BAB IV KESIMPULAN Penelitian ini merupakan penelitian sastra yang membahas masalah keterkaitan relasi gender dengan etnis. Untuk mendukung analisis, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Chandra Mohanty dan Patricia Hill Collins. Chandra Mohanty menggambarkan feminisme dan hal-hal yang dialami oleh perempuan dari negara dunia ketiga berbeda dengan perempuan dari negara barat, sedangkan Patricia Hill Collins mengemukakan teori-teori mengenai rasisme yang ditujukan kepada kelompok kulit hitam, khususnya di Amerika Serikat. Relasi gender yang dipandang ideal bagi masyarakat adalah ketika lakilaki memimpin dan menguasai perempuan sehingga menarik kesimpulan bahwa laki-laki memang terlahir sebagai alami sebagai pemimpin bagi kaum perempuan dan sebaliknya perempuan akan secara alami tunduk dan patuh pada perintah lakilaki. Akan tetapi, sebenarnya kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan tidak terbangun begitu saja, melainkan ada sejumlah faktor yang melandasinya, termasuk di antaranya adalah: etnis, lingkungan sosial, dan budaya. Relasi gender dengan etnis yang dibahas dalam penelitian ini adalah relasi gender dengan etnis dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras dan Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) yang ditulis Remi Silado. Analisis pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi segala narasi, perkataan, dan perbuatan para pelaku di dalam kedua novel tersebut yang berkaitan dengan relasi gender serta etnis. Kedua pasangan yang diceritakan di dalam kedua novel tersebut berasal dari 1 etnis yang berbeda. Tokoh laki-laki dalam novel L’Amant merupakan orang Cina, sedangkan tokoh perempuan merupakan orang Prancis. Hampir serupa, tokoh laki-laki dalam novel Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) merupakan orang Jawa keturunan Cina, namun tokoh perempuan adalah orang pribumi berdarah Betawi asli. Perbedaan etnis yang terlibat di antara mereka menunjukkan adanya pengaruh etnis terhadap relasi gender. Selanjutnya, langkah dalam penelitian ini dilanjutkan dengan analisis kedua, yaitu mengidentifikasi relasi gender dengan lingkungan sosial budaya yang ditunjukkan melalui narasi, perkataan, dan perbuatan para tokoh di dalam kedua novel tersebut. Lingkungan sosial dan budaya merupakan faktor penting dalam pembentukan karakter seseorang. Etnis yang berbeda tentunya memiliki lingkungan sosial dan budaya yang berbeda pula. Perbedaan ini juga memberikan pengaruh terhadap relasi gender yang ada di dalam novel L’Amant dan Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa). Di dalam novel L’Amant, tokoh pria yang merupakan orang Cina merasa gelisah ketika ingin berkenalan dengan tokoh “aku”, perempuan Prancis berkulit putih. Perbedaan etnis di antara keduanya menempatkan posisi tokoh pria di bawah tokoh “aku”. Hal tersebut tetap menjadi penghalang bagi mereka dalam menjalani hubungan, terlebih keluarga mereka sama-sama menentang kebersamaan mereka berdua. Harta tokoh pria memang melimpah, namun tetap tidak dapat menghapuskan permasalahan etnis yang ada dari pandangan keluarga tokoh “aku”. Tokoh “aku” pun secara pribadi tetap tidak menganggap bahwa kekasih Cinanya itu patut untuk ia banggakan. Dia tetap beranggapan bahwa 2 kedudukannya sebagai orang kulit putih tetap berada di atas orang Cina hingga akhir hubungan mereka. Oleh karena itu, dia enggan untuk menunjukkan air matanya ketika mereka berdua harus berpisah karena baginya menangisi seorang Cina adalah sesuatu yang hina. Di lain pihak, tokoh pria sangat memuja tokoh “aku” hingga tidak kuasa menolak segala permintaannya. Dia juga harus bertahan dengan sikap dingin keluarga tokoh “aku” yang dijamunya dengan masakan lezat nan mewah, namun tetap tidak menyukainya karena dia adalah seorang Cina. Lebih lanjut, tokoh pria juga mendapatkan penentangan dari ayahnya yang menghendakinya untuk menikah dengan gadis pilihan ayahnya tersebut. Berbeda dengan kedua tokoh di dalam novel L’Amant, kedua tokoh novel Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa), yaitu Tan Peng Liang dan Tinung, dapat menciptakan relasi gender yang sesuai dengan pandangan masyarakat. Tan Peng Liang yang memiliki darah Cina di tubuhnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Tinung yang merupakan orang Betawi asli. Hal ini didukung dengan persepsi orang Cina yang menganggap dirinya ada di atas bangsa lain dalam segala hal. Istilah saudara tua dan saudara muda juga dilekatkan kepada dua etnis ini, yaitu saudara tua mengacu kepada orang Cina dan saudara muda untuk orang pribumi. Anggapan tersebut menjadi suatu hal yang lumrah dan tidak dipertentangkan di dalam novel Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa). Oleh karena itu, Tan Peng Liang menjadi pihak yang mengontrol hubungan mereka dan Tinung sebagai pasangannya. Berkaitan dengan lingkungan sosial dan budaya, perempuan barat pada umumnya berpendidikan, berkarakter kuat, dan memiliki kuasa atas segala 3 tindakannya. Tokoh “aku” di dalam novel L’Amant memiliki kontrol yang besar terhadap hubungan mereka. Walaupun dia sangat tertarik dengan harta tokoh lakilaki, namun dia tidak membiarkan hal itu membuatnya tunduk dan patuh terhadap tokoh pria. Dia adalah pihak yang lebih sering menuntut dan mengatur di dalam hubungan mereka, termasuk ketika berhubungan seksual. Sebaliknya, tokoh pria justru tergambarkan sebagai sosok yang lemah. Kelemahannya tergambarkan atas tindakannya yang selalu menuruti kemauan tokoh perempuan dan tidak kuasa menolaknya. Ditambah lagi, tokoh pria merupakan pihak yang paling sering menangis di antara keduanya, sehingga gambaran laki-laki maskulin dan berkuasa semakin jauh darinya. Sama halnya dengan kedudukan Tan Peng Liang dan Tinung dalam hal etnis, latar belakang lingkungan sosial dan budaya keduanya kembali menempatkan Tan Peng Liang sebagai pihak yang berkuasa. Kekuasaan dan kontrol Tan Peng Liang terhadap Tinung dan hubungan mereka ini dilandasi oleh fakta bahwa dia jauh lebih berpendidikan dari Tinung dan memiliki pola pikir yang jauh lebih maju. Dari sisi Tinung, selain fakta bahwa dia tidak berpendidikan, hal lai yang membuatnya harus tunduk terhadap Tan Peng Liang adalah tradisi yang melekat pada dirinya bahwa perempuan harus selalu tunduk terhadap laki-laki. Faktor ekonomi juga memiliki peran dalam situasi ini. Tinung yang berasal dari golongan orang tidak mampu menginginkan kehidupan yang serba berkecukupan dan Tan Peng Liang bersedia memenuhinya. Namun, berbeda dengan tokoh “aku” dalam novel L’Amant, keinginan Tinung membuatnya tunduk terhadap Tan Peng Liang. Dia tidak merasa keberatan bila pada awalnya dia hanya 4 menjadi objek pemuas nafsu seksual Tan Peng Liang semata dan juga pada fakta bahwa Tan Peng Liang masih memiliki seorang istri. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada novel L’Amant dan Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa), relasi gender yang ada di antara laki-laki dan perempuan memang tidak semata-mata bersifat alamiah. Artinya, perempuan tidak selalu menjadi subordinat dari laki-laki dan kalaupun begitu, tentu saja ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Etnis tokoh “aku” yang merupakan orang kulit putih membuat tokoh pria yang merupakan orang Cina tidak dapat merasa percaya diri selama menjalani hubungan dengannya. Tokoh “aku” pun juga tidak pernah benar-benar bangga akan kekasihnya itu, sebaliknya justru merendahkannya. Ketidakberdayaan tokoh pria dalam mengontrol hubungan mereka ditambah lagi dengan karakter tokoh aku yang lebih kuat daripada dirinya sehingga tokoh “aku” betul-betul menjadi pemimpin hubungan mereka. Sebaliknya, dalam novel Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa), tokoh laki-laki menjadi pihak yang berkuasan atas pasangannya dan hubungan mereka. Kedudukan orang Cina yang lebih tinggi daripada orang pribumi membuat Tan Peng Liang dapat menekankan kontrolnya terhadap Tinung. Tradisi Indonesia yang menganggap bahwa perempuan harus tunduk terhadap pria dan juga latar belakang pendidikan serta ekonomi Tinung mendorongnya untuk patuh terhadap Tan Peng Liang tanpa paksaan. 5 6