Liberalisasi Industri Film: Solusi Untuk

advertisement
Liberalisasi Industri Film: Solusi Untuk Kemajuan
Oleh: Djohan Rady
Pemerintah mencabut industri film nasional dari Daftar Negatif Investasi (DNI).
Kebijakan ini praktis membuka pintu investasi asing di ranah industri film nasional
selebar-lebarnya.
Ketika akan diumumkan, pelaku industri film di Indonesia menanggapi kebijakan
tersebut dengan beragam reaksi. Ada orang-orang seperti Ody Mulya Hidayat, produser
Maxima Pictures, yang menolak pencabutan DNI atas alasan proteksi dan nasionalisme.
Seperti diberitakan tempo.co, Ody mengatakan bahwa pencabutan industri film dari
DNI justru akan akan mematikan industri perfilman lokal. “Bioskop asing pasti akan
mengutamakan film-film negaranya dan kita tidak akan mampu bersaing,” kata Ody. Ia
kemudian menambahkan bahwa investasi asing dapat menjadi awal masuknya budaya
asing yang akan mempengaruhi budaya nasional.
Tetapi ada juga pihak-pihak yang pro terhadap kebijakan pencabutan industri film dari
DNI. Salah satunya adalah sutradara Joko Anwar. Di dalam akun twitter-nya, Joko
mengatakan bahwa investasi asing akan berdampak positif terhadap pertumbuhan
industri film nasional. Di dalam rangkaian tweet-nya, sutradara film Pintu Terlarang ini
menyatakan investasi asing akan berdampak pada bertambahnya jumlah bioskop,
sehingga film-film indonesia punya kesempatan lebih besar untuk ditonton masyarakat.
Kita sebagai penonton film pasti tahu betapa film Indonesia belum menjadi tuan rumah
di negerinya sendiri. Beberapa minggu lalu saya tidak kesampaian nonton film Siti di
bioskop karena sudah keburu turun layar. Padahal film terbaik FFI 2015 itu baru sempat
tayang beberapa hari di bioskop. Joko Anwar betul: salah satu persoalan besar industri
film nasional adalah kurangnya jumlah layar dan gedung bioskop. Akibatnya, film-film
nasional harus berebut waktu tayang satu sama lain. Jika penjualan tiket suatu film di
minggu-minggu awal dirasa kurang laku, pengusaha bioskop tentu akan menggusur film
tersebut dan menggantinya dengan film lain, biasanya film-film Hollywood.
Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila jumlah layar di tiap-tiap daerah mencukupi. Saat
ini, kita bisa melihat bahwa distribusi layar bioskop di Indonesia sangat terkonsentrasi
di Jakarta. Dari 942 layar bioskop yang ada di Indonesia (per Desember 2015), 80
persen-nya berada di pulau Jawa, dan sekitar 70-75 persennya berada di Jakarta. Dengan
jumlah layar seperti itu, rasio perbandingan antara layar dengan jumlah penduduk di
Indonesia adalah 1:250.000. Ini adalah angka yang buruk. Bandingkan, misalnya,
dengan Thailand (1:50.000) atau China dan AS (1:30.000). Untuk mencapai rasio ideal,
Indonesia setidaknya harus menambah jumlah layar hingga 4.000 atau 5.000 layar.
Penambahan jumlah layar sebesar itu tentu saja hanya bisa didorong oleh investasi.
Salah satu contoh sukses liberalisasi investasi sektor film dan bioskop adalah China.
Semenjak membuka gerbang investasi asing 10 tahun yang lalu, jumlah bioskop dan
layar di China bertambah signifikan: dari hanya 3.500-an layar pada tahun 2007,
menjadi sekitar 23.600 pada 2014. China juga berhasil menjadi pasar perfilman terbesar
kedua di dunia, dengan total penerimaan tiket sebesar 830 juta US dollar pada tahun
2014 (naik hingga 236% dari tahun 2009).
Investasi asing tidak hanya akan menambah jumlah layar dan bioskop. Persaingan antar
pembuat film yang didorong oleh modal besar juga akan meningkatkan kualitas film
yang beredar. Selama ini logika produksi film kebanyakan didorong oleh tren. Jika ada
satu film tertentu berhasil meraih sukses komersial, maka produsen film lain akan
berbondong-bondong membuat film dengan tema dan cerita yang mirip. Inilah mengapa
saat ini kita diserbu oleh film-film drama-romantis-relijius. Dibukanya pintu investasi
asing akan membuka ruang yang lebih besar bagi munculnya film-film dengan tema
yang unik dan berbeda.
Belum lagi jika kita mempertimbangkan dampak perekonomian dari bertumbuhnya
bisnis film dan bioskop, seperti terbukanya lapangan pekerjaan. Selain itu, masuknya
modal asing juga biasanya dibarengi dengan berbagai peningkatan aspek teknis, seperti
teknologi, manajerial, dan kompetensi para pekerja film itu sendiri.
Sayangnya, investasi asing di Indonesia menghadapi ganjalan berupa Peraturan Presiden
No. 36/2010. Perpres ini praktis meneguhkan posisi industri film di dalam DNI dan
menutup pintu bagi investasi asing. Spirit dari Perpres 36/2010 ini adalah untuk
melindungi para pemain lokal yang dinilai akan kolaps jika harus bersaing dengan
modal asing. Kekhawatiran ini tentu saja mengada-ada jika melihat contoh kasus China
yang sudah saya sebutkan di atas.
Untunglah Pemerintah telah merevisi regulasi tersebut. Melalui paket kebijakan
ekonomi X yang diumumkan 11 Februari kemarin, pemerintah mengijinkan investasi
modal di industri perfilman nasional untuk sepenuhnya (100 persen) dibiayai oleh
sumber asing.
Sebagai penggemar film dan penonton setia film-film lokal, saya mengapresiasi
setinggi-tingginya kebijakan liberalisasi ini. Kebijakan ini tentu saja akan
menguntungkan konsumen film seperti saya, yang sangat berharap mendapatkan
tontonan yang segar dan variatif. Untuk mengembangkan industri perfilman nasional,
justru harus menghadirkan kompetisi agar terbukanya kesempatan investasi dari luar
negeri dan persaingan kualitas dan jumlah bioskop di Indonesia.
Download