this PDF file

advertisement
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
283
Original Article
Amblyopia among Junior High School Students
Kuntadi Wahyu Widadi, Suhardjo, Hartono
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University
Yogyakarta
ABSTRACT
Background: To determine the prevalence of amblyopia and correlation between the type of refractive
error with the incidence of amblyopia on junior high school students in Yogyakarta Special Province.
Methods: A cross-sectional study was conducted on one school in each district/city in Yogyakarta
Special Province. All students underwent visual acuity, anterior segment and fundus examination. Best
corrected visual acuity test was done on students with decreased visual acuity. Crowding phenomenon,
neutral density ilter, and eyeball alignment test were done on suspected amblyopic students. Amblyopia
was deined if corrected visual acuity ≤6/12 or less in one or both eyes, or the difference of at least two
best corrected visual acuity lines, without organic pathology.
Results: A total of 1,664 students were examined, 1,590 were analyzed, 773 (48.6%) boys, 817 (51.4%)
girls. There are 1,272 (80%) emetropia, 308 (19.4%) refractive errors, 1 (0.1%) anterior segment
abnormality, 9 (0.6%) posterior segment disorders. On refractive error students obtained 359 (62.4%)
eyes myopia, 2 (0.3%) eyes hyperopia, and 214 (37.2%) eyes astigmatism. Amblyopia prevalence was
1.07% (17 of 1,590 students), 8 (47.0%) boys and 9 (53.0%) girls. Astigmatism signiicantly affect
the incidence of amblyopia, odds ratio 10.959 (95% CI: 3.189 to 37.667). The axis of astigmatism
cylinder has no effect on the incidence of amblyopia. Anisometropia signiicantly affect the incidence
of amblyopia, odds ratio 13.109 (95% CI: 4.618 to 37.208).
Conclusion: Amblyopia prevalence on junior high school students in Yogyakarta Special Province was
1.07% with astigmatism and anisometropia inluenced the occurrence.
Keywords: Amblyopia, prevalence, refractive error, astigmatism, anisometropia
Ambliopia adalah berkurangnya ketajaman
penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun
sudah dengan koreksi kaca mata terbaik tanpa
ditemukan kelainan struktur pada mata maupun
lintasan penglihatan bagian belakang. Ambliopia
disebabkan oleh pengalaman penglihatan yang
abnormal pada awal kehidupan yang dihasilkan dari
salah satu dari hal berikut: strabismus; anisometropia
atau kelainan refraksi kedua mata yang tinggi
(isoametropia); atau kekurangan stimulus.1
Rangsangan penglihatan sangat penting
untuk perkembangan penglihatan normal. Perkembangan jalur penglihatan dalam sistem saraf
pusat mengharuskan otak menerima bayangan
yang sama jelas dan terfokus dari kedua mata.
Periode pematangan penglihatan adalah periode
kritis di mana sistem penglihatan dipengaruhi
oleh pengaruh luar. Sebagian besar pematangan
sistem penglihatan diperkirakan terjadi selama 3
tahun pertama kehidupan, meskipun beberapa
284
plastisitas masih ada antara 3 hingga 8 tahun,
atau mungkin bahkan lebih lama pada beberapa
kasus. Setiap proses yang secara signiikan
mengganggu atau menghambat perkembangan
jalur penglihatan dalam otak dapat menyebabkan
ambliopia.2
Gangguan penglihatan yang paling
ambliopik pun dapat dicegah atau reversibel
dengan deteksi tepat waktu dan intervensi
yang tepat. Anak-anak dengan ambliopia atau
berisiko untuk ambliopia harus diidentiikasi
pada usia muda, karena prognosisnya baik bila
pengobatan yang diberikan berhasil. Penapisan
memainkan peran penting dalam mendeteksi
ambliopia dan masalah penglihatan lain pada
usia dini dan dapat dilakukan di layanan primer
sehingga memungkinkan dokter layanan primer
untuk membantu mengkoordinasikan perawatan
pasien tersebut, atau pada penapisan masalah
penglihatan berbasis komunitas.1
Ambliopia adalah penyebab paling umum
kehilangan penglihatan monokuler pada
anak-anak dengan estimasi prevalensi 1-5%,
tergantung pada populasi dan penelitiannya.3
Prevalensi ambliopia yang terdeteksi pada anakanak diperkirakan antara 0,2 dan 5,4% dan pada
dewasa antara 0,35 dan 3,6%.4 Brown et al.5
menemukan prevalensi ambliopia unilateral pada
populasi dewasa di Victoria, Australia sebesar
3,06%. Drover et al.6 memperkirakan ambliopia
sebesar 4,7% pada 946 anak-anak (rata-rata
usia 4,2 tahun) di provinsi Newfoundland dan
Labrador, Kanada. Khalaj et al.7 mendapatkan
prevalensi ambliopia sebesar 6,37% pada 5903
anak-anak usia 7-15 tahun di kota Qazvin, di
timur laut Iran. Chia et al.8 melakukan penelitian
pada 3.009 anak-anak Singapura berusia
6 hingga 72 bulan dan mendapatkan hasil
prevalensi ambliopia pada anak-anak usia 30-72
bulan sebesar 1,19%. Awan et al.9 melaporkan
prevalensi ambliopia pada 200 siswa SMP kelas
6-8 di Lahore, Pakistan sebesar 3%. Yekta et
al.10 mendapatkan 2,31% ambliopia dari 2.638
anak sekolah (usia rata-rata 12,5 tahun) di
Shiraz, Iran. Shresthaa et al.11 memeriksa 2.236
anak sekolah di Jhapa, Nepal dan mendapatkan
prevalensi ambliopia sebesar 2,01%. Fu et al.12
melakukan pemeriksaan pada 3.112 murid SD
tahun pertama (usia rata-rata 7,1 tahun) di Cina
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
pusat, dan sebanyak 2.893 (93.0 %) murid yang
menjalani pemeriksaan lengkap, didapatkan
prevalensi ambliopia sebesar 1,0%. Variasi
angka prevalensi antara satu penelitian dengan
penelitian lain sebagian disebabkan oleh adanya
perbedaan kriteria diagnosis dan usia sampel
yang diikutkan dalam penelitian tersebut.12
Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada
siswa kelas I Sekolah Dasar (SD) di Kotamadya
Bandung pada tahun 1989 adalah sebesar
1,56%.13 Triyanto14 telah melakukan penelitian
tentang ambliopia pada 54.260 siswa SD di
13 kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) pada tahun 2005 dengan hasil hanya
menemukan prevalensi ambliopia sebesar
0,32%. Penelitian mengenai ambliopia pada
2.268 siswa SD usia 7-13 tahun di Yogyakarta
pada tahun 2008 mendapatkan hasil prevalensi
ambliopia sebesar 1,5%, di daerah pedesaan
sebesar 0,98% dan di daerah perkotaan sebesar
1,93%, dengan penyebab ambliopia terbanyak
pada studi tersebut adalah anisometropia
yaitu sebesar 44,4%.15 Akan tetapi, penelitian
mengenai ambliopia pada siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sejauh ini belum
dilakukan di Indonesia sehingga angka prevalensi ambliopia pada siswa SMP di DIY pun
belum didapatkan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko
ambliopia pada siswa SMP di DIY.
MATERIAL DAN METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa SMP di DIY pada
tahun 2014. Pengambilan sampel dilaksanakan
sejak akhir Februari hingga akhir April 2014
dengan cara cluster sampling dan sebagai unit
sampelnya adalah siswa di salah satu SMP di
tiap kabupaten/kota di DIY. Sampel penelitian
dalam penelitian ini adalah yang memenuhi
kriteria inklusi: siswa SMP di DIY yang berusia
12-15 tahun; dan bersedia ikut dalam penelitian
dengan menunjukkan informed consent yang
telah ditandatangani wali murid. Siswa yang
tidak kooperatif saat pemeriksaan, diekslusi
dalam penelitian ini.
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
Setelah ada pernyataan kelaikan etik dan
perizinan, penelitian dilakukan di SMP yang dipilih
dengan sebelumnya mendapatkan persetujuan
tertulis dari orang tua siswa. Pemeriksaan dilakukan
di sekolah secara langsung oleh peneliti meliputi
ketajaman penglihatan jauh menggunakan optotipe
Snellen pada jarak 6 m dengan pencahayaan standar
dan koreksi terbaik yang dapat dilakukan bila
terdapat kondisi kelainan refraksi pada tiap mata
menggunakan lensa coba dengan dipandu hasil
pemeriksaan dengan autorefraktometer. Siswa
yang hanya mencapai tajam penglihatan ≤ 6/12
dengan koreksi terbaik, selanjutnya menjalani
pemeriksaan tambahan: funduskopi direk, crowding
phenomena, neutral density ilter test, pola iksasi,
dan keselarasan okuler. Siswa yang mencapai
tajam penglihatan ≥6/9 – 6/6, selanjutnya menjalani
pemeriksaan tambahan: funduskopi direk, pola
iksasi, dan keselarasan okuler.
Ambliopia ditetapkan bila adanya penurunan ketajaman penglihatan yang dibuktikan
dengan pemeriksaan ketajaman penglihatan
menggunakan optotipe Snellen dengan koreksi
terbaik ≤6/12, dan atau terdapat paling sedikit
perbedaan pembacaan 2 baris optotipe Snellen
antara mata kanan dan kiri, dan tidak ditemukan
kelainan organik. Penelitian ini mendeskripsikan
secara analitik angka prevalensi ambliopia, serta
menentukan odds ratio hal-hal yang berkaitan
dengan kelainan refraksi terhadap kejadian
ambliopia pada siswa SMP di DIY.
HASIL
Pengambilan sampel dilaksanakan pada salah
satu SMP di masing-masing kabupaten/kota
di DIY. Sebanyak 1.664 siswa menjalani
pemeriksaan dengan rerata usia 13,8±1,0 tahun,
namun 74 siswa tidak diikutkan dalam analisis
karena ada yang berusia <12 tahun dan ada
yang berusia >15 tahun. Dari 1.590 siswa yang
dianalisis, terdapat 773 (48,6%) siswa laki-laki
dan 817 (51,4%) siswa perempuan. Sebanyak
1.272 (80%) siswa emetropia, 308 (19,4%)
siswa dengan kelainan refraksi, 1 (0,1%) siswa
dengan kelainan segmen anterior, dan 9 (0,6%)
siswa dengan kelainan segmen posterior.
Di antara 308 siswa dengan kelainan
refraksi, terdapat 17 siswa yang mengalami
285
ambliopia, 8 (47,0%) siswa laki-laki dan
9 (53,0%) siswa perempuan sehingga nilai
prevalensi ambliopia pada 1.590 siswa SMP
dalam penelitian ini didapatkan sebesar 1,07%.
Dari 308 siswa dengan kelainan refraksi,
terdapat 575 mata yang mengalami kelainan
refraksi, yaitu 359 (62,4%) mata mengalami
miopia, 2 (0,4%) mata mengalami hiperopia,
dan 214 (37,2%) mata mengalami astigmatisme.
Hubungan antara kelainan refraksi astigmatisme (pada 214 (37,2%) mata) dan nonastigmatisme (miopia dan hiperopia pada 361
(62,8%) mata) terhadap kejadian ambliopia
ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Prevalensi ambliopia pada mata astigmatisme
dibandingkan dengan mata non-astigmatisme
Kelainan Refraksi
Ambliopia
Total
(+)
(-)
n (%)
n (%)
n (%)
18 (8,4) 196 (91,6) 214 (100,0)
3 (0,8) 358 (99,2) 361 (100,0)
21 (3,7) 554 (96,3) 575 (100,0)
Astigmatisme
Non-astigmatisme
Total
p=0,000
OR=10,959 (CI 95%: 3,189 – 37,667)
Dari 18 mata astigmatisme yang mengalami ambliopia, terdapat 12 (66,7%) mata yang
aksis silindernya berada dekat (±15°) dengan
sumbu utama (SU: 90° dan 180°), dan 6 (33,3%)
mata yang aksis silindernya berada jauh dari
sumbu utama.
Tabel 2. Prevalensi ambliopia pada astigmatisme dengan
aksis dekat sumbu utama dibandingkan dengan aksis jauh
sumbu utama.
Aksis Silinder
Ambliopia
(+)
(-)
n (%)
n (%)
12 (8,8) 125 (91,2)
6 (7,8)
71 (92,2)
18 (8,4) 196 (91,6)
±15o SU
>15o SU
Total
p=0,807
OR=1,136 (ci 95%: 0,409-3,158)
Total
n (%)
137 (100,0)
77 (100,0)
214 (100,0)
Dari 308 siswa yang mengalami kelainan
refraksi, didapatkan 32 (10,4%) siswa dengan
anisometropia (perbedaan spherical equivalen
antara kedua mata ≥ 1 D) yang 9 (28,1%) siswa
di antaranya mengalami ambliopia.
286
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
Tabel 3. Prevalensi ambliopia pada siswa dengan
anisometropia dibanding isoametropia
Ambliopia
Total
(+)
(-)
n (%)
n (%)
n (%)
9 (28,1) 23 (71,9) 32 (100,0)
8 (2,9) 268 (97,1) 276 (100,0)
17 (5,5) 291 (94,5) 308 (100,0)
Anisometropia
Isoametropia
Total
p=0,000
OR=13,109 (CI 95%: 4,618-37,208)
Pada penelitian ini, didapatkan pula
beberapa kelainan segmen anterior dan posterior
bola mata yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan, antara lain nebula kornea
(1 siswa), atroi pada saraf optikus (3 siswa),
sikatrik pada makula retina (2 siswa), kecurigaan
adanya glaukoma normotensi (2 siswa), kecurigaan neuropati optik traumatika (1 siswa), dan
kecurigaan retinopati prematuritas (1 siswa).
DISKUSI
Prevalensi ambliopia bervariasi secara luas,
sebagian dikarenakan perbedaan kriteria diagnosis,
teknik pemeriksaan, populasi dan jumlah sampel,
dan faktor risiko yang dipertimbangkan. Nilai
prevalensi ambliopia yang dihasilkan dari
penelitian ini mendekati hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suhardjo et al.15 dengan hasil 1,5%
di daerah pedesaan dan 1,93% di daerah perkotaan;
Chia et al.8 dengan hasil 1,19%; dan Fu et al.12
dengan hasil 1,0%. Hanya saja, penelitian pertama
dilakukan pada siswa SD di DIY, penelitian kedua
dilakukan pada anak-anak Singapura berusia 6
hingga 72 bulan, dan penelitian ketiga dilakukan
pada murid SD tahun pertama (usia rata-rata 7,1
tahun) di Cina pusat sehingga ketiga penelitian
tersebut berbeda dalam hal usia sampel
dibandingkan dengan penelitian ini.
Penelitian lain dengan sampel yang
berusia hampir serupa dengan penelitian ini
adalah penelitian yang dilakukan oleh Awan
et al9; Yekta et al10; dan Faghihi et al16 Ketiga
penelitian ini mendapatkan nilai prevalensi
ambliopia masing-masing 3% pada 200 sampel
siswa SMP kelas 6-8 di Lahore, Pakistan; 2,29%
pada 2.638 sampel anak sekolah usia rata-rata
12,5 tahun di Shiraz, Iran; dan 2,1% pada 1.430
sampel siswa SMP yang berusia 14-18 di Varamin,
Iran. Dibandingkan dengan penelitian ini, ketiga
penelitian di atas berbeda dalam jumlah sampel
dan nilai prevalensi ambliopianya.
Miopia menjadi kelainan refraksi terbanyak
dalam penelitian ini, didapatkan pada 359 mata
(62,4% dari 575 mata). Khalaj et al7 mendapatkan
penderita miopia 65% dari 5.903 siswa berusia
7-15 tahun di Qazvin, di timur laut Iran. Shrestha
et al11 memperoleh 44,79% penderita miopia dari
2236 siswa sekolah (usia antara 5-16 tahun) di
Jhapa, Nepal. Faghihi et al16 mendapatkan 33,2%
dari 1.430 sampel siswa SMP yang berusia 1418 di Varamin, Iran menderita miopia. Namun,
Turcin dan Jompan17 mendapatkan hiperopia
sebagai kelainan refraksi terbanyak dalam
penelitiannya pada 1.121 anak SD berusia 6-11
tahun di Arad, Rumania. Data hasil penelitian ini
dan beberapa penelitian lain di atas membuktikan
adanya pergeseran refraktif bola mata ke arah
miopia sejalan dengan pertambahan usia.
Pada tabel 1, didapatkan nilai signiikansi
<0,05 sehingga disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara astigmatisme dengan kejadian
ambliopia. Risiko perkiraan kejadian ambliopia
pada mata astigmatisme dibandingkan yang
tidak mengalami astigmatisme dapat dinilai dari
hasil odds ratio. Dari nilai di atas, ternyata mata
astigmatisme memiliki risiko hampir 11 kali
untuk menjadi ambliopia dibanding yang tidak
mengalami astigmatisme.
Dalam penelitian ini, dari 575 mata dengan
kelainan refraksi, didapatkan 21 (3,7%) mata
mengalami ambliopia yang 18 mata di antaranya
adalah mata dengan astigmatisme. Kondisi
astigmatisme ini secara signiikan menyebabkan
risiko kejadian ambliopia 11 kali dibandingkan
kelainan refraksi lain. Hal ini dikarenakan dalam
penelitian ini didapatkan sedikit sampel yang
mengalami hiperopia (hanya 2 mata; 1 mata yang
mengalami ambliopia perlu koreksi S +6,00 D)
dan sedikitnya sampel miopia yang mengalami
ambliopia (hanya 2 mata dengan koreksi S -1,75
D dan S -3,25 D dari 359 mata dengan miopia).
American Optometric Association18 dalam
Optometric Clinical Practice Guideline for the
Care of the Patient with Amblyopia, menyatakan
bahwa hiperopia >5,00 D, miopia >8,00 D, dan
astigmatisme >2,50 D merupakan penyebab yang
sering mengakibatkan ambliopia isoametropia.
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
Dari tabel 2, nilai signiikansi hubungan
antara aksis silinder dengan kejadian ambliopia
adalah >0,05 sehingga dapat dinilai bahwa
pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
signiikan antara aksis silinder astigmatisme
dengan kejadian ambliopia astigmatisme. Hasil
ini lebih diperkuat dari nilai odds ratio sebesar
1,136 (CI 95%: 0,409-3,158) untuk menunjukkan
seberapa besar kemungkinan kejadiaan ambliopia
dihubungkan dengan letak aksis silinder.
Pada penelitian ini didapatkan 18 mata
astigmatisme yang mengalami ambliopia, 12
mata aksis silindernya berada dekat (±15°)
dengan sumbu utama (SU: 0°, 90° dan 180°), dan
6 mata aksis silindernya berada jauh (>15°) dari
sumbu utama. Dari uji statistik yang dilakukan
ternyata tidak ada perbedaan signiikan antara
kedua lokasi aksis silinder ini terhadap kejadian
ambliopia. Padahal menurut Gunawan19, aksis
silinder yang jauh dari sumbu utama 13 kali lebih
berisiko menyebabkan ambliopia dibandingkan
dengan aksis silinder yang dekat sumbu utama.
Abrahamsson dan Sjostrand20 menyatakan bahwa
sudut aksis astigmatisme secara kuat berhubungan
dengan risiko berkembangnya ambliopia dan aksis
±15° dari aksis utama tidak memberi efek pada
risiko ambliopia, tetapi astigmatisme oblik secara
signiikan meningkatkan risiko berkembangnya
ambliopia. Hasil penelitian kali ini berbeda
dari kedua penelitian di atas19,20, kemungkinan
karena pada penelitian ini mata yang mengalami
astigmatisme lebih banyak yang aksis silindernya
dekat dengan sumbu utama dibanding yang aksis
silindernya jauh dari sumbu utama (12 mata
dibanding 6 mata). Mata astigmatisme yang
aksis silindernya dekat dengan sumbu utama
pada penelitian ini, sebagian besar membutuhkan
koreksi dengan lensa silinder >-1,50 dioptri.
Menurut American Optometric Association18 dalam
Optometric Clinical Practice Guideline for the
Care of the Patient with Amblyopia, astigmatisme
>1,50 dioptri dapat mengakibatkan ambliopia
anisometropia atau astigmatisme >2,50 dioptri
dapat mengakibatkan ambliopia isoametropia.
Pada tabel 3, didapatkan nilai signiikansi
<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signiikan antara anisometropia
dengan ambliopia. Dari tabel tersebut pula didapatkan
kemungkinan anisometropia 13 kali dapat mengalami
ambliopia dibandingkan yang isoametropia.
287
Dalam penelitian ini, didapatkan 32
(10,4%) siswa dengan anisometropia (perbedaan
spherical equivalen antara kedua mata ≥1 D)
yang 9 (28,1%) siswa di antaranya mengalami
ambliopia. Dari hasil uji statistik, ternyata pada
penelitian ini anisometropia memiliki risiko 13
kali untuk mengalami ambliopia dibandingkan
isoametropia. Yekta et al10 mendapatkan 58,1%
ambliopia anisometropia dalam penelitiannya
pada 2.638 anak sekolah di Shiraz, Iran.
Brown et al5 menyatakan dalam penelitiannya
bahwa anisometropia lebih lazim dan derajat
anisometropia lebih besar pada kelompok
ambliopia dibandingkan dengan populasi
normal. Secara teori pun, American Optometric
Association18 dalam Optometric Clinical Practice
Guideline for the Care of the Patient with Amblyopia
menyatakan bahwa secara umum makin besar
anisometropia maka semakin parah ambliopia.
Pasien dengan anisometropia hiperopia dengan
perbedaan sedikitnya 1 D antara kedua mata,
dapat berkembang menjadi ambliopia, namun
pasien dengan anisometropia miopia biasanya
tidak mengalami ambliopia hingga anisometropia
mencapai 3-4 D. Pasien dengan anisometropia
miopia menggunakan mata yang lebih miopia
untuk melihat dekat dan mata yang kurang miopia
untuk melihat jauh hingga miopia mencapai 3 D,
dengan cara ini mempertahankan iksasi foveal
dan ketajaman penglihatan yang terkoreksi
baik pada kedua mata. Karena orang dengan
anisometropia hiperopia menggunakan mata yang
kurang hiperopia untuk beriksasi pada jarak jauh
dan dekat, maka mata yang lebih hiperopia tidak
pernah mencapai gambar yang jelas di retina
sehingga mengakibatkan ambliopia.
Pada penelitian ini, terdapat 10 (0,6%)
siswa yang mengalami penurunan ketajaman
penglihatan yang bukan karena kelainan
refraksi, namun dikarenakan adanya kelainan
segmen anterior dan posterior bola mata.
Ohlson et al21 melaporkan adanya beberapa
patologi okular yang menyebabkan penurunan
ketajaman penglihatan pada anak-anak usia
12-13 tahun dalam penelitiannya di Meksiko
utara. Beberapa kelainan tersebut antara lain
albinisme okuler, sikatrik kornea, dan diskus
optikus yang abnormal. Shrestha et al11 dalam
penelitiannya di Jhapa, Nepal mendapatkan
beberapa abnormalitas pada mata selain
288
Ophthalmol Ina 2015;41(3):283-288
kelainan refraksi yang menyebabkan penurunan
ketajaman penglihatan, di antaranya insuisiensi
konvergensi, konjungtivitis, kecurigaan glaukoma, masalah lensa mata (pseudofakia, afakia,
katarak kongenital), kalazion, dan nistagmus.
Penelitian ini juga tidak terlepas dari
keterbatasan dibandingkan dengan penelitian
lain. Pemeriksaan ketajaman penglihatan dan
koreksi terbaik pada sampel dilakukan secara
subjektif oleh pemeriksa tanpa penggunaan agen
sikloplegik sebelumnya dan tidak menggunakan
pemeriksaan dengan streak retinoscopy, namun
dipandu dengan hasil pemeriksaan auto-refraktometer. Pemeriksaan segmen posterior bola mata
juga hanya menggunakan oftal-moskop direk
sehingga gambaran retina yang diamati tidak bersifat
tiga dimensi. Selain itu, sampel yang terdiagnosis
emetropia hanya berdasarkan pemeriksaan ketajaman peng-lihatan, tidak dilanjutkan dengan pemeriksaan lensa coba sehingga ada atau tidaknya diagnosis hiperopia laten sangat mungkin terlewati.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
KESIMPULAN DAN SARAN
12.
Pada penelitian yang dilakukan pada 1.664 siswa
SMP di DIY sebagian besar (80%) siswa memiliki
penglihatan emetropia, sisanya mengalami kelainan
refraksi, kelainan segmen anterior, dan kelainan
segmen posterior. Miopia dan astigmatisme
merupakan kelainan refraksi yang banyak ditemukan
pada sampel penelitian. Ambliopia terjadi dalam
prevalensi yang cukup sedikit (1,07%) pada siswa
dengan kelainan refraksi dengan perbandingan siswa
laki-laki dengan perempuang tidak menunjukkan
perbedaan yang signiikan (8:9).
Mengingat beberapa keterbatasan dalam
penelitian ini, diperlukan penelitian lanjutan dengan
cakupan wilayah dan jumlah sampel yang lebih
luas sehingga didapatkan nilai prevalensi ambliopia
nasional. Selain itu, penyeragaman teknik penelitian
mengikuti publikasi internasional tentu akan
menambah bobot hasil penelitian tersebut.
REFERENSI
1.
2.
American Academy of Ophthalmology 2011-2012. 2011b.
Basic and Clinical Science Course Section 6: Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. The Eye M. D. Association.
61-69, 167-169.
Paysse, E. A., Coats, D. K. 2005. Amblyopia dalam: Nelson,
L. B., Olitsky, S. E. editor. Harley’s Pediatric Ophthalmology,
5th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Holmes, J. M., Clarke, M. P. 2006. Amblyopia. Lancet 367;
1343-1351.
Kanonidou, E. 2011. Amblyopia: a mini review of the
literature. Int Ophthalmol 31: 249–256.
Brown, S. A., Weih, L. M., Fu, C. L., Dimitrov, P., Taylor,
H. R., McCarty, C. A. 2000. Prevalence of amblyopia
and associated refractive errors in an adult population in
Victoria, Australia. Ophthalmic Epidemiol 7 (4): 249-258.
Drover, J. R., Kean, P. G., Courage, M. L, Adams, R. J.
2008. Prevalence of amblyopia and other vision disorders
in young Newfoundland and Labrador children. Can J
Ophthalmol 43: 89–94.
Khalaj, M., Gasemi, M., Zeidi, I. M.. 2009. Prevalence of
Refractive Errors in Primary School Children [7-15 Years] of
Qazvin City. European Journal of Scientiic Research 28 (2):
174-185.
Chia, A., Dirani, M., Chan, Y., Gazzard, G., Eong, K.
A., Selvaraj, P. et al. 2010. Prevalence of Amblyopia and
Strabismus in Young Singaporean Chinese Children. Invest
Ophthalmol Vis Sci 51: 3411–3417.
Awan, M. A., Ahmad, I., Khan, A. A. 2010. Prevalence of
Amblyopia among Government Middle School Children in
City Of Lahore, Pakistan. IJAVMS 4 (2): 41-46.
Yekta, A. A.; Fotouhi, A.; Hashemi, H.; Dehghani, C.;
Ostadimoghaddam, H.; Heravian, J. et al. 2010. The
Prevalence of Anisometropia, Amblyopia and Strabismus in
Schoolchildren of Shiraz, Iran. Strabismus 18 (3): 104–110.
Shrestha, G. S., Sujakhu, D., Joshi, P. 2011. Refractive error
among school children in Jhapa, Nepal. J Optom. 4 (2): 49-55.
Fu, J., Li, S. M., Li, S. Y., Li, J. L., Li, H., Zhu, B. D. et al.
2014. Prevalence, causes and associations of amblyopia in
year 1 students in Central China. Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol 252: 137–143.
Sastraprawira, R. 1989. Prevalensi Ambliopia pada Murid
Kelas I Sekolah Dasar di Kotamadya Bandung. Bandung.
Tesis 1989:4-9.
Triyanto, W. 2006. Ambliopia pada Anak Sekolah Dasar
dengan Kelainan Refraksi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tesis. 2006.
Suhardjo; Sasongko, M. B.; Anugrahsari, S. 2008. The
Yogyakarta Eye Study: A Pilot Assessment of Astigmatism
and Amblyopia in Elementary School Children. Clinical
and Experimental Ophthalmology 2008; 36 (Supp I):
A278-A281.
Faghihi, M., Ostadimoghaddam, H., Fatemi, A., Heravian,
J., Yekta, A. A. 2012. The Prevalence of Refractive Errors,
Strabismus and Amblyopia in Schoolboys of Varamin, Iran,
in 2010. Iranian Journal of Ophthalmology 24 (2): 33-39.
Turcin, L., Jompan, A. 2013. Prevalence of Refractive Errors in
School Children in Romania. Jurnalul Pediatrului 16 (61-62):
38-44.
American Optometric Association. 1994. Care of the Patient
with Amblyopia. American Optometric Association, 243 N.
Lindbergh Blvd., St. Louis, MO 63141-7881.
Gunawan, W. 2006. Astigmatisma Miop Simplek yang
Mengalami Ambliopia pada Anak Sekolah Dasar di
Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat 22 (3): 135-139.
Abrahamsson, M., Sjostrand, J. 2003. Astigmatic axis and
amblyopia in childhood. Acta Ophthalmol. Scand. 81: 33–37.
Ohlson, J., Villarreal, G., Sjostrom, A., Cavazos, H.,
Abrahamsson, M., Sjostrand, J. 2003. Visual Acuity,
Amblyopia, and Ocular Pathology in 12- to 13-Year-Old
Children in Northern Mexico. Journal of AAPOS 7 (1): 47-53.
Download