategi yang lebih khusus ternyata berpengaruh dalam
mereproduksi rasisme. Struktur wacana berperan dalam mengekpresikan dan
mempersuasi perilaku dan ideologi yang dipolarisasi sebagaimana “kami”
yang baik dan “mereka” yang buruk. Makna semacam ini boleh jadi
ditekankan lewat intonasi khusus dalam percakapan, sebagaimana juga
dalam headline berita atau gambar dalam buku teks.
Properti wacana yang jelas-jelas paling masuk akal adalah topik. Bila
anggota kelompok dominan atau institusi berbicara atau menulis mengenai
kelompok minoritas, maka akan tampak pada topik apa yang mereka
gunakan. Analisis mengenai topik-topik semacam ini penting, karena mereka
sebagain besar mendeterminasi cara orang memahami dan mereproduksi
teks dan percakapan semacam itu. Jadi, topik umum dalam media akan
memengaruhi agenda, yakni apa yang publik pikirkan dan perbincangkan.
Dari analisis mengenai wacana anggota kelompok mayoritas dan institusi ini
diperoleh
hasil,
bahwa
mereka
sebagian
besar
mereproduksi
dan
mengekspresikan stereotip dominan, seperti topik-topik berbau etnik: imigran,
kejahatan, perbedaan budaya, penyimpangan, dan masalah sosial ekonomi.
Analisis
lebih
jauh
menunjukkan
bahwa
kelompok minoritas
sering
menimbulkan dampak negatif. Jadi, imigran tidak pernah dijadikan topik
31
netral atau sebagai kontributor dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai
pembawa masalah, apakah itu masalah penipuan, atau ancaman bagi
berbagai masalah kejahatan yang khas secara etnis, seperti perampokan,
drugs, kekerasan (kerusuhan). Pada sisi lain kejahatan yang dilakukan
terhadap golongan minoritas, seperti diskriminasi, cenderung dinilai kecil atau
diasosiasikan dengan perbuatan individual yang menyimpang atau perbuatan
kelompok radikal.
2. Teori dan metode analisis wacana
Banyak teori dan kerangka kerja terhadap analisis wacana telah
diperkenalkan oleh para ahli, di antaranya Fairclough menawarkan kerangka
kerja “tiga dimensi” yang bertujuan memetakan tiga bentuk terpisah
dari
analisis wacana: pertama, analisis teks bahasa (tuturan atau tulisan), kedua,
analisis praktik wacana (berupa proses produksi teks, distribusi dan
pengonsumsiannya), dan ketiga, analisis terhadap peristiwa diskursi sebagai
bagian dari praktik sosiokultural (Fairclough, 1995:2; Bhatia, et al. (ed),
2008:11).
Dalam pengertiannya yang paling abstrak, wacana merujuk pada
penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Wacana juga dipahami sebagai
jenis bahasa yang digunakan dalam satu bidang khusus, seperti wacana ilmu
politik. Dan yang paling konkret, wacana dilihat sebagai kata benda (noun)
32
yang dapat dihitung, contohnya: a discourse, the discourse, the discourses,
discouses, (Phillips, L and Jorgensen, M.W., 2004: 66), yang merujuk pada
cara berbicara yang memberi makna pada pengalaman yang diperoleh dari
perspektif khusus. Fairclough membatasi istilah wacana menjadi sistem
semiotik seperti bahasa (dalam bentuk ujaran maupun tulisan) dan imaji,
berlawanan
dengan
apa
yang
dilakukan
Laclau
dan
Mouffe
yang
memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana (Ibid: 67).
a.Teori tentang konteks menurut van Dijk.
Van Dijk (2009) memperkenalkan teori tentang konteks yang
menjelaskan bagaimana text dan talk diproduksi, disesuaikan dengan
lingkungan sosialnya. Ini merupakan hubungan tidak langsung yang
ditetapkan antara wacana dan masyarakat, karena penyesuaian yang
dilakukan tergantung pada pengguna bahasa itu sendiri, bagaimana ia atau
mereka mendefinisikan situasi komunikasi. Model-model konteks Van Dijk ini
mengontrol semua produksi bahasa dan pemahamannya dan menjelaskan
bagaimana wacana dibuat cocok untuk setiap situasi. Dengan pendekatan
multidisiplin, dia mengembangkan teori tentang konteks dan melakukan
pengujian pada struktur situasi sosial dengan memperhatikan dimensi
psikologi sosial, sosiologi, dan variasi-variasi budaya.
33
Dalam disiplin psikologi sosial perhatian lebih dicurahkan pada ‘social
cognition’, yakni representasi dan proses kognitif,
masyarakat dipahami
lewat cara bagaimana mereka dipengaruhi oleh persepsi orang lain. Juga
dilanjutkan menganalisis masyarakat dengan jalan memahami situasi sosial
individu atau
anggota dari satu kelompok komunitas yang berpartispasi
dalam suatu interaksi sosial. Konteks situasi sosial dari suatu interaksi sosial
dalam setting khusus ini, melibatkan partisipan yang berhadapan satu lawan
satu, sedangkan ‘konteks budaya’ didefinisikan lebih global, yang melibatkan
anggota seluruh komunitas, sebagaimana juga beberapa properti yang
mereka miliki, seperti pengetahuan, norma-norma, dan nilai-nilai (Ibid: 154).
Teori tentang konteks ini diklaim sebagai perantara interface yang bersifat
teoretis dan empiris, yang menjadi jembatan penghubung antara aktor sosial
dengan struktur sosial.
Lain halnya dengan teori wacana Laclau dan Mouffe (1985), yang
dikonstruksi dengan jalan mengombinasikan dua tradisi mayor teoretis, tradisi
Marxisme dan Strukturalisme. Marxisme memberikan jalan untuk berpikir
mengenai masyarakat, sedangkan Strukturalisme memberi jalan bagi teoriteori tentang makna. Laclau dan Mouffe memfusikan kedua tradisi ini ke
dalam satu teori poststrukturalis tunggal, yakni keseluruhan bidang
kemasyarakatan dipahami sebagai jaringan proses yang di dalamnya makna
diciptakan. Untuk memahami seperti apa teori wacana yang diperkenalkan
34
Laclau dan Mouffe, di bawah ini akan disarikan teori tersebut sebagaimana
digambarkan oleh Louise Phillips and M.W. Jorgensen
b.Teori wacana Laclau dan Mouffe.
Laclau dan Mouffe mendefinisikan 4 konsep
yang telah diuji oleh
Louise Phillips and Marianne W. Jorgensen, di samping itu dua orang yang
disebut terakhir ini juga memperkenalkan sejumlah konsep yang terkait, yaitu
‘nodal point’ poin persetujuan, ‘the fields of discursivity,’
dan ‘closure’
pengakhiran / penutupan. Bagaimana pemahaman mereka mengenai teori
Laclau dan Mouffe, akan dipaparkan di bawah, sebagaimana disarikan dari
uraian mereka pada halaman 26-30 (2004).
Wacana dipahami sebagai pemastian makna dalam suatu domain
khusus. Semua tanda dalam wacana adalah moment-moment.
Mereka
adalah simpul seperti yang ada pada jaring / jala ikan, makna mereka
dipastikan melalui perbedaannya dengan yang lain (differential positions).
Sebagai contoh, misalnya
pada wacana medikal: tubuh, penyakit, dan
pengobatan direpresentasikan dengan cara khusus. Semua penelitian
medikal membagi tubuh, penyakit, dan pengobatan menjadi bagian-bagian,
yang digambarkan memiliki relasi dengan cara yang tidak ambigu. Secara
khusus tubuh dilihat seperti terbagi dalam bagian-bagian yang akan diobati
secara terpisah dan penyebab penyakit sering dilihat sebagai bersifat lokal.
35
Misalnya, infeksi diterima sebagai disebabkan oleh serangan lokal dari mikro
organisme
yang
harus
dieliminasi
dengan
obat.
Wacana
medikal,
membentangkan suatu jaringan makna antarrelasi, yang mengaitkan tubuh
dengan penyakit.
Dalam pengertian ini, kita berbicara mengenai wacana
bahwa semua tanda adalah moment dalam suatu sistem, dan makna setiap
tanda dideterminasi lewat relasinya dengan tanda-tanda lain.
Wacana dibentuk lewat pemastian makna sebagian di sekitar nodal
point tertentu (Phillips, L. and Jorgensen, M.W., 2004:26; lihat juga Laclau
and Mouffe, 1985:112).
Nodal point adalah tanda yang memperoleh hak
istimewa (privileged), di sekitarnya tanda-tanda lain ditata. Tanda-tanda lain
ini memperoleh maknanya dari relasi dengan nodal point.
medikal misalnya,
Pada wacana
tubuh merupakan nodal point, yang di sekitarnya
beberapa makna lain terkristalisasi. Tanda-tanda seperti ‘symptoms’ gejala,
‘tissue’ jaringan, dan ‘scalpel’ pisau bedah memperoleh maknanya dengan
jalan menghubungkannya dengan ‘body’ tubuh secara khusus. Nodal point
dalam wacana politik, misalnya, adalah ‘demokrasi’, sedangkan dalam
wacana kebangsaan adalah ‘rakyat’. Nodal point untuk wacana kolonial
diduga adalah ‘kekuasaan’, namun itu pun masih harus dibuktikan dalam
penelitian ini.
Wacana ditetapkan sebagai suatu totalitas, yaitu setiap tanda
dipastikan sebagai moment melalui relasinya terhadap tanda-tanda lain
36
sebagaimana dalam metafora jala ikan tadi. Ini dilakukan dengan jalan
penyingkiran (exclution) semua makna yang mungkin yang dapat dimiliki oleh
tanda-tanda itu, atau penyingkiran semua cara yang mungkin yang dapat
digunakan menghubungkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,
wacana merupakan pereduksian semua kemungkinan. Ini merupakan usaha
untuk menghentikan tanda yang menggelinding / meluncur / menyasar dalam
hubunganya dengan tanda lain dan juga karena ingin menciptakan sistem
makna yang menyatu. Semua kemungkinan yang wacana singkirkan, oleh
Laclau dan Mouffe disebut the field of discursivity (Phillips, L. and Jorgensen,
M.W., 2004:27; lihat juga Laclau and Mouffe, 1985:111).
The field of
discursivity ini merupakan tempat penampungan bagi ‘makna yang berlebih’
(‘surplus of meaning’) yang diproduksi lewat praktik artikulasi, Ini adalah
makna yang dimiliki oleh suatu tanda atau pernah dimiliki di wacana-wacana
lain, tetapi yang disingkirkan oleh satu wacana khusus demi untuk
menciptakan kesatuan makna. Misalnya, wacana medikal ditetapkan
(constituted) dengan jalan menyingkirkan wacana mengenai pengobatan
alternatif, dalam wacana ini tubuh dilihat sebagai entitas secara holistik yang
menyerap energi lewat jalan yang berbeda.
The field of discursivity dalam definisi konsep Laclau dan Mouffe,
dipahami sebagai segala sesuatu yang berada di luar satu wacana, segala
yang wacana itu singkirkan. Namun, karena satu wacana selalu ditetapkan
37
dalam hubungannya dengan wacana di luarnya, maka ia selalu berada dalam
bahaya dikurangpentingkan (undermined), yakni kesatuan maknanya berada
dalam bahaya dikacaukan (disrupted) oleh cara penetapan makna yang lain
tandanya. Di sini konsep element menjadi relevan. Element adalah tanda
yang maknanya belum dipastikan, tanda yang memiliki potensi makna multi
(tanda-tanda yang polisemi). Jadi, dengan menggunakan konsep ini, definisi
wacana dapat direformulasi sebagai suatu usaha untuk mentransformasi
elemen-elemen
ke
dalam
momen-momen
dengan
jalan
mereduksi
poliseminya menjadi makna yang pasti. Dalam teori wacana Laclau dan
Mouffe diistilahkan bahwa wacana tersebut telah menetapkan makna tanda
akhir, a closure, suatu penghentian sejenak fluktuasi makna dalam tanda.
Akan tetapi a closure, makna akhir, tidak pernah definitif. Sebagaimana
dikutip perkataan
Laclau dan Mouffe oleh Louise Phillips
dan Marianne
Jorgensen (hal. 28): ‘The transition from the “elements” to the “moments” is
never entirely fullfilled.’
Wacana tidak pernah dapat dipastikan dengan
sempurna karena ia dapat dikacaukan dan diubah dengan berbagai makna
multi yang ada dalam tanda. Misalnya, dalam wacana pengobatan Barat,
masuknya akupuntur telah menyebabkan terjadinya modifikasi dalam
pemahaman pengobatan yang dominan cara Barat.
Dalam istilah Laclau dan Mouffe ‘tubuh’ adalah elemen sebagaimana
di dalamnya ada beberapa cara pemahaman yang bersaing, Dalam wacana
38
pengobatan Barat yang dominan, tubuh dapat direduksi menjadi moment
yang dapat didefinisikan
wacana
pengobatan
secara khusus dan tidak ambigu, dan dalam
alternatif,
tubuh
dapat
didefinisikan
dengan
dikorespondesikan dengan ketidakambiguan, tetapi dengan cara yang
berbeda dari wacana medikal. Namun, wacana Kristen memiliki cara lain
memahami tubuh, yakni mengaitkannya dengan tanda ‘soul’ jiwa. Jadi, kata
‘body’, tidak terlalu berbicara banyak mengenai dirinya, ia harus diposisikan
dalam hubungannya dengan tanda lain untuk memberikan makna, ini terjadi
lewat articulation.
Laclau dan Mouffe
mendefinisikan artikulasi sebagai
setiap praktik yang menetapkan relasi antar elemen-elemen, seperti halnya
identitas dari elemen yang dimodifikasi. Kata ‘body’ dalam dirinya sendiri
bersifat polisemi dan identitasnya, oleh karena itu, diputuskan melalui
hubungannya dengan kata lain dalam artikulasi. Misalnya, ujaran ‘body and
soul’ menempatkan ‘body’
dalam wacana religius, beberapa makna kata
tetap lanjut digunakan dan yang lain diabaikan.
Nodal point adalah tanda-tanda yang memiliki privilege di mana di
sekelilingnya wacana diorganisasi, tetapi tanda-tanda ini dalam dirinya
kosong. Sebagaimana telah disebutkan, tanda ‘body’
tidak memperoleh
makna yang mendetail sampai ia masuk dalam wacana khusus. Oleh karena
itu, tanda ‘body’ juga merupakan elemen. Sesungguhnya teori wacana
memiliki istilah untuk elemen yang terbuka untuk perbedaan makna, dan itu
39
adalah floating signifier penanda mengambang. Floating signifier adalah
tanda yang berbagai wacana berbeda berusaha miliki dengan makna yang
sesuai dengan yang mereka ingini. Nodal point adalah floating signifier, tetapi
karena istilah ‘nodal point’ mengacu kepada poin pengkristalisasian dalam
wacana khusus, maka istilah ‘floating signifier’ menjadi bagian dari pergulatan
yang sedang terjadi antara wacana berbeda untuk memastikan makna tanda
yang penting.
Dengan menghubungkan semua istilah satu sama lain, wacana
bertujuan memindahkan ambiguitas
dengan jalan mengubah element
menjadi moment sampai menjadi makna akhir atau closure. Tetapi tujuan ini
tidak pernah berhasil dengan sempurna sebagaimana kemungkinankemungkinan makna yang wacana pindahkan (displaces) ke field of
discursivity yang selalu mengancam untuk membuat tidak stabil makna yang
pasti (fixed). Oleh karena itu, semua moment berada dalam polisemi yang
berpotensi, yang berarti bahwa moment selalu merupakan element potensial.
Artikulasi-artikulasi khusus mereproduksi atau menolak wacana yang telah
eksis lewat penetapan makna dengan cara khusus. Oleh karena polisemi
yang terus menerus berpotensi, maka setiap ekspresi verbal atau tertulis
(bahkan setiap tindakan sosial) juga merupakan artikulasi atau inovasi;
meskipun
ekspresi
itu
digambarkan
berdasarkan
kepastian
makna
sebelumnya – ia digambarkan berdasarkan wacana-wacana yang telah
40
menjadikan tanda sebagai moment – namun ia
tidak pernah merupakan
repetisi dari sesuatu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, ekspresi
merupakan reduksi aktif dari kemungkinan-kemungkinan makna karena ia
memosisikan tanda dalam hubungannya satu terhadap yang lain dengan
melalui hanya satu cara, menyingkirkan bentuk-bentuk organisasi alternatif.
Wacana, dalam pengertian Saussurean adalah satu tipe struktur yang
makna tandanya dalam satu jaringan relasional sudah pasti. Atau dengan
kata lain struktur dalam tradisi Saussurean meliputi semua tanda akhir
(closure) yang permanen, sedangkan bagi Laclau dan Mouffe, wacana tidak
pernah secara total berada dalam pengertian Saussurean ini. Selalu ada
makna potensial lain, yang ketika diartikulasi dengan cara khusus, boleh jadi
ia menolak dan mentransformasi struktur wacana. Jadi, wacana dalam
pandangan Laclau dan Mouffe
merupakan (closure) makna tanda akhir
temporer: ia memastikan makna dengan cara khusus, tetapi ia tidak mendikte
makna itu pasti menjadi tetap dengan cara itu untuk selamanya.
c.Teori relativisme dan universalisme bahasa.
Ketika peneliti-peneliti Barat mulai mencurahkan perhatian mereka
pada bahasa-bahasa lain di luar bahasanya sendiri, maka muncullah dua
pendapat yang saling bertentangan dalam melihat hubungan bahasa dengan
budaya.
Pendapat
pertama
yang
setuju
dengan
pernyataan
yang
41
mengatakan bahwa bahasa yang dimiliki seseorang mendeterminasi cara
pandang dan berpikirnya, di mana dengan ini akan berdampak pada cara ia
memperlakukan dunia,
melahirkan teori yang disebut sebagai teori
relativisme bahasa. Teori ini beranggapan bahwa konsep setiap bahasa
berbeda-beda, baik dalam bidang leksikologi, morfologi, maupun dalam
bidang sintaksis. Bahkan dalam bidang fonologi pun demikian pula,
perbedaan tekanan dan intonasi sering memberikan perbedaan makna pada
satu bahasa tertentu yang belum tentu sama pada bahasa yang lain. Begitu
juga dengan bangun fisik kata yang tampak dari luar (overt) suatu bahasa,
kata bahasa Belanda rijst misalnya, padanannya dalam bahasa Indonesia
bisa beras,nasi, padi, gabah, dst. Hal ini disebabkan kata rijst dalam bahasa
Belanda tidak memiliki hubungan budaya dengan masyarakat bahasanya,
kata ini diadopsi ke dalam bahasa Belanda hanya karena adanya ikatan
dengan Indonesia, oleh karena itu kata ini dalam beberapa teks tampil
sebagaimana asalnya, seperti kata nasi goreng, paddi, dst.
Pandangan kedua melihat bahwa dalam bahasa terdapat ciri-ciri yang
bersifat universal, karena itu lahirlah teori universalisme bahasa. Bila kita
ingin mengadopsi kedua pandangan ini maka apa yang dilakukan tidaklah
terlalu salah. Karena bila dicermati dengan seksama, memang dalam setiap
bahasa selalu terdapat ciri atau karakter yang memperlihat kesamaan
dengan bahasa-bahasa lain yang ada di dunia, terutama dalam hal konsep,
42
klasifikasi, dan kategorisasi. Ikhwal konsep suatu kata, akan memperlihatkan
ciri keuniversalan bila yang dianalisis adalah fitur makna yang dikandung
oleh kata tersebut. Contohnya kata bahasa Belanda paard memiliki fitur-fitur
makna [+bernyawa], [+ binatang], [+piaraan], [+warna: hitam, coklat, putih,
dan belang-belang], [+kaki empat], [+ekor satu]..dst; fitur-fitur ini dapat
diperluas
sesuai
dengan
kemampuan
pengetahuan
orang
yang
memaknainya, seperti [+nomina], [+tunggal], [+jamak], [+referen], dst.
Banyak pemikir-pemikir besar dunia yang mengakui keberadaan
konsep makna universal ini. Filosof seperti Pascal, Arnauld, dan Leibniz
(Dirven, 2001: 161) menyebut konsep semacam ini sebagai “pengertian
sederhana’ (“eenvoudige begrippen”). Dalam linguistik modern pengertian
semacam ini umum disebut sebagai semantik primitif, sebagaimana istilah
yang digunakan René Dirven semantische primitiven dan juga Anna
Wierzbicka dan Cliff Goddard
ketika mengulas mengenai Semantics and
Lexical Universal (1994) juga menggunakan istilah yang senada semantic
primitives, namun dalam tulisan-tulisan mereka yang muncul kemudian
istilah yang sama telah diubah menjadi semantic primes (semantik prima).
Sebagai peneliti yang berkepentingan menggunakan istilah ini, saya
cenderung
lebih
memilih
istilah
semantik
prima,
karena
menurut
representasi mental saya kata ini lebih mengandung muatan fitur netral
dibandingkan kata primitif. Kata primitif pernah pula digunakan oleh sosiolog
43
Prancis pada permulaan Abad Kedua Puluh, Lucien Lévy Bruhl (Wierzbiecka,
pada opening statementnya dalam Semantics and Lexical Universal, 1994: 1).
Lévy Bruhl menggunakan kata ini ketika ia membedakan cara berpikir
masyarakat Barat yang menurutnya logis dan non-Barat yang primitif. Cara ini
tentu saja tidak mencerminkan cara berpikir yang universal.
Semantik prima
merupakan konsep-konsep universal yang dimiliki
semua bahasa di dunia, yang keberadaanya relatif kecil dalam jumlahnya.
Menurut Driven (2001) ada sekitar 60-an kata bahasa Belanda yang dapat
diidentifikasi memiliki konsep makna prima. Semantik prima adalah
pemaknaan yang sudah jelas untuk dirinya sendiri dan tidak dapat lagi
dijelaskan dengan pengertian sederhana lain.
Umumnya dari pengertian sederhana ini dapat dikembangkan lagi
pendekatan baru yang bersifat antar bahasa dan lintas budaya, serta dapat
digunakan untuk memparafrasekan pengertian-pengertian yang khas secara
budaya.
Diyakini dalam konsep semantik prima ini pasti terdapat kerumitankerumitan lain yang masih perlu dibuktikan dalam penelitian ini, apalagi bila
yang diteliti adalah kata-kata yang mengandung intensi tertentu seperti
wacana kolonial. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa di antaranya,
seperti alloleksen (allolexen): satu konsep makna (covert) yang diwujudkan
44
dalam dua bentuk fisik kata (overt) yang berbeda, seperti je / u , iemand / een
persoon, zich voelen / voelen, dst. Makna figuratif, yakni makna assosiatif
yang terbentuk dari gabungan dua makna prima, seperti kata majemuk
aapmens. Kompleksitas atau kerumitan lain yang perlu dijelaskan lebih jauh
adalah kata yang memiliki makna ganda atau polisemi.
3. Pandangan terhadap makna kata
Berlawanan dengan pandangan strukturalis yang memiliki pandangan
bahwa kata yang biasanya diwakili oleh tanda memiliki kedekatan dengan
makna yang hampir tidak dapat dipisahkan darinya, maka Callow (1998: 19)
justru melihat bahwa keberadaan makna lebih dulu hadir dari pada kata.
Orang yang sedang berkomunikasi tahu apa
makna yang hendak
dikomunikasikan, kemudian baru ia memilih kata-kata terbaik untuk
mengekspresikan maksud (makna) tersebut. Jadi, sesungguhnya bukan kata
yang memaknai sesuatu, tetapi manusialah yang memaknai sesuatu ketika ia
menggunakan kata-kata. Bagi Callow, kata tidak memiliki makna, tetapi kata
hanya memberi sinyal mengenai makna.
Pikiran orang yang sedang berkomunikasi tidak kosong (blank), tetapi
ada dipenuhi muatan-muatan.
Kata-kata tidak berada di otak kita
sebagaimana abstraksi logis, tetapi keberadaan kata lebih dekat pada
penggunaannya. Di sini tampak, pandangan terhadap makna berpusat pada
45
penutur (speaker). Mereka yang menerima pandangan tentang makna yang
terpusat pada kata, melihat satu kata yang sama bisa memiliki makna-makna
yang berbeda di konteks kalimat yang berbeda. Sedangkan mereka yang
memandang makna terpusat pada penutur, melihat makna yang sama dapat
diekspresikan lewat kata-kata yang berbeda (dan melalui sejumlah cara yang
berbeda). Dapat juga makna yang sama diekspresikan dalam bahasa yang
berbeda. Jadi, jika makna dipertimbangkan inheren dalam kata, maka tidak
mungkin mengekspresikan makna berbeda bila konteks kalimat tidak
berbeda.
Apa yang dijelaskan di atas, secara singkat dapat memberikan
pengertian mengenai definisi makna dalam pandangan strukturalis, yang
kemudian mendapat tentangan dari pandangan poststrukturalis.
Dalam pandangan strukturalis, makna adalah relasi yang setiap
elemen linguistik miliki dengan elemen lain, juga dipahami sebagai penyatuan
signifier (signifiant) dan signified (signifié), expression dan content. Makna
juga didefinisikan sebagai konsep atau mental image yang ekspresi atau
tanda kaitkan dalam pikiran kita. Selain itu, masih ada pandangan lain yang
mendefinisikan makna sebagai ‘sesuatu’ atau entitas yang dirujuk oleh tanda
atau ekspresi.
Pandangan-pandangan lain yang tengah mencari jawaban untuk
pertanyaan “apa itu makna?” secara fundamental dapat dibedakan menurut
46
seberapa besar penekanan mereka pada sisi berbeda dari segitiga semiotik,
semiotic triangle (lihat Violi, 2001): linguistik dan psikolinguistik menekankan
perhatian pada expression
dan content, sedangkan filsafat pada content
dan referent. Dalam tradisi filsafat, misalnya, dapat digambarkan perbedaan
antara mereka yang mempertimbangkan relasi langsung antara ekspresi dan
referen (menyingkirkan puncak dari semiotic triangle atau dalam hal ini
content), dan mereka yang melihatnya sebagai relasi yang dimediasi oleh
entitas penengah yang disebut sense atau intension. Linguistik juga
menginterpretasi content dengan cara berbeda, baik sebagai bagian integral
dari ekspresi, petanda linguistik (signified) yang tidak dapat dipisah dari
penandanya (signifier) atau sebagai sesuatu yang memiliki substansi
konseptual yang otonom.
a. Semantik kognitif.
Semantik kognitif yang secara khusus digunakan sebagai alat untuk
mengkaji leksikal merupakan bagian dari linguistik kognitif. Sebagai
pendekatan, semantik kognitif ini rupanya menolak pembagian linguistik
secara tradisional ke dalam bagian-bagian seperti fonologi, morfologi,
sintaksis, pragmatik, dsb. Sebagai gantinya, semantik (makna) justru dibagi
menjadi
konstruksi
makna
(meaning
construction)
dan
representasi
pengetahuan (knowledge representation). Dari situ dapat dilihat bahwa
semantik kognitif menaruh perhatian pada kajian makna secara keseluruhan.
47
Oleh karena itu kajian semantik kognitif mempersembahkan perhatian tidak
hanya pada makna leksikal (semantik) tetapi juga pada pragmatik atau
makna kalimat dalam penggunaannya.
Sebagai teori, semantik kognitif membangun argumentasi bahwa
makna leksikal bersifat konseptual. Makna leksem (lexeme) tidak merujuk
pada entitas atau relasinya dengan dunia nyata, tetapi merujuk pada konsep
yang ada di kepala berdasarkan pengetahuan dan relasinya dengan dunia
nyata. Lebih dari itu, semantik kognitif menerima proses mental yang terjadi
sebagai pengetahuan yang bersifat ensiklopedis (bersifat meluas), dan
karenanya melibatkan beberapa teori dari psikologi kognitif.
Ciri lain dari semantik kognitif adalah mengakui bahwa makna leksikal
bersifat tidak tetap dan merupakan masalah penafsiran (construal) serta
konvensionalisasi (conventionalization). Proses penafsiran secara linguistik
diyakini sebagai proses yang sama seperti pada pengetahuan lain yang
secara psikologis melibatkan proses mempersepsi, mengassosiasi, dan
mengingat.
(1). Konsep makna
Konsep makna yang paling sederhana yang dapat dibentuk oleh
seorang anak yang baru pertama kali memperoleh bahasa ibu adalah dengan
jalan membangun ciri-ciri fisik benda yang diperkenalkan padanya. Ciri-ciri
itu
diperoleh
dengan
memaksimalkan
pengamatan
inderawi,
seperti
48
penglihatan,
pendengaran,
perabaan,
penciuman,
dst.
Kemudian
menghubungkannya dengan apa yang didengar dari ibu atau pengasuhnya
tentang benda itu. Semua ini nantinya akan direkam dalam memori anak
tersebut, untuk nantinya akan dikeluarkan dalam bentuk ujaran bila ia melihat
benda yang sama atau hampir sama dengan ciri-ciri yang sudah direkamnya.
Teori ini menurut psikolinguistik disebut sebagai teori fitur (meminjam istilah
Dardjowidjojo, 2005)
Teori fitur hakekatnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat
fitur atau ciri yang menjadi bagian integral dari kata itu. Seperti kata kucing,
memliki fitur [+bernyawa], [+binatang], [+warna: hitam, coklat, putih, abu-abu,
atau belang-belang], [+berbulu halus], dst. Fitur-fitur ini secara keseluruhan
membentuk konsep untuk kucing.
Teori ini dalam praktiknya ternyata memiliki banyak kelemahan, seperti,
ciri-ciri yang dibangun sering merupakan ciri yang prototipe, sehingga dengan
demikian benda yang dirujuk kadang keliru dengan benda lain yang memiliki
ciri yang sama. Karena itu muncul teori lain yang dinamakan Teori
Berdasarkan-Pengetahuan (Knowledge-Based Theory) (Dardjowidjojo, 2005:
91). Teori ini masih bersandar pada teori fitur, tetapi diperluas. Dalam teori ini
tidak hanya fitur yang dilihat tetapi juga esensi dan konteksnya. Di sini tidak
hanya pengetahuan yang dapat memperluas ciri makna suatu kata tetapi
juga pengalaman yang telah menjadi pengetahuan, misalnya untuk kata
49
kucing dapat diperluas dengan fitur [+bersuara: meong], [+pemakan ikan],
dst.
Pandangan yang senada juga dikemukan oleh Katz dan koleganya
(Katz dan Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1972 dalam: Evans,
2006: ?) yang mengidentifikasi elemen makna sebagai analisis komponen.
Pandangan mereka ini dilandasi pemikiran bahwa kata sesungguhnya terdiri
dari elemen-elemen atau komponen-komponen atomik khusus. Sehingga
analisis yang dikembangkan oleh mereka ini dikenal sebagai gaya
komponensial (style-componential). Dalam perhitungan mereka makna kata
terdiri dari penanda (marker) semantik dan pembeda semantik (distinguisher).
Penanda semantik terdiri dari informasi yang dimiliki oleh kata, sementara
pembeda menetapkan informasi idiosinkratik untuk makna kata yang ada.
Misalnya, menurut Katz dan Postal
(1964) makna polisemi untuk kata
bachelor dapat dihadirkan sebagai berikut:
a. (manusia) (laki-laki) [ yang tidak pernah menikah]
b. (manusia) ( laki-laki) [satria muda yang melayani dibawah perintah
orang lain]
c. (manusia) [penerima gelar akademik terendah]
d. (bukan manusia) (laki-laki / jantan) [anjing laut berbulu yang masih
muda tanpa pasangan].
50
Keterangan: penanda semantik (marker) diberikan dalam parantheses
(tanda kurung) dan pembeda semantik (distinguisher) diberikan dalam tanda
kurung siku-siku ( [ ] ).
(2). Makna ujaran atau tuturan
Makna tuturan langsung dapat diartikan secara harafiah (letterlijk),
sebagai ungkapan perpaduan makna kata dari tiap kata yang ada dalam
kalimat. Namun ada kalanya makna dari satu kata yang dijejerkan dengan
kata lain, bukan merupakan perpaduan dari kedua makna kata tersebut atau
dengan kata lain ia menunjuk pada makna figuratif.
Begitu pula makna tuturan dapat bersifat metaforis, artinya ungkapan
kalimat yang terdiri dari jejeran kata-kata itu dipersamakan dengan sesuatu
yang lain, meskipun sebenarnya mereka tidak sama. Ungkapan ini biasanya
ditandai dengan pemakaian kata pembanding bagaikan, seperti, dan
sejenisnya. Contohnya ungkapan wajah kedua anak itu bagaikan pinang
dibelah dua. Di sini wajah anak-anak itu dipersamakan dengan buah pinang
yang terbelah dua, sama persis, padahal faktanya wajah seorang anak
dengan buah pinang tidak ada kemiripannya sama sekali.
Dalam kehidupan sehari-hari sering pula dijumpai dalam percakapan
atau tulisan dalam suatu teks, ungkapan-ungkapan kalimat yang bermakna
ambigu, seperti ungkapan panas ya hari ini, yang diucapkan seorang dosen
51
ketika memasuki ruang kuliah. Makna tuturan ini sebenarnya tidak hanya
sekedar memberikan informasi bahwa suhu udara hari ini panas, tetapi lebih
dari itu si penutur mengingatkan bahwa AC atau pendingin udara di ruangan
itu belum dinyalakan dan meminta atau menyuruh secara tidak langsung
kepada siapa pun yang ada dalam ruangan itu untuk menyalakan AC.
Ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa makna tuturan sangat
tergantung pada konteks. Suatu bidang linguistik dan kajian wacana yang
secara sistematis mengkaji relasi antara konteks dan bahasa adalah
pragmatik. Pragmatik lebih terkait dengan penggunaan bahasa dan
tindakannya daripada dengan tata bahasa formal atau struktur wacana
abstrak. Akan tetapi pragmatik juga dapat digunakan dalam psikolinguistik,
sosiolinguistik, dan analisis konversasi. Di antara arah penelitian terhadap
penggunaan bahasa, pragmatik lebih fokus pada isu-isu filosofis. Jadi,
pragmatik menjadi label yang umum untuk berbagai kajian seperti analisis
speech act (Austin, 1962; Searle, 1969), maksim konversasi (Grice, 1989),
kesantunan (Brown and Levinson, 1989), presupposisi dan indeksikal
(Stalnaker, 1999) dan beberapa pendekatan yang lain (Van Dijk, 2009:13).
Tindak tutur
John R. Searle (dalam: Rahardi, R.K., 2005) menyatakan dalam
bukunya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language, bahwa
52
dalam praktik penggunaan bahasa terdapat sedikitnya tiga macam tindak
tutur, yaitu: (1)
tindak lokusioner (locutionary acts), (2) tindak ilokusioner
(illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts)
Dalam menuturkan sesuatu, seseorang secara khusus memerankan
beberapa tindakan (acts). Sebagaimana disampaikan Searle (1969), ketiga
tindakan itu adalah (a) an utterance act (the bringing forth of certain speech
sound, word, and sentence), (b) a propositional act (referring to something or
someone and pradicating some properties of that thing or person), (c) an
illocutionary act (investing the utterence with a communicative force of
promise, statement of fact, and so on).
Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, kalimat
yang maknanya sesuai dengan apa yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat tersebut, walau kadang dalam maknanya tersembunyi tujuan dan
maksud tertentu. Contoh tuturan di atas, panas ya hari ini, dapat
menjelaskan hal itu. Tuturan ini memiliki makna informatif sesungguhnya bagi
pendengarnya, yakni menyampaikan pernyataan
yang sebenarnya akan
cuaca hari itu kepada yang mendengarkan. Kalimat
proposisi atau
pernyataan seperti ini oleh Searle dimasukkan dalam kategori tindak tutur
representatif.
53
Namun tidak tertutup kemungkinan, penyataan dari tindak tutur ini
dimaknai lebih jauh oleh pendengarnya, misalnya dengan melakukan
tindakan menyalakan AC bila dalam ruangan tersebut terdapat AC atau alat
pendingin lain, atau dapat juga seseorang melakukan tindakan membuka
jendela. Bahkan dapat saja terjadi bahwa pendengar dari tindak tutur tersebut
tidak melakukan suatu tindakan apapun, pernyataan ini hanya dimaknai
sebagai informasi umum sebagaimana kategori tindak tutur representatif.
Pernyataan tindak tutur yang dimaknai dengan suatu tindakan oleh
pendengarnya dikategorikan sebagai tindak tutur direktif.
Tindak tutur lokusioner, dalam hal perwujudannya oleh Searle (1969)
(lihat Dardjowidjojo,2005 dan Rahardi, R. K., 2005) dikategorikan ke dalam
lima bentuk, yakni: (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan
(e) deklaratif.
Sama seperti pernyataan tidak tutur direktif yang dimaknai tersirat
sebagai “perintah”, tindak tutur komisif pun demikian, hanya saja pada tindak
tutur komisif pemaknaannya diarahkan pada diri sendiri dan lebih bersifat
tersurat dengan menggunakan kata-kata seperti berjanji, bersumpah,
bertekad, dan sejenisnya. Contohnya adalah kalimat: saya berjanji untuk
menyelesaikan tugas ini secepatnya.
54
Tindak tutur ekspresif dimaknai pendengar sebagai bentuk ungkapan
yang bersifat psikologis sekaitan dengan apa yang dirasakan oleh penutur.
Dalam
bentuk
perwujudannya,
ungkapan
ini
sering
digunakan
mengekspresikan rasa terima kasih, rasa bahagia dalam bentuk ucapan
selamat, rasa kagum seperti contoh dalam bahasa Belanda berikut: Wat een
prinsesje, de vrouw van dien sul (padanannya dalam bahasa Indonesia
kurang lebih seperti ini: alangkah cantiknya istri
sultan itu). Dapat juga
mengekpresikan rasa keterkejutan, seperti contoh: “God, wat ‘n ellende”
Ungkapan ini dituturkan ketika pendengar mendengar penderitaan seorang
yang tengah menjadi bahan obrolan, seorang laki-laki setelah beberapa hari
sakit dan setelah diperiksa dokter ternyata menderita penyakit lepra. Tidak
hanya itu ia juga sudah dikeluarkan dari pekerjaannya, sementara istrinya
pun sedang berada di Holland untuk urusan kesehatannya sendiri. Ungkapan
itu mengekspresikan perasaan pendengar setelah mendengar cerita tersebut:
“Ya Tuhan, betapa menderitanya (orang itu).”
Tindak
tutur
deklaratif
dimaknai
sebagai
pernyataan
yang
mengungkapkan adanya suatu keadaan baru yang timbul setelah pernyataan
ini diungkapkan. Biasanya orang yang mendeklarasikan sesuatu adalah
orang yang memiliki wewenang untuk itu, misalnya hakim yang membacakan
putusan terhadap terdakwa: “Dus drie jaar dwang-arbeid buiten den
55
ketting en driehonderd gulden boete, subsidiair zes weken dwangarbeid…..” (De Wit, A., 1903: 95).
Maksim konversasi
Dalam
berkomunikasi
orang
biasanya
akan
mengikuti
prinsip
kerjasama (cooperative principle) yang akan menjadikan percakapan itu
berjalan dengan baik. Prinsipel Kooperatif ini pertama kali dikenalkan oleh
filsuf H. Paul Grice, pada kuliahnya di tahun 1967 (Dardjowidjojo, 2005: 108113). Prinsipel ini memberikan landasan dalam berkomunikasi yang dikenal
dengan sebutan maksim (maxims). Grice memperkenalkan empat macam
maksim, yaitu: (a) maksim kuantitas, (b) maksim kualitas, (c) maksim relasi,
(d) maksim cara (manner).
Maksim kuantitas dimaknai sebagai landasan dari tuturan yang
memberikan informasi yang tepat kepada pendengar. Ukuran tepat untuk
tuturan ini berarti informasi yang diberikan tidak berlebih tetapi juga bukan
kurang. Namun informasi yang disampaikan harus sesuai dengan yang
diperlukan. Bila informasi yang disampaikan kurang, maka pendengar akan
salah memahami ungkapan tersebut, sebaliknya bila berlebihan maka
pendengar akan dibuat bingung, karena tuturan akan menjadi tidak fokus.
56
Maksim
kualitas dimaknai sebagai landasan bagi tuturan untuk
memberikan informasi yang benar. Komunikasi biasanya akan terganggu bila
informasi yang disampaikan tidak benar.
Sedangkan
pada
maksim
relasi
dimaknai
bahwa
pendengar
seharusnya mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan percakapan.
Bila tidak, maka komunikasi akan terganggu.
Untuk maksim cara, diharapkan pendengar mendapatkan informasi
yang jelas mengenai ungkapan pemikiran penutur.
Pemikiran yang
diungkapkan dengan cara ambigu akan mengganggu pemaknaan pendengar
terhadap apa yang disampaikan.
Dalam kenyataannya, prinsipel kooperatif tidak selamanya diterapkan
dalam kehidupan berbahasa. Karena apa yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari memperlihatkan bahwa sering orang menyatakan apa yang
dimaksud tidak secara rinci dan eksplisit, bahkan ujaran yang disampaikan
pun tidak dengan pemikiran yang runtun atau pemberian informasi kadang
tidak jelas.
Teori kesantunan Brown dan Levinson
Komunikasi, dalam pandangan Brown dan Levinson, dilihat sebagai
bahaya
berpotensi dan antagonistis. Kekuatan dari pendekatan mereka
57
menurut Gabriel BĂRBULEŢ dalam artikelnya yang berjudul The Politeness
Principle – A Fundamental Pragmatic Dimension, melebihi teori Geoff Leech,
karena mereka menjelaskan kesantunan dengan jalan menurunkannya dari
gagasan yang lebih fundamental tentang kemanusiaan. Gagasan dasar dari
model ini adalah “face” wajah yang didefinisikan sebagai citra (image) diri
publik yang setiap anggota masyarakat ingin miliki untuk dirinya. The public
self-image that every member (of society) wants to claim for himself.
Dalam kerangka kerja mereka, wajah terdiri dari dua aspek terkait. Pertama,
negative face wajah negatif, yakni hak atas teritori diri, yang menyebabkan orang
bebas bertindak dan bebas dari paksaan. Kedua, positive face wajah positif adalah
citra diri yang konsisten dimiliki orang, yakni merupakan keinginan untuk dihargai
dan setidak-tidaknya disetujui oleh sejumlah orang.
Kedua aspek wajah ini dimiliki oleh setiap manusia, namun dalam suatu
interaksi komunikasi kadang aspek wajah negatif lebih menonjol sehingga
menyebabkan dampak tidak menyenangkan pada mitra tutur. Orang yang bertindak
rasional berusaha menjaga kedua jenis wajah ini untuk dirinya dan orang yang
berinteraksi dengannya.
Brown dan Levinson juga berargumentasi bahwa dalam komunikasi
manusia, baik tuturan maupun tulisan, orang cenderung menjaga wajah
seseorang dari orang lain secara terus menerus. Namun adakalanya orang
lain dibuat tidak nyaman atau dipermalukan lewat tuturan yang disampaikan
atau tulisan yang dibuat. Tindakan demikian disebut sebagai tindakan
58
mengancam wajah (face threatening act – FTA). FTA adalah tindakan yang
melanggar kebutuhan pendengar (mitra tutur) untuk menjaga harga dirinya
dan dihargai.
Untuk mengurangi dampak tidak menyenangkan dari FTA ini, Brown
dan Levinson mengidentifikasi 4 strategi kesantunan yang biasa dilakukan
orang dalam berinteraksi, yaitu: bald on-record, positive politeness, negative
politeness, dan off-record-indirect.
Keempat strategi itu dapat dijelaskan
sebagai berikut, dengan disertai contoh-cotoh (yang berbahasa Inggris
dikutip dari artikel Bărbulet yang telah disebut di atas).
Bald on-record strategy (strategi gundul / polos terekam). Dengan
menggunakan strategi ini tidak satu pun
ancaman terhadap wajah
pendengar yang diminimalisasi. Tuturan atau tulisan ditampilkan apa adanya;
sejauh hal itu masuk kategori tertentu, seperti yang disebutkan di bawah ini,
maka itu masih dapat dikategorikan santun. Di luar dari kriteria ini, maka
tuturan atau tulisan tersebut berpotensi mengancam wajah pendengar atau
pembaca. Tuturan yang masih dapat dikategorikan santun, bila ia memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1) Pemberituhuan keadaan darurat (an emergency): help!
2) Berorientasi tugas (task-oriented): give me those!
3) Merupakan permohonan (request): put your jacket away!
59
4) Meminta kewaspadaan (alerting): turn your lights on! (while driving).
Positive politeness strategy (strategi kesantunan positif). Strategi ini
menunjukkan pengakuan penutur akan keinginan pendengar untuk dihargai.
Strategi ini sekaligus juga mengkonfirmasikan bahwa hubungan ini adalah
hubungan persahabatan dan mengekspresikan rasa kelompok yang sama.
Tuturan
atau
tulisan
yang
menggunakan
strategi
kesantuan
positif
menampilkan ciri-ciri, seperti:
1) Menunjukkan perhatian pada pendengar: you must be hungry. It’s
a long time since breakfast. How about some lunch?
2) Menghindari ketidaksetujuan dengan jalan tidak mengatakan
secara langsung tetapi sedikit berputar-putar :
A: What is she,
small?
B : Yes, yes, She’s small,
smallish, um, not really small but
certainly not very big.
3) Mengasumsi persetujuan dengan suatu penegasan: so when are
you coming to see us?
4) Mengelak memberikan opini: you really should sort of try harder.
Negative politeness strategy (strategi kesantunan negatif). Strategi ini
mengakui wajah positif pendengar atau mitra tutur, tetapi di sisi lain strategi
60
ini
juga mengakui bahwa penutur dengan beberapa cara memaksakan
sesuatu pada pendengar. Ada beberapa contoh dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia yang bisa ditampilkan, seperti:
1) Penggunaan kata-kata: I don’t want to bother you but……. atau
… I was wondering if …….
2) Mengutarakan
secara
tidak
langsung,
misalnya
dengan
mengatakan: “saya mencari bolpoin”, padahal yang dimaksud
adalah “saya membutuhkan sebuah bolpoin”.
3) Mengutarakan permintaan maaf yang diikuti permintaan yang
sedikit memaksa : you must forgive me, but…….
4) Menggunakan kata yang memberi kesan meminimalisasi
pemaksaan: I just want to ask you if I could use your computer.
5) Melipatgandakan tanggungjawab personal: we forgot to tell you
that you needed to buy your plane ticket yesterday.
Off-record indirect strategy (Strategi tidak langsung tidak terekam).
Cara ini menanggalkan beberapa tekanan terhadap pendengar atau mitra
tutur, dengan mencoba menghindari FTA secara langsung. Strategi ini
diyakini merupakan cara yang paling santun untuk menghindari ancaman
terhadap wajah. Untuk itu ada beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti:
61
1) Memberi isyarat dengan meminta pendapat mitra tutur sebelum
permintaan sesungguhnya diajukan padanya, seperti: “Sedikit
berangin di sini, bagaimana kalau jendela itu ditutup.”
2) Bertutur secara samar-samar: “Barangkali seseorang harus
dapat lebih bertanggungjawab.”
3) Dengan cara bercanda atau bertutur dengan humor.
Strategi ini setelah diuji pada beberapa bahasa yang ada di dunia
ternyata
tidak
menunjukkan
sifat
keuniversalannya
yang
menonjol.
Kesantunan berbahasa untuk sebagian besar bahasa-bahasa di dunia,
sangat dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi masyarakat penuturnya.
Dilihat dari kecendrungan yang dilakukan masyarakat penutur InggrisAmerika, dapat disimpulkan bahwa mereka banyak menggunakan strategi
kesantunan positif, sedangkan masyarakat Jepang lebih menggunakan
strategi kesantunan negatif (lihat artikel Langcope mengenai The Universality
of Face in Brown and Levinson’s Politeness Theory: A Japanese Perspective,
dalam: longscope.pdf).
4. Bagaimana pikiran mengorganisasi bahasa
Manusia memiliki kemampuan mengekpresikan berbagai hal. Untuk itu
pertanyaan yang dapat diajukan adalah innerfaculties
dan kemampuan
62
macam apa yang dimiliki manusia yang membuatnya dapat mengirim dan
menerima pesan dalam berkomunikasi?
Untuk memulainya, pertama-tama harus disadari bahwa manusia
secara genetik telah dibekali Language Acquisition Devices (LAD), sarana
penunjang manusia agar dapat berbahasa, sebagaimana teori yang diyakini
Chomsky. Alat ini juga, diyakini banyak ahli (Dardjowidjojo, 2003:5) sebagai
pembeda manusia dari hewan dalam hal kemampuan berbahasa. Selain itu,
manusia juga memiliki kemampuan menyimpan semua impresi yang
diperoleh lewat inderanya, dari dulu hingga sekarang, ke dalam gudang
penyimpanan yang disebut mind, minda (dipinjam dari istilah Soenjono
Dardjowidjojo). Minda ini dapat menampung semua memori yang sifatnya
individual dan subjektif, karena mereka merupakan pengalaman dan aktivitas
milik seseorang dan bukan milik orang lain.
Bila harus memahami bagaimana orang berkomunikasi, kita harus
memahami kecendrungan terhadap apa yang disebut mental furniture,
karena itu adalah apa yang ada dalam batin seseorang (inwardy) yang ia
ekspresikan ke luar (outwardy). Cara kita mengorganisasi ujaran kita
merefleksikan bentuk dan lekuk (contour) pikiran kita. Bagaimana konfigurasi
mental kita, mencirikan bagaimana kandungan minda kita; kandungan minda
diorganisasi dan diatur dapat diakses ketika kita membutuhkannya tetapi
tidak menonjol ketika kita tidak membutuhkannya.
63
Manusia
memiliki
kapasitas
untuk
menggeneralisasi
dan
mengidentifikasi. Ia dapat mengidentifikasi pengalaman baru dengan
beberapa cara sebagai “hal yang sama” yang pernah ia alami sebelumnya,
dan ia menyimpan kedua pengalaman ini pada tempat yang sama. Ia juga
sepanjang hidupnya membandingkan dan mengkategorisasi, bahkan ketika
aktivitas ini telah menjadi kebiasaan (habitual) yang terlatih di luar kesadaran.
Menurut Callow (1998), kandungan mental manusia diorganisasi sebagai
unit-unit sarang, suatu gambaran multidimensional yang terdiri dari blok-blok
atau area atau bidang-bidang materi terkait, masing-masing merupakan area
yang lebih kecil. Jadi seorang anak kecil memiliki area keluarga dalam
mindanya, dengan sub area terpisah untuk ayah, ibu, dan anggota keluarga
yang lain, dan untuk semua jenis peristiwa dan kejadian yang berbasis pada
rumah, seperti bermain, makan, membantu ibu. Ketika ia besar ia menambah
satu area di luar rumah, dan ini nantinya akan beraneka, ada area sekolah,
hobby, dst. Sampai ia dewasa area-area ini akan terus bertambah sesuai
dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuannya.
Secara teknis, para ahli lain ada yang menggunakan istilah the
faculties of mind (Chomsky), frame (Fillmore), mental space (Fouconnier)
ataukah image schema (Lakoff). Namun intinya menggambarkan, bahwa
muatan mental manusia seperti kotak dalam kotak atau ruangan-ruangan
dalam satu bangunan, yang batasannya tidak begitu solid, karena
kemampuan mental
manusia untuk menyimpan beberapa detail dalam
64
pikirannya berada di bawah satu payung besar, di mana tiap-tiap kotak atau
ruangan-ruangan kecil di bawahnya menyimpan pengalaman / pengetahuan
yang telah dipisah-pisahkan berdasarkan kategori-kategori, bisa berdasarkan
waktu kejadian, jenis peristiwa, relasi peristiwa, apakah penting, atau kurang
penting, dsb. Ketika berbahasa, pikiran akan menampilkan ke permukaan
simpanan yang ada pada satu area kemudian dengan cepat akan beralih
pada area lain dan begitu seterusnya, sehingga nampak seolah-olah batas
antara satu area dengan area lain tidak begitu jelas.
Pengalaman masa lalu manusia disimpan
di area-area di dalam
minda, dan disimpan dalam bentuk unit-unit dalam unit besar. Manusia juga
memiliki kemampuan untuk melihat peristiwa yang paling rumit sebagai satu
kesatuan dengan beberapa cara. Pada saat yang sama ia juga memiliki
kapasitas untuk melihat konstituen bagian sebagaimana mereka unit-unit
tersendiri. Tanpa kapasitas ini, memori sebagaimana kita tahu, tidak dapat
eksis dan pemikiran yang koheren tidak dapat terjadi. Namun demikian,
tidaklah sesederhana itu, kadang pikiran kita dapat dikacaukan dan terjadi
disorganisasi, lebih dari itu, bahkan berpikir sebagaimana kita tahu, dapat
tidak terjadi sama sekali. Satu dari kapasitas-kapasitas esensial manusia
yang membuat berpikir menjadi mungkin adalah mengenali kesatuan yang
berhubungan dengan variasi-variasi bersama, dan variasi bergabung
membentuk satu kesatuan. Namun kebanyakan dunia pikiran (the realm of
the mind) tetap tersembunyi dari kita., jadi survey ini tidak dapat sempurna.
65
B. Kerangka Pikir
Teks yang diasumsikan mengandung muatan “wacana kolonial”,
secara empiris kehadirannya dapat diuji lewat pilihan kata-kata yang
digunakan yang sifatnya tidak terbatas dan menyebar di sepanjang teks.
Pilihan kata yang dimaksud dapat tampil dalam bentuknya sebagai kata lepas,
frasa, klausa, dan rangkaian beberapa kalimat.
Kehadiran kata-kata dan rangkaian kata ini secara teoretis tidaklah
mungkin terlepas dari makna, apakah itu makna leksikal ataukah makna
gramatikal. Makna bahasa, intinya, adalah titik berangkat yang akan
dieksplorasi untuk sampai pada akhir dari tujuan penelitian ini.
Untuk
dapat
mengeksplorasi
makna
leksikal
dan
gramatikal,
diperlukan data kata-kata dan kalimat yang diasumsikan mengandung
muatan “wacana kuasa kolonial” yang kehadirannya akan dimunculkan lewat
pembedahan dengan menggunakan pisau teori analisis wacana yang
diadopsi dari Laclau dan Mouffe.
Dalam pembedahan ini, istilah nodal point (NP) akan digunakan ketika
mengidentifikasi kata lepas dan frasa yang diduga mengandung muatan
makna ‘kolonial’. Seperti pemahaman Laclau dan Mouffe, di sekitar NP ini
juga dapat diidentifikasi kata-kata lain yang juga tidak terbatas, di mana
penetapan maknanya sangat tergantung pada NP yakni makna istimewa
66
yang sejak awal akan ditetapkan lebih dulu. Kata-kata lain yang berada di
sekitar NP ini, oleh Laclau dan mouffe disebut moments. Moment adalah
makna sementara yang kepastian maknanya baru diperoleh ketika ia berada
dalam suatu wacana khusus. Jadi moment adalah penanda wacana (kata)
yang teridentifikasi berada di seputar penanda wacana istimewa yang akan
ditetapkan lebih awal. Keberadaan moment di sekitar nodal point (NP) tidak
terlepas dari keberadaan elements yang merupakan elemen bahasa atau
tanda yang berpotensi memiliki makna multi. Untuk sampai menjadi moment,
element direduksi makna lainnya, hingga tinggal menjadi satu makna akhir
yang pasti. Satu makna pasti dari moment baru menjadi makna akhir, apabila
tanda tersebut menjadi bagian dari satu wacana khusus.
Data-data
bahasa
yang
teridentifikasi
ini
dikumpulkan
dan
dikelompokkan menjadi kelompok kata, frasa, dan kalimat yang mengandung
muatan makna kolonial, yang nantinya akan menjadi sumber rujukan bila
akan menganalisis makna ungkapan kolonial.
Kemudian, melalui metode observasi akan dilakukan interpretasi
makna terhadap wacana teks, yang pada akhirnya akan sampai pada
menganalisis konteks yang terdapat dalam wacana teks kolonial.
Dalam menganalisis makna semantik data-data kebahasaan akan
diklasifikasi berdasarkan aspek-aspek pemaknaan teks bila dilihat secara
67
keseluruhan dan aspek-aspek makna khusus yang berkaitan dengan teori
dan konsep semantik, juga akan didiskusikan pengelompokkan kata
berdasarkan pandangan sosio-historis dan sosio-kultural.
Secara singkat kerangka pikir ini dapat dihadirkan sebagaimana
gambar berikut ini:
Wacana Teks
Kata, Frasa, Kalimat
Makna
Leksikal
Konteks
Kebermaknaan
Teks Kolonial
Gambar 1. Skema kerangka pikir
Gramatikal
68
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data-data bahasa yang bersifat kolonial yang diduga
ada tersembunyi di balik praktik-praktik diskursif, pertama-tama
dilakukan
adalah
membongkar
seperangkat
teks
yang
yang
teridentifikasi
mengandung muatan-muatan itu. Hal ini dilakukan dengan alasan karena
analisis wacana sesungguhnya mengeksplorasi ide-ide dan objek-objek yang
diproduksi atau dikonstruksi secara sosial, yang disebarkan ke seluruh teks,
dipelihara, dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Karena itu cara yang
paling cocok untuk mendapatkan data kebahasaan ini adalah dengan
menggunakan konsep teori yang telah dikembangkan oleh para analis
wacana. Ada banyak teori dan konsep yang dikenal, namun penelitian ini
sedikit banyak mengadopsi pemikiran analisis wacana Laclau dan Mouffe
untuk mendapatkan data kebahasaan
Analisis wacana tidak hanya sekedar metode, tetapi ia mewakili suatu
metodologi yang mewujudkan suatu pandangan konstruksi sosial yang kuat
(Gergen, 1999, sebagaimana dikutip oleh Philips dan Cynthia Hardy, 2002: 5).
69
Analisis wacana ini tidak sama dengan bentuk metodologi penelitian kualitatif
lain, seperti pendekatan analisis naratif atau analisis konversasi yang khas
kajian teks atau kajian konversasi. Kedua pendekatan kualitatif yang disebut
terakhir ini memang
memperhitungkan juga konteks untuk memastikan
makna, tetapi biasanya tanpa referensi yang lebih luas atau tanpa
memperhitungkan akumulasi bentuk-bentuk teks yang biasanya juga
menentukan makna.
Meskipun tertarik pada pengonstruksian naratif atau konversasi,
pendekatan ini kurang secara eksplisit mempersembahkan perhatian pada
konstruksi realitas sosial yang lebih luas. Sama halnya seperti pendekatan
kualitatif
yang dilakukan melalui metodologi
etnografi. Etnografi sering
bertujuan membongkar makna realitas sosial dengan metode partisipasi,
tetapi sering kurang memperhatikan bagaimana suatu realitas sosial bisa
sampai menjadi eksis, yang
biasanya terkonstruksi sebagai akibat dari
berbagai wacana dan dari berbagai teks yang diasosiasikan padanya (Ibid: 6).
Metodologi etno fokus pada aturan-aturan generatif yang memungkinkan
hubungan antar relasi sosial, tetapi perhatiannya ini lebih kepada
mengobservasi tindakan dari pada mengkaji teks.
Analisis content, dalam bentuknya yang lebih interpretatif dapat
digunakan dalam penelitian ini, untuk menghubungkan isi teks dengan
konteks diskursif yang lebih luas. Misalnya mengidentifikasi tema atau topik,
70
strategi retorika yang digunakan, kemudian mengaitkannya dengan siapa
yang berbicara dan siapa pendengar yang dituju. Penelitian ini juga akan
memberdayakan
teknik interpretatif, yakni pemaknaan secara pragmatik
ujaran-ujaran individual dalam teks dan analisis semantik kata (leksikal)
digunakan untuk memaknai lebih jauh kata-kata yang dipilih secara khusus.
Perlu ditekankan kembali di sini, bahwa jenis penelitian ini adalah
penelitian purposif-kualitatif, artinya data yang telah diidentifikasi hanya akan
dianalisispemaknaannya sesuai kebutuhan, untuk memperlihatkan konsepkonsep yang sesuai dengan pemahaman teori analisis semantik.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah seluruh teks yang diproduksi
pada masa penjajahan dulu di Hindia, dalam rentang waktu yang dibatasi
mulai Abad 19 hingga paruh awal Abad 20, oleh Belanda sebagai pihak
yang menjajah ketika itu, dan diaktualisasikan dalam
dengan menggunakan bahasa Belanda.
bentuk teks tertulis
Teks ini merupakan perspektif
mereka tentang Hindia dengan segala permasalahannya, terutama yang
berkaitan dengan peran mereka sebagai penguasa dalam mengelola tanah
jajahan.
Khusus penelitian ini, sumber data sebagai sample dibatasi pada teksteks yang telah ditetapkan secara eclectic yang berada pada rentang waktu
71
yang telah diputuskan, dan memiliki bentuk khusus berupa novel, roman,
cerpen, laporan-laporan atau dokumen-dokumen pemerintahan.
Sedangkan data yang dikumpulkan dari nya berupa kata-kata lepas,
frasa, dan kalimat-kalimat yang sesuai dengan arah tujuan penelitian. Katakata dan kalimat-kalimat ini diambil dari sumber data yang telah ditetapkan
sebagai sample dan diterima sebagai data primer, sehingga dengan demikian
keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keberadaan
sumber data sekunder juga kadang diperlukan, bila harus menjelaskan
konteks yang melatari penjelasan akan kata-kata atau kalimat-kalimat
tersebut.
C. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
memberdayakan teori Laclau dan Mouffe dalam menghimpun data kata-kata,
rangkaian kata, yang menyimpan karakteristik kolonial, di samping juga
mengidentifikasi ungkapan-ungkapan bahasa dalam bentuk tuturan langsung,
dan tidak langsung yang terdapat dalam beberapa teks kolonial yang menjadi
sumber data penelitian.
Mengikuti konsep dan teori Laclau dan Mouffe, pertama-tama akan
ditetapkan nodal point (tanda/kata yg diberi hak istimewa)
72
Langkah berikut di sekitar nodal point diidentifikasi moments (tanda/
kata yg maknanya telah ditetapkan sebagian) yang mendukung wacana yang
sedang dibentuk. Untuk mendapatkan tanda/kata yang dimaksud akan
dirancang suatu metode di mana dengan cara ini akan ditetapkan lebih dulu
beberapa pertanyaan penuntun yang dipastikan akan dapat mengarahkan
pemikiran dan perhatian dalam mengidentifikasi moments. Cara ini bersifat
filosofis, dalam pengertian bahwa cara berpikir yang dilakukan dapat dimulai
secara rasional baru kemudian menemukan data secara empiris dalam teksteks yang dimaksud. Namun dapat juga dilakukan dengan cara sebaliknya,
menemukan data secara empiris, yakni semua tanda/kata yang telah
teridentifikasi lewat pembacaan akan dicatat dan dikumpulkan untuk
selanjutnya akan diklasifikasi dan dikategorisasi sesuai prinsip-prinsip
rasionalisme wacana yang telah ditetapkan.
C. Teknik Analisis Data
Data-data yang terkumpul, diklasifikasi berdasarkan kelompok kata
lepas,
frasa,
mengandung
pemaknaannya
dan
kalimat.
muatan
Ungkapan-ungkapan
‘wacana
berdasarkan
kuasa
aspek-aspek
yang
kolonial’
pemaknaan
akan
diidentifikasi
dianalisis
negatif
secara
langsung dan tidak langsung. Mengeksplorasi pemaknaan negatif ini tentu
73
dengan mempertimbangkan konteks pengetahuan, nilai-nilai, dan moral yang
dianut penutur bahasa.
Untuk itu, data kata yang akan dianalisis ditentukan lebih dulu makna
leksikalnya sebagaimana yang tertera
dalam kamus, namun dalam
penulisan di sini akan diekspresikan dalam bentuk padanannya dalam
bahasa Indonesia atau diparafrasekan untuk makna leksikal yang tidak
memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Kemudian, dilakukan
analisis makna gramatikal yang berkaitan dengan lingkungan fisik kalimat di
mana kata itu ditempatkan. Dari situ dapat dijabarkan konsep makna kata
sebagaimana diperkenalkan oleh teori tentang makna.
Agar diperoleh ciri-ciri yang lebih rinci mengenai konsep suatu kata,
maka perlu dieksplorasi pengetahuan dan hal-hal lain yang menjadi latar
belakang untuk memahami kata tersebut. Konteks dalam pengertian luas
akan ditelusuri dan dicoba untuk diinterpretasi agar kebermaknaan wacana
kolonial dapat dimunculkan.
74
DAFTAR PUSTAKA
Adinda, 1892, Vrouwen Lief en Leed Onder de Tropen (roman), Schrool –
Conserve [Indische Letterenreeks: 4], Eerder verschenen: Utrecht:
Beijers.
Allwood, J. and Gӓrdenfors, P. (eds), 1999, Cognitive Semantics: Meaning
and Cognition, John Benjamin B.V., USA.
Beaugrande, R. De, 1991, Linguistic Theory: The Discourse of Fundamental
Works, Longman, London and New York.
Bărbulet, Gabriel, tanpa tahun, The politeness Principle – A Fundamental
Dimension (online), diakses 6-11-2011.
Bhatia, V.K., et al. 2008, Advances in Discourse Studies, Routledge, USA
a…….and Canada.
Blackledge, A., 2005, Discourse and Power in a Multilingual World (Discourse
Approaches to Politics,Society and Culture), John Benjamin, B.V.,
USA.
Boas, F., 1966, Introduction to Handbook of American Indian Languages, The
University of Nebraska Press, United States of America.
Bourdieu, P. (edited and introduced by John B. Thompson), 1991, Language
and Symbolic Power (translated by Gino Raymond and Matthew
Adamson), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.
Brugge, Carry van, 1909, Goenong-Djatti (roman), Schoorl – Conserve
[Indische Letterenreeks: 1], Eerder verschenen Amsterdam.
Brugge, Carry van, 1921, Een Indisch Huwelijk (novelle), Schrool –
Conserve [Indische Letterenreeks: 2], Eerder verschenen
Amsterdam.
Caldas-Coulthard, C.R. and Coulthard, M. (eds.), 2003, Texts and Practices.
Readings in Critical Discourse Analysis, Roudledge, New Yorlk.
75
Callow, K., 1998, Man and Message. A Guide to Meaning-Based Text
Analysis, Summer Institute of Linguistics, Inc., Lanham-New YorkOxford.
Campen, C. van, De Verwarring der Zintuigen. Artistieke en Psychologische
Experimenten met Synesthesie (online),
http://www.synesthesie.nl/pub/synp&m96.htm (diakses 14-9-2010).
Cobley, P., 2001, “Introduction” dalam: The Routledge Companion to
Semiotics and Linguistics, Routledge, London and New York.
Croft, W. and Cruse, D. A. 2004, Cognitive Linguistics, Cambridge Press,
United Kingdom.
Cruse, A., 2004, Meaning in Language: An Introduction to Semantics and
Pragmatics, Oxford University Press, New York.
Cummings, L., 2007, Pragmatik. Sebuah Perspektif Multidisipliner, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Dardjowidjojo, S., 2010, “Bahasa dan Pola Berpikir Bangsa Kita,” dalam:
Jurnal Linguistik Indonesia tahun ke 28, nomor 2, Masyarakat
Linguistik Indonesia, Jakarta.
Dardjowidjojo, S. 2003, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Daum, P.A., 1895/1989, Batavia-Amsterdam Reisschets, Nijgh & Van Ditmar,
Amsterdam.
Daum, P.A., 1890/1982, H. van Brakel, Ing. B.O.W. (Salamander), Em.
Querido’s Uitgeverij B.V., Amsterdam.
Daum, P.A., 1895/1987, Goena-Goena (Salamander), Em. Querido’s
Uitgeverij B.V., Amsterdam.
De Jong, G. F., 1975, The Dutch In Amerika 1609-1974, Twayne Publishers a
Division of G.K. Hall & Co, Boston.
Djajasudarma, T. F., 2012, Wacana & Pragmatik, Refika Aditama, Bandung.
Douglas, P.A., 2009, “Unveiling Dutch America. The New Netherland Project”,
76
Dalam: The Low Countries, The Flemish-Netherlands Association Ons
Erfdeel vxw.
Driven, R. en Verspoor, M. (reds), 2001, Cognitieve Inleiding tot Taal en
Taalwetenschap, Uitgeverij Acco, Leuven.
Drooglever, P.J., 1991, Indisch Intermezzo. Geschiedenis van de
Nederlanders in Indonesië, De Bataafsche Leeuw, Amsterdam.
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media, LKiS,
Yogyakarta:
Evans, V. and Green, M., 2006, Cognitive Linguistics An Introduction,
Lawrence Ertbaum Associates Inc.Publishers, New Jersey.
Fairclough, N., 1995, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of
Language, Longman, London and New York.
Fouconnier, G., 1985, Mental Space: Aspects of Meaning Construction in
Natural Language, MIT Press/Bradford, Cambridge, MA/London.
Goddard, Cliff (ed), 2008, Cross Linguistic Semantics, Jhon
Publishing, Amsterdam/Philadelphia.
Benjamin
Guevara, E., 2006, Lexical Semantics Book Review. Corpora in Cognitive
Linguistics: Corpus Based Approaches to Syntax and Lexis. Stefan
Gries and Anatol Stefanowitsch (eds), Mouton de Gruyter (online).
Guevara-corpora-in-cognitive-linguistics.pdf-Adobe Reader (diakses 6-112010).
Halliday, M.A.K., 1978,
Interpretation of
Australia/USA:
Language as Social Semiotic. The
Language and Meaning, Edward
Social
Arnold,
Hymes, D., 1986, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach,
Eight Paperback Printing, USA.
Inventaris Arsip Bantaeng (1866-1973), masalah pendidikan, no reg.48-49,
91-92.
Inventaris Arsip Selayar (1823-1973), masalah pendidikan, no reg. 369, 370,
373, 379, 380, 382, 383, 384, 385, 388.
77
Jackendoff, R., 2001, “Language in the Ecology of the Mind”, dalam: The
Routledge Companion to Semiotics and Linguistics edited by Paul
Cobley, Routledge, London and New York.
Jansma, K. en Schroor, M. (red), 1987, Onze Vaderlandse Geschiedenis,
Uitgeverij Inter-Combi van Seijen, Leeuwarden.
JSTOR, Ethnophaulisms and Ethnocentrism. American Journal of Sociology
(online), Vol 67, No 4 (Jan, 1962) (http://www.jstor.org/pss/2775144,
diakses 26-11-2011).
Kompas, 10 Januari 2011, Anggota Kongres Kritis. Si Penembak Diduga
Tidak Sendirian, 8.
Kompas, 15 Januari 2011, Palin Terus Diserang, 9.
Kompas, 15 Januari 2011, “Fitnah Darah”
Semitisme di Eropa, 9.
Jejak Sejarah
Kelam Anti-
Kompas (Liputan Khusus: Ekspedisi Cincin Api), 28 Juli 2012, New York Pun
Ditukar dengan Pulau Run, 36.
Knaap, G.J., 1991, Inleidende opmerkingen over de geschiedenis van
Indonesië tot circa 1870, dalam Drooglever, P.J., 1991, Indisch
Intermezzo. Geschiedenis van de Nederlanders in Indonesië, De
Bataafsche Leeuw, Amsterdam.
Kramsch, C., 1998, Language and Culture, Oxford University Press, UK.
Laclau, E. and Mouffe, C., Hegemony and Socialist Strategy. Towards
Radical Democratic Politics, Verso, London.
a
Longcope, P. The Universality of Face in Brown and Levinson’s Politeness
Theory: A Japanese Perspective (online), langscope.pdf (diakses 6-112011).
LuMing, Robert Mao, 1994, Beyond politeness theory: “Face” revisited and
renewed. Journal of Pragmatics 21: 451-486.
Matthes, B.F., “Verslag van een Verblijf in de Binnenlanden van Celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam: Van den Brink, H., 1943, Dr.
Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeid in Dienst van het
Nederlandch Bijbelgenootschap, Nederlandsch Bijbelgenootschap,
78
Amsterdam.
Matthes, B.F., “Beknopte Verslag van een Paar Tochten in de Binnenlanden
van Celebes, Gedurende de Jaren 1857 en 1861”, dalam: Van den
Brink, H., 1943, Dr. Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeid
in Dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Nederlandsch
Bijbelgenootschap, Amsterdam.
McGilvray, J. (ed), 2005, The Cambridge Companion
Cambridge University Press, Cambridge.
to
Chomsky,
Nieuwenhuys, R., 1972, Oost-Indische Spiegel, E.M. Querido’s
N. V., Amsterdam.
Uitgeverij
Nieuwenhuiys, R., 1988, “Kartini” dalam: Orientatie, Literair-cultureel tijdschrift
in Indonesië [1947-1953] (onder red.van Peter van Zonneveld),
Schoorl-Conserve,
Peeters, B. (ed.) 2006, Semantic Primes and Universal Grammar: Empirical
Evidence from
Romance Languages, John
Benyamin B.V., The
Nederland / Philadelphia.
Philips, N. and Hardy, C 2002, Discourse Analysis. Investigating Processes
of social construction (Qualitative Research Methods Series 50), Sage
Publication International Educational and Professional Publisher,
Thousand Oaks London, New Delhi.
Phillips, L. and Jorgensen, M. W. 2004, Discourse Analysis as Theory and
Methods, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi.
Riemer, Nick, 2010, Introducing Semantics, Cambridge University Press,
Cambridge, UK.
Roeffaers, H., 2004, Taal Woordkunst. Een Filosofische
Garant-Uitgevers n.v., Antwerpen-Apeldoorn.
Verkenning,
Rutten, G.J.E., 2004, Wittgenstein’s Tractatus Logico Philosophicus (online),
wittgensteinstractatus.pdf-Adobe Reader (diakses 19-10-2010).
Samuel, J., 2008, Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan
Politik Peristilahan, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.
Saussure, F. de. translated and annotated by Roy Harris, Course in General
79
Linguistics, Duckworth, Britain.
Shimp, T.A. and Sharma, S., Consumer Ethnocentrism: Construction and
Validation of the Cetscale. Journal of Marketing Research, Vol. XXIV
(August, 1987), hal 280-289. (online), consumer ethnocentrism
construction and validation of the CETSCALE.pdf (diakses 26-112011).
Siauw, F. Y., 2012, Muhammad Al- Fatih 1453, Khalifah Press, Jakarta.
Sternberg, R. J., 2008, Psikologi Kognitif, Pustaka Pelajar, Jogyakarta.
Talmy, L., Cognitive Semantics: An Overview (online),
http://linguistics.buffalo.edu/people/faculty/talmy/talmyweb/recent/overview.ht
ml. (diakses 30-9-2010).
Titscher, S., et al., 2005, Methods of Text and Discourse Analysis, Sage
Publications Ltd., London:
Urmson, J.O. and Sblsa, M. (ed), 1962/1975, How to Do Things with Words.
J.L. Austin.
Van den Brink, H., 1943, Dr. Benjamin Frederik Matthes. Zijn Leven en Arbeid
in Dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Nederlandsch
Bijbelgenootschap, Amsterdam.
Van Dijk, T.A. (ed), 2004, Discource As Social Interaction. Discourse Studies
2, A Multidisciplinary Introduction, Sage Publication Ltd., London.
Van Dijk, T.A., 2009, Society and Discourse. How Social Contexts Influence
Text and Talk, Cambridge University Press, UK.
Verhaar, J.W.M., 2008, Asas-Asas Linguistik Umum, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Verschuren, J. and Östman, J-O, 2009, Key Notions for Pragmatic, John
Benjamin Publishing Company, Amsterdam / Philadelphia.
Violi, P. (Translated by Jeremy Carden), 2001, Meaning and Experience,
Indiana University Press, USA.
Walraven, W., 1988, “Ngawi” dalam: Orientatie. Literair-cultureel tijdschrift in
Indonesië [1947-1953], Schrool-Conserve.
80
Wetherell, M., et al., 2005, Discourse Theory and Practice: A Reader,
Sage Publication Ltd., London.
Widdowson, H.C., 2004, Text, Context, Pretext. Critical Issues in Discourse
Analysis, Blackwell Publishing, USA.
Wierzbicka, A. and Goddard, C.(ed), 1994, Semantic and Lexical Universal,
John Benyamin Publishing Company, The Netherland / USA.
Wit, A. de, 1903, De Godin die Wacht (roman), Schrool – Conserve
[Indische Letterenreeks: 6], Oorspr. Uitg. Amsterdam: Van Kampen.
Wit, A. de, 1920, De Drie Vrouwen in Het Heilige Woud [Indische
Letterenreeks No.: 7], Meulenhoff, Amsterdam.
Wodak, R. and Meyer, M. (eds), 2009, Methods of Critical Discourse Analysis,
Sage Publications Ltd., London.
Wodak, R. and Chilton, P. (eds), 2005, A New Agenda in (Critical) Discourse
Analysis: Theory, Methodology and Interdisciplinarity (Discourse
Approaches to Politics, Society and Culture), John Benjamin
Publishing Company, USA.
Yule, G., 2006, Pragmatik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Zeggelen, M. van, 1920 / 1909, Onderworpenen. Schetsen uit
Celebes,
Schrool - Conserve (Indische Letteren-reeks; nr.8), Oorspr. Uitg.
Semarang: Masman & Stroink; Amsterdam: Meulenhoff.
Zonneveld, P. van (red), 1988, Oriëntatie. Literair-cultureel tijdschrift in
Indonesië [1947-1853], Schoorl-Conserve.
81
Kamus:
Van Dale Groot
Woordenboek der Nederlandse Taal, Elfde herziene druk,
1984, Van Dale lexicografie: Utrect / Antwerpen.
Verklarend Handwoordenboek der
Nederlandsche
Vermeerderde Druk, 1913, J.B. Wolters: Groningen.
Taal, Tiende,
Verklarend Handwoordenboek der Nederlandsche Taal, Zeventwintigste Druk,
1975, H.D. Tjeenk Willink BV: Groningen.
82
83
Download