”Dua hal apabila dimiliki seorang dia dicatat Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (Ilmu dan Ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberikan kelebihan”. (HR. Attirmidzi) It’s time to pay back....... Persembahan untuk istri, Arma, anak-anak, Didi dan Nadia Yang telah lebih dari 10 tahun di nomor duakan i ii Prolog Prolog D alam menyusun buku “Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal” yang sedang Anda baca ini, Penulis telah membuka kembali catatan sejarah pengabdian yang telah diukir selama lebih dari 10 tahun di Departemen (sekarang Kementerian) Keuangan Republik Indonesia. Berbagai peristiwa, kejadian, tragedi, krisis dan keberhasilan telah terukir yang menurut hemat Penulis terlalu sayang untuk tidak didokumentasikan. Kejadian-kejadian tersebut merupakan hal kontemporer pada masanya, yang merupakan isu nasional dan sangat mungkin, seperti kata sejarah, terulang lagi. Mulai dari masalah makro, pajak, utang, BBM, tarif dasar listrik, APBN, inflasi, ASEAN, IMF, G20, krisis keuangan, bank century, perdagangan bebas, DPR, birokrasi hingga pemberantasan korupsi. Di dalam buku ini pulalah pembaca yang budiman dapat menemukan refleksi, pandangan dan gagasan, perhatian, kekhawatiran, hingga harapan yang dapat dijadikan bahan evaluasi, koreksi, perubahan dan perbaikan kedepan. iii Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Sudut pandang yang digunakan Penulis dalam tulisan ini terbagi menjadi dua sisi, meskipun tidak secara eksplisit dituliskan. Pertama, adalah sudut pandang penulis ketika masih berada di dalam lingkaran dalam Kementerian Keuangan. Tentu ini memberikan semacam ‘kewajiban moril’ bagi Penulis untuk menjelaskan dan mempertahankan kebijakan-kebijakan yang akan atau telah diambil oleh Pemerintah. Kedua, adalah sudut pandang Penulis sebagai pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, juga sebagai pengamat dan direktur Penelitian Ekonomika dan Bisnis (P2EB) FEB-UGM yang bersifat lebih analitis dan kritis atas kebijakan-kebijakan Pemerintah. Dalam halnya menulis demikian, sesungguhnya Penulis tidak ingin memberikan reaksi negatif yang berlebihan kepada Pemerintah, namun Penulis hanya ingin memberikan masukan-masukan dan gagasan positif yang isinya tentu diharapkan dapat membantu kinerja Pemerintahan, khususnya dalam bidang kebijakan fiskal. Buku yang sedang Anda baca ini adalah kumpulan tulisan mengenai ekonomi khususnya di bidang ekonomi, keuangan dan kebijakan fiskal. Tulisan yang ada di sini hampir seluruhnya telah dimuat di media massa, namun kemudian diolah kembali. Buku ini terbagi menjadi enam bagian, dengan topik yang meliputi : reformasi birokrasi dan ekonomi politik, masalah risiko fiskal, dukungan perpajakan pada sektor riil, anggaran dan pemberantasan korupsi, sektor keuangan beserta privatisasi dan utang, dan terakhir ekonomi global dan integrasi keuangan. Semua topik tersebut bermuara pada kebijakan fiskal untuk mendorong perbaikan perekonomian nasional. Pada bagian akhir atau epilog, penulis menampilkan dua tulisan “fresh” yakni catatan-catatan pendek sejarah penulis selama 10 tahun berkarier di Kementerian Keuangan iv Prolog dan tulisan refleksi oleh saudara Wisnu Nugroho atau akrab dipanggil Inu. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terbitnya buku ini hingga ke tangan pembaca sekalian. Pertama-tama Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada penerbit PT. Gramedia, saudara Rano Ilyas, dan direksi PT. Telkom, khususnya saudara Arief Yahya yang atas dukungannya membantu terbitnya buku ini. Redaktur ekonomi harian Kompas, Republika, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Koran Sindo dan mingguan Tempo yang memberikan kesempatan menulis di harian/mingguan tersebut secara kontinyu dan menjadi sumber tulisan buku ini. Kedua, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Wisnu Nugroho, penulis tetralogi “Pak Beye” yang menuliskan kata epilog pada buku ini. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada mantan pimpinan dan rekan-rekan kerja di kementerian keuangan yang telah membangun persaudaraan dan harmonisasi kerja yang baik waktu itu. Beberapa kami sebutkan, Bapak Boediono, Bapak Bambang Sudibyo, Bapak Prijadi (alm), Bapak Jusuf Anwar, Ibu Sri Mulyani Indrawati, Bapak Darmin Nasution, Bapak Anwar Supriyadi, Bapak Hadi Poernomo, Bapak Eddy Abdurachman, Bapak Agus Haryanto, Bapak JB Kristiadi, Bapak Herwidayatmo, Bapak Agus Muhamad, Bapak Mardiasmo, Bapak Fuad Rachmany dan Bapak Rachmat Waluyanto. Rekan-rekan di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan waktu itu, Bapak Winarto, Bapak Rio Silaban, Bapak Joko Wiyono, Bapak Andie Megantara, Bapak Askolani, Bapak Freddy Saragih, Bapak Irfa Amphri dan Bapak Andin Hadiyanto serta rekan-rekan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Rekan-rekan pengajar di Fakultas Ekonomika v Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dan Bisnis, bapak Dekan dan para Wakil dekan FEB-UGM, pengelolan P2EB FEB-UGM, teman-teman peneliti dan asisten peneliti di P2EB FEB UGM (Farza Faremi Adirama, Rhendy Ersuyansah, Bayu Permana Jati, Amelia Sarinastiti; yang membantu mengkompilasi tulisan Penulis), serta pihak-pihak lain yang ikut serta membantu terciptanya buku ini, baik secara langsung maupun tidak lagsung. Bapak Ary Ginanjar Agustian dan para pengelola serta alumni dari ESQ leadership center yang merupakan salah satu sumber ilmu dan peningkatan akhlak dari Penulis. Yang terakhir kepada mereka yang memberi dorongan semangat yang luar biasa dalam waktu-waktu keseharian Penulis, istri Edharmayati Latief dan anak-anak tercinta, Mahditya Putra Mahardika dan Nadia Rachma Pratiwi. Mudah-mudahan gagasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Yogyakarta, 24 Mei 2011 Penulis vi Daftar Isi Daftar Isi Prolog........................................................................ iii daftar isi.................................................................. vii I. Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran................... 1 1. Kemerdekaan Ekonomi RI Ada di Tangan Kita. 3 2.Sampai dimana Reformasi Birokrasi?................ 8 3.Bekerjasama Dengan DPR.................................. 15 4.UU APBN dan Dinamika DPR............................ 21 5.Politik Anggaran dana DAPIL............................. 26 II. Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik................ 31 1. Pemantauan Dini, Early Warning dan Hedging. 33 2.Pengungkapan Risiko Fiskal............................... 39 3.Ancaman Inflasi................................................... 48 4.Fenomena Capital Inflow.................................... 54 5.Ketidakpastian Harga Minyak Dunia................. 61 6.Kelangkaan BBM................................................. 69 7.Pengaturan BBM Bukan Sekedar Memilih Opsi. 73 8.Listrik Untuk Siapa?............................................ 80 9.Konsistensi Kebijakan TDL................................. 85 III. Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan... 91 1. Tantangan Pajak.................................................. 93 2.Wajib Pajak (Belum) Patuh................................. 98 3.Menyoal Kembali Zakat sebagai Pengurang Pajak....................................................................107 4.Pajak untuk mendorong perfilman nasional...... 113 5.APBN, Pajak, dan Utang..................................... 119 6.Tidak Perlu Renegosiasi ACFTA.........................125 vii Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal IV.Anggaran dan Pemberantasan Korupsi.. 133 1. RAPBN yang Realistis.........................................135 2.Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih .................................................146 3.Bisakah Ekonomi Bebas Korupsi?......................154 4.Kerjasama Pembiayaan infrastruktur.................159 V.Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang...................................................................165 1. Delapan Pertanyaan Keseuksesan Penerbitan Obligasi Global RI...............................................167 2.Kewajaran IPO KS...............................................176 3.(Tidak Ada) Kontroversi IPO KS.........................182 4.Kasus Bank Century, Dampak Sistemik dan OJK......................................................................190 5.“Exit Strategy” dari IMF dan Kepercayaan P asar.......................................................................196 6.Belajar Dari Korea dan Thailand Keluar Dari IMF......................................................................200 VI.Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan...........................................................207 1. Gagasan Indonesia dalam G-20..........................209 2.Kontribusi Pertemuan G-20 Bagi Pemulihan Ekonomi...............................................................215 3.Pembentukan Fiscal Safety di G-20....................221 4.Manfaat dan Risiko Integrasi Keuangan Global...................................................................227 5.Perlu (Segera) UU JPSK......................................235 6.Risiko Ekonomi Global dan Upaya Mitigasi.......241 7.Pesan Davos Merespons Ketidakseimbangan....246 8.Dilema dan Relevansi AMRO..............................252 Epilog.........................................................................259 1. 10 Tahun Bersama 6 Menkeu dan 2,5 Periode DPR......................................................................261 2.Hilangnya Kehangatan di Jakarta.......................267 viii Bagian I Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran 1 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 2 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran Kemerdekaan Ekonomi RI Ada di Tangan Kita Pengantar : “Perencanaan ekonomi, saat ini telah dibuat oleh bangsa Indonesia dan diinisiasi oleh Pemerintah pusat dan daerah. Selain itu semua pinjaman kepada pihak IMF dan juga pembubaran CGI (Consultative Group on Indonesia) juga telah dilunasi. Hal ini dapat menggambarkan bahwa tidak ada lagi campur tangan IMF ataupun lembaga multilateral dan bilateral dalam mengurus sektor ekonomi. Penulis juga menambahkan, bahwa adanya kemandirian ini, merupakan sebuah ilustrasi bahwa Indonesia saat ini telah merdeka secara ekonomi. “ S etelah 65 tahun merdeka (dihitung berdasarkan tahun 2010), masih banyak orang meragukan bahwa ekonomi Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan atau kemandirian ekonomi Indonesia dikatakan sudah sirna dan bahkan telah tergadaikan. Pengelolaan ekonomi Indonesia dikatakan masih dijajah oleh negara, sekelompok, atau ideologi lain. Banyak bagian dari ekonomi Indonesia juga telah dikuasai asing dan perusahaan multinasional, sehingga 3 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal kita tidak berdaya mengaturnya. Pasar modal dikuasai oleh investor asing yang pada umumnya mementingkan keuntungan jangka pendek semata. Perbankan telah dikuasai asing, sehingga banyak dana dalam negeri mengalir keluar. Harga produk ekspor Indonesia diatur oleh pembeli di luar negeri dan menguntungkan importer di luar negeri. Indonesia telah kebanjiran buah-buahan, elektronik dan pakaian jadi impor. Banyak produk asli Indonesia yang sudah dipatenkan di luar negeri, dan masih banyak lagi fakta ”Siapapun Pemerintah lain seputar penguasaan yang menjabat pada ekonomi Indonesia. masa pascaprogram IMF Kemerdekaan ekonomi harus menelan pil pahit akibatnya dan tetap atau kemandirian ekonomi harus melanjutkannya dapat diartikan bahwa hingga tuntas, suka atau pengelolaan ekonomi tidak suka terhadap atau unit usaha betulprogram tersebut. betul diserahkan kepada Kesan ini juga telah kemampuan sendiri, tidak diintervensi apalagi memberikan kesimpulan diserahkan pada pihak lain. akan tidak adanya Jika hal itu merupakan kemandirian ekonomi sebuah definisi yang tepat, Indonesia saat ini” maka sejatinya penulis masih yakin bahwa Indonesia telah merdeka secara ekonomi. Hal ini didasari oleh tiga alasan sebagai berikut: Pertama, perencanaan ekonomi kita saat ini telah dibuat oleh bangsa Indonesia yang diinisiasi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengelolaan ekonomi telah dirancang, disahkan, dilaksanakan dan diawasi sendiri, melalui sistem pemerintahan yang modern dan demokratis. Pengaturan 4 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran kepemilikan atas aset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak yang diatur dengan mengedepankan aspek nasional. Harga-harga kebutuhan pokok tetap diatur oleh negara sehingga tidak merugikan rakyat. Kontrakkontrak baru dengan investor asing, khususnya kontrak pertambangan yang dulunya melalui kontrak privat, sekarang sudah menggunakan dasar UU yang disahkan oleh DPR-RI dan tunduk pada aturan dalam negeri. Kedua, memang pada tahun 1999-2004, pengelolaan ekonomi Indonesia berada dalam kendali IMF. Namun, sejak dilunasinya semua pinjaman kepada pihak IMF dan juga pembubaran CGI (Consultative Group on Indonesia), maka tidak ada lagi campur tangan IMF ataupun lembaga multilateral dan bilateral dalam urusan ekonomi kita. Meski demikian, pengaruh dari program IMF pada pengelolaan ekonomi Indonesia, misalnya dampak dari program rekapitalisasi perbankan dan BLBI pada menggelembungnya utang Indonesia, telah berakibat jangka panjang. Oleh karena itu, mau tak mau hingga saat ini pun ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh program yang didisain oleh IMF. Siapapun Pemerintah yang menjabat pada masa pascaprogram IMF harus menelan pil pahit akibatnya dan tetap harus melanjutkannya hingga tuntas, suka atau tidak suka terhadap program tersebut. Kesan ini juga telah memberikan kesimpulan akan tidak adanya kemandirian ekonomi Indonesia saat ini. Ketiga, dalam era dimana kerjasama ekonomi antar negara secara bilateral, regional dan global yang dilakukan untuk mengatasi masalah bersama, maka sebagian pengelolaan ekonomi memang harus dirancang bersama. Tujuannya adalah agar kerjasama tersebut menguntungkan kedua belah pihak, baik secara regional dan maupun global. 5 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Indonesia melakukan kerjasama kemitraan dengan Jepang (EPA), dan negara-negara ASEAN telah bersepakat untuk melakukan kerjasama regional 2015, namun hal ini belum tentu memberikan keuntungan maksimal bagi Indonesia. Dampak kesepakatan perdagangan ASEAN dengan China (ACFTA) dan ASEAN dengan Korea (AKFTA) adalah adanya pihak yang dirugikan dan yang diuntungkan, namun secara nasional telah terjadi posisi yang sama-sama menguntungkan. Indonesia juga melakukan kerjasama bersama dengan ASEAN dan mitranya plus tiga (China, Jepang dan Korea) dalam pencegahan krisis. Kerjasama tersebut dalam beberapa hal mengurangi derajat kemandirian kita, tetapi hal ini tetap diperlukan karena ukuran potensi krisis dapat terjadi diluar kemampuan satu negara saja untuk mengatasinya. Negaranegara G20, dimana Indonesia menjadi anggota aktif, menyepakati beberapa langkah global untuk melakukan pemulihan dan stabilisasi perekonomian global. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun, termasuk AS, Uni Eropa, China dan Jepang, yang mampu mengelola ekonominya sendiri. Pada akhirnya, kemerdekaan ekonomi harus diterjemahkan lebih luas dari sekedar kepentingan keterlibatan unsur nasional dalam pengelolaan ekonomi. Pengelolaan ekonomi dapat dikatakan merdeka apabila disusun sendiri dengan mengingat konstelasi global dan bertujuan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat sendiri. Penulis yakin bahwa SDM kita mampu untuk berikhtiar tetap memerdekakan ekonomi, dan kita belum terlambat untuk mengemban amanat rakyat demi kepentingan nasional yang mandiri di atas kepentingan atau invensi pihak luar. Kemerdekaan ekonomi berada di tangan kita sebagai bangsa, pemerintah, DPR, LSM, media, akademisi, dan diharapkan 6 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran melalui tangan kita, dapat ditentukan arah perkembangan ekonomi yang maju dan mandiri, bebas dari intervensi. Merdeka! Pernah dimuat di Seputar Indonesia, 17 Agustus 2010 *** 7 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Sampai dimana Reformasi Birokrasi? Pengantar : “Selama ini banyak pihak yang berharap bahwa aparat keamanan dan penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksanaan dan Kementrian Hukum dan HAM akan menuntaskan reformasi birokrasi di tahun 2010 dan mengikuti jejak Kemenkeu dan BPK, namun pada kenyatannya terdapat indikasi keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh eksekutif di Indonesia, dan penulis memiliki kekhawatiran keterlambatan ini nantinya akan dapat menjadi faktor penghambat utama minat investasi di Indonesia. “ M enteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu periode II, Agus Martowardojo, mengatakan bahwa anggaran Reformasi Birokrasi (RB) tahun anggaran 2010 sebesar Rp 14 triliun belum terserap sama sekali hingga bulan November 2010. Anggaran tersebut berpotensi untuk tidak digunakan dan menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) hingga akhir tahun 2010. 8 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran “Reformasi birokrasi, ada cadangan yang cukup besar namun progresnya ternyata belum bisa mencapai. Bisa-bisa tidak terpakai di mana reformasi birokrasi itu ada sekitar Rp 14 triliun,” ujar Menkeu Agus di Gedung DPR-RI, Senayan, Kamis (DetikFinance, 14/10/2010). Apa yang disampaikan Agus tersebut memberikan indikasi terjadinya keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh eksekutif. Selama ini banyak yang berharap bahwa aparat keamaanan dan penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksanaan dan Kementrian Hukum dan HAM akan menuntaskan reformasi birokrasi di tahun 2010 dan mengikuti jejak Kemenkeu dan BPK. Investor telah menempatkan lemahnya pelayanan birokrasi beberapa tahun sebelum 2010, khususnya di jajaran penegak hukum dan keamanan sebagai salah satu faktor penghambat utama minat investasi di Indonesia. Sungguh sangat disayangkan, dalam satu tahun pemerintahan KIB II, pemerintah telah kehilangan momentum untuk melaksanakan perbaikan ekonomi dengan anggaran dan sumber daya lain yang telah tersedia. Dari mana mulai RB? Pada tahun 2007, pemerintah telah memulai langkah pencanangan Reformasi Pejabat Negara yang berujung pada standar renumerasi, yang rencananya dimulai secara serentak pada pejabat negara dilingkungan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Dimulai dari pimpinan kepala negara (Presiden) dan pimpinan lembaga-lembaga tinggi (MPR, DPR, DPD, BPK, MA, dan KPK). Namun, reformasi pejabat negara tidak kunjung mendapatkan titik temu dan kandas ditengah jalan. 9 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Akibatnya, reformasi birokrasi lanjutan di tingkat operasional pemerintahan menjadi terhambat dan belum harmonis, serasi dan terkoordinir. Terkadang, di masingmasing organisasi dan lembaga pemerintahan menggunakan basis UU sektor mereka sebagai dalih untuk melakukan RB, namun tidak direncanakan penganggarannya dalam RKP (Rencana Kerja Pemerintah) dan Anggaran (APBN). Proses penganggaran yang disiplin melalui mekanisme siklus APBN tidak diperuntukan bagi kebutuhan anggaran yang beragam dan mendadak. Belum lagi pembentukan berbagai komite dan badan sebagai konsekuensi dari UU atau peraturan lainnya sering tidak mempertimbangkan konsekeunsi anggaran, efektivitas dan berpotensi tumpang tindih mengacaukan peta jalan reformasi birokrasi. RB di Eksekutif Pada umumnya di suatu negara, reformasi birokrasi pemerintah dipimpin langsung oleh Presiden Indonesia periode tahun 2009-2014, Susilo Bambang Yudoyono, dengan program, kinerja, target, dan penganggaran yang jelas serta berdurasi jangka menengah (minimal 5 tahun). Reformasi Birokrasi tersebut juga harus diikuti dengan reformasi di bidang penganggaran untuk menghilangkan overlap dan mengelola beban anggaran multi years maupun beban masa depan (pensiun) dan benefit lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya Pemerintah KIB I sudah mencanangkan program 3 tahun reformasi birokrasi, mulai dari bidang keuangan (2009-2010) Kemenkeu, BPK, MA, Sekneg, Menko; bidang keamanan dan penengakan hukum (2010) meliputi Polri, TNI, Kejaksaan, Kemenhuk, PAN-RB dan bidang lainnya (2011-2012). Pelaksanaannya ternyata mengalami barbagai hambatan. 10 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran Reformasi kedudukan Pemerintah sebagai pemegang saham di BUMN ataupun di BLU (Badan Layanan Umum) belum diatur secara jelas. Banyak aparat birokrasi struktural yang menjabat sebagai Komisaris di BUMN dan BLU sehingga menimbulkan potensi benturan kepentingan dan keterbatasan waktu kedinasan serta kecemburuan. Pengaturan hubungan antara eksekutif, legislatif (DPR) dan yudikatif (termasuk aparat pengawas) belum diatur secara tegas sehingga sering menimbulkan masalah ‘tata kelola’ dan juga benturan kepentingan serta ketidakseimbangan hubungan kerja. Reformasi dan penataan organisasi, dan SDM sangat tergantung pada kepemimpinan operasional Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara dan RB. Misalnya dalam rekrutmen, penghentian, whistle blower, kepangkatan, hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Presiden, Wapres dan Anggota Kabinet yang tidak begitu jelas kedudukannya dalam skema reformasi birokrasi, telah menimbulkan rasa sungkan dikalangan birokrat eselon I kebawah. Champion RB di Kemenkeu Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan telah dimulai sejak tahun 2003 pada masa kepemimpinan Menteri Keuangan Prof. Boediono. RB di Departemen Keuangan pada waktu itu, terkonsentrasi pada reformasi keuangan negara. Sayangnya, RB di Depkeu waktu itu tidak dibangun dari bawah dengan kajian komprehensif. RB dilanjutkan oleh Menkeu Jusuf Anwar dengan penataan organisasi di Bapepam dan ditempat lain secara sporadis. Tahun 2006-2009, reformasi birokrasi bergulir secara agresif dan tepat serta tegas. Kepemimpinan Menkeu Sri 11 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Mulyani (SMI) adalah kunci dalam membangun RB dari bawah. Sedangkan konsultan hanyalah berperan sebagai fasilitator. SMI memulai kepemimpinannya dari reformasi struktural di tubuh Pajak (DJP) dan Bea Cukai (DJBC) serta instansi pelayanan lainnya seperti perbendaharaan (DJPb) dan kekayaan Negara (DJKN). Dibarengi dengan pembentukan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) sebagai unit yang memformulasikan kebijakan, pembentukan unit pengelola utang, DJPU dan perimbangan keuangan, DJPK. Telah disusun peta jalan (blue print) RB oleh tim khusus RB dengan gagasan cemerlang seperti penyusunan indikator kinerja utama, IKU, rekrutmen pegawai dan lowongan pejabat dengan tender “Waktu itu, eselon I terbuka (open bid), serta struktural dilarang penyusunan renumerasi merangkap jabatan dengan job grading. Evaluasi termasuk pada jabatan pelaksanaan RB dilakukan komisaris BUMN. secara obyektif langsung oleh Menkeu dibantu Bermain Golf dengan oleh tim RB. Waktu itu, mitra dilarang.” eselon I struktural dilarang merangkap jabatan termasuk pada jabatan komisaris BUMN. Bermain Golf dengan mitra dilarang. Kontrak kinerja di tandatangani dan diumumkan ke publik secara luas melalui media masa. BKF merupakan instansi yang sangat agresif dalam melakukan RB. Mulai dari program studi bagi PNS baru ke luar negeri, terbanyak dalam open-bid, pelarangan rangkap jabatan. Pembuatan pemantauan dini dan lain sebagainya. Menkeu Agus Marto mulai memfokuskan pada RB di Kemenkeu pada saat itu. Seperti Menkeu SMI, dia tetap memfokuskan pada kinerja DJP dan DJBC. Dia melihat bahwa 12 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran fungsi kebijakan, regulasi dengan implementasi perpajakan harus dipisahkan, maka kemenkeu melakukan RB pemisahan DJP, DJBC dengan BKF secara tegas-tegas. Sayangnya hal tersebut sebenarnya bukan prioritas pembenahan masalah perpajakan. Anwar Supriyadi, ketua komite pengawas perpajakan pada saat itu juga tidak setuju adanya pemisahan kebijakan perpajakan. Yang lebih mendesak sebenarnya adalah masalah perbaikan prosedur keberatan, banding, percepatan restitusi dan reformasi di pengadilan pajak. RB adalah Perubahan Pola Pikir Refromasi Birokrasi pada hakekatnya merupakan perubahan pola berpikir dalam bekerja di lingkungan birokrasi. Tugas birokrat adalah memberikan pelayanan prima kepada stakeholder, dan tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada pejabat yang menjadi penentu sendiri tanpa kerjasama dengan pihak lain. Anggapan terhadap sebuah instansi, masih sebagai institusi penentu kebijakan dan penganggaran, menandakan perubahan pola pikir yang belum terjadi. Banyak keputusan operasional dibuat untuk melindungi kepentingan organisasi dan melestarikan ketergantungan pada seseorang atau instansi tertentu berarti mengkhianati reformasi birokrasi. Yang sering menganggu juga adalah adanya Budaya sungkan dan “comfort zone” menyebabkan SDM yang berani mengambil keputusan dan visioner harus tersingkir atau di mutasi. Trauma masa lalu (BLBI, Krisis) dan agresivitas pengawas, KPK, BPK dan kejaksaan mengakibatkan kelambatan pengambilan keputusan. Menkeu SMI sampaisampai minta 4-5 paraf pejabat eselon I pendapat ahli hukum sebelum ambil keputusan. 13 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal RB berada dibawah kepemimpinan yang jujur, tegas dan visioner adalah sangat penting dalam merubah mindset birokrat. Dia harus mampu memimpin tanpa kenal lelah, menghilangkan benturan kepentingan dan mengajak birokrat fokus pada tupoksi, menghilangkan anggaran-anggaran (panitia dan tim-tim) yang tidak perlu pascarenumerasi birokrasi. Menghilangkan anggaran-anggaran Teknologi Informasi dan gedung yang tumpang tindih, dan memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pengambil kebijakan. Dia juga harus mampu membangun suasana kerja internal yang harmonis dengan lembaga lain, khususnya dengan DPR, aparat hukum dan pengawas eksternal, tidak melupakan tugas jangka panjang pada SDM untuk kepemimpinan masa depan, dan tidak mengandalkan konsultan dan advisor, khususnya asing untuk pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri oleh staf. Kita belum melihatnya reformasi birokrasi sejati dalam satu tahun perjalanan KIB II. Namun, untuk kedepannya pasti akan muncul jiwa pemimpin dan aparat birokrat yang memiliki komitmen tinggi dalam Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah faktor penting pemberantasan korupsi dan perbaikan iklim investasi. Pernah dimuat di Kompas, 21 Oktober *** 14 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran Bekerjasama Dengan DPR Pengantar : “Pemerintah dan DPR merupakan dua institusi pembuat dan pembentuk undang-undang. Agar dapat mencapai tujuan bersama, maka kedua institusi tersebut harus secara harmonis walaupun berbeda fungsi. Walaupun pemerintah dan DPR harus membangun hubungan yang harmonis dan professional, namun tetap harus menjaga jarak, etika dan kesantunan. Tidak ada larangan bagi pemerintah untuk bertemu dengan DPR selama tidak ada maksud tersembunyi dibaliknya. Dalam tulisan ini penulis akan membahas hubungan antara pemerintah dan DPR serta pengalaman penulis selama berada di dalam pemerintahan.” P erubahan kebijakan dapat dilakukan melalui dua pintu masuk, yakni pemerintah dan DPR. Kedua institusi tersebut adalah pembuat dan pembentuk Undang-undang. Tujuan pembentukan Undangundang adalah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 15 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Maka, kedua institusi tersebut harus berjalan secara harmonis dan berjalan dengan satu tujuan, meskipun berbeda fungsi. Pemerintah merencanakan kebijakan dan menganggarkan kebijakan, DPR menyetujui atau menolak kebijakan dan anggaran, dan jika disetujui, kemudian Pemerintah melaksanakan kebijakan dan DPR mengawasi sesuai dengan penetapan dalam Undang-undang. Sedangkan pengawasan keuangan diserahkan kepada BPK. Dengan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), alat kelengkapan DPR bertambah satu lagi yakni BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara) yang berfungsi menindaklanjuti hasil temuan BPK. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada masa jabatannya pernah menginstruksikan kepada seluruh jajaran eselon 1 Kementrian Keuangan untuk membangun hubungan yang harmonis dan profesional dengan mitra kerja DPR namun tetap harus menjaga jarak, etika dan kesantunan. Kementrian Keuangan harus bekerjasama dengan DPR secara profesional, tidak ada tabu untuk bertemu dengan DPR. Bahkan SMI sendiri sering memimpin pertemuan informal dan lobi dengan anggota DPR untuk menggoalkan satu rancangan kebijakan pemerintah. Semasa bekerja di kementrian Keuangan, Instruksi tersebut selalu penulis pegang dalam setiap berhubungan dengan DPR. Sebagai perencana kebijakan dan anggaran maka tugas penulis didalamnya termasuk harus mampu menyampaikan ide perubahan kebijakan kepada mitra anggota DPR untuk dapat disetujui. Maka pertemuan untuk menyamakan persepsi dengan DPR atas hal tersebut telah penulis dan juga rekan lainnya lakukan berulang-ulang. Tempatnya bisa di DPR, di cofee shop ataupun di berbagai tempat pertemuan yang netral. 16 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran Ketika pertemuan tanggal 19 Februari 2009 di meeting room hotel Four Season di Kuningan, Jakarta dengan wakilwakil anggota badan anggaran untuk penyamaan persepsi mengenai kebijakan stimulus fiskal menjadi salah satu temuan dan bahan investigasi KPK, penulis tidak takut. Ketika itu anggota DPR dengan inisial AHD ditangkap karena kasus korupsi proyek dermaga yang diakuinya berasal dari hasil pertemuan tersebut. KPK kemudian tidak menemukan hubungan antara pertemuan tersebut dengan kasus korupsi AHD apalagi keterlibatan penulus. Penyelidikan oleh KPK tersebut tidak membuat jera. Penulis juga pernah ditanyakan oleh Menkeu dan komisi XI dalam pembahasan APBN 2010 di dalam forum tertutup mengenai adanya dugaan “kickback” dalam bentuk dana ke daerah pemilihan (dapil) di mana anggota berasal apabila diberikan persetujuan mengenai target pajak dalam APBN 2010 diberikan. Meskipun Menkeu sendiri waktu itu mempertanyakan, namun tuduhan tersebut juga tidak terbukti. Ketua Panja UU Penulis sudah malang melintang 10 tahun di DPR, memimpin panitia kerja UU APBN dan UU APBN-P selama hampir 10 tahun. Memimpin panja UU Cukai, UU Perbankan Syariah, UU MD3 dan UU PDRD (Pajak dan Restribusi Daerah). Disamping itu turut serta sebagai anggota Panja Pemerintah didalam pembahasan perubahan UU BI, UU Keuangan Negara, UU SUN (Surat Utang Negara), dan UU Desentralisasi Fiskal. Disamping menyelesaikan tugas penyelesaian UU tersebut bersama DPR mitra kerja, penulis juga menelorkan gagasan-gagasan baru. Dalam UU APBN dan APBN-P perbaikan dalam proses pengambilan keputusan, keterwakilan posisi puncak di 17 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal pihak pemerintah atau BUMN, hubungan komisi dan Panitia Anggaran (sekarang Banggar). Menampung beberapa ketentuan yang bersifat lex specialist, misalnya dalam penetapan cost-recovery, penghapusan piutang BUMN dan hutang UMKM, penambahan modal bagi BUMN pelayanan publik, penetapan harga BBM dan Listrik yang fleksibel, pre-financing utang, pinjaman siaga atau kontigensi, alokasi anggaran antisipasi krisis pangan dan energi, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan dalam berbagai UU dapat diringkas sbb: UU SUN mengenai pasal peralihan pengakuan hutang atau SUN yang diterbitkan pada masa krisis 1998, UU BI mengenai pembentukan BSBI (Badan Supervisi Bank Indonesia), dan jadwal waktu pembentukan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), prosedur penetapan sasaran inflasi. UU Perbankan Syariah mengenai “spin-off” wajib bagi Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Perbankan Syariah yang penuh dan berdiri sendiri, pembatasan kepemilikan bank asing dalam Perbankan Syariah dan lain sebagainya. UU Cukai mengenai kenaikan tarif maksimum, roadmap kebijakan cukai yang mengkedepankan aspek kesehatan, perluasan obyek cukai dan perlunya konsultasi dengan pelaku. Gagasan dalam UU MD3 sangat banyak dan menarik. UU MD3 lebih berat kepada substansi politik dan administrasi lembaga politik seperti MPR, DPR, DPD dan DPRD namun komponen penganggaran dan penataan hubungan legislatif dan eksekutif dalam siklus APBN cukup banyak. Maka ditatalah hubungan kelembagaan tersebut, jadwal dan upaya untuk memperbaiki mekanisme anggaran, percepatan pencairan anggaran dan pengawasan anggaran oleh DPR. 18 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran Kompromi diperlukan dalam Koridor Hebatnya, hubungan DPR dan Pemerintah tersebut selalu menjadi tontotan publik dan media secara terbuka. Tidak heran begitu banyaknya campur tangan publik atau kelompok tertentu pada waktu pembahasan di DPR. Kelompok kepentingan akan meminta untuk berembug dengan otoritas bahkan sampai mendesak untuk dipenuhi dan ditampung kepentingannya dalam UU yang sedang dibahas. Maka tak pelak lagi akan muncul godaan untuk berkompromi. Menkeu Sri Mulyani selalu menekankan bahwa kompromi dengan berbagai pihak terkait (stakeholder) “..... Hubungan DPR dan memang diperlukan tetapi Pemerintah tersebut tidak boleh mengorbankan selalu menjadi tontotan kualitas kebijakan dan publik dan media secara dipilih kompromi dengan terbuka. Tidak heran pengorbanan serendahbegitu banyaknya rendahnya. campur tangan publik Maka agar dikurangi atau kelompok tertentu terjadinya kompromi, disain pada waktu pembahasan di DPR.” kebijakan haruslah matang dan komprehensif. Untuk itu disain kebijakan haruslan sound dari sisi akademik dan dapat dilaksanakan dengan tujuan memberi nilai tambah sebesar-besarnya. Disain kebijakan harus disosialisasikan terlebih dahulu untuk mendapat masukan sehingga diketahui kekurangan dan keinginan dari para stakeholders. Jika dihitung dalam jadwal tahunan, bisa jadi tugas dari rekan-rekan eselon 1 Kementrian Keuangan 30% bahkan lebih dicurahkan untuk bertemu dengan DPR, apakah dalam forum kebijakan, anggaran dan pengawasan. Waktu 19 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal yang dicurahkan seringkali dilakukan di luar jam kerja normal hingga larut dan berlangsung hingga akhir minggu. Perdebatan dapat berlangsung ringan hingga berat bahkan dapat berlangsung panas. Bagi DPR, reputasi individu, publik, fraksi, komisi bahkan DPR dipertaruhkan, demikian juga dengan penulis mempertaruhkan dan berjuang dengan segala daya upaya dengan penuh keyakinan bahwa kebijakan dan anggaran yang diusulkan akan memberikan manfaat bagi rakyat. Allhamdullillah, penulis telah melalui rintangan dan hambatan tersebut ditengah begitu banyak para eksekutif dan legislatif yang tertangkap basah oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Apapun, eksekutif dan legislatif harus tetap berteman dan menjaga jarak secara profesional dan beretika. *** 20 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran UU APBN dan Dinamika DPR Pengantar : “Pembahasan APBN di DPR selalu menarik untuk diikuti. Pembahasan ini sedikit berbeda dengan pembahasan yang melibatkan DPR dan Pemerintah seperti halnya dalam pembahasan RUU. Dalam pembahasan APBN yang lebih ditekankan adalah isi dari APBN tersebut, yaitu kemana anggaran negara dibelanjakan dan darimana sumber pembiayaannya. Pembahasan mengenai kalimat per kalimat seperti dalam pembahasan RUU tidak menjadi begitu penting, mengingat banyaknya sektor yang perlu segera mendapat pembiayaan dan asas proporsionalitas dalam pembagian dana APBN. Namun, dalam RAPBN 2011 yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR terdapat isu ganjil yang mencuat ke permukaan, yaitu isu dimasukannya ‘pasal siluman’ oleh Pemerintah. Tentu hal ini menarik untuk dilihat dari sudut pandang Penulis sebagai akademisi.” 21 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal D alam rapat paripurna DPR Rabu 27 Oktober 2010, telah disahkan UU APBN 2011, namun sidang diwarnai dengan pembatalan pasal 8 ayat 2b. DPR khususnya anggota komisi VII yang membidangi energi menyampaikan protes atas adanya “penyelundupan” pasal 8 ayat 2b tersebut, bahkan disebut sebagai pasal “siluman”. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dalam pendapat akhir terhadap RAPBN 2011 menyatakan setuju dengan penghapusan ayat tersebut. “Kami setuju dihapuskannya pasal itu dan itu sudah disetujui dalam rapat pemerintah dengan DPR sebelumnya” (Republika, Rabu 27 Oktober 2010). Namun Menkeu tidak menjelaskan kenapa pasal tersebut diusulkan oleh Pemerintah melalui Nota Keuangan yang disampaikan Presiden. Ketua Badan Anggaran juga tidak menjelaskan kenapa dalam rapat pleno Badan Anggaran tanggal 26 Oktober 2010 menyetujui keseluruhan draf RUU yang diajukan pemerintah, termasuk pasal 8 ayat 2b tersebut. Pasal 8 ayat 2b Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2011 tersebut berbunyi “Penerapan tarif dasar listrik (TDL) sesuai harga keekonomian secara otomatis untuk pemakaian energi di atas 50% (lima puluh persen) konsumsi rata-rata nasional tahun 2010 bagi pelanggan rumah tangga (R), bisnis (B), dan publik (P) dengan daya mulai 6.600 VA ke atas.” Substansi ayat tersebut sebenarnya tidak ada yang salah. Kalaupun terjadi kenaikan TDL namun rasanya sedikit elemen masyarakat yang menolak apabila dikenakakan pada pelanggan dengan daya 6600 KvA. Dengan ketentuan tersebut berarti pelanggan 6600 KvA ke atas dikenakan tarif keekonomian dan tidak mendapatkan subsidi dari APBN. Pelanggan dengan daya 6600 KvA ke atas adalah termasuk rumah tangga/pebisnis kaya, jadi sudah sepantasnya mereka 22 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran tidak mendapatkan subsidi. Jumlah mereka juga tidak lebih dari 5% dari seluruh pelanggan listrik di Indonesia. Apalagi dalam ayat tersebut masih ada embel-embel dengan pemakaian energi di atas 50% konsumsi rata-rata tahun sebelumnya. Sungguh dalam ayat tersebut terkandung suatu kebijakan yang adil. Bukan Pasal ‘Siluman’ Dalam UU APBN 2009, 2010 dan APBN-P 2010, pasal tersebut sudah ada, jadi bukan pasal siluman. Dan waktu itu sudah disetujui oleh DPR. Hanya berbeda adalah dalam penetapan presentase konsumsi rata-rata nasional. Penulis sungguh yakin tidak ada intensi dari pejabat dan staf Kemenkeu untuk menyeludupkan pasal tersebut karena hal tersebut bukan kebijakan dan pasal baru yang muncul tibatiba. Seingat Penulis justru Panitia Anggaran (sekarang Badan Anggaran) waktu itu bahkan minta tidak perlu ada batasan konsumsi. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa APBN diajukan oleh Pemerintah, dan disahkan oleh DPR, setelah dibahas oleh DPR bersama dengan Pemerintah. Jadi pengajuan pasal 8 ayat 2b dalam RUU APBN 2011 oleh Pemerintah adalah sah dan sesuai kaedah mekanisme dalam konstitusi. DPR dalam posisi membahas dan dapat menyetujui atau menolak pasal tersebut. Rapat paripurna adalah rapat dimana keputusan terhadap suatu undang-undang dilakukan. Rapat paripurna pengambilan keputusan akhir mengenai RUU setelah melalui proses kesepakatan di panitia kerja dan pleno. Meskipun rapat Paripurna biasanya mengamini, dalam hal-hal tertentu bisa menganulir hasil rapat-rapat sebelumnya. 23 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Tidak seperti RUU lainnya, RUU APBN adalah satusatunya RUU yang hanya boleh diajukan oleh Pemerintah dan DPR tidak memberikan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Pembahasan APBN lebih difokuskan pada substansi dan konsekuensi bujetnya, sedangkan pembahasan butir-butir RUU tidak terlalu intensif seperti RUU yang lain. Jadi secara prosedur dan mekanisme serta substansi APBN, pasal 8 ayat 2b tidak menyimpang dan tidak salah. Anggota DPR tidak perlu menggugat dan mencari pihakpihak yang bertanggung jawab atas munculnya pasal ‘siluman’ tersebut. Kemenkeu juga tidak perlu risau jika ada “Ke depan ada baiknya Pemerintah dan DPR gugatan dari pihak DPR. Pasal Tidak Perlu teliti dan jernih serta obyektif melihat persoalannya. Jangan sampai perdebatan yang bertujuan membela kepentingan rakyat tersebut sia-sia dan menjadi panggung yang menggelikan” Dari sisi kebijakan kelistrikan sendiri, sebenar-benarnya pasal 8 ayat 2b tersebut tidak diperlukan. Mengingat substansi penyesuaian harga keekonomian pelanggan 6600 KvA keatas sudah ditampung dalam Tarif Daftar Listrik (TDL) tahun 2010 yang baru saja ditetapkan. Dengan memberikan batas 50% kenaikan dari konsumsi tahun 2010 sama saja artinya pelanggan dalam kelompok tersebut telah membayar harga keekonomian. TDL untuk golongan pelanggan 6600 KvA sebesar Rp 1.130/kwh sebenarnya telah ditetapkan tanpa pemberian subsidi. Jadi ditetapkan atau dihapuskannya pasal 8 ayat 2b 24 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran tersebut tidak berpengaruh apa-apa terhadap penghasilan PLN atau subsidi pemerintah. Bedanya dalam APBN 2010 batas maksimum tersebut adalah 30%, berarti pelanggan masih menerima subsidi, sedangkan dalam RAPBN 2011 dengan dinaikkan menjadi 50% berarti tidak lagi menerima subsidi. Jadi, sia-sialah perdebatan pencabutan pasal 8 ayat 2b tersebut. Ada atau tidak ada ketentuan tersebut, tidak merubah postur APBN. Pelanggan 6600 KvA keatas telah membayar tarif listrik tanpa subsidi dengan atau tanpa pasal 8 ayat 2b. Ke depan ada baiknya Pemerintah dan DPR teliti dan jernih serta obyektif melihat persoalannya. Jangan sampai perdebatan yang bertujuan membela kepentingan rakyat tersebut sia-sia dan menjadi panggung yang menggelikan. Namun, apapun yang diputuskan terkait pelanggan 6600 KvA keatas, kita masih punya masalah sangat serius dalam program kelistrikan nasional kita. *** 25 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Politik Anggaran dana DAPIL “Dana DAPIL yang diusulkan oleh anggota DPR (2011) selama ini dipertanyakan. Dana DAPIL ini ditakutkan nantinya tidak tersalurkan melalui sistem penganggaran. Penulis sendiri beranggapan bahwa usulan Dana DAPIL yang merupakan dana transfer dari pusat (APBN) kepada daerah (APBD) berbasis pada jumlah kursi anggota di DPR tentu bukanlah sesuatu yang aneh, salah, serta perlu dipertanyakan.” P ada tahun 2010, dana untuk DAPIL (daerah pemilihan) yang diusulkan oleh anggota DPR dalam rangka pembicaraan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2011 marak dibicarakan. Dana DAPIL tersebut merupakan dana transfer dari pusat (APBN) kepada daerah (APBD) berbasis pada jumlah kursi anggota di DPR. Usulan tersebut bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, karena sebagai anggota DPR salah satu sumpah jabatannya adalah memperjuangkan dana kepada daerah pemilihan. Dana tersebut nantinya tetap disalurkan melalui APBD, dan tentu bukan untuk keperluan pribadi para anggota. Anggota DPR juga tidak akan menyalurkan dana tersebut, jadi semuanya 26 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran melalui sistem penganggaran yang ada, baik APBN maupun APBD. Lalu, mengapa menjadi kontroversi? Dalam pengamatan penulis, tidak ada yang salah, dan usulan tersebut tetap sah saja. Meskipun penulis belum melihat sendiri detil usulan tersebut, tetapi tidak ada sesuatu ketentuan pun yang dilanggar. Pemerintah pada saat itu sudah mengusulkan PPKF ke DPR, dan DPR memberikan jawaban untuk kemudian dibahas dalam proses penyusunan APBN. Pemerintah mengusulkan transfer ke daerah, dalam hal ini dana alokasi umum (DAU) dengan formula kesenjangan fiskal antar daerah, sedang DPR meminta agar formula DAPIL masuk dalam formula alokasi transfer ke daerah. Kewenangan eksekusi atau pelaksanaan anggaran tetap berada di pihak eksekutif, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah. DPR dan DPRD kemudian melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan anggaran. Mekanisme ini sudah sesuai dengan UUD 1945 dan UU 17 tahun 2003 mengenai keuangan negara. Jika proses perencanaan, pembahasan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran tersebut di jalankan dengan baik oleh eksekutif dan legislatif sesuai dengan tugasnya masing-masing, maka tidak ada masalah. Pemerintah tentu akan mempertahankan kebijakannya, yakni transfer daerah, dalam hal DAU adalah instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Namun, pemerintah, dalam hal ini kementrian keuangan, juga tidak boleh menutup mata bahwa seolah-olah formula DAPIL tersebut tidak mungkin disusun. Alokasi anggaran tetap merupakan keputusan politik anggaran di DPR. Hal yang terpenting adalah tujuan yang tetap sama yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 27 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Formula Dana DAPIL Formula kesenjangan fiskal dan DAPIL sebenarnya dapat digabung dengan mengakomodasi kedua tujuan tersebut. Misalnya, alokasi minimum untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar di daerah dilakukan dengan formula kesenjangan fiskal, dan sisa anggarannya dialokasikan dengan formula DAPIL. Pengkajian perlu segera dilakukan dan sosialisasipun dapat disebarluaskan secara transparan supaya mendapat tanggapan luas dan bersifat konstruktif. Pemerintah tidak perlu menakut-nakuti bahwa DPR mengambil hak eksekusi anggaran dan telah terjadi benturan kepentingan. DPR juga harus tahu diri dan introspeksi bahwa selama ini banyak kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dan DPRD. Fungsi pemerintah dalam soal angaran jelas, yakni mengusulkan, membahas dengan DPR dan melaksanakan anggaran yang sudah disetujui oleh DPR. Tugas DPR dalam anggaran juga jelas, menerima usulan, kemudian membahas dengan Pemerintah, menetapkan dalam UU APBN bersama Pemerintah dan kemudian mengawasi pelaksanaanya. Dalam hal mekanisme dan cakupan pekerjaan DPR dalam hal anggaran (APBN), DPR sudah memiliki undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan peraturan DPR. Undang-Undang MD3 adalah state of the art dari pengaturan mekanisme dan kewenangan tugas, hak dan kewajiban DPR termasuk dalam fungsi penganggaran. UU MD3 adalah penyempurnaan dari UU Susduk (susunan dan kedudukan) MPR dan DPR. Dalam UU tersebut diatur mengenai pembagian fungsi alat kelengkapan DPR dalam anggaran, yakni komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar). Disamping itu dicetuskan sebuah alat kelengkapan 28 Bagian I – Masa Depan Ekonomi, Reformasi Birokrasi dan Ekonomi Politik Anggaran DPR yang baru yakni, BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara) untuk menindaklajuti temuan-temuan audit BPK. Fungsi Badan Anggaran dalam UU MD3 sangat sentral dalam pembahasan dan pengesahan APBN, namun demikian UU tersebut mewajibkan bahwa semua penetapan pendapatan dan belanja negara sekarang ini harus sudah disetujui oleh komisi terkait. Sehingga fungsi Banggar lebih bersifat koordinator dan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di semua komisi. Meskipun masih terjadi tarik menarik antara kewenangan komisi dan Banggar, namun penulis melihat mekanisme ini jelas lebih teratur, sistematis, rapi dan pasti. Konsekuensinya Pemerintah, dalam hal ini kementrian keuangan, sebagai koordinator pemerintah harus bekerja dua kali, yakni di komisi dan di Badan Anggaran. Pembahasan atas usulan anggaran DAPIL bisa muncul di komisi, Banggar ataupun bahkan dua-duanya. Usulan menambah anggaran di masing-masing DAPIL adalah sah. Sekarang giliran Pemerintah yang memberikan tanggapan mengapa formula kesenjangan fiskal (KF) lebih baik dari pada formula DAPIL. Dengan formula KF berarti daerah miskin akan mendapat alokasi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah kaya. Sementara formula DAPIL yang sama rata untuk semua kabupaten berarti tidak mempertimbangkan aspek kemampuan fiskalnya. Menurut penulis, dalam hal memililih atau mengkombinasikan formula terbaik tersebut dapat dipersempit pada masalah teknis alokasi anggaran yang tepat dan dapat diperdebatkan secara konstruktif. Hindari Kongkalikong Beberapa pendapat dari pengamat asing yang sempat bertemu penulis mendukung adanya pembahasan usulan ini, 29 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal bahkan memuji politik anggaran di Indonesia sudah sangat maju dan transparan. Di banyak negara yang sudah maju demokrasinya bahkan masih secara diam-diam melakukan alokasi anggaran berdasarkan DAPIL. Alokasi DAPIL dilakukan lewat pintu belakang dan hasil “kongkalikong” pemerintah dengan DPR nya. Indonesia nyata-nyata sudah lebih maju dengan mengangkat masalah ini diatas meja setransparan mungkin. Praktek korupsi anggaran di pihak eksekutif dan legislatif dibelakang meja harus ditinggalkan. Hubungan harmonis yang berjarak antara Pemerintah dan DPR harus dilakukan dengan kejujuran dan saling percaya, dan penulis yakin bahwa pada saat itu merupakan saat yang paling tepat untuk melakukannya. hal-hal ini saatnya. Oleh karena itu, penulis menggaris bawahi bahwa kita janganlah selalu berprasangka buruk. Pernah dimuat di Republika, 7 Juni 2010 *** 30 Bagian II Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik 31 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 32 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Pemantauan Dini, Early Warning dan Hedging Pengantar : “Dalam menghadapi kondisi global yang semakin tidak pasti, dibutuhkan beberapa strategi yang harus canggih, sophisticated, dan selalu siap sedia mendeteksi segala perubahan mendadak yang mungkin bisa membahayakan perekonomian nasional. Maka dari itu, Penulis pernah membuat, atas gagasan Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, sistem deteksi dini untuk memprediksi akan bahaya perekonomian di depan. Sistem tersebut dimulai dari generasi pertama yang masih sederhana hingga kini telah memiliki generasi keempat yang bahkan bisa diakses melalui ponsel Blackberry anda. Pada waktu penulis memaparkannya di depan lembaga-lembaga keuangan internasional, mereka pun kagum dengan sistem yang mampu dibangun oleh Indonesia. Selain itu, metode lindung nilai atau Hedging perlu dilakukan Indonesia apabila terdapat indikasi akan terjadi krisis di depan. Nilai Hedging ini sejatinya tidak dilihat sebagai suatu pemborosan paranoid terhadap sesuatu yang belum tampak, namun perlu diingat bahwa kehati-hatian preemptive perlu dilakukan sebelum datangnya bencana yang lebih besar di kemudian hari.” 33 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal P ada waktu kunjungan perdana Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) ke Bali pada tahun 2006, penulis bersama Hadi Poernomo dan Eddy Abdurachman, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai waktu itu menggagas mengenai model pemantauan dini perekonomian khususnya sektor riil. Model tersebut dapat menjadi semacam indikator awal arah perekonomian kedepan dan early warning jika kecenderungannya memburuk. Menkeu SMI sangat mendukung dan memberikan beberapa ide tambahan serta menginstruksikan kepada Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai untuk mengkonsolidasikan data penerimaan pajak, ekspor impor. Maka mulai tahun 2007, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mendapat tugas baru untuk menyajikan pemantauan dini perekonomian Indonesia dengan prediksi dan early warning di depan rapat pimpinan Kementrian Keuangan setiap bulan. Paparan pemantauan dini tersebut di susun bersamasama dan disajikan dalam sebuah dashboard real-time dengan sinyal kondisi pasar dan global. Sinyal kondisi pasar, sektor riil dan APBN dapat menjadi basis bagi kementrian keuangan untuk mengambil langkah berikutnya. Jadilah sebuah dashboard pemantauan dini generasi pertama, manual dan sederhana. Hingga pertengahan tahun 2010 telah di bangun dashboard pemantauan dini generasi ke-IV (keempat) yang memungkinkan melakukan pemantauan secara mobile melalui penggunaan blackberry. Pemantauan riil time perekonomian dengan threshold memberikan indikasi arah pergerakan pasar dan kondisi ekonomi riil. Penulis sempat memaparkan dashboard tersebut kepada ketiga lembaga peringkat internasional (S&P, Moodys dan Fitch) serta lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia dan ADB. Pada umumnya mereka tertarik dan kagum dengan kemampuan Kementerian Keuangan dalam memantau perekonomian, kondisi pasar keuangan dan 34 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik melakukan analisis early warning sekaligus. Dashboard generasi keempat tersebut sebenarnya juga mampu untuk mendeteksi secara dini probabilitas terjadinya krisis keuangan dalam jangka waktu dua belas bulan kedepan. Kondisi Global Semakin Bergejolak Pergerakan indikator pasar, baik pasar uang, pasar modal maupun pasar komoditas dunia dalam beberapa tahun terakhir ini tampak semakin tidak menentu. Kadang-kadang naik tetapi tiba-tiba jatuh. Apalagi sejak adanya krisis global tahun 2008 dimulai dari krisis sub-prime kemudian krisis keuangan, krisis fiskal, krisis utang, dan krisis komoditas, kecepatan gerakan naik-turun masih belum terlihat ada tandatanda mereda. Para pemodal di negara maju semakin berpikir short-term dan hanya berpikir untuk mengamankan dana investasi jangka pendek. Para pemodal sangat oportunistik pada return jangka pendek. Kenaikan harga emas dan hargaharga komoditas di bursa komoditi dunia tak pelak lagi terjadi karena reorientasi dari para pemodal di pasar uang yang ingin menutup kerugian dengan keuntungan dari bursa komoditas yang mengharapkan kenaikan harga komoditas terus berlanjut. Kondisi pasar modal di negara berkembang yang tumbuh positif tetap menjadi incaran dari para pemodal global. Arus modal masuk ke negara berkembang akan terus berlanjut karena pelemahan dolar AS dan prospek pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk Indonesia yang membaik. Dengan prospek Indonesia memasuki investment grade yang semakin dekat, bisa jadi arus modal global masuk akan semakin deras. Maka Indonesia akan menghadapi dua tantangan sekaligus, pertama masuknya modal asing (capital inflow) yang semakin deras dan jika tidak diantisipasi dengan isntrumen jangka panjang akan terjadi aset bubble dan 35 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal kemungkinan terjadi risiko pembalikan, kedua, kenaikan harga-harga energi dan pangan karena shortage supply dunia dan reorientasi pemodal ke bursa komoditas akan menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan dunia dan inflasi. Pergerakan kondisi pasar baik keuangan, pasar modal dan komoditas ini pasti terekam dalam model pemantauan dini di BKF. Jadi penulis sungguh yakin kementerian keuangan sangat sadar akan bahaya dan ancaman krisis keuangan, energi dan pangan. Terus “Salah satu kebijakan terang di Indonesia penulis yang cukup ampuh belum melihat instrumen dalam melakukan pemantauan dini secanggih pencegahan adalah yang dimiliki oleh BKF. hedging atau lindung Pemantauan dini yang menggabungkan dengan nilai.” kecenderungan pasar di dunia melalui bloomberg, reuter, CIC dan lain-lain serta perekonomian domestik yang tercatat dalam angka-angka perpajakan serta perdagangan internasional. Ditambah dengan perkembangan pasar modal dari bursa efek Indonesia dan perdagangan obligasi di pasar sekunder, denyut nadi perekonomian dapat terekam dengan baik dan akurat. Tindak lanjut berikutnya adalah formulasi dan antisipasi kebijakan dari adanya kecenderungan yang negatif yang dipantau lewat dashboard tersebut. Kebijakan: Hedging dan Langkah Pencegahan Sebagai suatu instrumen pemantauan dini dan early warning, dashboard BKF cukup memadai, apalagi jika fiturfitur dan aplikasi terus diperbaiki dan dikembangkan sesuai kebutuhan. Akurasi dan kecepatan informasi terus diperbaiki dengan analisis yang sederhana dan antisipatif. Selanjutnya 36 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik instrumen tersebut harus mampu melakukan antisipasi dan pencegahan terhadap kondisi pemburukan. Langkah-langkah lanjut yang harus ditempuh adalah pertama, mengikuti kebijakan dan komitmen SMI, semua unit harus mengkosolidasikan data secara kontinu dan konsisten dengan kualitas yang meningkat serta disalurkan rutin dan otomatis ke warehouse basis data di BKF, kedua, paparan pemantauan dini harus diikuti dan didiskusikan secara intensif diantara para pemimpin di kementrian keuangan untuk mengetahu gejala, fenomena dan kecenderungan yang terjadi, ketiga, memantau apakah kecenderungan tersebut dalam batas threshold yang aman, kurang aman dan berbahaya, keempat, paparan mengenai early warning system harus dicermati didiskusikan terbuka tetapi konfidensial. Fokusnya adalah kebijakan pencegahan dan antisipasi terjadinya pemburukan. Salah satu kebijakan yang cukup ampuh dalam melakukan pencegahan adalah hedging atau lindung nilai. Hedging dapat dilakukan terhadap gejolak nilai tukar, kenaikan suku bunga, serta kenaikan harga minyak (dalam kasus Indonesia sebagai net importir). Kecenderungan perubahan indikatorindikator tersebut terbaca didalam pemantauan dini tersebut. Lazimnya hedging terkait dengan masalah keuangan, namun dapat juga hedging dilakukan dengan penyediaan pasokan (supply) bahan baku atau yang lain dalam keadaan terjadi shortage dan kenaikan harga tinggi. Hedging dilakukan dengan biaya, semacam premi asuransi. Risikonya adalah apabila kecenderungan yang diperkirakan tidak terjadi maka biaya premi yang sudah dibayarkan akan hilang begitu saja. Sebaliknya apabila kejadian, maka kerugian besar akan dapat dihindari. 37 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Dalam situasi yang sangat tidak pasti seperti femomena global sekarang ini, maka kebijakan hedging perlu untuk diperkenalkan sebagai upaya pencegahan. Kementerian, BPK dan DPR harus mulai mengantisipasi adanya biaya hedging yang mengandung risiko sebagai pengeluaran. Biaya hedging tidak harus dikategorikan sebagai biaya yang hilang begitu saja. Namun biaya hedging dapat dikategorikan sebagai biaya untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar. Kuncinya adalah adanya instrumen pemantauan dan early warning yang canggih. Jika hal tersebut dipenuhi maka kebijakan hedging akan menhindarkan negara dari risiko kerugian besar. Penulis pernah menggagas instrumen pemantauan dini dengan kredo “Waspada, Antisipastif dan Reaktif (WAR)”. Waspada terhadap setiap kecenderungan, Antisipasi apabila kecenderungan memburuk dan mempersiapkan reaksi untuk melakukan pencegahan. Seperti juga bencana alam dan tsunami, kita tidak dapat memperkirakan kapan datangnya dengan pasti, namun apapun situasi ekonominya, kita (pemerintah) tetap harus selalu dalam sikap WAR. *** 38 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik PENGUNGKAPAN RISIKO FISKAL Pengantar : “Definisi risiko keuangan negara memang tidak diberikan secara eksplisit dalam undang-undang keuangan negara. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat potensi risiko keuangan negara yang dapat memberikan dampak negatif terhadap APBN seperti kejadian yang mengakibatkan bertambahnya belanja negara untuk mencapai misi Pemerintah. Gagasan penulis berupa pengungkapan risiko fiskal diperlukan terutama dalam rangka keterbukaan (transparency) dan kesinambungan (sustainability) fiskal. Dalam penyusunan APBN, terdapat beberapa indikator sebagai dasar perhitungan, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga SBI 3 bulan, nilai tukar rupiah, dan harga minyak mentah ICP. Dalam kaitannya dengan utang pemerintah, risiko fiskal dapat muncul sebagai dampak dari perubahan tingkat bunga, nilai tukar, dan biaya utang lainnya. Risiko-risiko diatas dapat dimitigasi dengan perencanaan APBN yang antisipatif dengan perkembangan kedepan serta apabila dilakukan disain pembuatan asuransi risiko.” 39 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal S ejak APBN 2007, Nota Keuangan telah menyajikan pengungkapan mengenai risiko fiskal. Risiko fiskal atau risiko keuangan negara disini dapat diartikan sebagai kejadian yang berdampak pada penambahan besarnya defisit APBN. Definisi risiko keuangan negara memang tidak diberikan secara eksplisit dalam undang-undang keuangan negara. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat potensi risiko keuangan negara yang dapat memberikan dampak negatif terhadap APBN. Misalnya adalah (i) kejadian yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan Pemerintah dalam memperoleh penerimaan negara; (ii) kejadian yang mengakibatkan bertambahnya belanja negara untuk mencapai misi Pemerintah, (iii) kejadian yang mengakibatkan Pemerintah harus memenuhi kewajibanya sebagai akibat dari komitmen Pemerintah yang terikat perjanjian dan (iv) kejadian yang mengakibatkan Pemerintah untuk memenuhi kewajiban moral Pemerintah. Secara umum dapat dikatakan bahwa risiko keuangan negara adalah penambahan defisit Anggaran karena (i) penerimaan negara berkurang, atau (ii) belanja negara bertambah, atau (iii) bertambahnya kewajiban langsung Pemerintah, atau (iv) bertambahnya kewajiban kontijensi Pemerintah dan kombinasi dari sebagian atau seluruhnya. Gagasan penulis berupa pengungkapan risiko fiskal diperlukan terutama dalam rangka keterbukaan (transparency) dan kesinambungan (sustainability) fiskal. Pengungkapan risiko fiskal diperlukan untuk menciptakan keterbukaan tentang posisi fiskal Pemerintah dan untuk lebih menjamin terjaganya kesinambungan pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran. APBN biasanya disusun berdasarkan atas berbagai asumsi dan estimasi yang tersedia pada saat penyusunan, 40 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik yang mungkin akan berbeda dari realisasinya. Perbedaan antara asumsi serta estimasi dengan realisasinya perlu dicermati karena dapat berdampak pada pelaksanaan APBN. Dengan demikian, Risiko Fiskal memuat beberapa hal yang berpotensi menimbulkan risiko pada APBN, misalnya: (i) sensitivitas asumsi ekonomi makro, (ii) utang pemerintah, (iii) Badan Usaha Milik Negara, (iv) program pensiun dan Tunjangan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil, (v) desentralisasi fiskal, (vi) Bank Indonesia, (vii) Lembaga Penjamin Simpanan, (viii) tuntutan hukum kepada Pemerintah, (ix) keanggotaan organisasi internasional, dan (x) bencana alam. Sensitivitas asumsi ekonomi makro Berbagai perkembangan dan perubahan kondisi perekonomian di masa mendatang dapat menyebabkan tidak tercapainya asumsi-asumsi makro yang telah ditetapkan. Perbedaan tersebut, bila terjadi, akan menimbulkan tidak terpenuhinya besaran-besaran anggaran belanja dan pendapatan yang telah ditetapkan dalam APBN, termasuk upaya-upaya pencarian sumber-sumber pembiayaan baru bila dibutuhkan. Perbedaan antara realisasi dan anggaran butirbutir APBN tentunya akan dapat mengganggu pencapaian sasaran-sasaran dan kegiatan pembangunan. Dalam penyusunan APBN, terdapat beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar perhitungan, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga SBI 3 bulan, nilai tukar rupiah, dan harga minyak mentah ICP. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi acuan bagi perhitungan besaranbesaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi indikator ekonomi makro berbeda dengan 41 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal yang telah diasumsikan, maka besaran-besaran dalam APBN juga akan ikut berubah. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan negara maupun sisi belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi penerimaan pajak terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi besaran nilai Dana Perimbangan dalam anggaran Belanja ke Daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Apabila pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari yang diasumsikan, maka defisit APBN diperkirakan akan meningkat sebagai akibat penurunan pendapatan negara dan penurunan belanja negara. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dapat berakibat pada semua sisi APBN, baik terhadap pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah akan mempengaruhi pendapatan migas yang didenominasi dalam bentuk dolar Amerika Serikat serta PPh Migas dan PPN. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh adalah: (i) belanja dalam mata uang asing, (ii) pembayaran bunga utang luar negeri, (iii) subsidi BBM dan listrik, dan (iv) belanja ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil migas. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akan terkena dampaknya adalah: (i) pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, (ii) pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, dan (iii) privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing. Tingkat suku bunga yang dijadikan dasar dalam asumsi APBN adalah tingkat suku bunga SBI 3 Bulan. Perubahan 42 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik tingkat suku bunga SBI 3 bulan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SBI 3 bulan akan berakibat pada peningkatan belanja pembayaran bunga utang domestik. Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan sisi belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP akan mengakibatkan kenaikan pendapatan negara dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke Pemerintah Daerah. “Risiko fiskal dapat muncul sebagai dampak Risiko Utang Salah satu aspek dalam dari perubahan tingkat bunga, nilai tukar, dan pengelolaan utang adalah biaya utang lainnya.” pengelolaan terhadap berbagai risiko yang muncul dari lingkungan eksternal maupun internal organisasi pengelola utang. Risiko-risiko dimaksud antara lain: (i) risiko keuangan yaitu risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, dan risiko refinancing, serta (ii) risiko operasional. Berbagai jenis risiko tersebut memiliki dampak langsung terhadap efisiensi dan efektifitas pengelolaan utang secara keseluruhan. Dalam kaitan dengan utang pemeritah, risiko fiskal dapat muncul sebagai dampak negatif dari perubahanperubahan tingkat bunga, nilai tukar, dan biaya-biaya utang lainnya. Langkah-langkah antisipasi terhadap risiko tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan kenaikan pembayaran 43 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal pokok dan bunga utang dalam APBN. Beberapa risiko yang terkait dengan pengelolaan utang tersebut antara lain: risiko pembiayaan kembali yang muncul sebagai dampak kebijakan debt reprofiling dan penerbitan utang baru dalam pengelolaan utang negara, risiko nilai tukar yang muncul sebagai tambahan beban pembayaran pokok dan bunga akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, risiko tingkat bunga berupa tambahan pembayaran pokok dan bunga sebagai akibat fluktuasi tingkat bunga di pasar, risiko operasional yang mungkin timbul terkait dengan kegagalan atau tidak memadainya proses operasional internal dalam unit pengelolaan utang. Risiko BUMN dan Risiko Keuangan Lainnya Pengungkapan risiko fiskal APBN yang menyangkut masalah risiko BUMN, program pensiun, desentralisasi fiskal dan BI serta LPS menarik untuk disimak besaran dan magnitudnya. BUMN dapat membebani APBN apabila Pemerintah diharuskan menambah PMN, terutama dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan/atau meningkatkan kapasitas usaha BUMN, serta peningkatan subsidi dalam rangka penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation/PSO). Untuk program pensiun, PNS diwajibkan membayar iuran sebesar 4,75 persen dari jumlah gaji, tunjangan istri, dan tunjangan anak per bulan. Dana tersebut kemudian dititipkan kepada PT Taspen (Persero) tanpa memberi hak untuk mengelola dana dimaksud. Sampai dengan tahun 1993, pembayaran pensiun kepada para pensiunan menjadi beban APBN (sistem pay as you go). Mulai tahun 1994, akibat 44 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik kesulitan keuangan negara, pembayaran pensiun dilakukan dengan sistem sharing antara APBN dan PT Taspen yang besaran persentasenya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Beberapa kebijakan Pemerintah, antara lain kenaikan gaji pokok PNS dan perubahan formula perhitungan manfaat, menimbulkan risiko pada APBN terkait dengan kekurangan pendanaan Pemerintah (unfunded liability). Akibat adanya kenaikan gaji pokok PNS pada tahun 2001, 2003, dan 2007, PT Taspen mencatat adanya kekurangan pendanaan Pemerintah dalam program THT sebesar Rp1,73 triliun. Sedangkan sebagai akibat perubahan formula perhitungan manfaat THT, pada tahun 2004 PT Taspen mencatat adanya kekurangan pendanaan Pemerintah sebesar Rp1,97 triliun. Untuk kewajiban yang sebesar. Program pensiun PNS perlu dicermati karena dapat membebani APBN dalam jumlah yang signifikan dan mempunyai kecenderungan selalu meningkat. Kebijakan desentralisasi fiskal juga mempunyai potensi risiko fiskal yang antara lain bersumber dari pemekaran daerah. Kebijakan pemekaran daerah yang tidak memperhatikan kemampuan fiskal daerah yang dimekarkan menyebabkan porsi DAU daerah yang tidak dimekarkan akan berkurang, karena dari porsi 100 persen DAU dibagi ke lebih banyak daerah yang mendapatkannya. Risiko fiskal lain dari desentralisasi fiskal dapat timbul bila pengalokasian DAU didasarkan pada realisasi, khususnya bila realisasi pendapatan dalam negeri bersih lebih kecil dari yang ditetapkan dalam APBN. Selama ini, sesuai dengan perundangan yang berlaku, realisasi DAU berdasarkan penetapan dalam APBN. Dalam pelaksanaan APBN penerimaan dalam negeri bersih dapat lebih kecil dari yang direncanakan dalam APBN, antara lain oleh karena perubahan 45 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal asumsi ekonomi makro dan atau tidak tercapainya target pendapatan negara (perpajakan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak). Di samping itu, risiko dari desentralisasi fiskal dapat terjadi bila kebijakan penghapusan DAU penyesuaian (hold harmless) tidak dapat dijalankan dengan konsisten sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara Keuangan Pusat dan Daerah. Risiko Bank Indonesia menyangkut permodalan. Undangundang di atas juga mengatur bahwa modal Bank Indonesia paling sedikit harus Rp2 triliun. Dalam hal Bank Indonesia tidak mampu menjaga jumlah modal tersebut, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat akan menutup kekurangan tersebut. Risiko fiskal yang terkait di sini adalah adanya kewajiban pemerintah dalam menjaga modal awal Bank Indonesia. Sementara itu untuk modal LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sekurang-kurangnya Rp4 triliun. Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutup kekurangan tersebut. Risiko fiskal lainnya adalah masalah Tuntutan hukum kepada Pemerintah jika muncul dan belum dianggarkan dalam APBN, keanggotaan Indonesia dalam organisasi Internasional yang pada umumnya menggunakan sistem callable fund. Risiko tersebut muncul apabila terdapat tagihan yang muncul dari lembaga internasional tersebut dan belum terdapat alokasi anggaran. Risiko yang akhir-akhir ini muncul cukup sering adalah risiko bencana alam. Risiko-risiko diatas dapat dimitigasi dengan perencanaan APBN yang antisipatif dengan perkembangan kedepan serta apabila dilakukan disain pembuatan asuransi risiko. Sayang skema asuransi risiko atau lindung nilai (hedging) tersebut 46 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik masih belum mudah dicerna dan diterima oleh pengawas atau auditor. *** 47 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Ancaman Inflasi Pengantar : “Pemerintah SBY – Boediono telah mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % pada tahun 2011. Hal ini tentu membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas dari Presiden dan seluruh staf dan jajarannya. Fungsi-fungsi pendukung termasuk birokrasi, legislasi dan masalah hukum harus membantu tercapainya target tersebut. Permasalahannya adalah, apabila semua elemen telah bekerja dengan baik dan mendekati optimal apakah target 7 % itu bisa tercapai ? Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah dalam tahun 2011 ini adalah ancaman inflasi. Ancaman ini meliputi kondisi over-heating ekonomi di dalam negeri dan juga faktor eksternal seperti kenaikan harga pangan dan minyak dunia.“ T ahun 2011 perekonomian Indonesia dibuka dengan ancaman naiknya tingkat inflasi. Meksipun ini terjadi di seluruh dunia, namun karena basis inflasi Indonesia sudah tinggi maka dengan ancaman kenaikan inflasi, tentu akan lebih membebani perekomian 48 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik kita. Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya saing dunia usaha dan menurunkan daya beli pelaku ekonomi. Naiknya inflasi Indonesia di tahun 2011 berasal dari ketidakpastian perkembangan global, kenaikan harga beras dan berbagai komoditas pangan serta respons pada kenaikan harga minyak dunia. Tahun 2010 inflasi Indonesia berada pada kisaran 7% dan diperkirakan akan meningkat di tahun 2011. Inflasi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, bahkan jika ditambah dengan terjadi “output gap” karena tidak lancarnya distribusi suplai dan infrastruktur yang mencukupi misalnya, dan dalam perekonomian yang terus dipacu, bisa terjadi kondisi “kepanasan” atau over heating. Fenomena Global Di tingkat global, keberlanjutan kebijakan stimulus di AS memperlemah nilai tukar dolar AS dan meningkatkan harga komoditas utama, minyak, kepala sawit, batubara dan lain-lain di pasar internasional akibat adanya pergeseran motif investasi. Akibat banjir likuiditas dan kenaikan harga komoditas menyebabkan suku bunga di negara berkembang atau emerging market cenderung meningkat guna menekan inflasi dan menjaga daya tarik investasi. Di sisi lain, derasnya capital inflows sebagai akibat stimulus AS telah memberikan dampak apresiasi Rupiah dan menimbulkan kompleksitas kebijakan makroekonomi. Di satu sisi apresiasi Rupiah membantu dalam pengendalian inflasi, akan tetapi di sisi lain berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan ekonomi dan semakin cepat terjadinya defisit transaksi berjalan. Penguatan rupiah pada tahun 2012 yang berasal dari meningkatknya pasokan devisa membantu sebetulnya 49 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menurunkan inflasi atau deflasi. Namun karena rupiah “ditahan” ditingkat tertentu, yakni 9000 rupiah per dolar AS dengan intervensi BI di pasar uang, maka dampak deflasinya akan berkurang. Bahkan jika intervensi BI menarik pasokan valas untuk “mempertahankan” rupiah berlebih, bisa jadi kemudian akan terjadi ekses rupiah di pasar dan berakibat inflasi. Ekspektasi inflasi tersebut menular ke seluruh sendi pasar uang dan modal Indonesia. Yield Global Bond, misalnya, meningkat karena dipengaruhi oleh tingginya tingkat inflasi pada bulan November 2010. Inflasi bahkan menjadi faktor dominan yang bisa dikendalikan pemerintah untuk meningkatkan daya saing ekspor dibandingkan nilai tukar. Maka seyogyanya BI tetap konsisten menjaga inflasi dan tidak “berlebih-lebihan” menjaga tingkat nilai tukar rupiah (fungsi tunggal BI, menjaga nilai rupiah ke dalam (inflasi) dan keluar, yaitu nilai tukar rupiah). Menyadari hal tersebut, Penulis menilai bahwa kebijakan BI yang melonggarkan nilai tukar di tahun 2011 hingga batas bawah Rp 8.600 per dolar AS adalah kebijakan yang benar. Penguatan rupiah tersebut akan membantu menurunkan inflasi tanpa mengorbankan daya saing produk ekspor Indonesia. Kenaikan harga beras Disamping masalah terjadinya ekses liquiditas, perekonomian Indonesia mengalami inflasi dari harga beras dan pangan lainnya seperti cabai. Kenaikan tahunan harga beras dalam tahun 2010 telah mencapai hamper 20 persen, dan merupakan yang tertinggi sejak krisis pangan 2006. Disaat harga beras di dunia mengalami penurunan, beras di Indonesia mengalami kenaikan harga. Harga beras di Indonesia saat ini 50 persen lebih tinggi daripada harga 50 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik beras di pasar internasional dan tergolong termahal di dunia. Kenaikan serangkaian harga pangan mengkhawatirkan. Gula pasir 9%, minyak goreng curah 20%, bawang merah 70%, cabe antara 20-35%, telur ayam 7% dan daging ayam 9%. Mengenai beras, pemerintah berdalih bahwa kenaikan harga tersebut karena ulah spekulan dari terbatasnya stok beras dalam pengusaan BULOG. Menteri Pertanian membenarkan kesimpulan tersebut, “Jika Bulog memiliki simpanan dua juta ton, tidak ada pedagang yang “Risiko perkembangan global yang berani bermain”. Mentan mencemaskan tersebut juga sempat menyinggung akan terus terjadi di masalah internal BULOG sebagai penyebabnya. 2011 dan jika kita tidak “Harga naik karena Bulog siap menghadapinya terlambat membeli beras termasuk rencana petani meski tahu stok beras kontigensi, risiko di gudang mulai menepis” inflasi akan menjadi kata beliau. Meksipun penghambat utama BULOG membantah adanya upaya menuju keterlambatan penyaluran pertumbuhan ekonomi sebagai biang keladi 7% yang sudah “Harga beras mahal karena dicanangkan” suplainya rendah,” tegas dirut BULOG. Apapun alasannya, pemerintah harus menyiapkan cadangan beras BULOG (CBB) yang cukup untuk dapat mengoptimalisasi fungsi BULOG dalam menstabilkan harga. Yang lebih penting adanya upaya nyata peningkatan produksi beras sesuai target (4,3% di 2011) melalui berbagai perbaikan penyediaan bibit dan pupuk, termasuk pupuk 51 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal organik, penyuluhan serta perbaikan infrastruktur pertanian, khususnya irigasi dan lahan. Harga Minyak Seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah telah merespons dengan recana mengurangi subsidi BBM untuk kendaraan pribadi. Mulai April 2011 (namun kemudian diundur kembali), Pemerintah berencana membatasi pemberian subsidi BBM bagi mobil plat hitam atau mobil pribadi. Kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap mulai di Jawa dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya ke seluruh wilayah tanah air. Mobil plat hitam nantinya akan diwajibkan untuk membeli BBM Pertamax, berarti akan ada kenaikan harga dari Rp. 4500 (premium) menjadi Rp. 7400 (pertamax) dengan harga minyak saat ini. Pertanyaan berikutnya yang belum dijawab adalah jika harga pertamax mencapai batas psikologis Rp. 8000 rupiah per liter. “Kalau dari sisi volume, pembatasan pemberikan subsidi BBM bagi mobil plat hitam pribadi itu berarti bisa menghemat BBM subsidi 2,11 juta kiloliter atau hemat Anggaran (APBN) Rp 3,8 Triliun,” kata Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh. Darwin mengakui, belum seluruh SPBU di Indonesia siap menjalankan pembatasan BBM subsidi. Menurutnya, SPBU yang sudah siap adalah SPBU yang dilengkapi dengan tangki dan dispenser solar, premium, dan pertamax. Dari total 4.667 SPBU, pemerintah menyatakan 1.686 SPBU sudah siap menjual Pertamax. Dengan kesiapan yang memadai, Pemerintah bersiapsiap ke DPR lagi untuk meminta persetujuan dan segera meluncurkannya. Penetapan waktu sangat krusial karena berkejaran dengan naiknya harga minyak dunia. Semakin 52 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik cepat pelaksanaan akan semakin baik hasilnya pada saat harga masih terjangkau dan penghematan anggaran bisa optimal. Apabila harga minyak dunia naik, maka harga pertamax juga ikut naik dari harga sekarang. Kenaikan harga minyak dunia juga akan menambah subsidi BBM “Dari angka subsidi Rp 95,5 triliun, bila ada kenaikan harga minyak mentah Indonesia US$ 1 akan menaikkan subsidi sebesar Rp 2,6 triliun,” jelas Menteri Keuangan. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, opsi pengaturan subsidi BBM sudah disiapkan untuk mengatasi harga minyak dunia yang bertahan tinggi. Opsi berikutnya adalah membatasi konsumsi BBM bersusidi secara bertahap. Pentahapan tersebut sangat penting untuk mengurangi tekanan inflasi yang berlebih jika dilakukan sekaligus dan mendadak. Kebijakan kenaikan harga bertahap keseluruhan BBM subsidi adalah lebih baik daripada parsial seperti pembatasan BBM subsidi untuk mobil pribadi, sayangnya kebijakan tersebut merupakan pilihan tabu bagi pemerintahan saat ini. *** 53 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Fenomena Capital Inflow Pengantar : “Tulisan ini dibuat pada akhir tahun 2010, tepatnya ketika kondisi ekonomi global masih belum pulih hingga menjelang berakhirnya tahun 2010 dan akan dimulainya tahun baru 2011. Krisis dunia yang awalnya dipicu oleh krisis sektor perumahan di AS kini telah mengglobal dengan menjangkit berbagai negara, terutama negara barat (AS dan Eropa). Hal ini disebabkan oleh besarnya rasio utang terhadap PDB mereka dan ketidakefisienan ekonomi ketika menghadapi situasi krisis. Namun, di tengah badai krisis tersebut tiba-tiba angin segar bertiup ke arah negara-negara Emerging Market termasuk Indonesia di dalamnya. “Angin” tersebut adalah masuknya aliran dana panas atau hotmoney yang memang membuat perekonomian dalam negeri menjadi lebih bergairah. Nilai tukar menguat, cadangan devisa tinggi dan harga saham melonjak. Namun, di balik “kesegaran” angin segar hotmoney ini, perlu diwaspadai pula ekses-ekses negatifnya. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran dalam tulisan ini. “ 54 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik C adangan devisa Indonesia pada akhir tahun 2010 menembus 100 miliar dolar AS, jumlah yang dianggap sangat aman dan bahkan lebih dari memadai untuk kebutuhan jaga diri perekonomian dan menjaga stabilitas rupiah. Kenaikan cadangan devisa sebesar 25 miliar dolar AS tahun 2010 disebabkan karena surplus neraca pembayaran yang cukup besar dan mayoritas berasal dari aliran modal asing dalam bentuk portofolio. Derasnya arus modal portofolio global ke Indonesia jelas membawa manfaat, tetapi juga risiko. Dengan meningkatknya pasokan devisa, maka rupiah menguat dan akan menurunkan inflasi, sumber pembiayaan anggaran pemerintah lebih murah, dan tersedianya sumber pembiayaan untuk investasi di dalam negeri. Risikonya adalah penggelembungan aset dan overshoothing nilai tukar, mengurangi daya saing, dan meningkatnya kerentanan terhadap krisis. Arus modal saat ini juga terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan pasar keuangan domestik untuk dapat menyerapnya. Untuk itu diperlukan kebijakan di sektor riil, khususnya investasi dan perdagangan untuk menyerapnya. Fenomena dan Respons Global Pasca krisis global 2008-2009, aliran modal masuk atau capital inflows negara berkembang (emerging markets atau EM) meningkat sangat besar. Hal ini didorong oleh beberapa faktor, yaitu oleh ekses likuiditas global dan lambatnya pemulihan ekonomi negara maju maupun laju pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, perbedaan suku bunga yang besar, dan ekspektasi apresiasi nilai tukar. Derasnya capital inflows didorong juga oleh langkah lanjutan pelonggaran Bank Sentral AS atau the Fed dan Bank Sentral Jepang, Bank of Japan (BOJ) yang menambah likuiditas global. 55 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Selama 2010, capital inflows ke EM sangat besar dan diperkirakan berlanjut pada 2011. Jumlah capital inflows swasta ke EM diperkirakan meningkat dari $581,4 miliar pada 2009 mencapai $825.0 miliar dan $833.5 miliar pd 2010 dan 2011. Beberapa negara melakukan respons terhadap derasnya aliran modal asing dengan berbagai kebijakan. Pemerintah Brazil menaikkan pajak transaksi finansial terhadap pembelian obligasi lokal oleh pelaku asing dari 2% menjadi 4% (5 Okt 2010), kemudian dari 4% ke 6% (18 Okt 2010). Kenaikan tersebut tidak berlaku untuk saham. Pemerintah Thailand mengenakan pajak 15% atas bunga dan capital gain dari kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah, berlaku efektif 13 Oktober 2010. Bank Sentral Korea, Bank of Korea (BoK) mengetatkan limit kontrak derivatif, untuk bank domestik menjadi 50% dan untuk asing diturunkan menjadi 250% dari 300%; Transaksi valuta asing untuk korporasi yang menggunakan transaksi derivatif juga dibatasi menjadi 100% dari 125% dari nilai traksaksi. Pinjaman dalam valuta asing hanya diperkenankan untuk korporasi yang beroperasi di luar negeri. Bank Sentral Cina, People Bank of China (PBoC) kembali menaikkan reserve ratio (RR, cadangan di bank sentral), sebesar 50 bps (basis points) menjadi 17,5% untuk 6 bank terbesar di Cina. Kenaikan tersebut diberlakukan sementara (2 bulan) untuk kemudian akan dikembalikan ke level semula; Sepanjang 2010, PBoC telah menaikkan RR sebanyak 4 kali mulai Januari 2010. Sementara itu, Bank Sentral Peru, BCRP menaikkan RR baik untuk mata uang domestik maupun asing. Ketentuan ini berlaku bulan Oktober 2010. Berdasarkan kebijakan tersebut, RR untuk simpanan dalam mata uang domestik dan asing dinaikkan dari 8.5% menjadi 56 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik 9.0%; BCRP juga menaikkan Marginal Requirement (MR) untuk simpanan dalam mata uang lokal menjadi 25% dari 15%, sementara simpanan valas dinaikkan 55% dari 50%. Kebijakan pengendalian capital inflow dengan penerapan pajak, meskipun dipergunakan di beberapa negara, namun secara empiris hasilnya tidak sesuai dengan tujuannya. Gillingham and Greenlees (1992), Burman dan O’Hara (1994) meneliti dampak perubahan tingkat pajak (tax rate) atas capital gains dalam jangka panjang. Dengan menggunakan data time series dan data mikro di AS, studi ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat pajak atas capital gains justru mengakibatkan pembalikan aliran modal dan penurunan penerimaan pajak. Saham korporat jauh lebih responsif terhadap kebijakan perpajakan dibandingkan dengan aset lain yang memiliki biaya transaksi tinggi. Meskipun demikian, jika ada pilihan instrumen pajak untuk mengendalikan capital inflow, Burman dan Randolph (1994) menemukan penggunakan kebijakan pajak secara sementara (transitory) memberikan efek yang lebih baik daripada yang bersifat permanen. Respons Kebijakan di Indonesia Selama 2010, arus masuk modal portofolio sebagian besar masuk ke Surat Berharga Negara (SBN). Meningkatnya capital inflows ke SBN memberi manfaat, pertama, sebagai sumber penting pembiayaan fiskal. Kedua, menurunkan biaya bunga bagi penerbitan obligasi swasta. Namun meningkatnya pangsa asing di SBN menimbulkan risiko kerentanan pasar domestik terhadap shock eksternal dan pembalikan “kepercayaan” terhadap prospek ekonomi makro. Dibandingkan dengan negara-negara di tingkat regional, pangsa kepemilikan asing tehadap total SBN di Indonesia merupakan yang tertinggi 57 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal (28.3%). Meningkatnya arus modal ke SBN dapat berlanjut karena masih menarik dibandingkan dengan obligasi negara lain. Dilain pihak, apabila yield SBN terus menurun (di bawah 7%) akan berpotensi mendorong perbankan melepas SBN dan meningkatkan penanaman modal ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam menghadapi capital flows, BI dan Pemerintah perlu menempuh bauran kebijakan (policy mix) yang lebih terkoordinatif. Mengakomodasi nilai tukar yang fleksibel dengan menjaga apresiasi dan volatilitas Rupiah adalah benar. Namun demikian, menjaga rupiah pada level sekarang membutuhkan biaya moneter yang terlalu “Secara empris besar, saya lebih cenderung ditemukan bahwa setiap intervensi BI dapat di terjadi pertumbuhan kurangi. Dengan apresiasi ekonomi, tambahan kurs tahun 2010 mencapai impor melebihi 5%, masih dibawah ratatambahan ekspor, rata negara regional sekitar ini yang masih 7%, jadi nilai tukar rupiah memprihatinkan” masih tergolong kompetitif. Bahkan apabila dibiarkan apresiasi setara dengan negara tetangga, kita tidak akan kehilangan daya saing nilai tukar. Penulis memperkirakan bahwa rupiah pada tingkat Rp 8700 per dolar AS masih konservatif. Memupuk cadangan devisa, sangat diperlukan sebagai upaya untuk memperkuat daya tahan perekonomian. Menurut perhitungan saya, nilai cadangan devisa 100 miliar dolar AS sudah dianggap “extra insurance”, maka perlu dipikirkan penggunakan cadangan devisa kita ke sektor 58 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik produktif, misalnya pooling dana infrastruktur nasional ataupun dengan negara-negara ASEAN yang lain. Menempuh pengelolaan likuiditas secara selektif sudah benar, misalnya memperpanjang waktu kepemilikan SBI, menaikkan GWM sementara dan memperkecil peluang pihak asing mengkumulasi SBI. Kebijakan “pengaturan terhadap lalu lintas modal asing” dan secara ketat terus melakukan “monitoring” terhadap arus modal asing, agar stabilitas moneter dan sistem keuangan tetap terjaga tetap diperlukan. Saya setuju dengan langkah-langkah tersebut, meskipun harus ada komunikasi yang baik dengan pelaku pasar dan perbankan sehingga tidak ada kesan dilakukan kontrol devisa dan menghalangi bank untuk ekspansi. Di sisi fiskal, pre-financing obligasi pemerintah sesuai dengan UU APBN seharusnya dapat dilakukan untuk pemenuhan target pembiayaan tahun depan. Peningkatan IPO Saham yang sebagian besar ditujukan untuk investasi terus didorong. Persiapan dan proses IPO saham BUMN supaya diperbaiki sehingga kasus kontroversi IPO Krakatau Steel tidak terulang lagi. Penerbitan obligasi korporasi perlu diperluas, saat ini masih didominasi oleh emiten sektor keuangan. Penerbitan seri baru obligasi dan saham diperlukan untuk menambah pasokan instrumen pasar modal sehingga dapat menghindari terjadinya “bubble” di pasar modal. Pengendalian capital inflow tanpa dibarengi dengan perbaikan di sektor riil akan saja tetap sia-sia. Dengan tersedianya aliran modal masuk yang cukup deras, Pemerintah harus terus berupaya memperbaiki kebijakan menarik investasi, dalam hal ini PMA. Dalam Neraca Pembayaran, aliran modal masuk dalam bentuk PMA tahun 2010 diperkirakan mencapai USD 13,0 miliar, meskipun 59 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal meningkat pesat dari USD 4,4 miliar pada 2009, masih belum mampu menampung derasnya capital inflow. Disamping Pertumbuhan ekspor terus didorong dan pengendalian impor barang konsumsi harus dilakukan. Surplus neraca perdagangan Indonesia cederung menurun dari waktu ke waktu, terutama karena melonjaknya impor. Secara empris ditemukan bahwa setiap terjadi pertumbuhan ekonomi, tambahan impor melebihi tambahan ekspor, ini yang masih memprihatinkan. Masuknya arus modal asing tampaknya akan terus terjadi di 2011 dan jika kita tidak siap menghadapinya termasuk rencana kontigensi, risiko pembalikan modal akan menghadang. *** 60 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Ketidakpastian Harga Minyak Dunia Pengantar: “Ketidakpastian minyak dunia harus dihadapi dengan upaya yang signifikan untuk mengendalikan dampak kenaikan harga minyak dunia, sayangnya Indonesia belum. Meskipun telah diberikan mandat untuk melakukan penghematan konsumsi dan penyesuaian harga BBM dalam keadaan kenaikan harga 10% diatas asumsi harga minyak di dalam APBN 2011, desain kebijakannya masih terus saja diperdebatkan. Yang tak kalah pentingnya adalah terjadinya flight to comodity. Tetapi upaya harus tetap dilakukan, karena jika tidak melakukan tindakan apa-apa, biaya ekonomi yang harus dibayar akan lebih mahal daripada melakukan sesuatu meskipun terdapat risiko kesalahan antisipasi. Maka pemerintah membentuk tim kajian dan penulis termasuk didalamnya. Tim tidak hanya menyampaikan opsi, tetapi juga kemutakhiran metodologi, manfaat, dan biaya dari opsi-opsi tersebut. Apapun yang terjadi dengan kenaikan harga minyak dan pasokan minyak dunia, kita harus mempersiapkan diri dengan kebijakan dan tindakan yang tepat, cepat dan pasti.” 61 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal P ada tahun 2009, Mexico mendapatkan windfall sebesar 8 milyar dollar AS dari kontrak hedging (lindung nilai) minyak yang dibelinya pada tahun 2008 sebagai perlindungan terhadap melemahnya permintaan energi dan harga minyak. Pertengahan tahun 2008, harga minyak menurun dari 140 dolar ke 50 dolar AS per barel sehingga bagi negara dengan status net exporter, jatuhnya harga minyak tersebut, jika tidak diamankan, akan menyebabkan merosotnya pendapatan negara. Mexico melakukan perlindungan pendapatan Negara terhadap kemerosotan harga minyak dengan strategi yang tepat dan dapat menghindarkan dari defisit APBN-nya. Dan langkah tersebut diakui sangat tepat dan bermanfaat. Sebelumnya, tahun 2008, ketika harga minyak dunia meningkat tajam dari 70 dolar ke 140 dolar per barel, berbagai cara dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak negatif bagi perekonomian. Indonesia tidak terkecuali. Dua kali dilakukan kenaikan harga BBM dalam negeri dan disertai kompensasi kepada rumah tangga sasaran seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin (Beras Miskin), dan JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Meskipun dampaknya buruk bagi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, namun dengan strategi kompensasi memadai maka Indonesia terbebas dari kehancuran fiscal dan kemiskinan yang berkelanjutan. Pada tahun 2011, ketika harga minyak dunia mulai merangkak naik, negara-negara yang melakukan subsidi terhadap harga BBM dalam negeri, seperti China, India, Malaysia, Thailand dan Afrika Selatan serta beberapa negara timur tengah sudah merencanakan kenaikan harga BBM. Beberapa negara-negara yang memiliki sumber daya energi juga telah menggunakan dana cadangan minyak untuk 62 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik menambah subsidi BBM dengan tujuan melindungi daya beli. Ada juga yang sudah membuat sistem penjatahan konsumsi BBM dengan target subsidi kepada pengguna tertentu. Sementara itu, beberapa negara yang memberlakukan penyesuaian harga BBM pada tingkat harga keekonomian secara otomatis telah mengurangi beban pajak atau cukai atas konsumen BBM. Banyak juga negara lain, negara maju khususnya, sangat giat melakukan diversifikasi energi dari BBM ke sumber lain yang lebih murah dan ramah lingkungan seperti gas dan LPG. Saat ini, Indonesia belum melakukan upaya signifikan untuk mengendalikan dampak kenaikan harga minyak dunia. Meskipun telah diberikan mandat untuk melakukan penghematan konsumsi dan penyesuaian harga BBM dalam keadaan kenaikan harga 10% diatas asumsi harga minyak di dalam APBN 2011, desain kebijakannya masih terus saja diperdebatkan. Net Importer Minyak Dalam 10 tahun terakhir, fluktuasi naik turunnya harga minyak dunia adalah suatu fenomena yang lazim terjadi. Disamping karena masalah kebutuhan melampaui jumlah ketersediaan, faktor konflik timur tengah juga menjadi alasan hambatan pasokan atau menjadi sasaran spekulasi. Namun yang tak kalah pentingnya adalah terjadinya reorientasi para pelaku pasar modal yang mengalihkan investasi bursa keuangan ke bursa komoditas atau yang lazim disebut flight to commodity. Situasi gejolak di pasar keuangan juga menjadi alasan yang kuat harga komoditas baik spot maupun future bergejolak dengan motivasi untuk mendapatkan profit taking atau melindungi investor dari kerugian yang lebih besar di pasar keuangan. 63 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Maka negara konsumen maupun penghasil sumber daya energi harus terus beputar otak dan menggunakan cara-cara untuk dapat melindungi gejolak perekonomiannya. Dan karena ada unsur ketidakpastian, bisa saja respons kebijakan yang dilakukan melenceng. Tetapi bagaimanapun, upaya harus tetap dilakukan, karena jika tidak melakukan tindakan apa-apa, biaya ekonomi yang harus dibayar akan lebih mahal daripada melakukan sesuatu meskipun terdapat risiko kesalahan antisipasi. Situasi perminyaakan “ .... yang tak kalah di Indonesia sudah terbalik pentingnya adalah dari 10 tahun yang lalu. terjadinya reorientasi Indonesia dikategorikan para pelaku pasar modal sebagai net importer yang mengalihkan minyak. Sehingga yang investasi bursa menjadi risiko ekonomi dan keuangan ke bursa fiscal adalah apabila harga minyak dunia naik akan komoditas atau yang merugikan perekonomian lazim disebut flight to dan APBN. Sejak itu harga commodity.” minyak naik selalu menjadi sandera bagi perekonomian Indonesia. Berbagai upaya sudah dilakukan mulai dari upaya peningkatan produksi minyak, konversi BBM dengan LPG, penggunaan nonBBM sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan lain-lain. Namun kesemua kebijakan tersebut belum cukup untuk menghindarkan Indonesia sebagai net importer minyak. Strategi hedging juga sempat mencuat beberapa tahun yang lalu, namun sistem penganggaran belum memungkinkan mengakomodir transaksi yang mengandung risiko kerugian tersebut dilakukan. 64 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik APBN kita saat ini masih rentan terhadap volatilitas harga komoditas, khususnya minyak. Indonesia melakukan impor minyak dalam jumlah yang signifikan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri dan harga minyak tersebut disubsidi. Pada batas tertentu, volatilitas harga minyak tersebut masih bisa ditanggung oleh APBN. Namun ada keterbatasan kemampuan APBN untuk menanggung kenaikan harga minyak tersebut. Sementara terdapat keterbatasan untuk dilakukan “pass through” selisih harga minyak kepada konsumen. Hal ini berisiko mengganggu kondisi APBN. Dengan harga diatas 110 dolar per barel akhir-akhir ini tentu sudah mengganggu APBN. Meskipun pendapatan negara dari pajak dan PNBP atas migas bertambah, namun subsidi energi, bagi hasil minyak dan konsekuensinya pada anggaran pendidikan bertambah lebih banyak. Akibatnya setiap kenaikan rata-rata per tahun harga minyak 1 dolar AS, APBN rugi sekitar 700 milyar rupiah. Jadi jika harga minyak dunia mengalami kenaikan sepanjang tahun 10 dolar diatas rata-rata asumsi APBN yakni 80 dolar per barel akan terjadi kerugian 7 triliun rupiah. Ini belum termasuk apabila konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota serta dibatalkannya kebijakan pembebasan capping listrik PLN serta penurunan produksi minyak kita. Hasil Tim Kajian BBM Pemerintah sendiri belum menentukan sikap. Tim Kajian pengaturan BBM dari konsorsium peneliti tiga perguruan tinggi ITB, UGM, dan UI sudah menyampaikan hasil dan rekomendasi dari ketiga opsi yang diajukan minggu lalu. Untuk diketahui, Tim tidak hanya menyampaikan opsi, tetapi juga kemutakhiran metodologi, manfaat dan biaya dari opsi-opsi tersebut, serta urutan pelaksanaan kebijakan. 65 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Ada rekomendasi yang sifatnya segera (1-2 bulan) dan jangka menengah (6 bulan). Kalau rekomendasi tersebut dipertimbangkan, niscaya sebagian masalah subsidi BBM dapat terpecahkan. Tim mememberikan rekomendasi atas dasar berbagai macam pertimbangan, yakni ekonomi, politik, sosial dan teknis perminyakan dan dengan diskusi pihakpihak terkait dengan pelaksanaan dan pengawasan di pusat dan derah secara mendalam, serta dengan pengumpulan data lapangan yang cukup akurat. Waktu yang diberikan untuk penelitian ini sebetulnya sangat tidak memadai yakni hanya dua bulan efektif. Pemerintah sejak awal sudah mengatakan tidak akan menaikkan harga BBM, meskipun tetap menunggu pembahasan dengan DPR. “Kami akan membahas dengan DPR terlebih dahulu mengenai opsi kebijakan pengaturan BBM bersubdi” kata Menteri ESDM Darwin Saleh. Tim tetap berpendapat kenaikan harga BBM untuk kendaraan pribadi dengan pengembalian subsidi (cashback) kepada angkutan umum, seperti pendapat kepala BPS minggu lalu, adalah kebijakan yang paling masuk akal. Angkutan umum tetap perlu disubsidi karena mereka melakukan pelayanan masyarakat dan tarifnya di atur oleh pemerintah. Tanpa penyesuaian harga untuk kendaraan pribadi maka akan terjadi disparitas harga yang melebar berakibat pada konsumsi yang membengkak dan migrasi dari konsumen pengguna pertamax ke premium. Pertimbangan-pertimbangan sosial, konflik, daya beli, risiko demonstrasi dan politik tetap menjadi bahan tim dalam memberikan rekomendasi. Ide penghematan dan pengawasan konsumsi BBM bersubsidi bukan hal yang baru. Zaman pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, pernah dilontarkan gagasan penggunaan kartu pintar (smart card), klasterisasi, 66 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik pengawasan distribusi, dan kampanye hemat BBM. Waktu itu dirasa persiapannya sangat minim sehingga urung dilakukan. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pada akhir tahun 2010 menyampaikan dana optimis bahwa kebijakan penghematan konsumsi BBM tersebut akan mulai dilaksanakan tahun 2011. Untuk tambahan informasi, jika tidak dilakukan kebijakan apapun, alokasi BBM subsidi tahun ini sebanyak 38,5 juta kiloliter dan diperkirakan akan bertambah setidaknya 2 juta kiloliter. Tahun 2010 realisasi konsumsi BBM telah berada diatas perhitungan awal yang berarti menambah anggaran subsidi. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo buru-buru memberikan peringatan untuk tetap mempertahankan konsumsi 38,5 juta KL. Jika tidak, maka kenaikan anggaran subsidi BBM akan menambah defisit anggaran. Meskipun terdapat penghematan dari nilai tukar berada dibawah asumsi, tetap saja tidak mampu mengatasi pembengkaan defisit. Maka sebaiknya pemerintah mengambil tindakan untuk mengamankan perekonomian kita, tidak menambah defisit APBN, meskipun dengan kebijakan sesulit apapun, demi keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Ancaman inflasi memang nyata. BI dan BPS sudah memberikan peringatan akan dampak kebijakan pengaturan BBM pada inflasi di tahun 2011. Bagaimanapun kenaikan inflasi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan daya beli. Perhitungan tim menunjukkan bahwa dampak inflasi lebih kecil daripada manfaat fiskal dan perekonomian secara keseluruhan yang dihasilkan. Memang terkesan hasil kajian mengenai pengaturan BBM begitu sederhana. Namun setelah kajian dipaparkan, pada akhirnya terpulang pada pemerintah dan DPR sebagai otoritas pengambil keputusan. Menurut tim kajian, persoalan BBM tahun 2011 lebih sederhana dibandingkan dengan 67 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal persoalan serupa pada tahun 2008, namun kalau ragu dan terlambat mengantisipasi, maka dampaknya akan lebih besar dan berpotensi dapat merugikan perekonomian nasional. Kita tidak pernah tahu sampai kapan dan seberapa serius masalah kenaikan harga minyak dunia dari krisis timur tengah. Apapun yang terjadi dengan kenaikan harga minyak dan pasokan minyak dunia, kita harus mempersiapkan diri dengan kebijakan dan tindakan yang tepat, cepat dan pasti. Pernah dimuat di Kompas, 14 Maret 2011 *** 68 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Kelangkaan BBM Pengantar: “Isu kelangkaan BBM yang beredar akhir-akhir ini apabila diartikan secara benar, sebenarnya bukan kelangkaan, namun pemakaian BBM subsidi telah melampaui kuota yang disepakati dengan komisi VII DPR RI. Sepengetahuan penulis, tidak ada suatu ketentuan yang mewajibkan persetujuan DPR untuk menambah volume konsumsi BBM, ini adalah konvensi baru. Ada baiknya ketentuan yang mengikat volume konsumsi di tangan DPR dihapuskan karena akan mempersulit penghitungan subsidi BBM dan korban langsungnya adalah rakyat yang membutuhkan BBM.” P ertengahan November 2010, selama beberapa hari ini bersamaan dengan berita mengenai bencana Merapi dan plesiran Gayus ke Bali, melalui media masa disinyalir adanya kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak). Stok BBM yang semakin kering ini telah menimbulkan kelangkaan BBM subsidi di sejumlah daerah. Banyak daerah yang belum menerima kucuran BBM subsidi. 69 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Kementrian ESDM membenarkan telah terjadi kelangkaan BBM subsidi. Kelangkaan bahan bakar terjadi di daerah Jawa Timur. Disisi lain, diakui oleh Pertamina sendiri bahwa persediaan stok BBM bersubsidi masih cukup. Yang terjadi sejatinya bukan kelangkaan. Tetapi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) subsidi telah melampaui kuota yang disepakati dengan komisi VII DPR RI tahun ini. Pertamina mengatakan, jatah solar bersubsidi telah habis pada pertengahan November ini, sedangkan premium habis pada awal November lalu. Karena itu, Pertamina meminta pemerintah segera menentukan sikap untuk “Yang terjadi sejatinya menambah jatah atau tidak. bukan kelangkaan. Sikap itu perlu lantaran Tetapi pemakaian bahan Pertamina tak ingin seperti bakar minyak (BBM) tahun lalu. Ketika itu, subsidi telah melampaui perusahaan minyak dan kuota yang disepakati gas nasional ini menderita dengan komisi VII kerugian sebesar Rp 6,9 DPR RI.” triliun akibat ketidakjelasan sikap pemerintah. Pemerintah sendiri belum menentukan sikap. BPH Migas mengatakan, pihaknya baru akan membahas masalah ini dengan DPR. “Kami akan membahas dengan DPR mengenai penambahan kuota BBM bersubdi di lingkungan masyarakat,” terangnya. Selain itu, pemerintah tetap melakukan penghematan dan pengawasan konsumsi BBM bersubsidi. Dia mencontohkan seperti penggunaan kartu pintar (smart card), klasterisasi, pengawasan distribusi, dan kampanye hemat BBM. Ide ini sudah lama dilontarkan oleh Pemerintah sejak KIB I tetapi 70 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik persiapannya sangat minim sehingga urung dilakukan waktu itu. Menko Perekonomian Hatta Rajasa optimis kebijakan penghematan konsumsi BBM tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2011. Untuk tambahan informasi, alokasi BBM subsidi tahun ini sebanyak 36,5 juta kiloliter dan diperkirakan akan bertambah setidaknya 2 juta kiloliter. Namun, jatah tersebut habis karena konsumsi naik seiring dengan perkembangan ekonomi yang membaik dan faktor lain. Apapun itu, tahun ini realisasi konsumsi BBM berada diatas perhitungan awal yang berarti akan menambah anggaran subsidi. Namun, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dilain pihak menyatakan bahwa anggaran subsidi BBM masih sisa, jadi tidak terlalu khawatir tidak tersedia anggarannya dalam APBN-P 2010. Dia berdalih bahwa harga minyak dunia dan nilai tukar berada dibawah asumsi telah menghemat alokasi subsidi BBM 2010. Namun Menkeu tidak menyebutkan berapa penurunan Penerimaan Migas yang disebabkan dari turunnya harga minyak dan penguatan nilai tukar rupiah. Jadi yang seharusnya diperhitungkan adalah selisih dari penghematan subsidi BBM dengan penurunan penerimaan migas. Jika positif maka berarti tidak menambah beban anggaran, namun jika sebaliknya maka tambahan kuota tersebut akan menambah anggaran. Memang terkesan perhitungan subsidi BBM begitu njlimet. Disamping rumit, penambahan batasan volume konsumsi BBM harus minta izin DPR. Tidak ada suatu ketentuanpun yang mewajibkan persetujuan DPR untuk menambah volume konsumsi BBM. Seingat penulis ini adalah konvensi baru. Konvensi baru yang mempersulit dan mengorbankan mereka-mereka yang membutuhkan BBM. 71 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Ada baiknya ketentuan yang mengikat volume konsumsi BBM di tangan DPR dihapuskan. Atau minimal ada klausa pengecualian berupa penambahan kuota dalam batasan tertentu adalah kewenangan Pemerintah untuk memenuhinya. Apalagi penambahan volume BBM tersebut tidak melampui anggaran yang sudah tersersedia. Toh pembayaran subsidi BBM akan dipenuhi setelah dilakukan oleh audit BPK. Masalahnya begitu sederhana namun dipersulit sendiri, sayangnya korban langsungnya adalah rakyat. Pernah dimuat di Republika 23 November 2010 *** 72 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Pengaturan BBM Bukan Sekedar Memilih Opsi Pengantar : “Ketika harga minyak dunia semakin tinggi yang salah satunya disebabkan oleh destabilisasi politik di Timur Tengah, Pemerintah Indonesia pun ikut-ikutan merasakan efek destabilisasi tersebut, namun yang terjadi di sini bukan destabilisasi politik melainkan ekonomi. Hal ini bukan disebabkan oleh efek langsung seperti adanya revolusi di jalanan seperti yang terjadi di dunia Arab, tetapi karena kekacauan di semenanjung Arab dan Afrika Utara ikut menaikan harga minyak dunia. Indonesia sebagai salah satu negara yang memberikan subsidi minyak tahunan yang besar kepada rakyatnya terimbas ekses negatif ini. Maklum, semenjak menjadi negara netimportir minyak beberapa tahun yang lalu setiap kenaikan harga minyak dunia harus diikuti dengan kenaikan harga BBM, yang mana tentu kenaikan tersebut (pengurangan subsidi) tidak bisa instan mengikuti respon pasar. Salah satu metode yang sedang dikembangkan dan dipelajari Pemerintah adalah adanya pembatasan BBM bersubsidi, yang mana nantinya bensin subsidi (Premium) tidak bisa 73 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dibeli bebas lagi oleh masyarakat hingga berangsur-angsur diharapkan tidak ada subsidi sama sekali ke depannya. Namun setiap kebijakan menaikan harga BBM merupakan keputusan yang tidak hanya berdasarkan kajian ekonomis saja, tapi juga politis dan populis. Baru-baru ini tim kajian opsi pembatasan BBM dibentuk pemerintah, yang melibatkan 3 universitas terkemuka ITB, UGM dan UI. Hasil kajian tim tersebut diharapkan merupakan kajian ilmiah yang komprehensif mengenai ketepatan dan timing penerapan pembatasan BBM bersubsidi ini.” P ada minggu pertama bulan Maret 2011, Penulis dan Tim Kajian Pengaturan BBM (selanjutnya ditulis Tim saja) yang terdiri dari para peneliti lembaga penelitian LAPI-ITB, P2EB-FEB UGM dan LPEM-FE UI telah menyelesaikan tugas dan menyampaikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah. Rekomendasi belum sempat disampaikan oleh Tim secara terbuka karena masih menjadi bahan telaahan di DPR dan pemerintah. Intinya adalah, rekomendasi tersebut berasal dari tiga opsi yang telah dikutip oleh berbagai media. Seyogyanya rekomendasi Tim akan dipaparkan dalam rapat kerja antara Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM minggu lalu, namun urung karena belum ada kesepakatan mengenai mekanisme penyampaian hasil kajian. Tim kajian dibentuk atas dasar pasal 7 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 yang mengamanatkan Pemerintah untuk melakukan pengaturan BBM bersubsidi secara bertahap agar alokasi dapat terlaksana dengan tepat, volume dan sasaran. Namun demikian, Pemerintah diamanatkan untuk melakukan kajian terlebih dahulu. Karena 74 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik belum puas dengan hasil kajian pemerintah, maka muncul kesepakatan baru dari kesimpulan rapat kerja Komisi VII dengan Menko Perekonomian, Menteri ESDM dan Menteri Keuangan tanggal 13 desember 2010 intinya meminta kepada pemerintah untuk melengkapi kajian terhadap kebijakan pengaturan BBM. Atas dasar hal tersebut oleh menteri ESDM dibentuk konsorsium Tim kajian dari lembaga penelitian tiga universitas yakni ITB, UGM dan UI dengan mandat dan tugas yang jelas sesuai dengan terms of reference (TOR) yang dibuat oleh kementrian ESDM. Target Pengaturan BBM Dari TOR yang disusun oleh kementrian ESDM, Tim diminta untuk membuat opsi pengaturan BBM agar pada tahun 2011 volume konsumsi BBM yakni 38,5 juta kilo liter (KL) dapat dicapai sesuai rencana dalam APBN. Jika tidak ada pengaturan, maka konsumsi BBM khususnya Premium akan bertambah sebesar 3,2 juta KL sehingga dibutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp 5,5 triliun. Dalam rencana jangka menengah telah pula ditargetkan target pengaturan volume BBM yakni 6,7 juta KL tahun 2012 dan 9,3 Juta KL 2013. Jadi disamping membuat perencanaan pengaturan dalam tahun 2011, perlu ada roadmap terhadap pengaturan konsumsi BBM hingga tahun 2014. Dengan dasar target tersebut, maka Tim mulai bekerja mengenai cara pengaturan yang baik agar terjadi penghematan. Konsentrasi Tim pertama adalah agar mobil pribadi sebagai golongan konsumen dengan tingkat ekonomi yang relatif mampu dapat membeli BBM tanpa subsidi. Sementara pengguna sepeda motor dan angkutan umum tetap 75 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal mendapat subsidi lebih. Dengan demikian, dampak fiskal atau penghematan anggaran subsidi BBM sudah memadai, dan dampak inflasi terkendali, namun kesiapan dan metoda pengawasan masih harus di cek di lapangan. Terus terang, pada awalnya, kenaikan harga BBM belum menjadi opsi, karena harga minyak dunia masih cukup stabil hingga pertengahan Februari. Setelah harga minyak dunia mulai naik sebagai akibat dari krisis di Timur Tengah, maka dirasa perlu mengkaji opsi kenaikan harga untuk mengurangi adanya disparitas harga dan mencapai target penghematan anggaran. Namun Tim berpendapat bahwa opsi kenaikan harga tetap harus disertai dengan perlindungan bagi kendaraan angkutan umum sebagai “Prinsipnya semakin obyek pengaturan. Opsi-opsi lainnya adalah opsi yang cepat pelaksanaan akan semakin baik hasilnya didisain berdasarkan diskusi pada saat harga dengan para pemangku masih terjangkau dan kepentingan, yakni jajaran eksekutif dan legislatif penghematan anggaran Komisi VII DPR. Maka bisa optimal” munculah opsi pengaturan perpindahan mobil pribadi dari Premium ke Pertamax dan penjatahan konsumsi Premium dengan suatu alat kendali. Kemudian, yang tak kalah menarik adalah bagaimana memilih opsi yang menjadi prioritas bersama dari jajaran eksekutif dan para anggota Komisi VII. Kami menggunakan suatu metoda matematis, yakni Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk dapat membandingkan pilihan-pilihan opsi dengan kriteria dan sub kriteria tertentu yang diprioritaskan oleh jajaran eksekutif dan anggota perwakilan Komisi VII. Dari hasil analisis AHP disimpulkan ternyata prioritas pilihan opsi kebijakan dan persepsi masalah yang dipilih 76 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik oleh kelompok eksekutif dan Komisi VII berbeda. Metode kemudian adalah melakukan kajian manfaat dan biaya dari ke tiga opsi tersebut. Tiga opsi yang disampaikan kepada media massa minggu yang lalu sebenarnya hanya sebagian kecil dari seluruh laporan kajian lengkap. Analisis manfaat dan biaya opsi yang disampaikan, meliputi disain kebijakan, pelaksanaan teknis dan metoda pengawasan adalah bagian yang paling padat dari laporan kami. Perhitungan manfaat meliputi penghematan anggaran dan manfaat ekonomi lainnya, sementara biaya meliputi inflasi, biaya investasi dan operasional serta pengawasan dan sosialisasi. Keduanya dibandingkan secara kualitatif dan kelayakan dan mendapatkan pilihan yang lebih baik. Kredibilitas Tim Kajian Laporan kajian pada dasarnya memuat penyampaian opsi yang realistis, analisis manfaat dan biaya opsi serta rekomendasi atas opsi yang ada dalam jangka pendek dan jangka panjang. Situasi pasar minyak global, perkembangan harga minyak dunia, konsiderasi politik, kemungkinan Timbulnya konflik di tingkat kebijakan hingga SPBU serta dampak inflasi dan sosial menjadi perTimbangan dan factor penting dalam setiap analisis yang dilakukan dan diskusi dengan berbagai kelompok kepentingan. Kami menyebar kuesioner kepada anggota Komisi VII dan berdialog dengan mereka, menemui dan berdialog dengan pejabat-pejabat eselon I pemerintah, Hiswana migas, Pertamina daerah, BP Migas, Kepolisian, Kejaksaan, Dinas Perhubungan Daerah sampai dengan pemilik dan operator SPBU di 5 pulau se-Indonesia. Kami juga mewawancarai wakil-wakil konsumen, pengurus Kadin, Organda serta para ahli-ahli 77 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal transportasi. Tim kami juga terlibat dalam pertemuan dengan kelompok kerja-kelompok kerja pengaturan BBM di pemerintahan. Maka rasanya lengkap sudah pihak-pihak yang berkepentingan mengenai BBM di tanah air. Yang menjadi hambatan bagi kami dalam melakukan kegiatan penelitian ini adalah soal waktu. Waktu yang tersedia hanya dua bulan efektif. Disamping itu, banyak pihak yang ingin tahu proses dan hasil penelitian, terutama media menambah dinamika kegiatan penelitian itu sendiri. Pada akhirnya, Penulis dan Tim kajian hanya melakukan kajian yakni membuat opsi, menyusun saran dan rekomendasi kepada Pemerintah. Rekomendasi kami jelas sangat bisa dipertanggungjawabkan dari sisi substansi. Kami bekerja cukup all-out dan dengan waktu dan pikiran penuh mengingat isu ini menarik perhatian publik luas. Kami tidak mau mengecewakan pihak pemerintah dan DPR, sehingga kami melakukan riset ini serius, prefesional dan bertanggung jawab serta independen. Tentunya pula keterlibatan Penulis dan teman-teman ITB, UGM dan UI menyangkut kualitas individu peneliti dan pada saat bersamaan kami juga harus menjaga reputasi dan kredibilitas universitas masing-masing. Tim kajian pada akhirnya disamping menyimpulkan rekomendasi kebijakan jangka pendek dan jangka menengah juga memberikan asesmen mengenai tingkat kesiapan pelaksanaan kebijakan. Rekomendasi mengenai waktu juga disampaikan oleh Tim. Penetapan waktu sangat krusial karena berkejaran dengan naiknya harga minyak dunia. Saran Tim kebijakan ini dapat dilaksanakan paling lambat bulan Mei 2011, bulan dimana beban konsumen belum terlalu tinggi. Prinsipnya semakin cepat pelaksanaan akan semakin baik hasilnya pada 78 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik saat harga masih terjangkau dan penghematan anggaran bisa optimal. Apabila harga minyak dunia naik, maka harga Pertamax juga ikut naik dari harga sekarang. Kenaikan harga minyak dunia juga akan menambah subsidi BBM “Dari angka subsidi Rp 95,5 triliun, bila ada kenaikan harga minyak mentah sebesar US$ 1 akan menaikkan subsidi pemerintah Rp 2,6 triliun,” jelas Menteri Keuangan. Pilihan Tabu Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II, Hatta Rajasa mengatakan bahwa opsi pengaturan subsidi BBM sudah disiapkan untuk mengatasi harga minyak dunia yang bertahan tinggi. Opsi berikutnya adalah membatasi konsumsi BBM bersusidi secara bertahap. Pentahapan tersebut sangat penting untuk mengurangi tekanan inflasi yang berlebih jika dilakukan sekaligus dan mendadak. Menurut kepala BPS, Kebijakan kenaikan harga bertahap keseluruhan BBM subsidi dengan target subsidi pada sektor produktif adalah lebih baik daripada parsial seperti pembatasan BBM subsidi untuk mobil pribadi ataupun pengalihan konsumen Premium ke Pertamax, sayangnya kebijakan tersebut merupakan pilihan tabu bagi pemerintahan saat ini. Tulisan ini pernah dimuat di Republika 14 Maret 2011 *** 79 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Listrik Untuk Siapa? Pengantar : “Kenaikan harga TDL akhirnya telah dilakukan oleh Pemerintah pada 1 Juli 2010. Seperti kebijakan-kebijakan lainnya dalam masa pemerintahan SBY yang penuh kebimbangan dan keragu-raguan, kebijakan ini pun sempat maju-mundur dan tidak jelas pelaksanaannya hingga menimbulkan polemik di masyarakat. Namun yang perlu ditelisik lebih jauh adalah atas dasar apa Pemerintah mengambil keputusan ini dan atas dasar keharusan apa sehingga opsi menaikan harga listrik yang tentu membebani masyarakat tak bisa dihindarkan. Listrik merupakan industri yang vital, selalu menjadi tulang punggung input segala macam produksi lainnya, oleh karena itu kedaulatan dalam keberlangsungan pasokan listrik di dalam negeri mutlak diperlukan. Pertanyaannya adalah tepatkah manajemen kelistrikan di Indonesia, termasuk penetapan harga dan roadmap jangka panjangnya ?” 80 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik T erhitung mulai tanggal 1 Juli 2010 lalu, Tarif Daftar Listrik atau TDL untuk pelanggan diatas 900 KvA (Kilo Volt Ampere) mengalami kenaikan antara 1015 persen. Dihitung dari jumlah pelanggan, memang hanya 5 juta dari 45 juta pelanggan PLN yang terkena dampak tersebut. Namun demikian, kebijakan tersebut tetap saja menuai protes dari pelanggan, khususnya kalangan dunia usaha (menengah ke atas). Bahkan Menteri Perindustrian (Menperin) ikut membela pengusaha dan seolah-olah mengamini bahwa kenaikan TDL kali ini (lebih dari 15%) telah memperhitungkan tarif bussiness to bussiness (B to B) seperti nilai multiguna dan daya maksimum pembangkit listrik. Rasanya aneh jika Menperin sampai ikut-ikutan berada di pihak pengusaha padahal penjelasan pihak-pihak yang memang terkait langsung dengan masalah ini, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) dan Dirut PLN, sudah jelas dan gamblang. Kenaikan TDL sesungguhnya punya dua tujuan. Pertama, untuk menghemat anggaran pemerintah (APBN), dan yang kedua untuk melakukan efisiensi penggunaan listrik. Penghematan APBN sekitar Rp 5 triliun tahun 2010 telah dialokasikan untuk program elektrifikasi dan belanja pemerintah pusat untuk infrastruktur dan kegiatan sosial, yang mana hal ini harus segera dilaksanakan mengingat pentingnya program-program tersebut. Adapun subsidi listrik tahun 2010 meningkat menjadi Rp 55,1 triliun rupiah karena selisih TDL dengan BPP (biaya pokok produksi) PLN semakin melebar. Penyesuaian TDL terakhir terjadi di tahun 2004 sehingga sudah 5 tahun tidak terjadi perubahan apapun. Hanya saja dalam beberapa tahun terakhir PLN melakukan aksi korporasi dengan menggunakan penyesuaian tarif B 81 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal to B yang lebih tinggi kepada industri dengan kompensasi kehandalan pasokan listrik. Efisiensi atau penghematan penggunaan listrik sangat dibutuhkan. Sekarang ini kecuali pelanggan dengan daya 6600 KvA, semua jenis pelanggan telah disubsidi oleh APBN, jadi setiap kenaikan konsumsi listrik berarti akan membutuhkan subsidi yang lebih banyak. Maka pelanggan harus diberikan disinsentif apabila menggunakan listrik secara berlebihan. Kenaikan TDL 10-15% saat ini memang belum berarti PLN sudah mampu menutupi biaya mereka (BPP), namun diharapkan akan mendorong pelanggan “Listrik harus dapat untuk lebih hemat listrik. dimanfaatkan untuk sebesar-besar Dewasa ini ada dua kemakmuran rakyat masalah besar yang dihadapi Indonesia, bukan oleh kelistrikan Indonesia sebagian rakyat atau dan PLN pada khususnya. pengusaha besar dan Pertama, ketersediaan energi primer non-BBM bukan juga konsumen di luar negeri” untuk pembangkit listrik, khususnya batubara dan gas. Ini menyangkut sikap ambivalensi Pemerintah terhadap pemanfaatan energi primer yang tidak memberikan jaminan pasokan dan harga pada PLN. Kedua, besarnya kebutuhan dana investasi PLN untuk membangun pembangkit listrik gas dan batubara maupun dengan energi terbarukan. Termasuk diantaranya investasi dalam bentuk jaringan distribusi, transmisi, serta program listrik masuk desa. Jika tidak dibangun sendiri oleh Pemerintah, dalam hal ini PLN, maka hal yang diperlukan adalah perlunya kebijakan yang mendorong pembangunan listrik dengan pola IPP atau kemitraan swasta. 82 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Masalah pendanaan PLN baik melalui pola sendiri atau kemitraan merupakan masalah pelik, karena situasi keuangan PLN yang tidak sehat dan bahkan terjadi penggerusan modal. Untuk menarik pendanaan PLN atau investor melalui kemitraan diperlukan jaminan pemerintah. Jaminan pemerintah berarti akan menjadi beban kontinjen manakala jaminan tersebut tereksekusi. Jaminan tersebut juga akan mempengaruhi peringkat pinjaman RI dan biaya peminjaman perbankan pada umumnya. Kalaupun sejak tahun 2009 PLN memperoleh laba, karena semata-mata berasal dari keuntungan valuta asing dan pemberian margin untuk memenuhi persyaratan pinjaman. Jadi sama sekali tidak benar jika kinerja keuangan positif dari PLN di tahun 2009 dan 2010 membuat kenaikan TDL tidak diperlukan. Kenaikan TDL sama sekali tidak terkait dengan masalah keuntungan PLN, karena tanpa kenaikan TDL sekalipun PLN akan mendapatkan subsidi dari APBN. Bagi PLN, masalah kenaikan TDL akan memperlancar arus kas dan sebagai upaya penghematan oleh pelanggan. Bagi APBN masalah TDL yang tidak sesuai dengan BPP lebih besar lagi, yakni terjadinya pembengkaan subsidi yang berlangsung terus menerus dari tahun ke tahun. Jadi, kenaikan TDL sejatinya tidak langsung terkait dengan masalah utama PLN. Kanaikan TDL juga bisa dikatakan bukan urusan PLN tetapi identik dengan penghematan subsidi APBN. Masalah terbesar yang dihadapi oleh dunia kelistrikan Indonesia adalah masalah supply pasokan energi primer gas dan batubara, serta kebijakan ke depan terhadap energi terbarukan seperti panas bumi, air, matahari dan termasuk energi alternatif yang mengandung resiko tinggi, nuklir. Tanpa kebijakan percepatan pembangunan pembangkit listrik dan jaminan pasokan gas dan batubara yang memadai 83 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal untuk pembangkit PLN maupun IPP, maka biaya pasokan listrik akan mahal, subsidi listrik akan naik, menyebabkan TDL pun ikut naik, sehingga akhirnya pelanggan lah yang menjadi korban. Pemerintah harus berpihak kepada hak dasar rakyat yakni ketersediaan listrik dengan biaya yang paling murah. Batubara dan gas tidak seharusnya dijual ke luar negeri dengan mengabaikan kebutuhan dalam negeri, dan kegiatan ini hanya menguntungkan pengusaha dan investor batubara ataupun gas selang sesaat. Listrik harus dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat atau pengusaha besar dan bukan juga konsumen di luar negeri. Ingat itu. Tulisan ini pernah dimuat di Republika 16 Juli 2010 *** 84 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik Konsistensi Kebijakan TDL Pengantar : “Masalah kenaikan harga listrik bagi konsumen, atau dalam istilah ke-Indonesia-an adalah Tarif Dasar Listrik (TDL) selalu menjadi dilema. Kalangan kontra berdasarkan argumen klasik yaitu beban kenaikan TDL tidak mampu atau belum mampu ditanggung oleh konsumen, khususnya rumah tangga kecil. Sebaliknya, kalangan Pro kenaikan justru bersandarkan pada kajiankajian ekonomi dan teoritis mengenai ketidakefisienan pasar dalam derajat yang berbahaya ketika subsidi terus menerus diberikan kepada sektor yang tidak tepat. Dua pandangan yang berbeda juga termasuk dalam siapakah yang paling menikmati subsidi tersebut, orang kaya, atau golongan miskinkah? Dalam tulisan ini dibahas mengenai kajian teoritis atas dasar-dasar argumen mengapa TDL perlu dinaikkan. Kajian ini juga merupakan hasil analisis intern Penulis yang sebagaimana diketahui, juga sebagai mantan orang dalam pemerintahan.” 85 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal D alam RAPBN 2011 pemerintah merencanakan menaikkan Tarif Daftar Listrik (TDL) sebesar 15% sejak awal Januari 2011. Pada saat itu kita mendengar bahwa Komisi VII DPR menolak rencana tersebut. Pemerintah dalam hal ini Kementrian ESDM tampaknya melunak. Pemerintah sendiri sebenarnya sejak awal cukup gamang untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Terbukti dari perbedaan pendapat yang cukup mencolok di media antara satu pejabat dengan pejabat lain di Pemerintah. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo tetap pada pendiriannya agar TDL dinaikkan sesuai rencana sehingga tidak ada tambahan beban subsidi yang harus dibayarkan oleh APBN. Sedangkan beberapa unsur pemerintah lain, menyatakan ketidaksetujuannya walaupun dalam pernyataan tersurat. Kenaikan TDL sejatinya adalah kebijakan yang tepat untuk menyehatkan APBN dan sekaligus merasionalkan tarif listrik serta memberikan insentif pada investasi listrik IPP (Independent Power Producer). Namun demikian, karena penghematan dananya cukup signifikan dan tidak disediakan anggaran pengganti, maka apabila kebijakan tersebut di tolak oleh DPR, maka APBN 2011 memiliki risiko tambahan defisit APBN. Apabila ditolak, Pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan memotong belanja kementerian dan lembaga. Sejak awal banyak yang sudah menyangsikan bahwa Pemerintah bisa menggolkan rencana tersebut di depan DPR. Dan sayangnya pemerintah juga tidak mempersiapkan skenario lain apabila rencana tersebut kandas di Senayan. Tidak tersedianya fiscal space atau dana pengganti yang 86 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik memadai sungguh menyulitkan. Pemerintah juga cenderung konservatif untuk menambah defisit APBN. Volume BBM bersubsidi dari hasil kesepakatan menteri ESDM dengan Komisi VII justru mengalami peningkatan. Ada juga wacana agar rencana Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk dibatalkan. Pemotongan Anggaran tidak cukup Banyak yang setuju dengan Menkeu Agus bahwa belanja pegawai dan barang di berbagai Kementrian dan Lembaga (K&L) pemerintah masih bisa dihemat. Belanja perjalanan dinas, belanja informasi teknologi, panitia-panitia, seminar, perkantoran, pelatihan dan rapat kerja masih terlalu besar. Kita juga melihat bahwa belanja barang juga masih lebih tinggi dibandingkan belanja modal. Namun demikian usulan pemotongan anggaran tersebut juga tidak akan mudah untuk didukung oleh DPR, karena pembahasan kementerian dengan semua Komisi mengenai belanja K&L sudah dan sedang berlangsung. Spirit pembahasan di Komisi adalah menambah anggaran, tidak untuk mengurangi anggaran, termasuk di Kementerian Keuangan sendiri. Jumlah yang bisa dipotong pun juga belum tentu dapat menutup tambahan subsidi listrik yang dibutuhkan akibat batalnya kenaikan TDL. Atas dasar tersebut, kepada Pemerintah dan DPR, Penulis berpendapat beberapa hal sebagai berikut: Pertama, kenaikan TDL sebaiknya tetap dilakukan dengan besaran dan waktu yang mempertimbangkan momentum pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri. Tingkat TDL yang berada dibawah biaya pokok penjualan (BPP) PLN membuat subsidi dan inefisiensi ekonomi terus terjadi. Upaya 87 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal penurunan BPP melalui tambahan energi primer dari batubara dan gas dengan adanya jaminan kebutuhan domestik (DMO) harus menjadi prioritas utama sehingga tekanan kenaikan TDL akan berkurang. Kenaikan TDL rata-rata 5-10% mulai bulan April 2011 cukup rasional dengan konsekuensi masih harus disediakan tambahan subsidi minimal Rp. 5-7 triliun. Kenaikan tersebut juga memberikan sinyal positif bagi investasi IPP untuk membangun listrik dengan dana swasta. Kedua, volume BBM bersubsidi harus tetap “Sekali lagi konsistensi Pemerintah pada peta dipertahankan sesuai dengan rencana. Kebijakan jalan (roadmap) sektor pembatasan BBM bersubsidi ketenagalistrikan jangka menengah mulai dari khususnya untuk kendaraan tahap perencanaan, pribadi yang dibatalkan pembahasan dan tahun ini perlu dipersiapkan perumusan dengan untuk dilaksanakan pada DPR, hingga eksekusi awal tahun 2011 secara luas kebijakan harus dengan sosialisasi yang baik. ditegakkan, sesulit Kenaikan HET pupuk tetap apapun” harus dilaksanakan dengan maksud penghematan anggaran dan rasionalisasi harga pupuk. Ketiga dan sebagai yang terakhir, adalah menambah defisit APBN dengan pembiayaan melalui penerbitan SBN. Defisit 1,7% dari PDB masih tergolong konservatif untuk ukuran beban utang dan perbandingan dengan negara lainnya. Upaya tersebuk tidak untuk menambah pinjaman program bilateral atau multilateral, tetapi melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara). Seperti kita tahu bahwa fungsi SBN 88 Bagian II – Masalah Risiko Fiskal: Inflasi, Capital Inflow, Subsidi BBM dan Listrik tidak hanya membiayai defisit APBN, tetapi dapat membuat pasar SBN menjadi lebih likuid dan aktif diperdagangan serta menjadi alternative portofolio bagi investor, khususnya investor dalam negeri. Penerbitan SBN masih dapat ditambah terutama dari SBN konvensional dan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), khususnya dikelompok investor ritel dan domestik. Potensi pasar SBN dari domestik, baik bank maupun bukan bank serta ritel (ORI) masih terbuka. Seri penerbitan SBSN ritel (SUKRI) yang masih sedikit, masih terbuka untuk ditambah. Maka tambahan penerbitan SBN sebesar 0,1% dari PDB atau sekitar Rp. 7 triliun masih realistis. Konsistensi Kebijakan adalah Taruhan Tentu masih ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk menutup tambahan subsidi listrik akibat batalnya kenaikan TDL. Tetapi sungguh sayang apabila upaya optimalisasi dan penghematan APBN tersebut hanya dipakai untuk membayar subsidi yang kurang produktif. Konsistensi Pemerintah sangat dituntut untuk kembali ke tujuan awal yakni penyehatan perekonomian. Kenaikan TDL adalah salah satu caranya. Jika ada konsumen, khususnya kelompok dunia usaha yang jadi korban karena kenaikan TDL, maka dapat dialokasikan subsidi langsung ataupun kompensasi yang lain dari APBN. Keberlangsungan APBN sangatlah penting untuk menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta mencipkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Kredibilitas APBN 2011 terletak pada pendirian dan kemauan politik Pemerintah untuk merumuskannya bersama-sama dengan DPR untuk menyusun APBN yang sehat dan berlanjut. 89 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Sekali lagi konsistensi Pemerintah pada peta jalan (roadmap) sektor ketenagalistrikan jangka menengah mulai dari tahap perencanaan, pembahasan dan perumusan dengan DPR, hingga eksekusi kebijakan harus ditegakkan, sesulit apapun. Konsistensi kebijakan adalah pertaruhan masa depan bagi kredibilitas sebuah pemerintahan. Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2010 *** 90 Bagian III Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan 91 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 92 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Tantangan Pajak “Reformasi perpajakan yang sudah mulai dilakukan sejak lama tampaknya masih harus terus dilakukan. Munculnya beberapa masalah seperti kasus mafia pajak dan Gayus serta masalah lain seperti rendahnya penerimaan PPh orang pribadi membuat kebutuhan untuk meneruskan reformasi perpajakan menjadi isu penting. Selain itu, tantangan terbesar untuk mengembalikan reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada institusi perpajakan juga masih belum terpenuhi. Dalam tulisan ini, penulis memaparkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh direktorat perpajakan kedepannya dan beberapa saran mengenai langkah apa yang harus diambil.” P ergantian Dirjen Pajak dari M Tjiptardjo (periode 2009 – 2011) ke Fuad Rachmany (periode 2011) dinilai sangat tepat. Fuad adalah sosok yang berpendidikan memadai, pekerja keras, dan berpengalaman di Kementerian Keuangan. Semasa menjadi kepala Bapepam, Fuad juga dikenal tegas, jujur, patuh, dan lurus. Kelemahannya adalah dia belum pernah mengurusi 93 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal fiskal dan APBN. Untungnya, Fuad telah diwarisi oleh fondasi kebijakan fiskal kita yang bagus dan kuat, bahkan jika perlu dapat mempercepat, khususnya di bidang perpajakan dan pengelolaan utang. Reformasi perpajakan juga telah dimulai sejak zaman Dirjen Hadi Purnomo dan dipercepat pada masa Darmin Nasution serta Tjiptardjo sehingga Fuad tinggal melanjutkan saja. Munculnya kasus mafia pajak dan Gayus memang telah menimbulkan masalah citra dan kredibilitas pada sistem serta tata kelola di direktorat jenderal pajak sendiri. Tantangan terbesar dari Fuad adalah untuk mengembalikan reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada institusi perpajakan. Indonesia memiliki “Tantangan terbesar kondisi fiskal yang bagus dan dari Fuad adalah untuk pruden. Hal ini dapat dilihat mengembalikan reputasi dari rasio defisit APBN dan kepercayaan dan utang Indonesia yang masyarakat kepada berada dalam kondisi aman, institusi perpajakan.” penerimaan pajak yang terus dipacu dengan menaikkan tax base dan kepatuhan pajak, risiko fiskal yang dipaparkan serta disediakan anggaran apabila meleset dari perkiraan, Alokasi subsidi yang dibatasi dan mulai diarahkan secara tepat, pembiayaan infrastruktur langsung maupun melalui swasta dengan penjaminan yang dirancang secara baik dan agresif untuk mendorong iklim investasi, dan tersedianya pembiayaan siaga dari lembaga donor yang setiap waktu dapat dimanfaatkan dalam keadaan krisis keuangan. Selain itu, yield surat utang Indonesia juga semakin turun, tanpa dipaksa, dengan pengelolaan utang yang meminimalkan biaya dan risiko peminjaman, ORI dan Sukuk Ritel Indonesia (Sukri) yang menjadi instrumen alternatif bagi pemodal kecil 94 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan dan menengah yang andal, desentralisasi fiskal yang tetap dijaga dalam kerangka NKRI dengan tujuan mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah, dan program-program kemiskinan yang dirancang dengan tepat sasaran pada kantung-kantung kemiskinan dengan sasaran menurunkan jumlah RT miskin di bawah 10 persen juga menunjukkan bahwa kondisi fiskal Indonesia saat ini bagus dan pruden. Rasio pajak belum memadai Penerimaan pajak kita saat ini memang belum memenuhi harapan meskipun penulis yakin ini bukan sesuatu hal yang perlu dirisaukan. Mengapa? Dalam dua tahun ini terakhir ini, tarif pajak PPh (Pajak Penghasilan) kita baru saja turun 5 persen dan saat yang bersamaan banyak insentif pajak kepada sektor riil yang diberikan yang tentu menggerus laju penerimaan pajak dalam jangka pendek. Penulis percaya pertumbuhan penerimaan pajak kita dalam lima tahun mendatang akan dapat mencapai 15 persen yang berarti 1,5 kali pertumbuhan PDB nominal kita. Bahkan, penulis yakin bisa mencapai 20 persen dengan kebijakan terobosan seperti pengampunan pajak (tax amnesty). Rasio perpajakan (Tax ratio) bisa mencapai 13 persen dan apabila ditambah dengan pajak daerah, tax rasio kita secara nasional bisa mencapai 15 persen. Jika dihitung dengan pajak atas sumber daya alam, tax rasio hampir sejajar dengan negara berkembang lainnya. Kuncinya adalah apabila kita sabar dan konsisten dengan reformasi perpajakan, termasuk memiliki SDM yang tangguh mulai dari pimpinan. Pak Anwar Supriyadi, Ketua Pengawas Perpajakan (2011), pernah mensinyalir bahwa masalah di DJP (Direktorat Jederal Pajak) adalah kurangnya jiwa kepemimpinan yang 95 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal tegas, jujur, dan konsisten di jajaran pimpinan di DJP pusat dan Kanwil. Namun demikian, penulis cukup yakin DJP memiliki kader-kader pemimpin masa depan yang mumpuni. Tantangan penerimaan pajak dan insentif Di samping penuntasan masalah mafia pajak dan kasus Gayus, Fuad dan jajaran DJP memiliki sejumlah tantangan peningkatan penerimaan pajak. Pertama, meningkatkan penerimaan pajak PPh Orang Pribadi (PPh OP). Rasio PPh OP dibandingkan PPh Badan adalah sekitar 30:70 persen. Di banyak negara, justru sebaliknya, di mana penerimaan PPh Badan lebih tinggi daripada PPh OP. Kedua, peningkatan PPh Badan melalui sektor-sektor yang undertax dan harmonisasi kebijakan PNBP, cukai, dan bea keluar dengan PPh badan. Masih banyak beban-beban non-pajak yang menjadi biaya operasi perusahaan sehingga mengurangi laba dan setoran pajaknya. Ketiga, perbaikan perpajakan pada perusahaan asing, joint venture, dan MNC (Multinational Corporation) disesuaikan dengan praktik perpajakan internasional yang lazim, khususnya terkait dengan penghindaran pajak dan tax treaty. Keempat, mendorong perusahaan masuk bursa dan sektor formal, perbaikan pengawasan, restitusi, dan prosedur keberatan dan banding. Dalam menarik pajak, perlu dipertimbangkan beberapa hal agar sesuai dengan tujuan lain yakni tetap mendorong investasi. Meskipun banyak studi yang menyimpulkan bahwa pajak bukan faktor penting dalam investasi, namun penarikan pajak yang tinggi dan eksesif akan mengurangi kemampuan untuk melakukan investasi. Dibanyak negara, tarif pajak badan diupayakan semakin menurun sehingga perusahaan punya dana investasi yang meningkat. Dalam 96 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan upaya mendorong investasi, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 62 tahun 2009 mengenai insentif pajak. Namun insentif pajak melalui PP 62 tersebut kurang diminati karena selain pajak bukan faktor utama, prosedur melalui dua pintu (BKPM dan DJP) serta lamanya perubahan lampiran sector menjadi alasan. Pemerintah juga telah menerbitkan PP 94 tahun 2010 yang diantaranya terdapat satu pasal mengenai pembebasan pajak (tax holiday) untuk industri pionir yang juga dikhawatirkan kurang menarik karena secara perhitungan, fasilitas tersebut kurang lebih sama dengan fasilitas pajak dalam PP 62. Masalah yang dikeluhkan oleh wajib pajak, khususnya badan usaha bukanlah masalah tingginya tarif nominal dan insentif pajak, melainkan tingginya tarif efektif pajak di mana wajib pajak ternyata membayar lebih dari besaran tarifnya karena berbagai beban administrasi perpajakan. Maka, PR dari Fuad dan jajaran pajak adalah meningkatkan penerimaan pajak melalui intensifikasi dan harmonisasi serta perbaikan administrasi perpajakan, seperti yang telah disebutkan di depan tanpa menggangu iklim investasi dan dunia usaha. Penulis yakin dalam 3 tahun ke depan sasaran tersebut akan tercapai. Pernah dimuat di Republika, 14 Feb 2011 *** 97 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Wajib Pajak (Belum) Patuh Pengantar : “Pengenalan status wajib pajak (WP) patuh dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dilakukan pada bulan Februari 2004. Status tersebut sepatutnya menjadi contoh bagi WP badan lainnya agar berlombalomba memenuhi kualifikasi untuk menjadi WP patuh. Status WP patuh ini sesungguhnya bukan saja menjadi keuntungan bagi DJP, tapi juga bagi WP itu sendiri. Berbagai kemudahan dan fasilitas menjadi insentif yang baik bagi perusahaan untuk mendaftarkan dirinya menjadi anggota WP patuh. Proses ini tidak memakan waktu dan tidak menelan biaya. Dengan mendaftarkan diri menjadi WP patuh maka sesungguhnya, proses pembayaran pajak menjadi lebih cepat, mudah, dan menyenangkan.” P ada tanggal 25 Februari 2004, predikat wajib pajak patuh diberikan kepada sejumlah wajib pajak (WP) yang telah memenuhi kriteria kepatuhan. Ini berarti sudah ada 262 WP badan yang dikategorikan patuh (dan taat serta disiplin). Predikat WP patuh ini jelas berbeda dengan penghargaan kepada 100 pembayar pajak terbesar 98 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan pada zaman Orde Baru. WP patuh tidak ada hubungannya dengan jumlah nominal setoran pajak, tetapi dinilai dari sisi kepatuhannya. Sebanyak 100 pembayar pajak terbesar belum tentu memenuhi kriteria tersebut. Bisa jadi, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, WP memiliki sejumlah tunggakan sehingga tidak bisa diberi predikat WP patuh. Wajib pajak badan dapat ditetapkan sebagai WP patuh apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan dalam dua tahun terakhir, b) Dalam tahun terakhir penyampaian SPT masa yang terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut, c) SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masa pajak berikutnya, d) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda. Tunggakan ini tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk dua masa pajak terakhir, e) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir, dan f) Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pendapat harus WTS (wajar tanpa syarat) atau 99 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal. Manfaat predikat WP patuh WP patuh mendapat fasilitas, kemudahan, dan pelayanan yang lebih dibandingkan dengan WP biasa atau belum/tidak patuh. Pada mulanya, fasilitas terhadap WP patuh telah diatur berupa batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh WP dengan kriteria tertentu, paling lambat tiga bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan satu bulan sejak diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan. Kemudian, mengingat adanya keinginan agar diberikan pelayanan yang lebih baik kepada WP patuh, maka tahun 2003 dikeluarkan kebijakan tentang percepatan penerbitan SKPPKP menjadi paling lambat dua bulan untuk PPh dan tujuh hari untuk PPN. Adapun jika WP belum atau tidak patuh, penerbitan SKPPKP harus menunggu penelitian dan pemeriksaan yang terkadang memakan waktu, biaya, dan menjadi sumber terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier dalam tulisannya di buku “Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep dan Implementasi” (2004) yang diterbitkan oleh Badan Analisa Keuangan (BAK) halaman 217 mensinyalir masalah restitusi (pengembalian) PPN menjadi sumber masalah serius karena sering salah alamat, sumber KKN, menimbulkan biaya tinggi (high cost economy), keluhan investor, dan kebocoran tinggi. 100 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Fuad mengusulkan agar sistem PPN diganti dengan pajak penjualan. Terhadap rekomendasi ini, hingga kini pemerintah masih beranggapan bahwa sistem PPN lebih baik daripada Pajak Penjualan, dan terhadap berbagai masalah dalam restitusi PPN sedang diupayakan percepatan proses restitusi, dan pemberian predikat WP patuh adalah salah satu jawabannya. WP patuh merupakan WP teladan dalam pengumpulan pajak karena di samping taat dia juga mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas sehingga tidak lagi diperlukan penelitian dan pemeriksaan. Diharapkan, WP patuh di masa yang akan datang lebih banyak lagi. Dengan demikian, akan membantu kepatuhan, mengurangi biaya, baik bagi WP maupun bagi pemerintah, dan akhirnya meningkatkan penerimaan pajak bagi negara. Di samping upaya mempercepat restitusi melalui WP patuh, beberapa tahun terakhir pemerintah secara konsisten melakukan reformasi perpajakan. Dalam bidang kebijakan, reformasi perpajakan dilakukan dengan melakukan penyempurnaan dalam Undang-Undang (UU) KUP, UU PPh, dan UU PPN. Semangat yang hendak dicapai dalam reformasi UU ini adalah untuk meningkatkan daya saing sistem perpajakan Indonesia, menyederhanakan prosedur, memberikan kepastian hukum, dan meningkatkan keadilan. Dalam bidang reformasi administrasi, program yang lebih luas yang sedang dilaksanakan mencakup semua segi administrasi perpajakan, termasuk penyederhanaan prosedur perpajakan, peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat melalui kampanye sadar dan peduli pajak, penegakan hukum melalui pemeriksaan dan penagihan aktif, 101 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal serta pembenahan sumber daya manusia melalui reformasi moral dan etika. Reformasi ini diharapkan mampu menjawab tantangan pelaksanaan tata organisasi dan tata kerja yang baik di lingkungan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, Kementerian Keuangan (dahulu bernama Departemen Keuangan). Untuk kantor pelayanan perpajakan juga dilakukan reformasi dengan menerapkan administrasi perpajakan modern dengan memanfaatkan teknologi terkini, seperti on-line payment, electronic filing, dan sistem informasi terpadu sehingga transparansi pekerjaan, efisiensi pelaksanaan tugas, dan pelayanan ke masyarakat dapat ditingkatkan. Sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di lingkungan kantor pelayanan perpajakan adalah SDM yang terpilih dan dilatih secara khusus. Pelaksanaan pekerjaan akan dimonitor oleh banyak pihak, seperti Komite Kode Etik dari Depkeu, Inspektorat Jenderal Depkeu, dan juga oleh Komisi Ombudsman Nasional. Dengan reformasi ini diharapkan pemerintah mampu menjawab tantangan pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) di lingkungan Dirjen Pajak. Pencapaian tahun 2003 Kinerja kebijakan perpajakan dapat dilihat dari hasil pada tahun 2003. Di samping ada perbaikan dari sisi kondisi perekonomian makro, perkembangan ekonomi tahun 2003 ditunjang dengan kemampuan menggalang sumber pengeluaran rutin dan pembangunan APBN dari sumber 102 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan dana sektor perpajakan yang peranannya mencapai lebih dari 75 persen, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Demikian juga dengan sisi nominal penerimaan perpajakan. Penerimaan negara dari sektor perpajakan selama periode tahun 1969-1993 sebesar Rp 149,46 triliun, kemudian periode tahun 1994- 2000 sebesar Rp 520,65 triliun, sedangkan periode tahun 2001-2004 sebesar Rp 778,112 triliun. Dengan kata lain, penerimaan negara dari sektor perpajakan periode 1969-2000 besarnya Rp 670,113 triliun. Jika dibandingkan penerimaan selama 32 tahun sebesar Rp 670,113 triliun, masih jauh di bawah penerimaan sektor perpajakan selama empat tahun periode tahun 20012004 sebesar Rp 778,112 triliun. Gambaran tersebut menunjukkan sistem manajemen pemerintahan yang baik dengan pembiayaan negara sebagian besar dibiayai dari penerimaan pajak karena keberhasilan kita dalam melaksanakan konsolidasi perpajakan. Oleh karenanya, akan dilanjutkan agar dapat meningkatkan penerimaan dan rasio perpajakan. Di samping itu, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2001-2004-di mana kita belum pulih seluruhnya dari krisis, dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2004 ditargetkan 4,8 persen-kita dapat mengumpulkan tambahan penerimaan negara yang lebih besar. Selama dua tahun terakhir penerimaan perpajakan telah melebihi kewajiban pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin, yakni gaji pegawai, dan khususnya subsidi dan bunga utang, yang membengkak sebagai dampak dari krisis ekonomi. Pertambahan penerimaan negara dan peningkatan kepatuhan dari sektor perpajakan tersebut juga 103 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal mencerminkan secara tidak langsung adanya upaya serius memberantas korupsi dengan menarik sebesar-besarnya dana dari tambahan kemampuan ekonomi masyarakat kepada negara melalui pajak. Paska Penetapan Status WP Patuh : Tantangan tahun 2004 Penerimaan negara dari “Dengan kata sektor perpajakan tahun lain, penerimaan 2004 ditargetkan Rp 271 negara dari sektor triliun atau meningkat 6,6 perpajakan periode persen dari APBN 2003. Dari 1969-2000 besarnya keseluruhan penerimaan Rp 670,113 triliun. perpajakan tersebut, sebesar Jika dibandingkan 49,1 persen diperkirakan penerimaan selama bersumber dari PPh; 31,8 32 tahun sebesar persen dari PPN dan Pajak Rp 670,113 triliun, Penjualan untuk Barang masih jauh di bawah Mewah (PPnBM); dan 3,9 penerimaan sektor persen dari Pajak Bumi perpajakan selama Bangunan (PBB) serta Bea empat tahun periode Perolehan Hak atas Tanah tahun 2001-2004 sebesar dan Bangunan (BPHTB). Rp 778,112 triliun” Di luar itu, 15,2 persen dari penerimaan perpajakan tersebut bersumber dari bea masuk, cukai, pajak/pungutan ekspor, serta pajak lainnya. Rasio perpajakan diperkirakan akan meningkat menjadi 13,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibanding 13,4 persen pada realisasi APBN 104 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan 2003. Jika ditambah dengan rasio pajak daerah (0,7 persen), total rasio perpajakan tahun 2003 adalah sekitar 14,2 persen. Untuk itu kita semua mempunyai tanggung jawab agar target pengumpulan penerimaan negara dari sektor pajak dapat kita realisasikan dan kepada masyarakat WP diingatkan untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Khusus kepada para WP yang termasuk dalam kelompok WP patuh, Penulis mengucapkan apresiasi yang setinggi-tingginya atas prestasi yang telah diukir. Sekalipun telah terjadi peningkatan jumlah WP patuh dari tahun lalu, jumlah tersebut masih sangat sedikit. Dari jumlah WP badan sebanyak 80.000 WP dengan asumsi 10 persen bisa dikategorikan sebagai WP patuh, maka jumlah 262 tersebut jauh dari memadai. Predikat WP belum patuh jauh lebih banyak dibandingkan dengan WP patuh. Kriteria untuk menjadi WP patuh tidaklah sulit dan tanpa biaya, tetapi manfaatnya jauh lebih banyak bagi WP maupun petugas. Para WP yang termasuk dalam kriteria WP patuh ini, di samping pada dasarnya adalah WP yang telah sadar pajak (paham akan hak dan kewajiban perpajakannya), diharapkan juga peduli pajak (yaitu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar). Pemberian penghargaan kepada para WP patuh ini akan menjadi motivasi serta menimbulkan deterrent effect positif bagi WP lainnya untuk menjadi WP patuh sehingga akan mengurangi beban biaya dan memberikan kemudahan bagi WP sendiri serta meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak untuk mencukupi kebutuhan pembangunan bangsa. 105 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Slogan lewat papan iklan dan videotron, yakni “membayar pajak membangun bangsa” adalah benar. Jika membayar dengan benar, tepat, dan jujur, dialah pahlawan bangsa. Marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan membangun dan mengisi kemerdekaan bangsa ini. Pernah dimuat di Republika, 14 Feb 2011 *** 106 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Menyoal Kembali Zakat sebagai Pengurang Pajak “Ide mengenai zakat sebagai pengurang pajak telah cukup lama berkembang di Negara ini. Pemerintah mulai kembali melirik zakat dikarenakan potensi zakat yang cukup besar untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, ide ini menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih mendalam mengenai ide zakat sebagai pengurang pajak, pro kontra yang terjadi serta bagaimana pandangan penulis mengenai ide tersebut.” S alah satu kewajiban umat Islam adalah membayar zakat bagi mereka yang memenuhi persyaratan sebagai wajib zakat. Zakat dikumpulkan oleh badan amil zakat (BAZ) di berbagai tingkat kewilayahan dari kecamatan hingga nasional. Pemerintah juga mengukuhkan pengumpulan zakat oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Karena jumlah pengumpulan zakat melalui BAZ dan LAZ di tanah air masih sangat kecil, akhir-akhir ini kembali muncul wacana untuk mengefektifkan pengumpulan zakat 107 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pembayaran pajak penghasilan atau tax credit. Zakat dan Pajak Meskipun pajak dan zakat memiliki titik singgung yang sama, yaitu kewajiban yang mengikat dan kekuasaan yang menekan, di antara dua hal itu terdapat perbedaan penting. Pertama, zakat adalah ibadah yang merupakan kewajiban kepada tuhan sedangkan pajak merupakan kewajiban kepada negara. Kedua, nisab dan persentase zakat ditetapkan oleh syariat, sedangkan pajak ditentukan oleh ulil amri, serta merekalah yang menentukan. Ketiga, pajak berkaitan dengan hubungan antara warga dan negara. Sedangkan zakat berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhan. Lalu, keempat, sasaran pajak terbatas, hanya target materi. Sedangkan zakat merupakan ibadah yang sekaligus pungutan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 25 Tahun 2010 disebutkan, untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, boleh dikurangkan terhadap zakat atas penghasilan, yang nyata-nyata dibayar wajib pajak pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam kepada BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan pemerintah. Meskipun sudah dituangkan dalam UU PPh terhadap pajak sebagai pengurang penghasilan bruto, yakni unsur yang dapat dibiayakan (deductible items), banyak kalangan yang menghendaki zakat menjadi faktor pengurang kewajiban pajak orang pribadi/ badan usaha atau tax credit. 108 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Bruto atau Bagian dari Pajak? Ide zakat sebagai pengurang pajak diusung Kementerian Agama dan beberapa organisasi massa Islam untuk dimasukkan ke RUU Zakat. Di Indonesia, dengan rumusan tersebut, bisa jadi potensi zakat mencapai puluhan triliun rupiah. Namun, jika ide itu diterapkan, penerimaan pajak negara berkurang dalam jumlah yang hampir sama dan menimbulkan potensi restitusi (pengembalian pajak). Lahirnya UU Nomor 38 Tahun 1999, tepatnya pada 23 September 1999, tentang Pengelolaan Zakat memang sedikit melegakan napas umat Islam di negeri ini. UU tersebut merupakan langkah maju, sebab sejak republik ini “Zakat memiliki potensi berdiri, sejak itu pula zakat yang begitu besar, tapi terabaikan dalam konstitusi hingga saat ini belum kenegaraan. Sebagai punya kekuatan apa lembaga yang paling sah pun dalam menangani dan resmi mengelola zakat, masalah kemiskinan di pemerintah sadar bahwa negeri ini” selama ini telah menyianyiakan kesempatan. Zakat memiliki potensi yang begitu besar, tapi hingga saat ini belum punya kekuatan apa pun dalam menangani masalah kemiskinan di negeri ini. Karena itu, sebagian kalangan mengatakan bahwa klausul zakat mengurangi pajak begitu penting. Saat diundangkan, terdapat kendala dalam pelaksanaan UU No 38 Tahun 1999. Disebutkan dalam UU itu, zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan, sesuai dengan 109 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal peraturan perundang-undangan yang berlaku, padahal pajak Penghasilan yang berlaku saat itu belum mencantumkan ketentuan yang mengatur perihal zakat dan baru ditetapkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2000 (sekarang telah diamandemen menjadi UU Nomor 25 Tahun 2010) tentang Pajak Penghasilan yang diberlakukan mulai 2001. Mengurangkan zakat dari penghasilan bruto wajib pajak tidak dipermasalahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, namun kewajiban pajak yang disetor dikurangi dengan zakat jelas-jelas punya pengertian dasar dan fiskal yang sangat berbeda. Mantan direktur Jenderal Pajak periode 2009 – 2010, M. Tjiptardjo (Tempo Interaktif, 27 Agustus 2010) berkeberatan atas ide menjadikan zakat sebagai pengurang kewajiban pajak yang diusung sebagian kalangan dalam pembahasan RUU Pengelolaan Zakat. Dia menyebut dua alasan penolakan. Pertama, Undang-Undang Perpajakan sudah mengakomodasi kewajiban membayar zakat di kalangan umat Islam. Dalam UU tersebut, zakat digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan bruto wajib pajak. Nilai kewajiban pajak, lanjut dia, dihitung dari penghasilan bersih yang telah dikurangi dengan faktor pengurang, termasuk zakat. Alasan kedua, zakat dianggap sebagai kewajiban religius, bukan kewajiban bernegara. Implikasinya, zakat dan pajak merupakan dua entitas yang berbeda sehingga harus ditarik secara terpisah. “Zakat itu urusan manusia dengan Tuhan,” ujarnya. Pada prinsipnya, penulis setuju dengan pendapat Direktorat Jenderal Pajak, yakni zakat menjadi pengurang penghasilan bruto orang pribadi dan badan usaha, bukan pengurang pajak. Alasan pertama, yang menjadi basis perhitungan zakat adalah penghasilan, bukan setoran pajak. Jadi, pembayaran zakat dihitung dari besarnya penghasilan bruto. Sementara itu, sisanya adalah pajak penghasilan bagi orang pribadi di atas 110 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan PTKP (pendapatan tidak kena pajak) dan PKP (pengusaha kena pajak) untuk badan usaha. Prinsipnya, zakat merupakan bagian dari penghasilan bruto (deductible items), bukan pembayaran pajak (tax credit). Kedua, pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang setoran pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Ditambah lagi, apabila diterapkan, tax credit bisa menimbulkan restitusi, yang proses administrasinya cukup rumit dan rawan. Dari struktur APBN alokasi dana bantuan sosial, yakni PNPM, BOS. raskin, subsidi, PKR jamkesmas, dan lain-lain yang sebagian besar untuk umat, pada tiga tahun terakhir sudah mencapai Rp 80 triliun-Rp 90 triliun. Dana tersebut berasal dari penarikan pajak penghasilan orang pribadi maupun badan usaha. Meskipun belum memadai, apabila dikelola dengan benar jumlah itu bisa mengentaskan kemiskinan dan menjadi jaminan sosial bagi rumah tangga sasaran. UU Zakat Perlu Disempurnakan Di samping menegaskan lagi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto seperti amanah UU PPh dan UU Zakat, pengelolaan zakat, khususnya RUU Zakat, perlu menegaskan beberapa hal penting. Alasannya, pertama, UU No 17/2000 dan UU No 38/ 1999 belum konsisten dalam menampung seluruh aspek zakat. Dalam UU No 17/2000, dinyatakan yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan. Padahal, pada saat yang sama, UU No 38/1999 menyebutkan bahwa zakat (tanpa embel-embel atas penghasilan) bisa dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Selain itu, sangat jelas, yang dimaksud zakat dalam UU No 38/ 1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama. Antara lain, emas, perak, dan uang. Perdagangan dan perusahaan juga wajib dizakati. Begitu pula hasil pertanian, perkebunan, pertambangan, dan peternakan. 111 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Untuk pendapatan, jasa, serta rikaz. juga wajib dikeluarkan zakat. Kedua, UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki. Dikatakan dalam UU No 3 8/1999. pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat, tapi juga muzaki yang tidak melaksanakan kewajiban. Pemerintah juga perlu tetap mengukuhkan dan mengawasi LAZ yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Tujuannya, pengelolaan dana zakat bisa lebih profesional. Penulis pribadi tetap yakin atas potensi zakat yang cukup besar jika digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dan sumber harta yang disisihkan serta penerapan sanksi yang memadai. Ditambah dengan profesionalitas BAZ dan LAZ, potensi penerimaan zakat kita akan bisa membantu mengentaskan kemiskinan. Penulis juga yakin bahwa penerimaan pajak bisa ikut naik karena pada saat yang bersamaan dihitung dengan zakat. Dengan begitu, dua hal itu bakal memiliki sasaran ruhiyah, akhlak, dan insaniyah (kemanusiaan) sekaligus. Pernah dimuat di Jawapos, 14 september 2010 *** 112 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Pajak untuk mendorong perfilman nasional “Diberlakukannya kebijakan baru mengenai insentif bea masuk import film mulai menuai banyak protes dari para importir. Mereka merasa dirugikan karena dengan diberlakukannya kebijakan tersebut biaya yang mereka keluarkan akan semakin meningkat. Namun, apakah benar kebijakan tersebut merugikan para importir? Dalam tulisan ini, penulis akan membedah lebih dalam mengenai kebijakan tersebut dan dampaknya baik bagi para importir dan pelaku industri perfilman lokal.” P ada awal tahun 2010, penulis ingat di gedung BKFDepartemen Keuangan, insan perfilman nasional termasuk di dalamnya aktor ternama Deddy Mizwar datang dan membicarakan mengenai kebijakan fiskal, khususnya beban pajak perfilman. Kebijakan fiskal yang diimplimentasikan oleh pemerintah dalam praktik pemungutan pajak dan bea masuk pada saat itu dinilai tidak mendukung pertumbuhan sektor perfilman di Tanah Air. Sesungguhnya waktu itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sudah mendisain kebijakan fiskal dan sistem 113 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal pemungutan perpajakan guna mendukung tumbuhnya perfilman nasional. Kebijakan itu meliputi insentif bea masuk impor bahan baku dan modal pembuatan film dengan tarif bebas, mengenakan bea masuk untuk produk film impor agar kompetitif, dan memperbaiki penetapan nilai pabean yang adil bagi importir film maupun produsen dalam negeri. Entah mengapa begitu berhati-hatinya pemerintah mengeluarkan ketentuan kebijakan dan ketentuan administratifnya, menyebabkan prosesnya berlarut-larut. Pemerintah sendiri sering terbagi-bagi dalam mengambil putusan. Kementerian kebudayaan dan pariwisata yang seharusnya berperan sebagai leading sector kurang memainkan perannya. Kementerian Perindustrian membela kepentingan industri nasional penghasil peralatan film sehingga lebih bersikap inward looking, sedangkan kementerian keuangan bergerak jika ada ketentuannya dan lebih bersikap menunggu. Pada awal 2011, kebijakan-kebijakan insentif bea masuk (BM) tersebut telah keluar dalam bentuk harmonisasi tarif bea masuk dengan menurunkan BM peralatan produksi film dan menetapkan tarif BM impor film 10%. Ketentuan mengenai penetapan nilai kepabeanan masih dalam proses finalisasi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pada tanggal 3 Januari 2011, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No. 3 yang menegaskan agar importir film membayar pajak secara benar dan wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (UU pajak dan UU Kepabeanan). Meskpun bersifat normatif, SE itu mengandung indikasi bahwa terjadi ketidakbenaran atau ketidakwajaran dalam pembayaran pajak dari para importir film. 114 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Importir dirugikan? Kemudian kita dikejutkan adanya berita melalui TV, Radio, Koran, dan di Twitter bahwa Hollywood akan menghentikan pengiriman film ke Indonesia dengan alasan ada peraturan atau regulasi baru yang menyebabkan mereka akan dikenakan pajak yang tinggi dan membuat impor film menjadi tidak kompetitif. Benarkah hal itu? Sekali lagi penulis masih ingat dan ada kajiannya yang menunjukkan bahwa beban pajak untuk pembuatan 1 judul film nasional jauh lebih besar dibandingkan dengan untuk pengimporan satu judul film asing (film impor). Mengutip kata-kata aktor Deddy Mizwar baru-baru ini, film nasional dengan anggaran Rp5 miliar, beban pajaknya mencapai Rp500 juta, sekitar 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pajak (BM + PPN) yang dibayar untuk impor satu judul film sebanyak 25 kopi (hanya + Rp50 juta). Perthitungan tersebut kurang lebih seperti yang ada dalam kajian waktu itu di BKF. Sementara itu, membandingkan besaran pajak impor film dan produksi film tidaklah sulit. Pajak untuk mengimpor film dilakukan dengan cara dua cara. Pertama, beli putus (membayar US$100,000 atau lebih untuk memperoleh hak edar), dan kedua, bagi hasil (membayar sebagian hasil edar ke pemilik film di luar negeri). Beban pajak (BM 10% dan PPN 10%) untuk film impor hanya dikenakan atas impor copy film, yaitu 21% dari nilai pabean (NP). Sementara itu, beban pajak untuk memproduksi film nasional dibagi menjadi beberapa kewajiban pajak. Pertama, bea masuk dan PPN atas pengimporan bahan baku dan peralatan produksi film. Kedua, PPN atas semua material dan jasa yang digunakan proses produksi seperti PPN material 115 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dan PPN atas penggunaan jasa teknik film nasional (termasuk penyewaan alat, studio/ lokasi shooting, editing dan color grading, rekaman suara serta processing dan penggandaan film, dll). Ketiga, PPh atas artis, crew teknis dan karyawan film (karena umumnya mereka ingin terima bersih, PPh menjadi beban yang harus ditanggung oleh produser film). Keempat, pajak-pajak lain yang dipungut selama kegiatan shooting. Dengan melihat perhitungan kasar berdasarkan kondisi itu, jelas beban pajak atas film impor lebih murah dibandingkan dengan pajak atas film produksi nasional. Bisa dimengerti alasan film nasional memble dan tidak pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kebijakan Pajak Yang Adil “Dengan melihat perhitungan kasar berdasarkan kondisi itu, jelas beban pajak atas film impor lebih murah dibandingkan dengan pajak atas film produksi nasional. Perlakuan/kebijakan pajak yang kurang adil tersebut mengakibatkan munculnya persaingan yang tidak sehat antara film nasional dan film impor yang pada akhirnya menyebabkan perkembangan film nasional tidak optimal. Film nasional sangat berfluktuasi, beberapa kali mati suri, kurang feasible, kualitas kurang baik, dan jumlah produksinya rendah. Hal-hal tersebut menyebabkan investasi bidang usaha perfilman nasional menjadi kurang menarik. Untuk menciptakan rasa keadilan sekaligus untuk mengamankan perfilman nasional, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai hal, Pertama, dasar nilai pabean yang wajar. Pertimbangan kedua adalah harmonized system, sehingga tarif BM untuk 116 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan bahan dan peralatan film nasional yang belum diproduksi di dalam negeri bebas bea dan film impor dikenakan bea masuk untuk sementara. Pertimbangan ketiga, PPN untuk kegiatan produksi film (termasuk untuk pengimporan bahan baku dan peralatan produksi film) harus diharmonisasikan dengan pajak tontonan di daerah, mengingat PPN yang dibayar itu tidak dapat dikreditkan karena pada saat pemutaran film di bioskop tidak dikenakan PPN. Keempat, PPh atas royalti sebesar 15% yang dipungut ketika film nasional dibeli TV atau perusahaan rekaman video. Kebijakan ini dapat juga diberlakukan untuk film impor supaya setara dengan film lokal. Untuk meningkatkan efektivitas program pemerintah dalam mendukung peningkatan perfilman nasional dan menilai harga wajar atas film impor maka perlu tindakan pengawasan atau audit kepada para importir film. Kewajaran besarnya pembayaran pajak untuk mengimpor film dan pajak impor film yang lebih besar dari pada untuk film nasional, akan berguna untuk memberikan rasa keadilan, menciptakan persaingan yang sehat, mengendalikan jumlah judul film asing yang diimpor, dan menciptakan peluang lebih besar pemutaran film nasional di bioskop. Beban pajak yang tinggi ketika mengimpor film akan membuat modal untuk mengimpor naik, risiko rugi meningkat, gairah mengimpor film menurun, sehingga yang diimpor hanya film-film yang diprediksi sangat sukses dalam peredarannya di lndonesia. Kondisi ini akan menyebabkan jumlah film impor akan turun. Pemerintah juga berupaya menjaga kesinambungan perkembangan perfilman nasional yang berkualitas dan yang lebih berguna bagi bangsa dan negara. Kebijakan fiskal dan perpajakan perfiman adalah suatu alat untuk mencapai tujuan, yakni tumbuhnya perfilman nasional. Perfilman 117 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal nasional membutuhkan film impor karena di dibutuhkan oleh konsumen dan sebagai pembanding bagi film produksi nasional. Di sisi lain, kebijakan perpajakan juga harus adil dan tidak boleh diskriminatif, termasuk kepada film impor. Memberikan insentif pada produsen film adalah wajar mengingat sektor perfilman Indonesia sedang terpuruk. Produsen nasional sebaiknya juga tidak manja dan meminta proteksi berlebihlebihan. Namun demikian, apabila importir film asing melakukan aksi boikot terhadap importasi film asing, maka saatnya RI bersatu membangkitkan rasa nasionalisme film nasional dan jangan menyerah kepada asing. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 23 Februari 2011 *** 118 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan APBN, Pajak, dan Utang Pengantar : “Defisit pembiayaan APBN selalu menjadi isu sensitif di kalangan pemerintahan, termasuk dalam arti luas anggota DPR. Masyarakat pun mengikuti perkembangan defisit anggaran kita, khususnya kalangan mahasiswa, pebisnis dan para pelaku ekonomi. Ketidakmampuan membayar defisit anggaran ini yang memicu kolapsnya pemerintahan di negara-negara lain. Sumber pembiayaan defisit bisa melalui dua hal, yaitu menaikan pendapatan dalam negeri secara paksa, misalkan melalui kenaikan pajak, atau cara yang lebih instan, melalui pinjaman utang. Pinjaman atau utang ini juga merupakan hal sensitif, dimana banyak kalangan yang tidak menyukainya dan termasuk trauma utang pada krisis 1998. Perlu diberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa pinjaman merupakan cara yang lebih baik dalam jangka pendek untuk membiayai anggaran defisit dengan tujuan ekspansi pertumbuhan ekonomi dalam negeri sehingga pajak pun akan meningkat tanpa perlu menaikan pajak itu sendiri yang akan membebankan masyarakat dan malah membuat perekonomian mandeg.” 119 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal S etiap tahunnya, banyak kalangan pelaku ekonomi memperbincangkan masalah APBN, Pajak dan Utang. Pemerintah telah menyiapkan dan menyampaikan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2011 dengan rasio pajak 12% dari PDB dan defisit 1,6% dari PDB, dan defisit tersebut dibiayai dengan utang. Seperti yang kita dengar di berita, sebagian besar fraksi-fraksi di DPR menolak. DPR menghendaki penurunan defisit anggaran, dengan cara menaikkan penerimaan pajak dan bukan dari utang. Menurut Penulis, pendapat itu sangat wajar apalagi saat ini kita semua dihantui dengan krisis fiskal dan utang yang melanda Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya. Negara-negara eropa tersebut kemudian mengalami krisis, karena rasio utang terhadap PDB mereka sudah diatas 100% dan terlalu banyak belanja-belanja yang berlebihlebihan dan bersifat mengikat. Resep bailout fiscal oleh IMF dan ECB (Bank Sentral Eropa) belum dianggap kredibel di mata pelaku ekonomi karena membutuhkan dukungan penuh dari AS dan Eropa sebagai pemegang saham terbesar dari kedua lembaga tersebut. Program reformasi besarbesaran di bidang fiskal juga harus dilakukan. Banyak yang menyangsikan resep ini akan jalan mulus. Pertama, perlu pengorbanan negara pemegang saham IMF dan ECB, diantaranya AS dan Uni Eropa, dan kedua, reformasi fiskal selalu berujung pada penghematan besar-besaran belanja yang sulit diterima oleh rakyatnya. Kedua hal tersebut yang mengakibatkan krisis Yunani dan sebagai akibatnya akan terus menjadikan sumber ketidak-pastian bagi pemulihan dunia. Jerman, misalnya, sangat enggan untuk berkorban karena mereka sendiri menghadapi masalah fiskal di dalam negeri. Persetujuan AS untuk bailout IMF juga mendapat 120 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan peringatan keras dari kongresnya. Dana investasi portofolio juga akan tersedot untuk upaya membiayai defsiti di eropa sehingga akan menggerus arus dana ke negara berkembang (emerging market). Kebijakan Fiskal Pruden Indonesia memiliki kondisi fiskal yang bagus dan pruden. Rasio defisit APBN dan utang dalam kondisi yang aman. Penerimaan Pajak terus dipacu dengan menaikkan tax base dan kepatuhan pajak. Risiko fiskal di paparkan dan disediakan anggaran apabila meleset dari perkiraan. Alokasi subsidi harga dibatasi dan mulai diarahkan subsidi secara tepat. Pembiayaan infrastruktur langsung maupun melalui swasta dengan penjaminan dirancang secara baik dan agresif untuk mendorong iklim investasi. Tersedia pembiayaan kontingensi dari lembaga donor yang setiap waktu dapat dimanfaatkan jika terjadi krisis keuangan. Imbal hasil obligasi negara semakin turun, biaya dan risiko peminjaman yang juga menurun. Tersedia instrumen alternatif bagi pemodal kecil dan menengah yang dapat dipercaya. Desentralisasi fiskal tetap dijaga dalam kerangka negara kesatuan dengan tujuan mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Programprogram kemiskinan dirancang dengan sasaran menurunkan jumlah rumah tangga miskin dibawah 10%. Secara umum, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaan fiskal kita. Nominal utang kita memang naik, dan rasio pajak kita masih rendah. Naiknya nominal utang kita karena kebutuhan ekspansi anggaran untuk mendorong sektor riil pada saat mandeg. Jika penerimaan pajak nantinya bisa menutup defisit, maka penarikan utang akan turun, 121 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dan semata-mata ditujukan untuk refinancing saja sesuai kebutuhan. Penerimaan Pajak kita saat ini memang belum memenuhi harapan. Meskipun Penulis yakin ini bukan sesuatu hal yang dirisaukan. Mengapa? Dalam dua tahun ini terakhir ini tarif pajak PPh kita baru saja turun 5%, dan saat yang bersamaan banyak insentif pajak kepada sektor riil yang diberikan yang tentu menggerus laju penerimaan pajak dalam jangka pendek. Penulis percaya “Penulis percaya pertumbuhan penerimaan pertumbuhan pajak kita dalam lima tahun penerimaan pajak mendatang akan dapat kita dalam lima tahun mencapai 15%, yang berarti mendatang akan 1,5 kali pertumbuhan PDB dapat mencapai 15%, nominal kita. Bahkan Penulis yang berarti 1,5 kali yakin bisa mencapai 20% pertumbuhan PDB dengan kebijakan terobosan nominal kita. Bahkan seperti pengampunan pajak. Penulis yakin bisa Tax ratio bisa mencapai mencapai 20% dengan 13%, dan apabila ditambah kebijakan terobosan dengan pajak daerah, maka seperti pengampunan tax ratio kita secara nasional pajak” bisa mencapai 15%. Jika dihitung dengan pajak atas sumber daya alam, maka tax ratio kita sudah sejajar dengan negara berkembang lainnya. Kuncinya adalah apabila kita sabar dan konsisten dengan reformasi perpajakan, termasuk memberdayakan SDM yang tangguh mulai dari pimpinan. Pak Anwar Supriyadi, Ketua Pengawas Perpajakan pernah mensinyalir bahwa masalah di DJP adalah kurangnya jiwa kepemimpinan yang tegas, jujur, dan konsisten di jajaran 122 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan pimpinan di DJP pusat dan Kanwil. Namun demikian Penulis cukup yakin DJP memiliki kader-kader pemimpin masa depan yang visioner, jujur dan berdedikasi. Sumber Pembiayaan Masalah utang dan pajak adalah dua sumber pembiayaan anggaran yang saling melengkapi. Dua-duanya dibutuhkan. Penarikan pajak yang tinggi dan eksesif akan mengurangi kemampuan wajib pajak untuk melakukan investasi. Dan kemampuan Wajib Pajak untuk membayar kewajiban pajak akan tergantung pada kondisi perekonomian, pendapatan riil masyarakat dan dunia usaha serta upaya-upaya internal DJP untuk menjaring uang pajak. Sementara dalam keadaan krisis dan kelesuan sektor riil, dimana dana pajak masih kurang, penarikan utang adalah alternatif pembiayaan APBN. Namun penarikan utang yang terlalu besar akan mendorong kenaikan biaya bunga dan beban utang di masa mendapatang. Disinilah letak dari kebijakan fiskal dengan strategi untuk menyeimbangkan antara pendanaan dari pajak sebagai sumber utama dan utang apabila dibutuhkan. Keinginan DPR untuk memperbesar penerimaan pajak, apalagi tax ratio pusat 15%, dan mengurangi penarikan utang, sulit dipenuhi sekarang. Tujuan itu akan tercapai dalam jangka menengah. Namun demikian upaya tersebut harus tetap dikawal, termasuk disisi belanja. Keinginan DPR untuk menambah belanja melalui transfer ke daerah melalui dana aspirasi daerah adalah langkah yang tidak salah. Hanya saja harus tetap dicari formula yang transparan, efisien dan bertahap jumlahnya serta jelas penggunaannya. Penulis sungguh sangat menghormati dan mengerti permintaan DPR 123 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal untuk menaikkan penerimaan pajak dan mengurangi utang, serta alokasi dana aspirasi tersebut. Biarlah isu-isu seputar kebijakan fiskal ini menjadi wacana dan perdebatan publik terlebih dahulu yang sehat dan konstruktif. *** 124 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Tidak Perlu Renegosiasi ACFTA “Keuntungan dan kerugian adanya suatu perjanjian perdagangan, misalnya ACFTA tidak bisa hanya diukur dari kinerja perdagangan bilateral atau regional tetapi hasil lain dari manfaat multilateral dan dampaknya pada produksi industri. Meskipun perdagangan Indonesia dengan China defisit namun terjadi surplus dengan kawasan yang lain. Sayangnya Indonesia belum dapat memanfaatkan jaringan produksi (production network) mesin, asembling, dan eletronik di kawasan Asia. Mengenai desakan renegosiasi ACFTA, penulis berpendapat tidak layak dilakukan dan sebaiknya dilakukan pembicaraan khusus dengan China apabila terjadi ketidakseimbagan perdagangan.” P erjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dimulai efektif tahun 2005 dan pada 2010 adalah awal dimulainya perdagangan bebas ASEAN-China dengan penetapan tarif bea masuk (BM) 0%. Pada waktu itu, kalangan pengusaha yang mengalami dampak perdagangan bebas tersebut mulai meminta penundaan pelaksanaan penetapan tarif BM 0%. Alasannya adalah pengusaha baru saja pulih dari krisis 2008/2009 dan 125 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal terjadinya lonjakan impor barang-barang dari China sampai ke tingkat retail. Atas dasar tersebut, kami dan beberapa perwakilan kementrian terkait (khususnya industri dan perdagangan) membahas keluhan pengusaha tersebut dan terindektifikasi beberapa sektor yang mengalami defisit perdagangan dengan China. Namun demikian, keluhan tersebut belum dapat diteruskan ke meja perundingan dengan ASEAN dan China alasannya, pertama, harus mengikutsertakan negara ASEAN yang lain, dan kedua, menurut hasil analisis, belum adalah injuri dan dampak negatif langsung terhadap produksi dalam negeri. Awal tahun 2011 desakan agar pemerintah menegosiasi ulang terkait perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China kembali menguat. Tak hanya dari kalangan industri, desakan juga datang dari lembaga swadaya masyarakat. Indonesia seharusnya meminta berhenti untuk sementara dari kesepakatan ACFTA sampai industri nasional siap. Pemerintah menjawab permintaan tersebut secara normatif terhadap desakan renegosiasi ACFTA. Menko Perekonomian Hatta Rajasa hanya mengatakan Indonesia akan berupaya menjaga neraca perdagangannya dengan China agar tidak terjadi defisit dan industri domestik tetap terjaga akibat perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Faktanya hingga tahun 2010 Indonesia masih mengalami defisit 5,7 milyar dolar AS dengan China. “Kita tidak ingin defisit kita melebar, kita tetap meminta komitmen China untuk menjaga neraca perdagangan dan jangan sampai terjadi pukulan bagi industri kita,” kata Menko Perekonomian. 126 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan Jika terjadi defisit neraca perdagangan yang terlalu dalam dengan China dan merugikan industri domestik, maka Menteri Perdagangan kedua negara akan berunding sampai tidak ada yang merasa dirugikan. “Kita semangatnya adalah balance of trade (keseimbangan perdagangan), kalau ada terjadi defisit pada kita, kita berunding dan akan bicara komitmen antar Menteri Perdagangan,” kata Hatta. Renegosiasi Sulit dan Mahal Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan perundingan ulang (renegosiasi) kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) membutuhkan kompensasi yang besar dan harus melibatkan negara anggota ASEAN lainnya, sehingga pemerintah memilih opsi pembicaran khusus dengan China. Meskipun demikian diakui sejumlah 228 pos tarif produk Indonesia jika tidak di renegosiasi dikhawatirkan akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan produk China. “Namun akhirnya, opsi yang dipilih adalah melakukan pembicaraan khusus dengan pemerintah China, karena renegosiasi, selain biayanya mahal karena Indonesia harus memberikan kompensasi yang besar, opsi itu juga sulit dilakukan karena harus melibatkan negara ASEAN lainnya,” kata Mendag. Jika pemerintah tetap memilih opsi renegosiasi, maka perundingan ulang itu harus dilakukan sesuai dengan pasalpasal dalam dokumen ACFTA. Sesuai dengan Article 6 ACFTA, sebagai konsekuensi perundingan ulang itu, Indonesia harus meningkatkan nilai kompensasi mendekati nilai modifikasi. Nilai 228 pos tarif yang rencananya direnegosiasi sebesar 127 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 1,2 miliar dolar AS, bandingkan dengan nilai 105 pos tarif yang hanya 43 juta. Di samping itu, opsi renegosiasi mengharuskan Indonesia untuk lebih dahulu melakukan notifikasi kepada semua “parties with supplying interest” dalam hal itu seluruh ASEAN dan China). Hal tersebut dapat menyebabkan negara ASEAN lain dapat ikut meminta kompensasi dari Indonesia. Jangka waktu penyelesaian juga menjadi lebih lama karena karena harus melihat setiap pos tarif yang diminta. Selain itu, opsi renegosiasi dapat mengganggu citra Indonesia di berbagai forum internasional, karena menunjukkan ketidakpastian kebijakan yang akan berdampak ke sektor lain, seperti investasi. Menteri Perdagangan Indonesia pernah melakukan pembicaraan bilateral dengan mendag China Chen Deming membicarakan masalah AFCTA di Yogyakarta awal tahun yang lalu. Hasilnya memang ada, yakni tujuh kesepakatan umum, namun tidak spesifik mengenai langkah renegosiasi, yang terkait dengan ACFTA, yakni pertama, sepakat untuk melaksanakan ACFTA yang diimplementasikan secara menyeluruh dan saling menguntungkan; kedua, apabila terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan, maka pihak yang surplus wajib melaksanakan langkah-langkah untuk meningkatkan impor dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada mitranya;keempat, dibentuk kelompok kerja selambat-lambatnya dalam waktu 2 bulan yang akan melakukan analisis data dan informasi perdagangan dua arah dan merekomendasikan langkah-langkah yang diperlukan, dengan prioritas diberikan kepada sektor-sektor yang akan ditentukan kemudian, utamanya besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, serta sepatu (catatan: tarif lines dari besi dan 128 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan baja, tekstil dan produk tekstil serta sepatu mencakup hampir 80% dari 228 tarif lines yang menjadi keprihatinan sektorsektor di Indonesia); Konteks Multilateral dan Pendekatan Bilateral China mengalami suprlus perdagangan dengan AS sebesar 150 milyar dan dengan EU sebesar 100 milyar dolar AS tahun 2009. Namun pada saat yang sama, China mengalami defisit neraca perdagangan dengan Taiwan, Korea, Jepang dan ASEAN total sebesar 185 milyar dolar AS. Jadi dalam melihat adanya ketidakseimbangan harus dianalisis terhadap neraca perdagangan secara multilateral. Jadi sebaiknya Indonesia juga tidak memusatkan perhatian hanya dengan China karena meskipun Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China, namun surplus dengan negara lain. Jadi meskipun dengan China kita mengalami defisit sebesar 5,7 milyar dolar AS, namun total neraca perdagangan non-migas Indonesia 2010 mengalami surplus sebesar 21,5 milyar. Indonesia mempunyai suprlus perdagangan yang meningkat dengan ASEAN, India, AS, EU, Jepang dan lain-lain. Dengan ACFTA Indonesia juga telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan industri (production network) dengan China. Investasi masuk dari China juga terus meningkat dan diikuti dengan bantuan teknis. Hubungan bisnis antara pengusaha Indonesia dengan China terus meningkat. Profesor ekonomi terkenal Prema-chandra (2011) dari Australian National University (ANU)-Canberra mensinyalir kelemahan Indonesia dalam skema perdagangan bebas ACFTA karena ketidakmampuan Indonesia untuk menerobos dalam production network khususnya dalam sektor mesin, 129 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal komponen dan elektronik serta produk tekonologi informasi. Dan bukan terjadi karena keterlibatan Indonesia dalam AFCTA. Dalam obervasi saya, masalah yang dihadapi Indonesia dapat timbul dalam AFCTA adalah sebagai berikut; pertama, terjadi lonjakan impor dari China yang membuat industri dalam negeri terpuruk, dan kedua, terjadinya kecurangan oleh pihak China seperti yang selama ini disinyalir oleh AS dan EU misalnya dalam soal intelectual property right (IPR), subsidi dan proteksi kepada produk China, diskriminasi dalam tender proyek …… sebaiknya pemerintah dan lain-lainnya. Indonesia tidak Masalah ketidakmampuan memusatkan perhatian Indonesia terlibat dalam hanya dengan China jaringan produksi China dan dunia adalah masalah karena meskipun internal Indonesia sehingga Indonesia mengalami sulit untuk menjadi alasan defisit perdagangan renegosiasi. dengan China, namun Saat ini menurut saya surplus dengan negara lain. tidak perlu dilakukan renegosiasi baik di ACFTA karena kurang bermanfaat dan biayanya mahal sekali. Saya mendukung upaya pembicaraan bilateral khusus dengan pihak China yang menguntungkan kedua pihak sesuai kesepakatan. Jika terjadi injuri dan kecurangan (unfair trade) maka sudah ada intrumen seperti bea masuk anti dumping, imbalan dan lain-lain serta saluran untuk menyelesaikan masalahnya melalui ACFTA bahkan sampai ke WTO (Word Trade Oragnization). Awal tahun 2010 saya pernah mendisain model penditeksian dini impor yang menghubungkan lonjakan impor dan produksi dalam negeri. Model itu oleh pemerintah 130 Bagian III – Dukungan Sektor Riil dan Perpajakan dapat dimanfaatkan sebagai basis untuk membicaraan khusus dengan pihak China jika ada bukti merugikan Indonesia. Namun sebaiknya Indonesia tidak hanya melihat persoalan perdagangan dari sisi bilateral dengan China, tetapi secara multilateral dan dampak pada sektor industri dalam negeri. Jika dengan langkah-langlah itupun kita masih tidak mampu bersaing, maka hal itu merupakan kelalaian dan PR dari usahawan dan pemerintah untuk meningkatkan daya saing kita. *** 131 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 132 Bagian IV Anggaran dan Pemberantasan Korupsi 133 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 134 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi RAPBN yang Realistis Pengantar : “Di tengah skeptisme masyarakat Indonesia dan publikasi pengamat yang meragukan RAPBN 2004 pada saat itu (pertengahan-akhir tahun 2003), sesungguhnya asumsi-asumsi yang dipakai dalam RAPN tersebut adalah logis dan realistis. Walaupun memang, beberapa menyatakan skeptis, tapi mungkin lebih tepat disebut konservatif. Di tengah tekanan untuk membuat suatu terobosan dalam perekonomian Indonesia, khususnya APBN yang mana merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk mensejahterakan rakyatnya, APBN 2004 tidak bisa di-setting untuk menjadi radikal. Asumsi-asumsi logis harus tetap menjadi pegangan, dan yang menentukan berikutnya adalah apakah akan menjadi lebih ekspansif, atau konservatif. Perlu diingat pada tahun 2004 akan diadakan Pemilu serentak yang tidak sedikit menyedot anggaran negara dan adanya faktor ketidakpastian yang tinggi. Hal ini perlu dijadikan catatan dalam membuat APBN yang logis, rasional, realistis dan dapat dipercaya.” 135 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal M araknya isu soal RAPBN 2004 adalah bukti betapa banyak harapan pada pemulihan ekonomi yang ditumpukan pada RAPBN 2004. Para pengamat dan pelaku ekonomi, serta anggota legislatif menghendaki agar RAPBN lebih realistis, tidak terlalu konservatif, serta berperan cukup signifikan dalam mendorong pemulihan ekonomi. Sesungguhnya, Pemerintah berkeinginan mengusulkan RAPBN yang bisa mendorong pemulihan ekonomi dan menstimulir kegiatan usaha. Alasannya adalah karena beberapa hal. Pertama, asumsi makro yang menjadi dasar perhitungan RAPBN 2004 memberi peluang yang lebih besar bagi inflasi rendah dan pulihnya fungsi intermediasi bank. Kedua, kenaikan penerimaan pajak yang tidak berasal dari kenaikan tarif pajak tidak akan membebani pelaku ekonomi. Ketiga, subsidi BBM dan Non-BBM (listrik, pangan, pupuk, kredit program) masih tetap tersedia dalam jumlah yang hampir sama dengan tahun 2003. Tidak ada kenaikan harga minyak tanah rumah tangga, sedang BBM yang lain masih dalam pengkajian. Kemudian, keempat, pembayaran bunga utang menurun sehingga bisa mengurangi beban RAPBN. Defisit (1,2 persen dari PDB) dan rasio utang dengan PDB diproyeksikan pada batas yang aman (sekitar 60 persen). Kelima, mengandalkan kemampuan dalam negeri untuk membiayai defisit anggaran dan bukan diutamakan dari sumber luar negeri. RAPBN 2004 mulai menampakkan kemandiriannya. Keenam, 50 persen dari belanja RAPBN dialokasikan ke daerah dan program pembangunan yang berdampak langsung kepada masyarakat. 136 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Tantangan Dalam penyusunan RAPBN 2004, pemerintah melihat adanya empat tantangan utama di tahun 2004. Pertama, melaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden langsung secara jujur, lancar, dan aman. Kedua, menyelesaikan kontrak kerja sama dengan IMF tanpa menimbulkan guncangan ekonomi. Ketiga, menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Keempat, meningkatkan daya saing dalam persaingan global yang kian ketat. Keempat faktor itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak. Masing-masing tantangan memiliki resiko positif dan negatif. Untuk itulah berbagai asumsi dan perhitungan dalam RAPBN 2004 terkesan konservatif bahkan pesimistis. Padahal, tidak. Tentunya, asumsi-asumsi tersebut bisa diubah dalam pembahasan dengan DPR sesuai perkembangan mutakhir. Asumsi konservatif, penting untuk mengamankan pelaksanaan APBN apabila ada resiko negatif di kemudian hari, namun asumsi optimisme juga perlu dikemukakan agar ada kepercayaan pelaku. Penting juga bagi eksekutif untuk menetapkan target tinggi agar berupaya secara maksimal. Untuk itulah disusun asumsi makro serealistis mungkin. Di samping melihat perkembangan ke depan, penyusunan RAPBN 2004 didasarkan pada kecenderungan yang ada tahun ini dan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun menunjukkan arah pemulihan secara bertahap meskipun harus disadari perlunya terus mengupayakan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi tingkat pengangguran yang terus meningkat. Tingkat inflasi tinggi yang sebelumnya 137 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal melemahkan daya beli masyarakat, kini telah dapat diturunkan hingga cukup rendah. Posisi cadangan devisa juga terus menunjukkan kondisi yang semakin menguat, bahkan jauh di atas posisi periode sebelum krisis. Nilai tukar rupiah yang sebelumnya terpuruk juga telah mengalami penguatan secara bertahap. Tingkat suku bunga juga terus menunjukkan arah yang semakin menurun sehingga diharapkan dapat menggerakkan kembali kegiatan sektor riil. Asumsi Makro Realistis Pemerintah memproyeksikan perkembangan ekonomi nasional yang positif di tahun 2004. Hal itu tercermin dari asumsi makro yang menjadi dasar penyusunan RAPBN 2004. Pada tahun 2004, perekonomian nasional diperkirakan tumbuh sebesar 4,5 persen, meningkat dari 4 persen tahun 2003. Pada semester I tahun 2003 perekonomian tumbuh dengan 3,6 persen. Proyeksi pertumbuhan 4 persen di tahun 2003 berdasarkan prognosa semester II yang lazimnya tumbuh lebih tinggi dari semester I karena faktor pengeluaran pembangunan mulai kuartal III, kenaikan konsumsi masyarakat kuartal IV dan sedikit kenaikan dari ekspor dan investasi. Proyeksi nilai ekspor 2003 sedikit lebih baik dari yang diperkirakan, yakni rata-rata sekitar 5 miliar dollar AS per bulan. Sementara itu, selama semester I 2003 sudah mulai tampak adanya peningkatan impor bahan baku dan barang modal yang akan dipergunakan untuk mendayagunakan kapasitas produksi industri yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kalau kecenderungan tersebut berlanjut, meskipun ada resiko fiskal di tahun 2004, maka pertumbuhan ekonomi 138 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi 4,5 persen sangat mungkin dicapai. Bahkan dalam pidato presiden tampak jelas adanya keinginan untuk bisa tumbuh lebih tinggi sehingga bisa mengurangi beban pengangguran. Kecenderungan global dan pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan meningkat di tahun 2004. Penetapan laju inflasi sekitar tujuh persen, nilai tukar rupiah rata-rata Rp 8.700 per dollar, dan tingkat suku bunga SBI-3 bulan sekitar 9 persen menunjukkan sikap kehatihatian. Laju inflasi rendah pada tahun ini (sekitar 6 persen) diharapkan akan berlanjut, sehingga suku bunga SBI akan bisa tetap rendah, yakni pada kisaran 9 persen. Meskipun diharapkan bisa lebih rendah dari 9 persen, tetapi suku bunga SBI perlu diberi ruang terhadap resiko fiskal yang harus diperhitungkan dalam tahun 2004 agar aman. Menetapkan asumsi harga minyak mentah merupakan pekerjaan yang paling sulit karena ketidakpastiannya sangat tinggi. Perlu diingat, dengan tingkat produksi minyak Indonesia saat ini berkisar pada tingkat 1,1 juta barrel per hari, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah akan menambah defisit anggaran dari faktor impor untuk BBM dalam negeri. Dengan kata lain, dengan harga minyak yang lebih tinggi, tambahan penerimaan neto APBN pemerintah pusat (penerimaan pajak dan PNBP migas dikurangi dengan dana bagi hasil migas dan subsidi BBM) menurun. Jadi, jangan berharap kenaikan asumsi harga minyak mentah akan memperbaiki kinerja APBN secara keseluruhan. Kecuali ada kebijakan harga BBM yang mengurangi alokasi subsidi BBM, maka penetapan asumsi harga minyak mentah lebih tinggi akan merugikan APBN. 139 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Perpajakan Berdasarkan asumsi-asumsi itu, pendapatan negara dan hibah dalam RAPBN 2004 ditargetkan mencapai Rp 343,9 triliun (17,2 % PDB), dan belanja negara Rp 368,8 triliun (18,4 % PDB). Dengan demikian, defisit anggaran diperkirakan Rp 24,9 triliun (1,2 % PDB). Target defisit itu menurun dari APBN 2003 1,8 persen dari PDB. Pemerintah bisa saja mengusulkan RAPBN 2004 dengan defisit yang lebih rendah dan mendekati nol persen. Namun, karena ada kebutuhan agar RAPBN memberikan stimulasi dari sisi belanja lebih longgar, diusulkan defisit 1,2 persen. Bentuk stimulus fiskal lain juga bisa dilihat dalam RAPBN 2004 adalah dari penetapan asumsi makro dan penetapan target penerimaan perpajakan maupun efisiensi belanja yang moderat dan tidak memberikan beban tambahan kepada pelaku ekonomi. Dalam RAPBN 2004, direncanakan penerimaan dalam negeri Rp 343,2 triliun, dan hibah Rp 0,6 triliun. Dari keseluruhan penerimaan dalam negeri tersebut, sekitar 79 % merupakan penerimaan dari sektor perpajakan, sedangkan 21 % lainnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB dalam RAPBN 2004 meningkat menjadi 13,5 % dari sebelumnya 13,1% dalam APBN 2003. Banyak pengamat dan anggota legislatif menghendaki angka ini lebih tinggi. Kalau diperhatikan, jelas rasio perpajakan nonmigas meningkat cukup besar; 0,6% PDB dibandingkan dengan tahun 2003, sebaliknya rasio perpajakan migas menurun. Secara nominal, penerimaan perpajakan naik Rp 17 triliun atau 0,4% PDB, bersumber dari kenaikan penerimaan 140 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi perpajakan nonmigas Rp 20 triliun, penurunan penerimaan pajak migas 0,2 persen dari PDB (Rp 2,5 triliun) serta penurunan penerimaan bea dan cukai Rp 1 triliun. Penurunan target penerimaan pajak migas terutama karena asumsi harga dan produksi minyak, sedangkan bea masuk karena asumsi kurs serta proyeksi impor. Penurunan penerimaan cukai karena penurunan proyeksi produksi rokok. Untuk mencapai target penerimaan perpajakan, khususnya PPH nonmigas, PPN dan PBB, pemerintah bermaksud melaksanakan serangkaian tindakan. Beberapa di antaranya, pertama, menambah sekitar 250 wajib pajak (WP) patuh. Kedua, meningkatkan upaya penagihan tunggakan. Ketiga, penambahan sekitar 60.000 WP di tahun 2003 dan jumlah yang hampir sama untuk tahun 2004. Keempat, tambahan sekitar 100 WP besar dan mengembangkan kantor WP menengah dan WP kecil. Berbagai pihak mengusulkan adanya penyesuaian tarif perpajakan dan hal ini sudah beberapa saat dalam area kajian tim kebijakan perpajakan. Bukan hanya menyangkut tarif agar setara dengan negara tetangga saja, tim juga mengkaji aspek yang berhubungan dengan penyederhanaan, subyek, obyek, jenis pajak, dan berbagai isu di bidang kebijakan perpajakan untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Usulan mengenai pengampunan perpajakan juga menjadi bahan kajian. Isu ini sangat kompleks dan berdampak luas. Jika akan dilaksanakan berbagai perubahan kebijakan perpajakan tersebut, dapat berdampak pada penerimaan perpajakan sebagian besar belum akan terjadi dalam RAPBN 2004. 141 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Efisiensi belanja negara Di sisi belanja negara, dalam RAPBN 2004 direncanakan dialokasikan sebesar Rp 368,8 triliun (18,4 persen dari PDB). Bagian terbesar (70%) dari alokasi belanja negara dipergunakan untuk belanja daerah (31,2 %), pegawai (20,2%) dan pembangunan (18,5%). Sementara itu, pembayaran bunga utang Rp 68,5 triliun (18,5%) menurun dari Rp 82 triliun tahun 2003 (22,5%). Penurunan beban bunga utang pemerintah terjadi karena kecenderungan penurunan suku bunga SBI, kurs, dan inflasi. Di samping itu, pemerintah telah menurunkan stok utang melalui program pelunasan, pembelian kembali, dan pertukaran obligasi dengan aset. Di samping itu, solusi penyelesaian BLBI telah meringankan kewajiban RAPBN 2004 untuk membayar pokok dan bunga surat utang dalam rangka BLBI. Dalam RAPBN 2004, subsidi direncanakan Rp 23,3 triliun atau turun 8,6 persen dari anggarannya dalam APBN 2003. Kebijakan umum subsidi adalah mengalihkan subsidi harga menjadi subsidi langsung kepada masyarakat kurang mampu serta subsidi bahan dan kebutuhan pokok tertentu. Subsidi tersebut dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 12,7 triliun dan subsidi non-BBM Rp 10,6 triliun. Kenaikan anggaran belanja pegawai direncanakan dipakai untuk memberikan insentif berupa pemberian gaji ke-13 kepada PNS, di samping kenaikan gaji otomatis PNS. Selain itu, ada tambahan uang makan dan lauk pauk untuk anggota TNI dan Polri. Pilihan terhadap pemberian insentif gaji ke13 bagi PNS adalah pilihan terbaik dengan keterbatasan dana yang ada. 142 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Di samping itu, dengan tidak adanya tambahan beban yang signifikan bagi rumah tangga, maka tanpa kenaikan gaji nominal secara riil penghasilan PNS tidak berkurang banyak. Dampak inflasi dan beban kemudian pada belanja untuk pensiun PNS relatif kecil. Pengeluaran pembangunan direncanakan Rp 68,1 triliun, yang 69,8 persen di antaranya untuk pembiayaan rupiah dan 30,2 persen untuk pembiayaan proyek. Alokasi belanja pembangunan naik Rp 3 triliun dari tahun 2003. Tahun 2003, diperkirakan realisasi alokasi pengeluaran pembangunan berada di bawah rencana (Rp 65 triliun), sehingga rencana 2004 sebesar Rp 68 triliun cukup realistis. Pemerintah juga berkehendak agar semakin besar porsi pembiayaan rupiah untuk pembangunan dan mengurangi pembiayaan luar negeri. Bisa saja memperbesar pembiayaan pembangunan dengan menarik jumlah yang lebih besar dari CGI, namun hal tersebut berarti mengurangi cita-cita untuk segera dalam kemandirian pembangunan. Anggaran belanja untuk daerah direncanakan Rp 114,9 triliun, turun sekitar Rp 2 triliun dari APBN 2003 karena menurunnya dana bagi hasil SDA. Hal ini terkait dengan penurunan perhitungan penerimaan PNBP SDA, khususnya migas. Dalam RAPBN 2004 besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang akan ditransfer ke daerah adalah Rp 79,1 triliun atau 25 persen dari total penerimaan dalam negeri bersih. Jumlah ini naik 2,7 persen dari DAU tahun 2003. Asumsi bahwa tidak ada daerah yang mendapat DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya masih berlaku untuk memberikan kelonggaran bagi daerah. 143 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Defisit dan Kemandirian Dengan demikian, dalam tahun 2004, RAPBN direncanakan akan defisit sebesar Rp 24,9 triliun atau 1,2 persen dari PDB. Dalam keadaan normal, defisit anggaran sebesar ini tidak terlalu sulit untuk ditutupi. Tetapi, dalam kondisi tahun 2004, pembiayaan defisit tersebut menjadi kompleks dan berat karena dua hal. Pertama, fasilitas penjadwalan utang melalui Paris Club (saat itu sekitar 3 miliar dollar atau sekitar Rp 27 triliun pembayaran utang yang ditunda), tidak lagi tersedia. Kedua, surat utang negara dalam jumlah yang signifikan jatuh tempo antara tahun 20042009. Dalam tahun 2004, sebesar Rp 19,9 triliun surat utang negara akan jatuh tempo dan harus dilunasi. Perlu kreativitas mengatasinya. Dalam mengatasi pembiayaan dan kebutuhan tambahan pembiayaan, dipergunakan berbagai sumber yang tersedia dengan memikirkan keberlanjutannya. Pemerintah berusaha agar lebih banyak menggunakan sumber yang tersedia di dalam negeri dengan alasan menuju kemandirian. Kemandirian RAPBN 2004 tampak dari sisi sumber pembiayaan. Dari jumlah kebutuhan pembiayaan RAPBN 2004 sekitar Rp 94,2 triliun (berasal dari defisit Rp 24,9 triliun, pokok utang dalam negeri jatuh tempo plus pembayaran kembali Rp 24,5 triliun dan utang luar negeri jatuh tempo Rp 44,8 triliun), akan dibiayai dari sumber dalam negeri Rp 64,3 triliun (berasal dari privatisasi Rp 5 triliun, penjualan aset Rp 5 triliun, penerbitan obligasi domestik Rp 28 triliun dan penarikan rekening pemerintah Rp 26,3 triliun). Sisanya, Rp 29,9 triliun dari penarikan pinjaman luar negeri (pinjaman program Rp 6,5 triliun, pinjaman proyek Rp 19,9 triliun dan obligasi internasional Rp 3,5 triliun). 144 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Perhitungan awal menunjukkan bahwa masalah pembiayaan bagi RAPBN 2004 akan berat, tetapi bukan tidak mungkin diatasi. *** 145 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih Pengantar: “Pada penyusunan RAPBN 2005 pemerintah menggunakan format baru yaitu anggaran belanja terpadu (unified budget) yang merupakan reformasi besar-besaran di bidang anggaran negara dengan tujuan penghematan dan pemberantasan KKN. Sistem ini dirubah karena sistem anggaran yang lama dinilai memiliki banyak kelemahan. Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Kedepan akan diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi masyarakat.” M inggu yang lalu, Pemerintah telah mengusulkan penyusunan RAPBN 2005 dengan menggunakan format baru, yakni anggaran belanja terpadu (unified budget). Ini merupakan reformasi besar-besaran di bidang anggaran negara dengan tujuan agar 146 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi ada penghematan belanja negara dan memberantas KKN. Selama lebih dari 32 tahun, Pemerintah melaksanakan sistem anggaran yang dikenal dengan “dual budgeting,” dimana anggaran belanja negara dipisahkan antara anggaran belanja rutin dan anggaran pembangunan. Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, “Pemisahan anggaran kinerja sulit diukur karena rutin dan anggaran alokasi dana yang ada tidak pembangunan tersebut mencerminkan kondisi yang semula dimaksudkan sesungguhnya. untuk menekankan arti pentingnya Kedua, penggunaan “dual budgeting” mendorong pembangunan, namun dualisme dalam penyusunan dalam pelaksanaannya telah menunjukan daftar perkiraan mata banyak kelemahan.” anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas 147 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan, tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi. T-Account ke I-Account Sebelum tahun 2001, prinsip APBN adalah anggaran berimbang dinamis, dimana jumlah penerimaan negara selalu sama dengan pengeluaran negara, dan jumlahnya diupayakan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2001 hingga sekarang, prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus/defisit. Sejalan dengan itu, format dan struktur APBN berubah dari T-Account menjadi I-Account. Format dan struktur I-account yang berlaku saat ini terdiri atas (i) pendapatan negara dan hibah, (ii) belanja negara, dan (iii) pembiayaan. Pendapatan negara dan hibah menampung seluruh pendapatan negara yang bersumber dari (1) penerimaan perpajakan, (2) penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan (3) hibah. Sedangkan belanja negara menampung seluruh pengeluaran negara, yang terdiri dari (1) belanja pemerintah pusat, yang meliputi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan (2) belanja untuk daerah, yang meliputi dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan penyeimbang/penyesuaian. Selisih antara pendapatan negara dan hibah dengan belanja negara akan berupa surplus/defisit anggaran. Guna menutup defisit anggaran maka diperlukan pembiayaan yang bersumber dari luar pendapatan negara 148 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi dan hibah, yang antara lain bersumber dari (1) pembiayaan dalam negeri, dan (2) pembiayaan luar negeri. Dalam sistem dual budgeting, pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan rutin pemerintahan, yang terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) pembayaran bunga utang, (iv) subsidi, dan (v) pengeluaran rutin lainnya. Sementara itu, pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik berupa sasaran fisik maupun nonfisik. Dalam hal ini, pengeluaran pembangunan terdiri dari (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah, yang pendanaannya bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri dalam bentuk pinjaman program, dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek. Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktik-praktik yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan 149 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya. Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara, telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain : Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/ subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain. Tumpang Tindih Belanja Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, 150 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan, dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget). Beberapa pengertian dasar terhadap komponenkomponen penting dalam belanja tersebut, antara lain; Belanja pegawai menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, vakasi, tunjangan khusus dan belanja pegawai transito, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial). Dalam klasifikasi tersebut termasuk pula belanja gaji/upah proyek yang selama ini diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Dengan format ini, maka akan terlihat pos yang tumpang tindih antara belanja pegawai yang diklasifikasikan sebagai rutin dan pembangunan. Disinilah nantinya efisiensi akan bisa diraih. Demikian juga dengan belanja barang yang seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. Demikian juga sebaliknya sering diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Pos belanja modal dirinci atas (i) belanja modal aset tetap/fisik, dan (ii) belanja modal aset lainnya/non-fisik. Dalam prakteknya selama ini belanja lainnya non-fisik secara mayoritas terdiri 151 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dari belanja pegawai, bunga dan perjalanan yang tidak terkait langsung dengan investasi untuk pembangunan. Subsidi menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membayar beban subsidi atas komoditas vital dan strategis tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam rangka menjaga stabilitas harga agar dapat terjangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat. Subsidi tersebut dialokasikan melalui perusahaan negara dan perusahaan swasta. Sementara itu, selama ini ada jenis subsidi yang sebetulnya tidak ada unsur subsidinya, maka belanja tersebut akan dikelompokkan sebagai bantuan sosial. Bantuan sosial menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan sebagai transfer uang/barang yang diberikan kepada penduduk, guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, misalnya transfer untuk pembayaran dana kompensasi sosial. Sementara itu, belanja untuk daerah menampung seluruh pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah, yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Pemberantasan KKN Kedepan, sejalan dengan amanat UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi masyarakat. Jelas ada keinginan yang kuat dari Pemerintah bahwa mulai tahun depan pengelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan tidak boleh dipergunakan lagi, karena telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. 152 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Sejalan dengan rencana jangka menengah sebagai penunjang penerapan perubahan format baru dan anggaran berbasis kinerja, beberapa langkah penting yang akan ditempuh, yakni pertama penyempurnaan format anggaran, dan kedua, penyelesaian standar akuntansi pemerintah dan penyusunan neraca dan kekayaan negara. Jelas, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya melakukan reformasi yang siginifikan di bidang keuangan negara dalam upaya untuk memberantas KKN, dan dimulai dari rumah tangganya sendiri. Upaya ini akan menjadi kado bagi pemerintah yang akan datang yang sangat berharga untuk menciptakan pemerintah yang bersih dan transparan. Pernah dimuat di Kompas 13 Mei 2004 *** 153 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Bisakah Ekonomi Bebas Korupsi? Pengantar : “Reformasi birokrasi.. Reformasi birokrasi.. Reformasi birokrasi ! Kata itu telah lama menjadi kata kunci yang didengungkan oleh banyak kalangan untuk memulai transformasi perekonomian ke arah yang lebih baik dan tentunya lebih akuntabel, efisien, bebas korupsi dan transparan. Namun masalahnya adalah: reformasi birokrasi seperti apa yang diperlukan oleh Pemerintah? Sistem kah, atau penggantian pejabat publik? Hal ini perlu ditelusur lebih lanjut untuk mengambil langkahlangkah reformasi birokrasi yang tepat dan terukur, serta mendapatkan hasil akhir yang diharapkan: akuntabel, efisien, bebas korupsi dan transparan.” A khir tahun 2010 BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyelenggarakan seminar dengan tema Ekonomi Bebas Korupsi di kampus UGM. Para pembicara adalah mereka yang kompeten dari sisi keilmuan, penegakan hukum, pengamat dan praktisi di bidang korupsi. Ada pembicara dari KPK, ICW, LSM, Pemerintah, swasta, politisi 154 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi dan dari kalangan kampus sendiri. Seperti lazimnya, diskusi berlangsung hangat, penuh dengan kegelisahan, kritik dan secercah harapan agar ekonomi dapat segera dibersihkan dari penyakit korupsi. Pertanyaan mendasar yang dilontarkan adalah “apakah perekonomian dapat bebas dari korupsi tanpa perubahan politik dan hukum?” Jawabannya tidak, perekonomian bebas korupsi tidak bisa terjadi tanpa perubahan sistem, tatanan dan kelembagaan politik dan penegakan hukum yang juga bebas korupsi. Apa artinya? Institusi politik dan hukum harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak ada celah terjadinya money politics jabatan publik dan anggaran, intervensi politik dalam kebijakan ekonomi, kesewenang-wenangan hukum serta politisasi kebijakan ekonomi. Kalau politik dan hukum tidak bersih, niscaya ekonomi pun tidak bisa terhindar dari korupsi sebagai imbasnya. Dalam seminar tersebut diperbicangkan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa KIB I dan 1 tahun KIB II, political will dan upaya-upaya pemberantasannya. Reformasi birokrasi di bicarakan panjang lebar. Sayangnya, para pembicara dalam seminar tersebut sepakat bahwa upaya pemberantasan korupsi melalui institusi KPK hingga reformasi birokrasi di tingkat eksekutif akhir2 ini mengalami kemandekan. Reformasi Birokrasi Kunci Menteri Keuangan beberapa waktu sebelumnya memberikan indikasi terjadinya keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh pemerintah. Aparat keamaanan dan penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksanaan, dan Kementerian Hukum 155 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dan HAM yang seharusnya menuntaskan reformasi birokrasi di tahun 2010 mengalami keterlambatan. Anggaran reformasi birokrasi tahun 2010 masih menganggur. Pemerintah KIB I sudah meluncurkan program reformasi birokrasi, mulai dari bidang keuangan Kemenkeu, BPK, MA, Sekneg, Menko; bidang keamanan dan penengakan hukum meliputi Polri, TNI, Kejaksaan, Kemenhuk, Kemenpan dan bidang lainnya. Pelaksanaannya “Ekonomi bebas korupsi ternyata mengalami harus dimulai dari hambatan kepemimpinan, perubahan mindset khususnya selama KIB II. para pejabat negara Praktis hingga kini, hanya dengan teladan BPK dan Kemenkeu yang kepemimpinannya. sudah memiliki cetak biru Bukan kepemimpinan dan pelaksanaan yang orang ke orang yang jelas mengenai reformasi lebih penting, meskipun birokrasi. Kemenkeu harus diakui bahwa memulai reformasi birokrasi membangun sistem dari penataan organisasi, yang baik harus menyusun penilaian dimpimpin oleh orang. organisasi dengan metoda balanced scorecard (BSC), Pembangun sistem jauh rekrutmen pegawai baru lebih penting siapapun pemimpinnya” (CPNS) secara professional dan transparan, penetapan indikator kinerja utama, mutasi dengan sistem open bid (terbuka) hingga penetapan renumerasi berdasarkan peringkat pekerjaan. Kemenkeu bahkan selalu menyampaikan ke publik hasil evaluasi pihak independen untuk dikritisi dan mendapat masukan serta evaluasi, khususnya terhadap institusi yang bersentuhan dengan publik seperti pajak, bea 156 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi cukai dan penganggaran. Meskipun belum bebas dari korupsi, namun demikian reformasi birokrasi di Kemenkeu sudah mampu membuat sebagian besar pejabat dan karyawan menghindar, bahkan memerangi korupsi di lingkungannya sendiri. Sayangnya, karena kemenkeu melayani instansi lainnya yang belum melakukan reformasi birokrasi, dampak nasionalnya belum signifikan. Apalagi karena reformasi birokrasi belum menyentuh DPR, maka perbaikan proses penganggaran belum menyentuh akar masalahnya. Mulai dari Pejabat Negara Tiga tahun yang lalu, sebenarnya sudah dimulai upaya Reformasi Pejabat Negara yang berujung pada standar renumerasi. Rencananya dimulai secara serentak pada pejabat negara dilingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, reformasi pejabat negara tidak kunjung mendapatkan titik temu dan kandas ditengah jalan. Bisa dibayangkan reformasi pejabat negara sampai di tingkat menteri kabinet saja tidak kunjung tuntas, maka reformasi di kementrian akan terlanda budaya “ewuh pekewuh”. UKP4 sudah memulai dengan penilaian IKU (indikator kinerja utama) tetapi hanya sebatas penilaian pencapaian kuantitatif pada diri menteri atau kementerian. IKU hanyalah sebagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi. Pengaturan hubungan keuangan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, termasuk aparat pengawas di tingkat pusat dan daerah belum diatur secara tegas sehingga sering menimbulkan masalah ‘tata kelola’ dan juga benturan serta ketidakseimbangan hubungan kerja. Penyelewengan perencanaan dan penggunaan anggaran sering terjadi karena hubungan mereka yang terlalu ‘cozy’ dan nyaman, jauh dari fungsi saling mengontrol. 157 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Ekonomi bebas korupsi harus dimulai dari perubahan mindset para pejabat negara dengan teladan kepemimpinannya. Bukan kepemimpinan orang ke orang yang lebih penting, meskipun harus diakui bahwa membangun sistem yang baik harus dimpimpin oleh orang. Pembangun sistem jauh lebih penting siapapun pemimpinnya. Setelah 65 tahun merdeka, masih banyak orang meragukan bahwa ekonomi Indonesia dapat membebaskan dari korupsi. Sekecil apapun, saat ini sudah ada beberapa instansi di pusat dan daerah yang sukses dalam menjalankan reformasi birokrasi dan membebaskan diri dari korupsi. Tidak ada salahnya mencontoh mereka yang telah berhasil merancang dan melaksanakannya. *** 158 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Kerjasama Pembiayaan infrastruktur Pengantar : “Kabinet Indonesia bersatu (KIB) I dan II mempunyai mega proyek untuk membangun infrastruktur yang ada di Indonesia guna meningkatkan percepatan perekonomian yang ada. Banyak hambatan-hambatan yang menghalangi berjalannya mega proyek ini. Namun pemerintah mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan melakukan Public Private Partnerships (PPPs). Dukungan pemerintah diberikan juga melalui pemberian jaminan untuk menutup kekurangan (shortfall) dan pemberian dana pembelian tanah dan risiko harga tanah atau land capping. Namun skema yang lebih sistematis adalah pembentukan PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII) dan membentuk perusahaan pembiayaan infrastruktur yakni PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur). Dengan koordinasi yang baik antara kementrian dan daerah, masalah-masalah yang ada seharusnya bisa diatasi. Dan masalah pembiayaan jangka panjang bukan masalah krusial mengingat instrumen pasar modal dan APBN cukup memadai.” 159 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal K abinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II punya rencana besar membangun mega proyek infrastruktur dikerjasamakan dengan pihak swasta. Mulai dari pembangunan jalan tol Trans Java 1000 km, tol Bandung-Jakarta, trans Sumatera dan trans Kalimantan, jalan rel dobel trek Cirebon-Kroya, tol lingkar luar Jakarta (JORR), Listrik 10 ribu MW, Monorel dan MRT di Jakarta, Bandara Kualanamu Medan, Jembatan Suramadu dan lain-lain. Sampai awal tahun 2011 baru dua proyek yang tuntas, yakni tol Cipularang dan jembatan Suramadu, sementara yang lain masih tertinggal. Beberapa ruas jalan lingkar luar Jakarta dan Trans Java sudah selesai, tetapi masih belum signifikan dan lambat. Wakil Presiden Boediono menginginkan tahun 2010 dan 2011 dapat dilakukan debottlenecking atas hambatan-hambatan bagi pembangunan infrastruktur tersebut. Nyatanya masalah pembebasan tanah, tumpang tindih lahan masih terjadi dalam proyek jalan tol, bandara dan pelabuhan. Masalah sulitnya penyediaan energi primer, khususnya batubara dan gas masih terjadi di proyek listrik. Proyek air minum terganjal dengan tumpukan utang lama bagi sebagian PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan penyesuaian tarif air minum yang merupakan kewenangan Pemda, sulit dipastikan. Yang merupakan masalah bagi semua proyek infrastruktur adalah sulitnya mendapatkan pendanaan jangka panjang dan jaminan keberlanjutan proyek serta adanya penyesuaian tarif yang menarik bagi investor. Dukungan pemerintah melalui APBN, APBD, jaminan bagi kemampuan keuangan BUMN penyelenggaran layanan publik (PSO) seperti PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan KAI (Kereta Api Indonesia), maupun jaminan Pemerintah mengenai pembiayaan dan utang oleh beberapa penyedia dana sangat dibutuhkan. 160 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pola Kerjasama Swasta Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan salah satu kebutuhan yang mendesak dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi. Guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur tersebut, Pemerintah antara lain memberikan penugasan kepada BUMN dan melakukan kerjasama dengan badan usaha atau biasa dikenal dengan Public Private Partnerships (PPPs). Proyek pembangunan “Guna mendukung infrastruktur yang percepatan merupakan penugasan pembangunan Pemerintah kepada BUMN infrastruktur tersebut, antara lain adalah Proyek Percepatan Pembangunan Pemerintah antara lain Pembangkit Tenaga memberikan penugasan kepada BUMN dan Listrik 10.000 MW. Di sini melakukan kerjasama Pemerintah memberikan dengan badan usaha penugasan dan dukungan atau biasa dikenal bagi proyek percepatan dengan Public Private pembangunan pembangkit Partnerships (PPPs).” tenaga listrik yang menggunakan batubara oleh PLN, termasuk pembangunan transmisi terkait. Sedangkan proyek pembangunan infrastruktur dalam kerangka PPPs antara lain adalah Proyek Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa, Proyek Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road II (JORR II), dan Proyek Pembangunan Monorail. Pelaksanaan PPP diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan 161 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Proyek jalan tol Trans Jawa sepanjang kurang lebih 1000 km merupakan prioritas dari seluruh rencana target pembangunan jalan tol sepanjang 1600 km. Proyek ini dimaksudkan sebagai pengembangan jalur utama Pulau Jawa (main trunk) yang menghubungkan wilayah barat dan timur yang merupakan bagian dari program pemerintah untuk mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan, dan meningkatkan mobilitas serta aksesibilitas orang dan barang antar wilayah. Selain pemberian dukungan pemerintah atas beberapa jenis risiko yang mungkin akan terjadi dari pembangunan proyek jalan tol, dalam rangka mempercepat proyek pembangunan jalan tol, Pemerintah juga telah menyiapkan dana bergulir yang dikelola oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) untuk membantu dalam hal pendanaan untuk pembebasan lahan yang akan digunakan bagi pembangunan jalan tol. Proyek lain yang pernah direncanakan mendapat dukungan pemerintah adalah Proyek Pembangunan Monorail. Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk pemberian jaminan untuk menutup kekurangan (shortfall) atas batas minimum penumpang sebesar 160.000 penumpang per hari, dengan nilai maksimal jaminan sebesar US$11,25 juta per tahun selama 5 tahun, terhitung sejak Proyek Monorail Jakarta (green line dan blue line) beroperasi komersial dengan kemampuan angkut sebesar 270.000 penumpang per hari. Sayangnya proyek ini terkatung-katung karena tidak ditangani dengan baik sejak awal dan ternyata proyek ini tidak layak secara keuangan. Padahal beberapa konstruksi bangunan sudah dilaksanakan dan tentu menjadi kerugian pihak kontraktor. 162 Bagian IV – Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Penjaminan Pemerintah, Landcaping dan PII Atas keberanian dari wapres Jusuf Kalla waktu itu, sebetulnya beberapa proyek infrastruktur mulai berjalan karena dukungan Pemerintah. P. JK berkeyakinan bahwa tanpa dukungan Pemerintah proyek tidak akan jalan dan tidak ada investor yang berminat. Sejak itulah didisain dukungan Pemerintah yang nyata. Penulis ikut menyusun desain dukungan tersebut. Kepada penyedia dana proyek listrik, dukungan Pemerintah yang diberikan adalah dalam bentuk pemberian jaminan atas kewajiban pembayaran utang PLN kepada kreditur yang memberikan kredit ekspor, sepanjang ketidakmampuan PLN membayar kewajiban tersebut disebabkan oleh perubahan kebijakan Pemerintah terhadap harga jual listrik, subsidi listrik dalam rangka kompensasi fungsi kemanfaatan umum, pasokan dan harga batubara, serta penghentian atau penundaan pelaksanaan/ pembangunan proyek yang telah berjalan. Sementara untuk proyek tol, dukungan diberikan dalam bentuk dana pembelian tanah dan risiko harga tanah atau land capping atas selisih harga tanah yang ditetapkan pemerintah dengan harga pasar. Proses pembuatan skema dana pembelian tanah dan landcapping tersebut berjalan lama dan melelahkan. Banyak teman-teman di Kementrian Keuangan tidak setuju dengan skema tersebut, dan jika setuju dapat dilakukan dengan skema pinjaman komersial. Dana landcapping didisian untuk multiyears dengan maksud adanya kepastian dan fleksibilitas. Meskipun tidak mulus toh akhirnya skema dukungan pemerintah tersebut jadi juga. Dialokasikan dana pembelian tanah dan landcapping melalui proses APBN dan DPR memberikan dukungan dengan beberapa catatan. 163 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Skema yang lebih sistematis adalah pembentukan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia atau PII. Penulis ikut melahirkan perusahaan ini. PT. PII adalah perusahaan yang dibentuk untuk melakukan penjaminan pemerintah atas proyek dalam skema PPP. PT. PII mendapat suntikan modal yang cukup untuk dapat melakukan penjaminan sehingga mengurangi biaya ketidakpastian proyek tersebut. Disamping itu pemerintah juga membentuk perusahaan pembiayaan infrastruktur yakni PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) untuk kebutuhan dana jangka panjang proyek infrastruktur. Masalah infrastruktur adalah prioritas bagi perekonomian Indonesia. Hambatan-hambatan pembangunan infrastruktur sudah teridentifikasi dan sekarang masalahnya adalah mengatasi dengan langkah kongkrit. Tumpang tindih lahan, ketersediaan energi primer seharusnya dapat diatasi dengan koordinasi yang baik antar kementrian dan dengan daerah. RUU Tanah yang sudah lama dibicarakan harusnya diprioritaskan pemerintah bersama dengan DPR. Masalah pembiayaan jangka panjang bukan masalah krusial mengingat instrumen pasar modal dan APBN cukup memadai. Pernah dimuat di Republika 16/4/2011 *** 164 Bagian V Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang 165 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 166 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Delapan Pertanyaan Kesuksesan Penerbitan Obligasi Global RI Pengantar : “Penerbitan obligasi internasional pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah menyita banyak perhatian di berbagai pihak investor dunia. Berbagai pertanyaan pun muncul seputar peluncuran tersebut, seperti pertanyaan mengenai persoalan apa, mengapa, dan bagaimana duduk soal seputar suksesnya penerbitan obligasi internasional yang akhirnya dilakukan oleh Indonesia. Penulis mencoba menjabarkan secara rinci mengenai penjelasan atas pertanyaan-pertanyan seputar prestasi Indonesia dalam penerbitan obligasi internasional“ P ada 4 Maret 2004, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi internasional dalam denominasi dollar Amerika Serikat sebesar 1 miliar dollar AS berjangka waktu 10 tahun dengan imbal hasil (yield) sebesar 6,85 persen dengan kupon 6,75 persen, jadi pada tingkat harga 99,285 persen. “It could well be that three years from now, we’ll look back and (say) ’when on earth were credit condition such that Indonesia could issue a 167 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal bond’ with a 6.75 percent coupon?” (Tiga tahun mendatang, kita mungkin akan selalu ingat bagaimana Indonesia dengan kondisi perekonomian saat itu dapat menerbitkan obligasi dengan kupon serendah 6.75 persen?), demikian pernyataan kekaguman Stephen Hope, seorang fund manager di Dalton Investment, San Francisco, (Asia Wall Street Journal, 4 Maret 2004). Keputusan Indonesia untuk menerbitkan obligasi 1 miliar dollar AS itu diambil setelah mempertimbangkan tiga hal. Pertama adanya delapan kali kelebihan permintaan (4 miliar dollar AS) dari indikasi jumlah awal, yakni 500 juta dollar AS. Kedua, imbal hasil (yield) yang relatif rendah, antara lain karena rendahnya suku “Tiga tahun mendatang, bunga di AS dan persepsi kita mungkin akan positif investor terhadap selalu ingat bagaimana Indonesia. Ketiga, investor Indonesia dapat berkualitas menginginkan menerbitkan obligasi adanya jumlah yang dengan kupon serendah memadai, minimal 1 miliar 6.75 persen?” dollar AS, untuk menjamin adanya alokasi dan likuiditas di pasar. Banyak pertanyaan mengenai persoalan apa, mengapa, dan bagaimana duduk soal seputar kesuksesan penerbitan obligasi internasional tersebut. Berikut ini beberapa di antaranya. Pertama, untuk apa hasil penerbitan obligasi tersebut. Hasil langsung dari penerbitan obligasi internasional berupa dana masuk. Dana atas penerbitan obligasi tersebut, yakni sekitar 1 miliar dollar AS x Rp 8.600 (asumsi APBN 2004) = Rp 8,6 triliun bruto setelah nantinya dikurangi dengan biaya 168 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang administrasi, dipakai dalam rangka pelaksanaan APBN 2004. Seperti diketahui, APBN 2004 merencanakan penerbitan obligasi dalam dan luar negeri Rp 32,5 triliun untuk menutup kebutuhan pembiayaan. Pada tahun ini pemerintah telah mendapatkan dana penerbitan obligasi dalam negeri pada Februari 2004 sebesar Rp 2,5 triliun dan obligasi internasional yang baru saja diterbitkan, yakni sedikit di bawah Rp 8,6 triliun. Sebagaimana direncanakan, sisanya, yakni Rp 21,4 triliun, akan diperoleh dari penerbitan secara reguler obligasi dalam negeri. Tak ada rencana untuk menerbitkan obligasi internasional lagi pada tahun ini. Di samping manfaat langsung berupa setoran ke APBN, dengan adanya alokasi lebih dari 90 persen dalam bentuk mata uang asing (dollar), maka akan diperoleh pula manfaat terhadap tambahan cadangan devisa dari aliran modal asing masuk kepada negara yang dikelola oleh Bank Indonesia. Pertanyaan kedua mengenai alasan mengapa begitu banyak permintaan para investor pada obligasi Indonesia sehingga terjadi delapan kali kelebihan permintaan. Dari hasil pertemuan penjajakan mengikat (deal roadshow) maupun penjajakan tak mengikat (nondeal roadshow) di beberapa kota, memberikan indikasi bahwa meskipun peringkat Indonesia B2/B/B+ atau empat tingkat di bawah peringkat investment grade (BBB), pandangan ekonomi politik banyak yang mengakui level itu seharusnya bisa satu atau dua tingkat lebih tinggi. Di samping itu, Indonesia merupakan pemain baru setelah lebih kurang delapan tahun hilang dari radar pasar modal dan perekonomian dunia. Faktor ini juga dianggap 169 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menjadi daya tarik sendiri bagi investor yang selalu ingin melakukan diversifikasi portofolio investasinya. Kombinasi antara adanya unsur kelangkaan (sebagai pemain baru) dan prospek ekonomi yang baik serta didukung dengan respons positif dari hasil roadshow dan strategi pemasaran yang baik oleh lead manager, yakni JP Morgan dan Deutsche Bank, merupakan kunci terjadinya kelebihan permintaan. Reputasi kedua, lead manager dengan jaringannya yang luas memungkinkan mereka untuk bisa mengakses dan meyakinkan para calon investor. Faktor pemilihan waktu penerbitan (timing) juga sangat penting, yakni pada waktu suku bunga AS masih rendah dan sebelum kampanye pemilihan umum (pemilu) langsung di Tanah Air dilaksanakan. Pada saat yang sama kebetulan tidak banyak (bahkan tidak ada) negara yang melakukan penerbitan obligasi sehingga tidak terjadi persaingan di pasar. Di samping adanya kelebihan permintaan sampai delapan kali dan jumlah transaksi (account) yang masuk hingga 270, memungkinkan adanya price tension untuk mendorong yield ke bawah hingga tingkat yang sangat ketat 6,85 persen. Beberapa investor sempat hengkang dari pedoman harga tersebut karena kisaran yang wajar adalah 7 persen. Namun, toh sebagian besar investor yang berkualitas tetap dan tidak beranjak dari partisipasinya. Pertanyaan ketiga mengenai alasan diterbitkan obligasi 1 miliar dollar AS dan tidak 500 juta dollar. Semula pemerintah mengusulkan dalam RAPBN 2004 penerbitan obligasi 400 juta dollar AS di pasar internasional. Namun, kemudian diindikasikan naik hingga 500 juta dollar AS sebagai nilai minimum agar tercatat dalam indeks. Awalnya, terus terang 170 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang belum terpikir dan terbayang bahwa pasar internasional menyambut dengan sangat antusias. Peningkatan jumlah penerbitan menjadi 1 miliar dollar AS dilakukan karena beberapa faktor, yakni: a) Kebutuhan likuiditas perdagangan pasar sekunder yang lebih tinggi. Jika alokasi dianggap terlalu kecil, ada dua kemungkinan, investor berkualitas tak akan berpartisipasi dan investor berkualitas yang membeli akan langsung menjual di pasar sekunder, b) Mengurangi persepsi pasar atas kemungkinan pemerintah menerbitkan obligasi internasional lagi tahun ini, c) Langsung masuk ke indeks seperti EMBI di akhir bulan (jadi tidak menunggu tiga bulan setelah penerbitan), d) Karena order yang masuk banyak (delapan kali kelebihan), maka pedoman yield bisa lebih rendah dari penawaran yang diberikan investor, dan e) Adanya kebutuhan pembiayaan APBN 2004 dan mengurangi tekanan pada penerbitan obligasi dalam negeri. Pertanyaan keempat mengenai investor mau membeli pada tingkat imbal hasil 6,85 persen. Tingkat imbal hasil 6,85 persen untuk obligasi negara 10 tahun pada peringkat B2/B/ B+ adalah sangat murah bila dibandingkan obligasi serupa di beberapa negara. Dengan tingkat suku bunga obligasi AS 10 tahun saat ini 4,08 persen, berarti spread-nya 277 basis poin (bps). Para analis pasar modal internasional sebelumnya memperkirakan spread-nya berada pada tingkat 300-400 bps. Persepsi Positif Rendahnya spread dan imbal hasil tersebut mencerminkan persepsi investor yang sangat positif pada kondisi ekonomi politik Indonesia saat ini dan masa mendatang. Risiko politik 171 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dengan adanya pemilu langsung yang memakan waktu sangat panjang, meskipun masih penuh ketidakpastian, oleh para investor dianggap bukan suatu yang perlu dikhawatirkan. Demikian juga adanya anggapan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden ideologi ekonomi tidak akan berubah. Persepsi investor terhadap imbal hasil berbeda satu sama lain. Investor Asia dan Indonesia kurang sensitif pada tingkat imbal hasil, sementara investor Eropa dan AS mempunyai sensitivitas atas imbal hasil di sekitar 7 persen. Kemungkinan besar permintaan dari investor-investor tersebut akan berkurang di imbal hasil kurang dari 6,875 persen. Ini disebabkan karena yield ini dianggap jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat yang sama. Pertanyaan kelima mengenai kualitas pembeli obligasi Indonesia. Dari hasil metode pengumpulan order (bookbuilding) dari jumlah permintaan mencapai lebih dari 4 miliar dollar AS di dalamnya termasuk permintaan dari investor-investor berkualitas tinggi dari Eropa dan AS, selain juga investor Asia (seperti Alliance, GIC, New World, Goldman Sachs, Putnam, Fidelity, Prudential), yang merupakan investor bereputasi tinggi dan berwawasan jangka panjang (buy-and-hold). Dilihat dari sisi geografis sumber dana, investor dari AS menempati proporsi tertinggi, yakni 35 persen, disusul Eropa 30 persen, Asia non-Indonesia 23 persen, dan Indonesia 8 persen. Dilihat dari sisi institusinya, proporsi pembelian oleh perusahaan pengelola aset adalah 55 persen, bank 24 persen, perusahaan asuransi dan dana pensiun 8 persen, dan perorangan 13 persen. 172 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Pertanyaan keenam mengenai pandangan investor mengenai Indonesia. Perkembangan ekonomi makro dan prospek pemilu dianggap sangat positif. Disiplin dalam pengelolaan APBN dan utang pemerintah merupakan kunci dalam pandangan investor. Di balik itu, diakui pertumbuhan ekonomi masih didorong konsumsi, tetapi juga didukung ekspor sehingga mulai memperkuat fondasi ekonomi. Arah reformasi perpajakan dan anggaran serta pengelolaan utang banyak dipuji. Neraca pembayaran dan cadangan devisa cukup, ketahanan sektor keuangan membaik. Namun, dikeluhkan rendahnya rasio pinjaman. Iklim investasi, meski belum sepenuhnya pulih, dinilai memiliki kemajuan. Yang selalu dikeluhkan adalah buruknya reformasi hukum dan kepastian hukum, dan yang paling mengemuka adalah masalah-masalah putusan peradilan di daerah yang dinilai tak adil dan tak profesional. Para pengacara terkenal di Indonesia dianggap merajalela dan sering bisa mengatur jalannya proses peradilan, terutama di daerah, sekaligus memanfaatkan lemahnya kualitas jaksa dan hakim di daerah. Pertanyaan ketujuh mengenai penerbitan obligasi yang berarti utang Indonesia bertambah. Jawaban atas pertanyaan ini adalah benar. Namun, secara keseluruhan stok utang akan turun sekitar Rp 5 triliun dengan perincian stok utang dalam negeri naik Rp 11,4 triliun dan stok utang luar negeri turun Rp 16,1 triliun. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) nominal, tahun 2004 rasio utang dengan PDB adalah 60 persen, turun dari sekitar 68 persen pada 2003. 173 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Tidak ada ikatan Dibandingkan dengan utang kepada anggota Consultative Group on Indonesia (CGI), penerbitan obligasi internasional mempunyai kelebihan, yakni tidak terikat oleh aturan pemberi atau pembeli obligasi, dan penerbit (issuer) memiliki posisi tawar cukup kuat. Metode yang dilakukan dalam rangka penerbitan dapat bervariasi. Kelemahan obligasi internasional dibandingkan dengan utang dari CGI adalah secara finansial bunganya lebih mahal. Pinjaman luar negeri dalam bentuk Oficial Development Assistant (ODA) bisa mendapatkan bunga sekitar 3 persen. Namun, penggunaannya ada ikatan dengan kegiatan proyek tertentu, persyaratan pinjaman, dan jika tak ditarik sesuai jadwal terkena biaya komitmen (commitment fee). Jumlah penerbitan obligasi internasional biasanya tak terlalu besar dan karena diterbitkan dalam mata uang asing akan terpengaruh terhadap volatilitas kurs mata uang. Pertanyaan kedelapan mengenai makna keseluruhan dari penerbitan obligasi itu. Penerbitan obligasi internasional 1 miliar dollar AS dilakukan bukan semata-mata untuk keperluan pemenuhan pembiayaan APBN, masuknya modal asing, dan cadangan devisa. Yang lebih penting adalah kembalinya Indonesia di dalam peta pasar modal internasional. Banyaknya minat investor terhadap Indonesia juga bisa dikatakan meningkatnya kepercayaan terhadap terjadinya pemulihan ekonomi. Sumber pembiayaan di pasar modal internasional sangat luas dan besar jumlahnya. Menurut data, delapan pemodal obligasi (pendapatan tetap) terbesar di AS memiliki aset lebih dari 100 miliar dollar AS, hampir separuh PDB Indonesia. 174 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Pada saat ini mereka mencari tujuan investasi yang menarik dan berisiko rendah di negara berkembang. Jika kita bisa menjadi daerah tujuan investasi menarik tersebut, niscaya akan masuk lagi investasi yang bukan hanya dalam obligasi atau saham, tetapi juga investasi fisik dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Strategi pembiayaan APBN kita memang menuju pada pembiayaan yang beragam, murah, dan fleksibel. Proses menerbitkan obligasi internasional ini rumit, dan melelahkan. Namun, yang membanggakan adalah tidak seperti halnya perundingan di forum CGI maupun Paris Club, posisi tawar Indonesia cukup baik. Untuk ke depannya, agar lebih meningkatkan posisi tawar di mata dunia, urusan-urusan yang menghambat investasi, hambatan di dalam reformasi hukum dan peradilan harus segera dieliminasi. Sektor swasta juga harus berperan aktif dan mengambil porsi investasi dalam pembiayaan pembangunan yang lebih besar. Hal ini merupakan jalan keluar bagi Indonesia, termasuk pula obligasi, agar bisa semakin dipercaya. Pernah dimuat di Kompas, Senin, 8 Maret 2004 *** 175 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Kewajaran IPO KS Pengantar: “Penerbitan saham perdana KS pada akhir tahun 2010, merupakan sebuah langkah pemerintah, sebagai pemegang saham tunggal KS, untuk mencari dana dari pasar modal. Setelah melakukan analisis dan pertimbangan dari beberapa pendekata, penulis berpendapat bahwa penerbitan saham ini terbukti telah sesuai dengan proses dan prosedur yang ditetapkan.” B adan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Krakatau Steel (KS) bermaksud untuk melakukan ekspansi kapasitas produksi pabrik baja lembaran dan meningkatkan modal kerja dalam bentuk pembelian bahan baku. Di samping itu, badan usaha milik negara ini merencanakan pematangan lahan seluas kurang-lebih 388 hektare, dan meningkatkan penyertaan modal pada anak perusahaan. Untuk itulah pemerintah, sebagai pemegang saham tunggal KS mencari dana dari pasar modal melalui penawaran perdana (Initial Public Offering atau IPO) saham pemerintah di bursa. 176 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Proses dan prosedur serta persetujuan IPO KS di Komite Privatisasi dan di Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan amanat UU Nomor 19 tahun 2004 tentang BUMN dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero). Setelah mengantongi dukungan dari Komite Privatisasi pemerintah dan izin IPO oleh DPR pada September 2009, Pemerintah dan KS melakukan pemasaran tahap awal (pre-marketing) dan roadwshow didampingi oleh Penjamin Pelaksana Emisi (PPE) dan juga International Selling Agents (ISA). Tujuannya adalah mengoptimalkan nilai IPO KS melalui program penjajagan minat dan investor education yang intensif kepada investor, baik dalam dan luar negeri (termasuk Amerika Serikat). Penjajagan minat tersebut dilakukan dalam waktu yang sangat tepat. Situasi pasar modal dan minat investor portofolio pada Indonesia sedang berada di puncak. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang stabil, tumbuh dan situasi tahan krisis menjadikan investor asing percaya untuk mengalirkan dananya ke Indonesia. Untuk itu, di samping faktor harga wajar yang dituju, IPO KS juga bertujuan mendapatkan investor yang berkualitas dengan komitmen jangka panjang, bukan investor jangka pendek yang hanya membawa uang panas (hot money), dan menginginkan keuantungan sesaat, serta bukan investor spekulan. Berdasarkan persetujuan dari DPR pada 16 September 2009, privatisasi KS disetujui dengan ketentuan, dilakukan melalui metode IPO secara bertahap maksimum 30 persen, menyertakan manajemen atau opsi saham karyawan (employee stock option) sebagai program retensi dan meningkatkan motivasi bagi manajemen dan karyawan KS dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah dengan memperhatikan situasi dan kondisi pasar 177 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal yang tepat, harga dan jumlah lembar saham yang dilepas sesuai dengan tahapan yang dipilih, sehingga diperoleh nilai penjualan saham yang optimal. Pemerintah meminta KS untuk memenuhi potensi pertumbuhan baja nasional yang mencapai 8% pertahun dan tetap mempertahankan sebagai pemimpin pasar domestik (domestic market leader). Oleh karena itu, KS berencana untuk melakukan program revitalisasi dan peningkatan kapasitas produksi. Beberapa proyek strategis yang telah direncanakan adalah proyek Ironmaking – Kalimantan Selatan (Joint venture dengan PT Antam Tbk), revitalisasi fasilitas produksi dan penghematan energi, proyek Blast Furnace dan modernisasi steelmaking, Joint venture dengan Posco, peningkatan kapasitas pabrik HSM dan peningkatan kapasitas pelabuhan dan pembangkit listrik. Berbagai proyek strategis tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing KS dalam memanfaatkan potensi pertumbuhan baja nasional. Total kebutuhan dana untuk mendanai proyek-proyek strategis tersebut sekitar Rp 14 triliun. Salah satu sumber pembiayaan program revitalisasi dan peningkatan kapasitas produksi adalah melalui IPO dengan menerbitkan saham baru sekitar 20% (dari 30% yang disetujui DPR), dengan target perolehan dana sekitar Rp 3 triliun – Rp 4 triliun. Oleh karena itu, KS masih membutuhkan tambahan dana investasi sekitar Rp. 10 triliun untuk menjadikannya perusahaan baja berkelas dunia. Ukuran Kewajaran Awalnya kisaran harga IPO KS adalah sebesar Rp750 – 1.150 / lembar saham. Berdasarkan laporan feedback dari para investor calon peminat saham KS disepakati dan diputuskan bahwa kisaran harga untuk IPO KS diperketat menjadi Rp 178 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang 800 – 1.150,00 / lembar saham, dimana harga tersebut akan diumumkan pertama kalinya pada Public Expose IPO KS. Menteri BUMN kemudian memutuskan menetapkan harga Rp 850,00 /saham. Harga tersebut menurut Menteri adalah harga yang tidak murah tetapi juga tidak mahal, alias wajar. Kewajaran harga tersebut dapat diukur dari perhitungan Price Earning Ration (“PER”) yakni harga dibandingkan dengan laba bersih perusahaan per saham. Pada harga Rp850 / lembar saham, KS dinilai sebesar 9,9 kali PER, sedangkan untuk pembanding di industri sejenis penulis berpendapat bahwa POSCO dan Tata Steel merupakan perusahaan pembanding yang cocok, PER dari masing-masing perusahaan tersebut adalah sebesar 8,2 kali dan 8,1 kali. Jadi menurut valuasi PER, harga Rp 850,00 /saham sudah wajar ”Harga tersebut menurut Menteri adalah harga bahkan sedikit diatas harga saham perusahaan serupa yang tidak murah tetapi di regional. Tidak heran, juga tidak mahal, alias sebelumnya sesuai hasil riset wajar.” PPE dan ISA, valuasi saham berkisar antara Rp500 – Rp1.100 / lembar saham. Investor calon pembeli selalu mempertimbangkan masalah valuasi terhadap harga saham dan risiko keuangan sebagai faktor penentu harga wajar. Jika penetapan harga diatas perkiraannya maka investor tersebut dapat mengambil keputusan untuk mundur sama sekali atau mengurangi permintaannya. Jika investor tersebut memiliki reputasi bagus dan pemegang dana besar, maka penjual biasanya akan mendengarkan permintaan mereka. Dugaan penulis mengenai alasan pemerintah bersikukuh menetapkan pada harga Rp 850,00 /lembar saham adalah adanya investorinvestor kualitas yang akan mundur (drop-off) apabila 179 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal diminta untuk menaikkan harga. Yang lebih gawat lagi apabila investor terpaksa membeli pada harga diatas wajar dan keesok harinya langsung menjual (sell-off) untuk mengurangi kerugian karena takut harga terlalu tinggi. Kelebihan Permintaan Pemerintah tentu juga ingin agar jumlah minat investor yang masuk pada saat pengumpulan order (bookbuilding) banyak, khususnya investor kualitas dan investor ritel, yang seimbang dari sisi geografis investor, dan faktor lainnya. Konsekuensi dari tujuan tersebut adalah perolehan harga yang tidak dapat optimal. Faktor-faktor penentu harga: yakni pertama, komposisi dan distribusi antara investor retail dan institusi, investor lokal dan asing, serta yang terpenting adalah pemesanan dari investor berkualitas, kedua valuasi dari perusahaan pembanding regional sejenis seperti Posco dan Tata, dan lain-lain. Berdasarkan data perbandingan yang ada, penulis yakin harga yang ditetapkan relatif optimal. Ketiga, penetapan harga yang atraktif sehingga kinerja di pasar sekunder dapat berjalan baik mengingat dalam IPO ini tidak ada program stabilisasi harga (green shoe). Keempat, mengupayakan terciptanya momentum yang positif sehingga diharapkan program-program privatisasi BUMN selanjutnya yang sedang dipersiapkan tetap diminati oleh investor. Kelebihan permintaan akan membawa pembentukan harga yang wajar dan penjatahan yang adil sesuai dengan aturan serta jumlah permintaan dan kualifikasi investor. Metoda IPO melalui penawaran umum di dalam dan luar negeri juga dapat menghindarkan adanya ketidak adilan dalam penjatahan. Metode IPO yang dilakukan adalah melalui Penawaran Umum di Indonesia dan Penawaran Terbatas dengan format Rule - 144 A SEC untuk pasar internasional, 180 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang termasuk Amerika Serikat. Tata kelola dalam penebitan yang ketat dan rigid tersebut dimaksudkan untuk melindungi investor public. Kecil sekali kemungkinan adanya manipulasi penjatahan. IPO KS masih berjalan dan distribusi pembeli baru akan terlihat setelah penjatahan nanti pada tanggal 8 November 2010 dan sesuai dengan ketentuan Bapepam dan LK, akan dilakukan audit penjatahan oleh Kantor Akuntan Independen. Oleh karena itu, kita sebaiknya menunggu proses dan hasil IPO KS tersebut. Berdasarkan pengalaman praktek menjual saham dan obligasi negara di dalam dan luar negeri yang dimiliki oleh penulis, penulis cukup yakin akan adanya aturan yang disiplin dan ketat di pasar modal. Sulit sekali terjadi manipulasi harga dan penjatahan yang bias pada satu atau beberapa investor tertentu. Sebaiknya kita percayakan kepada otoritas yang bertanggung jawab, yakni Pemerintah, KS, Bapepam, DPR dan auditor untuk menjalankan tugas dengan fungsi masing-masing. Kedisiplinan dan kepercayaan terhadap sistem dan proses tersebut diperlukan pada saat kita akan membangun institusi pasar modal yang kredibel dan profesional. Tulisan ini pernah dipublikasikan di Tempo 8 November 2010 *** 181 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal (Tidak Ada) Kontroversi IPO KS Pengantar : “Proses penjualan saham di pasar perdana atau initial public offering (IPO) saham pemerintah di PT. Krakatau Steel (KS) telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. IPO KS tersebut dianggap dan telah merugikan perseroan. Berawal dari adanya polemik yang terjadi di berbagai pihak atas peristiwa IPO KS, penulis kemudian mencoba menjawab simpang-siur yang telah terjadi, dengan membeberkan beberapa fakta yang didasari oleh faktor, seperti feedback dari para investor, kondisi pasar modal, perkiraan ke depan, kondisi perusahaan pembanding regional sejenis, beserta perhitungan harga saham yang sebenarnya” P eristiwa IPO Krakatau Steel akhir tahun 2010 telah memasuki babak baru. Ketika banyak pengamat dan anggota legislatif mempertanyakan rendahnya harga saham per lembar dan penjatahan yang tidak transparan, ketua Bappepam LK Fuad Rachmany waktu itu secara lugas dan tepat menjawab semua keraguan. 182 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Pengamat semakin yakin bahwa keputusan pemerintah memasang harga saham perdana (IPO) PT Krakatau Steel (KS) Rp 850,00 per lembar terlalu murah. Faktanya, hanya beberapa menit setelah pasar dibuka pada Rabu (10/11/2010), harganya langsung melejit hingga menyentuh batas auto rejection (penolakan atas pergerakan saham yang melebihi batas kenaikan atau penurunan) 49,41 persen ke Rp 1.270,00 per lembar. Hal ini tentu membalikkan argumen pemerintah dan penjamin emisi KS yang semula mengklaim bahwa harga saham itu sudah ditetapkan pada harga wajar. Padahal, harga saham KS seharusnya dapat dilepas langsung di harga Rp 1.250,00 , seperti saat pembukaan bursa yang langsung melejit di Rp 1.250,00. Dengan demikian, terdapat “Fuad balik menuduh selisih harga Rp 400,00 kalangan yang secara per lembar. Jika dikalikan nyata kontra dengan dengan jumlah saham yang proses IPO KS buta dilepas sebanyak Rp 3,15 dengan realitas pasar.” miliar lembar saham, maka total selisihnya sekitar Rp 1,26 triliun. Fuad Rachmany, Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) waktu itu, menanggapi dingin tuntutan sejumlah ekonom terkait peran dan fungsi wasit pasar modal tersebut. Mekanisme pasar secara jelas tidak dipahami dan diketahui secara detail oleh para inisiator penolak IPO KS go public. “Jelas mereka tidak mengerti mekanisme pasar. Regulasi sudah jelas mengatur tata cara dan mekanisme go public. Buktinya, saham KS menjadi buruan investor. Hal itu 183 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal berarti masyarakat senang karena dapat melakukan koleksi terhadap saham perseroan,” tukas Fuad. Tuduhan ini juga dapat dipatahkan dengan argumentasi teknis pasar modal, bahwa kisaran harga lazimnya dihitung dengan perbandingan PER dan minat pembeli yang diperoleh dari masukan para calon investor melalui penjajagan investor. Pilihan investor kualitas bisa jadi menurunkan kisaran harga. Disamping itu, jika dilihat data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), semua penjualan saham yang terjadi di tahun 2010 mengalami kelebihan permintaan. Pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder kecuali ROTI, mengalami lonjakan kenaikan harga yang fantastis. Sebagai contoh, BIPI Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc (kenaikan 36%), TOWR Tower International Inc. (automotive) (49%), ROTI Sari Roti, (17%), GOLD Golden Retailindo, (48%), GREN Evergreen Invesco, (69%), BJBR Bank Jabar, (50%) dan KRAS (Krakatau Steel), 49%. Jadi, KS bukan satusatunya saham yang mengalami kenaikan harga spektakuler di hari pertama setelah pembukaan di pasar perdana. Para pengamat juga meminta pembatalan transaksi KS di bursa. Usai bertemu Fuad saat itu, Achmad Daniri, praktisi pasar modal menegaskan empat hal. Pertama, IPO KS tidak bisa dibatalkan, karena merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Jika IPO dibatalkan, maka akan sangat berisiko pada kepercayaan investor dan masyarakat secara umum, dan perekonomian secara lebih jauh, serta di sisi emiten (KS), rencana pertumbuhan usahanya bisa tertunda. Kedua, investor juga akan merugi jika IPO dibatalkan, karena sebelum meminta jatah saham KS, mereka mungkin sudah terikat berbagai perjanjian. Jika hal ini terjadi, Indonesia akan kehilangan kepercayaan terhadap pasar modalnya dan sektor riil. 184 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Ketiga, untuk ke depannya, tim diharuskan untuk mengamankan proses IPO pada saham-saham BUMN lain agar tidak digonjang-ganjing. Keempat, masalah sosialisasi kepada masyarakat awam menjadi penting, termasuk sosialisasi tentang harga saham, penentuan harga sejak awal dilakukan, hingga proses ketika menganalisis perkiraan harga jual saham perdana. ” Hasil laporan analis itu digunakan oleh investor institusi dan ritel, dan inilah yang menjadi dasar pembentukan harga. Penjamin emisi itu punya strategi dalam melakukan proses go public atau listing itu. Dia itu mempunyai kewenangan untuk menentukan nasib IPO,” ujar Daniri. Proses penjualan saham di pasar perdana atau initial public offering (IPO) saham pemerintah di PT. Krakatau Steel (KS) telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. Penetapan harga saham KS berdasarkan bookbuilding pada tingkat Rp. 850/lembar oleh Meneg BUMN pada saat itu dianggap terlalu murah dan telah merugikan perseroan. Penjatahan (allotment) kepada investor juga dianggap tidak transparan dan akan menguntungkan sekelompok investor tertentu. Pendeknya, proses IPO KS dianggap tidak sah dan hasilnya berpotensi merugikan negara. Harga Wajar dan investor kualitas Dalam IPO KS, Penjamin Pelaksana Emisi (PPE) dan juga International Selling Agents (ISA) tentu mengupayakan optimalisasi nilai IPO KS melalui program penjajagan minat dan investor education yang intensif kepada investor, baik dalam dan luar negeri (termasuk Amerikan Serikat). Pilihan pada jenis investor berkualitas (quality investor), emerging market funds specialist, country funds, atau industry specialist fund turut mempengaruhi pembentukan harga yang bisa jadi lebih rendah daripada investor spekulan 185 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal jangka pendek. Penentuan jenis dan proporsi investor ritel dan industri, serta keseimbangan geografis dimana investor berasal juga dapat mempengaruhi harga yang lebih rendah tetapi punya tujuan lain yakni keadilan dan loyalitas. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: feedback dari para investor, kondisi pasar modal saat itu dan perkiraan ke depannya, serta kondisi perusahaan pembanding regional sejenis, PPE dan ISA telah mengusulkan kisaran harga IPO adalah sebesar Rp750 – 1.150,00 / lembar saham. Laporan feedback tersebut tentu dilaporkan dan didiskusikan bersama dengan KS dan Kementerian BUMN, dimana hasil dari pertemuan tersebut disepakati dan diputuskan bahwa kisaran harga untuk IPO KS diperketat (tightening) menjadi Rp 800 – 1.150,00 / lembar saham dan harga tersebut akan diumumkan pertama kalinya pada Public Expose IPO KS. Feedback yang didapatkan dari roadshow dan juga proses bookbuiding, relatif baik dengan permintaan yang relatif kuat dari investor dalam maupun luar negeri di seluruh kisaran harga. Namun demikian jika minat investor institusi mulai menurun bahkan akan dropoff pada harga diatas Rp850,00/ lembar saham, maka penjual tentu akan menetapkan harga pada tingkat yang aman dengan menampung investor institusi tersebut. Apabila dipaksakan menetapkan harga diatas Rp. 850/lembar tentu dapat memenuhi target nominal, namun karena membayar harga yang terlalu mahal biasanya investor tersebut akan melakukan sell-off setelah penerbitan di pasar perdana dan akan menjatuhkan harga di pasar sekunder. Jadi penetapan harga tersebut juga harus memperhatikan pemesanan dari kualitas investor yaitu investor jangka panjang yang mengharapkan dapat tumbuh bersama dengan KS. Kualitas investor bukan merupakan spekulan (hedge fund). 186 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Penulis memperkirakan Jumlah minat yang masuk pada saat bookbuilding mencapai lebih dari 150 investor. Dari sisi minat jumlah, tentu merupakan hal yang menggembirakan sehingga dapat menghindarkan ada dominasi investor tertentu, dan harga yang terbentuk bisa cukup optimal karena permintaan dapat mendongkrak harga naik. Namun demikian, dalam hal penentuan harga selain dari jumlah minat yang masuk, perlu diperhatikan hal-hal penting antara lain; Pertama, komposisi dan distribusi antara investor retail dan institusi, investor lokal dan asing, serta pemesanan dari investor berkualitas. Kedua, valuasi dari perusahaan pembanding regional sejenis seperti Posco dan Tata, dan lain-lain. Berdasarkan data-data perbandingan yang ada, penulis yakin harga yang ditetapkan relatif optimal. Ketiga, penetapan harga yang atraktif, sehingga kinerja di pasar sekunder dapat berjalan baik mengingat dalam IPO ini tidak ada program stabilisasi harga (green shoe). Keempat, mengupayakan terciptanya momentum yang positif sehingga diharapkan program-program privatisasi BUMN selanjutnya yang sedang dipersiapkan tetap diminati oleh investor. Sudah Setara Pada harga Rp 850,00 / lembar saham, KS dinilai sebesar 9,9 kali Price Earning Ratio (PER) (harga dibandingkan dengan laba bersih perusahaan per saham). Sedangkan untuk pembanding di industri sejenis, seperti POSCO dan Tata Steel yang merupakan perusahaan pembanding yang cocok, PER dari masing-masing perusahaan tersebut adalah sebesar 8,2 kali dan 8,1 kali. Jadi, dapat disimpulkan bahwa PER KS sudah termasuk tinggi. Seperti yang penulis sampaikan di depan, dari kisaran harga Rp 750 – 1.150,00 / lembar saham kemudian diputuskan kisaran harga diperkecil menjadi Rp 800 – 1.150,00 / lembar 187 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal saham serta berdasarkan hasil bookbuilding, diusulkan harga Rp 850,00 / lembar saham yang disetujui oleh PTKS dan ditetapkan oleh Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar, pada saat itu. Metoda kisaran harga dengan price tension dan memperkecil kisaran pada waktu penawaran tersebut serta diikuti penetapan harga sudah merupakan metoda yang standar. Kuncinya terletak pada kelihaian dan kepiawaian dari para penjamin emisi yang juga mempertarohkan reputasinya. Metode IPO yang dilakukan adalah melalui Penawaran Umum di Indonesia dengan regulasi Bapepam dan Penawaran Terbatas dengan format SEC (Securities Exchange Commission) Rule - 144 A untuk pasar internasional, termasuk Amerika Serikat. Format tersebut mensyaratkan prosedur tata kelola yang berstandar internasional untuk melindungi investor publik. “Sulit rasanya menuduh Seperti lazimnya dan proses IPO KS tidak sudah ditentukan sebuah transparan.” SOP (standar operating procesdure), semua program pemasaran yang dilakukan oleh PPE dan ISA dilaporkan dan didiskusikan bersama dengan KS dan pihak penjual, yakni Kantor Meneg BUMN. Laporan hasil premarketing atau investor education digunakan sebagai dasar untuk menetapkan kisaran harga sedangkan hasil roadshow digunakan sebagai dasar untuk menetapkan harga final. Penjatahan Yang Adil Penilaian bahwa penjatahan akan tidak adil juga belum terbukti. Setelah masa penawaran umum akan dilaksanakan pada tanggal 2 – 4 November 2010, baru akan dilanjutkan dengan alokasi pada tanggal 8 November 2010 dan Listing pada tanggal 10 November 2010. IPO KS masih berjalan dan 188 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang distribusi pembeli baru akan terlihat setelah penjatahan nanti pada tanggal 8 November 2010 dan sesuai dengan ketentuan Bapepam dan LK, akan dilakukan audit penjatahan oleh Kantor Akuntan Independen. Dalam situasi kelebihan permintaan (atau over subscription) seperti yang dialami oleh KS, lebih dari 5 kali, maka sudah barang tentu tidak semua permintaan dapat dipenuhi. Banyaknya jumlah investor peminat juga menghilangkan kemungkinan munculnya ketidakadilan, terlebih seperti yang dituduhkan bahwa adanya investor besar yang notabene dari Parpol tertentu akan mendominasi penjatahan, sehingga dapat mendikte harga. Metoda penjatahan sudah ditetapkan dalam aturan mainnya. Bahkan penulis ingat penjatahan tersebut biasanya dilakukan secara hati-hati dengan formula dan kesepakatan penjual dan pembeli pada masa penawaran. Sungguh aneh jika terdengar ada investor sampai protes secara terbuka karena tidak mendapat jatah sesuai keinginannya. Pada akhirnya, jika terjadi manipulasi harga penyimpangan penjatahan pasti akan dapat diketahui oleh BAPEPAM sebagai regulator, jadi sebaiknya kita tidak perlu punya kecurigaan yang berlebihan pada proses dan hasil IPO KS. Tahun 2010, dan tahun-tahun selanjutnya akan semakin banyak lagi program IPO untuk ekspansi usaha BUMN dan korporasi kita., dan kita semua harus menjaga kredibilitas pasar modal agar tetap dipercaya oleh investor dalam dan luar negeri. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 7 Desember 2010 *** 189 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Kasus Bank Century, Dampak Sistemik dan OJK Pengantar : “Kegagalan Bank Century, ditafsirkan karena adanya gagal produk Antaboga yang ditawarkan. Namun, permasalahan pada Bank Century sebenarnya telah lama ada, khususnya semenjak peristiwa merger 3 bank (Bank Pikko, CIC dan Danpac). Selain, itu faktor keadaan prekonomian global, serta Indonesia yang sedang terpuruk, pada tahun saat itu (2009), juga turut memicu adanya kegagaln Century ini.” M unculnya kasus Bank Century (BC) ke permukaan (2009) berawal dari gagal bayar produk Antaboga yang dipasarkan melalui Bank Century. Produk yang dijual Antaboga tersebut bukanlah produk reksa dana, melainkan discretionary fund. Penjualan produk investasi oleh Antaboga Delta Sekuritas melalui Bank Century bukan merupakan tanggung jawab pengawasan otoritas pasar modal dan Bank Indonesia. Pasalnya, produk tersebut diperjualbelikan di Bank Century dan bukan Antaboga. “Jadi ini bukan tanggung jawab 190 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Bapepam-LK,” kata mantan ketua Bapepam, Fuad Rachmany waktu itu. Miranda Gultom, mantan deputi senior Bank Indonesia juga angkat tangan soal antaboga karena bukan produk perbankan. Produk investasi yang telah menampung dana nasabah sebesar Rp 1,4 triliun dan diperjuabelikan di Bank Century merupakan produk palsu. Jauh sebelum itu, Bank Century sudah bermasalah. Mulai dari proses merger 3 bank (Bank Pikko, CIC dan Danpac) menjadi Bank Century pada bulan Desember tahun 2004, kemudian BC dalam pengawasan intensif (desember 2005) dan ketika BC kalah kliring kemudian meminta FPJP (Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek) ke BI pada bulan Oktober 2008. CAR (kecukupan modal) Bank Century per 28 Februari 2005 (2 bulan setelah merger) bernilai minus -132.5%. Seharusnya Bank Century ditetapkan sebagai bank “dalam pengawasan khusus” bahkan sudah ditutup, tetapi BI hanya menetapkan sebagai bank “dalam pengawasan intensif”, hal tersebut bertentangan dengan peraturan Bank Indonesia sendiri. BC ditempatkan “dalam pengawasan intensif” karena permasalahan surat-surat berharga (SSB) valas bodong dan tidak bernilai serta penyaluran kredit yang bermasalah. Maka ketika pada tanggal 21 November 2008 oleh KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), BC dianggap sebagai bank gagal tidaklah mengherankan. Masalahnya, mengapa bank yang relatif kecil dari sisi aset, modal dan pendanaan serta telah bermasalah kemudian melakukan praktek ilegal dan merugikan nasabah harus diselamatkan oleh pemerintah. Yang jelas kondisi keuangan Bank Century pada tanggal tersebut sudah memburuk dan harus segera ditalangi untuk 191 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menghindari rush karena dapat menyebabkan dampak yang lebih besar dan sistemik pada perekonomian. Kondisi Ekonomi Keuangan Sistemik? Kondisi perekonomian global dan Indonesia serta sektor keuangan juga sedang dalam kondisi krisis. Pada bulan November 2008, nilai tukar terdepresiasi hingga Rp. 12.000 per dolar AS, imbal hasil (yield) obligasi 10 tahun diperdagangkan meningkat pada level sangat tinggi 14%, IHSG (indeks harga saham gabungan) mencapai titik sangat rendah 1200 dan credit default swap (CDS) yang menreferensikan biaya asuransi keuangan meningkat hingga 1000 bps. Cadangan devisa di Bank Indonesia sudah “Kesimpulan BI bahwa Bank Century adalah terkuras lebih dari 10 milyar bank gagal tidak dolar AS untuk menjaga dari kejatuhan rupiah yang lebih kontroversi, meskipun parah. Kondisi tersebut kegagalan Bank Century menurut penilaian penulis karena aspek kriminal sudah dapat dikategorikan dan salah urus. “ sebagai krisis keuangan yang cukup mendalam. Faktor penyebabnya berasal dari eksternal bukan dari dalam negeri. Pada tanggal 21 November 2008 tersebut, BI bukan hanya telah menyatakan bahwa BC adalah bank gagal tetapi juga berdampak sistemik pada perekonomian. Kesimpulan BI bahwa BC adalah bank gagal tidak kontroversi, meskipun kegagalan BC karena aspek kriminal dan salah urus. Namun kesimpulan berdampak sistemik oleh banyak kalangan termasuk wapres waktu itu Jusuf Kala dan mantan gubernur BI Burhanudin Abdullah dianggap keliru. Analisis 192 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang dampak sistemik yang digunakan untuk kasus BC oleh BI berdasarkan pada MoU Uni Eropa terkait dengan “cross border financial stability”, ditambah pula aspek psikologi pasar. Aspek lain yang digunakan pada analisis dampak sistemik adalah aspek institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, sektor riil, dan psikologi pasar. Dari aspek2 tersebut, maka BC dinyatakan sebagai bank gagal dan berdampak sistemik. Dalam rapat pendahuluan KSSK pada tanggal 21 November 2008 sore hingga larut malam bahkan menjelang subuh, beberapa eselon I yang pada waktu itu yang hadir, diantaranya Dirjen Pajak Darmin Nasution, Kepala Bapepam Fuad Rachmany dan penulis sendiri sebagai kepala BKF bersikap kritis untk menguji analisis dan pendapat yang disampaikan BI mengenai situasi yang menimpa BC dan kondisi sistemik serta biaya penyelamatan. Rapat pendahuluan KSSK tersebut dilanjutkan dengan rapat resmi KSSK yang dihadiri oleh ketua (Menkeu) dan wakil (Gubernur BI) serta sekretaris KSSK. Bentuk format KSSK dan kemudian KK (Komite Koordinasi) adalah format institusi koordinasi kebijakan keuangan menurut Perpu JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan) yang diterbitkan dan masih sah keberadaannya pada waktu keputusan penyelamatan dilakukan. Dalam pengambilan keputusan, Menkeu sebagai ketua KSSK tentu telah pula mempertimbangkan pendapat dari para Eselon I. Meskipun keputusan akhir ada di Menkeu selaku ketua KSSK memilih untuk menyelamatkan BC guna mencegah krisis pada perekonomian nasional. Dugaan penulis pertimbangan Menkeu selaku Ketua KKSK melakukan penyelamatan pada BC adalah biaya BC diselamatkan lebih murah daripada ditutup. Bila ditutup dibutuhkan 193 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dana penjaminan DPK kurang dari 2 milliar sebesar Rp 6 triliun. Meskipun biaya penyelamatan dan penyehatan BC adalah akhirnya adalah Rp. 6,7 triliun namun biaya tersebut dapat ditarik kembali pada waktu divestasi. Disamping itu pertimbangan lain adalah bahwa kondisi psikologis pasar global, keuangan dan makro sangat buruk, sehingga dikhawatirkan jika ditutup akan ada rush ke BC dan akan menular pada bank yang lain. Penulis sungguh yakin bahwa para eselon 1 termasuk penulis sangat memahami keputusan tersebut dan bahkan mendukung. Segera setelah itu penulis dan tim melakukan sosialisasi ke berbagai stakeholder. Tak kurang dari 10 pemimpin bahkan pemilik media masa ditemui (Metro, TVOne, Trans, SCTV, RCTI, Kompas, Media, Bisnis Indonesia, Republika dll), para pemimpin Universitas terbesar (UGM, UI, ITB, Unair, Unpad) juga ajak dialog. Para aktivis mahasiswa, politisi, pemimpin Ormas seperti NU dan Muhamadiyah dan LSM bahkan anggota Pansus Century diajak dialog untuk diyakinkan bahwa keputusan menyelamatkan BC dalam rangka pencegahan krisis keuangan adalah kebijakan yang benar pada saat itu. Perdebatan mengenai keabsahan penyelamatan BC dan dugaan terjadinya kerugian negara akan segera berakhir pada waktu dilakukannya divestasi bank Mutiara (nama baru dari bank Century). Perlu OJK Peristiwa Bank Century tersebut telah meyakinkan rekan-rekan di Kementrian Keuangan bahwa solusi untuk memperbaiki pengawasan perbankan dan produk sektor keuangan adalah dengan membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang unified dan independen. Dengan OJK yang menggabungkan regulasi/pengawasan produk perbankan 194 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang dan lembaga keuangan bukan bank akan dapat mengurangi celah pengawasan jenis-jenis produk derivatif seperti discretionary fund antaboga. Serta, tidak dipungkiri bahwa dewasa ini sudah banyak bank yang mengeluarkan produkproduk berjenis “bukan-bank” yang lazim seperti reksadana dan produk-produk pembiayaan lainnya. Produk semacam ini bisa jadi luput dari pengawasan BI dan Bapepam. Dengan penyatuan fungsi, berdiri secara independen terhadap bank Indonesia dan Kementrian Keuangan, adanya OJK dapat menghindarkan diri dari benturan kepentingan antara otoritas kebijakan moneter, fiskal dan regulasi/pengawasan perbankan disisi lain di dalam tubuh internal Bank Indonesia serta Bapepam. Sayangnya pembahasan UU OJK di DPR berlangsung alot dan dikhawatirkan akan muncul OJK yang belopotan karena terlalu banyak substansi hasil kompromi antara Kementrian Keuangan dengan DPR. *** 195 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal “Exit Strategy” dari IMF dan Kepercayaan Pasar Pengantar : “Keberadaan kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada negara-negara yang mengalami krisis keuangan, menjadi salah satu kunci dari perilaku pasar keputusan investasi mereka. Menurut penulis, sudah saatnya bagi negara-negara terlepas dari kerjasama dengan IMF dan bangkit dengan memfokus pada kestabilan market confidence (kepercayaan pasar), dan pelaku ekonomi. Menurut pengalaman, masa transisi pascaprogram IMF sangat rawan. Kerawanan itu bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa kepercayaan pasar. P eneliti Graham Bird dan Dane Rowland dalam survei yang mereka lakukan terhadap beberapa manajer investasi (fund manager), lembaga peringkat (rating agencies), dan CEO bank-bank (bankers), yang ditulis dalam paper berjudul Do IMF Program Have a Catalytic Effect on Other International Capital Flows? (Apakah Program IMF mempunyai efek yang katalis pada aliran modal 196 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang internasional?) dan diterbitkan oleh Oxford Development Studies pada tahun 2002, menyimpulkan bahwa para investor dalam beberapa hal memang memperhatikan peran IMF. Namun, mereka lebih memperhatikan kebijakan yang diambil oleh negara yang bersangkutan dan komitmen negara tersebut untuk melakukan reformasi. Kesimpulan Bird dan Rowland tersebut didukung oleh studi lain yang menggunakan “Berangkat dari metode ekonometri utang. hasil riset yang telah Hasil riset Mody dan Savaria (2003) menyimpulkan dilakukan oleh beberapa bahwa di negara-negara kalangan terkait dengan program IMF, dan terkena krisis keuangan, belajar dari pengalaman keberadaan kerja sama negara-negara krisis dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah yang sudah mengakhiri salah satu kunci dari perilaku program IMF, sudah pasar keputusan investasi saatnya bagi kita untuk mereka. Semakin besar menfokuskan perhatian program yang dijalankan pada konsekuensi dari oleh sebuah negara akan berakhirnya kontrak IMF meningkatkan kemungkinan serta program-program minat investor terhadap strategis yang perlu penerbitan surat utang diambil.” negara. Berangkat dari hasil riset yang telah dilakukan oleh beberapa kalangan terkait dengan program IMF, dan belajar dari pengalaman negara-negara krisis yang sudah mengakhiri program IMF, sudah saatnya bagi kita untuk menfokuskan perhatian pada konsekuensi dari berakhirnya kontrak IMF serta program-program strategis yang perlu diambil. 197 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Kepercayaan Pasar Dijaga Hal yang cukup penting untuk diperhatikan dalam masa pascaprogram kerja sama IMF adalah bagaimana mempertahankan kepercayaan pasar (market confidence) dan pelaku ekonomi. Membangun dan mempertahankan kepercayaan pelaku ekonomi merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan pemerintah, khususnya pada masa transisi ini. Seperti yang disampaikan oleh mantan Menteri Keuangan, Boediono, dalam pembukaan rapat koordinasi pembangunan tingkat pusat (2003) bahwa masa transisi pascaprogram IMF sangat rawan. Kerawanan itu bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa kepercayaan pasar. Memupuk Cadangan Devisa yang Cukup Membaiknya beberapa indikator ekonomi makro Indonesia, seperti apresiasi nilai tukar, penurunan suku bunga dan inflasi, serta penguatan cadangan devisa sekitar 34 miliar dollar AS), tidak terlepas dari meningkatnya kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal maupun moneter yang telah ditempuh. Para pelaku pada dasarnya akan memberikan tanggapan yang positif terhadap kebijakan yang kredibel dan konsisten. Pasar juga melihat kesediaan pemerintah untuk melakukan reformasi. Kredibilitas suatu kebijakan ditentukan oleh bagaimana pemerintah dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan. Penetapan target yang terlalu optimistis, misalnya dikhawatirkan dapat menghancurkan kredibilitas dari kebijakan itu sendiri bila target yang ditetapkan pada akhirnya tidak tercapai. 198 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang Pemerintah sebaiknya menetapkan target yang rasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan saran dari berbagai pihak. Kebijakan yang konsisten dan kredibel, misalnya keputusan yang tidak berubah-ubah setiap saat, merupakan salah satu hal penting dalam meningkatkan kepercayaan para pelaku. Pernah dimuat di Kompas, 24 Juni 2003 *** 199 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Belajar Dari Korea dan Thailand Keluar Dari IMF Pengantar : “Krisis 1998 seolah tidak memiliki ujung penyelesaian yang jelas. Setelah lebih dari 10 tahun terkadang orang masih melihat ke belakang terhadap kejadian tersebut. Krisis yang menyebabkan kejatuhan rezim yang berkuasa saat itu, mantan Presiden Soeharto, disinyalir dipercepat dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah dan IMF. IMF dituding sering memberikan resep yang salah terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Atas desakan masyarakat dan pembelajaran pemerintah, maka Pemerintah menyiapkan strategi-strategi yang matang untuk persiapan keluar dari kerjasama dengan IMF. Mekanisme pengawasan domestik diperlukan untuk menggantikan peran pengawasan asing. Tentunya ini memberikan tantangan sekaligus keuntungan apabila kita mampu melaksanakan prinsip financial prudence. Kita juga perlu melihat keberhasilan Pemerintah Korea Selatan dan Thailand dalam mengatasi masalah krisis dan keluar dari kerjasama IMF” 200 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang B eberapa negara telah keluar dari program pemulihan krisis IMF. Dalam rangka mempersiapkan langkahlangkah konkrit dalam rangka exit dari program IMF, kita dapat belajar dari pengalaman negaranegara krisis yang telah sukses, seperti Korea Selatan dan Thailand. Berdasarkan pengalaman, setelah mengakhiri kontrak kerja sama dengan IMF, negara-negara krisis tersebut selanjutnya memasuki tahap post-program monitoring (PPM). Makna dari tahap ini adalah mengangsur sisa pinjaman (outstanding) IMF sampai dengan batas kuota 100 persen, tanpa adanya pencairan pinjaman (purchases) baru. Dalam masa PPM, diadakan diskusi antara staf IMF dan pengambil kebijakan mengenai perkembangan kondisi ekonomi makro serta kebijakan yang diambil oleh negara bersangkutan. Selanjutnya hasil diskusi tersebut disampaikan kepada Direktur (board of) IMF. Diskusi tersebut merupakan mekanisme IMF untuk memastikan agar proses pemulihan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Namun, yang lebih utama adalah mereka ingin memastikan bahwa negara yang bersangkutan dapat menyelesaikan pembayaran sisa pinjamannya ke IMF. Pengalaman Korsel dan Thailand Korea Selatan yang menandatangani kontrak tiga tahun dengan IMF pada Desember 1997 mampu mengakhiri kontrak tersebut sebelum batas waktu yang telah ditetapkan. Keberhasilan itu tidak terlepas dari usaha keras Pemerintah Korea Selatan dalam melakukan perbaikan di berbagai sektor. Perbaikan itu antara lain melaksanakan kebijakan makro201 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal ekonomi yang mendukung dan menciptakan nilai tukar mata uang won yang kompetitif, serta reformasi struktural. Selain itu, Pemerintah Korea Selatan juga berhasil meningkatkan orientasi dan kepercayaan pasar, yang merupakan hasil dari implementasi kebijakan ekonomi makro yang kuat, serta perbaikan dan peningkatan posisi cadangan devisa. Hasil dari beberapa perbaikan yang terjadi perbaikan fundamental ekonomi makro Korea Selatan, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang sustainable, tingkat inflasi yang cukup terkendali, serta meningkatnya cadangan devisa bruto dari 20 miliar dollar AS pada tahun 1997 (awal krisis, yang turun 14 miliar dollar AS dibandingkan tahun sebelumnya) menjadi 96 miliar dollar AS pada tahun 2000. Demikian pula dengan Thailand. Meski tidak secepat Korea Selatan, negeri ini telah mengakhiri 34 bulan stand-by arrangement (SBA) dengan IMF pada bulan Juni 2000 dan post-monitoring program pada bulan Agustus 2002. Tingkat pertumbuhan PDB-nya tahun 2002 telah setara dengan pertumbuhan PDB sebelum krisis tahun 1997. Faktor utama yang mendorong pertumbuhan PDB yang cukup baik antara lain adalah adanya kerangka kebijakan ekonomi makro yang suportif, termasuk di dalamnya adalah stimulus fiskal di tahun 2001-2002 dan kondisi eksternal yang cukup mendukung. Kebijakan moneter yang akomodatif diambil dengan tetap menjaga agar tidak terjadi gejolak inflasi yang berlebihan. Hal tersebut antara lain dilakukan dengan menetapkan kisaran target inflasi. Selanjutnya, penambahan cadangan devisa dan pembayaran sebagian besar utang luar negeri, khususnya 202 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang utang jangka pendek, telah menurunkan ketidakpastian eksternal. Perbaikan sektor eksternal ditunjukkan antara lain dengan berkurangnya arus modal keluar (capital outflow), serta surplus transaksi berjalan. Sentimen pasar yang positif juga terbukti menguat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keuntungan di bursa saham, rendahnya bond yield, serta meningkatnya kepercayaan konsumen. Langkah-langkah yang perlu diambil Indonesia pasca-IMF “... pengawasan di Dua contoh konkret di dalam negeri hendaknya atas memberikan pelajaran perlu lebih ditekankan kepada kita bahwa kebijakan mengingat pengawasan ekonomi makro yang dalam negeri yang kredibel dan konsisten komprehensif dapat merupakan salah satu faktor diartikan sebagai penting bagi peningkatan berkurangnya kepercayaan pasar. Aspek pengawasan luar utama dari kebijakan yang negeri” kredibel adalah kebijakan yang diambil harus transparan, koheren dalam pelaksanaan programnya, serta konsisten (tidak berubah setiap saat). Selanjutnya, untuk mendukung terciptanya kebijakan yang kredibel, pemerintah perlu melakukan penetapan target, reformasi struktural, pengawasan, dan penegakan disiplin. Dua hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam penetapan target adalah pengendalian target yang telah ditentukan dan penetapan kerangka waktu yang jelas, 203 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal misalnya meliputi target jangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Dalam kerangka exit strategy, Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia pada tahun 2004 mempersiapkan program pascakerja sama dengan IMF, khususnya program spesifik yang menjadi perhatian pelaku ekonomi. Payung program itu telah ada, yakni Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Secara garis besar, program tersebut meliputi; Pertama, dalam kerangka ekonomi makro, program yang perlu ditetapkan antara lain meliputi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memadai, pengendalian laju inflasi, penurunan suku bunga, dan menciptakan surplus APBN, serta memupuk cadangan devisa. Kedua, ketahanan dan reformasi sektor keuangan, meliputi penyehatan perbankan dan lembaga keuangan lainnya (asuransi, pasar modal, dana pensiun, dan lainlain), pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS), pengawasan jasa keuangan (OJK), jaring pengaman keuangan (financial safety nets), dan lain-lain. Ketiga, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi investasi dan ekspor, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang meliputi aspek legal, peraturan, perubahan institusional menyangkut kepentingan sektoral, seperti perpajakan, penyelundupan, ketenagakerjaan, keamanan, otonomi daerah, dan lain-lain. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menciptakan sistem pengawasan kinerja yang kredibel. Pengawasan dapat dilakukan secara institusi dalam negeri maupun luar negeri. Namun, pengawasan di dalam negeri 204 Bagian V – Sektor Keuangan, Privatisasi dan Utang hendaknya perlu lebih ditekankan mengingat pengawasan dalam negeri yang komprehensif dapat diartikan sebagai berkurangnya pengawasan luar negeri. Pengawasan di dalam negeri dilakukan oleh DPR, BPK, maupun institusi privat (pasar) dan publik, seperti LSM dan media massa. Pihak luar negeri bisa dilakukan antara lain oleh lembaga donor, seperti CGI maupun multilateral, serta pasar internasional. Di samping adanya pengawasan, pemerintah sendiri harus menetapkan regulasi dan aturan main demi terciptanya penegakan disiplin. Demi tercapainya penegakan disiplin, pemerintah seharusnya membuat daftar tanggung jawab tiap institusi yang terkait secara jelas, mengulas kebijakan yang telah diambil, terutama yang terkait dengan kegagalan pencapaian target yang telah ditetapkan, memperbaiki rencana kerja, berkonsultasi mengenai hasilhasil kegiatannya, baik dengan DPR maupun lembaga donor dan multilateral, serta secara inter-intern mendiskusikan dan merumuskan langkah selanjutnya yang perlu diambil. Dengan agenda kegiatan yang terstruktur dengan baik, setidaknya kita akan lebih optimistis dalam menghadapi masa-masa pascaprogram IMF, yang diperkirakan oleh banyak kalangan sebagai masa-masa yang berat bagi bangsa Indonesia. Tahun 2004 adalah tahun yang penuh dengan tantangan sekaligus potensi ketidakpastian, karena meliputi pelaksanaan program pemulihan pascakerja sama dengan IMF, pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, dan penjagaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewaspadaan pemerintah dalam memilih opsi yang akan diambil harus dilakukan, namun yang terpenting adalah 205 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal merencanakan program-program yang menjadi perhatian pelaku ekonomi. Hal ini merupakan sesuatu yang bersiftat mutlak untuk dikaji. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak dapat bekerja sendiri tanpa partisipasi masyarakat karena pada akhirnya pemulihan ekonomi merupakan buah karya masyarakat. *** 206 Bagian VI Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan 207 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 208 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Gagasan Indonesia dalam G-20 Pengantar : “G-20, sebagai forum untuk membahas isu-isu ekonomi dan keuangan, mulai diragukan kemampuannya untuk memberantas krisis global. Hal ini disebabkan besarnya jangkauan isu yang dihadapi dan isu kohesivitas didalamnya. Walaupun begitu, G-20 merupakan forum yang penting bagi Indonesia. Manfaat G-20 sangat besar bagi Indonesia tidak hanya untuk mengungkil posisi Indonesia di antara negara berkembang lainnya, tetapi terlebih karena Indonesia bisa secara langsung berpartisipasi dalam membentuk arsitektur ekonomi dan finansial global sesuai kepentingan.” P enulis beruntung karena terlibat aktif sebagai ketua wakil Indonesia dalam pertemuan bidang ekonomi dan keuangan G-20 dari 2007 hingga 2010. Konferensi Tingkat Tinggi G-20 Kedua di London (London Summit) dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 April 2009, di tengah situasi perekonomian global yang pada waktu itu masih tidak menentu. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2009 diperkirakan negatif yang berpengaruh terhadap 209 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal penurunan demand ekspor negara berkembang. Stimulus fiskal dari sejumlah negara diragukan keefektifannya akibat munculnya isu proteksionisme dan isu supply financing bagi program stimulus di negara berkembang. Selain itu, sistem keuangan global secara praktis masih belum berfungsi secara normal akibat proses deleveraging di negara maju yang mengakibatkan langkanya likuiditas internasional dan turunnya net capital inflow di negara berkembang secara drastis. Sistem keuangan, khususnya di negara maju, masih dihantui potensi kerugian yang belum sepenuhnya terungkap terkait toxic assets sistem perbankan akibat krisis mortgage di AS. Lembaga-lembaga keuangan internasional yang diharapkan menjadi katalisator dalam periode krisis ternyata efektivitasnya dibebani oleh masalah kredibilitas dan legitimasi akibat kurangnya keterwakilan negara berkembang dalam proses governance-nya. Akibat besarnya jangkauan isu yang dihadapi itu, banyak pihak mempertanyakan kemampuan G-20 mengatasi krisis. Lebih jauh lagi, terdapat pula keraguan mengenai kohesivitas di G-20 mengingat setiap anggota tentunya akan memperjuangkan isu yang terkait paling erat dengan kepentingannya dan hal itu akan berdampak pada respons, prioritas, dan pendekatan krisis yang berbeda. Bagi publik domestik, hal tersebut memunculkan pertanyaan mengenai manfaat yang akan diperoleh Indonesia dari partisipasinya di forum G-20 akibat kekhawatiran mengenai kooptasi isu di G-20 oleh negara maju. Respons G-20 Terlepas dari banyaknya isu yang harus dibahas, London Summit sendiri sebetulnya merupakan puncak dari 210 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan suatu siklus kerja di G-20. Di tingkat teknis, G-20 telah membagi isu ke dalam berbagai tingkat pembahasan yang beranggotakan otoritas finansial dan moneter negara anggota yang melakukan koordinasi intensif selama 7 x 24 jam. Terkait dengan instrumen krisis, regulasi, dan arsitektur keuangan internasional, G-20 membentuk empat kelompok kerja (working group/WG): (i) Enhancing sound regulation and transparency, (ii) Promoting integrity in the financial markets, (iii) IMF reform, dan (iv) Multilateral development banks (MDBs) reform. Selain itu, terdapat juga forum koordinasi di tingkat deputi menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 guna membahas kebijakan makro (fiskal dan moneter), serta forum sherpa yang bertugas membahas isu-isu ekonomi nonkeuangan dan moneter (seperti isu perdagangan, dan tenaga kerja). Walaupun terdapat kekhawatiran bahwa perbedaan kepentingan di antara anggota G-20 akan menyebabkan friksi, keanggotaan G-20 yang terbatas dan format pertemuan yang stabil selama satu dasawarsa terakhir berkontribusi bagi terbentuknya tingkat kepercayaan di antara anggota G-20 dalam rangka mencapai konsensus. Secara umum terdapat konvergensi di G-20 bahwa (i) krisis saat ini disebabkan oleh ketidaksepadanan antara kepentingan global dan nasional (sovereign policy) sehingga respons kebijakan domestik haruslah mempertimbangkan dampak di luar batas negara dan perlunya koordinasi respons secara global; (ii) krisis menimpa baik negara maju maupun berkembang melalui mekanisme yang berbeda sehingga membutuhkan respons yang berbeda pula; dan (iii) krisis juga diakibatkan oleh tidak memadainya arsitektur keuangan global (termasuk lembaga keuangan multilateral) dalam 211 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal merespons krisis secara efektif akibat masalah kredibilitas dan legitimasi sehingga perlu dilakukan reformasi terhadap sistem keuangan internasional. Berdasarkan kesadaran tersebut, G-20 membagi prioritas respons menjadi tindakan segera dan jangka menengah berdasarkan perbedaan urgensi dari setiap isu. G-20 bagi Indonesia Secara umum, di G-20 Indonesia memiliki posisi unik yang menyuarakan tidak hanya kepentingan Indonesia sebagai emerging market, tetapi juga kepentingan ASEAN dan negara berkembang lainnya termasuk Low Income Countries. Manfaat G-20 sangat besar bagi Indonesia tidak hanya untuk mengungkil posisi kita di antara negara berkembang lainnya, tetapi terlebih karena Indonesia bisa secara langsung berpartisipasi dalam membentuk arsitektur ekonomi dan finansial global sesuai dengan kepentingan kita, G-20 diarahkan untuk menggantikan fungsi dari G-8 sebagai pemerintahan bayangan dari sistem ekonomi dan finansial global. Fokus Indonesia sendiri di G-20 adalah untuk: (i) memitigasi dampak krisis terhadap Indonesia dan negara berkembang yang telah secara tidak adil terkena dampak dari krisis yang bermula di negara maju melalui penurunan aliran modal ke negara berkembang yang menghambat proses pembangunan dan pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs); (ii) mengamankan posisi Indonesia dan negara berkembang di dalam sistem ekonomi dan finansial global yang baru dengan mencegah terbentuknya standar regulasi yang berpotensi merugikan perkembangan sektor keuangan dan sebaliknya justru mengupayakan agar sistem 212 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan yang baru mendukung pengembangannya; (iii) mendorong dilakukannya reformasi lembaga keuangan internasional melalui peningkatan keterwakilan negara berkembang dalam proses governance. Sebagai implementasi, Indonesia secara konsisten memperjuangkan dibentuknya instrumen pendanaan yang murah, bersifat tanpa persyaratan dan percepatan pencairan yang diperuntukkan bagi negara berkembang dengan “Sebagai implementasi, kerangka kebijakan dan Indonesia secara fundamental yang baik konsisten seperti Indonesia. Hasil konkrit memperjuangkan dibentuknya instrumen pendanaan yang murah, bersifat tanpa persyaratan dan percepatan pencairan yang diperuntukkan bagi negara berkembang dengan kerangka kebijakan dan fundamental yang baik seperti Indonesia.” Proposal tersebut yang dikenal sebagai Global Expenditure Support Financing (GESF) telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Washington Summit tahun 2008. Penulis menjadi salah satu pencetus gagasan tersebut dan Indonesia bersama dengan Perancis ditunjuk oleh G-20 untuk mengetuai WG4 mengenai reformasi MDBs, salah satu pembahasannya adalah mengenai instrumen GESF. Terkait dengan reformasi IMF, Indonesia juga memegang peranan penting di G-20 karena Menteri Keuangan RI sebagai salah satu figur internasional yang kerap menyuarakan 213 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal urgensi reformasi IMF merupakan anggota independent panel of experts on IMF reform (yang dikenal sebagai Manuel Commission) yang hasil rekomendasinya menjadi salah satu acuan bagi pembahasan di G-20. Sebagai hasil partisipasi aktif di G-20, Indonesia telah berhasil memetik beberapa manfaat konkret, antara lain: (i) Indonesia masuk sebagai anggota baru Financial Stability Forum (FSF) yang merupakan standard setting body bagi sistem keuangan; (ii) Indonesia telah mendapatkan Deferred Drawdown Option (DDO) dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Jepang, dan Australia bagi program pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan infrastruktur yang kemudian menjadi model bagi GESF; (iii) G-20 yang merupakan pemegang saham terbesar di ADB atas inisiatif Indonesia berhasil meningkatkan permodalan ADB guna mendorong pembangunan di kawasan Asia; dan (iv) negara maju berkomitmen untuk memberikan peningkatan kapasitas bagi pengembangan sektor keuangan di negara berkembang. Terdapat juga manfaat nonkeuangan, seperti komitmen G-20 untuk menjamin dan melindungi hak pekerja migran. Pernah dimuat di Kompas, 31 Maret 2009 *** 214 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Kontribusi Pertemuan G-20 Bagi Pemulihan Ekonomi Pengantar : “Forum G-20 yang merupakan forum pertemuan utama dan tertinggi para pemimpin dunia untuk mendesain tindakan global menangani krisis keuangan global. Forum ini menjadi semakin penting karena munculnya beberapa krisis seperti krisis yunani yang berpotensi untuk menular ke negara lain. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan menjadi korban apabila tidak ada upaya global mengatasi masalah krisis di Yunani. Banyak pihak berharap dengan adanya forum tersebut pemulihan pasca krisis global dapat berjalan dengan baik.” P ara menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 bertemu di Busan, Korea Selatan, 3-5 Juni 2010. Pertemuan ini sangat penting sebagai jembatan pertemuan para kepala negara G-20 di Toronto, Kanada, 26-27 Juni 2010. Pertemuan yang dahulu diadakan setiap tahun sekali untuk membahas isu-isu ekonomi dan keuangan reguler, kini menjadi forum pertemuan utama 215 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dan tertinggi menggantikan pertemuan G-8. Dalam periode 2009-2010 , forum G-20 diadakan dua kali dalam 1 tahun untuk mendesain tindakan global menangani krisis keuangan global. Maka, Para pemimpin negara, menteri keuangan dan gubernur bank sentral anggota G-20, termasuk Indonesia, selalu menyempatkan hadir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono pada waktu itu bahkan tidak pernah absen dalam setiap pertemuan G-20. Indonesia memiliki peran cukup sentral dalam reformasi arsitektur keuangan global. Indonesia adalah ketua working group reformasi Bank Dunia dan lembagalembaga multilateral lainnya. Indonesia mengajukan konsep mengenai fiscal safety nets dan turut mendesain perbaikan governance di Dana Moneter Internasional (IMF). Indonesia adalah anggota baru FSB (Financial Stability Board) dan mendukung desain exit strategy dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang (balance growth). Indonesia menjadi champion dalam masalah perubahan iklim (climate change). Menteri Keuangan kabinet Indonesia bersatu jilid dua, Agus Martowardojo perlu mengikuti jejak pendahulunya berperan aktif di forum G-20, apalagi Indonesia adalah wakil negara-negara anggota Asean serta negara berkembang lainnya. Forum G-20 harus mampu menyuarakan kepentingan pemulihan ekonomi di negara berkembang dan tidak bias kepada kepentingan negara maju semata. Forum Utama Forum G-20 sering dianggap sebagai premier forum dari arsitektur sistem ekonomi dan keuangan dunia di mana keanggotaannya bersifat eksklusif. Anggotanya adalah 216 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan negara-negara yang paling penting secara sistemik ekonomi dan keuangan yang mewakili lebih dari 80% GDP global, 2/3 populasi dunia serta lebih dari 80% kepemilikan saham dari World Bank dan IMF, serta secara geografis merepresentasikan seluruh belahan dunia. Hal ini memberikan leverage bagi peran kepemimpinan G-20 dalam isu-isu ekonomi dan keuangan global dan membantu mempromosikan saling pengertian dan pemahaman atas pendekatan nasional yang berbeda-beda terhadap isu-isu ekonomi dan keuangan. Keanggotaan G-20 yang terbatas pada negara-negara yang penting secara sistemik keuangan dan ekonomi memungkinkan forum ini untuk melakukan pertukaran pandangan dan pengalaman secara langsung dan terbuka (open and frank discussion), sehingga dapat mengidentifikasi secara jelas tantangan kebijakan utama yang dihadapi komunitas internasional. Hal ini juga memudahkan G-20 untuk mencapai konsensus dalam isu-isu yang membutuhkan respons kebijakan internasional yang segera dan sebaliknya mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menghambat konsensus internasional di forum yang lebih luas. Selain itu secara historis G-20 juga telah berkontribusi sangat penting dalam memperbaiki sistem keuangan global pascakrisis keuangan Asia 1997. Kesepakatan dalam forum G-20 dilakukan hingga tingkat pemimpin negara dan dilaksanakan melalui lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, FSB, WTO, dan sebagainya. Pertemuan di Busan dan Totonro memfokuskan pada tindak lanjut dari mandat pertemuan pemimpin G-20 di Pittsburgh tahun 2009. Pemimpin G-20, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20 pada waktu itu telah sepakat untuk melakukan exit strategy terhadap kebijakan stimulus, menuntaskan reformasi World Bank dan 217 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal IMF terkait dengan masalah proses seleksi pimpinan dan manajer senior, pembagian kursi, surveilance dan membuat desain instrumen yang dapat mencegah dampak krisis keuangan. Forum G-20 sekarang telah melebarkan sayapnya ke isu yang terkait dengan penyelesaian putaran doha, masalah perdagangan, pembiayaan perubahan iklim, transparansi dan pengurangan subsidi energi sehingga kehadiran Menteri Keuangan nantinya juga akan mewakili pemerintah di masing-masing negara terhadap isu-isu terkait tersebut. Pada pertemuan sebelumnya di London dan Pittsburgh, para pemimpin negara memfokuskan pertemuan pada upaya pemulihan krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis mortgage di AS. Para pemimpin Negara sepakat bahwa forum G-20 merupakan wadah yang tepat untuk mengambil langkahlangkah respons global yang terkoordinasi secara cepat dan tanpa mengorbankan kepentingan negara lainnya. Beberapa keputusan yang diambil untuk pemulihan krisis meliputi stimulus global, pembentukan FSB, perbaikan governance dan regulasi di sektor keuangan, reformasi IFI (International Financial Institutions) dan menjadwalkan exit strategy serta mendesain pertumbuhan global yang seimbang. Lemahnya pengawasan sistem keuangan global sekarang ini menjadi titik lemah dari proses pemulihan global. Pendeteksian dini masih mengandung kelemahan di sana sini. Surveilance IMF sering dilecehkan di negara-negara maju. Banyak negara yang belum melaksanakan asesmen sektor keuangannya yang dilakukan oleh IMF. 218 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Peristiwa bangkrutnya Lehman Brothers, lembagalembaga investasi keuangan dan sekarang krisis fiskal di Yunani menunjukkan lemahnya pengawasan oleh lembaga keuangan regional seperti European Community dan IMF. Meskipun negara tersebut memiliki rekam jejak fiskal yang buruk, lembaga peringkat tetap memberikan predikat AAA untuk peringkat utang mereka. Sungguh sangat tidak adil. Sementara Indonesia yang melakukan pengelolaan utang dan fiskal bagus tidak dihargai sepadan dengan prestasinya, sehingga pertingkat utang kita masih dalam batas BB+ atau dua tahap di bawah investment grade. Masalah Yunani dan reformasi keuangan, surveilance dan lembaga pemeringkat “Negara-negara menjadi satu agenda yang penting dalam forum G-20 berkembang termasuk Indonesia menjadi di Busan dan Toronto. Apalagi dampak krisis korban apabila tidak ada Yunani berpotensi menular upaya global mengatasi ke negara lainnya. Negaramasalah krisis di negara berkembang Yunani.” termasuk Indonesia menjadi korban apabila tidak ada upaya global mengatasi masalah krisis di Yunani. Menunggu hasil Pada masa depan, keefektivan kerja forum G-20 akan dituntut lebih tinggi dalam mengelola risiko ekonomi global: pertama, komitmen untuk meningkatkan kerja sama respons kebijakan terhadap resiko keuangan/ekonomi global melalui Financial Stability Board dan BIS. Kedua, memperkuat stabilitas dan keefektivan sektor keuangan domestik melalui regulasi keuangan global yang adaptif dengan keadaan 219 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal domestik. Ketiga, Mengelola arsitektur keuangan global melalui reformasi IFIs. Keempat, menguji mandat dan akuntabilitas organisasi-organisasi seperti IMF, Bank Dunia, OPEC, UNFCCC, ILO, FSB, dan BIS. Pelaku ekonomi menunggu hasil pertemuan G-20 di Busan dan Toronto untuk menyikapi beberapa hal penting yang menjadi perhatian, yakni respons pada krisis Yunani, waktu dan tahapan exit strategy, desain financial safety nets dan arah dari reformasi sektor keuangan dan prospek pemulihan global melalui tindakan global. Penulis yakin Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution tidak akan menyia-nyiakan kehadirannya di forum G-20 ini, dan para pelaku ekonomi di Tanah Air tentu juga tidak sabar menunggu kontribusi mereka dalam pemulihan ekonomi yang pasti. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, Minggu, 06 Juni 2010 *** 220 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Pembentukan Fiscal Safety di G-20 Pengantar : “Pengalaman krisis keuangan global terdahulu menunjukkan betapa cepatnya suatu krisis dapat menular ke negara lain. Apabila suatu negara tidak memiliki instrumen dan upaya bersama untuk mengatasi masalah, maka krisis keuangan di negara bersangkutan dapat berpotensi menjadi krisis keuangan global. Berdasarkan permasalahan tersebut, isu penggunaan global financial safety nets (GFSN) sebagai upaya preventif pencegahan krisis keuangan global menjadi krusial bagi beberapa negara, salah satunya bagi Indonesia. Dengan GFSN, akan semakin pruden dan dapat memiliki resiko yang lebih rendah saat menghadapi volatilitas, aliran dana jangka pendek dan ketidakpastiaan keuangan global.” P ertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Busan, Korea Selatan pada 5 Juni 2010 menghasilkan komunike yang layak disimak. Sebagai tindak lanjut instruksi para pemimpin dunia G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat akhir 2009, komunike tersebut akan menjadi dasar bagi para pemimpin dunia G-20 221 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal untuk menetapkan komitmen baru dalam KTT di Toronto 2627 Juni 2010. Komunike menkeu dan gubernur bank sentral tersebut berisi 10 butir kesepakatan yang dapat dibagi dalam empat kategori. Pertama, perbaikan prospek ekonomi global, respons pada krisis di Eropa, exit strategy dan kerangka pertumbuhan yang kuat dan seimbang; kedua, progres reformasi sektor keuangan, transparansi dan regulasi sektor keuangan, transparansi perpajakan, dan pencucian uang; ketiga, adalah reformasi lembaga multilateral dunia, IMF dan Bank Dunia dan keempat, terkait dengan rencana pembentukan global financial safety nets (GFSN). Dalam komunike tersebut juga disinggung mengenai pembiayaan UMKM, pengurangan subsidi energi dan penghapusan utang kepada Haiti. Penulis menyayangkan beberapa topik penting seperti komitmen liberalisasi perdagangan dan pembiayaan perubahan iklim yang merupakan agenda pokok bagi Indonesia sama sekali tidak dicantumkan. Global Financial Safety Nets Salah satu topik hangat yang muncul dalam diskusi tersebut adalah mengenai pembentukan global financial safety nets. GFSN adalah suatu upaya global untuk membentuk dana cadangan sebagai jaring pengaman sektor keuangan terhadap krisis global. Ide GFSN yang digagas oleh Inggris dan Korea Selatan tersebut sebenarnya bukan hal baru. Walapun sempat meredup, tetapi dengan adanya krisis Yunani dan Eropa, ide tersebut muncul kembali dan menjadi sangat relevan. Seperti kita ketahui, pengalaman krisis keuangan global dan sekarang terjadi di zona Eropa menunjukkan 222 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan betapa cepatnya efek menular krisis tersebut dari satu negara ke negara lain. Krisis yang berawal dari satu negara dapat menular ke negara lain dengan sangat cepat. Apabila suatu negara tidak memiliki instrumen dan upaya bersama untuk mengatasi masalah, maka krisis keuangan di negara bersangkutan dapat berpotensi menjadi krisis keuangan global. GFSN adalah suatu upaya preventif pencegahan krisis keuangan global. Untuk mencegah terjadinya krisis keuangan, pemerintah, otoritas moneter di negara maju dan negara berkembang harus memiliki sejumlah instrumen sendiri pencegahan krisis, baik fiskal maupun moneter, memiliki cadangan devisa yang memadai, melakukan koordinasi regional dan internasional dalam stimulus dan membentuk jaring pengaman sektor keuangan. G-20 telah mengidentifikasi berbagai instrumen antarnegara dalam pencegahan krisis, misalnya fasilitas bilateral swap, regional survellence dan instrumen seperti Chiang Mai, dan fasilitas IMF berupa new arrangement of borrowing (NAB), standby arrangement (SBA) dan Flexible Credit Line (FCL). Namun demikian, pertahanan pertama yang diperlukan dalam pencegahan dan mengurangi dampak dari shock eksternal adalah pengelolaan dan kebijakan ekonomi makro yang baik dan pruden. Tanpa itu, sebaik apapun instrumen krisis global tersebut akan tetap saja tidak memadai. Kebijakan makro ekonomi tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi rendah, stabilitas nilai tukar, penurunan risiko utang dan pembiayaan, defisit fiskal yang aman, dan perbaikan iklim investasi. Indonesia dinilai oleh lembaga pemeringkat dan multilateral lainnya memiliki rekam jejak kebijakan 223 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal makro yang cukup pruden. Ditambah juga dengan regulasi perbankan pruden, kebijakan fiskal yang konsisten dan pengelolaan utang yang berhati-hati. Namun, kebijakan fiskal di Indonesia sering terimbas oleh volatilitas, aliran dana jangka pendek, dan ketidakpastian keuangan global, sehingga masih saja berisiko. Dalam hal kebutuhan ekspansi fiskal untuk pembiayaan infrastruktur, ketidakpastian pembiayaan dari pasar global sering kali menjadi penghambat. Untuk itu, Indonesia dan beberapa negara harus memiliki kepastian pembiayaan APBN-nya atau semacam fiscal safety. Sayangnya, GFSN yang dimaksud dalam komunike tersebut hanya menyangkut jaring pengaman terhadap anjloknya cadangan devisa. Padahal yang dibutuhkan oleh Indonesia di samping kecukupan cadangan devisa juga ketidakpastian terhadap pembiayaan APBN. Indonesia sudah memiliki pola pembiayaan siaga dengan Bank Dunia, ADB, Jepang, dan Australia, akan tetapi pembiayaan tersebut bersifat semi permanen saja. Padahal jika APBN kita dapat dipayungi dengan dana siaga fiscal safety yang baku, maka ketersediaan dan biaya serta risiko peminjaman proyek dari pasar dapat turun secara signifikan. Pada masa Menkeu Sri Mulyani (Kabinet Indonesia bersatu jilid satu), Indonesia sudah mengajukan ide tersebut dan sudah menyampaikannnya dalam forum resmi deputi G-20 maupun kepada lembaga-lembaga multilateral untuk dapat diakomodasi sebagai instrumen pendanaan resmi. Indonesia juga sudah mendiskusikan hal tersebut dengan negara penggagas GFSN yakni Korsel dan Kanada, dan sejauh ini responsnya cukup positif. Ada baiknya usulan tersebut ditindak lanjuti hingga ke tingkat pimpinan negara G-20. Fiscal safety memang 224 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan unik untuk beberapa negara berkembang yang memiliki ruang untuk melakukan ekspansi fiskal tetapi dibatasi oleh situasi pasar keuangan global yang tidak menentu. Dengan instrumen fiscal safety yang baku di lembaga multilateral yang dimandatkan oleh G-20, maka Indonesia dan beberapa negara berkembang yang memiliki rekam jejak kebijakan ekonomi pruden akan memiliki kemampuan ekspansi yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan global. GFSN harus didukung dengan kecukupan modal dari lembaga-lembaga multilateral, khususnya IMF dan Bank Dunia. IMF memiliki modal cukup, sementara Bank Dunia masih kekurangan. Sayangnya G-20 tidak menyetujui usulan Indonesia untuk menambah modal sebesar US$5 miliar. Dengan tambahan modal tunai Bank Dunia sebesar US$3,5 miliar, maka alokasi pembiayaan Bank Dunia untuk program kemiskinan, infrastruktur dan perubahan iklim serta terutama dana siaga (fiscal safety) menjadi sangat terbatas. Padahal tambahan modal tunai US$5 miliar bukanlah jumlah yang signifikan untuk negara-negara besar yang memiliki saham besar di Bank Dunia. Indonesia memang tidak mengutamakan pinjaman dari Bank Dunia, akan tetapi Bank Dunia tetap sebagai pelengkap pembiayaan rupiah. Di samping itu, Bank Dunia dibutuhkan untuk dapat memberikan fasilitas-fasilitas jaminan sehinggadapat menurunkan biaya peminjaman perbankan. Agenda Indonesia Pertemuan pemimpin G-20 di Toronto nantinya akan sangat penting. Indonesia harus berpartisipasi secara penuh, khususnya dalam topik terkait seperti reformasi sektor keuangan, masalah pajak, GFSN dan reformasi lembaga 225 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal multilateral. Jangan lupa, Indonesia adalah champion untuk masalah pembiayaan perubahan iklim. Masalah kepastian dari Putaran Doha, komitmen pengurangan subsidi BBM dan isu-isu lain juga harus dibicarakan secara terbuka dengan melihat hambatan dan kesulitan di setiap negara dalam implementasinya. Apabila Indonesia dapat menuntaskan pembentukan pendanaan fiscal safety, sudah barang tentu hal ini akan menjadi keberhasilan tersendiri. Isu ini sama sekali tidak se-kontroversial dan sesulit isu perubahan iklim atau perdagangan. Agenda Indonesia mengenai pendanaan fiscal safety dalam GSFN akan memberikan dampak positif di Tanah Air dan kepercayaan kepada pelaku pasar keuangan. Pada KTT G-20 di London, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengajukan dana global untuk mitigasi krisis, Global Expenditure Support Fund (CESF) tetapi ide tersebut mentah di tengah jalan. Ide pembentukan CFSN sudah berjalan namun perlu disempurnakan. Usaha tersebut harus dimulai dengan melakukan lobi mulai dari tingkat deputi, menteri dan akhirnya di tingkat kepala negara. Mari, menantikan hasil upaya delegasi Indonesia tersebut dengan rasa optimistis. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 21 Juni 2010 *** 226 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Manfaat dan Risiko Integrasi Keuangan Global Pengantar: “Tahun 2008 yang diawali dengan runtuhnya Lehman Brothers telah menggambarkan krisis keuangan global dan berimbas pada jatuhnya trade finance. Hal ini tentu menyebabkan hilangnya kepercayaan pasar. Negara berkembang yang memiliki cadangan devisa terbatas seringkali mengalami kesulitan untuk menetapkan langkah counter-cyclical. Maka dari itu masalah Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus disikapi secara nasional, regional, dan global. Di bidang anggaran, negara berkembang sering melakukan pinjaman pasar, namun pada saat krisis, hal ini tidak cost effective. Maka dari itu diperlukan sejumlah tindakan yang diambil untuk memperkuat jaring internal dan eksternal pengaman keuangan.“ 227 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal I ntegrasi perekonomian dunia telah membawa manfaat besar dalam hal pertumbuhan dan kemakmuran. Namun, itu juga berarti bahwa masingmasing negara rentan terhadap guncangan eksternal yang serius, ditularkan baik melalui saluran ekonomi dan keuangan. Guncangan tersebut bisa secara cepat terjadi pada suatu negara yang menghadapi krisis likuiditas valuta asing, dengan potensi konsekuensi serius bagi stabilitas ekonomi domestik. Tahun 2008-2009 krisis keuangan global telah menggambarkan ini, secara kuat. Dari asalnya di default US sub-prime, krisis menyebar dengan cepat di seluruh ekonomi pasar yang maju dan berkembang, terutama setelah runtuhnya Lehman Brothers pada bulan September 2008. Negara yang terkena dampak melalui berbagai saluran, termasuk kekurangan likuiditas valuta asing di pasar antar-bank, arus keluar modal berbasis luas, trade finance mengalami kekeringan dan kemerosotan kepercayaan pasar. Pengalaman penulis menangani masalah ini khususnya menunjukkan bahwa gangguan dan ketidakstabilan di sektor keuangan dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan yang parah. Namun, situasi di negara-negara berkembang sering lebih buruk karena mereka hanya memiliki pilihan terbatas untuk melakukan respons secara tepat waktu dan efektif. Negara-negara berkembang seringkali memiliki cadangan devisa yang terbatas untuk menopang setiap pembalikan modal tiba-tiba. Kurangnya ruang fiskal untuk menetapkan langkah-langkah counter-cyclical anggaran mungkin juga menimbulkanrendahnya kepercayaan pasar untuk mengatasi risiko pembalikan modal lebih lanjut. Oleh 228 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan karena itu masalah jaring pengaman keuangan (JPSK) harus disikapi segera secara nasional, regional dan global. Dan dari perspektif Indonesia, jaring pengaman juga harus mempertimbangkan kedua neraca pembayaran dan masalah keamanan anggaran, karena ini saling terkait. Akumulasi cadangan devisa yang cukup dan memadai dapat membantu mengurangi dampak dari arus modal keluar yang cepat dan menyediakan likuiditas kepada bank domestik. Indonesia di antara negara yang terjadi kejatuhan yang signifikan dalam cadangan devisa pada periode antara Juni 2008 dan Maret 2009. Di bidang anggaran, untuk mendapatkan pembiayaan tambahan, negara berkem­ “Negara berkembang bang dapat melakukan sering melakukan pinjaman pasar. Tapi pinjaman pasar, namun meminjam dalam situasi pada saat krisis, hal ini krisis keuangan biasanya tidak cost effective.” tidak cost-effective atau mahal. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko posisi fiskal yang tidak berkelanjutan, menyebabkan distorsi pasar modal, dan mengakibatkan ketidakmampuan untuk membayar hutang pemerintah dan, untuk beberapa negara, memungkinkan peningkatan inflasi. Kerjasama Regional Secara global, ada upaya yang dilakukan untuk memperkuat cadangan devisa suatu negara terhadap krisis likuiditas global. Pencegahan keuangan dari IMF dalam bentuk yang baru dikembangkan Fleksibel Credit Line (FCL) telah diperkenalkan. Namun, bahkan dengan pengenalan 229 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal FCL, banyak negara kurang tertarik untuk memanfaatkan itu karena stigma yang tak terelakkan dari berurusan dengan IMF, baik dari politik domestik dan pasar. Pengaturan regional seperti integrasi pasar modal ASEAN dan CMI telah berkembang sejak awal tahun 2000. Hal ini telah diperluas ke CMIM (Chiang Mai Initiative Multilateralization) dengan efek dari bulan Maret tahun 2010. Nilai total CMIM adalah 120 miliar dolar AS dibentuk dengan tujuan mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek dan/atau kesulitan-kesulitan neraca pembayaran. Dalam inisiatif ini negara-negara anggota bisa mengakses 20% pinjaman tanpa keterlibatan program IMF, sementara akses sisanya tergantung dalam mengadopsi program dukungan dana. Meskipun CMIM adalah self-manage tetapi memiliki keterbatasan dalam hal ukuran dan persyaratan, termasuk dalam kaitannya dengan program IMF. Sebuah negara yang mengandalkan pasar modal internasional perlu dorongan dukungan kredibilitas dari kedua kerjasama regional dan pengaturan global. Sayangnya, selama krisis, bahkan di saat normal, negara-negara berkembang dipersepsikan memiliki risiko yang lebih tinggi, tanpa dasar yang kuat dan meskipun terus berpacu dengan perbaikan dan melakukan restrukturisasi reformasi ekonomi. Sebagai contoh, meskipun Indonesia telah melaksanakan reformasi yang signifikan, diberlakukan kebijakan makroekonomi dan fiskal yang sehat, subsidi dikurangi, mengelola desentralisasi fiskal, mengembangkan kelembagaan, dan menunjukkan pertumbuhan ekonomidi saat krisis ini, lembaga pemeringkat sangat lambat secara signifikan mengevaluasi kembali peringkat utang di Indonesia. Di sisi lain, negara-negara maju 230 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan yang mengalami kontraksi ekonomi, justru tidak mengalami penurunan peringkat. Hal ini menciptakan perasaan bahwa lembaga pemeringkat tidak menggunakan pendekatan yang sehat bahkan menghukum negara-negara berkembang yang melakukan reformasi. IMF Pengawasan Lemah Hal yang juga disayangkan bahwa pengawasan IMF tidak membantu meningkatkan rating dan persepsi pasar dimana perbaikan sungguh-sungguh telah dilakukan. Penilaian terkait dengan pengawasan IMF harus tidak memihak dan se-objektif mungkin dan harus menangkap semua perbaikan baik di negara maju dan berkembang. Perlu ada apresiasi yang penuh dengan perbaikan negara berkembang dan mereka harus tercermin dalam kenaikan peringkat kredit secepat mungkin. Setiap keterlambatan dalam peningkatan credit rating memiliki implikasi keuangan yang signifikan bagi negara-negara berkembang. Ada persepsi dari negara-negara berkembang bahwa pekerjaan pengawasan IMF sering tidak seimbang. Sebagai contoh, IMF sering memberikan tekanan kuat ketika memberikan analisis mereka pada negara-negara berkembang, sebaliknya mereka tidak memperlakukan negara-negara maju dengan cara yang sama. Melihat kemajuan sejauh ini, IMF perlu melanjutkan pekerjaan mereka. IMF, misalnya, bagaimana memenuhi mandatnya, termasuk dengan kerangka kerja koordinasi yang luas dan jelas dengan FSB(Financial System Board). IMF juga harus mampun membangun pengawasan keuangan yang lebih kuat dengan melakukan FSAP (Financial Sector Assessment Process) di negara maju. Inisiatif-inisiatif ini akan 231 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal memungkinkan mereka untuk melakukan berbagai kebijakan pruden di sektor makro ekonomi dan keuangan. Oleh karena itu penulis ingin melihat proses yang lebih evenhanded dan pengawasan lebih kuat terutama di negara-negara sistemik. Terhadap latar belakang seperti itu, maka tidak bisa dihindari bahwa negara-negara berkembang ditekan untuk mengejar jalan asuransi mandiri seperti mengumpulkan cadangan devisa besar atau bahkan mengurangi keterbukaan mereka untuk perdagangan global dan pergerakan modal. Strategi akumulasi cadangan devisa di masingmasing negara bukan merupakan solusi optimal baik untuk perekonomian domestik dan global. Financial Safetynets Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mendiskusikan cara efektif menghadapai volatilitas mendadak. Pertama, mengembangkan instrumen pembiayaan fleksibel dan kontingensi selama masa gangguan pasar. Sebagai contoh adalah Deferred Drawdown Option (DDO) mekanisme yang dinegosiasikan Indonesia bekerjasama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, Australia, dan Jepang. Inisiatif ini telah membantu untuk mengurangi persepsi pasar pada kerentanan ekonomi dan meningkatkan harapan di masa depan. Oleh karena itu, membantu mengurangi arus keluar modal. Namun, DDO memiliki keterbatasan dalam sifat ad-hoc dan sementara. Akan bermanfaat untuk menggali kemungkinan memiliki fasilitas darurat untuk pembiayaan anggaran sebagai dasar 232 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan permanen atau membuat ini sebagai instrumen permanen baru untuk negara yang membutuhkan. Kedua, IMF harus mengembangkan pengawasan yang kredibel dan dihormati, instrumen pinjaman pencegahan dan mekanisme yang bisa menjawab kekhawatiran anggota mereka pada masalah stigma. IMF perlu mulai menilai posisinya vis-à-vis munculnya multilateralisasi cadangan devisa dan swap bilateral. Hal ini harus dilakukan tidak dari perspektif bahwa fenomena seperti itu akan meminggirkan peran IMF dalam urusan cadangan devisa, tetapi bahwa IMF dapat memainkan peranan penting dalam merancang dan memperkuat ‘pertahanan lini kedua’ untuk berbagai krisis yang dapat ditambahkan untuk membangun market confidence. Ketiga, garis pertama pertahanan untuk mengurangi kerentanan negara pada guncangan eksternal adalah mengembangkan kebijakan ekonomi dan kebijakan keuangan yang pruden. Krisis global menunjukkan bahwa sejumlah negara, dan khususnya beberapa pasar negara berkembang, lebih tahan terhadap krisis keuangan global sebagai hasil perbaikan sebelumnya dalam manajemen ekonomi. Akibatnya, negara-negara ini mampu menyediakan lingkungan makroekonomi yang lebih mendukung dengan melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal, memungkinkan nilai tukar untuk menyesuaikan serta menyediakan dukungan sektor keuangan mereka. Asuransi diri sendiri, akumulasi cadangan devisa memberikan bantalan penting terhadap dampak dari kekurangan likuiditas global pada aktivitas domestik di beberapa negara. 233 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Akhirnya, walaupun perbaikan ini, tindakan kebijakan domestik hanya sebagian terbukti efektif, jaring pengaman keuangan secara keseluruhan dan banyak negara perlu bergantung pada mekanisme lain, termasuk jalur swap yang disediakan oleh sejumlah bank sentral, memperkuat pengelolaan keuangan daerah seperti CMIM, dukungan lembaga multilateral untuk anggaran keamanan, dan pencegahan pembiayaan negara yang dimodifikasi dari IMF. Berdasarkan pengalaman, sejumlah tindakan dapat diambil untuk memperkuat jaring internal dan eksternal pengaman keuangan. Tanpa upaya langsung tentang masalah ini, integrasi keuangan dapat menimbulkan risiko yang sangat serius. Pernah dimuat di Jakarta Post 23 Juni 2010 *** 234 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Perlu (Segera) UU JPSK Pengantar : “Pelajaran krisis global, krisis Yunani, dan penyelamatan Bank Century telah membuka mata kita bahwa krisis tidak bisa diperkirakan dengan akurat, baik besaran, dampak, efek ketularan, maupun kecepatannya. Belajar dari pengalaman tersebut, isu mengenai manajemen krisis menjadi krusial untuk diterapkan. Pemerintah, BI, dan DPR perlu segera memprioritaskan pembentukan JPSK dan protokol manajemen krisis. Dengan terbentuknya JPKS dan protocol manajemen krisis yang baik, diharapkan Negara ini dapat mempersiapkan diri saat badai krisis tiba dan tidak menyesal di kemudian hari.” I ntegrasi perekonomian dunia telah membawa manfaat bagi laju pertumbuhan ekonomi, transaksi keuangan, dan perdagangan. Namun, konsekuensi integrasi tersebut adalah rentannya suatu negara terhadap kejutan dari luar (external shock) melalui perdagangan dan investasi ataupun sektor keuangan. Shock atau kejutan eksternal dapat mengakibatkan suatu negara menghadapi 235 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal krisis likuiditas dan berpotensi menimbulkan gangguan destabilisasi perekonomian nasional. Krisis keuangan global telah menggambarkan betapa dahsyat dan cepatnya transmisi. Bermula dari gagal bayar kredit perumahan kelas dua (sub-prime mortgage), krisis segera menjalar ke negara maju dan negara berkembang, khususnya setelah bangkrutnya Lehman Brothers. Negaranegara terimbas krisis keuangan melalui berbagai macam sumber, termasuk kekeringan likuiditas di perbankan, pelarian modal portofolio, keterbatasan pembiayaan perdagangan, penurunan permintaan global, dan secara umum penggerusan kepercayaan di sektor keuangan. “Untuk melakukan Pengalaman berharga manajemen krisis yang baik, pemerintah dan krisis keuangan global akhir-akhir ini mengajarkan otoritas moneter harus kepada kita akan perlunya mampu mendesain cara, manajemen krisis, baik di mekanisme, pendanaan, dan pengadaan biaya tingkat nasional, regional, maupun global. Manajemen penyelamatan.” krisis tersebut meliputi upaya pencegahan, mitigasi, dan penyelamatannya. Untuk melakukan manajemen krisis yang baik, pemerintah dan otoritas moneter harus mampu mendesain cara, mekanisme, pendanaan, dan pengadaan biaya penyelamatan. Dalam pendanaan karena DPR lembaga yang berwenang dalam penetapan penganggaran, lembaga ini harus terlibat sejak awal. Maka di banyak negara, pencegahan dan penyelamatan krisis tersebut harus dituangkan dalam UU sehingga memiliki kekuatan hukum dan hasil kesepakatan bersama antara pihak eksekutif dan legislatif. 236 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Pencegahan global KTT G-20 26-27 Juni 2010 di Toronto membahas manajemen krisis di tingkat global. Anggota G-20 menggagas pembentukan Global Financial Safety Nets (JPSK) dengan dana yang dikumpulkan melalui berbagai macam inisiatif. Di tingkat bilateral telah banyak negara melakukan perjanjian swap bilateral. Tahun 2007, Indonesia melakukan swap bilateral dengan China dan Jepang dalam mata uang lokal dan dollar AS senilai setara 30 miliar dollar AS. Di tingkat regional, pada tahun 2009 ASEAN+3 telah secara resmi membentuk dana pooling cadangan devisa sebesar 120 miliar dollar AS untuk mencegah krisis likuiditas jangka pendek. Skema ini dikenal dengan sebutan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). Mekanisme CMIM juga dilengkapi AMRO (ASEAN+3 Regional Macroeconomic Office) dalam rangka pengawasan atau surveilence. Namun, swap bilateral dan CMIM mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan persyaratan penarikannya. IMF juga memiliki instrumen bernama Flexible Credit Line (FCL). Instrumen ini untuk berjaga-jaga (precautionary) apabila terjadi krisis likuiditas bagi negara yang mempunyai rekam jejak baik dan dapat dipinjamkan tanpa persyaratan. Meskipun dana pinjaman berasal dari negara-negara G-20, banyak negara berkembang masih memiliki trauma terhadap IMF atas kesalahan resep dan persyaratan pinjaman di waktu krisis 1998. Indonesia sudah menyatakan tak berminat untuk menarik dana pinjaman IMF. Keterbatasan pilihan pendanaan global untuk antisipasi krisis merupakan dilema tersendiri bagi negara yang membutuhkan instrumen pencegahan krisis. KTT G-20 di Toronto sedang menggodok pendirian dana Jaring Pengaman 237 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Sektor Keuangan (JPSK) yang menggabungkan JPSK dalam negeri, regional, dan global. Indonesia mengusulkan agar JPSK global dapat dimanfaatkan untuk pencegahan krisis global dan pencegahan kemerosotan cadangan devisa dan pembiayaan defisit APBN. Upaya Internal Secara teoretis instrumen pencegahan krisis harus dimulai dari penguatan kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan dalam negeri yang baik dan berhati-hati. Pertumbuhan harus berbasis investasi dengan inflasi rendah, rasio utang aman, cadangan devisa cukup, kesehatan sektor perbankan dijaga, pembangunan infrastruktur berjalan, dan subsidi tepat sasaran serta risiko termitigasi dengan baik. Pengelolaan ekonomi makro yang baik dan berhati-hati merupakan lini pertahanan pertama melawan krisis. Meskipun kita telah memiliki rekam jejak dalam kebijakan makro yang baik, protokol manajemen krisis tetap harus dipersiapkan. Manajemen krisis meliputi tata cara penanganan dan pencegahan krisis, baik krisis ringan maupun krisis sistemik. Ini melibatkan otoritas pemerintah, mulai dari Presiden, Menkeu dan BI, dan karena menyangkut penggunaan anggaran, DPR juga terlibat. Bahkan, BPK, Kepolisian, KPK, dan Kejaksaan juga harus mempunyai kesamaan pendapat mengenai masalah hukum manajemen krisis. Manajemen krisis memerlukan penanganan profesional, cepat, dan terukur. Masalah kecepatan dan prioritas menjadi penting karena krisis keuangan mempunyai daya tular yang sangat cepat dan tidak terduga. Manajemen pencegahan dan penanganan krisis harus mengandung langkah-langkah sebagai berikut; pertama, tersedianya model pendeteksian dini makro dan sensitivitas 238 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan sektor keuangan bank dan non-bank untuk mengestimasi probabilitas terjadinya krisis dan dampak krisis. Kedua, fleksibilitas kebijakan makro dan moneter. Pada kebijakan moneter dan perbankan pada umumnya dapat dilakukan penyesuaian oleh otoritas, segera sesuai keadaan. Namun, kebijakan fiskal memiliki rigiditas dan non-diskresi yang tinggi dan terkait dengan persetujuan DPR. Untuk itu, dalam setiap UU APBN perlu didesain ketentuan bersama dengan DPR yang selalu mengantisipasi krisis global, baik melalui alokasi risiko fiskal yang cukup, maupun fleksibilitas dalam pendapat dan belanja maupun pembiayaan defisit. Ketiga, penyusunan protokol krisis meliputi pembagian tugas antara pemerintah dan BI dalam keterangan publik, kebijakan yang tepat, urutan eksekusi, pembiayaan krisis sampai mekanisme penganggaran dengan DPR. Keempat, pembentukan lembaga penyehatan bank/non-bank dan penanganan utang-piutang krisis. Kelima, perlindungan hukum terhadap pengambil kebijakan dan penanganan hukum terhadap pelaku kejahatan. JPSK prioritas segera Perpu JPSK penah ditolak oleh DPR. UU JPSK juga masih kandas di DPR pada masa pemerintahan KIB I karena dilakukan dalam masa krisis global sehingga pembahasan sering dilandasi kecurigaan tinggi, terutama dalam rangka penyelamatan Bank Century. Saat ini, situasi global dan pasar keuangan jauh lebih tenang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah, BI, dan DPR perlu segera memprioritaskan pembentukan JPSK dan protokol manajemen krisis. MoU antara BI dan pemerintah yang telah ditandatangani sangat tidak memadai apabila terjadi krisis global yang berdampak sistemik di dalam negeri. 239 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Pelajaran krisis global, krisis Yunani, dan penyelamatan Bank Century harus membuka mata kita bahwa krisis tidak bisa diperkirakan dengan akurat, baik besaran, dampak, efek ketularan, maupun kecepatannya. Dalam situasi tenang seperti sekarang, tak ada pilihan kecuali mempersiapkan dan mengesahkan UU JPSK dan protokol krisis sesegera mungkin sebelum badai krisis tiba dan kita menyesal di kemudian hari. Pernah dimuat di Kompas, 28 Juni 2010 *** 240 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan Risiko Ekonomi Global dan Upaya Mitigasi Pengantar : “Resesi global yang terjadi sejak tahun 2008, hingga tahun 2010 masih dapat dirasakan dirasakan dampaknya. Menurunnya indeks produksi manufaktur global di AS dan China serta melambatnya aktivitas perdagangan dunia merupakan indikator yang membuktikan pernyataan tersebut. Isu upaya pencegahan krisis keuangan dengan global financial safety nets menjadi prioritas bersama apabila tidak mau mengulangi kejadian krisis 2008. Pada akhirnya, harus disadari bahwa dalam situasi perekonomian global yang volatile dan labil seperti sekarang dan kedepannya, mau tidak mau kita harus mempersiapkan sedini mungkin. Pemantauan dini, early warning system (EWS) perekonomian, stress-test pada perbankan harus setiap saat tersedia dan manajemen protokol risiko krisis disiapkan.” 241 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal D ata perkembangan ekonomi dunia hingga pertengahan 2010 menunjukkan bahwa dampak resesi global sejak 2008 belum seluruhnya pulih. Ada indikasi awal krisis utang di Eropa mulai memberikan sentimen di sektor riil. Terlihat dari indeks produksi manufaktur global di AS dan China menurun sejak April 2010. Aktivitas perdagangan dunia juga cenderung melambat akhir-akhir ini. Aktivitas perdagangan luar negeri yang tecermin dari Baltic Dry lndex menurun cukup tajam. Di samping itu tentu yang sudah diperkirakan sebelumnya pemberian stimulus fiskal membuat defisit anggaran di hampir semua negara di “Upaya pencegahan dunia mengakibatkan utang naik secara krisis keuangan global financial safety nets signifikan. Keadaan ini menjadi prioritas memicu krisis kepercayaan bersama apabila tidak terhadap keadaan fiskal negara-negara Eropa mau mengulangi dan mengganggu proses kejadian krisis 2008.” pemulihan ekonomi global. G-20 masih melakukan perhitungan mengenai perlu tidaknya exit strategy saat ini. Yang jelas, upaya pencegahan krisis keuangan global financial safety nets menjadi prioritas bersama apabila tidak mau mengulangi kejadian krisis 2008. Apa implikasinya bagi Indonesia? Meskipun terdapat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan sesuai dengan rencana, bahkan lebih tinggi. Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1% di atas sasaran awal 5,8%. Tahun 2011 242 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan diperkirakan mencapai 6,3%. Prospek ekonomi yang cerah direspons positif oleh investor termasuk investor asing. Rupiah menguat di kisaran 9000 rupiah per dolar AS dan IHSG menguat di atas level 3000. Minat investor terhadap Surat Utang Negara (SUN) juga meningkat. Akibatnya nilai transaksi SUN meningkat signifikan dan yield SUN 5 tahun turun di bawah 8%. Beban bunga utang baru menjadi lebih rendah. Cadangan devisa diperkirakan mencapai Rp80 miliar tahun ini didukung oleh masuknya modal portofolio yang deras. Risiko pembalikan Di balik semua perbaikan fondasi perekonomian Indonesia, risiko terjadi pembalikan tetap ada, bahkan meningkat. Fenomena akhir-akhir ini, seperti meningkatnya arus modal jangka pendek, kepemilikan surat utang dan saham oleh asing, jumlah utang jangka pendek khususnya swasta memberikan indikasi bahwa perekonomian Indonesia memiliki risiko shock external yang meningkat. Apalagi kebutuhan pembiayaan APBN 2010 adan 2011 meningkat dan kenaikan inflasi akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sangat serius. RAPBN 2011 juga tidak memberikan suatu “bantalan” yang mencukupi apabila terjadi shock external yang tiba-tiba dan dapat mengganggu kelangsungan APBN kita. Apabila pemerintah membatalkan dan DPR menolak kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL) dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk, penolakan tersebut akan menambah risiko pembiayaan APBN 2011. 243 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Apa yang harus dilakukan? Gejala perlambatan global yang diperlukan memerlukan upaya nasional, regional, dan global. Di sisi kebijakan nasional, pemerintah dapat melakukan beberapa hal. Pertama stabilitas makro, khususnya Inflasi harus dijaga. Pasokan beras juga harus ditambah dan impor beras jika terpaksa harus dilakukan untuk mengurangi spekulasi harga beras di pasar. Penguatan rupiah harus dilihat sebagai fenomena regional jangan ada upaya dari otoritas (BI) untuk melakukan intervensi (pelemahan) terhadap nilai rupiah yang tidak perlu. Kedua, pelaksanaan APBN-P 2010 sesuai dengan sasaran dan penyelesaian pembahasan RAPBN 2011 diupayakan benar-benar dengan mengingat risiko ekonomi global tersebut. Pembatalan penaikan TDL dan HET akan berisiko pada krisis fiskal. Selain itu, perpanjangan dana pinjaman siaga hingga 2011 perlu dilakukan untuk berjaga-jaga dan menjadi sumber kepercayaan investor. Penerbitan SUN secara reguler juga tetap harus dilakukan untuk menjaga risiko pembalikan. Apabila terjadi kelebihan pembiayaan dari SUN, maka dapat menjadi sumber pre-financing tahun berikutnya. Kemudian, eksekusi belanja APBN dan infrastruktur juga harus terus dipacu jika tidak menghendaki adanya ekonomi overrheating. Ketiga, BI harus melakukan sesuatu (lagi) dengan masalah masuknya dana portofolio jangka pendek agar dapat berinvestasi lebih panjang. Meskipun ada ancaman inflasi, sebaiknya BI tidak menaikkan suku bunga BI Rate karena bisa menurunkan momentum pertumbuhan sektor riil. Keempat, selesaikan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan segera. RUU JPSK . lebih penting daripada RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK yang terpisah dan 244 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan independen dari BI sangat diperlukan, sehingga Kemenkeu dan BI harus sepakat terhadap hal tersebut dan tidak menghabiskan waktu untuk perbedaan pendapat yang tidak perlu. Dalam forum regional dan global, maka upaya aktivasi berbagai inisiatif pencegahan krisis seperti Chiang May Initiative dan Fiscal Safety dalam kerangka G-20 adalah prioritas tinggi bagi partisipasi Indonesia. Kerja sama global diperlukan karena potensi krisis sudah berskala global dan datangnya tidak bisa diperkirakan serta punya daya tular (contangion) yang sangat cepat. Pada akhirnya, harus disadari bahwa dalam situasi perekonomian global yang volatile dan labil seperti sekarang dan kedepannya, mau tidak mau kita harus mempersiapkan sedini mungkin. Pemantauan dini, early warning system (EWS) perekonomian, stress-test pada perbankan harus setiap saat tersedia dan manajemen protokol risiko krisis disiapkan. Instrumen, regulasi dan teknologi sangat memungkinkan dilakukannya pada saat ini untuk dibangun dan dipersiapkan. Akhirnya semua bergantung pada kemauan politik dari DPR dan pemerintah untuk menjalankannya bersama-sama. Tidak ada yang tidak mungkin. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 30 Agustus 2010 *** 245 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Pesan Davos Merespons Ketidakseimbangan Pengantar : “Pertemuan Davos, forum pertemuan internasional tahunan yang bersifat independen dan non-formal untuk bertukar pikiran dan memperbaiki keadaan dunia, pada tahun 2011 membicarakan tiga isu penting yaitu masalah pangan, energi, dan ketidakseimbangan global. Sebagai forum non-formal, Pertemuan Davos selalu mengajarkan pentingnya koordinasi kebijakan, dialog, dan kerja sama internasional sebagai kunci mengatasi kebuntuan masalah. Pesan yang ingin disampaikan pertemuan Davos adalah agar tidak ada lagi egosektoral dan tidak ada satu negara super power ekonomi di muka Bumi sehingga keseimbangan global dapat tercapai.” W orld Economic Forum (WEF) 2011 yang digelar pada tanggal 26-31 Januari 2011 di Davos, Swiss adalah forum pertemuan internasional tahunan yang bersifat independen dan nonformal untuk bertukar pikiran dan memperbaiki keadaan 246 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan dunia dengan melibatkan pemimpin bisnis guna membentuk agenda global, regional, dan industri. Pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di DavosKlosters ini dikenal dengan julukan Pertemuan Davos. Pertemuan ini juga mempertemukan bersama para pemimpin global dengan politisi, akademisi, dan pemimpin dunia usaha dari berbagai bidang di resor ski Swiss tersebut. Dalam pertemuan tahunan ini biasanya disampaikan berbagai pemikiran baru, gagasan, dan arus utama sistem perekonomian dan eksplorasi strategi dan solusi yang memiliki implikasi transformasi global. Penekanan khusus dalam penyampaian ide adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, dengan berbagai analisis dan menguraikan gagasan inovatif dan solusi tantangan global utama. Selama lebih dari 4 dekade, pertemuan tahunan Davos telah memberi kesempatan para pemimpin dari industri, pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media untuk menyampaikan platform ekonomi baru yang penting pada tingkat agenda global. Pertemuan Davos selama ini menjadi referensi utama dalam solusi global, meskipun tidak ada kesepakatan formal dan legal yang dituangkan. Keragaman dan semangat Davos yang informal dan kolaboratif serta dengan melibatkan pemimpin yang dikenal, diharapkan peserta pertemuan memiliki kesempatan untuk berkomunikasi secara bebas dan bahkan dengan mereka yang mempunyai pandangan, cara berpikir, dan bertindak yang bertolak belakang sama sekali. Tantangan 2011 Tiga isu yang sangat menonjol dibicarakan dalam WEF 2011 adalah masalah pangan, energi, dan ketidakseimbangan 247 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal global. Meskipun difokuskan pada tiga isu utama tersebut, keterkaitan ketiganya pada masalah kemiskinan, keresahaan sosial, keamanan, dan stabilitas politik yang sangat erat menjadi bahan penyampaian gagasan di Davos. Seperti kita pahami dalam berbagai prognosis outlook ekonomi dunia 2010 dan 2011, pertumbuhan perekonomian dunia meningkat secara tidak seimbang. Pertumbuhan ekonomi di AS dan Eropa tidak memiliki laju secepat di negara-negara Asia, bahkan cenderung stagnan. Bahkan keadaan ekonomi di AS dan Eropa masih melakukan konsolidasi dan restrukturisasi utangnya. Dolar AS dan Euro mengalami pelemahan nilai yang berkelanjutan. AS juga masih akan melanjutkan kebijakan moneter ekspansif atau quantitative easing untuk mendorong perekonomiannya. Namun, China menentang penyesuaian mata uang remimbi dengan dalih akan menggerus daya saing mereka. Arus modal asing masih terus deras masuk ke negara berkembang sehingga menimbulkan masalah baru yakni ekses likuiditas valuta asing. Ketidakseimbangan tersebut diperkirakan akan terus terjadi selama AS dan China belum sepaham soal tujuan bersama yang akan dicapai. Korbannya adalah negara-negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengurangi volatilitas yang secara langsung dan tidak langsung memengaruhinya. Hampir semua negara di Davos mengimbau AS dan China untuk menghentikan perang kurs demi tujuan global bersama. Masalah pangan dan energi juga menjadi sorotan yang cukup tajam oleh banyak pemimpin dunia di Davos. Masalah kenaikan harga pangan dan energi terjadi karena produksi tidak mencukupi memenuhi kebutuhan kenaikan 248 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan per-mintaan global. Diperkirakan, kebutuhan di masa depan akan semakin besar, tetapi risiko kegagalan produksi sebagai akibat perubahan iklim justru semakin tinggi. Kenaikan harga pangan dan energi dunia juga disebabkan oleh re-orientasi para pemodal pasar uang ke pasar komoditas seperti pangan dan energi. Investasi portofolio pasar uang tidak lagi menarik karena pelemahan dolar AS dan modal bermigrasi ke investasi di bursa komoditas yang harganya terus meningkat. Risiko terbesar yang dihadapi dunia pada tahun ini adalah kenaikan inflasi yang berasal dari masalah likuiditas dari ketidakseimbangan global dan kenaikan harga pangan dan energi. Kenaikan inflasi global, jika tidak ditanggulangi, akan menurunkan daya beli dan daya saing perekonomian. Tidak heran saat ini banyak negara telah merespons dengan berbagai kebijakan untuk memerangi inflasi. Banyak negara yang mulai menaikkan suku bunga kebijakan (policy rate) atau berbagai kebijakan lain untuk mengelola terjadinya ekses likuiditas melalui pajak, giro wajib minimum, atau memberi disinsentif bagi pemodal jangka pendek. Tentu saja kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun efektif menurunkan inflasi, mempunyai dampak negatif bagi keseimbangan nilai tukar ataupun dapat menghambat ekspansi ekonomi. Seruan Davos Inflasi yang tinggi akan menambah jumlah penduduk miskin dan menimbulkan kerawanan sosial. Pertemuan Davos mengimbau agar memimpin dunia duduk bersama dan berkoordinasi melawan inflasi. Pertemuan G-20 adalah forum tertinggi yang tentunya akan membahas masalah upaya global menurunkan inflasi. Para pemimpin dunia harus bisa menghentikan laju ketidakseimbangan global yang semakin 249 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal buruk tidak hanya bagi kesejahteraan dunia, tetapi juga bagi kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang. Bahaya yang terbesar adalah apabila dunia tidak mampu memenuhi kebutuhan akan energi dan pangan dengan peningkatan nyata produksi dunia. Jika inovasi serta teknologi untuk meghasilkan altematif dan upaya penghematan mengalami kegagalan, keadaan menjadi Iebih serius. Pemimpin Davos mengimbau agar negara maju melakukan transfer teknologi, investasi langsung, dan melakukan production network untuk produk energi dan pangan. Yang tak kalah garang adalah seruan dari para “Bagi Indonesia, pemimpin dunia bagi negara masalah keuangan, produsen untuk melakukan energi, dan pangan transparansi data produksi adalah jantung masalah dan pasar, dan bagi para kesejahteraan. Ditambah investor pasar modal untuk dengan pentingnya tidak melakukan spekulasi mitigasi dan adaptasi mengerek kenaikan harga perubahan iklim, energi dan pangan. Akhirnya dan pengentasan penyelesaian krisis energi kemiskinan adalah inti dan pangan harus dimulai masalah perekonomian dari kebijakan nasional di nasional.” masing-masing negara. Pertemuan Davos juga menyerukan penghentian krisis politik. Krisis politik di beberapa negara akhir-akhir ini telah mengurangi fokus prioritas masalah utama, dan bahkan menambah masalah krisis. Kerja sama regional harus terus ditingkatkan dalam berbagai bidang secara komprehensif dan multisektoral, misalnya dalam menyelesaikan masalah energi, pangan, dan 250 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan keuangan secara tidak terpisah. Agenda pertemuan pemimpin negara di tingkat G-20 di Paris nantinya tampaknya masih diperlukan, dengan agenda konkret menyangkut masalahmasalah yang menjadi perhatian di Davos. Bagi Indonesia, masalah keuangan, energi, dan pangan adalah jantung masalah kesejahteraan. Ditambah dengan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan pengentasan kemiskinan adalah inti masalah perekonomian nasional. Di sisi pasokan, kenaikan produksi adalah yang paling utama untuk diupayakan dengan biaya yang seefisien mungkin. Iklim investasi juga harus diperbaiki untuk menarik investor. Di sisi permintaan, upaya peningkatan daya beli dan daya saing adalah esensial. Pemerintah melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter dapat menjaga agar pangan dan energi terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan Davos selalu mengajarkan pentingnya koordinasi kebijakan, dialog, dan kerja sama internasional sebagai kunci mengatasi kebuntuan masalah. Tidak ada lagi egosektoral dan tidak ada satu negara super power ekonomi di muka Bumi. Itulah pesan Davos. Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 31 Jan 2011 *** 251 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Dilema dan Relevansi AMRO Pengantar: AMRO didirikan untuk melakukan studi apabila negara anggota ASEAN plus tiga (China, Jepang, dan Korsel) membutuhkan dana cadangan dalam jangka pendek. Namun operasionalisasi AMRO saat ini masih menimbulkan dilema, seperti dana terkumpul yang disebut CMIM terlalu sedikit dan penarikan diatas 20% harus melewati IMF dan selain itu, fungsi CMIM juga sangat terbatas. Dengan kontribusi dana, AMRO dikendalikan oleh China dan Jepang. Bulan Maret yang lalu penulis sempat memberikan masukan ke deputi ASEAN plus tiga untuk memaksimalkan fungsi CMIM dan pemutusan hubungan dengan IMF. Dengan pemutusan itu, AMRO akan diperkuat oleh ahi makro dan keuangan yang sejajar dengan ahli di IMF. Masalah utama negara ASEAN plus tiga dalam dua tahun terakhir adalah derasnya aliran arus modal masuk. Seperti di Indonesia, cadangan devisa meniingkat dari 20 milyar menjadi 100 milyar, jadi tampaknya Indonesia tidak memerlukan dana CMIM. Dengan dana terbatas, mandat terbatas dan keterkaitan dengan IMF, pembentukan AMRO dirasa sangat dilematis dan kurang relevan dengan masalah sekarang ini. 252 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan D alam pertemuan ke 15 para Menteri Keuangan ASEAN 7-8 April 2011 di Bali, telah diputuskan mengenai operasionalisasi AMRO (ASEAN+3 Macroeconomic Research Office) mulai 1 Mei 2011. AMRO didirikan untuk melakukan studi apabila negara anggota ASEAN plus tiga (China, Jepang dan Korsel) membutuhkan dana pinjaman untuk mengatasi masalah penurunan cadangan devisa dalam jangka pendek. Saat ini, operasionalisasi AMRO menimbulkan dilema. Pertama, masalah yang dihadapi negara-negara ASEAN plus tiga dewasa ini adalah kenaikan cadangan devisa dari derasnya arus modal masuk bukan arus modal keluar, kedua, dana terkumpul yang dikenal dengan CMIM yakni sebesar 120 milyar terlalu sedikit dan penarikan diatas 20% dari kuota tetap harus melalui program IMF (International Monetary Fund). AMRO yang berpusat di Singapore secara umum dibentuk oleh negara-negara ASEAN plus tiga untuk memonitor dan menganalisis serta melakukan penditeksian dini terhadap risiko keuangan di kawasan ASEAN+3. AMRO memberikan rekomendasi kepada otoritas keuangan di ASEAN plus tiga apabila ada negara anggota yang membutuhkan CMIM tersebut. Jumlah dana CMIM pooling fund yang merupakan self-manage (pengelolaan mandiri) dan berasal dari cadangan devisa di masing-masing negara semata-mata untuk mengatasi kebutuhan valas jangka pendek negara anggota. Jumlah dana yang dikumpulkan adalah 120 milyar dolar AS bersumber 80% dari negara plus tiga (China, Jepang dan Korea) dan 20% dari negara-negara ASEAN-10. Dalam melakukan pengelolaan dana CMIM, AMRO berpegangan pada tata kelola sesuai dengan kontribusi dana masingmasing negara. Dengan komposisi kontribusi dana, AMRO dikendalikan oleh China dan Jepang yang masing-masing 253 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menguasai 32 persen dana dan 28,4 persen dari total suara. Masing-masing negara mendapat kuota pinjaman sesuai dengan kontribusinya. Misalnya, Thailand dan Indonesia dapat menarik kuota pinjaman CMIM sebesar masing-masing 11,4 Milyar dolar. Dengan maksimum pinjaman adalah 20% dari kuota, maka kedua negara tersebut hanya dapat menarik tanpa keterlibatan IMF sebesar 2,3 miliar dolar AS. Sebagai catatan, pada tahun 1998 pinjaman dari IMF bagi Thailand dan Indonesia untuk pemulihan ekonomi masing-masing adalah 16 milyar dan 20 milyar dolar AS. Pada tahun 2008, Indonesia menguras dana cadangan devisa sebesar 10 milyar dolar untuk menstabilkan rupiah akibat terjadinya kekeringan dana global. Dilihat dari kebutuhan tersebut, jumlah kuota 2,3 milyar dolar, pinjaman dari CMIM sungguh sangat tidak memadai. Apalagi dengan adanya CMIM berbagai bentuk pertukaran pinjaman likuiditas bilateral (Bilateral Swap) antara negara ASEAN dengan negara-negara plus tiga akan dihapuskan. Fungsi CMIM juga sangat terbatas yakni hanya melakukan pinjaman terhadap anggota yang kesulitan likuiditas jangka pendek yang mengganggu kecukupan cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar. Pinjaman jangka pendek tersebut dapat diperpanjang sampai dua kali dan apabila masih mengalami kesulitan dan tetap terjadi arus modal keluar, maka penyelesaiannya dengan dana pinjaman dari IMF. Itu berarti negara tersebut menghadapi masalah struktural bukan likuiditas semata-mata. Tidak Perlu IMF Bulan Maret yang lalu, kami dan beberapa ekonom dari kawasan ASEAN plus tiga diundang ke Seoul, Korsel oleh para deputi menteri keuangan negara plus tiga untuk memberikan 254 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan masukan mengenai peningkatan kerjasama atau integrasi keuangan dikawasan ASEAN plus tiga. Dalam kesempatan tersebut, Kami memberikan masukan kepada para deputi plus tiga mengenai dana CMIM sebagai berikut; (1) Jumlah dana CMIM dinaikkan dua kali lipat untuk memenuhi kebutuhan minimum apabila terjadi penurunan cadangan devisa dalam jangka pendek, (2) keterkaitan antara dana CMIM dengan IMF (link portion) agar dihapuskan karena kedua instrumen tersebut berbeda tujuannya, (3) persyaratan yang memberatkan pinjaman dana CMIM dihapuskan sehingga dapat dilakukan pencairan dana cepat jika dibutuhkan dan (4) kelebihan dana cadangan devisa yang dikuasasi oleh negaranegara ASEAN saat ini “Keterkaitan antara supaya dapat di manfaatkan dana CMIM dengan untuk menambah modal IMF (link portion) agar pembentukan atau jaminan dihapuskan karena bagi pendanaan investasi kedua instrumen bersama, misalnya untuk tersebut berbeda ASEAN Infrastructure Fund tujuannya.” (AIF). Jelas bahwa keterlibatan IMF dalam pengelolaan dana CMIM tidak relevan. Dana CMIM dipergunakan untuk mengatasi masalah likuiditas jangka pendek, sementara dana pinjaman IMF untuk mengatasi masalah struktural keuangan dan perekonomian. Disamping itu IMF juga mengembangkan instrumen untuk pencegahan krisis yang disebut dengan Precautionary Credit Line (PCL). Dengan dibatasinya 20% dari kuota pinjaman maka CMIM menjadi sangat tergantung pada IMF, padahal keduanya punya fungsi yang berbeda. Dengan menggantungkan diri pada IMF, beberapa negara ASEAN plus tiga juga akan kesulitan untuk melakukan akses pinjaman karena masih menghadapi masalah stigma 255 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dalam bekerjasama dengan IMF. Idealnya 100 persen dana CMIM dipergunakan untuk mengatasi masalah kebutuhan dana likuiditas dana jangka pendek, sedangkan jika suatu negara mengalami masalah struktural perkonomian yang menyebabkan menurunnya cadangan devisa, maka dia dapat mencari pinjaman ke IMF. Dalam masalah tugas studi dan pengawasan keuangan, AMRO akan diperkuat oleh para ahli makro dan keuangan sejajar dengan para ahli di IMF, jadi saya yakin AMRO dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan IMF. IMF juga terbukti sering salah dalam melakukan asesmen bahkan sering tidak berdaya terhadap klien-klien besar seperti AS, Inggris, China dan Jepang. Pengawasan ASEAN plus tiga sebaiknya diserahkan kepada AMRO, dan IMF melakukan pengawasan perekonomian dan keuangan global. Masalah Capital Inflow Seperti diketahui bahwa masalah yang dihadapi oleh Indonesia dan negara-negara di kawasan ASEAN plus tiga dalam dua tahun terakhir adalah derasnya arus modal masuk. Cadangan Devisa Indonesia meningkat lebih dari 20 milyar di tahun 2010 dan kini telah mencapai angka diatas 100 milyar dolar AS. Dengan jumlah tersebut, Indonesia sudah memiliki jaminan yang tangguh untuk memperkuat dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Cadangan Devisa Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mengatasi masalah aliran modal keluar dalam jangka pendek. Jadi tampaknya Indonesia tidak memerlukan dana CMIM apalagi dibatasi maksimum 2,3 milyar dolar. Yang dibutuhkan dalam menghadapi masalah capital inflow adalah pertama, BI membiarkan terdinya penguatan rupiah yang membantu penurunan inflasi dengan tetap 256 Bagian VI – Ekonomi Global dan Integrasi Keuangan mempertahankan rupiah kompetitif. Menurut kami, Rupiah pada kisaran Rp 8600 hingga 8900 per dolar AS masih dalam batas yang wajar, kedua, memperpanjang jangka waktu jatuh tempo SBI (holding period) dan penerbitan obligasi berjangka menengah (10-15 tahun) secara reguler dan aktif, ketiga, memperbanyak Initial public offering (IPO) baik BUMN maupun korporasi. Kerjasama ASEAN melalui pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) akan membantu menampung danadana jangka pendek menjadi dana investasi jangka panjang. Sejak awal pembentukan Indonesia dan Malaysia adalah champion skema pembiayaan tersebut. Sayang kedudukan AIF akan berpusat di Kuala Lumpur, seharusnya di Jakarta, mengingat Indonesia merupakan tujuan pembangunan infrastruktur terbesar di ASEAN. Negara-negara plus tiga juga dapat berpartisipasi dalam pendanaan tersebut. Kelebihan dana cadangan devisa di ASEAN plus tiga juga dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pooling CMIM sehingga jumlahnya bertambah serta diperluas mandat dari AMRO untuk tidak hanya akan mengatasi arus modal keluar tetapi juga sebaliknya. Dengan dana terbatas, mandat terbatas dan keterkaitan dengan IMF, menempatkan pembentukan AMRO menjadi sangat dilematis dan kurang relevan dengan masalah yang kita hadapi saat ini. Pernah dimuat di Kompas, Rabu 13 April 2011 *** 257 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 258 Epilog 259 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal 260 Epilog 10 Tahun Bersama 6 Menkeu dan 2,5 Periode DPR L ima hari setelah dilantik sebagai Menteri Keuangan periode 1999-2004, Menteri Keuangan Bambang Soedibyo menelpon penulis dan minta supaya ke Jakarta untuk bertemu. Saat bertemu beliau meminta penulis untuk menjadi Staf Ahli Menkeu. Terus terang penulis tidak tahu apa itu staf ahli, tugas dan kedudukannya. Waktu ditanya oleh sekretaris jenderal waktu itu P. Noor Fuad mengenai apa pangkatnya, jawabannya tegas IIIA, sebenarnya masih jauh dari persyaratan kepangkatan minimum. Entah mengapa proses mutasi jabatan dari pengajar UGM ke staf ahli menkeu akhirnya selesai meskipun memakan waktu 8 bulan. Jadilah penulis sebagai staf ahli Ib dari menteri keuangan pertama yang memiliki pangkat dan golongan PNS IIIb jauh dibawah persyaratan minimum yang seharusnya yakni IVb dan dalam usia relatif muda yakni 36 tahun. Namun baru satu bulan membantu Menkeu Bambang, tiba-tiba beliau dilengserkan oleh presiden (alm) Gus Dur dari hasil reshuffle kabinet. Disamping diberi tugas memantau keadaan makro, 261 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal waktu itu penulis diberi tugas untuk mendisain desentralisasi fiskal. Penulis juga berkesempatan menjadi wakil pemerintah di Bank Internasional Indonesia (BII) dan Bank Lippo melalui program rekapitalisasi perbankan. Menkeu yang ditunjuk setelah P Bambang adalah seorang bankir dari direksi BRI yakni P. Prijadi Praptosuhardjo berlatar belakang insinyur perikanan. Entah mengapa beliau sangat percaya sehingga kemanapun beliau pergi selalu mengajak penulis. Banyak tugas yang beliau berikan kepada penulis, dari soal substansi makro, APBN, internasional sampai pertemuan informal dengan DPR hingga menulis pidato beliau. Pengalaman yang tidak pernah terlupakan waktu bersama beliau adalah pertamakali datang ke DPR dan langsung diusir oleh salah satu anggota DPR. Namun beliau tidak bergeming dan dengan penuh kesabaran melayani DPR. Tidak hanya DPR, dengan segala keterbatasan dan kesabarannya, staf IMF dilayani, pengusaha di ajak bicara, perjalanan ke luar negeri dijalankan. Tugas-tugas berlajan lancar meskipun sangat berat. Sayangnya kondisi politik waktu itu sangat labil karena konflik terbuka antara presiden Gus Dur dengan DPR yang berakhir dengan pemakzulan presiden. Satu bulan sebelum Gus Dur lengser atau tepatnya 10 bulan menjabat, menkeu Prijadi digantikan oleh Dr. Rizal Ramli, ekonom partikelir kritis dan handal yang sebelumnya menjabat Menko Perekonomian. Sikapnya yang tegas dan konfrontatif dengan IMF serta DPR menyulitkan gerak langkah pemerintah. Presiden Megawati waktu itu lebih cenderung memilih menteri keuangan yang kalem dan berwibawa sekaliber Dr. Boediono. 262 Epilog Era Pemulihan Ekonomi Dibawah P. Boediono, kinerja pemerintah mulai menujukkan stabilitas dan pemulihan ekonomi yang nyata. Hubungan dengan IMF dipulihkan, pertumbuhan ekonomi memasuki zona 6% dan inflasi menurun, rasio utang turun dari 100% ke 60% dari PDB, Indonesia pertama kalinya masuk ke pasar obligasi internasional dan melakukan reskejuling utang pemerintah. P. Boediono juga mengawal tugas-tugas penyehatan perbankan dan fiskal desentralisasi. Tahun 2003, beliau mengangkat penulis sebagai Pjs kepala Badan Analisa Fiskal (BAF). Jabatan struktural pertama yang dijabat penulis dengan status “sementara”. Direktoral Jenderal Pajak dan Bea Cukai mulai dibenahi, organisasi departemen keuangan di reformasi secara perlahan. UU Keuangan Negara dituntaskan. Hubungan BI dan Pemerintah dipulihkan. Penulis bersama dengan Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai sering diberi tugas khusus untuk berkomunikasi dengan DPR, dan lancar. Banyak UU krusial yang tuntas pada jaman beliau, misalnya UU BI, UU Surat Utang Negara dan UU Keuangan Negara. Banyak masalah-masalah besar yang selesai bersama DPR, misalnya dana penjaminan perbankan, merger bank, rekap bank, BLBI dan lain sebagainya. Sayangnya dalam banyak urusan substansi, beliau tidak mengandalkan kemampuan dari staf sendiri tetapi lebih sering menggunakan konsultan asing untuk menangani berbagai macam persoalan yang sebenarnya tidak terlalu pelik. Pada masa duet presiden dan wapres SBY-JK, menteri keuangan bergeser ke Menkeu Jusuf Anwar, pejabat kawakan dari Departemen Keuangan. Menkeu JA tidak sepiawai P. Boediono, namun beliau tahu luar dan dalamnya Departemen Keuangan. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang tinggal berisi unit lembaga keuangan non-bank digabung 263 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal dengan Bapepam menjadi Bapepam dan Lembaga Keuangan sebagai mini otoritas jasa keuangan (OJK). Menkeu JA mempercayai penulis dalam berbagai tugas, baik menyangkut tugas substansi dan ke DPR. Bersama dengan Menko Aburizal Bakrie, menkeu JA menyelamatkan APBN dengan tindakan berani menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008. Ditengah perjalanan kabinet SBY-JK, Menkeu berpindah ketangan Sri Mulyani Indrawati (SMI). Menkeu SMI sangat tangkas, tegas, visioner dan piawai memimpin Departemen Keuangan. Penulis dipercaya memimpin unit baru yang sering beliau sebut sebagai otak dan syarafnya Departemen, yakni Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Oleh SMI semua pihak dirangkul dengan baik, internal, IMF, Bank Dunia, G20, ASEAN, Jepang, China, AS, kabinet, DPR, pangamat, pengusaha, pasar keuangan, akademisi, LSM hingga media. Reputasi SMI sangat bagus dan terpuji di dalam dan luar negeri. Sungguh sayang akhirnya beliau terpental gara-gara kasus Century. Banyak gagasan dan ide-ide penulis yang muncul di jaman beliau karena SMI selalu memberikan kesempatan untuk berkreasi dan menuclkan ide-ide baru, seekstrim apapun. Gagasan-gagasan tersebut membuat Departemen Keuangan menjadi unit yang memiliki reputasi dan kualitas birokrasi yang diandalkan. Hubungan Mutual dan Kordial DPR Selama 2,5 periode atau 4+4+2 tahun penulis bekerjasama dengan DPR secara mutual, menghargai, kordial dan saling percaya. Perkenalan penulis degan pimpinan dan anggota Panitia (sekarang Badan) Anggaran dan komisi XI adalah suatu aset yang tak ternilai harganya. Selama perjalanan 10 tahun berhubungan dengan DPR secara umum tidak menemukan kesulitan berarti dalam berkomunikasi 264 Epilog dengan DPR. Sebagain besar anggota DPR yang penulis temui memiliki kualitas yang memadai dan memberikan kontribusi berarti bagi pemerintahan. Selama berinteraksi, Penulis banyak belajar dari anggota dan eks anggota DPR dan berkualitas seperti Endin Soefihara, Suharso Monoarfa (PPP sekarang Menpera), Abdullah Zaini (alm), Hafiz Zawawi, Enggartiasto Lukito, Melky Mekeng dan Harry Azis (Golkar), Benny Pasaribu, Didik Supriyanto, Ara Sirait, Hasto Kristianto, Arief Budimanta (PDIP), Tjatur Sapto Edy, Drajad Wibowo, (PAN, sekarang pengamat), Andi Rachmat, Zulkiflimansyah, Kemal Stamboel dan Rama Pratama (PKS, sekarang BSBI), Anas Urbaningrum dan Achsanul Qosasi (Demokrat), Ishartanto dan Ali Masykur Musa (PKB sekarang BPK) serta Akbar Faisal (Hanura). Kualitas DPR di bidang ekonomi di komisi IX (dulu) dan XI sekarang serta di Badan Anggaran secara umum tidak perlu diragukan. Selama 10 tahun berkarier di Kementrian Keuangan, Penulis merasa tidak ada ganjalan yang berarti baik di pemerintahan ataupun dengan DPR serta tidak pernah terlibat dalam praktek transaksi korupsi. Allhamdullillah penulis telah diberi perlindungan hingga tidak terjerumus dalam praktek-praktek yang dikenal di masyarakat seperti jual beli pasal, membeli suara DPR, mendapat kickback dari pengusaha, memberi iming-iming ataupun bentuk-bentuk transaksi lainnya. Bagi penulis, bekerja di lingkungan pemerintahan dahulu ataupun sekarang di lingkungan pendidikan tinggi samasama memiliki tanggungjawab yang besar kepada rakyat. Pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja di pemerintahan adalah suatu pengalaman yang menyenangkan dan sangat berharga karena dapat langsung melakukan perubahan. Bekerja dibawah pimpinan enam menteri keuangan dan 265 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal berinteraksi langsung dengan ratusan anggota DPR dalam 2,5 periode adalah suatu keunikan tersendiri dengan berbagai perbedaan gaya kepemimpinan, pergaulan dan dinamika. Mengabdi di perguruan tinggi dengan reputasi tinggi seperti UGM sangatlah terhormat karena menjadi tumpuan harapan para ribuan remaja yang kelak akan menjadi pemimpin generasi mendatang. Kalau keduanya dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesesungguhan akan bermakna dalam mengaruhi perjalanan hidup pribadi, bangsa dan negara di dunia dan di akherat kelak. Dimanapun berkerja sama saja, setelah meninggalkan satu tempat, tidak perlu ada penyesalan, terus beramal dan berkarya......... *** 266 Epilog Hilangnya Kehangatan di Jakarta S ingkat saja waktunya. Selain karena Anggito sibuk dan saya harus menyelesaikan tugas di kantor, tidak enak pastinya berlama-lama untuk pertemuan pertama. Apalagi di pertemuan pertama itu, saya cuma mau bilang nebeng untuk acara yang akan digelar esok harinya: Kompasiana Monthly Discussion atau biasa disingkat Kompasiana Modis. Anggito datang tepat waktu Jumat malam itu. Dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai di bawah siku, Anggito tidak berbeda dengan tampilannya yang kerap di layar hampir semua televisi. Dua bulan terakhir sebelum kami bertemu, Anggito memang tampil di mana-mana. Tidak hanya di televisi, tetapi juga di hampir semua media. Semua orang membicarakannya. Keputusan mundur dari Kementerian Keuangan yang 10 tahun lamanya dilibati membuatnya jadi bahan pembicaraan. Anggito jadi bahan pembicaraan tentu saja karena aneh. Di tengah kecenderungan orang mencari jabatan, Anggito memilih meninggalkannya ketika tawaran datang. Karena 267 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal kekecewaan sudah singgah, janji-janji jabatan baru yang disampaikan tidak menarik perhatiannya. Saya tidak mencari jabatan. Ini soal pertaruhan harga diri profesional saya yang terusik dan saya tidak bermaksud untuk mendapatkan jabatan lain, ujar Anggito. Tidak diperhitungkannya harga diri oleh pihak pemberi janji jabatan membuat Anggito kecewa. Pihak pemberi janji jabatan seolah-olah hanya memandang semua orang butuh jabatan meskipun harga diri terkorbankan. Anggito menegaskan dirinya tidak demikian. Maaf untuk penolakan yang saya sampaikan! ujarnya tenang sambil mengatupkan bibir rapat-rapat. Tersiratnya perasaan kecewa kepada pihak pemberi janji membuat perasaan saya kacau. Kekacauan perasaan itu terutama karena buku yang saya pegang dan hendak saya berikan. Sudah saya duga, begitu buku berjudul Pak Beye dan Istananya saya berikan, raut wajah Anggito berubah. Untuk meredam perubahan raut wajahnya, saya perlahan memberi penjelasan umum soal isi buku itu agar tidak salah sangka. Setelah raut wajahnya kembali normal, saya minta Anggito meluangkan waktu sejenak untuk membaca buku itu. Setelah sedikit merasa nyaman kembali, Anggito justru banyak bercerita tentang hubungan dan persinggungannya dengan tokoh yang saya tulis sisi tidak pentingnya dalam buku Pak Beye dan Istananya. Kami kemudian tertawa bersama karena mendapati pengalaman yang kurang lebih sama terkait tokoh itu. Setelah pertemuan singkat itu, Anggito menuju aula di Plasa Telkom Yogyakarta yang akan menjadi tempat Kompasiana Modis. Malam itu, Anggito yang membawa 268 Epilog flute kesayangannya hendak mencoba sistem suara bersama grup band Koala. Bersama Koala yang hingga kini diasuhnya, Anggito tampil membawakan dua lagu sebagai pembuka Kompasiana Modis. Salah satu lagu yang memberinya banyak ruang untuk meniup flute-nya adalah lagu berjudul Cinderamata. Kepada Koala yang anggotanya satu almamater dengan dirinya di SMA 3 Yogyakarta, Anggito mengungkapan perasaannya untuk turut mengambil tanggung jawab. Menemukan mereka yang berbakat, saya merasa turut bertangung jawab membesarkan dengan cara yang baik agar tidak tersesat, ujarnya. Kami kemudian bertemu keesokan harinya, tepat di ujung Juli 2010. Meskipun saya nebeng acara dan dijadwalkan lima menit sebelum acara selesai, saya datang 20 menit sebelum acara dimulai. Bersamaan dengan panitia yang sedang menyiapkan segala keperluan, saya masuk aula bersama dengan sekitar 100 kompasianer (sebutan untuk blogger Kompasiana). Mereka yang datang, Sabtu, 31 Juli 2010 itu antusias ingin mendengar langsung dari Anggito. Kemelut yang terjadi terkait dirinya yang akhirnya memilih pergi dan kembali ke Yogyakarta yang dicintainya jadi topik utama. Kemelut itu berawal dari Istana, Selasa, 5 Januari 2010. Saat itu, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menjelaskan jadwal pelantikan Sekretaris Kabinet dan lima wakil menteri untuk memperkuat Kabinet Indonesia Bersatu II. Lima wakil menteri yang akan dilantik adalah Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Wakil Menteri Kesehatan, dan Wakil Menteri Pertahanan. 269 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Namun, pada hari pelantikan di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Anggito batal dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan. Panggilan ke Puri Cikeas Indah dan kontrak politik yang sudah diteken Anggito diabaikan. Saat kemudian tidak jadi dilantik pun, tidak ada pembicaraan atau pembatalan untuknya. Sudi Silalahi yang dicopot dari jabatan Sekretaris Kabinet untuk menjadi Menteri Sekretaris Negara menjelaskan kepada media. Pelantikan Anggito ditunda karena syarat administratif belum terpenuhi. Agak janggal untuk urusan sepenting ini. Daftar riwayat hidupnya, kan, baru diterima. Setelah dilihat dan dicocokkan dengan persyaratan bahwa seorang wakil menteri harus sudah berada pada posisi structural eselon I-A, itu belum dipenuhi, tentu kita tak bisa memaksakan, kata Sudi. Lebih lanjut Sudi mengemukakan, pemanggilan kandidat oleh Presiden untuk menandatangani kontrak kinerja dan pakta integritas bukanlah jaminan bakal dilantik. Pemenang dan pemegang kuasa memang bisa melakukan apa saja. Pada hari pelantikan, Anggito yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan tidak hadir di Istana Negara. Fahmi Idris, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikadan Dokter Indonesia hadir dalam kebingungan. Fahmi diberitahu beberapa jam sebelum pelantikan di Istana Negara bahwa pelantikannya ditunda di gelombang berikutnya. Berdasarkan peraturan yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Perpres No 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementrian Negara, 270 Epilog wakil menteri adalah jabatan karier, pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I-A. Anggito tidak memenuhi syarat administratif meskipun sudah dipanggil ke Istana dan diminta menandatangani kontrak kinerja. Cikeas adalah tempat tinggal pembuat dan penandatangan Perpres No 47/2009. Jabatan Anggito yang ada keputusan presidennya adalah eselon I-B. Sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (eselon I-A), kepresnya masih dalam proses di Sekretariat Kabinet. Padahal, jabatan itu sudah melekat pada Anggito sejak 2006. Empat tahun mungkin belum cukup untuk proses di Sekretariat Kabinet dimana Presidennya kerap mengemukakan tentang one day service untuk urusan surat menyurat. Kasus Anggito dan Fahmi yang terkendala soal administratif bukan kasus pertama. Sebelumnya, kalau ingatan kita tidak terlalu pendek, kita akan ingat dengan kasus Nila Djuwita Moeloek. Nila telah mengikuti uji kelayakan sebagai Menteri Kesehatan batal dilantik dan diganti calon lain. Agak janggal memang mendapati cara kerja seperti ini. Kelengkapan administratif diabaikan untuk urusan sepenting ini. Tidak heran jika kemudian muncul prasangka politik terkait pembatalan-pembatalan ini. Ketika kemelut ini terjadi, Departemen Keuangan sedang diserang politisi di DPR. Kasus Bank Century adalah pintu masuknya. Dalam kemelut panjang itu, mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal Mei adalah pintu keluarnya. Diakui oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat yang saat ini Menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mundurnya Sri Mulyani menjadi faktor 271 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal penyejuk politik nasional yang panas dan syarat kepentingan saat itu. Selang beberapa minggu setelah mundurnya Sri Mulyani untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia dan dilantiknya Agus Martowardoyo sebagai Menteri Keuangan dan Anny Ratnawati sebagai Wakil Menteri Keuangan, Anggito menyampaikan surat pengunduran diri. Saya berbicara dengan Pak Menteri (Agus), tanggal 24 Mei 2010 saya mundur. Sopan-sopannya saya minta izin, ujar Anggito. Setelah izin dikabulkan, Anggito yang bercita-cita menjadi pemusik sejak remaja kembali ke kota tempatnya menumbuhkan cita-cita sebagai remaja. Ya, Yogyakarta. Meskipun tanpa jabatan mentereng dengan sejumlah fasilitas yang menyertainya, Anggito tidak kekurangan kebahagiaan saat kembali ke Yogyakarta. Kerinduannya yang terwujud untuk mengajar di almamaternya di Universitas Gadjah Mada membahagiakannya. Dengan flute yang dibelinya saat hijrah ke Jakarta 10 tahun lalu, Anggito juga kerap kembali ke SMA Negeri 3 Yogyakarta. Grup band Koala adalah salah satu yang ditemuinya untuk berlatih bersama. Meskipun banyak pihak menyayangkan keputusannya mundur, Anggito merasa lega dan mengucap syukur. Tidak ada kebencian meskipun kecewa tetap dirasakannya. Seperti kerap saya sampaikan, harga diri, martabat, dan profesionalitas adalah tiga hal yang tidak bisa dikompromikan, ujarnya. Meskipun kembali ke Yogyakarta selepas mundur, Anggito tetap bolak-balik Jakarta-Yogyakarta karena isterinya, Arma Latief, sedang menyelesaikan studi S-2. Selain mengajar, aktivitas Anggito adalah menulis artikel di berbagai media, menulis buku, membantu UGM mendesain program riset, 272 Epilog latihan musik, mendukung kegiatan mahasiswa, marching band, bola basket, dan lain-lain. Terakhir, Anggito secara mengejutkan terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (2010-2014). Sebuah amanah yang sesuai dengan hobinya. Ketika dalam Kompasiana Modis ditanyakan alasannya mundur, Anggito menjelaskan semata-mata demi martabat dan harga diri. Semua itu saya lakukan agar menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk dapat menghargai hak seseorang, siapa pun dia. Sekarang saya kembali ke UGM, saya akan tetap mengabdi kepada bangsa dan negara tercinta, ujarnya. Kembali ke Yogyakarta membuat Anggito meninggalkan rumah dinas dan semua fasilitas yang menyertainya selama 10 tahun. Di Yogyakarta, Anggito menempati rumah dinas mertuanya di Jalan Banteng Utama, Sleman, DI Yogyakarta. Selama hidup, Anggito tidak punya rumah pribadi. Rumah dinas yang ditempati orang tuanya di Bulaksumur C-21 sudah diserahkan ke UGM. Di rumah yang ditempati ayahnya, dosen Teknologi Pertanian UGM, Anggito tumbuh menjadi remaja. Setelah menikah, Anggito tinggal bersama isteri, dan anak-anak di rumah mertua di kawasan Kotabaru, Yogyakarta. Sepulang studi S-2 di dan S-3 di University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, Anggito kembali ke rumah mertuanya. Selama 10 tahun membangun karier di pemerintahan, Anggito berpindah-pindah rumah dinas. Saya tidak pernah punya rumah pribadi. Maunya memang punya rumah pribadi, tetapi kami tidak pernah menetap, ujar Anggito. 273 Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal Anggito berpendapat, rumah tidak harus berwujud bangunan. Di mana pun, asalkan kehangatan keluarga dirasakan, ia merasa telah menemukan rumah. Kehangatan itu kini hadir bersamaan dengan mewujudnya kerinduan Anggito kembali ke UGM dengan orang-orang tercinta ada di sekitarnya. Anak pertamanya, Mahditya Putra Mahardika kuliah di UGM. Anak bungsunya, Nadia Rahma Pratiwi tinggal di asrama SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah. Apalagi, di salah satu sudut taman rumah mertuanya berdiri tiang untuk berlatih bola bakset bersama putra sulungnya. Kalau tidak puas bermain basket di UGM, Anggito dan Mahdiyta bermain bola basket bersama di halaman rumah dinas barunya. Tidak terlalu istimewa untuk banyak orang, tetapi kehangatan hadir di sana. Wisnu Nugroho, Wartawan Kompas Penulis Buku Tetralogi Sisi Lain SBY (Pak Beye dan Istananya, Pak Beye dan Politiknya, Pak Beye dan Kerabatnya, dan Pak Beye dan Keluarganya) dan Pak Kalla dan Presidennya. *** 274 275 276 DR. Anggito Abimanyu P enulis merupakan salah seorang dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Dilahirkan di Bogor, pada tanggal 19 Februari1963. Saat ini penulis juga menjabat sebagai Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, setelah berkarir di dalam pemerintahan, sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional (1999-2000) Staf Ahli Menteri Keuangan Republik Indonesia (2000-2005), Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (2005-2007), dan puncaknya sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2007– 2010). Penulis memperoleh gelar S.E. dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, M.S. (Drs.) dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, gelar M.Sc. dari University of Pennsylvania, Philadelphia, USA, dan gelar Ph.D. dari University of Pennsylvania, Philadelphia, USA. Pada tahun 1983, penulis mendapatkan penghargaan sebagai Mahasiswa Teladan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1997 penulis menerima penghargaan sebagai Peneliti Muda Terbaik Tingkat Nasional, LIPI-BPPT, serta pada tahun 2000, penulis 277 mendapatkan pula penghargaan sebagai Dosen Teladan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah aktif sebagai deputi pemneri keuangan RI di berbagai forum internasional, ASEAN, ASEAN+3, APEC dan G20. Penulis sekarang masih aktif dalam forum internasional sebagai konsultan di ADBI/ ADB Studies on ASEAN dan berbagai forum-forum ekonomi internasional. Penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonensia (ISEI) pusat periode 2009 hingga 2012. Aktif di kegiatan kesenian dan olahraga. Mampu memainkan beberapa instrumen musik dan mencipta beberapa lagu populer untuk lagu tema (themesong) nasional dan internasional, dan menjadi ketua umum persatuan bola basket nasional (Perbasi), tahun 2010 hingga 2014. *** 278 279