BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menurut WHO (World Health Organization) kanker masih merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler, dan setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan 9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua per tiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang berkembang (Anonim, 1994). Myeloma multipel adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah klone dari sel plasma yang abnormal berkembang biak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Penyakit ini menyerang pria dan wanita, dan biasanya ditemukan pada usia di atas 40 tahun. Sel plasma yang abnormal hampir selalu menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal dan pembentukan antibodi yang normal berkurang. Sebagai akibatnya, penderita lebih mudah terkena infeksi (Anonim, 2006). Pengobatan kanker, seperti pemberian obat antikanker, kemoterapi, dan operasi, tergolong sangat mahal. Selain itu, tidak jarang pasien tidak berhasil lepas dari penyakit kanker meskipun sudah melakukan berbagai usaha pengobatan medis. Di masyarakat, pengobatan ala timur sering dijadikan alternatif jika cara konvensional tidak dapat dilakukan. Bahkan telah muncul paradigma baru dalam dunia pengobatan modern, yaitu back to nature atau kembali ke alam (Mangan, 2003). Sehingga dewasa ini banyak dikembangkan pencarian dan penelitian bahan bioaktif dari tanaman obat Indonesia yang mempunyai khasiat antikanker yang potensial dan selektif. Secara fitokimia, kulit batang tanaman Sukun (Artocarpus communis) mengandung flavonoid menunjukkan sifat sitotoksik kuat terhadap sel murin leukemia P-388 dan beberapa sel kanker lainnya (Syah, 2005). Dengan demikian, dilakukan penelitian kajian sitotoksik fraksi semipolar ekstrak aseton kulit batang Sukun (Artocarpus communis) terhadap sel myeloma sebagai usaha untuk mendapatkan tanaman obat yang potensial dalam menanggulangi penyakit kanker plasma. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut : ‘Apakah fraksi semipolar ekstrak aseton kulit batang Sukun (Artocarpus communis) memiliki efek sitotoksik terhadap sel Myeloma?’ C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek sitotoksik dari fraksi semipolar ekstrak aseton kulit batang Sukun (Artocarpus communis) terhadap sel Myeloma. D. Tinjauan Pustaka 1. Skrining Aktivitas Tanaman Obat Indonesia Hutan Indonesia memiliki spesies tanaman dan tumbuhan obat tidak kurang dari 9.609 spesies. Dari jumlah itu, baru 3-4 % yang sudah dibudidayakan dan dimanfaatkan secara komersial, dan sudah 283 spesies tanaman obat yang telah terdaftar digunakan oleh industri obat tradisional di Indonesia (Pranoto, 1999). Tanaman Sukun tercatat berasal dari daerah pasifik, yang kemudian berkembang di daerah tropis. Pada abad XVIII Sukun dikembangkan di daerah Malaysia dan selanjutnya berkembang di Indonesia. Di pulau Jawa tanaman Sukun telah cukup lama dikenal (Pitojo, 1992). Dari kajian fitokimia, tumbuhan Sukun (Artocarpus communis) mengandung turunan fenol yang meliputi jenis calkon, flavanon, turunan 3-prenilflavon, dan stilben (Syah, 2005). a. Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi bahan baku yang ditentukan (Anonim, 1995). Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, dan soxhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Ansel, 1989). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Dan kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariaannya kurang sempurna (Anonim, 1986). b. Kromatografi Kromatografi merupakan alat pemisah yang berbeda dengan cara pemisahan yang berdasar kimia dan fisika atau pemisahan cair-cair. Pemisahan dalam kromatografi menggunakan dua fase yang tidak tercampur tetapi selalu dalam satu sistem yang tercampur, yang dinamakan fase gerak dan fase diam yang umumnya berupa zat padat atau zat cair yang didukung oleh zat padat (Sumarno, 2001). 1). Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisika-kimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase diam), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) selanjutnya senyawa tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985). Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan/atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan kedua cara itu senyawa tidak dapat dideteksi harus dicoba dengan reaksi kimia, pertama tanpa dipanaskan kemudian bila perlu dengan dipanaskan. Pada deteksi dengan pereaksi semprot, penting diingat bahwa pereaksi warna harus mencapai pelat KLT dalam bentuk tetesan yang sangat halus sebagai aerosol (Stahl, 1985). Dalam penilaian kromatogram, jarak pengembangan senyawa dalam kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Jika keadaan luar, misalnya kelembaban atmosfir yang tidak cukup atau penjerap yang sifatnya agak menyimpang, menghasilkan kromatogram yang secara umum menunjukkan angka Rf dari berbagai komponen lebih rendah atau lebih tinggi, maka sistem pelarut harus diganti dengan yang lebih sesuai (Stahl, 1985). Penilaian visual suatu kromatogram, mengamati: a). Jarak pengembangan komponen larutan cuplikan dibandingkan dengan jarak pengembangan larutan pembanding. b). Beberapa sifat, misalnya fluoresensi atau pemadaman fluoresensi, dan terutama warna hasil reaksi kimia. c). Perbandingan luas bercak memberi informasi mengenai angka banding kuantitatif (Stahl, 1985). 2). Kromatografi Cair Vakum Cara Kromatografi Cair Vakum (KCV) ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 untuk mengisolasi diteroena sembrenoid dari terumbu karang lunak Australia. Diperkenalkan modifikasinya untuk mencegah pembentukan saluran, artinya sistem dirancang untuk kondisi vakum terus-menerus. Cara asli adalah dengan menggunakan corong buchner, kaca masir, atau kolom pendek, sedangkan kolom panjang digunakan untuk meningkatkan daya pisah (Hostettman et al., 1995). Kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kemasan rapat yang maksimal, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai kering dan siap dipakai. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang cocok, mulai pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap jangan sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi (Hostettman et al., 1995). c. Tanaman Sukun (Artocarpus communis) 1). Klasifikasi Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae Sub Classis : Monoclanideae / Apetalae Ordo : urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus communis (Van Stenis, 1983) 2). Morfologi Pohon dengan tinggi 10-25 m. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial, bergetah, permukaan kasar, coklat. Daun tunggal, berseling, lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi bertoreh, panjang 50-70 cm, lebar 25-50 cm, pertulangan menyirip, tebal, permukaan kasar, hijau. Bunga tunggal, berumah 1, di ketiak daun, bunga jantan silindris, panjang 10-20 cm, kuning, bunga betina bulat, garis tengah 2-5 cm, hijau. Buah semu majemuk, bulat, diameter 10-20 cm, berduri lunak, hijau. Biji bentuk ginjal, panjang 3-5 cm, hitam. Akar tunggang coklat (Hutapea, 1991). 3). Nama daerah Sumatra : Sukun (Aceh), Hotapul (Batak), Suku (Nias). Jawa / Madura : Sukun (Sunda dan Jawa), Sokon (Madura). Nusa Tenggara : Sukun (Bali), Pulur (Sasak), Karara (Bima, Sawu, Sumba, dan Flores), Kundu (Alor), Susu Aek (Roti), Naunu, Naun Laku (Timor), Ulu Uun (Wetar). Sulawesi : Kahuku, Namu, Sukun, Kulur, Sarangen (Minahasa), Amu (Gorontalo), Amo (Buol), Toho’u Bakare (Bonerate), Bakara (Makasar), Baka (Bugis). Maluku : Sukun (Kai), Hukun (Watubela), Suune, Suwino (Seram), Suune (Ambon), Suuno (Wias), Suune, Sokon (Buru), Amo (Halmahera dan Ternate). Irian : Kamandi, Urknem, Peitu (Pitojo, 1992). 4). Kandungan kimia Bunga dan daun Artocarpus communis mengandung saponin, polifenol, dan tanin, sedang (Hutapea, 1991). kulit batangnya mengandung flavonoida 5). Khasiat tanaman Bunga jantan Artocarpus communis berkhasiat sebagai obat sakit gigi dan daunnya untuk obat sakit kulit (Hutapea, 1991). Daunnya dapat digunakan sebagai obat luar pada penyembuhan pembengkakan limfa, dan bunganya untuk penyembuhan sakit gigi (Syah, 2005). 2. Kanker Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Suatu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus (proliferasi). Akibatnya adalah pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau neoplasma. Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Tumor primer setempat sering kali menyebarkan sel-selnya melalui saluran darah dan limfe ke tempat lain di tubuh (metastase), untuk selanjutnya berkembang tumor sekunder (Tjay dan Rahardja, 2002). a. Karakteristik Sel Kanker Sel Kanker dapat dibedakan dengan sel normal antara lain sel kenker tidak mempunyai kontrol pertumbuhan, daya lekat sel kanker berkurang atau bahkan sudah tidak ada. Inhibisi kontak sel kanker sudah tidak ada sehingga jika ditanam pada media kultur jaringan akan diperoleh pertumbuhan yang berlapis-lapis dan tidak teratur. Sel kanker mempunyai sistem enzim yang berbeda yaitu jumlah macam enzim pada sel kanker lebih besar jika dibandingkan dengan sel normal (Mulyadi, 1997). Kanker disebabkan adanya genom abnormal yang terjadi karena ada kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Adanya genom abnormal ini menimbulkan salah atur, lebih, atau kurang aturan. Gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel itu disebut “protoonkogen” dan “suppressor gen”, terdapat pada semua kromosom dan banyak jumlahnya. Protoonkogen yang telah mengalami perubahan sehingga dapat menimbulkan kanker disebut “onkogen”. Kerusakan itu dapat terjadi pada saat fertilisasi, tetapi umumnya setelah embryogenesis, setelah sel itu mengadakan diferensiasi atau dewasa (Sukardja, 2000). b. Siklus sel kanker Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan : 1). yang sedang membelah (siklus proliferatif); 2). yang dalam keadaan istirahat (tidak membelah, G0); dan 3). yang secara permanen tidak membelah. Sel tumor yang sedang membelah terdapat dalam beberapa fase yaitu fase mitosis (M), pascamitosis (G1), fase sintetis DNA (S), fase pramitosis (G2) (Gambar 1). Pada akhir fase G1 terjadi peningkatan RNA disusul dengan fase S yang merupakan saat terjadinya replikasi DNA. Setelah fase S berakhir sel masuk dalam fase pramitosis (G2) dengan ciri-ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis RNA dan protein. Sewaktu mitosis berlangsung (fase M) sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba, dan terjadi pembelahan dua sel. Setelah itu sel dapat memasuki interfase untuk kembali memasuki fase istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang menambah jumlah sel kanker ialah sel yang dalam siklus proliferasi dan dalam fase G0 (Ganiswara dan Nafrialdi, 1995). S G0 G1 G2 M Gambar 1. Fase Sel Kanker Keterangan: Go : Fase istirahat M : Fase mitosis G1 : Fase pascamitosis S G2 : Fase sintesis DNA : Fase Pramitosis c. Karsinogen, Karsinogenesis Faktor penyebab penyakit kanker digolongkan menjadi 4: 1). Senyawa kimia (karsinogen). Banyak sekali senyawa diketahui dari berbagai tipe yang mempunyai pengaruh terhadap munculnya kanker pada berbagai macam jaringan. Diketahui juga senyawa-senyawa dari sumber alam yang dibuat sintesis, sisa-sisa dari industri batubara, industri minyak, zat warna, bahan tambahan pada makanan dan minuman, kondensat rokok, merupakan senyawa karsinogen, salah satu penyebab penyakit kanker (Mulyadi, 1997). 2). Sinar ionisasi. Sinar yang dapat mengadakan ionisasi air dan elektrolit dalam jaringan ialah sinar-X atau sinar Rontgen dan sinar-UV (Ultra Violet). Sinar-UV itu umumnya berasal dari sinar matahari. Dengan adanya ionisasi air dan elektrolit dalam jaringan, akan terjadi disintegrasi sel dan bila disintegrasi itu berat sel akan mati. Karena radiasi mungkin timbul malformasi sel, gangguan mitose, mutasi gen. ini semua mengakibatkan timbulnya sel liar, yaitu sel kanker yang pertumbuhannya tidak terkendali lagi (Sukardja, 2000). 3). Virus. Beberapa jenis virus, yang disebut virus onkogen dapat menimbulkan kanker secara alamiah atau dengan induksi pada binatang percobaan. Pada manusia dugaan penyebab kanker oleh virus atas dasar data epidemiologi dan pemeriksaan serologi. Ada 3 jenis virus yang dapat menimbulkan kanker, yaitu: a). virus-DNA virus-DNA dapat bergabung dengan DNA penderita dan mengubah transkripsi dan/atau translasi genetik pada gen sehingga terjadi replikasi sifat sel menjadi berubah. b). virus-RNA virus-RNA mempunyai enzim reverse transcriptase atau RNA-dependent-DNApolimerase yang dapat menyisipkan informasi genetika ke dalam gen. Enzim ini menyebabkan DNA dapat menggunakan virus-RNA itu sebagai acuan untuk membuat copy DNA pada replikasi sel. c). virus retroid (= virus retroposon) virus retroid mengandung DNA atau RNA. Untuk replikasi ia menggunakan utas rantai komplementer DNA sebagai cetakan, sedang pada virus DNA atau RNA menggunakan utas rantai yang sama (Sukardja, 2000). 4). Hormon Hormon menimbulkan kanker hanya pada beberapa organ, yaitu organ yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon. Kanker itu diduga timbul karena ada gangguan keseimbangan hormonal (Sukardja, 2000). Menurut Tjay dan Rahardja (2002), kanker terjadi melalui beberapa fase: 1). Fase inisiasi : DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal bebas). Zat-zat inisiator ini menggagu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelalaian pada kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya. 2). Fase promosi : zat karsinogen tambahan (co-carcinogen) diperlukan sebagai promoter untuk proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak menjadi ganas. 3). Fase progresi : gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitose dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Tumor menjadi manifes. d. Penanganan Kanker Secara umum tujuan pengobatan kanker sebagai berikut: 1). Penyembuhan (kuratif), yakni membebaskan penderita dari kanker untuk selamanya. Penyembuhan ini hanya berhasil jika kanker yang diderita masih stadium dini, kanker lokoregional atau kanker yang penyebarannya belum luas, dan ukurannya masih kecil. 2). Meringankan (paliatif), yakni merupakan tindakan aktif guna meringankan beban penderita kanker, terutama yang tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, mengatasi terjadinya komplikasi, dan mengurangi atau menghilangkan keluhan penderita (Mangan, 2003). Menurut Sukardja (2000), terapi kanker dengan cara: 1). Operasi : Terapi untuk membuang tumor, meperbaiki komplikasi dan merekonstruksi defek yang ada melalui pembedahan. 2). Radioterapi : Terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi. Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja, tetapi juga pada sel-sel normal disekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker umumnya lebih besar dari sel normal. Karena itu perlu diatur dosis radiasi sehingga kerusakan jaringan yang normal minimal dan dapat pulih kembali. 3). Khemoterapi : Terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat antikanker yang disebut sitostatika. 4). Hormonterapi : Terapi untuk mengubah lingkungan hidup kanker, sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri. Hormon terapi hanya dipakai untuk beberapa jenis kanker yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon (hormondependent). 5). Immunoterapi : Terapi untuk menguatkan daya tahan tubuh dan memperbesar kemampuan tubuh menghancurkan sel-sel kanker. Kemampuan immunoterapi menghancurkan sel-sel kanker terbatas. 6). Bioterapi : Terapi dengan menggunakan produk biologi, seperti sitokin, interfero, antiangiogenesis, dan sebagainya. 7). Terapi lain-lain a). Elektro koagulasi yaitu membakar sel-sel kanker dengan alat listrik, elektrocauter. b). Laser surgery yaitu membakar sel-sel kanker dengan sinar laser. Ada beberapa macam, seperti Nd-laser (Neodynum laser), YAG-laser (Yittrium Alumunium Gannet laser). Laser dapat dipakai untuk eksisi dan sekaligus koagulasi jaringan sehingga pendarahan jauh berkurang dan sangat efektif untuk operasi kanker. c). Cryo surgery yaitu membekukan sel-sel kanker sampai mati dengan alat cryo menggunakan karbondioksida. d). Kemo surgery yaitu mematikan sel-sel kanker dengan zat-zat kimia. e). Hipertermi f). dan sebagainya. 8). Terapi kombinasi : Terapi kombinasi diantara cara-cara terapi diatas. Dalam praktek terapi kombinasi ini banyak digunakan. Dengan memberikan cara kombinasi maka operasi dapat disederhanakan, dosis radioterapi dapat dikurangi, sehingga komplikasi dapat diperkecil. Obat antikanker seharusnya dapat membunuh sel kanker tanpa membahayakan jaringan sel normal. Penggunaan obat perlu mempertimbangkan untung rugi untuk mendapatkan efek terapi yang baik (Katzung, 1992). Salah satu strategi untuk pengembangan obat kanker adalah dengan menemukan senyawasenyawa yang mendasarkan pada target aksinya pada gen-gen pengatur pertumbuhan atau prolifersi sel (Gibbs, 2000). Masalah lain dalam kemoterapi adalah timbulnya resistensi dari sel kanker terhadap antikanker tersebut sehingga tidak sensitif lagi (Sonlimar et al., 2002). Menurut Mutschler (1991), obat antikanker (sitostatika) dibedakan berdasarkan kerjanya pada siklus sel, 1). Sitostatika yang bekerja spesifik terhadap fase tertentu 2). Sitostatika yang bekerja tidak spesifik terhadap fase Obat antikanker (sitostatika) yang umumnya digunakan terbagi menjadi beberapa golongan antara lain : 1). Senyawa pengalkilasi. Senyawa pengalkilasi merupakan senyawa reaktif yang mampu mengalkilasi DNA, RNA dan enzim-enzim tertentu (Siswandono dan Sukardjo, 1995). Mekanisme kerja senyawa ini berdasarkan gugusan alkilnya yang sangat reaktif dan menyebabkan cross linking (saling mengikat) dengan rantai-rantai DNA dalam inti sel, sehingga penggandaan DNA terganggu dan pembelahan sel dirintangi (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain kelompok Mustar nitrogen, derivat etilenamin, alkil sulfonat, nitroso urea (Anonim, 2007). 2). Antimetabolik. Antimetabolik yang telah mengalami biotransformasi menjadi produk aktifnya dapat bekerja dengan salah satu dari sejumlah mekanisme berbeda untuk menghambat proliferasi sel (Katzung, 1992). Mekanisme kerja obat ini adalah menganggu sintesa DNA dengan berperan sebagai antagonis kompetitif, karena rumus kimia obat ini mirip dengan metabolit tertentu yang penting bagi fisiologis sel antara lain asam folat, purin, dan pirimidin (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat antimetabolit terbagi menjadi 3 yaitu antagonis folat (metrotrekstat), antagonis purin (merkaptopurin, tioguanin) dan antagonis pirimidin (fluorourasil, sitarabin, azasitidin) (Katzung, 1992). 3). Antikanker produk alam. Antikanker produk alam terbagi menjadi 3 kelompok yaitu alkaloid vinca (vinblastin, vinkristin); antibiotik (daktinomisin, mitomisin, antrasiklin, mitramisin, bleomisin); enzim L-asparaginase (Anonim, 2007). 4). Hormon. Beberapa neoplasma dapat dikontrol baik oleh hormon-hormon seks seperti androgen, progestin dan estrogen, serta hormon adrenokortikoid. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan khas reseptor pada sitoplasma dan mengubah struktur reseptor. Bentuk kompleks hormon reseptor tersebut menuju inti, bereaksi dengan sisi akseptor dan mempengaruhi proses transkripsi (Siswandono dan Sukardjo, 1995). 5). Antikanker dengan isotop radioaktif, meliputi fosfor, yaitu natrium fosfat (P32); dan yodium, yaitu natrium yodida (Anonim, 2007). 6). Antikanker golongan lain-lain. Meliputi substitusi urea (Hidroksiurea), derivat metal hidrazin (Prokarbazin) (Anonim,2007). 3. Sel Myeloma Myeloma yaitu suatu neoplasma yang ditandai dengan adanya proliferasi sel plasma. Penyakit ini timbul pada tulang, dapat soliter, difus, atau multipel. Yang soliter bisa berkembang menjadi multipel (Robianto, 2004). Presentasi klinis myeloma multipel mungkin sangat bervariasi, tergantung pada faktor tertentu seperti luasnya disfungsi sumsum tulang, luasnya penyakit tulang, dan jenis paraprotein yang diproduksi. Anemia, nyeri tulang sekunder akibat gangguan tulang osteolitik, hiperkalsemia, proteinuria dan disfungsi ginjal, dan infeksi adalah beberapa manifestasi dari myeloma (Portlock, 1997). Tumor sel plasma ini merupakan “model” penyakit neoplastik pada manusia karena tumor tumbuh dari satu sel induk tunggal, dan sel tumor menghasilkan protein marker (immunoglobulin myeloma) yang dapat menunjukkan kuantitas sel tumor dalam tubuh. Tumor tumbuh terutama dalam sumsum tulang dan tulang yang berdekatan menyebabkan anemia yang juga meningkatkan kerentanan pada infeksi (Katzung, 1992). Myeloma multipel, suatu proliferasi malignan dari sel plasma, merupakan gamopati monoklonal malignan yang paling sering. Dalam pengertian patofisiologi, berbagai macam tanda penyakit-penyakit tersebut dapat dipandang sebagai akibat dari hal-hal berikut: (1) Perluasan masa sel; (2) Pembentukan protein-protein oleh sel; dan (3) Penekanan yang berkaitan dengan sintesis antibodi normal. Pada ekspresi yang berkembang sepenuhnya, penyakit-penyakit melibatkan sistem skelet, sumsum tulang, ginjal dan sistem syaraf, dan mempunyai pengaruh penekanan (supresif) yang besar pada sistem imun (Bellanti, 1993). Beberapa langkah terapeutik dilakukan pada pengobatan myeloma multipel. Kebutuhan untuk berjalan, aktivitas, penguat, dan tindakan penyokong umur yang lain ditekan oleh beberapa dokter untuk mencegah kecepatan osteoporesis. Natrium Fluorid digunakan untuk menambah kekuatan tulang, tetapi kemampuannya masih dipertanyakan. Minum banyak cairan adalah penting untuk mencegah komplikasi ginjal dan pada pengobatan hiperkalsemia. Nyeri tulang lokal karena lesi osteolitik sering terkurangi dengan pengobatan sinar-X. Testosteron telah digunakan sebagai steroid anabolik dan sebagai perangsang eritropoesis. Difosfotonat dan mitramisin berguna dalam mengendalikan hiperkalsemia (Bellanti, 1993). Penggunaan agen alkilasi siklofosfamida dan mustard fenilalanin telah menghasilkan perbaikan tanda-tanda subjektif maupun objektif dengan prosentase yang cukup berarti pada penderita myeloma. Perbaikan pada beberapa penderita adalah dramatis. Dosis tinggi intermitten murtard fenilalanin yang dikombinasi dengan prednison dilaporkan menunjukkan hasil yang paling baik, dengan respons yang menyenangkan pada kurang lebih 60 persen penderita. Akhir-akhir ini, doksorubisin, vinkristin, dan dosis tinggi deksametason telah digunakan dengan beberapa keberhasilan pada penderita yang sukar disembuhkan dengan agen alkilasi. Efek samping toksis yang utama dari siklofosfamida adalah penekan sumsum tulang, alopesia, dan sistitis hemorhagik. Mustard fenilalanin juga menyebabkan penekanan sumsum tulang, terutama trombositopenia, sebagai efek toksik utamanya. Beberapa penderita myeloma yang diobati untuk masa yang lama (beberapa tahun) dengan agen alkilasi telah mengalami leukemia granulositik akut. Apakah hal ini karena ditimbulkan oleh obat atau karena ‘perjalanan alami’ dari myeloma, masih merupakan teka-teki (Bellanti, 1993). Dengan kemajuan pengetahuan tentang sel supresor spesifik dan perkembangan antibodi monoklonal asal tikus dan manusia, adalah mungkin bahwa upaya mengobat myeloma dengan agen aktif secara biologik dan terlaksana pada dekade sekarang ini. Interferon, pengubah biologik yang kuat mempunyai pengaruh terapeutik yang tidak tetap tetapi kadang-kadang berpengaruh terapeutik yang dramatis pada penderita myeloma (Bellanti, 1993). 4. Uji Sitotoksik Uji sitotoksik adalah uji in vitro dengan menggunakan kultur sel yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Penggunaan uji sitotoksik pada kultur sel merupakan salah satu cara penetapan in vitro untuk mendapatkan obat-obat sitotoksik. Sistem ini merupakan uji kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel. Hasil uji sitotoksik dapat ditentukan nilai IC50 yang menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai sitostatik (Freshney, 1986). Efek sitotoksik dari ekstrak ditentukan dengan mengukur jumlah sel hidup menggunakan pereaksi MTT, yaitu suatu garam tetrazolium yang dapat dipecah oleh sistem reduktase suksinat-tetrazolium menjadi formasan. Formasan merupakan zat berwarna ungu dan setelah ditambah dengan stop solution, intensitas warna ungu yang terbentuk dapat ditetapkan secara spektrofotometri (Sigma, 1999). Dalam hal ini stop solution berfungsi untuk mendenaturasi protein (berstruktur kuartener) menjadi unit rantai polipeptida dan membentuk kompleks SDS-polipeptida dan untuk melarutkan garam formasan (Burgess, 1995). Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter IC50. Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel 50% dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel (Meiyanto, 2002). Prosentase kematian dari masing-masing kelompok dalam waktu tertentu dicatat dan probit respon kuantal ini digambarkan dalam hubungannya dengan log dosis, selanjutnya ditarik garis lurus yang paling baik melalui titik yang ada dan dosis pada garis yang menyatakan 50% kematian dalam satu kelompok (jadi probit 5) ditentukan. Antilog ini disebut median dosis letal (Median Lethal Dosis = MLD) dan merupakan ukuran kuantitatif toksisitas suatu obat (Mursidi, 1985). E. Landasan Teori Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syah (2005), kulit batang tanaman Sukun (Artocarpus communis) mengandung turunan fenol yang meliputi jenis calkon, flavanon, turunan 3-prenilflavon, dan stilben. Hasil uji sitotoksik ada yang menunjukkan hasil selektif terhadap sel murin leukemia P-388 dan sel kanker lainnya (Syah, 2005). F. Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian terhadap tanaman Sukun (Artocarpus communis), bahwa senyawa yang terkandung didalam kulit batang memiliki sifat sitotoksik terhadap sejumlah sel tumor, maka dapat disusun suatu hipotesis yaitu fraksi semipolar ekstrak aseton kulit batang Sukun (Artocarpus communis) memiliki efek sitotoksik terhadap sel myeloma.