BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Simbol Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca memiliki pemahaman yang lebih dalam dari segi pemaknaan dan disertai juga adanya wawasan sudut pandang kultural. Pandangan atau pengertian sederhana masyarakat tentang simbol adalah suatu tanda. Pandangan tersebut sejalan dengan pernyataan Frye (Adams, 1984: 1121), ia memberi contoh dari pernyataan Saussure dengan sebuah simbol verbal cat. Cat, dalam pikiran, merupakan tiga tanda hitam c-a-t yang ditandai dengan bunyi yang mereprentasikan sebuah citra cat, dan dalam pengalaman indrawi manusia, cat memiliki makna seekor binatang yang mengeong. Hal itu menunjukan tanda-tanda adalah, unit-unit verbal yang secara konvensi dan arbritrer, berdiri dan menunjuk sesuatu hal di luar tempat di mana mereka terpikir. Hubungan tanda dengan konsep sebelumnya telah dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure, penemu ilmu linguistik modern. Ilmu tanda atau semiotika merupakan pijakan dasar pertama untuk berangkat lebih jauh ke dalam pemaknaan dari simbol-simbol. Saussure (Selden, 1986:243) mengemukakan konsep signified, signifier, dan sign, di mana sign adalah tanda itu sendiri, signified adalah konsep dalam pikiran manusia, dan signifier adalah aspek dari konsep yaitu, suara dan citra. Ketiga unsur itu merupakan satu kesatuan. Jika kita menyebut kursi, maka konsep (signified) dalam pemikiran kita adalah benda mati 7 8 yang mempunyai empat kaki, yang digunakan untuk duduk. Adapun signifier dari kursi adalah chair (dalam bahasa Inggris) dan kursi (dalam bahasa Indonesia), sedangkan sign dari kursi tersebut adalah kursi yang nyata. Pierce lebih jauh membedakan 3 jenis dasar tanda berdasarkan objek yang diacu yaitu, ikon yaitu tanda mirip dengan apa yang diwakilinya (misalnya, foto mewakili orang); indeks yaitu tanda yang diasosiasikan dengan dengan hal (misalnya, asap dengan api) dan simbol di mana tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya, seperti penggunaan lencana yang menunjukkan pangkat atau tingkatan dalam kemiliteran (Saeed, 1997:5). Dengan demikian jelaslah bahwa simbol merupakan hasil kesepakatan atau konvensi yang merujuk pada penandanya. Ketika simbol terdapat dalam karya sastra, simbol tersebut merupakan simbol sastra. Pradopo menjelaskan, bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama. Karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih tinggi (atas) kedudukannya, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra itu sendiri. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (signifiance) (Pradopo, 2005:122). Lebih lanjut Pradopo menjelaskan bahwa studi sastra bersifat semiotik adalah merupakan usaha untuk menemukan suatu makna melalui penentuan tanda-tanda dan juga konvensi-konvensinya (Pradopo, 2005:123). Dari pernyataan tersebut dijelaskan bahwa sebagai bagian dari sistem tanda, simbol memiliki konvensi-konvensi yang merujuk pada maknanya. Dengan kata lain untuk 9 mengetahui makna dari simbol, maka diperlukan usaha untuk mencari konvensikonvensi, baik yang terdapat dalam karya sastra yang sudah ada, maupun dari kultur budaya yang telah menentukan suatu makna untuk suatu simbol di suatu daerah. 2.2 Poskolonialisme 2.2.1 Pengertian Poskolonial Pengertian kata kolonial memiliki citra yang berhubungan dengan masalah penjajahan. Pada awalnya kata tersebut tidak berisi konotasi negatif, sebagaimana pernyataan berikut, Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dalam bahasa Inggris dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa (Ratna, 2006:205). Ditinjau dari segi waktu, kata poskolonial berarti masa sesudah penjajahan, pendudukan, atau penguasaan, karena kata ‘post’ mempunyai arti sesudah atau dalam bahasa Indonesia padanan katanya ialah pasca. The second college edition of The American Heritage Dictionary (dalam english.emory.edu) memberikan definisi: post-co-lo-ni-al adj. Of, relating to, or being the time following the establishment of independence in a colony: postcolonial economics. Dalam prakteknya, istilah tersebut bukan hanya dipakai untuk menunjuk masa sesudah runtuhnya imperialisme, tetapi masa sebelum kemerdekaan juga. 10 2.2.2 Sejarah Poskolonialisme Poskolonialisme menurut Shelley Walia (dalam Ratna, 2006:206) pertama kali dikemukakan oleh Frantz Fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched Of the Earth (1976). Fanon menganalisis dampak kolonialisasi dari segi psikologis dan sosiologis. Setelah itu, banyak bermunculan tokoh poskolonialisme lainnya, seperti, Edward W. Said dengan Orientalismnya, Gayatri Chakravorty Spivak dengan Three Women’s Texts and a Critique of Imperialism, Homi K Babha, Bill Ashcroft dll. Pada awalnya, teori ini berdiri sebagai perlawanan terhadap imperialisme dan Eropasentris dengan bentuk-bentuk penjajahan seperti, pendudukan, perbudakan, diskriminasi, pemaksaan bahasa dan bentuk-bentuk penjajahan lainnya. Cakupan kesusasteraan yang menjadi kajian dalam teori ini sebagian besar adalah negara-negara dunia ketiga yang pernah mengalami penjajahan, diantaranya: Afrika, Bangladesh, Karibia, India Malaysia, Malta, Pakistan, Singapura, Kepulauan Pasifik Selatan, Srilanka (Ashcroft, dkk 2003:xxiii) dan juga Indonesia. 2.2.3 Teori Poskolonialisme Seperti telah dijelaskan diatas, inti dari teori poskolonial adalah perlawanan terhadap penjajah, dengan kata lain adanya konsep penindas dan yang ditindas. Albert Memmi memberi istilah Colonizer dan Colonized (Memmi, 2007), sedangkan Max Dorsinville (Aschroft 2003:29) mengistilahkan ‘yang didominasi’ 11 dan ‘yang mendominasi’, dan Fanon (dalam Ashcroft 2003:183) mengungkapkannya dalam dikotomi kolonial (penjajah-terjajah). Berbicara diskriminasi rasial, dalam teori poskolonialisme terdapat model kajian untuk menjelaskan karya-karya tersebut, yaitu model Black Writing. Model Black Writing adalah suatu model berbasis ras yang mengidentifikasi ciri-ciri tertentu yang sama-sama terdapat pada pelbagai kesusasteraan nasional, seperti warisan rasial yang umum terdapat dalam karya sastra diaspora Afrika (Ashcroft, 2003:1). Model ini merupakan wadah bagi orang kulit hitam berkarya menuangkan karyakarya tulisan intelektual mereka yang pada mulanya menentang diskriminasi ekonomi dan politik. Tokoh-tokohnya antara lain, Chinua Achebe dan Ngugi wa Thiong’o. Model Black Writing diilhami oleh konsep Negritude yang dikembangkan oleh Martinician Aimé Césaire dan Leopold Sedar Senghor. Lewat konsep tersebut (Ashcroft, 2003:181), mereka mendeskripsikan secara spesifik tidak hanya sifat, tetapi juga psikologis bangsa Afrika kulit hitam. Selain itu, konsep ini membangkitkan perkembangan kesadaran kulit hitam modern. Konsep ini pula yang menjadi inspirasi gerakan-gerakan kulit hitam seperti Harlem Renaissance tahun 1920-an, salah tokohnya ialah penyair kulit hitam, Langston Hughes.