BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1 Pengertian Implementasi. Dalam kamus Webster pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementasi” (mengimplementasikan) berarti i “to provide means for carrying out; to give pratical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak/berakibat sesuatu).2 Implementasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Implementasi merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. 2.2 Pengertian Informed Consent Informed consent merupakan hak asasi manusia, untuk menentukan sikap dan menjadi saat dimulaimya “transaksi terapeutik” dalam praktek sehari-haripun informed consent wajib dilakukan sebelum tindakan dan transaksi medis dilakukan. Kedatangan seseorang dikamar praktek dokter sudah mencerminkan tindakan informed consent secara tidak langsung dan tergolong implied (tacit) consent. Dengan menyapaikan keluhan kepada dokter, berarti ada suatu „penyerahan diri‟ untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter agar penyakitnya dapat disembuhkan. Pemeriksaan rutin yang dilakukan dalam upaya menetukan 2 Abd Muhaimin Doholio, 2011, Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tugas Dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah Dikecamatan Lemiti Pohuwato. Hlm 9. 6 penyakit tidak memerlukan informed consent, kecuali bila hendak melakukan tindakan tambahan seperti penyuntikan, pengambilan cairan atau jaringan.3 Informed Consent adalah suatu komunikasi antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan, dan tidak akan dilakukan terhadap pasien, dilihat dari Informed Consent bukan lah suatu perjanjian antara dua pihak, melainkan melahirkan suatu persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan. Informed consent sebagai alat untuk memunkinkan penentuan nasib sendiri pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien termaksud. Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, didalam Informed Consent tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut dikemudian hari, hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik menimulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan (medical provider) dan pihak penerima pelayanan (medical receivers) dan ini harus dihormati oleh para pihak.4 A.) Pengertian Informed Consent Menurut Para Ahli. Menurut Hanafiah mengemukakan informed artinya telah diberitahukan / telah disampaikan atau telah diinformasikan, Consent artinya pertujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah Informend 3 Ida Bagus Gde Manuaba, 1999, Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Hlm 21. 4 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku 1, hlm 126 7 Consent, dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan pada pasien kepada dokter setelah menerima penjelasan.5 Menurut Komalawati yang dimaksud dengan Informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis yang dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.6 Menurut Guwandi Consent (persetujuan) merupakan dasar yuridis untuk pembenaran dilakukannya tindakan medik atau operasi, Untuk melakukan tindakan pembedahan, dokter akan melalui pasien dengan pasien, sehingga bila persetujuan (consent) tidak ada, dokter dapat dianggap melakukan penganiayaan, karena tindakan medis yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur pasal 351 KUHP.7 B.) Tujuan dari Pelaksanaan Informed Consent Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan : 1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Ibid. hlm 129 8 penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya. 2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian atau karena ketidaktahuan yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.8 Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut : 1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia 2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri 3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien 4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter 5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional 6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan 7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.9 8 http://mengertimedis.wordpress.com/2010/06/30/kedudukan-hukum-informed-consent-dalam-halpembuktian dipengadilan. diakses tnggal 19 desember 2012, hlm 4 9 Ibid, hlm 5 9 Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut : 1. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi 2. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dipahami efek sampingnya 3. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser. 4. Dalam kasus-kasus penolakan oleh klien 5. Dalam kasus-kasus dimana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.10 2.3 Aspek-Aspek Hukum dari Informed Consent Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.11 Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi 10 Ibid. 11 Ibid. 10 dokter, juga tetap tidak melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi sepanjang hal itu diterapkan.12 Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.13 Aspek Hukum Administrasi, izin praktek yang dikeluarkan pihak Depkes harus dimiliki oleh setiap dokter yang berpraktek. Sehingga apapun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat dilaksanakan dan sah menurut hukum. Seperti halnya informed consent yang dikeluarkan oleh dokter merupakan salah satu bentuk tindakan yang dilakukan oleh dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis.14 Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid. 11 sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.15 2.4 Informed Consent Dalam Peraturan Perundang-undangan diindonesia Ada 3 peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent diindonesia yang dapat kita jadikan bahan rujukan untuk landasan hukum bagi praktik pelayanan medis yaitu: 1. Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6). 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/ Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggeraan Praktik Kedokteran. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.16 Peraturan Dan Dasar Hukum Adanya pengaturan mengenai Informed Consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi: 15 16 Ibid. Op. cit, hlm 136. 12 Pasal 45 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Pasal 45 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Pasal 45 ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasal 45 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Pasal 45 ayat (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Pasal 45 ayat (6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut terutama pada Pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa 13 pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989. Persetujuann tindakan medis dalam Permenkes Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 belum menjelaskan aturan yang rinci tentang Persetujuan Tindakan Medis. Secara tersirat, persetujuan disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: “Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan pengobatan penyakit dan pemulihan.” Sedangkan tentang Persetujuan Tindakan Medik atau informed consent disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 17 sebagai berikut: (1) Dokter atau Dokter Gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelesan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat persetujuan pasien.(3) Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundangundangan.17 2.5 Bentuk Informed Consent 1. Informed Consent lisan Tambahan pemeriksaan atau pengobatan perlu mendapatkan persetujuan baru seperti : a. apakah bersedia untuk mendapatkan suntikan? 17 Ibid, hlm 140 14 b. apakah bersedia untuk dilakukan pemeriksaan USG/HSG atas dirinya? Permintaan informed consent ini diperlukan oleh karena: a. Terdapat kemungkinan komplikasi. b. Terdapat tambahan biaya pemeriksaan pengobatan18 2. Informed Consent tertulis. Informed consent tertulis yang lazim disebut informed consent karena besarnya tindakan pengobatan, tidak dapat lepas dari: a. Komplikasi yang mungkin terjadi. b. Kemungkinan kematian c. Biaya yang besar.19 Untuk mendapatkan informed consent yang sesuai dengan hak penderita dan mengambil sikap, diperlukan informasi mengenai penyakit, yaitu tentang : a. Jenis penyakit (diagnosa) b. Tindakan baku menurut standar tertinggi. c. Kemungkinan terjadi komplikasi sampai kematian. d. Kemungkinan akibat yang dapat terjadi setelah tindakan medis dilakukan. e. Lama perawatan inap. f. Biaya yang diperlukan.20 18 Ida Bagus Gde Manuaba, 1999, Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Hlm 22 19 Ibid. 15 Dalam memberikan keterangan penyakit diperlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh penderita, berdasarkan hasil informasi tersebut penderita dapat mengambil dua sikap; 1. Menolak tindakan medis yang akan dilakukan. 2. Menyetujui memberikan ijin serta melimpahkan wewenang untuk mengambil tindakan medis.21 3. Informed Consent. dalam keadaan gawat darurat. Penderita yang dalam keadaan gawat darurat, dimana keluarganya tidak ikut serta mendampingi, karena setiap penundaan tindakan medis dapat berakibat fatal. Oleh sebab itu dokter dapat mengambil tindakan penyelamatan dari ancaman bahaya yang lebih besar. Tindakan pertolongan darurat yang dilakukan dokter sangat didukung dan dibenarkan sehingga informed consent atau yang dalam keadaan darurat diberi nama presumed consent atau constructive consent.22 Dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan syok, tidak sadar sampai koma, patah tulang, atau keadaan kesakitan yang tidak tertahankan dalam situasi demikian, keputusan dokter untuk segera mengambil tindakan medis dapat dibenarkan, sehingga jiwa penderita dapat diselamatkan.23 20 Ibid. 21 Ibid. hlm 23 22 Ibid. 23 Ibid. 16 2.6 Hak dan Kewajiban A. Dokter Dokter memiliki profesi yang berhadapan lansung dengan begitu banyak sakit penyakit manusia, profesi krdokteran tanggung jawab dan tuntutan masyarakat terhadapnya adalah sebagai penolong dan pihak yang selalu lebih mengutamakan kewajiban diatas hak-hak atau pun kepentingan pribadinya..24 Kode Etik Kedokteran Indonesia mengatur kewajiban dokter, yaitu 1. Kewajiban Umum. 2. Kewajiban dokter terhadap pasien. 3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat. 4. Kewajiban dokter diri sendiri.25 Menyinggung hak-hak dokter sesungguhnya merupakan sesuatu yang tidak lazim mengingat umumnya masyarakat lebih suka menyoroti segi kewajiban-kewajiban saja. Namun, secara prinsip dalam hal apa pun kewajibaan tidak pernah berdiri sendiri tanpa diikuti oleh hak-hak. Dokter dikenal sebagai seorang professional yang harus selalu bersedia melayani masyarakat setiap saat. Dipihak lain, dokter adalah manusia biasa yang mempunyai tanggung jawab terhadap pribadi dan keluarga, selain itu dalam menjalankan tugas-tugasnya, juga harus ditegaskan hak-haknya sehingga dokter dapat menjaga martabat profesi kedokteran. Beberapa hak dokter dalam melakukan profesinya.26 24 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo,Jakarta, 2001, hlm 37 25 Ibid. Hlm 38 26 Ibid. 17 1. Hak untuk menolak bekerja diluar standar profesi medik. Seorang dokter dapat saja menolak untuk melakukan tindakan medik tertentu walaupun pihak pasien mendesaknya. Penolakan ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa pasien ini meminta tindakan medik yang menurut prosedur yang dikenal dan dilakukan dalam profesi medik. Bila tindakan itu dilakukan juga, akibat-akibat yang timbul tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medik. Hal ini diperlu ditegakkan agar setiap dokter memperoleh kepastian bahwa tindakan-tindakannya perlu dipercayai sebagai suatu tindakan medik professional.27 2. Hak untuk menolak tindakan yang tidak sesuai dengan kode atik profesi dokter. Hak ini dimiliki dokter agar setiap dokter diberi kesempatan untuk menjaga martabat profesinya.28 3. Hak untuk memilih pasien dan mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali dalam keadaan gawat darurat. Hak ini dimiliki dokter untuk memiliki hak pribadinya, berdasarkan pertimbangan dokter itu sendiri. Misalnya, hubungan itu timbul hal-hal yang kurang baik yang akan menganggu integritas profesi kedokteran. Akan tetapi, hak ini hanya terbatas pada keadaan yang bukan termasuk keadaan gawat darurat. Pasien masih berkesempatan untuk mencari dokter lain tanpa resiko pada keselamatannya.29 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid. 18 4. Hak atas privacy dokter. Dalam hubungan dokter dengan pasien dapat saja pasien ingin mengetahui kehidupan pribadi dokter. Dalam hal ini dokter pun mempunyai hak atas privacy tentang kehidupan pribadinya sehingga pasien pun harus menghormati hak dokter atas privacy.30 5. Hak untuk menerima balasan jasa atau honorarium yang pantas. Hak ini telah diakui dan diterima sejak dulu. Permasalahan dapat timbul apabila besarnya imbalan itu tidak dapat ditetapkan dengan pasti. Untuk it, kode etik kedokteran akan memberikan patokan-patokan tertentu. Yang jelas adalah besar atau kecilnya imbalan itu tidak boleh mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Mutu tersebut akan diberikan setinggi-tingginya tanpa terpengaruh hanya oleh adanya suatu imbalan.31 Hubungan dokter dengan pasien pada dasarnya karena saling percaya kedua belah pihak telah hilang sehingga masing-masing, terutama pasien, menuntut haknya dapat dipenuhi. Pasien mengutamakan hak-haknya, sedangkan dokter harus menjalankan kewajibannya. Jika pasien tidak menyadari bahwa ia juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi, maka timbul kesalahpahaman dan rasa tidak puas pun rasa dirugikan. Oleh karena itu, masing-masing hendaknya berusaha mengembalikan hubungan itu pada keadaan yang semula yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya.32 30 Ibid 31 Ibid. 32 Ibid, hlm 39 19 Selain itu, pihak dokter pun harus benar-benar menyadari dan memahami hak dan kewajibannya serta hak dan kewajiban pasien. Hal itu penting sebab sekarang ini banyak dokter yang memiliki begitu banyak pasien sehingga komunikasi dokter-pasien yang baik tidak terjadi.33 Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Perlindungan Pasien Pasal 56. 1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. 2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat. 3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 33 Ibid. 20 1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. 2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. 3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. 4. Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien. 5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan. 6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami 21 kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Persetujuan Pasal 2 1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. 3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Pasal 5 Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. 1. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. 2. Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan. Penolakan Tindakan Kedokteran Pasal 16 1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan. 2. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis. 22 3. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien. 4. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien. Tanggung Jawab Pasal 17. 1. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran. 2. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat beberapa Pasal yang berkaitan dengan informed consent, khususnya Pasal 351 tentang Penganiyaan, Pada suatu pembedahan atau tindakan medis, dokter melakukan sayatan atau tusukan, jika pasien memberikan izin pada dokter untuk melakukan tindakan medis, tindakan tersebut nyata atau konkret dan sesuai yang diakui dalam dunia kedokteran maka dokter itu tidak dapat dituntut untuk perbuatan penganiayaan terhadap pasien. Tetapi perbuatan yang dilakukan seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dinyakan sebagai peristiwa pidana. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana.34 1. Harus ada suatu perbuatan, maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. 34 Eka Julianta Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik. Bandung, 2012, Hlm 120. 23 Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.35 2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelaku benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat. 36 3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.37 4. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyatanyata bertentangan dengan aturan hukum.38 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid, Hlm 120 38 Ibid. 24 5. Harus tersedia ancaman hukumannya, maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumnya. Ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau didalam suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.39 B. Pasien Hak pasien merupakan hak asasi dan bersumber dari hak individual, hak untuk menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya dengan hak pribadi, yaitu hak atas keamanan pribadi yang berkaitan erat dengan hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak atas kebebasan pribadi.40 Pasien selalu ikut apa yang akan dikatakan oleh dokter tanpa bertanya apapun, sekarang dokter adalah patner pasien dan keduanya memiliki kedudukan yang sama sacara hukum, sering kali pasien menurunkan derajat dirinya sebagai objek bagi suatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang kuat tanpa menyadarai apa motif dan konsekuensi dari keputusan itu, pasien seharusnya mendapat informasi yang cukup untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan.41 39 Ibid 40 Ari yunanto dan helmi, Hukum pidana malpraktik medic, Yogyakarta, 2010, hlm 18 41 Ibid, hlm 19 25 Pasien satu-satunya orang yang dapat memberikan keputusan akhir sehingga pasien perlu dan berhak atas informasi untuk mengambil keputusan dengan tepat, pada Pasal 52 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan pasien mempunyai hak:42 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat 3. 2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medic. 4. Menolak tindakan medic. 5. Mendapatkan isi rekam medik.43 Kewajiban pasien, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 53 menyebutkan: 1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. 2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi. 3. Mematuhi ketentuan yang berlaku disaran pelayanan kesehatan, dan 4. Member imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.44 2.7 Implikasi Keberadaan informed Consent. Hal yang timbul berkaitan dengan keberdaan informed consent dalam khasanah hukum kedokteran, misalnya: 42 Ibid, hlm 20 43 Ibid, hlm 21 44 Ibid, hlm 22 26 1. apakah dengan informed consent itu dokter kemudian dapat bertindak sehendak hatinya? 2. Apakah informed consent itu juga berarti bahwa pasien menyetujui tindakan-tindakan dokter yang bertentangan dengan standar profesi medik? 3. Apakah dengan keberadaan informed consent, segala akibat (terutama yang negatif) yang timbul kemudian tetap menjadi tanggung jawab dokter seluruhnya, meskipun dokter telah memenuhi standar profesi medik?45 Uraian implikasi keberadaan informed Consent. , sebenarnya telah jelas bahwa dari suatu persetujuan tindak medik yang akan dilakukan terhadap pasien, tetap tidak memberikan hak kepada dokter untuk bertindak yang bertentangan dengan standar profesi medik. Meskipun mungkin tidak dinyatakan secara eksplisit, namun secara tersirat pasien memberikan izin kepada dokter dengan syarat tindakan tersebut haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah medik.46 Apabila informed cosent telah terpenuhi lalu dokter bertindak menyimpan atau bertentangan dengan standar profesi medik dan timbul akibat yang merugikan pasien, maka dokter itu harus mempertanggung jawabkan perbuatan atau tindakannya itu didepan hukum, tetapi timbul juga akibat negative yang tidak sesuai dengan harapan, maka dokter tersebut tidak dapat dipidana ataupun membayar kerugian apa pun. Harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan tujuan tindak medic tidak tercapai ataupun resiko-resiko yang tidak dapat diperkirakan atau hal-hal lain yang secara hukum tidak dapat dilimpahkan tanggung jawabnya 45 46 Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika dan hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman. Hlm 46 Ibid.hlm 47 27 kepada dokter yang melakukan tindak medic tersebut. Semua itu dengan satu syarat yang tidak dapat ditawar sedikit pun, yaitu pemenuhan standar profesi dan informed consent.47 Dalam keadaan darurat sekalipun, ketika informed consent tidak lagi diperlukan, tetap disyaratkan untuk memenuhi standar profesi medic agar sifat bertentangan dengan hukum dari suatu tindak medic (khusus operasi) menjadi hilang. Bila dokter menyimpan dari standar profesi medik pada keadaam gawat darurat.48 47 Ibid. 48 Ibid. 28