PENENTUAN TARIF RASIONAL BERDASARKAN UNIT COST, ATP, WTP, DAN FTP PADA RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA KOTA PALU EVALUATION OF FREE HEALTH PROGRAM IN MAKASSAR Muh. Yusri Abadi, Darmawansyah, Balqis, Nurhayani, Dian Saputra M, Ryryn Suryaman, Suci Rahmadani Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM Unhas ABSTRACT Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai besarnya Relative Value Unit (RVU) Pelayanan kesehatan pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional. Sampelnya adalah semua transaksi yang berkaitan dengan biaya tetap, biaya semi variabel dan biaya variabel pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2011. Data dikumpulkan menggunakan teknik observasional guna melihat data masing-masing unit cost pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Rawat Inap, Poliklinik, instensitas dan efektivitas penggunaan alat, tarif dan pembagian tugas di RSU Anutapura Palu. Analisis biaya satuan dilakukan dengan spreadsheet program microsoft excell. Hasil yang diperoleh adalah asumsi tarif berdasarkan unit cost 3 dengan output normatif (BOR 80%) perkelas perawatan pada Rumah Sakit Umum Anutapura Palu untuk satu tahun (2012) adalah sebagai berikut : yakni Kelas VVIP Rp. 420.000,- Kelas VIP Rp. 320.000,- Kelas I Rp. 165.000,- Kelas II Rp. 120.000,- dan Kelas III Rp. 55.000,-. Direkomendasikan untuk dapat menekan komponen total biaya (total cost) maka pihak manajemen rumah sakit perlu melakukan efisiensi terhadap pengeluaran biaya terutama pada biaya operasional tetap (semi fixed cost) dan biaya operasional tidak tetap (variabel cost) di RSU Anutapura Palu. Keywords : Tarif Rasional, Unit Cost, ATP, WTP, FTP dan Rumah Sakit PENDAHULUAN Rumah Sakit sebagai organisasi publik diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Namun di satu sisi Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura Palu sebagai unit organisasi milik pemerintah daerah dihadapkan pada masalah pembiayaan dalam arti alokasi anggaran yang tidak memadai sedangkan pendapatan dari penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara langsung. Kondisi ini akan memberikan dampak serius bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari, likuiditas keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan berusaha mengatasi biaya pelayanan kesehatan seimbang antara biaya investasi dengan ketersediaan biaya satuan yang berlaku. Disamping para pembuat keputusan di sektor pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa usaha pelayanan kesehatan adalah suatu usaha yang harus dikelola secara profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi yang baik. Sebenarnya anggaran untuk pembiayaan kesehatan di Indonesia antara harapan dan kenyataan karena selama 50 tahun terakhir tidak melebihi angka 4,0% (sekitar 3,0% - 4,0%), Sedangkan WHO menganjurkan minimal 5,0% dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara (Moeloek, 2000). Rendahnya anggaran kesehatan ini karena kemampuan ekonomi kita relatif rendah dan tingkat prioritas pemerintah terhadap biaya kesehatan kurang. Dari beberapa hasil analisis biaya satuan (unit cost) Rumah Sakit menyatakan bahwa umumnya tarif Rumah Sakit pemerintah di Indonesia sangat rendah, bahkan tarif tersebut lebih rendah dari pada biaya satuan operasional dan biaya pemeliharaan. Pada studi biaya operasional dan pemeliharaan dari 12 Rumah sakit pemerintah yang ada di Indonesia yang dilakukan oleh unit analisis kebijakan Departemen Kesehatan RI, menunjukkan bahwa biaya satuan operasional dan pemeliharaan untuk rawat inap kelas III rata-rata berkisar Rp.4.000 – Rp.8.000. Sedangkan tarif diberlakukan antara Rp. 2.000 - Rp.3.000. Ini berarti pemerintah harus memberikan subsidi yang besar kepada rumah sakit (Maidin,dan Razak, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berdasarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.582/ Menkes/SK/IV/1997, tanggal 11 Juni 1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah berdasarkan analisis biaya (unit cost) khususnya pada pasal 8 ayat 2, disebutkan bahwa unit cost rata-rata rawat inap dihitung melalui analisis biaya dengan metode distribusi ganda (double distribution) yaitu satu cara untuk menghitung satuan (unit cost) dengan mendistribusikan semua biaya yang terpakai di unit penunjang ke unit produksi (distribusi berganda) (Depkes, 1997). Selama ini tarif tentang pelayanan kesehatan di RSU Anutapura Palu Kota Palu masih berdasarkan Perda Nomor : 750/XII/1999 tentang Pengelolaan Retribusi Pelayanan Kesehatan , dimana tarif yang diperlakukan pada Perda ini belum berdasarkan biaya satuan (unit cost based) dalam pelayanan kesehatan dan tanpa perhitungan yang cermat terhadap berbagai dimensi yang mempengaruhi tarif, bahkan belum ada penyesuaian tarif selama bertahuntahun meskipun telah terjadi inflasi pelayanan kesehatan (obat, bahan habis pakai, dll) sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang biaya satuan per jenis tindakan. BAHAN DAN METODE Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian penelitian observasional dengan jenis penelititan ini dimaksudkan untuk melakukan identifikasi terhadap semua karasteristik yang dipergunakan untuk menghitung total biaya (fixed cost) dan total biaya operasional tetap (semi variabel cost), dan total biaya operasional tidak tetap (variabel cost) serta tarif setiap tindakan yang ada pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan teknik observasi terhadap hasil transaksi yang ada dibagian keuangan. Sampel dalam penelitian ini adalah semua transaksi yang berkaitan dengan biaya tetap, biaya semi variabel dan biaya variabel pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2011. Metode Pengumpulan Data dan Variabel Penelitian Data primer diperoleh dengan teknik observasional sedangkan data sekunder diperoleh langsung melalui laporan tahunan rumah sakit pada bagian keuangan, bagian rumah tangga, bagian administrasi tentang informasi biaya tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.. Metode Analisis Data Analisis biaya satuan dilakukan dengan spreadsheet program microsoft excell. HASIL Biaya Total Biaya total (total cost) adalah jumlah masing – masing biaya yang terdiri atas biaya tetap, biaya operasional tetap dan biaya operasional tidak tetap yang sebelumya dilakukan Double Distribution. Perhitungan biaya ini untuk melihat besarnya biaya yang 2 nyata dikeluarkan oleh masing – masing pusat biaya di rumah sakit. Biaya total terdiri atas Total Cost 1 (TC-1) = FC + SVC + VC, Total Cost 2 (TC-2) = SVC + VC dan Total Cost 3 (TC-3) = VC. Hasil analisis besarnya biaya total (TC) di rumah sakit yang dikaji dapat disajikan pada tabel 1. Tabel 1 menunjukkan biaya total (total cost) pada RSU Anutapura Palu, dari 6 pusat biaya produksi ternyata totalbiaya terbesaruntuk TC-1, TC-2 dan TC-3 pada pusat biaya produksi bagian Rawat Inap Kelas 3 masing-masing sebesar Rp.3.368.523.081, Rp.3.273.607.368, dan Rp.882.424.392,-. Total biaya terkecil untuk TC-1, TC-2dan TC-3 berada pada pusat biaya Laundry masing-masing sebesar Rp.231.063.803, Rp.223.641.873 dan Rp.38.206.591. pakaian menjadi tanggungan negara melalui APBN/APBD. Dari hasil perhitungan RSU Anutapura Palu didapatkan unit cost pada profit center rumah sakit seperti Bedah, Obgyn, Radiologi, UGD, laboratorium, Fisoterapi, kelas perawatan VIP, kelas perawatan I, kelas perawatan II dan kelas perawatan III, dan Poliklinik. Biaya Satuan Perjenis Tindakan (Relative Value Unit) dan Unit Cost Biaya satuan perjenis tindakan atau biasa disebut Relative Value Unit (RVU) yaitu besarnya biaya yang terdapat pada pusat biaya produksi yang memiliki ouput heterogen (berbeda jenis tindakannya), sehingga antara tindakan yang satu dengan yang lainnya pada bagian yang sama akan mendapatkan pelayanan yang berbeda, yang dapat ditinjau dari segi biaya peralatan, bahan dan gaji pegawai masing-masing tindakan, misalnya RVU pada poliklinik bedah. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis tindakan yang memiliki nilai RVU tertinggi dibagian poliklinik Bedah yaitu untuk tindakan Buka Gips sebesar 1130 (10,4%) dan yang terendah adalah Vena Secti sebesar 66 (0,6%). Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis tindakan yang memiliki unit cost tertinggi untuk unit cost 3 (UC 3) dibagian poliklinik Bedah yaitu untuk tindakan Circumsisi Rp. 180.469,dan yang terendah pada tindakan ganti verban Rp. 18.890,- pada unit cost III. Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis tindakan yang memiliki harga tertinggi dibagian poliklinik Bedah berdasarkan Unit Cost 3 (UC 3) yaitu untuk tindakan Circumsisi dan Exterpati Rp. 250.000,- dan yang terendah adalah tindakan Ganti verban Rp. 26.000,- Biaya Satuan (Unit Cost) Biaya satuan (UC) berupa UC-1, UC-2 dan UC-3. Unit Cost-1 diperoleh dengan cara membagi total Cost 1 (TC-1) dengan output masing-masing pusat biaya. Demikian halnya dengan unit cost-2 dan unit cost-3. hasil analisis pada rumah sakit yang dikaji tersaji pada tabel 2. Tabel 2 menunjukkan unit cost (UC) aktual pada 18 pusat biaya produksi Bedah, UGD/ ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Rawat Inap VVIP, Rawat inap Vip, Kelas I, Kelas II, Kelas III, Poliklinik THT, Poliklinik Saraf, Poliklinik Kulit Kelamin, Poliklinik Penyakit Dalam, Poliklinik Gigi, poliklinik Mata, Obgyn dan Poliklinik Bedah di RSU Anutapura Palu UC-1 dan UC-2 terbesar pada poliklinik obgyn masing-masing sebesar Rp.3.639.610,-, Rp. 3.194.245 dan UC-3 terbesar pada pusat biaya produksi bagian Rawat Inap VVIP sebesar Rp.846.943,-. dan UC-1, UC-2 dan UC-3 terkecil pada pusat biaya Laboratorium masing-masing Rp.37.064, Rp. 34.277 dan Rp. 8.105,Penerapan hasil perhitungan unit cost yang digunakan dalam analisis biaya satuan di rumah sakit umum daerah adalah biaya satuan (UC-3), karena asumsi dasarnya rumah sakit umum daerah merupakan lembaga pemerintah, sehingga biaya investasi dan pemeliharaan serta gaji, perjalanan dinas, dan Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan Kemauan Membayar (Willingness to Pay) Untuk mengukur ATP responden, ada 2 pendekatan yang digunakan. Pertama, ATP berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang bersifat nonesensial dan kedua, ATP berdasarkan 5% dari pengeluaran rumah 3 tangga untuk nonmakanan. Hasil perhitungan ATP menurut kedua konsep tersebut ditunjukkan dalam tabel 5 dan tabel 6. WTP responden dibedakan atas WTP aktual dan WTP normatif. WTP aktual dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rumah tangga untuk keperluan kesehatan. WTP normatif diketahui dengan menanyakan jumlah yang bersedia dibayarkan oleh responden/keluarga sesuai persepsi mereka mengenai pelayanan kesehatan yang diterimanya. Hasil perhitungan WTP aktual dan WTP normatif ditunjukkan dalam tabel 7 dan tabel 8. Pada tabel 5 dapat dilihat, bahwa ATP berdasarkan pengeluran nonesensial pertahun, pada kelas VVIP berada pada kisaran antara Rp.697.185, ─ Rp. 3.913.750, pada kelas VIP berada pada kisaran Rp. 646.382, ─ Rp 2.913.750, di kelas I berada pada kisaran Rp.457.959, ─ Rp 1.655.000, di kelas II berada pada kisaran Rp. 296.226, ─ Rp 1.075.000 dan di kelas III berada pada kisaran Rp.245.239, ─ Rp 696.250. Pada tabel 6 dapat dilihat, bahwa ATP responden pada kelas V.VIP berada pada kisaran Rp. 193.284,─ Rp.625.535, Kelas VIP berada pada kisaran Rp.162.139, ─ Rp. 535.652, pada kelas I berada pada kisaran Rp.130.992, ─ Rp 302.900, pada kelas II pada kisaran Rp.121.120, ─ Rp 244.65 dan pada kelas III berada pada kisaran Rp. 23.326 ─ Rp 92.425. Pada tabel 7 diketahui, bahwa WTP aktual responden di kelas VVIP berada pada kisaran antara Rp.193.284─ Rp. 625.353, VIP berada pada kisaran Rp. 162.139, ─ Rp 565.000, di kelas I berada pada kisaran Rp.97.992, ─ Rp 196.000, di kelas II berada pada kisaran Rp.91.120, ─ Rp.195.000, dan di kelas III berada pada kisaran Rp.50.326,─ Rp 109.250,-. Pada tabel 8 terlihat, bahwa WTP normatif responden di kelas VVIP berada pada kisaran antara Rp. 94.663 ─ Rp.158.337,Kelas VIP berada pada kisaran Rp.38.816, ─ Rp 103.125, di kelas I berada pada kisaran Rp.29.797, ─ Rp 68.333, di kelas II berada pada kisaran Rp.14.382, ─ Rp 40.000 dan di kelas III berada pada kisaran Rp. 15.732,─ Rp 56.875. keterpaksaan membayar keluarga/responden sesuai persepsi mereka mengenai biaya pelayanan kesehatan yang diterimanya, hasilnya tercantum pada tabel 9. Pada tabel 9 tersebut dapat dilihat bahwa responden umumnya menyatakan bahwa tarif yang diberlakukan rumah sakit sudah sesuai ( murah) sebanyak 49 orang ( 81,4%) sedangkan yang menyatakan mahal sebanyak 11 orang (18,6%). Responden umumnya menyatakan terpaksa membayar lebih banyak pada pasien kelas III yaitu 7 orang ( 66,7%), 1 orang pada kelas VIP (12,5%). Tarif Rasional Menurut Kelas Perawatan Asumsi tarif didasarkan pada unit cost ideal (BOR 80%) dengan melihat kemampuan membayar (ATP) dan kemauan membayar (WTP). Bedasarkan ATP dan WTP tersebut maka unit cost yang diambil sebagai dasar asumsi adalah yang mendekati besarnya ATP dapn WTP. Hasil perhitungan asumsi tarif rasional pada tabel 10 memperlihatkan bahwa tarif kelas VVIP merupakan tarif tertinggi, yaitu Rp. 420.000,- per hari rawat, diikuti oleh kelas VIP sebesar Rp.320.000,- per hari rawat, kelas I sebesar Rp 165.000 /hari rawat, kelas II sebesar Rp. 120.000,- per hari rawat dan kelas III sebesar Rp 55.000/hari rawat. PEMBAHASAN Biaya Total Besaran nilai biaya total dan jumlah output layanan di ruang rawat inap akan sangat berpengaruh pada perhitungan biaya satuan. Biaya total setelah distribusi ganda dibagi dengan jumlah output berupa jumlah hari rawat di ruang rawat inap akan menghasilkan biaya satuan masing-masing kelas perawatan. Semakin besar biaya total yang ditentukan oleh komponenkomponennya, ditunjang oleh output yang kecil akan menyebabkan biaya satuan yang besar. Sebaliknya sebuah unit yang biaya totalnya kecil akan tetapi outputnya besar maka akan menghasilkan biaya satuan yang kecil. Dengan cara berpikir demikian seyogyanya para manajer di rumah sakit senantiasa mengupayakan efisiensi biaya sehingga biaya total menjadi kecil dalam pengertian efisien, pada saat yang sama berupaya meningkatkan jumlah cakupan layanan khususnya di unit rawat inap, tentu dengan tidak mengabaikan Keterpaksaan Membayar (Forced to Pay) Untuk mengukur FTP responden, diketahui dengan menanyakan kesediaan dan 4 mutu pelayanan yang edequate dengan pertimbangan kemanusiaan yang berkeadilan. Hasil penelitian diketahui bahwa biaya total terbesar berdasarkan distribusi ganda tahap II untuk TC1,TC2, dan TC3 terdapat pada kelas III. Tingginya biaya total di pusat biaya ini disebabkan oleh tingginya biaya infestasi (Fixed Cost), termasuk biaya pemeliharaan gedung, kendaraan, alat medis dan non medis. Hal ini juga disebabkan karena tingginya biaya operasional tetap dan tidak tidak tetap. Biaya total terendah TC1, TC2 dan TC3 terdapat pada unit laundry, Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya biaya infestasi (Fixed Cost) pemeliharaan kendaraan. untuk gaji pegawai. Besarnya komponen gaji pegawai sangat erat hubungannya dengan jumlah pegawai yang bekerja, gaji pegawai yang sifatnya Semi Variabel Cost merupakan biaya yang tetap harus dikeluarkan oleh pihak rumah sakit dengan jumlah yang sama walaupun output layanan/hari rawat tidak sama atau tidak dipengaruhi oleh kinerja rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh sifat dari biaya gaji pegawai itu sendiri yang bersifat Semi Variabel Cost yakni biaya yang besarnya tidak signifikan dipengaruhi oleh output. Pihak rumah sakit dapat menekan besarnya biaya gaji pegawai dengan penempatan pegawai yang lebih baik dengan memperhatikan besarnya output dari suatu unit terutama pegawai yang dipekerjakan dipusat biaya penunjang. Pada pusat biaya produksi jumlah pegawai harus mempertimbangkan besarnya beban kerja dari masing-masing unit produksi, penempatan dan besar pegawai yang sesuai kebutuhan, maka belanja rumah sakit untuk gaji pegawai dapat lebih efisien. Termasuk dalam Semi Variabel Cost adalah belanja rumah sakit untuk pemeliharaan, dimana besarnya biaya ini sangat tergantung dari umur ekonomis barang investasi dimana idealnya semakin tua umur (long life) suatu barang investasi (Fixed cost) maka biaya pemeliharaan harus semakin besar. Biaya pemeliharaan terbesar dibelanjakan Kelas III, hal ini disebabkan oleh banyaknya peralatan non medis di Kelas III dikarenakan jumlah operasionalyang bervariasi yang lebih banyak dibanding dengan kelas perawatan yang lain. Biaya pemeliharaan di suatu rumah sakit adalah suatu biaya yang mutlak dibutuhkan agar dapat memaksimalkan produksi suatu barang investasi terutama untuk barang elektronik, sehingga suatu barang investasi dengan pemeliharaan yang baik dapat digunakan atau dapat terus berproduksi sesuai dengan umur hidupnya (long life = L), misalnya gedung agar dapat digunakan sampai 25 tahun maka diperlukan biaya pemeliharaan yang memadai, alat medis EKG Monitor Rp.22.000.000 agar dapat berproduksi maksimal sesuai umur ekonomis biaya pemeliharaannya harus diperhatikan. Sehingga dapat disimpulkan dengan pengeluaran biaya pemeliharaan yang efektif dan sesuai dengan fungsinya maka akan membawa suatu penghematan bagi rumah sakit. Biaya Satuan (Unit Cost) Unit cost adalah biaya yang dibutuhkan oleh intalasi untuk menghasilkan satu output jasa pelayanan kesehatan, dalam hal ini satuan biaya yang dibutuhkan oleh rumah sakit dalam satu hari perawatan dirumah sakit. Besar kecilnya Unit cost sangat dipengaruhi oleh total cost dan quantity (UC = TC / Q). Besarnya total cost atau total biaya yakni besarnya jumlah seluruh biaya yang dibutuhkan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan khususnya di rawat inap dalam satu tahun. Total cost ini sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai dari komponen total cost yang terdiri dari biaya tetap (Fixed cost), biaya operasional tetap (Semi Variabel Cost), dan biaya operasional tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap (Fixed cost) yang terbesar pada penelitian ini adalah biaya untuk biaya investasi alat medis Rp 1.628.453.620 dan yang terbesar pada unit produksi perawatan untuk semua komponen biaya investasi adalah pada bagian bedah Rp.378.610.416,- (19%). Besarnya biaya disebabkan banyaknya alat medis yang digunakan, sehingga banyak tidaknya output tidak mempengaruhi pengeluaran biaya ini, dimana sifat dari biaya ini adalah biaya tetap yang tidak dipengaruhi oleh output. Untuk dapat mengurangi jenis biaya ini maka pihak rumah sakit perlu meninjau efisiensi banyaknya pembangunan gedung. Biaya operasional tidak tetap (Semi Variabel Cost) yang terbesar dalam penelitian khususnya di instalasi rawat inap yaitu biaya 5 Biaya lainnya yang termasuk dalam SVC adalah pakaian dinas dan perjalanan dinas. Dalam membagai alokasi untuk belanja perjalanan dinas penting bagi pihak rumah sakit membagi besarnya jumlah anggaran berdasarkan jumlah pegawai, sehingga biaya ini tidak hanya dinikmati oleh unit/instalasi tertentu. Biaya operasional tidak tetap merupakan biaya yang besarnya dipengaruhi oleh quantity pelayanan. Pada instalasi rawat inap dipengaruhi oleh besarnya hari rawat, semakin besar jumlah hari rawat (BOR) maka biaya ini akan semakin besar. Rawat inap kelas III memiliki biaya variabel cost yang terbesar yakni Rp.882.424.392 (16%). Yang termasuk dalam biaya ini adalah BHP non medis, listrik, telepon dan air, pada kelas III besarnya biaya obat dan BHP medis Rp.142.796.972,- sangat dipengaruhi oleh jumlah tempat tidur dan output dari kelas perawatan ini, begitu pula dengan penggunaan air. Untuk dapat mengefektifkan biaya ini maka pihak rumah sakit menempuh jalan tidak lagi menempatkan biaya BHP medis/alkes pada pusat biaya rawat inap seperti pada rumah sakit lainnya. BHP medis/alkes yang dibutuhkan di rawat inap, misalnya cairan, verban, dan lain-lain, langsung diresepkan oleh dokter atau tidak lagi menjadi komponen biaya variabel cost. Total biaya (total cost) adalah jumlah keseluruhan biaya yang dibutuhkan oleh rumah sakit yang dalam penelitian ini dihitung dalam satu tahun anggaran Januari – Desember 2011. Jenis total cost dalam penelitian ini ada tiga yakni TC I = FC + SVC + VC, TC II = SVC + VC, dan TC III = VC. Besarnya nilai total cost pada kelas perawatan III sangat dipengaruhi oleh tingginya ketiga komponen total cost tersebut di kelas III, tetapi besarnya biaya ini dikelas III dibandingkan dengan kelas perawatan lainnya, disebabkan oleh output dari kelas III lebih besar dari yang lainnya. Besarnya nilai TC dapat di efisienkan dengan efesiensi terhadap ketiga komponen biaya ini, dalam hal ini pihak rumah sakit perlu memperhatikan persentase pengeluaran pada masing-masing kelas perawatan, dengan melihat kesesuain antara biaya yang dikeluarkan dengan besarnya output yang dilayani. Di kelas III hal ini sudah memenuhi sebab dengan output di kelas III yang tinggi maka diperlukan pegawai, pemeliharaan (Semi Variabel Cost) yang tinggi, BHP non medis, air (variabel cost) dan biaya lainnya yang tinggi, sehingga total cost akan tinggi pula. Biaya satuan (unit cost) dalam penelitian ini dibedakan dalam dua jenis yakni Unit cost berdasarkan output aktual atau berdasarkan jumlah produksi sesungguhnya (sesuai jumlah tempat tidur terpakai) dan Unit cost ideal yang dihitung dengan 80% dari ouput sesuai kapasitas terpasang (80% x output normatif). Penggunaan kedua jenis biaya satuan ini bertujuan untuk melihat kinerja dari rumah sakit. Jika output aktual yang dihasilkan oleh kelas perawatan sudah sesuai dengan standar kinerja rawat inap (BOR 80% – 90%) maka Unit cost ini dapat digunakan untuk menentukan tarif , namun jika output dari suatu kelas perawatan jauh dibawah standar kinerja maka pihak rumah sakit sebelum menentukan tarif harus memperhatikan besarnya Unit cost ideal tersebut. Perbedaan nilai unit cost tersebut disebabkan perbedaan dalam total cost. Pihak rumah sakit dalam menurunkan unit cost maka harus memperhatikan komponen-komponen total cost yakni biaya tetap, biaya operasional tetap dan biaya operasional tidak tetap. Dengan melakukan analisis terhadap biayabiaya tersebut maka dapat dilakukan pengurangan nilai unit cost. Biaya Satuan Perjenis Tindakan (Relative Value Unit) dan Unit Cost Unit cost yang diperoleh pada doubel distribusi tidak dapat dipergunakan untuk output yang heterogen seperti pada bagian radiologi dan laboratorium. Adapun langkah awal untuk mengetahui besarnya nilai biaya satuan perjenis tindakan yakni dengan mencari nilai RVU, dimana nilai ini merupakan perkalian antara bobot jenis tindakan dengan outputnya masing-masing pada tiap jenis tindakan. Besarnya nilai RVU sangat dipengaruhi oleh jumlah output dengan bobotnya. Dimana semakin tinggi nilai bobot atau semakin banyak outputnya, maka semakin tinggi nilai Relative Value Unit (RVU). Setelah nilai RVU pada semua jenis tindakan diperoleh maka biaya satuan (bagian cost) untuk setiap jenis tindakan dapat diperoleh dengan bantuan RVU. Besar dari 6 unit cost perjenis tindakan sangat tergantung oleh dua hal yakni nilai RVU dan Total Cost. penentuan unit costnya sangat dipengaruhi oleh besarnya total cost dan output, khusus di RS Anutapura Palu tingkat kunjungan pada poliklinik tergolong tinggi, salah satu penyebabnya dimungkinkan tarif yang berlaku tergolong rendah karena masih menggunkan tarif Perda tahun 1999, yang selayaknya sudah mendapatka perhatian dari stakeholders mengingat tuntutan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan terjangkau dan bermutu Dengan melihat besar biaya satuan perjenis tindakan khusus untuk TC III = VC baik untuk radiologi dan laboratorium dapat dijadikan acuan bagi rumah sakit untuk dapat menentukan kebijakan agar dapat berswadana dengan minimal dapat menutupi biayaoperasional tidak tetap (Variabel Cost). Dalam mengatasi hal tersebut maka diharapkan pasien membayar sendiri kebutuhan obat dan peralatan sehingga dapat menekan pengeluaran. Untuk dapat menurunkan besarnya unit cost pada bagian rawat inap dengan meningkatkan jumlah pasien dan hal ini dapat ditempuh dengan membuka instalasi perawatan untuk pasien umum dengan cara promosi yang lebih insentif dengan memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa RSU Anutapura Palu adalah rumah sakit umum untuk masyarakat. Sedangkan pada bagian radiologi guna menekan unit cost dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah output sehingga besarnya biaya tetap (Fixed Cost) dan biaya operasional tetap(Semi Variabel Cost) dapat ditanggung bersama oleh pasien. Pada bagian radiologi peningkatan jumlah pasien dapat ditempuh dengan melaksanakan pola kemitraan dengan penyedia pelayanan kesehatan yang belum memiliki fasilitas tersebut, misalnya dengan atau pelayanan kesehatan swasta yang ada. Disamping itu perlunya efisiensi penggunaan BHP medis, non medis, air dan telepon pada bagian tersebut, guna memperkecil beban biaya yang harus ditangung pasien. Tarif rumah sakit merupakan suatu harga pelayanan kesehatan yang diberikan di bagian rawat inap, radiologi, Fisioterapi, persalinan, dan poliklinik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat, untuk suatu waktu periode tertentu. Dalam perdagangan umum tarif atau harga berlaku menurut hukum pasar yang berfluktuasi dari satu waktu kewaktu lain. Dalam layanan kesehatan swasta tarif layanan juga dapat berfluktuasi tetapi tidak secepat perubahan pada harga komuditi tertentu. Fluktuasi “harga” jasa pelayanan kesehatan umumnya tidak berlansung secepat fluktuasi harga barang konsumtif seperti pakaian atau mobil. Tarif rumah sakit ditetapkan oleh pemerintah umumnya tidak berfluktuasi dan cenderung berlaku untuk dua sampai lima tahun yang akibatnya tarif tersebut tidak dapat menutupi biaya-biaya untuk memproduksi jasa pelayanan rumah sakit. Pada saat pemerintah dareah mempunyai kemampuan keuangan yang cukup, hal ini tidak akan menjadi masalah namun dalam kondisi otonomi daerah maka jalan yang harus ditempuh untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yaitu penetapan tarif rasional yang salah satunya harus berdasarkan unit cost perjenis tindakan (Relative Value Unit). Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan Kemauan Membayar (Willingness to Pay) Kemampuan membayar pasien akan berpengaruh pada aksesibilitasnya terhadap jasa layanan kesehatan. Semakin rendah kemampuan seseorang semakin rendah aksesnya terhadap layanan kesehatan. Kemampuan membayar antara lain juga ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang, semakin besar tingkat pendapatannya semakin besar aksesnya terhadap layanan kesehatan. Kemampuan membayar dihitung menggunakan dua konsep. Pertama, kemampuan membayar berdasarkan total pengeluaran nonesensial rumah tangga dan kedua kemampuan membayar berdasarkan 5% dari total pengeluaran nonmakanan. Bila dibandingkan kedua konsep tersebut, kemampuan membayar yang diukur berdasarkan 5% pengeluaran nonmakanan ternyata jauh lebih rendah dari kemampuan membayar berdasarkan total pengeluaran nonesensial. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dengan konsep pertama, kemampuan membayar rata-rata di kelas VIP adalah Rp 2.913.750, di kelas I sebesar Rp 1.655.000, di 7 kelas II sebesar Rp 1.075.000 dan di kelas III sebesar Rp 696.250. Sedangkan kemampuan membayar pasien berdasarkan 5% dari pengeluaran makanan yakni pada kelas VVIP berada pada kisaran Rp. 193.284,─ Rp.625.535, Kelas VIP berada pada kisaran Rp.162.139, ─ Rp. 535.652, pada kelas I berada pada kisaran Rp.130.992,─ Rp 302.900, pada kelas II pada kisaran Rp.121.120,─ Rp 244.65 dan pada kelas III berada pada kisaran Rp. 23.326 ─ Rp 92.425. Dalam penelitian ini kemampuan membayar yang digunakan untuk menghitung asumsi tarif rasional adalah berdasarkan 5% dari pengeluaran nonmakanan. Pertimbangan, bahwa keperluan yang sifatnya nonmkanan selain merupakan kebutuhan sekunder dan tersier, juga dalam komponen nonmakanan terdapat pengeluaran yang sifatnya destruktif bagi kesehatan, seperti rokok dan minuman beralkohol. Secara umum dapat disebutkan, bahwa pengeluaran rumah tangga yang bersifat destruktif ini justru lebih besar dari pada pengeluaran untuk kesehatan. Sangat disadari bahwa mengukur kemauan membayar (WTP) pasien pada unit rawat inap memiliki tingkat subyektivitas yang cukup tinggi, oleh karena pada saat melakukan wawancara sangat dipengaruhi oleh kondisi baik waktu maupun suasana. Kemauan membayar terdiri dari kemauan membayar aktual dan kemauan membayar normative. Kemauan membayar aktual diukur dari pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan, kemauan membayar normatif adalah jumlah biaya yang bersedia dibayarkan sesuai persepsi tersponden mengenai kondisi pelayanan pada instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Analisis deskriptif menunjukkan, bahwa kemauan membayar aktual jauh lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan membayar rumah tangga. Pada kelas V VIP dan VIP, dengan kemauan membayar aktual sebesar rata-rata sebesar Rp 565.000, di kelas I ratarata Rp 196.000, di kelas II sebesar Rp 195.000 dan di kelas III sebesar Rp 109.250. Rendahnya kemauan membayar aktual ini karena sebagian besar anggota keluarga responden tidak mengalami perawatan di instalasi rawat inap dalam 1 tahun terakhir, karena itu besaran kemauan membayar aktual tidak dijadikan dasar perhitungan tarif rawat inap. Namun demikian, analisis korelasi menunjukkan bahwa makin besar pendapatan rumah tangga pasien, makin besar pula pengeluaran untuk biaya kesehatan (WTP aktual). Pada fenomena lain dari penelitian ini menjelaskan bahwa jika dipandang dari perbedaan pasien menurut kelompok penghasilannya tampak bahwa terdapat inkonsistensi kaitan antara besarnya kemauan membayar (WTP) dengan besarnya pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Pada keluarga yang pengeluarannya besar tidak selalu WTPnya besar. Sifat komoditas layanan kesehatan yang inelastic, menjelaskan hubungan WTP yang inkonsisten dengan pengeluaran rumah tangga. Sifat komoditas layanan kesehatan yang dapat diketegorikan sebagai barang pimer, memungkinkan seseorang untuk terus menerus berupaya memenuhi kebutuhannya akan layanan kesehatan, berapapun biaya yang harus dikeluarkannya. Kemauan membayar normatif terkait dengan penilaian responden di kelas VIP, kelas I dan kelas II. Sebagian besar menyatakan “tidak puas” terhadap pelayanan yang diberikan (WTP normative) responden di kelas VIP rata-rata sebesar Rp 103.125, di kelas I sebesar Rp 68.333, di kelas II sebesar Rp 40.000 dan di kelas III sebesar Rp 56.875.Alasan yang sering dikemukakan oleh responden yang merasa tidak puas dengan pelayanan petugas tidak segera datang saat dibutuhkan dan fasilitas yang kurang memadai. Penilaian responden tentang kepuasan pelayanan mempengaruhi persepsi mereka mengenai tarif yang berlaku. Persentase terbesar responden yang menganggap bahwa tarif rawat inap termasuk ‘mahal’ berasa di kelas II (16,7%) dan sangat mahal (11,1%), di kelas III yang mengatakan mahal (36,4%) dan sangat mahal (36,4%). Persentase terbesar yang menganggap bahwa tarif yang berlaku relatif ‘sesuai’ dengan kondisi aktual pelayanan, terdapat pada kelas VIP (25%) dan yang menganggap murah sebesar 75%, di kelas I yang menganggap bahwa tarif yang berlaku terbilang ‘murah’ sebesar 40% dan yang menganggap ‘sesuai’ sebesar 50%. Apabila pelayanan dapat ditingkatkan terdapat sejumlah responden bersedia membayar di atas tarif yang berlaku, namun ada pula responden yang tetap ingin 8 membayar di bawah tarif tersebut. Sesuai analisis deskriptif, per hari rawat responden bersedia membayar biaya perawatan sebesar rata-rata Rp. 432.089 di kelas VVIP, Rp 373.323,- di kelas VIP, Rp 171.908,- di kelas I. Sebaliknya, secara umum responden di kelas II dan kelas III yang bersedia membayar di atas tarif yang berlaku, tetapi karena jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan responden yang hanya mau membayar sesuai tarif maupun dibawah tarif, menyebabkan nilai rata-rata kemauan membayar normatif lebih tinggi dari tarif yang berlaku saat ini yaitu di kelas III dari tarif sekarang sebesar Rp. 35.000 dan kelas II sebesar Rp. 90.000, serta kelas I Rp. 120.000. untuk menghitung tarif rasional adalah biaya satuan hasil distribusi ganda berdasarkan rumus III (TC =VC). Asumsinya, biaya investasi (FC) dan biaya gaji pegawai (SVC) disubsidi dari pemerintah. Untuk mendapatkan tarif rasional, kemampuan membayar rumah tangga dalam 1 tahun dikonversi menjadi kemampuan membayar dalam 1 bulan. Asumsinya, kebutuhan pelayanan kesehatan tidak bisa dipastikan waktunya (uncertainly). Bila dalam 1 bulan terdapat anggota keluarga yang memerlukan perawatan 6-8 hari, dapat diperkirakan ATP per hari rawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif asumsi rasional memperlihatkan tarif kelas VVIP merupakan tarif tertinggi, yaitu Rp 420.000,- per hari rawat, diikuti oleh kelas VIP Rp. 320.000,-/ hari rawat.,kelas I sebesar Rp 65.000,-/hari rawat, kelas II Rp. 120.000,- dan kelas III sebesar Rp 55.000,- / hari rawat. Keterpaksaan Membayar (Forced to Pay) Peserta Keterpaksaan membayar rumah tangga pasien terdiri dari kesediaan membayar dan keterpaksaan membayar atas biaya selama perawatan rawat inap. Hasil penelitian diketahui bahwa seluruh rumah tangga pasien di kelas VIP merasa tidak terpaksa atas biaya selama perawatan. Responden mampu membayar biaya perawatan, hal ini disebabkan penghasilan rumah tangga pasien semua berpenghasilan antara Rp.52.950.000Rp.60.000.000 per tahun dan sebagian besar responden mempunyai persepsi bahwa tarif yang berlaku murah dan sesuai dengan pelayanan yang di dapatkan. Sedangkan pada kelas III sebagian besar (81,8%) rumah tangga merasa terpaksa melakukan pembayaran, hal ini di pengaruhi oleh penghasilan rumah tangga pada kelas perawatan ini sangat rendah dibandingkan dengan penghasilan rumah tangga kelas perawatan lainnya dan persepsi responden terhadap tarif yang berlaku adalah mahal (16,3%) dan murah (20,9). KESIMPULAN DAN SARAN Asumsi tarif perkelas perawatan pada Rumah Sakit Umum Anutapura Palu untuk satu tahun (2012) adalah sebagai berikut : yakni Kelas VVIP Rp. 420.000,- Kelas VIP Rp. 320.000,- Kelas I Rp. 165.000,- Kelas II Rp. 120.000,- dan Kelas III Rp. 55.000,-. Kemampuan membayar (ATP) masyarakat untuk untuk 1 hari perawatan kelas kisaran Rp.25.000 – Rp.194.000-, Kemauan membayar (WTP) masyarakat untuk 1 hari perawatan kelas VVIP rata-rata Rp. 193.284.,VIP rata-rata 162.319., perawatan kelas I ratarata Rp. 97.992,-, perawatan kelas II rata-rata sebesar Rp.91.120,-, perawatan kelas III ratarata sebesar Rp.50.326,-. Keterpaksaan membayar (FTP) pasien pengguna layanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu perawatan VIP, perawatan kelas I, perawatan kelas II dan perawatan kelas III dikategorikan terpaksa membayar biaya perawatan kesehatan karena dibantu dari keluarga dan perusahaan. Disarankan bahwa unit cost, ATP, WTP dan FTP dapat dijadikan masukan bagi pihak pengambil kebijakan (pemerintah daerah bersama DPRD Kota Palu) dalam membuat usulan penyesuaian penetapan tarif berdasarkan PERDA Kota Palu, baik untuk Tarif Rasional Menurut Kelas Perawatan Peserta Asumsi tarif rasional ditetapkan atas dasar biaya satuan, kemampuan dan kemauan membayar pasien. Tanpa mengabaikan biaya tetap (FC) dan biaya semi variabel (SVC), biaya satuan yang digunakan 9 penetapan tarif rawat jalan Puskesmas dan tarif rawat inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Disamping itu dapat dijadikan dasar pemberian subsidi pemerintah. Industries, Government Entities, and Non Profit Organization. John Wiley & Sons, Inc. Musgrove, P. 1986. “Measurement of equity in health”, World Health Statistic Quarterly, New York. Minoque, Martin, et.al., 2000. Beyond The New Public Management, Chelthem, UK Northamton, MW, USA. Nadjib, Mardiati, 1999. Pemerataan Akses Pelayanan Rawat Jalan Di Berbagai Wilayah Indonesia, Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Naki, Arman. 2005. Analisis Biaya Satuan Pada Pasien Penyakit Dalam di Unit Rawat Inap Di RSUD M.M.Dunda Limboto Kabupaten Gorontalo, skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo. Phelps, Charles E. 1997. Health Economics, second edition, Addison-Wesley Longman, Inc. Massachusetts-USA. Pudjirahardjo, Widodo J., 2003. “Strategi Manajemen Pembiayaan dalam Pengembangan Pembangunan Kesehatan dan Perumahsakitan”, dalam Membangun Model Pembiayaan Kesehatan Nasional dan Strategic Accounting System in Health Services, seminar nasional, 26 Februari, PPSUnair, Surabaya. Razak, Amran. 2004. Utilisasi, Permintaan Input dan Analisis Kebijakan Tarif Rawat Inap Rumah Sakit Umum di Sulawesi Selatan, Disertasi, tidak diterbiktan, Pascasarjana UnhasMakassar. Raymond, Tubagus, 2001. Hasil Analisis The Real Unit Cost Pelayanan Rumah Sakit, dalam Aspek Biaya Dampaknya Terhadap Kemandirian RumahSakit Di era Otonomi Daerah, Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey, edisi revisi, LP3ES, Jakarta. Sudirman, Indrianty. 2002. Penerapan Orientasi Pasar Dalam Pemasaran Jasa Rumah Sakit Umum di Kota Makassar : Suatu Telaah Perspektif Prospectors, Defenders dan Analyzers, DAFTAR PUSTAKA Aday L.A., Begley C.E., Lairson, D.R. and Slater C.H. , 1993. Evaluating the medical care system : effectiveness, efficiency, and equality. Ann Arbor : Health Administration Press. Ali, Farid, 1994. Metodologi Penelitian Sosial Dalam Bidang Ilmu Administrasi, Ujung Pandang, CV. Bifaria. Andersen, R, 1968. A Behavioral Model of Families Use of Health Services. Center of Health Administration Studies, Research Series 25, Graduate School of Business, The University of Chicago, Chicago. Badan Pusat Statistik. 1999. Pengukuran Kemiskinan di Indonesia 1976-1999 : Metode BPS, Seri Publikasi Mini 1999, Buku 1, Jakarta. Cornes, Richard and Tood Sandler, 1993. Theory of Externalities, Public Goods, and Club Goods, Cambridge University Press. Dever, Alan G.E., 1984. Epidemiology In Health Services Management, An Aspen Publications, Rockville – Maryland. Feldstein, P. J. 1993. Health Care Economics, Delmar Publishers Inc., New York. Fuch, V.R. 1974. Who Shall live ? Health, Economics, and Social Choice, New York, Basic Book, Inc. Gani, Ascobat. 1981. Demand for Health Service in Rural Area of Karanganyar Regency, Central Java, Indonesia, thesis for Doctor of Public Health, School of Public Health, John Hopkins University, Baltimore, Maryland. Gwatkin, D. 2000a. “Proverty and Inequalities in Health within Developing Countries : Filling the Information Gap”, in D. Leon and G.Walt, (eds), Proverty, Inequality, and Health : An International Perspective, Oxford : Oxford University Press, pp. 217 - 246. James A. Brimson & John Antos, 1994. Activity-Based Management for Sevice 10 Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Unhas, Makassar. Thabrany, Hasbullah et.al., 2000. Comprehensive Review on JPKM to Develop a More Sustainable Insurance Scheme, Foundation for Advance of Public Health in Indonesia, Faculty of Public Health University of Indonesia colaborate with Dep. of Health Rep. of Indonesia – Bappenas. Trisnantoro, Laksono dan Hanna Permana. 2000. “Masa Depan Daerah Kabupaten/Kota Dan Sistem Manajemennya, dalam Perencanaan Strategis Daerah Kabupaten/Kota, PPL-Ditjen Pelayanan Medik - Depkes RI, Jakarta. Trinantoro, Laksono, 2005. Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit : Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, penerbit Andi – Yogyakarta. Tunggal, Amin Widjaja. 2000. Activity-Based Costing Untuk Manufakturing dan Pemasaran, Harvarindo – Jakarta. World Health Organizaition, 2000. The World Health Report 2000, Health Systems : Improving Performance, Geneva. World Health Organization, 1998. Equity and Health : Key Issues and WHO’s role, Geneva. 11