BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ambliopia adalah berkurangnya ketajaman penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun sudah dengan koreksi kaca mata terbaik tanpa ditemukan kelainan struktur pada mata maupun lintasan penglihatan bagian belakang. Ambliopia disebabkan oleh pengalaman penglihatan yang abnormal pada awal kehidupan yang dihasilkan dari salah satu dari hal berikut: strabismus; kelainan refraksi antara kedua mata yang berselisih jauh (anisometropia) atau kelainan refraksi antara kedua mata yang tinggi (isometropia); atau kekurangan stimulus (American Academy of Ophthalmology, 2011a). Ambliopia bertanggung jawab untuk penurunan penglihatan pada satu mata dengan awal kemunculan pada masa kanak-kanak dibandingkan bila semua penyebab lainnya digabungkan, dengan prevalensi 2- 4% pada populasi Amerika Utara. Kenyataan ini sangat menyedihkan karena, pada prinsipnya, gangguan penglihatan yang paling ambliopik pun dapat dicegah atau reversibel dengan deteksi tepat waktu dan intervensi yang tepat. Anak-anak dengan ambliopia atau berisiko untuk ambliopia harus diidentifikasi pada usia muda, karena prognosisnya baik bila pengobatan yang diberikan berhasil. Penapisan memainkan peran penting dalam mendeteksi ambliopia dan masalah penglihatan lain pada usia dini dan dapat dilakukan di layanan primer sehingga memungkinkan dokter layanan primer untuk membantu mengkoordinasikan perawatan pasien tersebut, atau pada penapisan masalah penglihatan berbasis komunitas. Penapisan ulang 1 2 penting untuk terus memeriksa perkembangan masalah penglihatan dan membantu dalam mendeteksi hasil positif palsu. Konsensus mengenai metode terbaik dan usia yang tepat untuk penapisan belum disepakati (American Academy of Ophthalmology, 2011a). Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada siswa kelas I Sekolah Dasar (SD) di Kotamadya Bandung pada tahun 1989 adalah sebesar 1,56% (Sastraprawira, 1989). Triyanto (2006) telah melakukan penelitian tentang ambliopia pada 54.260 siswa SD di 13 kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2005. Penelitian tersebut menggunakan kriteria ambliopia yaitu visus dengan koreksi terbaik ≤ 20/30, dan terdapat paling sedikit perbedaan pembacaan 2 baris optotipe Snellen antara mata kanan dan kiri, menggunakan teknik crowding phenomenon, neutral density filter, dan tidak ditemukannya kelainan organik. Hasil dari penelitian ini ternyata hanya menemukan prevalensi ambliopia sebesar 0,32%. Penelitian mengenai ambliopia pada 2.268 siswa SD usia 7-13 tahun di Yogyakarta pada tahun 2008 mendapatkan hasil prevalensi ambliopia sebesar 1,5%, di daerah pedesaan sebesar 0,98% dan di daerah perkotaan sebesar 1,93%, dengan penyebab ambliopia terbanyak pada studi tersebut adalah anisometropia yaitu sebesar 44,4% (Suhardjo et al., 2008). Penelitian mengenai ambliopia pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejauh ini belum dilakukan di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian “berapakah prevalensi ambliopia pada siswa SMP di DIY?” dan “bagaimanakah 3 hubungan faktor risiko kelainan refraksi terhadap kejadian ambliopia pada siswa SMP di DIY?”. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi ambliopia dan hubungan antara faktor risiko kelainan refraksi dengan kejadian ambliopia pada siswa SMP di DIY. D. Keaslian Penelitian Triyanto (2006) dalam penelitiannya melaporkan angka prevalensi ambliopia pada anak SD di 13 kecamatan di DIY sebesar 0,32%. Penelitian mengenai ambliopia pada 2.268 siswa SD usia 7-13 tahun di Yogyakarta pada tahun 2008 mendapatkan hasil prevalensi ambliopia sebesar 1,5%, di daerah pedesaan sebesar 0,98% dan di daerah perkotaan sebesar 1,93% (Suhardjo et al., 2008). Awan et al. (2010) melaporkan prevalensi ambliopia pada 200 siswa SMP kelas 6-8 di Lahore, Pakistan sebesar 3%. Faghihi et al. (2012) melaporkan hasil cross-sectional berbasis populasi di Varamin, Iran, terhadap siswa SMP yang berusia 14-18 tahun yaitu prevalensi ambliopia sebesar 2,1% dan anisometropia menjadi penyebab yang paling umum (54,2%). E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini berupa nilai prevalensi ambliopia pada siswa SMP di DIY sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar-dasar kebijakan dalam membuat strategi peningkatan optimalisasi penglihatan pada anak sekolah.