Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 OPTIMASI pH BUFFER DAN KONSENTRASI LARUTAN PEREDUKSI NATRIUM TIOSULFAT (Na2S2O3) DAN TIMAH (II) KLORIDA (SnCl2) DALAM PENENTUAN KADAR BESI SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV – Vis Desy Eka Liyana*, Drs. Djarot Sugiarso K.S., MS1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Abstrak Besi adalah salah satu logam transisi yang dapat membentuk senyawa kompleks dan memberikan warna sehingga dapat diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Langkah awal adalah besi harus direduksi dan dikomplekskan dengan 1,10-fenantrolin membentuk kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang berwarna merah jingga. Pereduksi yang digunakan yaitu Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) dan Timah (II) Klorida (SnCl2) karena merupakan pereduksi kuat dan diperkirakan baik dalam mereduksi besi. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi pH buffer dan konsentrasi pereduksi Na2S2O3 dan SnCl2 dalam kondisi asam dan basa. Pertama hasil pengkuran diperoleh λmaks 510 nm Na2S2O3 dan 505 nm SnCl2, selanjutnya diketahui kondisi optimum pereduksi Na2S2O3 yaitu pH 4,5 dan konsentrasi 8 ppm dalam kondisi asam serta pH 8 dan konsentrasi 7 ppm dalam kondisi basa, Selain itu pada pereduksi SnCl2 diperoleh pH optimum sebesar 4 dan konsentrasi optimum 3 ppm dalam kondisi asam serta dalam basa kondisi optimum pH 9 dan konsentrasi 3 ppm. Dari hasil yang diperoleh baik pH maupun konsentrasi kondisi basa ini kurang baik digunakan dalam mengomplekskan besi, namun secara statistik memiliki tingkat presisi yang baik karena memiliki RSD dibawah 20 ppt dan CV dibawah 2%. Kata kunci : Besi, spektrofometer UV-Vis, larutan buffer, pereduksi Na2S2O3, pereduksi SnCl2 I. Pendahuluan Besi adalah logam yang keberadaannya memiliki jumlah besar dan beragam penggunaannya. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu kelimpahan besi dikulit bumi cukup besar, pengolahanya relatif mudah dan murah, serta besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah dimodifikasi. Logam ini kelimpahannya berada pada urutan kedua. Karena kelimpahannya, di dalam masyarakat besi sangat banyak dimanfaatkan antara lain kemudahannya dalam perolehan atau proses penambangan bijihnya dan ditemukan di banyak tempat (Canham dan overtone, 2003). Selain itu dalam penggunaannya besi merupakan komponen utama protein kompleks hemoglobin yang membawa oksigen dan memiliki peranan kritis untuk seluruh proses respirasi. Besi total sebesar 60-70% dalam tubuh yang tersimpan dalam hemoglobin. Tubuh mengandung besi antara 3,5 dan 4,5%, 2/3 dalam bentuk hemoglobin (Andrew, 2010), serta besi digunakan dalam berbagai obat-obatan. Besi yang dikonsumsi manusia bukan besi dalam bentuk padatan logam, namun dalam bentuk ion Fe2+ dan Fe3+. * Corresponding author Phone 087854091266 e-mail: [email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak. MIPA,Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS Dalam jumlah tertentu keberadaan besi ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan, namun kelebihan ataupun kekurangan besi dapat menyebabkan tubuh terganggu. Kelebihan besi akan terakumulasi pada organ vital dapat menyebabkan kerusakan hati, penyumbatan pada pembuluh jantung, diabetes dll. Sedangkan kekurangan besi merupakan kekurangan zat makanan yang paling banyak ditemukan, menyebabkan anemia pada laki-laki, wanita, dan anak-anak. Pendarahan yang mengakibatkan hilangnya zat besi dari tubuh menyebabkan kekurangan zat besi yang harus diobati dengan pemberian zat besi tambahan. Kekurangan zat besi juga dapat merupakan akibat dari asupan makanan yang tidak mencukupi. Sedangkan kegunaan besi lainnya yaitu dalam bidang industri terhadap pembuatan baja (alloy). Logam ini memiliki dua macam valensi yaitu Fe2+ (ferro) dan Fe3+ (ferri), serta mudah larut dalam asam mineral. Dengan asam non oksidator, besi akan berubah menjadi ion Fe3+. Pada umumnya besi cenderung untuk membentuk senyawa dalam bentuk ferri daripada dalam bentuk ferro, dan membentuk kompleks yang stabil dengan senyawa-senyawa tertentu. Besi dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa metode, salah satunya metode spektrofotometri UV-Vis. Metode ini selain dalam pekerjaan cepat, sederhana, praktis, murah juga cukup peka dan teliti serta mudah dalam menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Metode spektrofotometri umumnya membandingkan Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 absorbansi yang dihasilkan oleh suatu larutan yang diuji dengan absorbansi larutan baku. Pada metode ini besi yang akan dianalisis terlebih dahulu dikomplekskan dengan senyawa pengompleks seperti molybdenum, selenit, difenil karbonat, dan 1,10-fenantrolin sehingga menghasilkan warna spesifik dan dapat terdeteksi dengan spektrofotometri UV-Vis. Namun sebelum besi dikomplekskan terlebih dahulu harus direduksi, yaitu dari Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga diperlukan adanya zat pereduksi seperti Na2S2O3, NaH2PO4, Na2SO3, SnCl2, hidroksilamin hidroklorida agar tidak mengganggu kompleks [Fe (phen)3]2+ yang terbentuk. Penelitian besi telah dilakukan sebelumnya dengan beberapa macam zat pereduksi, penentuan Fe pada gandum dengan menggunakan pereduksi asam askorbat dan hidroksilamin hidroklorida. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa asam askorbat mampu mereduksi Fe (III) paling baik pada konsentrasi 0,4 ppm dan kadar Fe yang diperoleh adalah 2,795 mg. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat lebih kuat mereduksi dibandingkan dengan hidroksilamin hidroklorida pada konsentrasi yang sama, yaitu 10-5 ppm. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan besi masing-masing 4,337 ppm dan 3,104 ppm. Nilai RSD dengan penggunaan asam askorbat sebesar 17,709 ppt dengan CV sebesar 1,771% (Muthiasari, 2003). Dyah (2000) telah melakukan penelitian dengan membandingkan pereduksi asam askorbat dengan natrium tiosulfat (Na2S2O3). Hasil yang diperoleh yaitu absorbansi tertinggi pada penggunaan buffer ammonium pH 8 dengan konsentrasi 0,6 ppm dan besar absorbansi 0,0680 untuk analisa dengan menggunakan reduktor asam askorbat, dan 0,0768 untuk reduktor natrium tiosulfat, sehingga dapat diketahui bahwa dengan konsentrasi yang sama (0,6 ppm) hasil absorbansi yang lebih tinggi pada penggunaan reduktor natrium tiosulfat. Amelia (2004) dengan pereduksi natrium tiosulfat mendapatkan bahwa pada konsentrasi optimum natrium tiosulfat 11 ppm mampu mereduksi larutan Fe(III) 5 ppm dengan harga prosen recovery paling tinggi dengan pH optimum buffer asetat yang digunakan adalah 4,5. Penelitian ini menggunakan pereduksi Na2S2O3 karena bahan tersebut mudah diperoleh dan merupakan pereduksi yang kuat untuk besi. Alfa (2005) telah membandingkan antara larutan pereduksi natrium sulfit dan asam askorbat dalam analisa besi. Metode yang memiliki presisi dan akurasi yang baik diperoleh dengan menggunakan pereduksi asam askorbat daripada pereduksi natrium sulfit. Hal ini disebabkan karena prosen recovery yang diperoleh adalah 103,62% dan harga CV kurang dari 2%, yaitu 0,8823% dan kompleks yang terbentuk lebih stabil. Sedangkan pada natrium sulfit memiliki prosen recovery Prosiding KIMIA FMIPA - ITS 98,0038% dengan harga CV 0,9113% karena dalam larutan SO32- dapat teroksidasi menjadi SO42sehingga natrium sulfit bersifat sebagai reduktor. Pengompleksan besi dengan menggunakan 1,10-Fenantrolin akan menghasilkan pewarnaan merah jingga, yang disebabkan oleh kation kompleks [Fe(C18H8N2)3]2+. Besi (III) sebelum dikomplekskan harus direduksi terlebih dahulu menjadi keadaan bivalen karena ligan 1,10Fenantrolin lebih efisien dan spesifik untuk besi (II). Warna merah jingga dari kompleks yang dihasilkan ini stabil pada kisaran pH 2-9. Oleh karena itu percobaan dapat dilakukan pada range pH asam maupun basa. Hasil penelitian diatas yang telah menggunakan berbagai pereduksi terhadap ion besi (III) menjadi ion besi (II) dan dapat diketahui pereduksi yang efisen dan efektif dengan segala kondisi optimum seperti konsentrasi pereduksi optimum, pH asam dan basa optimum, serta konsentrasi Fe murni. Pereduksi yang digunakan sebelumnya memiliki kelemahan seperti asam askorbat dalam keadaan terlarutnya dapat membentuk dehidrovitamin yang menyebabkan gangguan pembentukan kompleks, sedangkan natrium sulfit dalam larutan SO32- dapat teroksidasi menjadi SO42- dan semakin besar natrium sulfit yang ditambahkan maka larutan kompleks Fe(II) fenantrolin menjadi tidak stabil, dan pereduksi hidroksilamin hidroklorid membutuhkan konsentrasi reduktor yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini menggunakan reduktor natrium tiosulfat (Na2S2O3) yang memiliki potensial elektroda standar (Eo) +0,08 V yang merupakan reduktor kuat dan baik menurut penelitian sebelumnya, serta reduktor baru yaitu timah (II) klorida (SnCl2) yang memiliki banyak keuntungan untuk digunakan sebagai larutan pereduksi. Memiliki potensial elektroda standar (E°) +0,14 V, relatif rendah, sehingga dapat mereduksi suatu zat dengan jumlah yang baik (Martinez, 1970), pada reduksi ini terdapat keuntungan bahwa reduksi lebih efektif karena reduktor berbentuk larutan, sehingga lebih mudah bereaksi dan waktu reduksinya juga lebih cepat (Moeller, 1953). Keduanya merupakan pereduksi kuat dengan potensial jauh lebih rendah. Penelitian ini akan dilakukan optimasi pH asam dan basa, serta konsentrasi pereduksi natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan pereduksi timah (II) klorida (SnCl2) dalam kondisi asam dan basa untuk mereduksi Fe (III) menjadi Fe (II) dengan pengompleks 1,10Fenantrolin yang diukur dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 II. Metodologi 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter digital, propipet, pipet ukur, pipet tetes, corong, tabung reaksi, kaca arloji, neraca analitik, gelas ukur 10 mL, labu ukur 1000 mL, labu ukur 100 mL, dan 50 mL, kuvet, botol semprot, gelas beaker, dan spektrofotometer UV– Vis. 2.1.2 Bahan Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah FeCl3.6H2O, 1,10 fenantrolin, natrium asetat trihidrat (CH3COONa.3H2O), asam asetat glasial (CH3COOH), Na2S2O3, SnCl2, NH4Cl, NH4OH, HNO3 aseton dan aqua DM. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Pembuatan Larutan Standar Besi(III) 100ppm Larutan Fe 100 ppm diperoleh dengan cara melarutkan 0,04833 gram FeCl3.H2O dengan aqua DM hingga volumenya 100 mL. 2.2.2 Pembuatan Larutan Kerja Na2S2O3 100ppm Kristal Na2S2O3 sebanyak 100 mg dengan aqua DM hingga volumenya 1 Liter sehingga didapatkan larutan kerja Na2S2O3 100 ppm (100mg/L). 2.2.3 Pembuatan Larutan Kerja SnCl2 100 ppm Kristal SnCl2 sebanyak 100 mg ditambahkan HNO3 sampai larut dan ditambah aqua DM hingga volumenya 1 Liter sehingga didapatkan larutan kerja SnCl2 100 ppm (100mg/L). 2.2.4 Pembuatan Larutan Pengompleks 1,10Fenantrolin 1000 ppm Fenantrolin sebanyak 0,1 gram dilarutkan dengan akuades hingga volumenya 100 mL, sehingga didapatkan larutan 1,10 fenantrolin 1000 ppm. 2.2.5 Pembuatan Larutan Buffer Asetat Larutan buffer asetat pH 4 dibuat dengan cara melarutkan natrium asetat trihidrat (CH3COONa.3H2O) sebanyak 1,9754 gram, dan 5 mL asam asetat glasial (CH3COOH) (Ka = 1,75 x 10-5) dan ditambahkan aqua DM hingga volume 50 mL. Selanjutnya buffer asetat divariasi pHnya yaitu 3; 3,5; 4; 4,5 ; 5. 2.2.6 Pembuatan larutan buffer ammonium Larutan buffer ammonium pH 8 dibuat dengan cara melarutkan 29,5220 gram ammonium klorida (NH4Cl) dan 5 mL NH4OH (Kb = 1,71.10– 5 ) dan ditambahkan aqua DM hingga volume 50 mL. Selanjutnya buffer ammonium divariasi pHnya yaitu 7,5; 8; 8,5; 9; 9,5 2.2.7Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dengan Pereduksi Na2S2O3 100 ppm Larutan standar Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL ditambahkan 1 mL Na2S2O3 100 ppm sebagai Prosiding KIMIA FMIPA - ITS pereduksi; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500600nm. 2.2.8Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dengan Pereduksi SnCl2 100 ppm Larutan standar Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL ditambahkan 1 mL SnCl2 100 ppm sebagai pereduksi; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500-600 nm. 2.2.9 Penentuan pH Optimum dengan pereduksi Na2S2O3 2.2.9.1 Kondisi asam Larutan kerja Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 1 mL larutan pereduksi Na2S2O3 100 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat dengan variasi pH 3; 3,5; 4; 4,5 dan 5; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Percobaan masing – masing diulang sebanyak 3 kali. 2.2.9.2 Kondisi basa Larutan kerja Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 1 mL larutan pereduksi Na2S2O3 100 ppm; 1,5 mL larutan buffer ammonium dengan variasi pH 7; 7,5; 8; 8,5 dan 9; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aquades hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, 2.2.10Penentuan pH Optimum dengan pereduksi SnCl2 2.2.10.1 Kondisi asam Larutan kerja Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 1 mL larutan pereduksi SnCl2 100 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat dengan variasi pH 3; 3,5; 4; 4,5 dan 5; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, Percobaan masing – masing diulang sebanyak 3 kali. 2.2.10.2 Kondisi basa Larutan kerja Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 1 mL larutan pereduksi SnCl2 100 Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 ppm; 1,5 mL larutan buffer ammonium dengan variasi pH 7; 7,5; 8; 8,5 dan 9; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aquades hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Percobaan masing – masing diulang sebanyak 3 kali. 2.2.11 Penentuan konsentrasi optimum dengan pereduksi Na2S2O3 2.2.11.1Kondisi asam Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambahkan larutan pereduksi Na2S2O3 100 ppm dengan variasi volume 0,6; 0,7; 0,8; 0,9; dan 1 mL; 1,5 mL larutan 1,10- fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pada pH optimum; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, 2.2.11.2.Kondisi basa Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambahkan larutan pereduksi Na2S2O3 100 ppm dengan variasi volume 0,6; 0,7; 0,8; 0,9; dan 1 mL; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer ammonium pada pH optimum; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. 2.2.12 Penentuan konsentrasi optimum dengan pereduksi SnCl2 2.2.12.1Kondisi asam Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambahkan larutan pereduksi SnCl2 100 ppm dengan variasi volume 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; dan 0,4 mL; 1,5 mL larutan 1,10- fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pada pH optimum; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, 2.2.11.2.Kondisi basa Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambahkan larutan pereduksi SnCl2 100 ppm dengan variasi volume 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; dan 0.4 mL; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer ammonium pada pH optimum; dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 5 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS III. 3.1 Pembahasan Penentuan Panjang Gelombang (λ) Maksimum Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) Penentuan panjang gelombang maksimum kompleks besi (II)-1,10-fenantrolin merupakan pengukuran awal pada analisa dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Panjang gelombang maksimum ini ditunjukkan pada panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimal. Campuran larutan yang akan dianalisis berwarna merah jingga yang disebabkan pada larutan standar yaitu besi merupakan unsur golongan transisi sehingga dapat membentuk senyawa kompleks besi (II)-1,10-fenantrolin. reaksi yang terjadi pada pembentukan kompleks besi (II)1,10-fenantrolin yang berwarna merah jingga sebagai berikut: Fe2+ + 3C12H8N2 → [Fe(C12H8N2)3]2+ Besi merupakan salah satu unsur logam transisi yang memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif dalam mencari pasangan elektron dimana orbital d yang tidak terisi penuh pada konfigurasinya. Sedangkan fenantrolin (C12H8N2) memiliki 2 pasang elektron bebas yang masing-masing terdapat pada atom N. Karena itu, keduanya dapat membentuk suatu senyawa kompleks yang berikatan koordinasi dimana besi sebagai penerima pasangan elektron dengan menyediakan orbital kosongnya (Nurahmat, 2010) Berdasarkan penelitian sebelumnya kompleks besi (II)-1,10-fenantrolin menghasilkan λmaks disekitar 508 nm dimana pada sekitar λmaks tersebut akan menghasilkan absorbansi terbesar yang menunjukkan serapannya tinggi (Atkins, 1975). Tabel data dan kurva absorbansi larutan Fe(II)-1,10-Fenantrolin yang diperoleh dalam penelitian pada rentang λ 500-560nm yaitu: Tabel 3.1 Absorbasi larutan Fe(II)-1,10-Fenantrolin dengan rentang 5 nm λ (nm) 500 505 510 515 520 525 530 535 540 545 550 555 560 Absorbansi 0,142 0,146 0,159 0,148 0,140 0,131 0,113 0,094 0,074 0,059 0,043 0,030 0,020 Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 0,18 A b s o r b a n s i 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 495 500 505 510 515 520 525 530 535 540 545 550 555 560 565 Panjang Gelombang (nm) Gambar 3.1. Kurva Panjang Gelombang vs Absorbansi pada 500-560 nm Penentuan λmaks dengan rentang 5 nm menunjukkan pada λ 500-510 nm absorbansi semakin meningkat yaitu 0.142, 0.146, 0.159 sedangkan pada λ 515 nm absorbansi menurun yaitu 0.148 dan selanjutnya absorbansi semakin menurun dengan meningkatnya panjang gelombang. Sehingga dapat diketahui bahwa λmaks larutan besi (II)-1,10-fenantrolin diperoleh absorbansi paling besar yaitu 510 nm yang merupakan puncak tertinggi. Hal ini menunjukkan daerah yang memiliki kepekaan tertinggi dan kesalahan terkecil. Selain itu dilakukan juga pengukuran panjang gelombang dengan rentang 1nm supaya lebih tepat dan valid pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam penelitian ini. Tabel 3.2 Absorbansi larutan Fe(II)-1,10Fenantrolin dengan rentang 1nm λ (nm) 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 Absorbansi 0,146 0,149 0,151 0,154 0,156 0,159 0,157 0,153 0,152 0,150 0,148 Spektra panjang gelombang tersebut menentukan bahwa absorbansi yang tertinggi yaitu 0.159 ditunjukkan oleh adanya puncak tertinggi pada panjang gelombang 510 nm. Selanjutnya absorbansi semakin menurun dengan meningkatnya panjang gelombang dan data yang diperoleh terdapat pada lampiran C, tabel C.1.2. Naik turunnya absorbansi karena adanya pengaruh matriks (ion pengganggu) sehingga larutan besi (II)-1,10-fenantrolin dengan pereduksi Na2S2O3 diperoleh λ maks 510 nm yang merupakan pengukuran akurat dan panjang gelombang ini digunakan sebagai dasar pengukuran selanjutnya. 3.2 Penentuan pH Optimum Penentuan pH optimum ini dapat dilakukan dalam kondisi asam dan basa karena pada larutan besi (II)-1,10-fenantrolin yang terbentuk warna merah jingga dan intensitas warna tersebut stabil pada range pH 2-9. 3.2.1 pH Optimum pada kondisi Asam Penentuan pH ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pH optimum dengan larutan buffer asam pada reduktor natrium tiosulfat untuk mereduksi besi (III) menjadi besi (II) dengan pengompleks 1,10-fenantrolin. Larutan buffer yang digunakan pada penelitian ini yaitu asam asetat. Pada penelitian ini larutan buffer asetat dilakukan dengan berbagai variasi pH yaitu 3; 3,5; 4; 4,5; 5 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap absorbansi dari larutan kompleks besi (II)-1,10-fenantrolin dan berapa pH buffer asetat yang paling optimum dalam menjaga kestabilan kompleks [Fe(C12H8N2)3]2+. Penentuan pH optimum tersebut diukur absorbansinya dengan panjang gelombang 510 nm. Tabel 3.3 Absorbansi Larutan Fe(II) –1,10 fenantrolin pada beberapa variasi pH buffer asetat pH 0,16 A0,158 b0,156 s 0,154 o r 0,152 b 0,15 a 0,148 n 0,146 s i 0,144 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 Panjang Gelombang (nm) Gambar 3.2. Kurva Panjang Gelombang vs Absorbansi pada 505-515 nm Prosiding KIMIA FMIPA - ITS A b s o r b a n s i Absorbansi 3 0,082 3.5 0,058 4 0,066 4.5 0,103 5 0,063 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 pH buffer Asetat Gambar 3.3 Kurva pH buffer asetat vs Absorbansi Senyawa Kompleks Fe2+–1,10fenantrolin Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 Larutan buffer asam asetat akan menghasilkan ion H+ yang dapat berkompetisi dengan ion Fe2+ dalam pembentukan kompleks besi (II)-fenantrolin, reaksi yang terjadi yaitu: Fe2+(aq) + 3C12H8N2H+(aq) [Fe(C12H8N2)3]2+ + 3H+ (Alfiah, 2006) Penentuan pH optimum ini diperoleh dengan adanya puncak tertinggi pada kurva dan absorbansi tertinggi. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa pada pH 3; 3,5 dan pH 4 absorbansi naik turun, yang disebabkan adanya pengaruh H+ pada larutan buffer sehingga kompleks besi(II)-1,10-fenantrolin yang terbentuk tidak stabil disebabkan karena tidak semua Fe2+ bereaksi dengan ligan 1,10-fenantrolin membentuk senyawa kompleks [Fe(C12H8N2)3]2+ dan reaksi akan lebih terbentuk pada ion 3C12H8N2H+. Sedangkan pada pH 4,5 absorbansi semakin meningkat dan merupakan pH optimum karena memiliki nilai absorbansi tertinggi sebesar 0,103 dibandingkan pH lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar kemampuan Fe2+ berikatan dengan ligan 1,10-fenantrolin sehingga kompleks yang terbentuk semakin banyak dan absorbansi yang terserap semakin tinggi. Selain itu pada pH 5 absorbansi turun secara drastis dan dapat dikatakan tidak semua Fe2+ bereaksi dengan ligan 1,10-Fenantrolin untuk membentuk kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ disebabkan jumlah ion H+ yang berkurang. Sehingga pada pH 5 ini bukan merupakan pH optimum karena sedikit jumlah kompleks yang terbentuk (Amelia, 2004). Harga pH optimum ini telah dihitung RSD dan CV yaitu 6,87ppt; dan 0,687%., karena RSD<20 ppt dan CV<20 maka data ini baik dan dapat digunakan pengukuran selanjutnya. 3.2.2 pH Optimum pada Kondisi Basa Buffer yang digunakan pada penelitian ini yaitu larutan buffer ammonium dengan tujuan untuk menjaga kestabilan kompleks yang terbentuk pada pH basa. Penentuan pH optimum ini buffer ammonium dilakukan dengan berbagai variasi pH yaitu: pH 7,5; 8; 8,5; 9; 9,5 bertujuan untuk mengetahui pH optimum dalam menjaga kestabilan kompleks [Fe(C12H8N2)3]2+. Tabel 3.4 Absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi pH buffer ammonium. pH Absorbansi 7,5 0,064 8 0,166 8,5 0,125 9 0,118 9,5 0,090 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS 0,18 A 0,16 b 0,14 s 0,12 o 0,1 r 0,08 b 0,06 a 0,04 n 0,02 s 0 i 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 9,5 10 pH Buffer Ammonium Gambar 3.4 Kurva pH buffer ammonium vs Absorbansi Kompleks Fe2+–1,10fenantrolin Berdasarkan kurva diperoleh absorbansi tertinggi yaitu 0.166 pada pH 8 yang merupakan pH optimum terhadap larutan buffer ammonium. Larutan buffer basa ini menghasilkan ion OH– yang merupakan ligan dan akan bereaksi dengan 1,10fenantrolin sehingga dapat mengganggu pembentukan senyawa kompleks yang diinginkan (Alfiah, 2006). Ion (OH–) merupakan salah satu ligan, sehingga OH– ini dapat mendesak dan menggantikan satu molekul ligan 1,10-fenantrolin membentuk senyawa kompleks[(Fe(C12H8N2)2(OH)2] Reaksinya yaitu: [(Fe(C12H8N2)3]2+(aq)+2OH–(aq)→[(Fe(C12H8N2)2(OH)2](s) (Dita, 2011) Pada pH 7,5 dan 8 absorbansi yang diperoleh semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ion OH– pada larutan buffer ammonium sedikit mempengaruhi kestabilan pembentukan kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+, dan kompleks yang terbentuk pada buffer basa ini yaitu [(Fe(C12H8N2)2(OH)2] yang menunjukkan warna larutan kuning kecoklatan. Sedangkan pada pH 8,5; 9; 9,5 absorbansi yang diperoleh menurun secara drastis karena pada larutan buffer ini ion OH – sangat berpengaruh pada pembentukan kompleks dan semakin banyak basa yang ditambahkan maka semakin banyak pula jumlah ion OH– dalam larutan. Dalam kondisi basa ini kurang baik digunakan dalam pengompleks Fe(II)- 1,10fenantrolin. Namun berdasarkan perhitungan statistik yaitu memiliki nilai RSD yaitu 4,26 ppt, dan CV = 0,426% data ini baik karena RSD<20 ppt dan CV < 2%. 3.3 Penentuan Konsentrasi Optimum Penentuan konsentrasi optimum ini berpengaruh pada banyaknya Fe yang tereduksi dalam pembentukan kompleks Fe(II)-1,10Fenantrolin yang stabil. 3.3.1 Penentuan Konsentrasi Optimum dengan Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) pada Kondisi Asam Penentuan konsentrasi ini dilakukan untuk mengetahui berapa konsentrasi optimum yang dapat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Pada penentuan Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 ini pereduksi yang digunakan yaitu natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan dilakukan berbagai variasi yaitu 6; 7; 8; 9; 10 ppm dengan tujuan untuk melihat kemampuan masing-masing konsentrasi Na2S2O3 dalam mereduksi Fe3+ sehingga diperoleh konsentrasi optimum. Selain itu dikomplekskan dengan 1,10-fenantrolin dan ditambahkan larutan buffer asam asetat pH optimum yaitu 4,5. Larutan yang berwarna merah jingga ini diukur dengan panjang gelombang 510 nm. Data dan kurva yang diperoleh sebagai berikut: Tabel 3.5 Absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi konsentrasi pada kondisi asam A b s o r b a n s i Konsentrasi Absorbansi 6 0,128 7 0,134 8 0,142 9 0,135 10 0,121 0,144 0,142 0,14 0,138 0,136 0,134 0,132 0,13 0,128 0,126 0,124 0,122 0,12 0,118 4 5 6 7 8 9 10 Konsentrasi Pereduksi Na2S2O3 (ppm) Sedangkan pada konsentrasi 9 ppm dan 10 ppm absorbansi mengalami penurunan yang drastis. Penurunan ini menunjukkan semua besi sudah tereduksi, selain itu Na2S2O3 yang digunakan terlalu banyak sehingga Na2S2O3 berkompetisi dengan 1,10-fenantrolin yang mempengaruhi terbentuknya kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ dan mengakibatkan serapan tidak optimum sehingga terjadi penurunan absorbansi. Konsentrasi optimum yaitu 8 ppm memiliki nilai RSD yaitu 4,98 ppt, dan CV = 0,498% maka data ini memiliki kepresisian baik karena RSD<20 ppt dan CV < 2%. 3.3.2 Penentuan Konsentrasi Optimum dengan Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) pada Kondisi Basa Penentuan konsentrasi optimum ini juga dilakukan dalam kondisi basa agar dapat diketahui kondisi optimum natrium tiosulfat (Na2S2O3) dalam mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dalam kondisi basa. Prosedur penelitian ini sama dengan penentuan konsentrasi optimum dalam kondisi asam kecuali buffer yang digunakan yaitu buffer ammonium pada pH optimum 8. Variasi konsentrasi dilakukan sama yaitu 6; 7; 8; 9; 10 ppm. Tabel 3.6 Absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi konsentrasi pada kondisi basa Konsentrasi Absorbansi 6 0,010 7 0,080 8 0,053 9 0,019 10 0,002 11 Gambar 3.5 Kurva konsentrasi Na2S2O3 vs Absorbansi Kompleks Fe(II)–1,10fenantrolin Gambar 3.5 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6; 7; 8ppm absorbansi semakin meningkat dimana sesuai dengan hukum Lambert Beer yaitu absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi dan diketahui bahwa pada konsentrasi 8 ppm memiliki absorbansi tertinggi yaitu 0,142 sehingga merupakan konsentrasi optimum dan dinyatakan mampu dalam mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Meningkatnya nilai absorbansi disebabkan konsentrasi Na2S2O3 yang ditambahkan semakin besar maka Fe3+ yang tereduksi juga semakin banyak (Dyah, 2000). Reaksi redoks yang terjadi antara Fe dengan pereduksi Na2S2O3 yaitu: 2Fe3+(aq) + 2S2O32-(aq) 2Fe2+(aq) + S4O62-(aq) Berdasarkan reaksi tersebut dihitung secara teoritis diperoleh perbandingan 1:1 dan diperkirakan Na2S2O3 dapat mereduksi Fe pada konsentrasi 5 ppm atau 6 ppm, namun pada penelitian ini diperoleh 8 ppm konsentrasi optimum yang menunjukkan bahwa untuk dapat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ membutuhkan konsentrasi Na2S2O3 yang berlebih. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS A b s o r b a n s i 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 4 5 6 7 8 9 10 11 Konsentrasi Pereduksi Na2S2O3 (ppm) 12 Gambar 3.6 Kurva konsentrasi Na2S2O3 vs Absorbansi Kompleks Fe(II)–1,10fenantrolin Berdasarkan kurva terlihat bahwa absorbansi meningkat dari konsentrasi 6 ppm hingga 7 ppm dan absorbansi menurun dengan bertambahnya konsentrasi. Hal ini menunjukkan pada konsentrasi 7 ppm pereduksi Na2S2O3 dapat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ secara optimal yang memiliki absorbansi tertinggi yaitu 0,080 dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Sedangkan pada konsentrasi 8 ppm dimana absorbansi mulai Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 menurun sampai konsentrasi 10 ppm disebabkan karena Na2S2O3 yang digunakan berlebih sehingga kompleks yang terbentuk terurai kembali dan mengakibatkan serapan tidak optimum sehingga terjadi penurunan absorbansi (Dyah, 2000). Proses tereduksinya besi dapat dilihat pada reaksi berikut: 2Fe3+(aq) + 2S2O32-(aq) 2Fe2+(aq) + S4O62-(aq) Reaksi tersebut menunjukkan bahwa ion tiosulfat (S2O32-) telah mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yaitu dengan penurunan bilangan oksidasi, selain itu juga terdapat perbandingan yang sebanding antara besi dengan pereduksi Na2S2O3. Namun dalam hal ini pereduksi Na2S2O3 dibutuhkan konsentrasi 7 ppm untuk mereduksi besi secara optimal, dimana Na2S2O3 yang digunakan membutuhkan konsentrasi sedikit berlebih dari konsentrasi larutan besi yang digunakan yaitu 5 ppm. Selain itu konsentrasi dalam kondisi basa mengalami perubahan yaitu dari merah jingga menjadi kuning kecoklatan akibat adanya buffer ammonium dan kompleks yang terbentuk bukan [(Fe(C12H8N2)3]2+melainkan [(Fe(C12H8N2)2(OH)2], sehingga kondisi basa ini kurang baik digunakan dalam pengompleks Fe(II)-1,10-fenantrolin. Namun berdasarkan perhitungan statistik baik karena RSD<20ppt dan CV<2% yaitu RSD dan CV, yaitu 0 ppt dan 0%. 3.4 Penentuan Panjang Gelombang maksimum dengan pereduksi SnCl2 Penentuan λmaks berdasarkan pada larutan besi (II)-1,10-fenantrolin yang memberikan serapan terbesar. Hal ini menunjukkan pentingnya penentuan tersebut karena memiliki kepekaan maksimum dan jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh perlakuan ulang panjang gelombang akan kecil sekali. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dilakukan dengan cara 0.5 mL larutan standar besi 100 ppm ditambah larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm dan pereduksi SnCl2 100 ppm dalam volume 10 mL dan diukur absorbansi pada rentang panjang gelombang 500-600nm. Senyawa kompleks besi (II)-1,10-fenantrolin yang terbentuk memiliki warna merah jingga dengan reaksi: Fe2+ + 3C12H8N2 → [Fe(C12H8N2)3]2+ Pada struktur 1,10-fenantrolin, masingmasing kedua atom nitrogen mempunyai sepasang elektron tak terpakai yang dapat dipakai bersama dengan Fe (II). Selain itu terjadi delokalisasi elektron yang menyebabkan kompleks ligan ini stabil terutama dengan logam yang mempunyai bilangan oksidasi rendah seperti Fe (II), sehingga dalam penelitian ini Fe (III) direduksi menjadi Fe (II) dengan pereduksi timah (II) Klorida. Pengukuran absorbansi pada penentuan panjang gelombang maks yang diperoleh sebagai berikut: Prosiding KIMIA FMIPA - ITS Tabel 3.7 Absorbansi larutan Fe2+ – 1,10 fenantrolin dan pereduksi Timah (II) Klorida (SnCl2) dengan rentang 5nm A b s o r b a n s i λ (nm) Absorbansi 500 505 510 515 520 525 530 535 540 545 550 555 560 565 570 575 0.110 0.120 0.109 0.100 0.097 0.094 0.086 0.079 0.072 0.065 0.058 0.053 0.049 0.046 0.040 0.040 0,130 0,120 0,110 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 495 500 505 510 515 520 525 530 535 540 545 550 555 560 565 570 575 580 Panjang Gelombang (nm) Gambar 3.7 Panjang Gelombang vs Absorbansi Kompleks Fe(II)–1,10fenantrolin Berdasarkan kurva yang diperoleh menunjukkan bahwa pada λ 500 nm memiliki absorbansi sebesar 0,110 dan λ 505 nm absorbansi semakin meningkat sebesar 0,120 sedangkan pada λ 510 nm absorbansi mulai menurun dan selanjutnya makin meningkat panjang gelombang maka absorbansi semakin menurun. Sehingga dapat diketahui bahwa panjang gelombang maks dengan pereduksi SnCl2 yaitu 505 nm yang memiliki absorbansi tertinggi dan pada panjang gelombang ini, sinar yang dipancarkan oleh spektrofotometer paling banyak diserap oleh larutan. Untuk lebih meyakinkan pada panjang gelombang maks ini dilakukan pula dengan rentang 1 nm. Tabel 3.8 Absorbansi larutan Fe(II) – 1,10 fenantrolin dan pereduksi Timah (II) Klorida (SnCl2) dengan rentang 1nm λ (nm) 500 501 502 503 504 505 506 507 Absorbansi 0,110 0,113 0,114 0,116 0,118 0,120 0,117 0,114 Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 508 509 510 A b s o r b a n s i 0,115 0,112 0,109 0,121 0,120 0,119 0,118 0,117 0,116 0,115 0,114 0,113 0,112 0,111 0,110 0,109 0,108 3 0,149 3,5 0,140 4 0,184 4,5 0,146 5 0,112 0,200 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 Panjang Gelombang (nm) Gambar 3.8 Kurva Panjang gelombang vs Absorbansi Kompleks Fe(II)–1,10fenantrolin Kurva diatas menentukan bahwa absorbansi tertinggi yaitu 0,120 ditunjukkan dengan adanya puncak tertinggi pada panjang gelombang 505 nm, dimana λ 500-505 nm absorbansi meningkat sedangkan mulai λ 506 nm dan seterusnya absorbansi semakin menurun dengan bertambahnya panjang gelombang, namun pada λ 508 nm absorbansi meningkat menjadi 0,115. Hal ini karena adanya ion pengganggu yang menyebabkan penurunan dan kenaikan absorbansi, dan panjang gelombang maks pada senyawa kompleks Fe(II)– 1,10 fenantrolin dengan pereduksi SnCl2 yaitu 505 nm. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan (Imelda Fajriati) pada “Analisis Tanin secara Spektrofotometri dengan Pereaksi OrtoFenantrolin” yang menunjukkan bahwa senyawa kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin memiliki absorbansi maks pada panjang gelombang 505 nm. Oleh karena ini pengukuran panjang gelombang 505 nm ini menghasilkan pengukuran yang akurat dan panjang gelombang ini digunakan sebagai dasar pengukuran selanjutnya. 3.5 pH Optimum pada Kondisi Asam Penentuan pH optimum pada kondisi asam ini menggunakan buffer asetat untuk menjaga kestabilan kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin yang terbentuk. Dilakukan beberapa variasi pH untuk mengetahui berapa pH optimum dalam menjaga kestabilan kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin, variasi pH yaitu 3; 3,5; 4; 4,5; 5 dimana dapat mempengaruhi pembentukan senyawa kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin dan menyebabkan perubahan absorbansi senyawa kompleks Fe(II)– 1,10 fenantrolin. Tabel data dan kurva absorbansi larutan Fe(II)-1,10-Fenantrolin yang diukur pada panjang gelombang maks yaitu 505 nm sebagai berikut: Tabel 3.9 Absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi pH buffer asetat pH Absorbansi Prosiding KIMIA FMIPA - ITS A b s o r b a n s i 0,180 0,160 0,140 0,120 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000 2 2,5 3 3,5 4 4,5 pH Buffer Asam Asetat 5 5,5 Gambar 3.9. Kurva pH buffer asetat vs Absorbansi Senyawa Kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin Berdasarkan gambar 3.9 terlihat bahwa absorbansi terbesar diperoleh pada pH 4. pH tersebut merupakan pH optimum untuk pengompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk. Pada pH 3; 3,5 absorbansi naik turun dan semakin bertambahnya pH absorbansi makin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH tersebut kurang stabil dengan terbentuknya kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ disebabkan karena tidak semua Fe2+ bereaksi dengan ligan 1,10-fenantrolin disebabkan adanya persaingan H+ dengan Fe2+ dalam memperebutkan ion 3C12H8N2H+. Pada kondisi asam akan terjadi kompetisi antara ion logam dan proton (H+) untuk terikat pada ligan sebab keduanya berperan sebagai asam Lewis, karena jumlah proton (H+) yang banyak pada suasana asam maka ligan akan lebih dominan mengikat proton (H+). Namun pada pH 4 yang memiliki absorbansi terbesar menunjukkan pH optimum dan kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk lebih banyak. Sehingga pH optimum pada kondisi asam dengan pereduksi SnCl2 yaitu pH 4 dengan absorbansi yaitu 0,184 dan tertinggi dibandingkan lainnya. Dalam hal ini juga sama dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa Na99TcO4 dengan reduktor SnCl2 dalam larutan HCl, larutan diethylenetriaminepenta-acetic acid (DTPA) terjadi pada pH 4 (Steigman,1978). Hasil perhitungan pada pH 4 sebagai pH optimum memiliki nilai RSD yaitu 3,84 ppt, dan CV=0,384% maka data ini dapat dikatakan baik karena RSD<20 ppt dan CV < 2%. 3.6 pH Optimum pada Kondisi Basa Penggunaan reduktor SnCl2 juga dilakukan pH optimum dalam kondisi basa sehingga dapat diketahui pH basa optimum dan menjaga kestabilan kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk. Buffer Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 basa yang digunakan buffer ammonium. Pemilihan buffer tersebut didasarkan pada asumsi bahwa larutan ammonium dapat menstabilkan pH dari larutan kompleks besi (II)-1,10-Fenantrolin dan dibuat variasi pH yaitu 7,5; 8; 8,5; 9; 9,5 untuk mengetahui pengaruhnya terhadap absorbansi dan pH optimum dalam menjaga kestabilan kompleks. Tabel 4.0 absorbansi Larutan Fe2+–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi pH buffer ammonium A b s o r b a n s i pH Absorbansi 7,5 0,072 8 0,085 8,5 9 0,059 0,117 9,5 0,038 0,130 0,120 0,110 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 pH Buffer Ammonium 9,5 10 Gambar 4.0 Kurva pH buffer ammonium vs Absorbansi Senyawa Kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin Berdasarkan gambar 4.0 diperoleh absorbansi tertinggi yaitu pada pH 9 dan merupakan pH optimum dalam menjaga kestabilan kompleks. Hal ini berbeda dengan buffer asam dimana pada buffer basa terdapat ion OHˉ yang merupakan salah satu ligan sehingga pada pembentukan kompleks ini ligan OHˉ akan berkompetisi dengan ligan 1,10-Fenantrolin walaupun jika dibandingkan keduanya ligan 1,10Fenantrolin lebih kuat tetapi dalam hal ini ligan OHˉ yang dibutuhkan sangat besar sehingga dapat mendesak dan menggantikan satu molekul ligan 1,10-Fenantrolin dan membentuk senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)2(OH)2] yang menunjukkan warna larutan kuning kecoklatan. Pada pH 7,5 sampai 8,5 absorbansi naik turun yang disebabkan karena pengaruh ion hidroksida berdasarkan tinggi rendahnya pH buffer ammonium yang digunakan dan banyaknya jumlah ion hidroksida pada larutan menyebabkan kompleks yang terbentuk tidak stabil sehingga absorbansi mengalami penurunan dan peningkatan dimana kompleks yang terbentuk bukan kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ melainkan [(Fe(C12H8N2)2(OH)2] yang berwarna kuning kecoklatan. Dalam hal ini dengan pereduksi SnCl2 pH optimum membutuhkan buffer ammonium yang berlebih sampai mencapai pH 9 juga karena pada larutan standard SnCl2 dilarutkan pada larutan asam kuat Prosiding KIMIA FMIPA - ITS yaitu HNO3 supaya dapat larut sempurna sehingga jika dilarutkan dalam kondisi basa untuk membentuk kompleks yang stabil membutuhkan pH buffer ammonium yang berlebih yaitu pH 9 yang merupakan pH optimum dengan terbentuknya kompleks [(Fe(C12H8N2)2(OH)2] akibat adanya OHˉ berlebih, dan menunjukkan kondisi basa ini kurang baik digunakan dalam pengompleks Fe-1,10Fenantrolin. Namun berdasarkan perhitungan statistik memiliki data yang baik karena RSD<20ppt dan CV<2%, yaitu RSD dan CV, yaitu 6,04 ppt dan 0,604%. 3.7 Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi Timah (II) Klorida (SnCl2)pada kondisi Asam Penentukan konsentrasi optimum pereduksi timah (II) klorida bertujuan untuk mengetahui kemampuan paling baik pereduksi timah (II) klorida dalam mereduksi Fe(III) menjadi Fe(II). Hal ini ditentukan kondisi optimum karena kondisi tersebut memiliki gangguan sekecil mungkin. Penentuan konsentrasi ini dilakukan dengan cara pereduksi SnCl2 dibuat variasi yaitu 2; 2,5; 3; 3,5; 4 yang dapat berpengaruh pada absorbansi yang diperoleh dan dikomplekskan dengan 1,10fenantrolin dan ditambahkan dengan pH optimum yaitu pH 4 sesuai dengan hasil pengukuran sebelumnya dan diukur dengan panjang gelombang maks 505 nm. Tabel 4.1 absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi konsentrasi SnCl2 A b s o r b a n s i Konsentrasi Absorbansi 2 0,078 2,5 0,056 3 0,109 3,5 0,081 4 0,086 0,120 0,110 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Konsentrasi Pereduksi SnCl2 (ppm) Gambar 4.1 Kurva konsentrasi SnCl2 vs Absorbansi Senyawa Kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin Berdasarkan kurva konsentrasi SnCl2 optimum yaitu pada konsentrasi 3 dengan absorbansi terbesar 0,109, sedangkan pada konsentrasi 2; 2,5 absorbansi rendah. Hal ini disebabkan konsentrasi SnCl2 yang digunakan untuk mereduksi Fe (III) menjadi Fe (II) sedikit sehingga sebagian Fe(III) tidak tereduksi dan Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 kompleks yang terbentuk sedikit (kurang sempurna). Reaksi yang terjadi saat Besi (III) tereduksi menjadi besi (II) setelah direduksi oleh SnCl2 adalah sebagai berikut: 2Fe3+(aq) + Sn2+(aq) 2Fe2+(aq) + Sn4+(aq) Berdasarkan reaksi tersebut menunjukkan bahwa Fe (III) dapat tereduksi dengan baik oleh reduktor SnCl2 dengan adanya penurunan bilangan oksidasi. Selain itu terdapat perbandingan 2:1 secara teoritis yang dapat diperkirakan dengan digunakan 5 ppm larutan besi dapat tereduksi dengan banyaknya reduktor SnCl2 2,5 ppm. Namun dalam penelitian ini konsentrasi optimum SnCl2 yang dibutuhkan untuk mereduksi Fe (III) menjadi Fe (II) yaitu sebanyak 3 ppm. Hal ini disebabkan karena adanya reaksi 3C12H8N2H+ dan pembentukan kompleks tidak stabil sehingga perlu adanya penambahan SnCl2 yang berlebih agar kompleks dapat terbentuk sempurna. Sedangkan pada kurva bertambahnya konsentrasi reduktor maka absorbansi menurun. Penurunan ini disebabkan karena semua Fe sudah tereduksi selain itu juga adanya matriks (ion penggangu) yang mengakibatkan serapan tidak optimum. Tingkat presisi metode optimasi konsentrasi reduktor SnCl2 ini telah dihitung RSD dan CV, yaitu 6,49 ppt dan 0,649% sehingga data ini dikatakan baik karena RSD<20ppt dan CV<2%, 3.8 Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi Timah (II) Klorida (SnCl2)pada kondisi Basa Penentuan konsentrasi optimum reduktor SnCl2 ini juga dilakukan dalam kondisi basa Prosedur ini dilakukan sama dengan penentuan pH optimum hanya penambahan reduktor SnCl2 dilakukan variasi yaitu 2; 2,5; 3; 3,5; 4 ppm. Tabel 4.2 absorbansi Larutan Fe(II)–1,10 fenantrolin pada beberapa variasi konsentrasi SnCl2 A b s o r b a n s i Konsentrasi Absorbansi 2 0,088 2,5 0,095 3 0,145 3,5 0,077 4 0,053 0,160 0,150 0,140 0,130 0,120 0,110 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 Konsentrasi Pereduksi SnCl2 (ppm) 4,5 Gambar 4.2 Kurva konsentrasi SnCl2 vs Absorbansi Senyawa Kompleks Fe(II)–1,10 fenantrolin Prosiding KIMIA FMIPA - ITS Gambar 4.2 menunjukkan pada konsentrasi 2 ppm memiliki absorbansinya yaitu 0,088 dan selanjutnya absorbansi meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi reduktor. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert Beer yaitu absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, dan absorbansi tertinggi terjadi pada konsentrasi 3 ppm yang merupakan kondisi optimum reduktor SnCl2 dalam mereduksi Fe (III) menjadi Fe (II) yang dapat membentuk senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)2(OH)2] karena dalam kondisi basa. Rendahnya absorbansi yang terjadi disebabkan karena kurangnya konsentrasi SnCl2 yang digunakan sehingga Fe (III) hanya sebagian yang tereduksi menjadi Fe (II) dan menyebabkan sedikitnya senyawa kompleks yang terbentuk. Sedangkan pada konsentrasi 3,5 ppm absorbansi mengalami penurunan secara drastis yang disebabkan karena semua besi sudah tereduksi dan penambahan konsentrasi SnCl2 berlebih sehingga kompleks yang terbentuk terurai kembali, dan juga adanya SnCl2 yang berlebih dalam larutan basa terdapat ion-ion tetrahidroksostanat (II) yang dapat menggangu terbentuknya senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)2(OH)2], reaksi yang terjadi yaitu : Sn2+ + 4OHˉ [Sn(OH)4]2- (Vogel, 1990) Konsentrasi optimum dalam kondisi basa ini terjadi perubahan warna yaitu merah jingga menjadi kuning kecoklatan, karena adanya OHˉ berlebih. Berdasarkan perhitungan konsentrasi optimum yaitu 3 ppm memiliki nilai RSD yaitu 4,88 ppt, dan CV = 0,488% maka data ini memiliki kepresisian yang baik karena RSD<20 ppt dan CV < 2%. IV. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa λmaks senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ pereduksi Na2S2O3 adalah 510 nm dan 505 nm untuk pereduksi SnCl2. Kondisi optimum pH buffer asam dan basa serta konsentrasi pereduksi diperoleh pH sebesar 4,5 dan 8 untuk pereduksi Na2S2O3 dengan nilai presisi yaitu RSD=6,87ppt; dan CV=0,687% untuk buffer asam sedangkan RSD yaitu 4,26 ppt, dan CV = 0,426% untuk buffer basa. Konsentrasi optimum pereduksi Na2S2O3 dalam kondisi asam sebesar 8 ppm RSD yaitu 4,98 ppt, CV yaitu 0,498% dan kondisi basa sebesar 7 ppm dengan RSD dan CV, yaitu 0 ppt dan 0% dalam kondisi basa. Sedangkan dengan pereduksi SnCl2 diperoleh pH optimum buffer asetat sebesar 4 juga memiliki nilai presisi yaitu RSD = 3,84 ppt, dan CV = 0,384% dan buffer ammonium sebesar 9 dengan nilai presisi RSD dan CV, yaitu 6,04 ppt dan 0,604%, serta konsentrasi pereduksi SnCl2 optimum yaitu pada kondisi asam dan basa sebesar 3 ppm dengan nilai presisi yaitu RSD dan CV, yaitu 6,49 ppt dan 0,649% dalam kondisi asam dan RSD = 4,88 ppt, dan CV = 0,488% dalam kondisi basa. Hal ini dapat diketahui Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 bahwa kondisi basa kurang baik digunakan untuk pengompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+,namun secara statistik semua metode ini memiliki tingkat presisi yang baik karena memiliki RSD dibawah 20 ppt dan CV dibawah 2%. Dyah, Minarni, (2000), Pengaruh Buffer pH Basa Terhadap Perbandingan Pereduksi Asam Askorbat dan Natrium Tiosulfat pada Penentuan Besi Secara Spektrofotometri UVVis, Skripsi Jurusan Kimia ITS, Surabaya V. Ucapan Terimakasih 1. Allah S.W.T., atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya 2. Kedua orang tua, adik, mas serta keluarga besar atas motivasi yang diberikan 3. Drs. Djarot Sugiarso, MS selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan nasehat, saran dan motivasi. 4. Prof. DR. R.Y Perry Burhan, M.SC selaku Dosen wali atas dukungan dan nasehat 5. Lukman Atmaja, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA-ITS. 6. Dra. Yulfi Zetra, MS. selaku koordinator Tugas Akhir Program S1. 7. Teman-teman C-25, sahabat, HIMKA dan seluruh pihak yang membantu terselesaikannya tugas akhir ini. Martinez, Bermejo et al, (1970), Identification of Several Ions by Nonaqueous Solutions of Tin(ll) Chloride, Department of Analytical Chemistry, University of Santiago de Compostela, Santiago de Compostela, Spain Daftar Pustaka Alfiah, titin, (2006), Analisis kandungan Zat besi dalam Multivitamin pada pH Asam, Netral dan Basa dengan Pengompleks 1,10-Fenantrolin secara Spektrofotometri UV-Vis, Skripsi Jurusan Kimia ITS, Surabaya Amelia, (2004), Optimasi Buffer Asetat dan Konsentrasi Larutan Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) dalam Penentuan Kadar Besi secara Spektrofotometri UV Vis, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Surabaya Andrew Pradeep M., M. Thiruvalluvan, K. Aarthy and J. Stella Mary, (2010), Determination of Iron Deficiency among Human Immunodeficiency Virus Sero Positives, Department of Immunology and Microbiology, The American College, Madurai, India Atkins, R.C., (1975), Colorimetric Determination of Iron in Vitamin Supplement Tablets - A General Chemistry Experiment, J. Chem Educ. 52, 550 Canham, G.R. & Overtone, T., (2003), Descirptive Inorganic Chemistry, 3rd ed. WH. Freeman and Company, New York Dita, (2011), Optimasi pH Buffer dan Konsentrasi Larutan Pereduksi K2C2O4 dalam Penentuan Kadar Besi dengan Pengompleks 1,10 Fenantrolin secara Spektrofotometri UV – Vis, Skripsi Jurusan Kimia ITS, Surabaya Prosiding KIMIA FMIPA - ITS Moeller, T, (1953), Inorganic Chemistry, John Wiley & Son, New York Muthiasari, (2003), Asam Askorbat sebagai Pereduksi dalam Penentuan Kadar Besi (Fe) dalam Biji Gandum secara Spektrofotometri UV, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Surabaya Nurrahmat, Mifta, (2010), Penentuan Rumus Senyawa Kompleks Besi-Phenantrolin dengan Metode Perbandingan Slope, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo, Kendari Rahmatika, Alfa, (2005), Perbandingan Larutan Pereduksi Natrium Sulfat (Na2SO3) dan Asam Askorbat pada Penentuan Kadar Besi secara Spektrofotometri UV-Vis, Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Surabaya Steigman et al, (1978), The Reduction of Pertechnetate-99 by Stannous Chloride-II. The Stoichiometry of the Reaction in Aqueous Solutions of Several Phosphorus(V) Compounds, International Journal of Applied Radiation and Isotopes, Pergamon Press 8, Printed in Great Britian, Vol. 29, pp. 653-660 Vogel, A.I. 1990. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, edisi kelima. Penerjemah: Setiono dan Hadyana Pudjaatmaka, Jakarta: Kalman Media Pusaka Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS