Volume 17, Nomor 1, Hal. 11-17 ISSN:0852

advertisement
Volume 17, Nomor 1, Hal. 11-17
Januari – Juni 2015
ISSN:0852-8349
SISTEM PENGOLAHAN GREY WATER DI DAERAH RAWA PASANG SURUT
STUDI KASUS DI KABUPATEN BANYUASIN, SUMATERA SELATAN
Anggrika Riyanti, Ari Siswanto, M. Ridhah Taqwa
Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Lingkungan Pascasarjana Universitas Sriwijaya
Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Sriwijaya
Program Studi Sosiologi Lingkungan Universitas Sriwijaya
Jalan Padang Selasa 524 Bukit Besar Palembang 30139
*) Telp : 085228022044
Email: [email protected]
ABSTRAK
Rendahnya pengolahan air limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi dan cuci pakaian
atau yang dikenal dengan grey water di wilayah rawa pasang surut berdampak pada
peningkatan pencemaran lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sistem
pengolahan air limbah yang berkelanjutan untuk diaplikasikan di daerah rawa. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada Desa Mulya Sari dan
Banyu Urip, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara, dokumentasi dan pengambilan sampel air saluran Sekunder Pedesaan
(SPD) dengan metode grab sampling. Analisis dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resiko pencemaran sungai akibat kurangnya peran
masyarakat dalam mengelola grey water dan minimnya fasilitas sanitasi yang disediakan
pemerintah. Sistem pengolahan grey water yang tepat untuk diterapkan adalah Lahan Basah
Buatan (Constructed Wetlands).
Kata kunci : Grey water, Rawa pasang surut.
PENDAHULUAN
Reklamasi daerah rawa pasang surut di
Sumatera Selatan dimulai tahun 1969 oleh
pemerintah melalui program transmigrasi.
Lahan yang telah direklamasi seluas
±373.000 hektar diperuntukkan sebagai
kawasan pertanian dan permukiman
(Ngudiantoro, 2010). Kondisi tanah di
lahan pasang surut pada umumnya jenuh
air dengan pH tanah berkisar antara 4–5.
Tingkat ketergenangan (hidrotopografi) di
lahan rawa pasang surut mempengaruhi
kondisi sanitasi masyarakat yang tinggal di
daerah ini.
Grey water merupakan air limbah
domestik yang berasal dari dapur, kamar
mandi dan cuci pakaian. Indikator sanitasi
untuk
menggambarkan
keadaan
lingkungan
adalah
akses
terhadap
pengolahan air limbah yang layak.
Pengolahan
limbah
off-site
cocok
diterapkan pada pemukiman padat
penduduk seperti perkotaan. Sementara,
pengolahan limbah on-site lebih cocok
diterapkan di daerah pedesaan yang masih
memiliki ketersediaan lahan. Pemilihan
sistem pengolahan air limbah harus
memperhatikan aspek ketersediaan lahan,
ketersediaan air, dan perlindungan air
permukaan dan air tanah (Katukiza et al.,
2012). Berdasarkan data Puskesmas
Kecamatan Tanjung Lago tahun 2012,
11
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
sebanyak 1555 orang mengalami penyakit
diare dan 24 orang terserang malaria
(Bappeda
dan
Penanaman
Modal
Kabupaten Banyuasin, 2013).
Desa Mulya Sari dan Desa Banyu Urip
merupakan desa yang berkembang cukup
pesat dibandingkan dengan desa lain di
Kecamatan Tanjung Lago. Namun,
pembuangan limbah grey water masih
dilakukan secara terbuka tanpa pengolahan
sehingga menyebabkan penurunan kualitas
air
permukaan.
Perairan
akan
terkontaminasi bahan organik, nutrien,
bakteri patogen, mikro-polutan dan
deterjen/surfaktan
(Chinyama,
et.al.,
2012). Penyediaan fasilitas pengolahan
grey water yang layak oleh pemerintah
belum menjangkau daerah ini sehingga
tingkat kejadian penyakit yang ditularkan
melalui air (waterborne disease) masih
cukup tinggi (Ekawati, 2013). Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan untuk
menentukan pengolahan grey water yang
dapat diaplikasikan di daerah rawa.
METODE PENELITIAN
Metode
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan studi kasus (case study)
dengan bantuan data kuantitatif untuk
mempertajam dan lebih memberi makna
pada analisis kualitatif itu sendiri.
Pengumpulan data dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan
data kualitatif dilakukan dengan cara
observasi, wawancara dan dokumentasi.
Observasi
dilakukan
pada
kondisi
lingkungan pemukiman, kondisi perairan
saluran Sekunder Pemberi Desa (SPD) dan
ketinggian muka air saat pasang dan surut,
ketersediaan air bersih dan kondisi
pengelolaan air limbah oleh masyarakat.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui
respon dan penerimaan masyarakat
terhadap sistem grey water yang diusulkan.
Pengambilan sampel air di saluran
Sekunder Pedesaan (SPD) dilakukan
dengan metode grab sampling, dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh
12
pembuangan grey water terhadap kualitas
air di saluran Sekunder Pedesaan (SPD)
yang digunakan untuk kegiatan mandi dan
mencuci. Pengambilan sampel kualitas air
dilakukan di 4 titik SPD yaitu 2 titik di
Desa Mulya Sari dan 2 titik di Desa Banyu
Urip (berdasarkan SNI 6989.59: 2008
tentang Metode Pengambilan Contoh Air
Limbah). Sampling dilakukan dua kali
yaitu saat air pasang dan surut untuk
melihat perbedaan konsentrasi pencemar.
Parameter yang diambil adalah Suhu,
Salinitas, pH, DO, TSS, TDS, BOD5,
COD, Amonia, Fosfat, Minyak dan Lemak.
Data dianalisis secara deskriptif.
Analisis data kualitas air dilakukan dengan
metode storet, yaitu membandingkan hasil
pengukuran kualitas air dengan baku mutu
yaitu Peraturan Gubernur Sumatera Selatan
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu
Air Bersih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kondisi sanitasi di Desa Mulya Sari dan
Banyu Urip masih rendah. Ketersediaan air
bersih yang sulit memaksa masyarakat
untuk menggunakan air kolam dan air
sungai (Saluran Sekunder Pedesaan/ SPD)
untuk kebutuhan mencuci dan mandi
(Tabel 1). Sementara air minum dan masak
menggunakan air galon dan air hujan.
Air limbah dari kamar mandi, cuci
pakaian dan peralatan dapur (grey water)
dialirkan dengan saluran terbuka yang
terbuat dari tanah. Air limbah langsung
dialirkan ke saluran Sekunder Pemberi
Desa (SPD) dan tanah pekarangan rumah.
Hasil
analisis
berdasarkan
syarat
Kementerian Kesehatan menunjukkan
bahwa pembuangan limbah belum
memenuhi syarat kesehatan karena
berpotensi mencemari tanah dan sungai
karena mengandung deterjen dan sabun.
Hasil pengujian kualitas air Sekunder
Pemberi Desa (SPD) menunjukkan bahwa
dalam keadaan pasang maupun surut, air
SPD dalam kondisi asam dengan pH 3,51 –
5,4 sehingga tidak layak dijadikan air
Anggrika Riyanti., dkk: Sistem Pengolahan Grey Water di Daerah Rawa Pasang Surut (Studi Kasus di
Kabupaten Banyuasin , Sumatera Selatan)
bersih. Parameter yang tidak memenuhi
baku mutu pada saat pasang adalah DO.
Sedangkan parameter yang melebihi
bakumutu pada saat surut adalah BOD5,
COD, dan Fosfat. Tingginya COD dan
BOD5 di dalam air menandakan tingginya
bahan organik yang berasal dari aktivitas
pembuangan air grey water secara
langsung ke SPD. Tingginya kadar fosfat
dalam air SPD berasal dari grey water
yang mengandung deterjen dan sabun
(Kulabako, et. al., 2009; Li, et.al., 2009).
Lokasi studi yang merupakan daerah
pertanian menyebabkan limpasan air
Tabel 1. Persentase sumber air yang digunakan masyarakat Desa Mulya Sari dan Banyu Urip
untuk mandi dan mencuci Tahun 2013
Sumber Air
Penggunaan
Kolam Air
Mencuci, Mandi
Mencuci, Mandi
Air Sungai (SPD dan
Saluran Primer)
Jumlah
mengandung pupuk sehingga memberikan
kontribusi terhadap tingginya kadar fosfor
pada air SPD.
Hasil pengukuran menunjukkan kadar
oksigen (DO) dalam air cukup baik pada
saat surut daripada pasang. Hal ini terjadi
karena pada saat surut air menjadi dangkal
dengan kedalaman 0,5 m dari dasar
saluran, dimana dasar saluran banyak
ditumbuhi tumbuhan air terutama algae. Ini
akan meningkatkan aktivitas fotosintesis
karena sinar matahari akan lebih cepat
mencapai dasar perairan pada saat air surut
sehingga meningkatkan kadar oksigen
dalam air.
Kondisi ini menunjukkan bahwa air
Sekunder Pemberi Desa (SPD) telah
terkontaminasi grey water dari pemukiman
penduduk. Untuk itu, diperlukan sistem
pengolahan grey water di daerah rawa dan
dapat
diterima
masyarakat,
untuk
meningkatkan kondisi sanitasi di Desa
Mulia Sari dan Banyu Urip.
A. Bak Peresapan
Bak peresapan merupakan pengolahan
grey water yang cukup efektif dalam
pencemaran tanah, air dan lingkungan
dapat diminimalkan. Namun, resiko
penggunaan
sistem
ini
adalah
penyumbatan. Untuk menjaga kinerja
Jumlah Persentase Keluarga
Ds. Mulya Sari Ds. Banyu Urip
27%
21%
73%
79%
100%
100%
menyisihkan BOD (80–90%), TSS (65–
85%), nitrogen (30–40%), Surfaktan 90%
dan fecal coliform mencapai 90% dalam
grey water (Morel dan Diener, 2006).
Media filtrasi yang digunakan untuk bak
peresapan yaitu pasir, ijuk, arang dan
kerikil yang berfungsi untuk menurunkan
kadar bahan organik dan padatan
tersuspensi dalam air limbah.
Arang
pada
bak
peresapan
menggunakan arang dari sisa pembakaran
tempurung kelapa, karena tempurung
kelapa bekas sangat banyak ditemukan di
Desa Mulya Sari dan Banyu Urip, bahkan
dibiarkan menumpuk di sekitar halaman
rumah dan mengganggu pemandangan.
Pemanfaatan tempurung kelapa bekas
sebagai arang berfungsi sebagai penyerap
polutan dan mereduksi sampah. Selain
arang tempurung kelapa, media filtrasi
dapat menggunakan arang aktif yang dijual
di pasaran. Air yang telah melalui bak
peresapan aman bagi tanah ataupun dapat
langsung dibuang ke saluran terbuka atau
sungai. Air effluen dari tangki septik juga
dapat dialirkan ke bak peresapan. Dengan
adanya
bak
peresapan
diharapkan
sistem ini perlu dilakukan pembersihan
media filter secara berkala.
Dinding bak dapat dibuat dari semen
dan bagian dasarnya tanah untuk
17
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
meresapkan air. Pada penelitian ini, bak
peresapan dirancang dengan ukuran
panjang 1 m, lebar 0,5 m dan kedalaman
0,5 m. Bak peresapan dibuat panjang dan
dangkal bertujuan mempermudah dan
memperluas penampang peresapan. Hal ini
menyesuaikan dengan kondisi tanah pada
lokasi penelitian dengan muka air tinggi (<
2 m), sehingga apabila bak peresapan
terlalu dalam maka proses peresapan akan
sulit terjadi. Biaya yang dibutuhkan untuk
membuat bak peresapan ini sekitar Rp
1.500.000.
Rancangan bak peresapan
ditampilkan pada Gambar 1.
B. Lahan Basah Buatan (Constructed
Wetlands)
Lahan Basah Buatan (Constructed
Wetlands)
adalah
sistem
yang
memanfaatkan media seperti lahan rawa
yang ditumbuhi vegetasi air untuk
menyaring bahan pencemar yang terdapat
dalam limbah (Poedjowibowo, 2011; Rani,
et. al., 2011). Sistem ini efektif dalam
menyisihkan BOD sebesar 65–90%, TSS
70-95%, nitrogen 15-40%, fosfor 30-45%,
surfaktan 46% dan fecal coliform
mencapai 99% (Morel dan Diener, 2006),
sehingga baik untuk mengolah grey water
maupun air effluen dari septic tank.
Gambar 1. Denah dan potongan Bak Peresapan (satuan dalam cm)
Alternatif pengolahan limbah grey
water lainnya adalah dengan sistem lahan
basah buatan aliran bawah permukaan
(Subsurface - Constructed Wetlands) atau
disingkat SSF-Wetlands berupa kolam dari
pasangan batu yang diisi dengan media
koral yang dicampur tanah sebagai media
tanam, kemudian ditanami tumbuhan air
sebagai penyaring pencemar dalam air
limbah. Tumbuhan air yang dapat
digunakan adalah tumbuhan lokal yang
banyak terdapat di sekitar perairan pada
14
lokasi studi yaitu Cyperus sp. atau dikenal
dengan teki dan Caladium atau keladi
(Gambar 2).
Konstruksi kolam dibuat dari pasangan
batu kedap air dengan kedalaman 1 m,
lebar 1 m dan panjang 2 m, yang diisi
dengan kerikil (diameter 8 mm – 10 mm)
dan dicampur tanah sebagai media tanam
setinggi 80 cm. Menurut Poedjowibowo
(2011) air limbah dalam kolam harus
dijaga 7 cm – 10 cm di bawah permukaan
koral untuk menghindari bau dan serangga.
Anggrika Riyanti., dkk: Sistem Pengolahan Grey Water di Daerah Rawa Pasang Surut (Studi Kasus di
Kabupaten Banyuasin , Sumatera Selatan)
Tumbuhan air ditanam dengan rapat.
Biaya konstruksi SSF-Wetlands berkisar
Rp 570.000 – Rp 600.000. Rancangan
Lahan Basah Buatan ditampilkan pada
Gambar 3.
Kelebihan dan kelemahan masingmasing sistem pengolahan grey water
terhadap kondisi wilayah di lokasi studi
ditampilkan pada Tabel 2.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Cyperus sp. dan (b) Caladium
Gambar 3. Denah dan Potongan Lahan Basah Buatan (satuan dalam cm)
17
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
Tabel 2. Kelebihan dan kelemahan sistem pengolahan grey water
Sistem
1. Bak
Peresapan
2. Lahan Basah
Buatan
-
-
Kelebihan
Mudah dibangun
Biaya murah
Operasi dan pemeliharaan mudah
Material mudah didapat, dapat
menggunakan material lokal (arang
tempurung kelapa)
Mudah direplikasi
Diterima masyarakat
Tidak memerlukan proses peresapan
Mudah dibangun
Operasi dan pemeliharaan mudah
Menggunakan material lokal
(cyperus sp. dan keladi)
Mudah direplikasi
Biaya lebih murah daripada bak
peresapan
Menambah estetika
Diterima masyarakat
Dengan demikian, sistem pengolahan
grey water di daerah rawa antara lain bak
peresapan dan Lahan Basah Buatan
(Constructed Wetlands). Namun, sistem
yang lebih tepat untuk diterapkan di daerah
rawa adalah Lahan Basah Buatan
(Constructed Wetlands) karena tidak
membutuhkan proses peresapan ke dalam
tanah. Sistem pengolahan grey water
dengan bak peresapan kurang maksimal
dikarenakan proses peresapan ke dalam
tanah tidak akan optimal pada lahan rawa
yang jenuh air.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengolahan grey water di Desa Mulya
Sari dan Banyu Urip memerlukan
teknologi
yang
sederhana,
ramah
lingkungan dan diterima masyarakat.
Sistem pengolahan grey water yang tepat
untuk diterapkan di Desa Mulya Sari dan
Banyu Urip yang merupakan daerah rawa
pasang surut adalah Lahan Basah Buatan
(Constructed Wetlands). Pemilihan sistem
sanitasi ini dapat diterima masyarakat
dengan cukup baik. Namun keterlibatan
masyarakat dan pendampingan pemerintah
sangat diperlukan untuk penerapan sistem
16
Kelemahan
- Peresapan kurang
maksimal pada tanah
muka air tinggi di daerah
rawa
- Pembersihan secara
berkala untuk mencegah
penyumbatan
- Pembangunan
membutuhkan tenaga
terampil
- Pembersihan secara
berkala untuk mencegah
penyumbatan pada pipa
inlet
ini dalam rangka meningkatkan sanitasi di
Desa Mulya Sari dan Banyu Urip
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda
dan
Penanaman
Modal
Kabupaten Banyuasin. 2013. Database
Informasi Pembangunan Kabupaten
Banyuasin 2012.
Chinyama,
A.,
2012.
Sustainable
Sanitatation Systems for Low Income
Urban Areas – A Case of The City of
Bulowayo, Zimbabwe. Physics and
Chemistry of the Earth, 50-52: 233238.
Ekawati, D., 2013. Epidemiology Study of
Water-Borne Diseases in Wetland
Ecosystem. Asian Academic Research
Journal of Multi-Disciplinary, 1(19):
41-57.
Katukiza, A.Y.,
2012. Sustainable
Sanitation Technology Options for
Urban Slums. Sci Biotechnology
Advances, 30: 964-978.
Kulabako, J. 2009. Greywater Use in PeriUrban Households in Kitgam, Uganda.
Sustainable Sanitation Practice, 1: 1-9.
Li, F., Wichmann, K., Otterpohl, R. 2009.
Review of Technological Approaches
Anggrika Riyanti., dkk: Sistem Pengolahan Grey Water di Daerah Rawa Pasang Surut (Studi Kasus di
Kabupaten Banyuasin , Sumatera Selatan)
for Grey Water Treatment and Reuses.
Sci Total Environ, 407(11): 3439–49.
Morel, A. dan Diener S. 2006. Greywater
Management in Low and MiddleIncome Countries, Review of different
treatment systems for households or
neighbourhoods.
Swiss
Federal
Institute of Aquatic Science and
Technology (Eawag). Dubendorf,
Switzerland.
Ngudiantoro, 2010. Pemodelan Fluktuasi
Muka Air Tanah Pada Lahan Rawa
Pasang Surut Tipe B/C: Kasus Di
Sumatera
Selatan.
Forum
Pascasarjana, 33 (2): 101-112.
Poedjowibowo, D. 2011. Infrastrutur
Limbah Terpadu Dalam Taman
Lingkungan
Permukiman. Jurnal
Lanskap Indonesia, 2 (3): 90-96.
17
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
18
Download