KAJIAN I MANAJEMEN KONFLIK A. Pengertian Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin, confligere, yang berarti saling berbenturan atau semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonistis atau saling bertentangan (Kartono, 2012: 245). Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi conflict, yang berarti a fight, a collision, a struggle, a controversy, an opposition of interest, opinions of purposes (Umam, 2012: 261). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwodarminto,1976:519), kata konflik berarti pertentangan atau percecokan. Sedangkan dalam organisasi istilah konflik menjadi konflik organisasi. (Umam, 2012: 261). Para pakar telah mengemukakan berbagai definisi mengenai konflik dengan perspektif yang berbeda. Stoner (dalam Sujito, 2012) mendefinisikan konflik sebagai:"Organizational conflict is a desagrement between two or more organization members or groups arising the fact that they must share scare resources or work activities and / or from the fact that they hove defferent statuses, goals, values, or perceptions". Senada dengan pendapat tersebut DiGirolamo (dalam Wirawan, 2010: 5), mendefinisikan konflik sebagai:“Conflict is a process that begins when an individual or group perceives differences and oposition between itself and another individual or group about interest and resources, beliefs, values, or practice that matter to them”. Selanjutnya Deutsch (1973), Gaski (1984), Stern, El-Ansary, and Coughlan (1996) in Bradford (2003) merumuskan konflik: Conflict is defined as the behaviors or feelings of interdependent parties in response to potential or actual obstructions that impede one or more osf the parties achieving their goals. Luthans (1985) dalam Umam (2012: 262) mendefinisikan konflik: the condition of objective compatibility between values or goals, as the behavior or deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility. Swamstrom and Weismann,(2005)mengemukakan: Conflict is the result of opposing interests involving scarce resources, goal divergence and frustration. Menurut Soetopo (2012: 267) Konflik adalah suatu pertentangan dan ketidaksesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, social, dan psikologis, sehingga menjadi antagonis, ambivalen dan emosional. Winardi (2012: 384) merumuskan konflik sebagai situasi dimana terdapat adanya tujuan-tujuan, kognisi-kognisi atau emosi-emosi yang tidak sesuai satu sama lain, pada diri individu-individu atau antara individu-individu yang kemungkinan menyebabkan timbulnya pertentangan atau interaksi yang bersifat antogonistik. Sejalan dengan itu Kurniadin dan Machali (2012: 263) mengemukakan konflik dapat diartikan sebagai suasana batin yang berisi kegelisahan karena pertentangan dua kepentingan atau lebih, yang mendorong seseorang berbuat suatu kegiatan yang saling bertentangan atau antagonistic antara dua pihak atau lebih. Hardjana dalam Wahyudi (2011:18) konflik adalah perselisishan, pertentangan antara dua orang/dua kelompok dimana perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah satu atau kedunya saling terganggu. Sedangkan Aldag dalam Wahyudi (2011:18) mengartikan konflik adalah ketidak sepahaman antara dua atau lebih individu/kelompok sebagai akibat dari usaha kelompok lainnya mengganggu pencapaian tujuan. International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 dalam Unwanullah (2012) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satupemeluk agama tertentu. Selanjutnya, Rahim (2002, p. 208) dalam Wikipedia mendefinisikan manajemen konflik sebagai: Conflict management is the process of limiting the negative aspects of conflict while increasing the positive aspects of conflict, dan Azem, (2005) merumuskan Conflict management covers every action taken by the parties to the conflict to handle the situation. Khayati (2013) mengemukakan bahwa manjemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. Menurut Ross (1993) dalam William (2001: 247), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Wirawan (2010: 129) mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang di inginkan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah penerapan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik maupun pihak lain yang tidak terlibat, dalam menghadapi/mengendalikan suatu konflik yang timbul dalam suatu organisasi dalam rangka mengarahkan perselisihan untuk menghasilkan resolusi yang diinginkan sehingga tercapai tujuan organisasi. Selanjutnya dari definisi-definisi tersebut, terdapat sejumlah kata kunci dalam manajemen konflik yang perlu digarisbawahi, yaitu: a) Pihak yang terlibat konflik. Manajemen konflik dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik atau pihak lain, b) Strategi konflik. Manajemen konflik merupakan proses penyususnan strategi konflik sebagai rencana untuk memanajemi konflik, c) Menghadapi/mengendalikan konflik. Pihak yang menghadapi konflik, manajemen konflik merupakan aktivitas mengendalikan konflik, demi menciptakan keluaran konflik yang menguntungkan, d) Resolusi konflik, jika manajemen konflik bertujuan untuk mencari solusi yang diterima oleh masing-masing pihak. e) Kemampuan beradaptasi. Organisasi yang sehat mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkunagn eksternal maupun lingkungan internalnya, dan f) Memfokuskan pada tujuan. Aktivitas dan anggota organisasi yang sehat akan memfokuskan diri pada pencapaian tujuan. Persepsi seseorang terhadap konflik dilatarbelakangi oleh pengalaman dalam mengelola organisasi, tingkat pendidikan, dan pengaruh lingkungan social. Stoner dan Freeman(1989:392) dalam Umam (2012:264) membagi pandangan konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View). Perbedaan pandangan tersebut disajikan dalam table di bawah ini. Table pandangan tradisional dan modern tentang konflik Pandangan tradisional Pandangan Modern Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat dihindari Konflik disebabkan oleh kesalahan Konflik disebakan manajemen dalam merancang dan factor,seperti memimpin organisasi oleh struktur banyak organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, dan nilainilai Konflik mengacaukan organisasi Konflik mengurangi kinerja organisasi dalam pelbagai tingkatan Manajemen bertugas mengeliminasi Manajemen bertugas mengelola dan konflik mengatasi konflik sehingga tercapai kinerja yang optimal Untuk mencapai kinerja yang optimal Untuk mencapai kinerja yang optimal konflik harus dihilangkan membutuhkan tingkat konflik yang moderat Robbin (1996: 431) dalam Wahyudi (2011:15) membagi transisi pemikiran tentang konflik ke dalam tiga fase, yaitu: 1)Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan; 2)Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi; dan 3) Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif. Sedangkan jika dilihat dari faktor penyebab konflik, menurut Robins dalam Umam (2012:267), konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedens condition). Kondisi tersebut yang juga disebut sumber terjadinya konflik, terdiri atas tiga kategori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. B. Tujuan Walton, R.E. 1987:79; Owens,R.G.,1991dalam Wahab (2011: 356), mengemukakan: Tujuan manajemen konflik untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Fisher (2000) dalam Thontowi mengemukakan Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Wikipedia (2012) merumuskan tujuan manajemen konflik sebagai: The aim of conflict management is to enhance learning and group outcomes, including effectiveness or performance in organizational setting. Wirawan (2010:132) menyatakan, tujuan manajemen konflik adalah sebagai berikut: 1. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi,misi dan tujuan organisasi.Organisasi yang mapan memiliki visi, misi, dan tujuan yang strategis.Ketiganya harus dicapai atau direalisasikan dengan cara yang sistematis dan dalam suatu kurun waktu yang direncanakan. Konflik dapat mengganggu perhatian serta mengalihkan energy dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai, visi,misi, dan tujuan. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik dapat berkembang menjadi konflik destruktif. 2. Memahami orang lain dan mneghormati keberagaman.Dalam menjalankan tugasnya, seorang anggota organisasi tidak mungkin bekerja sendiri, tetapi memerlukan bantuan rekan lainnya.Ia harus berkomunikasi dengan baik pada rekannya.Untuk itu ia harus memahami karakteristik rekan kerjanya yang memiliki berbagai perbedaan, seperti suku, agama, bahasa, pribadi, perilaku, pola pikir, dan sebagainya. 3. Meningkatkan kreativitas Konflik di tempat kerja dapat dimanajemi untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi, serta mengembangkan produktivitas. 4. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang. Seringkali konflik yang terjadi berkaitan dengan keputusan yang harus diambil oleh organisasi. Keputusan yang diambil kemungkinan besar akan salah atau tidak bijak bagi organisasi jika tidak berdasarkan pengembangan dan pemilihan alternative berdasarkan informasi yang akurat. Konflik atau perbedaan pendapat memfasilitasi terciptanya berbagai alternative keputusan dan penggunaan informasi yang akurat untuk memilih salah satu alternative yang terbaik. 5. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama. Konflik harus mampu mengooptasi dan menciptakan pygmallion effect bagi anggota organisasi. Mengooptosasi adalah mengikutsertakan anggota organisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi aktivitas organisasi, dan pygmallion effect adalah membesarkan hati para anggota organisasi bahwa mereka mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk ikut serta dalam pencapaian tujuan organisasi. 6. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik Organisasi yang mapan dapat belajar dari berbagai situasi konflik yang dihadapi. Dari pembelajaran tersebut, prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik dikembangkan, dan jika prosedur tersebut dapat berhasil menyelesaikan konflik , maka akan digunakan secara berulang, sehingga akan menjadi norma budaya organisasi. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan tujuan manajemen konflik adalah sebagai berikut: 1. Memelihara konflik agar berkembang menjadi konflik fungsional 2. menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Meningkatkan efektivitas organisasi 4. Mencegah adanya gangguan dalam mencapai tujuan organisasi 5. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman 6. Meningkatkan kreatifitas 7. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang 8. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama. 9. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik C. Fungsi Harjana (1994) dalam wahab (2011:356) mengemukakan manajemen konflik berguna dalam mencapai tujuan yang diperjuangkan dan menjaga hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik tetap baik. Rahim (2011) dalam Setabasri (2011) merumuskan fungsi konflik adalah sebagai berikut : 1. Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan 2. Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi 3. Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan 4. Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama 5. Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat 6. Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah 7. Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka. D. Prinsip-prinsip Sutopo (2010:282) mengemukakan ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan para manajer, organisator, atau pemimpin dalam melaksanakan manajemen konflik, antara lain: 1. Perlakukanlah secara wajar dan alamiah Konflik yang timbul dalam penyelenggaraan satuan pendidikan adalah sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Konflik kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari organisasi, tak perlu dihindari tetapi harus dihadapi pimpinan melalui manajemen konflik.Oleh karena itu pelaksanaan manajemen konflik perlu dilakukan secara wajar dan alamiah sebagaimana pelaksanaan manajemen bidang lainnya. 2. Konflik merupakan dinamisator organisasi. Pandanglah bahwa organisasi tanpa konflik berarti diam, statis, dan tidak mencapai kemajuan yang diharapkan. Namun demikian konflik harus ditata sedemikian rupa agar dinamika yang terjadi benar-benar dapat menjadi sesuatu yang positif untuk menghsilkan perubahan sekaligus mendukung perkembangan dan pencapaian tujuan pendidikan. 3. Media pengujian kepemimpinan Kepemimpinan tidak hanya diuji ketika membawa anggota mencapai tujuan berdasarkan rutinitas tugas formal belaka.Kepemimpinan yang bersangkutan akan lebih teruji apabila menghadapi konflik. 4. Fleksibilitas strategi Strategi manajemen konflik yang digunakan oleh pemimpin adalah fleksibel, artinya pemilihan penggunaan strategi dimaksud sangat bergantung ,pada: (1) jenis materi koflik dan sumber penyebabnya, (2) karakteristik pihakpihak yang berkonflik, (3)sumber daya yang dimiliki, (4) kultur masyarakat dan iklim organisasi, (5) antisipasi dampak konflik, dan (6) intensitas dan keluasan konflik KAJIAN II JENIS-JENIS KONFLIK Konflik banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya pihak-pihak yang berkonflik, posisi seseorang dalam organisasi, dan sebagainya.Dari segi fungsi Robins (1996) dalam Umam (2012: 265) dan Gibson, Ivance vich,dan Donelly (1996:439) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: a) konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan dan memperbaiki kinerja kelompok, b) konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. Konflik fungsional adalah sebuah konfrontasi diantara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Sebagai contoh, dua departemen di sebuah rumah sakit berselisih tentang metode yang paling efisian dalam pemberian perawatan kesehatan kepada keluargakeluarga kurang mampu. Kedua belah pihak setuju pada tujuannya tetapi tidak pada cara-caranya, tetapi apapun hasilnya keluarga kurang mampu mendapat perawatan kesehatan yang lebih baik.Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi diantara kelompok yang merugikan organisasi atau merintangi jalannya organisasi. Manajemen harus berusaha untuk menghilangkan konflik jenis ini. Kriteria yang menunjukkan apakah konflik tergolong konflik fungsional atau konflik disfungsional dilihat dari dampak konflik terhadap kinerja kelompok. Jika dampak konflik dapat meningkatkan kinerja kelompok,meskipun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut tergolong fungsional. Sebaliknya bila konflik hanya memuaskan individu maka tergolong konflik disfungsional. Soetopo (2012:274) membagi konflik juga menjadi dua, yaitu: 1) konflik konstruktif dan konflik destruktif. Konflik konstruktif adalah konflik yang memiliki nilai positif bagi pengembangan organisasi, misalnya dapat meningkatkan kinerja organisasi.dengan kata lain adanya konflik justru mendatangkan manfaat. Sedangkan konflik destruktif adalah konflik yang memiliki nilai negative bagi organisasi. Dengan konflik mendatangkan kerusakan bagi organisasi. Berdasarkan posisi seseorang dalam struktur organisasi, Kurniadin dan Machali (2009:269) membagi jenis konflik menjadi empat macam, yaitu: a)Konflik verikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi; b) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka yang memiliki kedudukan sama; c) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasihat dalam organisasi; d) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Berdasarkan pihak yang berkonflik Stoner dan Freeman (1989:393) dalam Umam (2012:266) membagi konflik menjadi enam, yaitu:1) konflik dalam diri individu.Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuan, 2) konflik antar individu. Konflik ini terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain; 3) konflik antar idividu dalam kelompok. Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja; 4) konflik antar kelompok dalam organisasi.Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya; 5) konflik antar organisasi. Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negative bagi organisasi lainnya: dan 6) konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda. Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negative bagi anggota organisasi lain. Soekanto (1981) dalam Wahab (2006: 347) membagi konflik menjadi lima, yaitu: 1) konflik pribadi, 2) konflik rasial, 3) konflik antar kelas-kelas social, 4) konflik politik antar golongan-golongan dalam masyarakat, dan 5) konflik berskala internasional antar Negara. Senada dengan pendapat tersebut Wankel yang dikutip oleh Winardi (2004:37) membagi tipe-tipe konflik menjadi lima, yaitu: 1) konflik dalam diri individu, 2) konflik antar individu-individu dalam organisasi, 3) konflik antar individu-individu dan kelompok, 4) konflik antar kelompok-kelompok dalam organisasi, dan 5) konflik antara organisasi-organisasi dalam ruang lingkup ekonomi di Amerika Serikat dan banyak Negara lain. Mastenbroek (1987) dalam Soetopo (2012:275) membagi konflik menjadi empat jenis, yaitu:1) instrumental conflict. Terjadi karena adanya ketidaksepakatan komponen organisasi dan proses pengoperasiannya; 2) socioemotional conflict.Konflik ini berkaitan dengan identitas, emosi, citra diri, prasangka, kepercayaan, rasa terikat dan identifikasi kelompok; 3) negotiating conflicts. Konflik ini merupakan ketegangan-ketegangan yang muncul saatterjadinya proses negosiasi, misalnya saat membagi uang,barang dansebagainya; dan 4) power and dependency conflict. Konflik ini merupakan konflik kekuasaan dan kebergantungan berkaitan dengan persaingan dalam organisasi, misalnya pengamanan dan penguatan kedudukan yang strategis, tanggung jawab, peranan, control, dan sebagainya. Wirawan (2006:55) mengelompokkan konflik berdasarkan jumlah orang yang terlibat konflik, yaitu konflik personal dan konflik interpersonal. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seorang individu, karena harus memilih sejumlah alternative pilihan yang ada atau karena mempunyai kepribadian ganda. Konflik ini dibedakan menjadi tiga, yaitu: a) konflik pendekatan ke pendekatan (approach to approach conflict). Konflik yang terjadi karena harus memilih dua alternative yang berbeda, tetapi sama-sama menarik atau sama baik kualitasnya, sebagia contoh seorang lulusan SMA harus memilih dua universitas negeri yang sama kualitasnya ; b) Konflik menghindar ke menghindar (avoidance to avoidance conflict ). Konflik yang terjadi karena harus memilih alternative yang sama-sama harus dihindari.Sebagi contoh, seseorang harus memilih apakah harus menjual mobil untuk dapat kuliah atau tidak menjual mobil tetapi tidak bias kuliah; c) Konflik pendekatan ke menghindar (approach to avoidance conflict). Konflik yang trejadi karena seseorang mempunyai perasaan positip dan negative terhadap sesuatu hal yang sama. Sebagai conyoh, Amin mengambil telpon untuk menyatakan cinta kepada Aminah, tetapi ia takut cintanya ditolak. Oleh karena itu ia tutup kembali telponnya. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi dalam suatu organisasi atau konflik di tempat kerja. Konflik interpersonal adalah konflik pada suatu organisasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik dan saling tergantung dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi.Konflik interpersonal terdapat dalam tujuah macam bentuk. Berikut adalah ketujuah macam bentuk tersebut: a) Konflik antar manajer, b) konflik antara pegawai dan manajer, c) konflik hubungan industrial, d) konflik antar kelompok kerja, e) konflik antara anggota kelompok kerja dan kelompok kerjanya, f) konflik interes (conflict of onterest), dan h) konflik antara organisasi dan pihak diluar organisasi. Wirawan (2009:62) juga membagi konflik berdasarkan bidang kehidupan yang menjadi obyek konflik. Namun sering kali, suatu jenis konflik tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan konflik sejumlah aspek kehidupan lain.Berikut adalah contoh-contoh konlfik multidimensi yang dialami Indonesia, yaitu: 1) konflik ekonomi. Konflik ekonomi adalah perebutan sumber-sumber ekonomi yang terbatas, misalnya senketa lahan pertanian antara anggota masyarakat dan perusahaan perkebunan; 2) Konflik bisnis. Konflik bisnis terjadi karena keinginan setiap pengusaha untuk menguasai bagian pasar seluas mungkin, sehingga dapat menimbulkan monopoli; 3) Konflik potitik. Konflik politik adalah konflik yang terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya mendapatkan dan mengumpulkan kekuasaan yang sama pada jumlah yang terbatas dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan atau ideologinya; konflik agama; 4) Konflik agama bisa terjadi diantara dua pemeluk agama yang berbeda atau diantara pemeluk agama yang sama. Konflik agama adalah konflik diantara pemeluk/penganutnya, bukan konflik dengan ajaran agama; 5) konflik social.Konflik social timbul karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok social yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, karena kemiskinan,atau karena terjadinya migrasi manusia dari satu tempat ke tempat lain; 6) Konflik budaya. Masyarakat beragam jenisnya oleh karena itu budayanya beragam. Kergaman budaya menimbulkan keragaman sikap dan perilaku yang dapat memunculkan konflik. Ghaffar (2012:215)) membagi tipe konflik menjadi lima, berdasarkan sumber penyebab terjadinya konflik,yaitu : 1) Affective Conflict, suatu kondisi di mana anggota kelompok memiliki bentrokan ditandai dengan kemarahan, frustrasi , dan lainnya 2) Substantive Conflict. konflik jenis ini ditandau ditandai perbedaan pendapat, gagasan antar anggota kelompok tentang tugas yang sedang dilakukan , seperti ketidaksepakatan tentang posisi strategis saat organisasi atau menentukan data yang benar untuk disertakan dalam laporan 3) Conflict of Interest, Jenis konflik ini terjadi ketika masing-masing pihak , berbagi pemahaman yang sama dari situasi , lebih memilih solusi yang berbeda dan agak bertentangan dengan masalah yang melibatkan baik distribusi sumber daya yang langka diantara mereka atau keputusan untuk berbagi pekerjaan, 4) Conflict of Values, Hal ini terjadi ketika dua entitas sosial berbeda dalam nilai-nilai atau ideologi mereka pada issu tertentu. Ini juga disebut konflik ideologi . dan 5) Goal Conflict. Hal ini terjadi ketika hasil pilihan akhir dua kelompok sosial tidak konsisten. Johns, 1988; Hellriegel et al, 1992 dalam Afful-Broni (2012) mengelompokkan konflik menjadi empat tipe, yaitu: conflicts about goals, conflicts about facts or opinions, interpersonal conflicts, and procedural conflicts. KAJIAN III TEKNIK PENYELESAIAN KONFLIK Konflik dalam sebuah organisasi bisa menguntungkan bisa pula merugikan (Soetopo, 2012: 269), tergantung bagaimana sumberdaya manusia dalam organisasi mengelolanya. Konflik perlu dikelola dengan benar agar menjadi potensi untuk efektifitas pencapaian tujuan organisasi. Gordon (1990) dan Miftah thoha (1995) dalam Sutopo (2012: 276) mengemukakan strategi mananjemen konflik secara umum yaitu, strategi menang-kalah, strategi kalah-kalah, dan strategi menang-menang. The Thomas Killman in (A.D. Slabbert, 2012)mengemukakan: “Conflict Mode Instrument is widely used to assess conflict management styles. The instrument uses two parameters, i.e., assertiveness and cooperation, resulting in five distinct styles: avoiding, competing, collaborating, accommodating and compromising” Blake and Mouton (1964) in Saylor (2013)” were among the first to present a conceptual scheme for classifying the modes (styles) for handling interpersonal conflicts into five types: forcing, withdrawing, smoothing, compromising, and problem solving”. Senada dengan Thomas kilman, model penyelesaian konflik yang dikemukan oleh Megginson, Mosley, dan Pietri (1996) dalam Soetopo (2012: 278) juga mendasarkan pada dua dimensi utama, yaitu Kebekerjasamaan (Cooperativeness) dan Kegigihan (Assertiveness). Megginson menggambarkan paduan kerjasama dan kegigihan penyelesaian konflik itu dalam bentuk Grid (kisi-kisi) sebagaimana gambar di bawah ini Tinggi Kompetisi atau Pemaksaan (II) Kolaborasi atau Pemecahan Masalah (V) Kompromi (IV) KEGIGIHAN Penghindaran Diri (I) Rendah Penyesuaian Diri (III) KEBEKERJASAMAAN Tinggi Gambar 2.1 Model Penyelesaian Konflik, diadopsi dari Megginson, et al. (1986: 459) Menurut gambar di atas, terdapat lima model penyelesaian konflik, yaitu: 1) Penghindaran. Penyelesaian model ini dengan kegigihan rendah dan kebekerjasamaan rendah (Kuadran I).Dalam model ini konflik cenderung didiamkan, masingmasing pihak menghindarkan diri seperti tidak terjadi apa-apa. 2) Kompetisi atau pemaksaan. Penyelesaian model ini dengan kegigihan tinggi dan kebekerjamaan rendah( kuadran II). Dalam model ini ada salah satu pihak yang menggunakan wewenang untuk memaksa pihak lain menerima apa yang telah diputuskan oleh yang berwenang. 3) Penyesuaian diri. Penyelesaian model ini dengan kegigihan rendah, kebekerjasamaan yang tinggi (kuadran III). Penyelesaian model ini yang terpenting hubungan antar anggota organisasi terbina dengan baik, sehingga pihak yang satu menyesuaikan pihak yang lain. 4) Kompromi. Penyelesaian model ini dengen kegigihan sedang dan keberkejasaam sedang (kuadran IV). Dalam model ini terjadi adanya tawar menawar antara kedua belah pihak. Pihak ketiga tidak jarang masuk dalam penyelesaian konflik sebagai penengah. 5) Kolaborasi. Terdapat kegigihan yang tinggi dan kebekerrsamaan yang tinggi pula (kuadran V).Pihak-pihak yang berkonflik berusaha menemukan solusi yang terbaik atas konflik yang dialami. Sejalan dengan Megginson, Marshall (1995) dalam (Suprayitno, 2012) juga mengkategorikan gaya penanganan konflik bersandar pada dua variabel, yaitu cooperativeness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain dan assertiveness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingannya sendiri). Perpaduan dua variabel tersebut menghasilkan lima gaya tanggapan konflik sebagai berikut: 1) Pengabaian (Penghindaran), yaitu suatu tindakan untuk menghindari konflik yang dinilai akan menindas atau menciptakan konflik yang berkepanjangan. Cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Penghindaran/pengabaian bisanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan menilai bahwa pihak lain memiliki kekuatan yang tidak signifikan. 2) Akomodasi, yaitu suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. 3) Kompetisi (Menang/Kalah), yaitu tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan pihak lain, dengan kata lain satu pihak memastikan bahwa dia yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya. 4) Kompromi, yaitu tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati biasanya tidak tercapai. 5) Kolaborasi (Penyelesaian Masalah). Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: “menang-menang”. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Lebih lanjut, menurut Wahyudi (2009:50) Secara umum ada tiga cara dalam menyikapi konflik yaitu: 1) Stimulasi konflik, 2) Pengurangan (reduce) atau penekanan konflik, dan 3) Penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi pihak-pihak yang sedang berkonflik. Sejalan dengan beberapa pendapat tersebut, Prijosaksono dan Sembel (2003) dalam (Tonthowi, 2012) mengemukakan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang-kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik yaitu: 1) Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi). K uadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semuapihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnyakeinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu terhadap kedua kepentingan tersebut; 2) Kuadran Menang-Kalah (Persaingan). Kuadran kedua ini memastikan bahwa ada pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk mencapai kemenangan. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga hanya digunakan dalam keadaa terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas; 3) Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi). Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalah-menang ini berarti ada pihak berkonflik yang berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasikepentingan pihak lain. Gaya digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangitingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaianyang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian terhadap konflik yangtimbul antara kedua pihak; 4) Kuadran KalahKalah (Menghindari konflik). Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Cara ini sebenarnya hanya bisadilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Flippo (1994) dalam Sudjito (2012) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: 1) Cara menang kalah dimana satu pihak memaksa pihak lain untuk mengalah, 2) Menarik diri dan mundur dari perbedaan pendapa, 3) Memperhalus perbedaan-perbedaan atau membuat perbedaan itu kelihatan kurang penting, 4) Mengutamakan tujuan, dimana kedua pihak untuk sementara diminta menghentikan perselisihan perselisihan demi kerjasama dalam hal-hal yang lebih bernilai dan lebih penting, 5) Mengkompromikan, memisahkan perbedaan dan berunding untuk mencapai posisi - posisi antara yang dapat diterima, 6) Penyerahan kepada suatu pihak ketiga dari luar untuk mengambil keputusan seorang wasit dan, 7) Mengundang pihak ketiga dari luar untuk menengahi dan membantu dua pihak utama mencapai suatu penyelesaian. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan menurut Winardi (1994) dalam (Wahyudi, 2011:50) adalah dominansi, kompromi, dan pemecahan problem secara integratif. Dominansi adalah teknik penyelesaian konflik dengan yang cocok digunakan apabila: a) suatu keputusan harus segera diambil atau jika persoalan kurang penting, b) keadaan terpaksa dan tidak mempunyai pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik, c) untuk menaruh perhatian pada seperangkat kebutuhan yang spesifik, d) berkaitan dengan persoalan-persoalan yang bersifat vital, e) bawahan bekerja tidak sesuai dengan performansi yang ditetapkan oleh organisasi.Kompromis tepat dijadikan teknik pengelolaan konflik apabila: a) pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai kekutan seimbang, b) sebagai alternative penyelesaian konflik jika metode konptisis tidak berhasil, c) isu-isu yang dijadikan konflik sangan komplek, d) untuk mencapai penyelesaian sementara atas maslah yang komplek, dan e) masing-masing pihak tidak ingin dirugikan. Adapun pemecahan masalah adalah teknik penyelesaian konflik yang tepat dipilih apabila tidak terdapat kepercayaan antar kelompok ayng terlibat konflik, cara dominansi tidak mungkin dilaksanakan karena keduabelah pihak sulit dipaksa atau tidak ada kewenangan untuk menekan konflik, masing-masing pihak mempunyai perspektif yang berbeda dalam membuat keputusanfinal. Thoha (2013:109) menyebutkan beberapa strategi dasar dalam memecahkan persoalan-persoalan konflik antar pribadi ada tiga, yaitu: 1) samasama merugi (lose-lose), kalah menang (win-lose), dan menang-menang (winwin). Strategi sama-sama rugi (lose-lose) dapat dilakukan dengan pendekatan y adalah kompromi, memberikan perhatian pada salah satu pihak yang berkonflik, menggunakan pihak ketiga (mediasi), dan menggunakan peraturan yang ada untuk memecahkan persoalan. Startegi. Strategi kalah menang (win-lose) adalah suatu cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan memaksakan kekuatan untuk mengalahkan pihak lain. sedangkan strategi menang-menang (win-win) menyelesaikan konflik dengan mengambil asepek-asepek kebaikan dari strategi kalah menang dan membuang aspek negative dari yang tidak fungsional. Berdasarkan teori-teori tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa teknikteknik penyelesaian konflik guru ada 5 macam, yaitu: (1) penghindaran (avoiding). Dalam gaya manjemen konflik ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas dan Kilmann bentuk menghindar tersebut bias berupa: a) menjauhkan diri dari pokok masalah, b) menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau c) menarik diri dari konflik yang mengancam atau merugikan; (2) kompetisi atau pemaksaan (competiting). Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, di mana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan lawannya; (3) akomodasi (accommodating). Gaya manajemne konflik dengan dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerjasama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingannya sendiri dan berupaya memuasakan kepentingan lawan konfliknya; (4) kompromi (compromising).Gaya ini disebut gaya manajemen konflik tengah atau menengah. Dengan menggunakan strategi member dan mengambil, kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternative titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka; (5) kolaborasi (colaborating). Gaya manjemen konflik ini bertujuan mencari alternative, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan semua pihak yang terlibat konflik.gaya kolaborasi merupakan gaya negosiasi untuk menemukan solusi yang sepenuhnya memuaskan kedua belah pihak yang berkonflik. Wirawan (2009:142) menjelaskan ketrampilan yang digunakan utuk menggunakan berbagai gaya manajemen konflik ke dalam bentuk table sebagaiberikut: Kompetisi Berdebat dan membantah Berpegang teguh pada pendirian Menilai pendapat dan perasaan sendiri dan lawan konflik Menyatakan posisi diri secara jelas Kemampuan memperbesar kekuasaan diri Kemampuan memperkecil kekuasaan lawan Menggunakan berbagai taktik mempengaruh i Kolaboratif Mendengarkan dengan baik yang dikemuk konflik Kemampuan bernegosiasi Mengidentifikas i pendapat lawan Konfrontasi tidak mengancam Menganalisa masukan Memberikan konsesi Kompromi Menghindar Akomodasi Kemampuan Kemampua Kemampua bernegosiasi n menarik n melupakan Mendengark diri an lawan Kemampua keinginan diri sendiri Mengevaluas n meninggalk Kemampua i nilai Menemukan an sesuatu n melayani tanpa lawan jalan tengah terselesaika konflik Memberikan n Kemampua konsesi Kemampua n n untuk mematuhi mengesamp perintah. ingkan masalah Kemampua n untuk menerima kekalahan Kemampua n meupakan sesuatu yang menyakitka n KAJIAN IV IMPLIKASI KONFLIK A. Implikasi Positip Konflik mempunyai pengaruh besar terhadap umat manusia. Baik pengaruh positif maupun negative. Winardi (2009: 106) menjabarkan pengaruh positif konflik, anta lain: a) menciptakan perubahan. Konflik dapat mengubah dan mengembangkan kehidupan manusia. Misalnya konflik antara penjajah dan bangsa yang dijajah menghasilkan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah; b) membawa objek konflik ke permeukaan. Tanpa terjadinya konflik, obyek konflikpokok masalah yang trependam- dinatara pihak-pihak yang terlibat konflik tidak akan muncul ke permukaan. Tanpa muncul ke permukaan konflik tidak akan terselesaikan; c) memahami orang lain lebih baik. Konflik membuat orang memahami adanya orang lain yaitu lawan konflik yang berbeda pendapat, berbeda pola pikir, dan berbeda karakter; d) menstimulus cara berpikir yang kritis dan meningkatkan kreatifitas . konflik akan menstimulasi orang untuk berpikir kritis terhadap lawan konfliknya dan posisi dirinya sendiri. Orang harus memahami mengapa lawan konfliknya mempunyai pendapat berbeda dan mempertahankan pendapatnya; e) manajemen konflik dalam menciptakan solusi terbaik. Jika dimanajemeni dengan baik, konflik dapat menghasilkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak yang terlibat koflik; dan f) konflik menciptakan revitalisasi norma. Perubahan norma yang terjadi dimasyarakat sering terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai norma yang berlaku antara pihak yang ingin mempertahankannya dan anggota masyarakat yang ingin mengubahnya.apabila konflik tersebut dimanajemnei dengan baik, akan menghasilakn norma baru yang merupakan revitalisasi norma yang sudah ada akan berkembang. Robert J. Edelmann dalam Basriseta (2011) membagi efek konflik ke dalam dua kategori yaitu efek negatif dan efek positif. Efek positif konflik bisa antara lain sebagaiberikut: 1) Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam; 2) Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan; 3) Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai; 4) Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas; 4) Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja. B. Implikasi Negatif Winardi (2009: 108) menjabarkan pengaruh negtif dari konflik antara lain: a) biaya konflik.Konflik memerlukan biaya untuk melakukan transaksi interaksi konflik dalam bentuk sumber-sumber, seperti energy fisik, energy psikologi, uang, waktu, dan peralatan. Makin tinggi intensitas konflik, makin tinggi sumber yang digunakan; b) merusak hubungan dan komunikasi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Konflik, terutama konflik destruktif menurunkan kualitas dan internsitas hubungan dinatar pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik dapat menimbulkan rasa tidak senang, marah, benci, antapati, dan agresi kepada lawan politiknya; c) merusak system organisasi. Organisasi merupakan struktur social yang unit-unit kerja (subsistem) dan para anggotanya saling berhubungan, saling membantu, dan saling tergantung satu sama lain dalam mencapai tujuan organisasi. Konflik dapat merusak system dan menciptakn sinergi negative; d) menurunkan mutu pengambilan keputusan. Konflik yang konstruktif atau sehat membantu dalam pengambilan keputusan dengan menyediakan alternative yang diperlukan, akan tetapi jika konflik berkemabnga menjadi konflik derstruktif dan tidak sehat akan mengahsilkan kebuntuan diskusi, fitnah, agresi dan sabotase, serta menghilangkan sikap asling percaya. Situasi seperti ini tidak mungkin mengembangkan sumber alternative dalam keputusan; e) kehilangan waktu kerja, jika konflik berkembang menjadi konflik destruktif, 10-30 % waktu manajer dan bawahanya digunakan untuk menyelesaikan konflik; f) sikap dan perilaku negative. Konflik antar manajer dan para pegawai akan menurunkan motivasi kerja, komitmen berorganisasi, absentisme, kepuasan kerja, rasa saling percaya, serta sabotase dan pencurian; g) kesehatan. Konflik menyebabkan pihak yang terlibat konflik marah, stress, kecewa, emosional, dan irasional. Keadaan ini meningkatkan kemungkinan meningkatkna tekanan darah, kolesterol, stroke, dan serangan jantung, yang dapat menyebakan orang meninggal dunia. Robert J. Edelmann dalam Basriseta (2011) mengemukakan Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja (job stress). Berikut adalah rincian efek negatif konflik organisasi: 1) Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai; 2) Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja tersebut punya pola makan tidak sehat, bisa meningkatkan kadar kolesterol; 3) Tanda perilaku yang meliputi menjauhkan diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok yang berlebih, yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan; 4) Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Soemarman (2013) menjelaskan pengaruh konflik dapat menurunkan produktivitas kerja, semangat kerja rendah, kekecewaan yang berlipat ganda, dan meningkatnya ketegangan serta stress. Soemarman (2013:80) juga mengutip pendapat Daniel Damara yang mengemukakan bahwa akibat-akibat konflik yang merugikan pekerjaan(2001:17-36), antar lain: 1) wasted time (pemborosan waktu);2) Bad decisions (pembuatan keputusan yang buruk); 3) los employees (kehilangan karyawan yang baik); 4) unnecessary restructuring (restrukturisasi pekerjaan yang tak perlu); 5) sabotage, theft, damage (sabotase, pencurian, perusakan); 6) Lowered job motivation (motivasi kerja rendah); 7) lost work time (kehilangan waktu kerja; dan 8) health costs ( biaya kesehatan karyawan meningkat). Daniel Damara (2001, 31-37) juga berpendapat resiko yang ditimbulkan oleh konflik dapat berupa: workplace violence (tindakan kekerasan di tempat kerja), unionization, labor strike (pemogokan pekerjaan), vandalism ( coretan-coretan), malicious whistle blowing (kasak-kusuk, gossip), dan retaliatory lawsuits (perlawanan hukum) Pendapat adanya pengaruh positif dan penagruh negative dari konflik diperkuat oleh Bahtijarević, (1993, 57) in Spaho, K (2013) mengemukakan bahwa :”Conflict can have positive and negative effects on the organization.Positive effects initiate necessary social changes, developing of creative ideas and innovations, presenting important problems, making quality decisions and solving problems, organization re-engineering,developing solidarity and group cohesion.Negative effects are similar to bad cooperation, as they waste time that can be used in a more productive manner”. Dampak konflik menurut Wahab (2006:336) jika tidak dikelola secara baik, konflik menyebabkan kedua belah pihak yang terlibat konflik menjadi tidak harmonis dalam hubungan kerja, kurang termotivasi dalam bekerja, dan berakibat menurunnya produktivitas kerja. Sebaliknya bila konflik dikelola secara baik, suasana kerja menjadi dinamis, setiap anggota lebih kritis terhadap perkembangan organisasi, setiap kelompok berusaha melakukan kerja yang terbaik untuk kepentingan bersama. Konflik dapat mempengaruhi performance kerja. Hubungan konflik dengan performansi kerja dijelaskan oleh Aldag (1987) sebagai berikut: bahwa dalam satu organisasi apabila tingkat konflik optimal yaitu tingkat konflik fungsional berdampak pada performansi organisasi menjadi maksimal, bila konflik terlalu rendah performansi organisasi mengalami stagnasi atau rendah, tetapi jika tingkat konflik terlalu tinggi, maka akan timbul kekacauan, tidak kooperatif, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Robins,S.P.(1996) dalam Wahyudi (2011:88) menjabarkan hubungan konflik dengan keefektifan organisasi ke dalam table sebagai berikut: Tabel. Hubungan Konflik dengan Efektifitas Organisasi Situasi Tingkat Konflik A Rendah B C Dampak Karakteristik internal Konflik organisasi Disfungsional -Apatis -Stagnasi -Lambat beradaptasi -Kurang ide/gagasan -sedikit perubahan Optimal Fungsional Tinggi - Inovatif - Kritis terhadap organisasi - Tanggapterhadap perubahan - Kreatif dan beradaptasi Efektifitas organisasi Rendah Tinggi intern cepat Disfungsional - Saling menghambat Rendah pekerjaan - Tidak kooperatif - Ego kelompok tinggi - Sikap otoritarian - Agresivitas tinggi Table di atas menunjukkan bahwa pada sebuah organisasi, tingkat konflik optimal (posisi B) merupakan jenis konflik fungsional sehingga organisasi menjadi efEktif dan mempunyai karakteristik: inovatif, kritis terhadap intern organisasi, tanggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi. Berdasarkan uraian tentang implikasi konflik yang terjadi pada sebuah organisasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pimpinan suatu organisasi harus dapat menjaga konflik dalam posisi optimal, sehingga organisasi dapat berjalan efektif. Dapat disimpulkan pula bahwa konflik dapat berimplikasi negative jika tidak dikelola secara baik. Implikasi negative tersebut antara lain: 1) menurunnya kemampuan berkosentrasi dalam berfikir, menurunnya rasa percaya diri, menurunnya semangat kerja, meningkatnya stress, dan menurunnya performance kerja atau produktifitas kerja. Sebaliknya konflik dapat berimplikasi positif bila dikelola secara baik. Implikasi positif tersebut antara lain: 1) meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dalam berfikir, 2) meningkatnya kepercayaan, 3) meningkatnya semangat dan motivasi kerja, memperkuat hubungan, dan meningkatkan performance kerja atau produktifitas kerja. Diantara kata kunci dalam implikasi positif dari konflik adalah meningkatnya semangat kerja, meningkatnya kepercayaan, memperkuat hubungan dan meningkatnya performance kerja merupakan hal-hal yang menunjukkan sikap semangat kebersamaan antar anggota suatu organisasi. Kata kebersamaan memiliki makna sebuah ikatan yang terbentuk karena rasa kekeluargaan/persaudaraan, lebih dari sekedar bekerja sama atau hubungan profesional biasa. Anggota organisasi yang memiliki sikap kebersamaan akan merasa sehati dan sepikir, tidak egois, memiliki sifat rendah hati, dan rela berkorban untuk kepentingan bersama. Sikap sehati dan sepikir bukan dimaksudkan bahwa isi hati dan pikiran semua anggota harus sama, tetapi dimaksudkan untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama, mengutamakan untuk melakukan hal-hal yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Meskipun tidak dipungkiri bahwa setiap orang memiliki berbagai perbedaan baik, visi, misi, tujuan, norma, persepsi, ide, sifat dan kepentingan lain, tetapi hendaknya tidak egois untuk mengutamakan kepentingan sendiri,melainkan mengutamakan kepentingan organisasi. Untuk dapat mengutamakan kepentingan organisasi, diperlukan sikap rendah hati dan rela berkorban. Seorang yang rendah hati dan rela berkorban, tidak akan merasa bahwa ide dan pemikirannya yang paling benar dan harus selalu digunakan dalam menjalankan organisasi, tetapi lebih mengutamakan keputusan atau ketetapan organisasi yang diperoleh melalui musyawarah. Semangat kebersamaan juga menunjukkan suatu kondisi yang memperlihatkan bahwa seluruh anggota organisasi merasa memiliki identitas, komitmen, sikap, ide dan tindakan yang sama untuk mewujudkan tujuan organisasi. Anggota organisasi yang memiliki semangat kebersamaan akan merasa bangga dengan identitas organisasinya, menjaga komitmennya, memiliki ide-ide dan tindakan untuk membesarkan nama organisasi yang mewadahinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bila konflik dikelola secara baik, maka akan berimplikasi positif yaitu dapat menciptkan semangat kebersamaan diantara anggota organisasi yang ditandai dengan beberapa sikap, yaitu: merasa memiliki identitas bersama, seide dan sepikiran, saling percaya, rendah hati, rela berkorban, memilik semangat kerja tinggi, dan produktifitas kerja meningkat. DAFTAR PUSTAKA Azem,H,A, 2005. “The Reconceptualisation of Conflict Management”, Peace, Conflict and Development: An Interdisciplinary Journal, Vol. 7, July 2005, available from http://www.peacestudiesjournal.org.uk. Diunduh pada 23-11-2013 A.D. Slabbert, 2004 Conflict management styles in traditional organisations./The Social Science Journal 41 (2004) 83-92.Diunduh pada 23-11-2013 Afful-Broni (2012). Conflict Management in Ghanaian Schools: A Case Study of the Role of Leadership of Winneba Senior High School. International Journal of Educational Planning & Administration.ISSN 2249-3093 Volume 2, Number 2 (2012), pp. 65-76© Research India Publications.http://www.ribuplication. com/ijepa.html. Di unduh tgl 1101-2014 Bradfort. 2003,managing conflict to improve the effectiveness of retail networks warrington.ufl.edu/departments/mkt/docs/weitz/Retail_Networks.pdf. Diunduh pada 24-11-2013 Fatimah, 2013. Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual Guru Bimbingan dan Konseling Terhadap Pengelolaan Konflik.Program Pascasarjana UNG, Prodi ManajemenPendidikan: Gorontalo Gibson, Ivancevich, Donelly, 1996. Organisasi. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher Ghaffar Abdul . Conflict in Schools: Its Causes & Management Strategies. Journal of Managerial Sciences Volume III, Number 1I. Diunduh tanggal 11-01-14 Hendriks, William. 2001. Bagaimana Mengelola Konflik. Jakarta: Bumi Aksara. Hasan, Iqbal, 2006. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara Kartono Kartini, 1992. Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa Kurniadin, D dan Machali,I, 2012. Manajemen Pendidikan, Cetakan Ke satu. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Khayati E, 2013. Manajemen Konflik (http://pengertian management .blogspot.com/2013/03/manejemen konflik-definisi-ciri-sumber.html) Diunduh pada 24-10-2013 Pace R. Wayne and Faules. 2000. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Purwodarminta, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Riduwan, 2012, Belajar Mudah Penelitian, Bandung: Alfabeta Sutopo Hendiyat, 2012, Perilaku Organisasi, Cetakan Ke dua. Bandung: Rosdakarya Sujito, manajemen Konflik Dalam Organisasi. I-SSN: 1412-5331 vol 3. (http;// Journal.usm.ac.id/elibs/usm:838c2 jito manajemen konflik Pdf ) Diunduh pada 24/10/2013 Soemarman, 2013. Conflict Management and Capacty Buliding. Elex Media Kompotindo Kompas Gramedia: Jakarta Suprayitno,A, 2012 (http://arsury.blogspot.com/2012/04/manajemen-konflik3.html).Diunduh pada 24/10/2013 Spaho, 2013,Management, Vol. 18, 2013, 1, pp. 103-118 K. Spaho: Organizational communication and conflict management. Diunduh pada 24-11-1013 Seta Basri, 2011. (http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/konflik-dalamorganisasi.html) Diunduh pada 30-11-2013 Thoha Miftah (20120. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa Umam Khaerul, 2012, Mnajemen Organisasi, cetakan ke satu. Bandung; CV Pustaka Setia Uwannullah, 2012. (http://Journal.uny.ac.id/Index php/ppfn/article/..../852 th 2012/ diunduh pada 4/11/2013 Wahyudi, 2011.Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Cet. Keempat.Bandung: Alfabeta Wahyudi, 2012.Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajar, Cetakan ke tiga. Bandung: alfabeta Winardi, 2009, Manajemen Perilaku Organisasi, Cetakan ke tiga. Bandung: Kencana Prenada Media Group Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen Konflik , Jakarta: Salemba Humanika Wikipedia, 2012.(http://en.wikipedia.org/wiki/Conflict_management) Diunduh pada 23-11-2013