PERCEPATAN PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN RAWA BERKELANJUTAN DAN LESTARI Soehardi Kusumowarno Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10 Cimanggu, Bogor, 16114 E-mail : [email protected] ABSTRAK Lahan rawa di Indonesia yang sangat potensial untuk diusahakan menjadi lahan pertanian sekitar 9,5 juta ha yang tersebar di tiga pulau yaitu Sumatera (3,9 juta ha), Papua (2,8 juta ha) dan Kalimantan (2,7 juta ha). Untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras diperlukan tambahan areal sawah tidak kurang 20.000 ha setiap tahunnya. Kebutuhan beras tersebut akan sulit dipenuhi apabila hanya mengandalkan produksi padi sawah beririgasi dan tadah hujan. Selain arealnya semakin berkurang akibat alih fungsi lahan, produktivitas padi di kedua agroekosistem tersebut juga semakin sulit untuk ditingkatkan. Setiap tahun tidak kurang dari 30.000 sampai 50.000 ha sawah telah beralih fungsi ke non pertanian. Kontribusi produksi pangan nasional khususnya beras masih didominasi oleh produsen di pulau Jawa yang menyumbang sekitar 60 persen terhadap total produksi nasional. Skala usahatani di Pulau Jawa yang relatif sempit, mengakibatkan sulitnya meningkatkan efisiensi usahatani. Alih fungsi lahan yang diikuti penurunan kualitas lahan akan mengakibatkan menurunnya produktivitas. Hal tersebut antara lain dipicu oleh faktor ekonomi dan kebutuhan tempat tinggal. Untuk menghadapi kondisi tersebut maka salah satu alternatif yang perlu mendapatkan prioritas adalah pemanfaatan lahan rawa, dimana secara tradisional lahan ini telah dimanfaatkan sejak dahulu di luar Jawa. Lahan rawa dapat dijadikan sumber pertumbuhan pertanian yang produktif dimasa mendatang dengan melakukan pengelolaan secara tepat. Kata Kunci : Lahan Rawa, Peningkatan Produksi Padi, Berkelanjutan. Pendahuluan Kementerian Pertanian telah menetapkan Visi Pembangunan Pertanian selama lima tahun ke depan (2010 – 2014) yaitu “Terwujudnya Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan yang berbasis Sumberdaya Lokal untuk Meningkatkan Kemandirian Pangan, Nilai Tambah, Daya Saing, Ekspor dan Kesejahteraan Petani“. Guna mempertegas pencapaian Visi Pembangunan Pertanian tersebut, telah dicanangkan 4 (empat) target utama pembangunan pertanian tahun 2010 -2014, yaitu ; Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 37 1. 2. 3. 4. Pencapaian Swasembada dan Swasembada berkelanjutan. Peningkatan Diversifikasi Pangan. Peningkatan Nilai tambah, Daya saing dan Ekspor Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk lima komoditas yaitu: beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi. Untuk itu, produksi harus dipertahankan minimal sama dengan peningkatan permintaan dalam negeri. Dengan memperhitungkan proyeksi laju pertumbuhan penduduk nasional, permintaan bahan baku industri dalam negeri, kebutuhan stok nasional dan peluang ekspor, maka pada tahun 2014 diharapkan produksi padi mencapai 75,70 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat rata-rata 3,22 % per tahun. Untuk mewujudkan pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan tersebut masih banyak persoalan mendasar yang harus diselesaikan dan memerlukan penanganan yang cermat dan tepat. Seperti meningkatnya fenomena variabel dan perubahan iklim global, terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sektor pertanian, meningkatnya alih fungsi lahan, serta meningkatnya tekanan jumlah penduduk. Fenomena variable dan perubahan iklim global pada sektor pertanian berpengaruh secara runtut terhadap ekosistem, sistem sumberdaya, terutama lahan dan air, dan sistem produksi pertanian serta terhadap sistem sosial ekonomi petani. Selain itu perubahan iklim global juga menyebabkan terjadinya perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang dapat menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan. Bagi pertanian dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosif hama dan penyakit tanaman dan hewan, yang pada akhirnya adalah penurunan produksi pertanian. Dalam mengantisipasi perubahan iklim global tersebut langkah-langkah sistematis mulai dari antisipasi adaptis sampai dengan mitigasi agar target produksi yang ditetapkan Kementerian Pertanian dapat tercapai telah direkomendasikan dalam wilayah persawahan setempat. Kondisi Produksi Padi Di Kalimantan Selatan Tipologi lahan dan tipe luapan lahan rawa pasang surut serta sifatnya setelah direklamasi merupakan faktor penyebab perbedaan produktifitas padi dan sekaligus mengindikasikan perlunya penanganan dan pengelolaan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa diperlukan pendekatan yang khusus menyangkut perbaikan agrofisik lahan dan sosial ekonomi (Ismail et al. 1993: Noor 2004). Berdasarkan jenis tanah dan kendala pengembangan, rawa pasang surut dibedakan atas empat tipologi lahan yaitu lahan gambut,sulfat masam, salin dan potensial. Berdasarkan tinggi rendahnya luapan pasang air laut/sungai secara garis besar lahan rawa pasang surut dapat dibedakan dalam empat tipe luapan, yaitu tipe A, B, C dan D. Penataan lahan dengan tipe luapan A dan B umumnya disawahkan, sedang tipe luapan C umumnya ditata dengan sistem surjan. Hal ini berhubungan dengan kedalaman pirit pada tipe A dan B yang dimungkinkan dangkal, sedangkan tipe luapan C jauh pada jeluk lebih dari 100 cm dari permukaan tanah, sehingga aman dengan pembuatan sistem surjan. Introduksi pembuatan Soehardi Kusumowarno : Percepatan Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Padi | 38 surjan di lahan rawa merupakan upaya untuk mengurangi resiko kegagalan usahatani dengan adanya usahatani hortikultura seperti yang dilakukan oleh petani di kabupaten Barito Kuala (Batola). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas padi lahan rawa pasang surut masih rendah. Produktivitas tertinggi sebesar 4,2 - 6,3 ton GKG/ha dicapai pada lahan sulfat masam potensial tipe luapan A, disusul oleh lahan gambut tipis atau bergambut dan sulfat masam aktual tipe luapan B dengan produktivitas sebesar 2,6 – 4,6 ton GKG/ha. Produktivitas padi terendah terdapat pada lahan gambut tengahan tipe luapan antara B – C yaitu 1,8 – 2,5 ton GKG/ha dan lahan salin tipe luapan A yaitu 2,6-3,9 ton GKG/ha. Pada beberapa lahan rawa potensial hasil padi dapat mencapai 5,5 – 6,5 ton GKG/ha. Keanekaragaman lokal untuk varietas padi sangat menentukan keberhasilan bercocok tanam padi. Hingga saat ini masih banyak varietas padi lokal, seperti varietas Siam yang ditanam turun temurun sebagaimana yang dilakukan petani di Kabupaten Tanah Laut maupun di Kabupaten Barito Kuala. Produksi padi di Kalimantan Selatan selama enam tahun terakhir terus meningkat, seiring dengan peningkatan produktivitas. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Kalimanan Selatan, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 – 2013. 2008 Luas Panen (ha) 507.319 Produktivitas (kw/ha) 38.52 Produksi (ton) 1.954.284 Peningkatan produksi (%) - 2009 490.069 39.93 1.956.993 0,14 2010 471.166 39.10 1.842.089 -5,87 2011 489.134 41.67 2.038.309 10,65 2012 496.082 42.05 2.086.221 2,35 2013 479.721 42.34 2.031.029 -2,65 RERATA 488.915 40,60 1.984.821 4,76 Tahun Sumber : BPS, 2014 Selama enam tahun terakhir, peningkatan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang meningkat 10,65% dari tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut ditunjang oleh terjadinya peningkatan luas areal panen dan produktivitas padi. Produksi padi tersebut sebagian disumbangkan oleh petani-petani padi di lahan pasang surut. Ciri utama lahan rawa pasang surut yang menentukan keberhasilan usaha tani padi antara lain adalah kadar dan jeluk pirit, kematangan dan ketebalan gambut dan kadar garam. Permasalahan yang sering muncul akibat terjadinya perubahan salah satu atau beberapa hal berikut ; tersingkapnya lapisan pirit yang umumnya dangkal (jeluk<50 cm), gambut tebal dan mentah bersifat hidrofob dan ketiga adanya penyusupan air laut. 1. Kadar pirit (FeS2) di lahan rawa pasang surut jika bersifat stabil dalam kondisi anaerob,tetapi mudah teroksidasi dengan lapisan ion H+ dan asam sulfat sehingga Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 39 2. 3. menciptakan kemasaman tanah yang sangat tinggi. Berkenaan dengan sifat dan watak tanah, apabila di lapisan bawah terdapat senyawa pirit maka upaya untuk mempertahankan muka air pada batas diatas lapisan pirit merupakan kunci keberhasilan berusahatani tanaman padi. Pemasaman tanah ini diikuti dengan peningkatan kelarutan Al, Fe dan Mn yang berlebihan sehingga menimbulkan keracunan pada tanaman padi. Pirit juga dapat teroksidasi pada musim kemarau panjang yang mengakibatkan lapisan tanah pecah atau retak dan untuk menanggulangi keretakan ini dengan pemberian kapur pertanian (kaptan). Gambut tebal atau bergambut mempunyai potensi cukup baik untuk budidaya tanaman padi, dimana produktivitasnya ditentukan oleh tingkat kematangan dan ketebalan gambut.Lahan gambut dengan tingkat kematangan rendah atau masih mentah (fibrik) dan umumnya termasuk gambut tebal (tebal > 1 m) mempunyai tingkat produktivitas rendah. Gambut yang mengalami kekeringan akan bersifat hidrofob, daya serap atau daya simpan air menurun sampai 50% dan untuk mengembalikan untuk budidaya tanaman padi memerlukan perlakuan dengan pemberian pupuk kompos atau pupuk kandang dalam jumlah yang besar. Penyusupan air laut pada musim kemarau dapat sampai ke pedalaman mencapai jarak ratusan kilometer, untuk pertanaman padi lokal tidak berpengaruh oleh intrusi air laut. Pemanfaatan air laut sebagai penukar ionik pada tanah sulfat masam dapat memperbaiki sifat kimia tanah karena pada tanah dengan pH yang tinggi Al akan mengendap sebagai hidroksi atau garam sulfat, sementara asam terlarut terbebaskan akan tercuci keluar. Keberagaman tipologi lahan dan tipe luapan pada lahan rawa pasang surut serta sifatnya setelah direklamasi merupakan faktor penyebab perbedaan produktivitas padi dan sekaligus mengidentifikasikan perlunya penanganan dan pengelolaan yang berbeda.Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian dilahan rawa diperlukan pendekatan yang holistik menyangkut aspek perbaikan agrofisik lahan (tanah, air dan tanaman) dan kemampuan sosial-ekonomi (modal, kelembagaan, pendidikan, adat dan budaya). Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian terutama untuk tanaman pangan menunjukkan keberhasilan di beberapa tempat, bahkan menjadi sentra produksi padi dengan produktivitas yang tinggi dan stabil. Masalah lahan rawa pasang surut di masing-masing tempat dan wilayah mempunyai perbedaan dan bersifat spesifik lokasi, sehingga tidak selalu tepat penyelesaian suatu lokasi diterapkan di tempat yang lain. Sebagai bahan perbandingan dalam peningkatan produksi padi, sekaligus peningkatan pendapatan petani lahan rawa pasang surut di Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Barito Kuala ( Batola), keragaan produksi di kedua kabupaten ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Soehardi Kusumowarno : Percepatan Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Padi | 40 Tabel 2. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan tahun 2008 – 2012. 2008 Luas Panen (ha) 46.726 Produktivitas (kw/ha) 42,20 Produksi (ton) 197.184 Peningkatan produksi ( %) - 2009 41.141 38,66 159.035 -19,35 2010 45.500 38.83 176.687 11,10 2011 43.838 40.07 175.669 -0,57 2012 44.368 40.45 179.485 2,17 RERATA 44.315 38.04 168.574 -6,65 Tahun Sumber : Dinas Pertanian TPH Kalimantan Selatan, 2013 Kondisi pertanian terutama tanaman padi sawah di Kabupaten Barito Kuala sangat berbeda dengan di Kabupaten Tanah Laut, dimana pada umumnya petani rata-rata pembuatan sistem surjan pada lahannya. Dengan sistem surjan pada lahan bawah ditanami dengan padi sawah, sedangkan lahan atasnya ditanami dengan tanaman hortikultura yaitu jeruk, hal ini akan menambah pendapatan usahatani serta meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Tabel 2 menunjukkan produktivitas padi di Kabupaten Tanah Laut yang meningkat selama lima tahun (2008 – 2012), dengan peningkatan produksi tertinggi diperoleh tahun 2010 yang meningkat 11,10 % dari tahun sebelumnya. Sedangkan di Kabupaten Barito Kuala, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3, produktivitas usahatani padi masih lebih rendah dibandingkan Kabupaten Tanah Laut. Peningkatan produksi padi tertinggi diperoleh pada tahun 2007 yaitu meningkat sebesar 12,92 % dari tahun sebelumnya. Tabel 3. Luas panen, produktivitas dan produksi padi Kalimantan Selatan tahun 2006 – 2011. di Kabupaten Barito Kuala, 2006 Luas Panen (ha) 88.433 Produktivitas (kw/ha) 31,68 Produksi (ton) 280,121 Peningkatan produksi (%) - 2007 90.963 34,77 316.312 12,92 2008 92.932 33,66 312.805 -1,12 2009 91.197 34,83 317.605 1,54 2010 95.104 34,60 329.089 3,62 2011 92.152 37,21 342.869 4,19 RERATA 91.797 34,45 316.467 21,15 Tahun Sumber : Dinas Pertanian TPH Kalimantan Selatan, 2013 Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 41 Kesimpulan 1. 2. 3. 4. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan rawa pasang surut mempunyai keberagaman agrofisik, sehingga produktivitas tanaman pangan terutama padi juga beragam antar lokasi dan wilayah. Masalah lahan rawa pasang surut di masing-masing lokasi dan wilayah mempunyai perbedaan dan bersifat spesifik lokasi sehingga keberhasilan pada suatu tempat tidak selalu tepat diterapkan di tempat yang lainya. Permasalahan budidaya tanaman padi sering muncul pada lahan rawa pasang surut akibat terjadinya perubahan salah satu atau beberapa sifat lahan rawa pasang surut antara lain ; (a) tersingkapnya lapisan pirit yang umumnya dangkal (jeluk < 50 cm ) (b) gambut tebal, mentah dan bersifat hidrofob, dan (c) penyusupan air laut. Pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut di Kabupaten Tanah Laut sejumlah Rp. 17.458.500,- untuk setiap hektarnya, sedangkan di Kabupaten Barito Kuala petani mendapatkan Rp. 19.807.000,- dari hasil tanaman padi ditambah hasil panen tanaman jeruk. Daftar Pustaka Achmad M.Fagi. 2006. Tataguna Air Irigasi di Tingkat Usahatani : Kasus di Barubug Jatiluhur. Adiningsih, S. 2004. Dinamika hara dalam tanah dan mekanisme serapan hara dalam kaitannya dengan sifat-sifat tanah dan aplikasinya pupuk. LPI dan APPI, Jakarta. Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa dalam rangka peningkatan produksi padi. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Anwar, K, M.Sarwani, dan R.Itjin,1994. Pengembangan pengelolaan air di lahan pasang surut : Pengalaman dari Kalimantan Selatan. Dalam : M. Sarwani et al (Eds). Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut : Pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balittan Banjarbaru. Dillon, J .I and J.B. Hardaker. 1980. Farm Management Research for Small Farm Development, FAO of the United Nation, Rome. Dobermann, A and T. Fairhurst, 2000. Nutrient disorders IRRI and Potast & PPI/PPIC.Manila, Philipina. and nutrient management, Debertin,D.L,1986. Agricultural Production Economics. Second Edition, Mc.Graw Hill Inc. New York. Ekstensia, 2011. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan dalam rangka menghadapi Perubahan Iklim Global. Edisi 3. Ismail, G.I.,T. Alihamsyah, IPG Widjaja-Adhi,Suwarno,T.Herawati,R.Thahir dan D.E Sianturi,1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa 1985-1993, Proyek SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian. Bogor/Jakarta. 128 p. Soehardi Kusumowarno : Percepatan Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Padi | 42 Noor, M. 2004. Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan Tanah bermasalah Sulfat Masam. Raja Grafindo, Jakarta, 241 p. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2006. Iptek Membahas isu pembangunan pertanian tanaman pangan. Tanaman Pangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2008. Inovasi Teknolog Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2010. Inovasi Teknologi berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 43