Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 KAMPANYE KOMUNIKASI PEMASARAN SUMATERA BARAT MELALUI BRANDING COMMUNICATION: ANALISIS PEKERJA KREATIF INDUSTRI PARIWISATA Fitri Adona Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email: [email protected] Arni Utamaningsih Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email: [email protected] Buyung Sidik Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Akuntansi ABSTRACT Marketing of West Sumatra is conventionally considered less effective because it is poorly understood by investors and have not been able to save the region from poverty. The main factors associated with the marketing of this area are: (1) the value of the product and how to communicate it, and (2) branding communication. This study intends to look at the effectiveness of marketing communications campaigns through branding of West Sumatra government communication in overcoming poverty. This study was conducted over two years, the first year in the area to help define and communicate its brand well and advised marketing campaign to communicate the various potential regions to the consumer market and investors; and the second year to evaluate whether the area of marketing actors already empowered and able to reduce poverty? The evaluation plan is divided into two criteria, namely the pre-test and posttest. With the study of local government is expected to increase the number of investors and solve the problem of poverty. Marketing area by itself able to increase empowerment, partnership, participation and social advocacy become a strategy in overcoming poverty. Keywords: marketing campaigns, brand, poverty 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan pada kabupaten dan kota di seluruh Indonesia untuk mengelola sumber daya dan kekayaannya dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Otonomi daerah sekaligus juga menempatkan kabupaten dan kota sebagai pusat-pusat (center) pertumbuhan. Motor utama pertumbuhan ekonomi daerah adalah investasi. Pemerintah daerah (Pemda) telah merancang berbagai penawaran kepada calon investor untuk ISSN 1858–3717 89 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 menanamkan modal di daerahnya. Promosi investasi di daerah ini didukung oleh pemerintah pusat dengan menjadikan tahun 2004 sebagai tahun investasi. Dalam ukuran ekonomi, kepariwisataan nasional sukses mencatat peningkatan pertumbuhan kunjungan wisatawan dan penerimaannya. Tahun 2008, saat krisis ekonomi global, jumlah wisman (wisatawan mancanegara) justru meningkat 13,2% dan devisa mencapai 37,4%. Wisnus (wisatawan nusantara) juga merupakan komponen penting bagi pembangunan pariwisata nasional, terutama karena pola pembelanjaannya yang langsung dapat menyentuh masyarakat lokal. Walaupun dari sisi pertumbuhan hanya terjadi peningakatan sebesar 1,5%, jumlah absolut wisnus itu sendiri sangat tinggi yaitu, dengan jumlah perjalanan 225 juta, jumlah wisatawan 117,2 juta dan jumlah belanja Rp. 123,2 triliun. Namun di balik itu sebenarnya masih banyak persoalan terkait dengan distribusi manfaat dari pembangunan pariwisata. Devisa yang diterima dari wisman tercatat cukup besar, namun penelitian OECD menyebutkan bahwa di negara berkembang terjadi kebocoran devisa rata-rata 50-75% terutama dalam hal tenaga kerja dan produk impor lainnya, bahkan pembelanjaan wisatawan di tingkat atas tidak terkait langsung dengan penduduk miskin. Pembangunan kepariwisataan nasional juga ditandai dengan ketidakseimbangan distribusi spasial dalam hal penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Hanya DKI Jakarta dan Bali yang memiliki presentase tinggi dari total PAD. Itu pun dengan selisih persentase yang sangat besar. Kecuali Banten (kategori sangat rendah), seluruh provinsi di Jawa tercatat memiliki persentase penerimaan PAD dari nasional dalam kategori sedang dan rendah. Provinsi di luar Jawa yang masuk dalam kategori rendah pun terbatas hanya pada provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perhatian terhadap persoalan distribusi dan faktor-faktor lain di luar faktor ekonomi menjadi perhatian penting dalam pembangunan pariwisata ke depan. Dalam kurun waktu RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025 juga diupayakan meningkatkan daya saing pariwisata. Artinya, perhatian tidak hanya diarahkan semata-mata untuk kepentingan kunjungan, namun juga pada kenyamanan, perlindungan terhadap pelestarian lingkungan alam dan budaya, iklim investasi dan sebagainya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana daerah Sumatera Barat mendefinisikan dan mengkomunikasikan brandnya? 2. Bagaimana daerah Sumatera Barat merancang branding communication sebagai merk induk (mother brand) kampanye komunikasi profil dan potensi suatu daerah? 3. Bagaimana daerah Sumatera Barat membuat kampanye melalui merk-merk sekunder dengan mengkomunikasikan tiap sektor produk atau jasa setempat yang cukup potensial untuk dijual ke pasar, misalnya wisata budaya, agroindustri, dan lainnya? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan kampanye komunikasi pemasaran daerah ini antara lain untuk mengetahui: 1. Bagaimana pemerintah mengkomunikasikan aneka potensi daerah kepada pasar konsumen maupun investor luar ISSN 1858–3717 90 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 2. Bagaimana pemerintah menjadikan nama suatu daerah sebagai sebuah nama merk yang kuat di mata calon investor, wisatawan, maupun masyarakat umum lainnya 3. Bagaimana pemerintah menempatkan suatu daerah dengan positioning yang khas, jelas dan tajam di mata pasar maupun investor, di tengah persaingan antardaerah yang cukup ketat. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan Kemiskinan tidak terbatas hanya pada statistik ekonomi dalam hal pendapatan saja. Bank dunia menjelaskan bahwa kemiskinan adalah juga berupa kondisi kekurangan pangan, papan, pekerjaan dan ketidakberdayaan lainnya (Hermantoro: 141). Penyebab kemiskinan meliputi tiga hal utama: 1. Keterbatasan pendapat dan kepemilikan pada kebutuhan dasar seperti makan, hunian, sandang, tingkat kesehatan dan pendidikan. Ini akan menyebabkan rendahya kualitas kesehatan, keterbatasan keahlkian untuk mendapatkan pekerjaan, ketidakmampuan untuk kepemilikan lahan/rumah, keterbatasan akses ke prasarana dasar, ketidakmampuan untuk memiliki tabungan dan aset sosial lainnya. 2. Ketidakberdayaan dan ketidakdidengarkannya suara mereka pada institusi sosial. Ini berupa perlakuan yang tidak sama atas mereka, keterbatasan proteksi terhadap kekerasan, dan sebagainya. 3. Kerentanan terhadap guncangan yang merugikan terkait dengan ketidakberdayaan mereka. Penduduk miskin mudah terkena risiko kesehatan, bencana alam, ketidakmampuan untuk segera pulih ketika menghadapi guncangan ekonomi, sosial, fisik, dan emosional. Dengan ukuran pendapatan di bawah standar kemiskinan ekstrem PBB, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2008 tercatat 34,96 juta atau sebesar 15,42% jumlah penduduk, turun sebesar 5,94% dibanding tahun sebelumnya. Dengan standar garis kemiskinan yang lebih rendah (di bawah standar PBB), jumlah penduduk miskin di desa tercatat hampir dua kali jumlah penduduk miskin di kota. Penelitian Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin terbesar adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Mereka yang bekerja di sektor formal dan non agraris memiliki peluang lebih besar untuk menjadi tidak miskin. Fenomena yang menarik, Jawa memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, sebesar 4,93% pada 2007 namun daerah itu justru memiliki penduduk miskin terbanyak. Hal yang sama juga berlaku di Kawasan Barat Indonesia yang tercatat memilkiki jumlah penduduk miskin hampir empat kali jumlah penduduk miskin di Kawasan Indonesia Timur. Indikator pengentasan kemiskinan dari variabel ekonomi adalah: volume penjualan, jenis dan nilai produk UMKM pariwisata (akomodasi, warung, cenderamata); volume penjualan, jenis dan nilai produk UMKM pendukung pariwisata (bahan makanan, bahan pakaian, dsb); jumlah dan jenis lapangan kerja yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata; jumlah penduduk miskin yang bekerja di sektor pariwisata; jumlah kegiatan UMKM terkait pariwisata; tingkat pendapatan penduduk miskin; jenis dan nilai konsumsi penduduk miskin; nilai tanah setelah ada kegiatan pariwisata; bentuk dan jumlah keuntungan kolektif untuk komunitas (parkir, dsb); bentuk dan jenis charity untuk penduduk miskin; bentuk dan jenis penyediaan ruang publik bagi penduduk miskin terkait pariwisaata (arena budaya dan ruang terbuka lainnya); bentuk dan jenis ISSN 1858–3717 91 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 dukungan pemasaran bagi produk UMKKM dan atraksi lokal; bentuk dan jenis promosdi bagi pasar penduduk miskin; dan bentuk dan jenis upaya perkuatan lembaga ekonomi rakyat (koperasi). Dari variabel kesejahteraan non finansial indikatornya adalah: bentuk dan jenis pelaksanaan konsep “green tourism” pada industri pariwisata (sampah yang dihasilkan dari induastri pariwisata, polusi air, polusi udara dari kendaraan wisata, dsb); jumlah dan jenis pelatihan terkait dedngan pariwisata bagi penduduk miskin; jumlah dan jenis dukungan pengembangan budaya lokal; jumlah dan jenis sarana sosial publik MCK, puskesmas, agama, internet, dsb); jumlah dan sarana ekonomi publik (pasar tradisional, lelang ikan, dsb); jumlah dan bentuk sarana lingkungan (sanitasi, drainase, listrik, telepon, dsb); kualitas fisik pemukiman penduduk miskin; jumlah dan jenis dukungan pada pelestarian lingkungan hidup; junmlah penduduk yang mengikuti dan menerapkan program Sapta Pesona; jumlah promosi terkait dengan program “green tourism”; jumlah dan promosi citra produk UMKM; bentuk dan dukungan terhadap lembaga sosial masyarakat (kesenian, PKK, dsb); kemampuan berkomunikasi; penurunan/peningkatan perkara kriminal; jaringan sosial; partisipasi wisatawan dan industri pariwisata untuk komunitas (donasi, dsb); dan trafik (Hermantoro: 150). 2.2. Reinventing Government dan Perubahan Strategi Pemasaran Daerah Perubahan mendasar dalam pemerintahan daerah telah terjadi dengan munculnya paradigma baru wirausaha yang menggeser paradigma pemerintahan birokratis. Inti reinventing government adalah mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik (mewirausahakan birokrasi). Berikut sepuluh ciri dari reinventing government atau sering dikenal dengan pemerintahan wirausaha (Osbone dan Gabler, 1995): 1. Pemerintah katalis: pemerintah lebih diharapkan berperan sebagai katalisator dan bukan sebagai pemain di pasar. 2. Pemerintahan milik masyarakat: pemerintah diharapkan memberikan sebagian wewenangnya kepada lembaga-lembaga sosial ekonomi untuk menjalankan kehidupan ekonomi dan sosial di daerahnya. 3. Pemerintahan yang kompetitif: pemerintah diharapkan menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. 4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: kegiatan pemerintahan tidak lagi digerakkan oleh peraturan namun pada misi yang hendak dicapai. 5. Pemerintahan yang berorientasi hasil: pemerintah membiayai outcome dan bukan output. 6. Pemerintahan yang berorientasi pelanggan: pemerintah lebih memenuhi kebutuhan pelanggan dan bukan birokrasi. 7. Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan. 8. Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. 9. Pemerintah desentralisasi: pemerintah mendesentralisasikan organisasi publik ke dalam manajemen partisipatif. 10. Pemerintah berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Ada enam unsur pasar yang dikemukakan Osborne dan Gabler (1995), yaitu: penawaran, permintaan, aksesibilitas, informasi, peraturan daan dan penjagaan. 1. Pemerintah daerah dalam hal penawaran harus mampu menciptakan penawaran yang dibutuhkan dalam pasar. Produk/ jasa yang ditawarkan dalam hal ini adalah potensi daerah yang diharapkan mampu diserap oleh pasar, dalam arti diminati ISSN 1858–3717 92 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 investor. Produk yang ditawarkan akan dapat diserap pasar kjika produk tersebut memiliki ciri khas dan berkualitas baik. Produk yang demikian itu akan memiliki nilai tinggi, sehingga akan dihargai lebih tinggi pula. Pemerintah daerah harus berupaya melakukan diferensiasi produknya menjadi produk yang memiliki keunikan, kekhasan,dari daerah tersebut. Selain itu, produk yangditawarkan adalah produk yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Pemerintah daerah juga bisa melakukan positioning untuk melihat tingkat persaingan terhadap produk yang ditawarkannya. Melalui positioning pemda dapat menentukan diferensiasi produk seperti apa yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan. 2. Unsur kedua dari pasar adalah permintaan. Konsumen harus mempunyai daya beli yang cukup untuk membeli produk atau jasa, dan mereka harus mempunyai keinginan untuk menggunakan daya beli tersebut. Pemerintah daerah dalam hal ini berarti harus jeli dalam melihat perilaku konsumen (investor). Pemerintah daerah bisa melakukan segmentasi pasar terhadap produk-produk yang ditawarkannya. 3. Unsur ketiga adalah aksesibilitas, produk/ jasa yang ditawarkan harus mudah diakses oleh konsumen. 4. Terkait dengan aksesibilitas ini tentunya Pemda harus menyediakan informasi yang lengkap, sehingga unsur berikutnya dalam pasar adalah informasi. Ketika konsumen tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai produk/jasa yang ditawarkan, mereka tidak akan melakukan transaksi. Menawarkan berbagai produk termasuk di dalamnya peluang-peluang investasi kepada calon investor tidak cukup hanya dengan membagikan buku/ brosur. Konsumen atau investor membutuhkan informasi yang jauh lebih lengkap dari foto-foto dan keterangan yang ada pada brosur. 5. Unsur kelima adalah peraturan, harus diciptakan peraturan yang mendorong terciptanya mekanisme pasar yang berjalan dengan baik. 6. Peraturan yang telah dibuat harus ditegakkan secara konsisten, sehingga unsur keenam dalam pasar adalah penjagaan. Investor selama ini kadang mengalami kebingungan dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum. Ada tujuh konsep inti pemasaran, yakni: 1) kebutuhan, keinginan dan permintaan; 2) produk (barang, jasa dan gaagasan); 3) nilai, biaya dan kepuasan; 4) pertukaran dan transaksi; 5) hubungan dan jaringan; 6) pasar; dan 7) pemasar dan calon pembeli (Kotler, 1997). Realisasi dari pemerintahan yang berorientasi pasar adalah pemerintah daerah mampu menjual produk/ jasanya (potensi daerah) kepada pasar (investor). Pemahaman akan potensi daerahnya dan pasar (investor) akan mempermudah pemerintah daerah untuk menarik investor ke daerahnya. Memasarkan potensi daerah kepada investor harus harus dilakukan dengan dengan strategi pemasaran yang tepat. Keberhasilan pemerintah daerah dalam menjual potensi daerahnya ditentukan oleh dua hal: 1) Bagaimana memahami investor 2) Bagaimana menyampaikan upaya pemasaran dengan efektif (Sutisna, 2001). Komunikasi dengan demikian merupakan unsur penting dalam menunjang pemasaran yang efektif. Munculnya komunikasi sebagai unsur yang menunjang pemasaran akan membentuk segitiga pemasaran, yatu: produk/ jasa; komunikasi; dan pasar/investor. ISSN 1858–3717 93 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Komunikasi berfungsi untuk mengoptimalkan interaksi antara pemerintah daerah dan investor sehingga tercipta interaksi di antara keduanya. Melalui strategi komunikasi yang tepat, pemerintah daerah dapat menginformasikan dengan baik potensi di daerahnya kepada investor. Melalui hal yang sama investor dapat dengan mudah nmenangkap peluang-peluang bisnis di suatu daerah. Salah satu pilihan strategi komunikasi yang baik adalah menciptakan branding communication daerah. 2. 3 Branding Communication Branding bukan sekedar mengikuti mode saja atau bahkan iseng saja. Branding merupakan strategi mendasar untuk membuat hubungan emosional dengan konsumen supaya konsumen menjadi lebih suka memilih produk dan jasa yang ditawarkan. Branding daerah dengan demikian mengungkap karakteristik daerah tersebut, bagaimana daerah tersebut menciptakan ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya, dan apa harapan daerah tersebut. Branding menggabungkan unsur-unsur yang meliputi perencanaan strategis, komunikasi pemasaran, penelitian pasar dan pengembangan organisasi. Ada lima hal yang harus dilakukan untuk membuat sebuah brand yaitu: riset pasar, membaca secara sepintas lingkungan, jalur konsumen, kontrak brand dan proposisi nilai brand. Brand yang kuat memiliki ciri-ciri antara lain (Marketing Partner, Inc, 2003): 1. Membuat dan menjaga janji-janji pada konsumen; pemda tidak boleh hanya membuat janji-janji saja dalam menawarkan produknya namun juga harus bisa memegang janji tersebut. Misalnyaa, akan memberikan kemudahan dalam pengurusan perizinan investasi, namun dalam kenyataan investor harus cukup lama untuk mengurus izin investasi. Apabila pemda dapat merealisasikan janjinya, maka daerah tersebut akan memperoleh nilai lebih dari pasar/ investor. 2. Merepresentasikan karakteristik dan aspirasi institusi. Setiap daera sebenarnya memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan sejarah, kondisi wilayah, sosial dan budaya daerah tersebut. Setiap daerah juga mempunyai aspirasi berbeda yang berkembang di masyarakatnya sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Kedua hal inilah yang harus diangkat sehingga orang mengenal dan mudah mengingat daerah tersebut. 3. Menjadikan institusi tersebut berbeda dengan pesaing. Pemda harus mencitrakan bahwa daerahnya berbeda dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tentunya merupakan perbedaan yang positif. 4. Menciptakan hubungan emosional dengan konsumen; kemampuan untuk memelihara hubungan dengan konsumen sangat diperlukan. Kekhasan suatu daerah akan sangat berkesan bagi konsumen. Ciri keberhasilan dari faktor ini di mana konsumen akan kembali lagi ke daerah tersebut. 5. Menjadi petunjuk bagi institusi dan anggota institusi tersebut; pemda berserta stafnya senantiasa terus-menerus membangun brand bersama-sama. Setiap aktivitas ISSN 1858–3717 94 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 di pemda selalu berorientasi atau mempunyai misi untuk memperkuat brand yang telah diciptakannya. Brand dapat dibangun apabila pemda dapat membangun dan mengkomunikasikan nilai daerah tersebut. Pemerintah daerah tidak dapat membangun nilai hanya dengan menyebarkan brosur ataupun membuat website mengenai daerah tersebut. Jika nilai tidak dapat dibangun maka pemda tidak akan efektif mengkomunikasikan daerahnya. Membangun nilai dan mengkomunikan nilai akan membentuk brand daerah tersebut. Apabila brand telah terbentuk, maka brand tersebut harus dikomunikasikan (branding communication) pada stakeholders. Dalam membentuk branding suatu daerah, harus dikomunikasikan secara terus-menerus. Komunikasi seharusnya: 1. Menjadikan audience berhenti dan memperhatikan apa yang dipesankan oleh komunikan. Pesan yang disampaikan dapat dituangkan dalam bentuk audiovisual, harus menarikm dan mudah diingat 2. Menarik emosi, komunikasi yang dilakukan harus dapat membangkitkan emosi audience, berbagai cara dapat dilakukan seperti menggunakan humor, contohcontoh aktual 3. Melibatkan audience dalam menyampaikan pesan, audiencediajak terlibat dalam penyusunan komunikasi dengan menyusun pesan yang dialogis; 4. Menunjukkan kesederhaan dan kekuatan, tidak harus menunjukkan gebyar kemewahan dengan berbagai macam aksesorisnya, cukup sederhana mudah diingat dan cukup kuat tertanam di perasaan audience; dan 5. Mendemonstrasikan manfaat utama pada konsumen. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Data Dalam penelitian ini Penulis menggunakan data primer dengan melakukan observasi langsung ke lapangan. Data diperoleh melalui wawancara dengan narasumber. Narasumber adalah pelaku bisnis pariwisata. Evaluasi kampanye program merupakan jenis penelitian yang dapat dilakukan pada saat mengembangkan strategi pesan merk dan setelah kampanye selesai dilakukan. Tujuannya adalah untuk meramalkan atau menentukan hasil seperti perubahan perilaku yang diciptakan oleh kegiatan promosi, kampanye, maupun pesan dari merk. Dalam mengevaluasi kegiatan komunikasi pemasaran, analisis yang dilakukan meliputi aktivitas pasar, kondisi persaingan, dan analisis khalayak sasaran untuk mendapatkan informasi yang mendetail. Informasi tersebut akan membantu dalam perencanaan program komunikasi pemasaran berikutnya. Rencana evaluasi tersebut terbagi menjadi dua kriteria, yaitu Pre-test dan Post-test. Pre-test bertujuan untuk memahami apakah konsep maupun eksekusi program cukup tepat. Pre-test dilakukan sebelum program kampanye berlangsung. Dalam tahap ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan. Tujuan Pre-test adalah sebagai berikut: 1. melakukan pengujian materi kampanye program “Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication” yang telah dirancang. Apakah dapat diterima dan dengan mudah ditangkap oleh khalayak sasaran. Hasil pengujian menjadi masukan dalam strategi kampanye program. ISSN 1858–3717 95 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 2. Mengetahui reaksi responden terhadap materi kampanye program. Reaksi merupakan faktor penting yang harus diukur dalam Pre-test. Melalui pengukuran ini dapat diketahui apakah materi kampanye program berpengaruh kuat dalam membujuk khalayak untuk melakukan pembelian terhadap paket wisata Sumatera Barat; dan apakah pesan dalam materi tersebut melekat di benak khalayak serta memiliki arti yang sama di benak khalayak yang lain. 3.2 Metode Penelitian Pre-test terhadap“Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication” dilakukan dengan menggunakan focus Group Discussion (FGD). FGD disebut juga group interview yang tergolong dalam jenis wawancara terfokus atau terstruktur. FGD menurut Hoed, 1995: 1 dalam Harahap (2012: 60) dirancang dengan tujuan mengungkap persepsi kelompok mengenai suatu masalah. Peneliti mengambil anggota FGD berdasarkan kriteria yang telah disepakati. Hoed menyatakan “menempatkan antara 7 sampai 10. Pastinya jumlah yang terlalu besar (lebih dari 12 orang) akan menyulitkan jalannya diskusi atau analisis” (1995:7). Diskusi FGD biasanya makan waktu maksimum 2 jam, setelah itu biasanya diskusi menjadi tidak efektif. 3.3 Strategi Penentuan Informan FGD akan diterapkan pada dua kategori kelompok, yaitu pengguna (user) dan bukan pengguna (non user). Untuk pengguna, informan yang dipilih merupakan responden atau wisatawan yang telah pernah berkunjung ke Sumatera Barat. Sementara untuk kelompok yang bukan pengguna, informan yang dipilih adalah orang yang belum pernah mendatangi Sumatera Barat. Karakteristik informan sesuai dengan karakteristik pasar sasaran dan khalayak sasaran kepariwisataan Sumatera Barat. 3.4 Mekanisme Penelitian Pada saat FGD berlangsung, kepada informan akan diperlihatkan materi kampanye program “Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication”. FGD dilaksanakan selama kampanye berlangsung yaitu awal sampai pertengahan 2014. Untuk mendukung penelitian penulis menambahkan data sekunder (data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada) berupa data kredit Bank Nagari. Data ini biasanya diperoleh dari studi pustaka seperti artikel, majalah, dan buku-buku yang erat kaitannya dengan penelitian ini, serta sumber-sumber data dari internet yang releven atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu (Hasan, 2006). 4. PEMBAHASAN Pada tahun pertama, penelitian ini akan membantu daerah dalam mendefinisikan dan mengkomunikasikan brand-nya dengan baik; menyarankan kampanye pemasaran yang mampu mengkomunikasikan aneka potensi daerah kepada pasar konsumen dan investor; dan mempertimbangkan definisi dan saran tersebut berdasarkan indikator pengentasan kemiskinan. Pada tahun kedua, dilakukan evaluasi teknis terhadap kinerja komunikator pemasaran Sumatera Barat; perbaikan dari komunikasi pemasaran yang ada untuk mendapatkan kemampuan komunikasi pemasaran yang optimal; dan mengevaluasi apakah pelaku pemasaran daerah tersebut sudah berdaya dan mampu mengurangi kemiskinan? ISSN 1858–3717 96 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Dengan demikian, hasil survey awal program kampanye melalui branding communication yang didapatkan hingga penghujung 2013 akan dikembangkan, dievaluasi, dimonitoring dan dikontrol pada 2014 untuk selanjutnya dievaluasi akhir, dianalisis dan diperbaiki proses desain/ perancangan, pembuatan kampanye komunikasi pemasaran daerah tersebut untuk mendapatkan kondisi maksimal pada 2015. 4.1 Rincian Masalah Sumatera Barat 4.1.1 Daya Saing dan Indikator Daya Saing Daerah (DSD) adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pndapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka n terhadap persaingan domstik maupun internasional (UK-DTI). Daya saing daerah adalah kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya (CURDS). Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian suatu daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik dan internasional (BI). Adapun indikator daya saing nasional adalah: kelembagaan, infrastruktur, lingkungan ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, perkembangan pasar uang, kesediaan teknologi, ukuran pasar, kerumitan bisnis, inovasi Di sisi lain, indikator daya saing daerah adalah: perekonomian daerah, keterbukaan, sistem keuangan, infrastruktur dan sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya manusia, kelembagaan, governance dan ekonomi mikro 4.1.2 Potensi Sumatera Barat Saat ini Sumatera Barat adalah produsen terbesar untuk sektor pariwisata yang mengutamakan objek alam. Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak pada garis 00 54’ Lintang Utara sampai dengan 30 30’ Lintang Selatan serta 980 36’ sampai dengan 1010 53’ Bujur Timur dengan total luas wilayah sekitar 42.297,30 Km2 atau 4.229.730 Ha termasuk ± 391 pulau besar dan kecil di sekitarnya. Secara administratif, Wilayah Provinsi Sumatera Barat berbatasan langsung dengan: 1. Sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Utara. 2. Sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu. 3. Sebelah Timur dengan Provinsi Riau dan Jambi. 4. Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Provinsi ini total luasnya 42.297,30 km2 yang terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota. Kabupaten Mentawai luasnya 6.011,35 km2 atau 14,20%, Pesisir Selatan 5.794,95 km2 atau 13,70%, Solok 3.738,00 km2 atau 9,00%, Sawahlunto Sijunjung 3.130,80 km2 atau 7.40%, Tanah Datar 1.336,00 atau 3,10%, Padang Pariaman 1.328,70 km atau 3,10%, Agam 2.232,30 km2 atau 6,20%, 50 Kota 3.354,30 km2 atau 7,90%, Pasaman 4,447,63 km2 atau 10,50%, Solok Selatan 3.346,20 km2 atau 7,90%, Dharmasraya 2.961,13 km2 atau 7,00%, dan Pasaman Barat 3.387,77 atau 8,00%. Kota Padang luasnya 694,96 km2 atau 1,60%, Solok 57,64 km2 atau 0,13, Sawahlunto 273,45 km2 atau 0,70%, Padang Panjang 23 km2 atau 0,07%, Bukittinggi 25,24 km2 atau 0,10%, Payakumbuh 80,43 km2 atau 0,20%, dan Pariaman 73,36 km2 atau 0,20% (BPS Provinsi Sumatera Barat, 2007 dalam Ekspos Wakil Gubernur Sumbar, 26 Oktober 2013). ISSN 1858–3717 97 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 RPJMD Provinsi Sumatera Barat 2010-2015 dalam Perda No. 5 Tahun 2011 mencantumkan: 1. Visi Sumatera Barat adalah: Terwujudnya masyarakat Sumatera Barat Madani yang adil, sejahtera dan bermartabat 2. Misi Sumatera Barat adalah: 1) Mewujudkan tata kehidupan yang harmonis, agamais, beradat dan berbudaya berdasarkan falsafah ABS-SBK 2) Mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan profesional 3) Mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi 4) Mewujudkan ekonomi masyarakat yang tangguh, produktif, berbasis kerakyatan, berdaya saing regional dan global 5) Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 3. Agenda Sumatera Barat adalah: 1) Peningkatan Penerapan Ajaran Agama dan Budaya Daerah 2) Perbaikan Tata Kelola Pemerintah Daerah 3) Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Pengembangan Iptek 4) Pengembangan Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat 5) Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup 4. Prioritas Sumatera Barat adalah: 1) Pengamalan Agama dan ABS-SBK dalam kehidupan masyarakat 2) Pelaksanaan reformasi birokrasi dalam pemerintahan 3) Peningkatan pemerataan dan kualitas pendidikan 4) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat 5) Pengembangan pertanian berbasis kawasan dan komoditas unggulan 6) Pengembangan industri olahan, perdagangan UMKM, dan iklim investasi 7) Pengembangan kawasan wisata alam dan budaya 8) Penurunan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan daerah tertinggal. 9) Pembangunan infrastruktur penunjang ekonomi rakyat 10) Penanggulangan bencana alam dan pelestarian lingkungan hidup Target makro Sumatera Barat pada 2010 adalah IPM 73,44, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,93%, pendapatan per kapita 17,96 juta, penurunan kemiskinan 9,50%, penurunan pengangguran 6,95%, lama SKLH 8,79 tahun, harapan hidup 70,9 tahun dan disklaimer. Sedangkan pada 2015 IPM 75,84, pertumbuhan ekonomi 7,46%, pendapatan per kapita 28.44 juta, penurunan tingkat kemiskinan 6,95%, penurunan pengangguran 5,13%, lama SKLH 10,75 tahun, tingkat harapaan hidup 72,56 tahun dan WTP (Bappeda Sumbar). Tabel 4.1 Capaian Kinerja Indikator Makro Indeks Pembangunan Manusia Laju Pertumbuhan Ekonomi PDRB Harga Berlaku (Triliun) PDRB Per Kapita (Juta) Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Umur Harapan Hidup (Tahun) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Kemiskinan (%) Sumber: Bappeda Sumbar ISSN 1858–3717 2010 73,78 05,94 87,22 17,93 08,48 69,50 06,95 09,50 2011 74,28 06,25 98,96 20,17 08,57 69,76 06,45 08,99 2012 74,28 06,35 110,10 22,21 08,68 69,76 06,52 08,00 98 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Adapun pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Sumatera Barat seperti tergambar dalam tabel berikut. Tabel 4.2 Capaian Kinerja No. 1. 2. Status Jalan Nasional Jalan Provinsi Panjang Jalan (Km) 1.212 1.153 2012 Baik Km 831 129 Sedang % 69 11 Km 247 938 % 20 81 Rusak Ringan Km % 120 10 64 6 Rusak Berat Km % 14 1 22 2 Adapun rencana pembangunan jalan antarprovinsi Sumatera Barat-Riau pada 2005-2025 adalah tergambar seperti denah berikut. Khusus untuk rencana pembangunan jaringan keretapi seperti tergambar dalam denah berikut. Pembangunan keretapi Bandara Internasional Minangkabau dimaksudkan: ISSN 1858–3717 99 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 1. Untuk mendukung aksesibilitas Bandara Internasional Minangkabau yang direncanakan pembangunan jalan keretapi bandaranya: rel sekitar 4,2 km dari jalan kereta api eksisting (Duku-Bandara). 2. Tahapan yang telah dilaksanakan: a. Studi Kelayakan Tahun 2006 b. Penyusunan Amdal Tahun 2010 c. Penyusunan DED Tahun 2010 3. Tahapan Pembangunan Fisik Seyogyanya melalui APBN Kementerian Perhubungan telah direalisasikan pada tahun anggaran 2011 karena rencana pembangunan fisik telah dibahas dan mendapat persetujuan pada Rakorbangnas 2010. Selain itu pembangunan jaringan keretapi Trans Sumatera mencakup: 1. Pengembangan Kereta Api Sumatera Barat sebagai Jaringan Kereta Api Trans Sumatera, dengan dukungan Kementerian Perhubungan seyogyanya telah dilaksanakan dengan tahapan kegiatan padaa pembangunan short cut jalan kereta api Padang-Solok. 2. Tahapan yang telah dilaksanakan: a. Studi Kelayakan Tahun 2007 b. Pra DED Tahun 2009 c. Penyusunan DED Tahun 2010 3. Rencana Pembangunan 2011 Diharapkan melalui APBN Kementerian Perhubungan untuk pelaksanaan studi kelayakan dan DED pada lintas Solok-Sawahlunto Sijunjung-Dharmasraya-Muaro Bungo (Provinsi Jambi). Adapun pembangunan transportasi udara terbagi dalam tiga tahap. Pada tahun rencana 2009 arah pengembangannya pembangunan fasilitas Bandara Internasional Minangkabau (BIM) mencakup: 1. Pengamanan pantai sepanjang BIM 2. Penunjang pengamanan bandara dari ancaman lingkungan 3. Pembangunan Parallel Runway 4. Jalan alternatif BIM ke Padang Selain itu juga dilakukan: 1. Pengembangan atau peningkatan fasilitas Bandara Rokot, Mentawai 2. Pengembangan fasilitas embarkasi haji 3. Pengembangan fasilitas kargo Pada Tahun Rencana 2016 pengembangan fasilitas penerbangan menuju bandara berstandar internasional, meliputi runway, taxiway, apron, dan terminal penumpang. Selain itu juga dilakukan: 1. Pembangunan bandara baru di Siberut 2. Pembangunan bandara khusus di Dharmasraya 3. Pembangunan bandara khusus di Piobang 4. Pengembangan atau peningkatan fasilitas bandara eks Minas Lumber 5. Pengembangan atau peningkatan fasilitas bandara khusus Tidar Kerinci Agung. Pada Tahun Rencana 2028 dilakukan peningkatan bandara di Dharmasraya. Di sampingh itu juga dikembangkan pembangunan bandara udara baru yang berfungsi three in one sebagai bandara darurat atau evakuasi bencana atau tsunami atau perang. ISSN 1858–3717 100 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Penerbangan sipil dan fungsi jalan raya di Mentawai, di daerah Pei-pei (Siberut), Silabu (Pagai Utara), dan SP-2 (Sipora) juga dilakukan. Adapun transportasi laut pembangunannya mencakup penanganan upaya jaringan prasarana yang meliputi peningkatan fasilitas utama dan fasilitas pendukung pelabuhan. Pembangunan baru didasarkan pada proyeksi kebutuhan orang dan barang yang akan diangkut melalui pelabuhan. Skenario penanganan jaringan prasarana transportasi laut di Pelabuhan Teluk Bayur dibagi atas beberapa tahun rencana sebagai berikut: 1. Tahun Rencana 2009 adalah Pembangunan Pelabuhan Teluk Tapang 2. Tahun Rencana 2011 adalah peningkatan pelabuhan-pelabuhan pengumpan feeder: a. Painan b. Sioban c. Muara Sikabaluan d. Tua Pejat 3. Tahun Rencana 2028 dilakukan a. Pembangunan Pelabuhan Regional Pasaman dan Tiku b. Peningkatan dan Pengembangan Pelabuhan Regional. Dari segi potensi sumberdaya energi. Sumatera Barat mempunyai beberapa sumberdaya yang sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, seperti tenaga air dan batubara. Dewasa ini telah berjalan dua Pusat listrikj Tenaga Air, yaitu PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak dengan kapasitas yang cukup besar. Karena daerah ini juga mempunyai tambang batubara, telah dibangun pula PLTU Ombilin dan sedang dibangun pula PLTU Bungus yang keduanya juga mempunyai kapasitas cukup besar. Potensi pembangkit tenanga listrik yang cukup besar. Dari segi komoditas unggulan, Sumatera Barat mengunggulkan kakao, kopi, manggis, jagung, sapi, unggas, kambing, tuna, nila, dan kerapu. Khusus untuk potensi pariwisata, Sumatera Barat mengunggulkan Kota Padang dengan Pantai Air Manisnya, Kota Bukittinggi dengan Panoramanya, Kota Sawahlunto dengan Wisata Tambang Batubara Ombilinnya, Kabupaten 50 Kota dengan Lembah Haraunya, Kabupaten Pesisir Selatan dengan Kawasan Mandehnya, Kabupaten Solok dengan Danau Kembarnya, Kabupaten Tanah Datar dengan Istano Pagaruyungnya, Kabupaten Padang Pariaman dengan Ulakan Tapakisnya, Kabupaten Agam dengan Danau Maninjaunya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Sijunjung dengan Batang Kuantannya, Kabupaten Pesisir Selatan dengan Jembatan Akarnya, Kabupaten Solok dengan Danau Singkaraknya, Kota Padang Panjang dengan Pusat Dokumentasinya, Kota Payakumbuh dengan Ngalau Indahnya, Kota Pariaman, Kota Solok dengan Pulau Belibisnya, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Solok Selatan. 4.1.3 Peluang Investasi Peluang investasi di Sumatera Barat mencakup: 1. Peluang Investasi infrastruktur 1) Pembangunan Jalan tol Padang-Batas Riau 2) Pembangunan Jalur Kereta Api Short Cut Padang-Solok 3) Pembangunan Bandar Udara Perintis Piobang, Kabupaten Lima Puluh Kota 4) Jembatan Ngarai Sianok 5) Jalan padang Monorail 6) Jalan Alternatif ke Teluk Bayur ISSN 1858–3717 101 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 2. 3. 4. 5. 6. Peluang Investasi Penyediaan Air Minum Kota Padang Peluang Investasi Pengolahan Limbah Padat kota Padang Peluang Investasi Ketenagalistrikan Peluang Investasi Sumberdaya Mineral Non Logam dan Batuan Peluang Investasi di Bidang Perikanan. Saat ini Sumatera Barat adalah daerah tujuan wisata terbesar untuk jenis keindahan alam dan atraksi wisatanya. Hal itu dapat dilihat dari Pantai Air Manis, Panorama, Tambang Batubara Ombilin, Lembah Harau, Kawasan Mandeh, Danau Kembar, Istano Pagaruyung, Ulakan Tapakis, Danau Maninjau, Kepulauan Mentawai, Batang Kuantan, Jembatan Akar, Danau Singkarak, Pusat Dokumentasi, Ngalau Indah, Kota Pariaman, Pulau Belibis, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Solok Selatan. Dengan hanya memasukkan Sumatera Barat sebagai salah satu daerah transit_bukan daerah tujuan utama_dalam paket-paket tujuan wisata nusantara, Sumatera Barat seakan tidak dikenal. Namanya tenggelam jika dibandingkan dengan daerah tujuan wisata lainnya seperti Jawa dan Bali. Hal ini dapat dilihat dari daftar peluang investasi di Sumatera Barat yang masih belum berubah banyak dari tahun ke tahun serta kegiatan promosi yang dilakukan Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk daerah ini. Hal ini mengakibatkan ketidaktahuan wisatawan domestik dan mancanegara akan keunggulan pariwisatanya dan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan aksi pembelian (purchase) yang rendah sehingga target penjualan tidak terpenuhi. Upaya promosi dari Pusat yang agak menonjol adalah memasukkan event tertentu di daerah ini ke dalam Kalender Pariwisata 2014. Ini pun tidak menjamin wisatawan sebagai konsumen akan mempunyai perilaku membeli produk wisatanya secara berulang (repeat purchase). Berdasarkan data dari Focus Group Discussion, masalah yang dialami oleh Sumatera Barat adalah masih belum kuatnya penyampaian informasi pemasaran dalam pengenalan produk wisata dan kelebihannya. 4.2 Solusi Masalah Solusi dari masalah yang dihadapi Sumatera Barat adalah menciptakan strategi komunikasi yang berbeda. Komunikasi akan mengutamakan pengenalan yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan objek dan atraksi wisaata Sumatera Barat kepada wisatawan domestik dan mancanegara sehingga mereka mengetahui keunggulan Sumatera Barat dan menjadikannya sebagai pilihan daerah tujuan wisata. Strategi akan dilakukan dengan Program Prerencanaan Komunikasi Terpadu (Integrated Marketing Communication). Program ini bersifat hardsell, karena tujuan program ini adalah untuk meningkatkan persentase penjualan produk. Slogan di kabupaten dan kota di Sumatera Barat kurang mencerminkan kekhasan daerah masing-masing, lebih terkesan sebagai pernyataan diri yang tidak memperlihatkan karakter daerah tersebut. Misalnya: “Padang Kota Tercinta: Kujaga dan Kubela” Kebanyakan daerah di Sumatera Barat dalam melakukan branding belum memikirkan logo dengan jelas, padahal logo penting untuk membangun ingatan sekalkigus menunjukkan personalitas kota atau kabupaten yang bersangkutan. Hal ini dimaklumi karena beberapa daerah di provinsi ini baru berdiri akibat pemekaran, seperti Pasaman Barat dan Solok Selatan. Kebanyakan daerah di Sumatera Barat masih terjebak pada promosi parsial untuk kegiatan terjadwal secara reguler, seperti tourism exhibition dan seminar potensi ISSN 1858–3717 102 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 daerah yang dimaksudkan sebagai investment exhibition di beberapa negara. Sumatera Barat bahkan tidak dapat menyelenggarakan promosi-promosi parsial ini karena statusnya tidak diundang, baik dari negara tuan rumah maupun Departemen Pariwisata Indonesia. Kegiatan yang dipadati peserta dari puluhan bahkan ratusan negara_sehingga semakin sulit dalam bersaing_itu bahkan hanya diikuti oleh seorang staf departemen pariwisata pusat dengan alasan anggaran yang terbatas. Dengan demikian semakin sulit bagi daerah-daerah di Sumbar untuk mewujudkan city branding. “City branding haruslah externally dan internally inspiring, secara eksternal memng berbeda dari daerah atau negara lainnya dan secara internal menginspirasi masyarakat untuk berbuat banyak bagi keberhasilan daerah itu” (Sumardy, Konsultan OctoBrand dalam SWA 13/XXIII/14-27 Juni 2007) Berdasarkan pre-test yang dilakukan sebelum program kampanye berlangsung, pengetahuan wisatawan terhadap objek dan atraksi wisata Sumatera Barat dinilai masih rendah, karena kurangnya promosi program komunikasi Sumatera Barat. Dalam tahap ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan. Untuk meningkatkan pembelian khalayak sasaran serta menjadikan Sumatera barat sebagai brand preference di antara pesaingnya, digunakan strategi Promosi Komunikasi Pemasaran Terpadu atau Integrated Marketing Communication (IMC). Kegiatan kampanye dibagi menjadi dua bagian: pertama kampanye tematik yang bertujuan untuk mempopulerkan kampanye pemasaran Sumatera Barat sekaligus memperluas informasi mengenai objek dan atraksi wisatanya. Kedua adalah kampanye taktikal yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan sekaligus mengingatkan konsumen terhadap brand Sumatera Barat agar awareness tetap terjaga (recall). Dalam kampanye program komunikasi pemasaran terpadu dari Sumatera Barat terdapat big idea atau inti pesan yang menjadi tema utama kampanye. Penentuan the big idea diambil dari kekuatan Sumatera Barat yang mempunyai banyak keunggulan dalam objek dan atraksi wisata yang dijual dengan harga yang terjangkau, dan masyarakatnya yang ramah terhadap pendatang serta sedang membutuhkan investor. Maka dirumuskan the big idea yang akan digunakan untuk tema pesan kampanye komunikasi pemasaran terpadu Sumatera Barat yakni: “Berlibur dan Berinvestasi di Kampung Halaman Para Leluhur”. Rasional dari big idea tersebut adalah Sumatera Barat merupakan daerah tujuan wisata yang memanjakan wisatawan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, karena dianggap kampung halaman. Bagi wisatawan Eropa kedatangan mereka umumnya ingin mengilas balik kehidupan nenek moyang mereka, seperti wisatawan Belanda, Inggris, Jerman, Jepang dan Cina. Sehubungan dengan itu adalah strategi jitu jika Sumatera Barat bisa membuat mereka seolah mendatangi kampung halaman leluhur mereka dengan menyajikan atraksi dan objek wisata yang bisa membangkitkan kenangan akan leluhur atau menciptakan suasana yang mewakili kehidupan nenek moyang mereka saat berada di Indonesia. Kampanye Sumatera Barat Periode tahun 2014 memiliki positioning berdasarkan penonjolan harga dan mutu. Upaya menjadikan Sumatera Barat menjadi tujuan wisata dan daerah investasi adalah untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan investor dari segi kepuasan berwisata dan berbisnis, atau secara positioning berdasarkan penonjolan karakteristik produk dan penggunaannya. Pengembangan strategi kreatif dituntun oleh tujuan dan sasaran serta didasari oleh sejumlah faktor yang meliputi target, masalah dasar periklanan, dan sasaran pesan. ISSN 1858–3717 103 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Adapun pendekatan dalam pengerjaan strategi kreatif untuk membuat eksekusi iklan sebagai berikut. 1. Generic, yaitu menekankan pada faktor-faktor dan manfaat produk 2. Preemptive, serupa dengan strategi generik, tetapi strategi ini lebih menonjolkan superioritas dan merupakan pernyataan yang unik, yang belum pernah diklaim oleh produk dari kategori sejenis. 3. Informational, yaitu memberikan fakta mengenai produk dan atribut yang dimiliki 4. Credibility, yaitu meningkatkan kepercayaan dan mengurangi persepsi mengenai adanya risiko atau efek negatif dari produk. 5. Emotion, yaitu mengaitkan nilai afektif yang dimiliki konsumen dan prospek agar dapat merespon pesan produk dengan perasaan atau emosi mereka. 6. Association, yaitu menciptakan hubungan psikologis antara produk dengan konsumen dan prospek. 7. Lifestyle, yaitu menggunakan siatusi tertentu atau simbol dari sebuah gaya hidup. 8. Incentive, yaitu dengan menciptakan ganjaran yang dirasakan apabila menggunakan produk. 9. Reminder, yaitu menjaga produk agar tetap menjadi top of mind targetnya. 10. Interactive, yaitu menciptakan komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membuka jalan komunikasi dengan konsumen dan menjadikan feedback mereka sebagai suatu masukan (Duncan, 2008: 288). Hingga pelaksanaan event Tour de Singkarak, 7-15 Juni 2014 belum begitu terlihat keikutsertaan masyarakat dari seluruh lapisan di Sumatera Barat untuk mempromosikan branding daerahnya masing-masing. Keterlibatan masyarakat (horizontal branding) relatif masih kurang dibanding vertical branding (iklan-iklan). Setelah event daerah Sumbar ini diambil alih Pusat, Yogya dengan seizin Pusat juga melakukan intervensi dengan mencetak logo dan slogan daerah Sumbar di baju kaos, topi dan cenderamata lainnya. Tidak bisa dikatakan masyarakat setempat bangga dengan logo dan slogannya karena yang mensosialisasikannya bukanlah mereka, bahkan harga yang dipatok pun relatif mahal. Sehelai baju kaos dengan mutu standar yang mungkin bisa dijual standar Rp. 50.000 dijual menjadi Rp. 150.000, bahkan lebih. Survey lapangan juga menunjukkan para birokrat Sumbar pun belumlah mampu menjelaskan konsekuensi dari atau pemahaman terhadap logo daerah. Jadi cukup miris jika mereka diamanatkan untuk merangkul (embarcing) turis dan investor. Perlu sebuah kursus atau lokakarya terpadu untuk solusinya. Karena tujuan komunikasi Sumatera Barat berada pada tahap konatif, maka pendekatan yang digunakan dalam pengerjaan strategi kreatif kampanye Sumatera Barat Periode Tahun 2014 adalah dengan memadukan strategi incentive, reminder, dan interactive yang berfokus untuk menggerakkan khalayak untuk segera melakukan pembelian atau berkunjung dan berinvestasi ke Sumatera Barat dan selalu ingat dengan Sumatera Barat. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Pre-test bertujuan untuk memahami apakah konsep maupun eksekusi program cukup tepat. Pre-test dilakukan sebelum program kampanye berlangsung. Dalam tahap ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang ISSN 1858–3717 104 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan. Tujuan Pre-test adalah sebagai berikut: 1. melakukan pengujian materi kampanye program “Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication” yang telah dirancang. Apakah dapat diterima dan dengan mudah ditangkap oleh khalayak sasaran. Hasil pengujian menjadi masukan dalam strategi kampanye program. 2. Mengetahui reaksi responden terhadap materi kampanye program. Reaksi merupakan faktor penting yang harus diukur dalam Pre-test. Melalui pengukuran ini dapat diketahui apakah materi kampanye program berpengaruh kuat dalam membujuk khalayak untuk melakukan pembelian terhadap paket wisata Sumatera Barat; dan apakah pesan dalam materi tersebut melekat di benak khalayak serta memiliki arti yang sama di benak khalayak yang lain. Selanjutnya, penelitian ini menyarankan agar setelah kampanye diselenggarakan, diselenggarakan pula post-testyang bertujuan untuk mengetahui apakah tujuan program komunikasi pemasaran tercapai dengan melihat dampak kognisi, afeksi, maupun konasi yang terjadi pada khalayak sasaran. Post-test dilakukan setelah program komunikasi pemasaran diterapkan, baik pada saat periode kampanye berjalan maupun setelah kampanye berakhir. Post-test ini akan mengukur tingkat dorongan untuk melakukan pembelian terhadap kepariwisataan Sumbar pada benak khalayak sasaran, sehingga akan terukur efektifitas pesan dan pemilihan elemen promosi yang telah digunakan. DAFTAR PUSTAKA Kasali, Rhenald. 1995. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti. Kasali, Rhenald. 2004. “Bukan Sekedar Promosi tapi Kredibilitas, Suara Pembaruan, 21 Januari. Kottler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Prehalindo Marketing Partner, Inc. 2003. “Brand Communication´,http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm Marketing Partner, Inc. 2003. “Branding´,http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm Marketing Partner, Inc. 2003. “20 Question to Determine How Are You Building and Communicating Value in Your Organization?´, http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm Osborne, David dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus.2003. Economics, MC Graw Hill. Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran. Remaja Rosdakarya. Yuswohady. 2004. ’Branding Indonesia”, http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=3&rid=172449&kat_i d1=149&kat_id2=259 ISSN 1858–3717 105