JENIS-JENIS LAHAN BERPOTENSI UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN RAWA Didi Ardi Suriadikarta dan Mas Teddy Sutriadi Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98. Bogor 16123 ABSTRAK Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta ha, sekitar 20−30% di antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini baru sekitar 3−4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Pembukaan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan yang matang dan hati-hati supaya tidak mengalami kegagalan, karena lahan rawa bersifat rapuh (fragile). Dalam menentukan jenis-jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah rawa pasang surut yang akan dikembangkan. Pada lahan rawa pasang surut biasa ditemukan tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha pertanian adalah gambut dangkal (50−100 cm), sedangkan gambut sedang (101−200 cm), gambut dalam (201−300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi. Tanaman pertanian yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan perkebunan seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa, ditemukan tanah mineral yang belum matang dan matang. Tanah mineral matang umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat saluran-saluran. Pada tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat masam potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah yang lapisan piritnya dalam (> 50−> 100 cm). Tanah demikian sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman palawija, sayuran, dan tanaman tahunan. Kata kunci: Lahan rawa, kesesuaian lahan, produktivitas lahan, pengembangan pertanian ABSTRACT Potential tidal land for agricultural development The area of tidal land in Indonesia is approximately 20.10 million ha, about 20−30% are suitable for agricultural development, and only about three million ha have been used for agriculture. Reclaiming tidal land requires a good planning and it should be done carefully since the land has fragile structures and easy to damage. Through identification and characterization on these areas, delineation of each land potential (land typology) is obtained. Tidal land is generally dominated by peat soil and mineral soil which contain sulfide materials. Thin and moderate peat soils are suitable for cultivated areas which can be planted for vegetables, fruits, rubber, coconut, and oil palm tree. The thick and very thick peat soils are more suitable for forestry and conservation area. Mineral soils consist of potential acid sulfate soil, actual acid sulfate soil, and potential soil. The potential soil and potential acid sulfate soil are suitable for agricultural farm and paddy field. In addition, food crops, vegetables, fruit plant and annual plant can grow in these lands. Actual acid sulfate soil is better to be used for rubber, oil palm, and forestry plant. Keywords: Tidal land, land suitability, land productivity, agricultural development P engembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi pertanian yang makin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan iptek yang benar, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis dan wilayah (Abdurachman dan Ananto 2000). Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Di samping memiliki prospek yang baik, pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian juga mempunyai berbagai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, pengembangan pertanian lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et al. 1992). Teknologi pengelolaan lahan dan tata air hasil dari berbagai penelitian masih perlu dikembangkan secara luas. Selain teknologi, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan pasang surut juga ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia dan rekayasa kelembagaan yang efektif dan efisien, terutama kelompok tani dan P3A, lembaga penyuluhan, serta lembaga penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Selanjutnya, koordinasi, keterpaduan dan keterkaitan serta kesungguhan kerja 115 semua pihak terkait sangat diperlukan dalam penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tata air (Ananto et al. 2000). Penerapan teknologi yang kurang tepat tanpa memperhatikan karakteristik lahannya dan tanpa adanya dukungan faktorfaktor di atas akan memperluas timbulnya lahan tidur bermasalah. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai jenis-jenis lahan yang berpotensi untuk usaha pertanian di lahan rawa. KARAKTERISTIK LAHAN RAWA Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan air payau. Dengan adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping pasang surut harian dari laut. Di wilayah pasang surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils) (Subagjo 2006). Tanah Mineral Tanah-tanah mineral di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin, yang proses pengendapannya di dalam lingkungan laut (marin). Pada wilayah agak ke pedalaman, pengaruh sungai relatif kuat, sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai, sedangkan pada bagian bawah di mana terdapat bahan sulfidik (pirit), proses pengendapan lumpur bahan tanah didominasi oleh aktivitas air laut (Widjaja-Adhi et al. 2000). Tanah Gambut Tanah gambut (Organosols = Histosols) terbentuk dari lapukan bahan organik 116 terutama dari tumpukan sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau. Pada tahap awal, proses pengendapan bahan organik terjadi di daerah depresi atau cekungan di belakang tanggul sungai. Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi daerah depresi, proses dekomposisi bahan organik menjadi sangat lambat. Selanjutnya secara perlahan-lahan terjadilah akumulasi bahan organik, yang akhirnya terbentuk endapan gambut dengan ketebalan yang bervariasi, bergantung pada keadaan topografi tanah mineral di bawah lapisan gambut (Widjaja-Adhi et al. 2000; Subagjo 2006). Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 1998), tanah gambut adalah tanahtanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik adalah: 1) Apabila dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18% jika kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai Corganik 12% atau lebih jika tidak mempunyai liat; atau mempunyai C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0, 10)}% jika kandungan liat 0−60%. 2) Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas, yaitu: 1) gambut dangkal (50−100 cm), 2) gambut sedang (101−200 cm), 3) gambut dalam (201−300 cm), dan 4) gambut sangat dalam (> 300 cm). Tanah dengan ketebalan lapisan gambut 0−50 cm dikelompokkan sebagai tanah mineral bergambut (peaty soils). Tipologi Lahan Penggunaan nama-nama sistem klasifikasi tanah dalam Soil Taxonomy agak sulit diaplikasikan secara langsung karena sulit dipahami. Oleh karena itu, untuk tujuan kepraktisan, digunakan klasifikasi agronomis yang disebut “tipologi lahan”. Klasifikasi tipologi lahan lebih sederhana dan mudah dipahami sehingga dapat digunakan, baik oleh pakar pertanian yang kurang atau tidak memahami disiplin ilmu tanah maupun penyuluh pertanian. Sistem klasifikasi tipologi lahan dikembangkan oleh Widjaja-Adhi (1995) untuk berbagai kondisi tanah rawa. Penyusunannya didasarkan pada sifatsifat dan karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian, seperti kedalaman lapisan pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut, dan ketebalan gambut (Tabel 1). Lahan sulfat masam potensial Lahan sulfat masam potensial (SMP) merupakan lahan (tanah) yang mempunyai pirit pada kedalaman 0− > 100 cm dari permukaan tanah. Pirit pada tipologi lahan ini dalam keadaan reduksi (belum teroksidasi). Lahan ini umumnya mempunyai tipe luapan A/B dan C pada SMP-3/A. Lahan SMP mempunyai pH > 3,50 yang makin tinggi selaras dengan kedalaman tanah. Lahan SMP harus dijaga agar bahan sulfidik tidak teroksidasi. Tanah-tanahnya diklasifikasikan ke dalam Typic/Haplic/ Thapto-Histic Sulfaquents, Typic/Aeric Hydraquents/Fluvaquents/Endoaquents/ Endoaquepts atau Sulfic Hydraquents/ Fluvaquents/Endoaquents/Endoaquepts (Soil Survey Staff 1998). Lahan tersebut sesuai untuk tanaman pangan terutama padi sawah pada tipe luapan A atau B. Tipe luapan C/D sesuai untuk tanaman hortikultura dan perkebunan. Lahan sulfat masam aktual Lahan sulfat masam aktual (SMA) merupakan tanah yang mempunyai pH tanah lapang < 3,50, mempunyai horison sulfurik atau tanda-tanda horison sulfurik yang disebabkan teroksidasinya pirit, yang terjadi akibat drainase berlebihan. Lahan ini umumnya mempunyai tipe luapan C/D. Apabila pH tanah lapang mencapai < 3,50 dapat mengakibatkan kisi-kisi liat hancur, sehingga ion Al3+ sangat dominan dalam kompleks jerapan. Tanahnya diklasifikasikan sebagai Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts, dan Sulfic Hydraquents/ Flufaquents/Endoaquents. Lahan seperti ini lebih sesuai untuk tanaman yang telah adaptif yaitu gelam atau purun dan karet. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Tabel 1. Klasifikasi rawa dan tipologi lahan di Indonesia. Klasifikasi rawa Lebak Kode Tipologi lahan R/A-Gl Rawa lebak, tanah aluvial - gambut dangkal Rawa lebak, gambut sedang - dalam R/G2-G3 Pasang surut air tawar SMP-l SMP-2 SMP-3/A SMA-l 1 SMA-2 1 SMA-3 HSM G-l G-2 G-3 G-4 Pasang surut air asin/payau SMP-l/S SMP-2/S SMP-3/A/S G/S Aluvial bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam Aluvial bersulfat 1 pH 3,50 Aluvial bersulfat 2 pH 3,50 Aluvial bersulfat 3 PH 3,50 Aluvial bersulfida dangkal bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam Aluvial bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam Gambut, payau/salin Kedalaman pirit/gambut (cm) 50−100 100−300 < 50 50−100 > 100 < 100 < 100 > 100 < 502 50−100 100−200 200−300 > 300 < 50 50−100 > 100 SMA-l = Belum memenuhi ciri horison sulfurik, pH 3,50 dan sering tampak bercak berpirit. SMA-2 = Menunjukkan adanya ciri horison sulfurik. 2 Diukur mulai dari permukaan tanah mineral. Sumber: Widjaja-Adhi (1995). 1 Lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut Tipologi lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut (HSM) berupa tanah-tanah mineral yang mempunyai pirit pada kedalaman 0−50 cm dan kedalaman gambut 20−50 cm serta umumnya mempunyai tipe luapan A. Tanah yang termasuk ke dalam tipologi lahan ini adalah Histic Sulfaquents. Tanaman yang sesuai untuk lahan ini adalah padi sawah. Lahan gambut dangkal Lahan gambut dangkal (G-l) mempunyai kedalaman 50−100 cm dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik. Lahan ini mempunyai substratum liat yang mengandung pirit, terutama dijumpai di rawa belakang (back swamp) dan sisi kubah (dome) gambut. Lahan ini umumnya Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Taxonomy termasuk dalam Typic Haplosaprists/Haplohemists/Haplofibrists. Lahan ini sesuai untuk pengembangan sayuran dan buah-buahan. mempunyai tipe luapan B. Karakteristik lahannya berdrainase terhambat, permeabilitas agak cepat, dengan penampang tanah sangat dalam. Tanahnya menurut Soil Taxonomy termasuk dalam Terric Sulfisaprists/Sulfihemists/Haplosaprists/ Haplohemists/Haplofibrists. Lahan gambut dangkal masih sesuai untuk pengembangan padi sawah. Lahan gambut sedang Lahan gambut sedang (G-2) mempunyai kedalaman 101−200 cm dengan tingkat dekomposisi hemik sampai saprik, yang dijumpai pada sisi kubah gambut. Lahan ini umumnya mempunyai tipe luapan C dan masih berpotensi untuk usaha pertanian. Karakteristik lahannya berdrainase terhambat, permeabilitas cepat, dan berpenampang tanah sangat dalam (gambut sangat tebal). Tanahnya menurut Soil Lahan gambut dalam Lahan gambut dalam (G-3) mempunyai kedalaman 201−300 cm dengan tingkat dekomposisi fibrik sampai hemik, dijumpai pada kubah gambut. Lahan ini umumnya mempunyai tipe luapan B/C dan masih berpotensi untuk usaha pertanian khususnya perkebunan. Tanahnya mempunyai karakteristik drainase sangat terhambat, permeabilitas cepat, dan berpenampang tanah sangat dalam. Menurut Soil Taxonomy, tanahnya termasuk dalam Typic Haplosaprists/Haplohemists/Haplofibrists. Lahan gambut dalam sebaiknya digunakan untuk tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit. Lahan gambut sangat dalam Lahan gambut sangat dalam (G-4) mempunyai kedalaman > 300 cm dengan tingkat dekomposisi fibrik sampai hemik, dan dijumpai pada kubah gambut. Lahan ini tidak berpotensi untuk usaha pertanian dan disarankan sebagai kawasan lindung. Tanahnya mempunyai karakteristik drainase sangat terhambat, permeabilitas cepat, dan mempunyai penampang tanah sangat dalam. Jenis tanah di wilayah ini termasuk dalam Typic Haplosaprists/ Haplohemists/Haplofibrists. Lahan gambut sangat dalam sebaiknya dijadikan kawasan konservasi atau lindung. Lahan lebak Rawa lebak dicirikan selalu tergenang di musim hujan dan kering di musim kemarau, dan dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu: 1) lebak dangkal, tergenang air pada musim hujan dengan kedalaman < 50 cm selama < 3 bulan, 2) lebak tengahan, genangan air 50−100 cm selama 3−6 bulan, dan 3) lebak dalam, genangan air > 100 cm selama > 6 bulan. Lahan lebak dangkal dapat ditanami padi dan tanaman pangan lainnya, sedangkan lahan lebak tengahan hanya untuk padi lokal yang tinggi dan ikan. Lahan lebak dalam sesuai untuk perikanan. 117 Zone Lahan Rawa dan Tipe Luapan Berdasarkan batas pengaruh air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air salin (payau) di musim kemarau, lahan rawa dibedakan ke dalam tiga zone, yaitu: 1) rawa pasang surut air payau (salin), 2) rawa pasang surut air tawar, dan 3) rawa nonpasang surut. Ketiga zone tersebut kira-kira sepadan dengan pembagian zone dari Sandy dan Darga (1979) yang mengelompokkan lahan rawa berdasarkan kekuatan arus air sungai dan air pasang. Pada pemetaan yang lebih detail, lahan rawa pasang surut dibedakan ke dalam empat tipe luapan air, yaitu : 1) tipe luapan A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, 2) tipe luapan B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar, 3) tipe luapan C, lahan yang tidak pernah terluapi walau pasang besar, hanya air tanah masih dekat permukaan tanah, < 50 cm, dan 4) tipe luapan D, lahan yang tidak terluapi, dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah. LAHAN POTENSIAL UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN Luas lahan rawa di Indonesia meliputi areal 33,40−39,40 juta ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Lahan tersebut terdiri atas lahan rawa pasang surut 23,10 juta ha dan lahan rawa lebak (nonpasang surut) 13,30 juta ha (Subagjo dan Widjaja-Adhi 1998). Nugroho et al. (1993) dalam WidjajaAdhi (1994) serta Subagjo dan WidjajaAdhi (1998) memperkirakan lahan pasang surut tersebar di Sumatera 6,60 juta ha, Kalimantan 8,11 juta ha, Sulawesi 1,18 juta, dan Irian Jaya 4,22 juta ha (Tabel 2). Lahan pasang surut terutama terdapat di pantai timur dan barat Sumatera, pantai selatan Kalimantan, pantai barat Sulawesi, serta pantai utara dan selatan Irian Jaya. Selanjutnya Widjaja-Adhi dan Alihamsyah (1998) menginformasikan lahan pasang surut tersebut terdiri atas 2,07 juta ha lahan potensial, 6,70 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut, dan 0,44 juta ha lahan salin. Menurut Abdurachman dan Ananto (2000), lahan yang berpotensi untuk pertanian meliputi areal 9,53 juta ha dan yang telah direklamasi seluas 4,19 juta ha. 118 Sebaran tipologi lahan berbeda menurut wilayah atau tiap wilayah mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan air. Meskipun demikian, semua tipologi lahan tersebut jarang ditemukan secara simultan dalam satu wilayah (WidjajaAdhi dan Alihamsyah 1998). Sebagai contoh, tipologi lahan yang banyak dijumpai di Sumatera Selatan adalah lahan potensial sulfat masam, gambut dangkal dan salin, sedangkan di Kalimantan Tengah adalah lahan potensial serta gambut dangkal dan sangat dalam (Tabel 3 dan 4). tanaman pangan lahan kering, peternakan, dan perikanan. Pemilihan komoditas perlu memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan (Widjaja-Adhi 1992; 1995). Aspek utama yang perlu diperhatikan dalam pemilihan komoditas adalah: 1) kesesuaian agroteknis, 2) kelayakan atau potensi ekonomis, 3) ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan 4) pemasaran hasil (Ismail et al. 1993; Abdurachman dan Ananto 2000; Suwarno et al. 2000). Tanaman Pangan ARAHAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua lahan rawa sesuai untuk sawah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa komoditas yang diusahakan penduduk di lahan rawa tidak terbatas pada tanaman pangan, tetapi juga tanaman lain yang mempunyai keunggulan dalam produksi dan harga pasar yang baik. Jenis komoditas yang dapat dikembangkan di lahan rawa adalah tanaman tahunan/ perkebunan, buah-buahan dan sayuran, Padi merupakan komoditas utama yang dikembangkan di lahan rawa, karena tanaman ini relatif mudah dibudidayakan di lingkungan rawa terutama pada lahan tipe luapan air A dan B. Di samping itu, harganya pun lebih stabil dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya (Ismail et al. 1993). Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan beberapa varietas unggul padi sawah yang beradaptasi baik di lahan rawa, yaitu Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR42, Lematang, dan Sei Lilin. Varietas Sei Lalan dan Banyuasin mampu Tabel 2. Luas dan penyebaran lahan rawa di Indonesia. Wilayah Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Total Luas lahan rawa (ribu ha) Pasang surut Lebak Total 6.600 8.109 1.180 4.220 2.770 3.580 606 6.300 9.370 11.689 1.786 10.520 20.109 13.256 33.365 Sumber: Nugroho et al. (1993); Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998). Tabel 3. Luas dan status lahan rawa di Indonesia. Wilayah Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku dan Nusa Tenggara Irian Jaya Total Luas lahan pasang surut (ribu ha) Luas lahan lebak (ribu ha) Total Potensial Direklamasi Total Ditanami 7.147 5.939 371 3.927 2.795 − 2.784 1.402 − 237 6.415 − 2.808 − − − − − − 20.109 9.530 4.186 12.516 730 6.079 6.437 2 − 1 413 317 − Riau dan Sumatera Selatan; Kalimantan Selatan dan Tengah. Sumber: Nugroho et al. (1993). 1 2 Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Tabel 4. Luas lahan menurut tipologi lahan dan tipe luapan di Sumatera Selatan, Riau, dan Jambi. Tipe luapan Wilayah dan tipologi lahan A B Luas lahan C D ha % 6.126 30.143 29.866 2.596 2.729 512 71.972 − 8,51 41,88 41,50 3,61 3,79 0,71 100 − Sumatera Selatan Lahan potensial 1 Lahan potensial 2 Lahan sulfat masam potensial Lahan sulfat masam aktual Gambut dangkal Gambut sedang Total Persentase 475 2.215 5.456 − 295 − 8.441 11,70 4.371 8.237 8.881 − 157 − 21.646 30,10 64 16.131 11.578 608 805 − 29.186 40,60 Riau1 dan 4 Lahan potensial 1 Lahan potensial 2 Lahan sulfat masam potensial Lahan sulfat masam aktual Gambut dangkal Gambut sedang Total Persentase 206 1.425 1.568 − − − 3.199 13,80 2.594 9.394 4.221 − 1.639 − 17.848 77,30 − 375 294 − 1.199 195 2.063 8,90 − − − − − − − − 2.800 11.194 6.083 − 2.838 195 23.110 − 12,10 48,50 26,30 − 12,30 0,80 100 − Jambi (Nusa Sabak1 , Nipah Panjang1 , dan Pamusiran2) Lahan potensial 1 Lahan potensial 2 Lahan sulfat masam potensial Lahan sulfat masam aktual Gambut dangkal Gambut sedang Lahan salin Lahan gambut dangkal Total Persentase − 137 225 − − − 1.118 − 1.480 7,90 215 525 720 1.637 1.268 5.578 62 428 10.433 55,90 628 2.402 462 1.246 138 1.886 − − 6.762 36,20 − − − − − − − − − − 843 3.064 1.407 2.883 1.406 7.464 1.180 428 18.675 − 4,50 16,40 7,50 15,50 7,50 40 6,30 2,30 100 − 1 dan 3 1.216 3.548 3.951 1.988 1.472 512 12.687 17,60 Sumber:1P2SLPS2 (1999); 2ISDP (1999); 3Lokasi: Sugihan Kanan, Sugihan Kiri, Delta Saleh, Delta Upang, Delta Talang 1, Pulau Rimau, Karang Agung Ulu, Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir; 4Lokasi Keritang, Reteh (Kota Baru-Siberida, Kota Beru-Reteh, Pembenaan, Sanglar, dan Pulau Kecil) dan Kuala Cinaku. memberikan hasil 4−7 t/ha (Alihamsyah et al. 1993; Ismail et al. 1993). Varietas padi yang dianjurkan untuk lahan dengan tipe luapan C/D adalah Cisanggarung, Laut Tawar, Talang, dan Danau Tempe dengan potensi hasil 2−4 t/ha (Ismail et al. 1993). Hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Ananto et al. (1999) dan Proyek ISDP (1999) menunjukkan bahwa hasil padi pada tipe lahan potensial sekitar 3−4 t/ha, pada lahan sulfat masam 2,50−4,70 t/ha, lahan gambut 3−3,90 t/ha, dan lahan lebak 3− 4,50 t/ha. Produktivitas padi varietas unggul seperti Cisanggarung, IR64, Lematang, Cisadane, dan Karawe yang ditanam pada musim hujan di lahan potensial Karang Agung berkisar antara 6,24−8 t GKG/ha (Minsyah et al. 1994). Di lahan sulfat masam dan gambut dengan tipe luapan C/D, padi gogo varietas unggul lokal Talang, Rojolele, Ceko, Mesir, Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Jalawara, Siam, dan Pandak mampu berproduksi 2−4 t/ha (Ismail et al. 1993), sedangkan di lahan sulfat masam pada sawah sistem surjan, hasil varietas Cisanggarung, Lematang, IR42, Kapuas dan IR64 berkisar antara 3,60−4,20 t GKG/ha (Sutrisna et al. 1994). Di lahan lebak, hasil padi pada bagian tabukan adalah 3,20−3,80 t GKG/ha, dan varietas-varietas unggul Cisanggarung, Kapuas, IR42, Alabio, dan B5309 serta B7003 yang ditanam pada MK 1991 menghasilkan 2,80−3,60 t GKG/ha (Waluyo et al. 1993a; 1993b). Takaran pupuk yang dianjurkan pada lahan potensial berkisar antara 45−45−50 kg/ha dan 90−45−50 kg/ha (N, P2O5, dan K2O), sedangkan untuk lahan sawah sulfat masam dan bergambut adalah 90 kg N, 30 kg P2O5, dan 120 kg K2O/ha. Jagung merupakan komoditas penting di lahan rawa karena berfungsi sebagai substitusi beras. Selain itu, tanaman ini juga dapat dipanen muda dan menjadi sumber pendapatan penting bagi petani. Jagung ditanam secara monokultur atau tumpang sari dengan kacangkacangan pada lahan yang ditata sebagai tegalan atau di bagian guludan pada sistem surjan. Hasi1 penelitian ISDP (tidak dipublikasikan) memperlihatkan bahwa hasil jagung varietas Arjuna, Wiyasa, Abimanyu, Bisma, Kalingga, dan Raja Hibrida di lahan pasang surut mampu mencapai 3,50− 5,50 t/ha dengan pemupukan 90 kg N + 90 kg P2O5 + 50 kg K2O/ha (Suastika dan Ismail 1992; Alihamsyah et al. 1993). Jagung varietas Arjuna dan Kalingga yang ditanam di lahan sulfat masam pada musim hujan memberikan hasil antara 2,80−3,40 t/ha dan pada musim kemarau 2,80−3 t/ha (Sutrisna et al. 1994). Jagung varietas 119 Tabel 5. Luas lahan menurut tipologi dan tipe luapannya di daerah kerja A, B, dan D Proyek PLG sejuta hektar di Kalimantan. Simbol LS SMA SMP P PLG GDK GDS GDL GSDL x Lahan salin Sulfat masam aktual Sulfat masam potensial (pirit 0−50 cm) Lahan potensial Lahan potensial-l bergambut (pirit >100 cm) Gambut dangkal (gambut 50−100 cm) Gambut sedang (gambut 101−200 cm) Gambut dalam (gambut 201−300 cm) Gambut sangat dalam (gambut > 300 cm) Lainnya (danau, tasik) Total Arjuna yang ditanam secara tumpang sari dengan kedelai menghasilkan 3,80 t pipilan kering/ha, sedangkan kedelai varietas Wilis menghasilkan 1,40 t biji kering/ha (Miswan et al. 1994). Hasil kajian di Sumatera Selatan oleh Proyek Pengembangan Sistem Lahan Pasang Surut di Sumatera Selatan (P2SLPS2) memperlihatkan bahwa hasil jagung varietas Arjuna mencapai 4,50 t/ha (Ananto et al. 1999). Selanjutnya Ananto et al. (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian fosfat alam, hasil jagung pada lahan potensial dapat mencapai 5,40 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam 2−3,50 t/ha. Kedelai merupakan sumber protein nabati penting bagi petani di pedesaan termasuk di lahan rawa. Di samping itu, harga kedelai yang cukup tinggi dan stabil sehingga komoditas ini menjadi sumber pendapatan penting dalam sistem usaha tani. Kedelai varietas Wilis, Lokon, Galunggung, Rinjani, Lompo Batang, Kerinci, dan Dempo dapat menghasilkan 1,10−2 t biji kering/ha dengan takaran pupuk 22,50−45−50 kg/ha dan 67,50−45−50 kg/ ha (N, P2O5, dan K2O) (Alihamsyah et al. 1993; Sutrisna et al. 1994). Kajian pada lahan pasang surut Sumatera Selatan oleh P2SLPS2 menunjukkan, hasil kedelai varietas Wilis mencapai 2,20 t/ha (Ananto et al. 1999). Tanaman Hortikultura Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pemenuhan gizi keluarga tani 120 Tipe luapan Tipologi lahan A B 11. 884 − 36.257 54.690 805 52.787 5.000 205 − 68 799 − 15.545 68.916 3.090 12.080 5.331 2.208 − − 161.696 107.969 di samping sebagai sumber pendapatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa cabai, kacang panjang, tomat, terung, kubis, petsai, bawang merah, semangka, pisang, nenas, nangka, dan rambutan secara teknis dapat diusahakan di lahan pasang surut apabila dikelola berdasarkan karakteristik lahannya (Ismail et al. 1993; Suwarno et al. 2000). Cabai, tomat, semangka, pisang, dan nenas mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan pasang surut. Cabai keriting mampu memberikan hasil 5−8 t/ha pada lahan potensial, sedangkan pada lahan sulfat masam dan bergambut diperoleh hasil rata-rata 5,30 dan 3,20 t/ha. Tomat varietas Berlian, Intan, dan Ratna dapat menghasilkan 11−13 t buah segar/ ha pada lahan potensial. Namun, pada lahan sulfat masam, varietas Ratna dan Intan memberikan hasi1 18,54 dan 13,48 t/ ha, sedangkan pada lahan bergambut, varietas Ratna memberikan hasil rata-rata 5,15 t/ha. Semangka New Dragon dan Sugar Baby dapat menghasilkan buah 15− 25 t/ha dengan pemberian pupuk kandang 10 t/ha disertai pemupukan 27 g N + 20 g P2O5, + 6 g K2O/tanaman (Ismail et al. 1993). Hasil kajian P2SLPS2 menunjukkan bahwa produktivitas cabai yang ditanam pada lahan mineral bergambut di Air Sugihan Kiri mencapai 1,30 t/ha, sedangkan pada lahan potensial Delta Talang dan gambut Air Sugihan Kiri hasilnya lebih rendah yaitu masing-masing 1,16 dan 0,86 t/ha (Ananto et al. 2000). Takaran pemupukan optimal untuk tanaman cabai pada lahan potensial adalah 90 kg N + 50 kg P2O5 + 24 kg Mandozeb D Luas total (ha) − 18.715 − 56.379 − 17.268 11.655 9.446 235 − − − − 2.612 − − − − 177.273 − 12.683 18.715 51.802 182.597 3.895 82.135 21.986 11.859 177.508 68 113.698 179.885 563.248 C M-45, dan 12 kg Orthane/ha, sedangkan pada lahan bergambut adalah 60 kg N + 90 kg P2O5 + 120 kg K2O/ha + 1 g ZnSO4/l air dan 0,50 g CuSO4/l air. Takaran optimal untuk tomat pada lahan potensial adalah 67,50 kg N + 67,50 kg P2O5/ha + pupuk daun, sedangkan pada lahan sulfat masam adalah 1,50 t bahan organik + 135 kg N + 90 kg P2O5 + 60 kg K2O/ha. Takaran pupuk untuk tanaman semangka adalah 27 g N + 20 g P2O5 + 6 g K2O/pohon. Hasil nenas apabila ditanam monokultur di lahan pasang surut dapat mencapai 30−40 t/ha. Apabila ditumpangsarikan dengan kelapa dengan jumlah populasi 50% maka produksi buah segar mencapai 15 t/ha pada tahun pertama. Tanaman Industri Beberapa tanaman industri dan perkebunan mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan rawa dan merupakan bagian penting dalam mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan pendapatan petani. Dari beberapa jenis tanaman industri yang telah diuji, yang berprospek baik untuk dikembangkan dalam sistem usaha tani lahan pasang surut adalah kelapa dan jahe. Kelapa dalam Riau dapat ditanam di semua tipologi lahan dan mulai berbuah setelah berumur empat tahun. Estimasi produksi kopra di daerah pasang surut berkisar antara 2,50−4,12 t/ha/tahun. Hasil penelitian ISDP memperlihatkan, pertumbuhan vegetatif dan generatif pohon kelapa yang baik yaitu 13,20 buah/pohon/ Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 bulan atau 160 buah/pohon/tahun dengan pemupukan 1.500 g urea + 750 g TSP + 1.500 g KCl + 800 g kaptan + 50 g CuSO4, + 50 g ZnSO4/pohon. Jahe merah dengan pemberian pupuk 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,50 t gambut/ ha dan penutupan mulsa pada permukaan tanah setebal 25−30 cm, memberikan hasil 23,60 t/ha. Peternakan Ternak mempunyai peran penting dalam sistem usaha tani lahan pasang surut. Di samping memberikan sumbangan terhadap penerimaan usaha tani, ternak juga dapat dijual untuk mendapatkan uang tunai, terutama pada masa paceklik. Ternak yang berpotensi untuk dikembangkan dalam sistem usaha tani lahan pasang surut adalah ayam buras, itik, sapi, dan kambing (Ismail et al. 1993). Budi daya ayam buras melalui pemberdayaan kelompok tani yang dikelola secara semi-intensif sangat potensial untuk dikembangkan (Desmayati dan Supriadi 2000). Keragaan produksi ayam buras tidak berbeda antartipologi lahan. Produktivitas ayam buras lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan daripada tipologi lahan. Produksi telur rata-rata berkisar antara 6−14 butir/periode bertelur dengan daya tetas 20−100%. Jenis itik yang berpotensi untuk dikembangkan di lahan pasang surut adalah itik tegal. Pemeliharaan itik dapat dilakukan secara “longktik” (kandang itik di atas kolam ikan), karena sistem ini mampu meningkatkan produksi ikan hampir dua kali lipat dan pertambahan bobot badan itik berkisar antara 365−429 g/ekor umur 7−13 minggu. Jenis sapi yang berpotensi untuk dikembangkan di lahan pasang surut adalah sapi bali. Selain sebagai penghasil daging, ternak sapi juga dapat dimanfaatkan tenaganya. Perikanan Ekosistem lahan rawa mempunyai prospek untuk pengembangan perikanan yang pada tahap awal ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tani. Pada lahan rawa pasang surut, pengembangan ikan terutama pada lahan yang terluapi pasang. Usaha tani ikan di lahan lebak dapat dilakukan dengan sistem kolam ataupun mina-padi (ikan-padi) khususnya untuk lebak dangkal dan lebak tengahan, baik secara mono maupun polikultur. Pemeliharaannya dapat dilakukan dengan sistem shelter, hempang atau pen. Jenis ikan yang mampu hidup dengan baik di lahan rawa pasang surut adalah nila dan jelawat (ikan budi daya) serta betok (ikan liar), sedangkan yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak adalah sepat silam, jelawat, patin, lampan, dan tawes (Ismail et al. 1993). Di lahan rawa pasang surut telah berkembang pula budi daya ikan nila dan lele dalam tong dengan pakan yang terdapat di lokasi, seperti dedak, jagung, kedelai, dan ikan rusak (Kristanto et al. 2000). KESIMPULAN Jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian adalah lahan potensial, lahan sulfat masam potensial, lahan gambut dangkal, dan lahan gambut sedang. Tipe luapan menentukan arah pengembangan lahan. Lahan rawa tergolong marginal dan fragile, sehingga aspek teknis harus dijadikan dasar dalam pemilihan lokasi dan penerapan teknologi. Walaupun demikian, aspek sosial ekonomi berperan penting pula untuk menuju keberhasilan pembangunan pertanian di lahan rawa. Pengalaman menunjukkan kesalahan pemilihan lokasi dan penerapan teknologi mengakibatkan munculnya lahan-lahan terdegradasi (lahan bongkor, lahan tidur) yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Bertitik tolak dari pengalaman tersebut, didukung hasil-hasil penelitian yang telah dicapai, pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1) melaksanakan identifikasi dan karakterisasi lahan rawa sebagai dasar untuk menentukan prioritas pengembangan yang didasarkan pada aspek teknis dan sosial ekonomi, 2) memilih teknologi pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan, dan 3) memilih komoditas pertanian (tanaman, ternak, dan ikan) yang sesuai baik dari aspek teknis maupun ekonomis. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai atau menjadi tidak sesuai jika dimanfaatkan, difungsikan sebagai hutan produksi atau konservasi. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman dan E.E. Ananto. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Bogor, 25−27 Juli 2000. 23 hlm. Alihamsyah, T., Jeffri, I W. Suastika, dan D.E. Sianturi. 1993. Laporan Tahunan 1992/1993. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, I W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 166 hlm. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Ananto, E.E., Hermanto, K. Kariyasa, Soentoro, I W. Suastika, I G.M. Subiksa, dan T. Alihamsyah. 1999. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 163 hlm. Desmayati dan H. Supriadi. 2000. Program aksi ayam buras di kawasan lahan gambut Kalimantan Tengah. hlm. 119−134. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23−26 November 1999. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa: Kontribusi dan prospek pengembangan. Dalam M. Syam, Soetjipto, dan Z. Hararap (Ed.). Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kristanto, A.H., D. Jaenuddin, dan I. Juarsah. 2000. Potensi dan pengembangan perikanan di lahan gambut (PLG) Kalimantan Tengah. hlm 235−242. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23−26 November 1999. Minsyah, N.I., A.R. Sudrajat, dan Suwalan. 1994. Penelitian pengembangan sistem usaha tani terpadu pada tipologi lahan potensial Karang Agung Ulu. hlm. 1−16. Dalam T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.). Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 121 Miswan, A., I W. Suastika, N. Sutrisna, dan I.G. Ismail. 1994. Prospek usaha tani jagung dan kedelai yang ditanam secara tumpang sari di lahan potensial Karang Agung Tengah. hlm. 97−102. Dalam T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.). Kumpulan HasiI Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Nugroho, K., S. Suping, dan M. Sarwani. 1993. Karakteristik Lahan dalam Penelitian Reklamasi dan Pengolahan Tanah Sulfat Masam. Kerja Sama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan Proyek P3N, Jakarta. hlm. 1−15. Proyek Pengembangan Sistem Lahan Pertanian Pasang Surut (P2SLPS2). 1999. Identifikasi dan karakterisasi wilayah pengembangan sistem usaha pertanian lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan, Tahap II. Laporan Tim Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Sandy dan N. Darga. 1979. Tidal swampland reclamation. hlm. 198−213. Dalam Prosiding Simposium III. Pengembangan Daerah Pasang Surut di Indonesia Buku II. Palembang, Februari 1997. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dan Institut Pertanian Bogor. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. 8 th Edition. United States Department Agricultural Natural Resources Conservation Service. 326 pp. Suastika, I W. dan I.G. Ismail. 1992. Budi daya tanaman pangan di daerah pasang surut. hlm. 145−156. Dalam Risalah PERNAS Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3−4 Maret 1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Subagjo. 2006. Lahan rawa pasang surut. hlm. 23−98. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. 122 Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia, Kasus: Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 10 Februari 1998. hlm. 1−22. Sutrisna, N., I W. Suastika, dan Solihin. 1994. Penelitian pengembangan sistem usaha tani di lahan pasang surut sulfat masam Karang Agung Tengah. hlm. 117−126. Dalam T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Ed.). Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan teknologi sistem usaha tani terpadu. hlm. 175−186. Dalam E.E. Ananto, I.G. Ismail, Subagio, Suwarno, A. Djajanegara, dan H. Supriadi (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25−27 Juli 2000. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Waluyo, I W. Supartha, dan D.E. Sianturi. 1993a. Pola tanam pada sistem surjan di lahan lebak dangkal. hlm. 28−35. Dalam T. Alihamsyah, T. Herawati, dan I W. Suastika (Ed.). Risalah Hasil Penelitian, Proyek Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa-Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Waluyo, I W. Supartha, dan D.E. Sianturi. 1993b. Verifikasi berbagai varietas/galur padi di lahan lebak. hlm. 19−27. Dalam T. Alihamsyah, T. Herawati, dan I W. Suastika (Ed.). Risalah Hasil Penelitian, Proyek Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa-Swamps II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. untuk kelapa. hlm. 1−20. Dalam Forum Komunikasi Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Kelapa Pasang Surut. Bogor, 28−29 Agustus 1992. Widjaja-Adhi, I P.G. 1994. Lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia: Potensi, pengelolaan, dan teknologi pengembangannya. Prosiding Temu Konsultasi Sumber Daya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Palu, 17−20 Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 323− 341. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usaha tani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan, 26−30 Juni 1995. hlm. 1−24. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang surut: Potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah. hlm. 51−72. Widjaja-Adhi, I P.G., D.A Suriadikarta, M.T. Sutriadi, I G.M. Subiksa, dan I W. Suastika. 2000. Pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan lahan rawa. hlm. 127−164. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, dan D. Djaenudin (Ed.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan pemanfaatannya. hlm. 19−38. Dalam Partohardhono dan M. Syam (Ed.). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G. 1992. Tipologi, pemanfaatan dan pengembangan lahan pasang surut Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007