TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Plutella xylostella Linn. P. xylostella dikenal dengan nama Diamondback Moth karena pada sayapnya terdapat pola gambaran menyerupai bentuk berlian dengan pinggiran berenda. Seringkali disebut pula sebagai hama putih karena saat makan daun kubis, larva hanya meninggalkan serpihan epidermis berwarna putih pada bagian daun yang diserangnya. Pada pustaka terdahulu dinamakan P. maculipennis Curtis. Larva memakan daun famili Brassicaceae (Kalshoven 198 1). P. xylostella merupakan herbivora penting karena menyerang tanaman sayuran : kubis, sawi, lobak, mustard dan berbagai jenis Brassicaceae lainnya. Selain sayuran yang telah disebutkan sebelurnnya, larva P. xylostella juga menyerang selada air (Nasturtium officinale) dan tumbuhan liar Alyssum sp. Tanaman hias seperti Mathiola sp juga disukai oleh P. xylostella (Sastrosiswoyo 1987). Penyebaran serangga P. xylostella cukup luas dan dapat ditemukan pada pertanaman kubis di Amerika, Eropa, Australia dan Selandia Baru. Untuk Afrika Selatan, Inggris dan Belanda, P. xylostella dikendalikan dengan sejurnlah parasitoid. Selain daerah-daerah yang telah disebutkan, penyebaran P. xylostella ditemukan di Fiji, Jamaika, Hawai dan Indonesia. Khusus di Indonesia penyebarannya meliputi : Jawa, Bali, Sulawesi dan Sumatera (Sastrosiswoyo 1987). Untuk wilayah Indonesia, hama P. xylostella dapat menimbulkan kerusakan berat pada pertanaman kubis terutama yang berada di daerah pegunungan atau pertanaman kubis dataran tinggi (Vos 1953). 6 Telur P. xylostella berbentuk oval, berwarna putih kekuningan dengan panjang berkisar 0,25 mm sampai 0,50 mm. Umumnya telur ini berada pada bagian bawah daun sepanjang tulang daun dan tepi dam. Peletakan telur dapat secara tunggal maupun berkelompok Warna telur menjadi bertambah gelap saat akan menetas (Kalshoven 1981). Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago selama hidupnya adalah 92 hingga 130 butir (Vos 1953). Jumlah telur yang diletakkan oleh imago betina P. xylostella berbeda jurnlahnya dan sangat tergantung pada kandungan nutrisi pakan. Saat imago betina P. xylostella meletakkan telur pada tanaman sawi maka jumlah telurnya 160 butir per betina dan mengalami penurunan saat bertelur pada tanaman kubis. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan alil-isotiosianat yang berada pada tanaman (Gupta & Thorsteinson 1960). Serangga P. xyIostella akan memilih meletakkan telur pada permukaan daun yang kasar dibandingkan dengan permukaan daun yang halus dan pengaruh perbedaan kandungan sinigrin pada jenis daun tersebut. Sinigrin merupakan rnetabolit sekunder yang bersifat racun pada beberapa spesies serangga. Adapun serangga hama yang mampu beradaptasi pada famili Brassicaceae karena mempunyai enzim glukosinolase yang bersifat detoksifikasi terhadap sinigrin. Manfaat sinigrin adalah mengtundari kolonisasi serangga polifag pada tanaman famili Brassicaceae (Sastrosiswoyo 1987). Larva P. xylostella terdiri dari empat instar. Biasanya larva yang baru menetas dari telur akan masuk ke dalam jaringan daun dan meninggalkan epidermis daun yang dimakannya, Larva berwarna hijau muda lalu menjadi hijau tua saat mencapai instar ke empat. Ciri khas larva P.xyIostella adalah menjatuhkan diri dengan benang sutera apabila mendapat gangguan. 7 Lebar kapsul kepala untuk tiap instar berbeda dan biasanya lebar kapsul kepala ini akan tetap bertahan selama satu instar. Hasil penelitian Vos (1953) menunjukkan bahwa lebar kapsul kepala rata-rata 0,16 mm untuk larva instar pertama, 0,24 mm untuk larva instar kedua, 0,37 mm untuk larva instar ketiga dan 0,59 mm untuk larva instar keempat. Stadium larva pada masing-masing instar tersebut berturut-turut adalah 4 hari, 2 hari, 3 hari dan 3 hari. Kalshoven (1981) mengemukakan bahwa larva instar terakhir sebelum berkepompong terlebih dahulu memintal benang yang akan dibuat kokon yang urnumnya terdapat pada sisi bawah daun. Kokon tersebut dibuat dalam waktu kurang dari 24 jam. Imago berupa ngengat kecil yang benvarna cokelat keabu-abuan. Ciri khas ngengat P. xylostella adalah sayapnya mempunyai pola gambaran menyerupai bentuk berlian dan terlihat sangat jelas saat beristirahat. Pola tersebut ditemukan lebih gelap pada ngengat betina dibandingkan dengan ngengat jantan. Panjang ngengat kurang lebih 8 mm. Sifat lain ngengat adalah aktif pada senja dan malam hari untuk mencari makan dan bertelur. Pada siang hari ngengat hinggap pada permukaan daun sebelah bawah (Sastrosiswoyo 1987). Pakan ngengat adalah nektar bunga dan bertelur pada dam bagian bawah tanaman Brassicaceae (Kalshoven 1981). Suhu udara sangat berpengaruh bagi perkembangan P. xylostella. Sastrosiswoyo (1987) mengemukakan bahwa batas suhu udara maksimal untuk perkembangan P. xylostella adalah 40°C dan batas minimal 10°C. Kelembaban nisbi (RH) kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan kehidupan serangga P. xylostella. Keperidian imago P. xylostella sangat tergantung pada kondisi suhu lingkungan saat telur berkembang menjadi imago. Telur yang diletakkan berkurang pada tempat yang bersuhu udara tinggi. Suhu udara yang tinggi mempengaruhi kondisi fisik serangga sehingga perkembangannya sering terharnbat pada dataran rendah (Vos 1953). Faktor lain yang cukup berperan adalah curah hujan. Curah hujan dapat berpengaruh terhadap jarak terbang imago dan oviposisi betina P. xylostella. Biasanya curah hujan yang deras membuat jarak terbang imago lebih pendek dan mencuci larva dari permukaan daun serta meningkatkan kelembaban nisbi udara di atmosfir (Sastrosiswoyo 1987). Bioekologi parasitoid Diadegma semiclausum Hellen Musuh alarni P. xylostella yang cukup terkenal adalah parasitoid larva D. semiclausum Hellen yang berkembang baik di daerah dataran tinggi. Menurut Borror et al. (1992) D. semiclausum diklasifikasikan dalam Kelas : Insekta, Ordo : Hymenoptera, Sub ordo : Apocrita, Super famili : Ichneumonoidea, Famili : Ichneumonidae. Penggunaan parasitoid dalam pengendalian P. xylostella dimulai tahun 1928 dengan menggunakan Diadegma (Angitia) fenestralis Holmg. (Hymenoptera : Ichneumonidae) dari Belanda, tapi gaga1 dibiakkan dalarn laboratorium karena perbedaan iMim yang terlalu besar (Kalshoven 1981). Tahun 1938 spesies lain parasitoid yaitu D. eucerophaga Horstm. (Angitia cerophaga Grav.) yang berasaldari Inggris dimasukkan ke Selandia Baru bagian selatan yang beriklim subtropis dan berkembang dengan baik pada tempat tersebut. Kemudian parasitoid menyebar dan berkembang di bagian utara yang beriklim hangat. Dari bagian utara Selandia Baru 9 tahun 1950 oleh Vos (1953) dimasukkan spesies D. eucerophaga (D. semiclausum Hellen) sebagai usaha kedua yang ternyata berhasil. Pada tahun yang sama parasitoid tersebut yang berhasil dikembangkan di Pacet (Jawa Barat) dilepaskan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera (Kalshoven 1981). Sifat parasitoid ini spesifik karena hanya menyerang larva P.xylostella. Parasitoid tersebut sampai luni ternyata dapat menekan populasi P. xylostella dan telah berkembang baik terutama di Jawa Barat dengan tingkat parasitisasi antara 5 hingga 86 %. Khusus di daerah Tanah Karo (Sumatera Utara) parasitoid D. semiclausum tidak dapat berkembang dengan baik akibat tingginya pemakaian pestisida (Sastrosiswoyo 1987). Ooi (1992) melaporkan di Malaysia D. semiclausum dapat berkembang secara memuaskan dan di Taiwan persentase parasitisasinya mencapai di atas 50 %. Parasitoid D. semiclausum bersifat endoparasit dan dapat bertelur pada semua instar larva P. xylostella. Walaupun larva inang telah terparasit, ia tetap hidup karena larva parasitoid mengikuti perkembangan inangnya. Akhirnya larva yang terparasit tidak dapat membentuk pupa karena mati oleh larva parasitoid yang langsung membentuk kokon di dalam kokon inangnya (Kalshoven 1981). Kartosuwondo (1987) mengemukakan bahwa telur parasitoid yang diletakkan di dalam tubuh inang berbentuk hymenopterifonn seperti umumnya bentuk telur Hymenoptera dan berwarna putih transparan. Setelah diletakkan dalam tubuh inang, telur mengalami perkembangan. Dari saat peletakan telur sampai 30 jam kemudian, telur bertambah besar ukurannya karena menyerap cairan tubuh inangnya. Selain itu larva parasitoid terdiri dari instar pertama, instar pertengahan dan instar terakhir 10 sebelum memintal kokon. Seperti kebanyakan serangga Hymenoptera lainnya imago parasitoid D. semiclausum mengisap nektar dari tumbuhan berbunga sebagai sumber makanannya (Tooker & Hanks 2000). Pengendalian secara biologi dengan parasitoid D. semiclausum merupakan komponen utama dari PHT hama kubis P. xylostella. Telah diketahui bahwa dalam pengendalian P. xylostella, tanaman kubis tidak pernah lepas dari penggunaan insektisida. Penggunaan insektisida yang sangat intensif pada pertanaman kubis dataran tinggi dapat memusnahkan populasi parasitoid D. semiclausum. Berdasarkan survei pada beberapa daerah pertanaman sayuran dataran tinggi, parasitoid D. semiclausum berkurang populasinya dan jarang ditemukan bila tanaman kubis diperlakukan insektisida dengan sangat intensif (Sastrosiswoyo 1987). Pemanfaatan tumbuhan berbunga oleh parasitoid Hymenoptera Tumbuhan liar (wild plant) yang tumbuh di sekitar lahan yang ditanami dengan tanaman budidaya dapat berstatus gulma jika secara langsung atau tidak langsung mengganggu tanaman utama. Gulma mempunyai beberapa pengertian yaitu (1) tumbuhan yang tidak tumbuh pada tempatnya, (2) tumbuhan yang belum diketahui kegunaan atau manfaatnya dan (3) tumbuhan yang mempunyai nilai negatif (Deptan 1983). Tumbuhan berbunga yang menghasilkan produk berupa tepung sari dan nektar sebagai sumber nutrisi bagi kebanyakan imago Hymenoptera (Tooker & Hanks 2000). Nektar bunga dapat meningkatkan lama hidup, keperidian dan persentase parasitisasi serangga parasitoid Hymenoptera (Idris & Grafius 1995). 11 Tumbuhan berbunga di sekitar lahan tanaman budidaya berperan sebagai sumber nektar, tepung sari dan menjadi tempat tinggal inang alternatif bagi parasitoid yang hidup pada tempat tersebut. Jika beberapa jenis tanaman pertanian menyediakan nektar dan tepung sari, biasanya ketersediaannya dalam waktu yang sangat terbatas. Alternatif lain, adanya kutu daun pada tanaman tertentu dapat menjadi sumber pakan tambahan parasitoid karena ia menghasilkan produk berupa embun madu. Hal ini dijumpai pada famili Aphididae dimana imago parasitoid Lysiphlebus testaceipes Cress (Hym : Braconidae) mendapatkan sumber pakan tambahan dari inangnya (Sandlan 1979 dalam Godfray 1994). Jika tidak terdapat tumbuhan berbunga pada suatu lahan, parasitoid yang berada pada daerah tersebut dapat berpindah ke tempat lain. Perpindahan ini menurunkan efektivitas parasitisasi karena energi dan waktu banyak terbuang (Powell 1986). Secara tidak langsung ketiadaan tumbuhan berbunga menurunkan populasi parasitoid Hymenoptera pada suatu tempat. Contoh yang menarik adalah tumbuhan Nasturtium spp. (Brassicaceae) dapat menjadi reservoir bagi larva P. xylostella bila lahan belum ditanami dengan kubis atau famili Brassicaceae lainnya. Hal ini dikarenakan Brassicaceae liar daunnya menjadi pakan P. xylostella dan bunganya menjadi sumber nektar bagi imago P. xylostella dan D. semiclausum. Kondisi ini memungkinkan parasitoid D. semiclausum yang ada pada tempat tersebut dapat tetap hidup dan memarasit inangnya. Upaya ini menunjang tindakan konservasi musuh alami pada lahan pertanian (Kartosuwondo 1987). Lama hidup serangga parasitoid sangat menentukan dalam pengendalian serangga hama. Saat pelepasan diharapkan imago betina parasitoid dapat hidup lama. Parasitoid telur Copidosoma koehleri (Hym:Encyrtidae) lama hidup betina 7 hari bila 12 mengkonsumsi nektar buckwheatflower dan imago jantan hanya bertahan sehari. Saat diberikan campuran madu-air 20 % (honey-water) maka parasitoid betina dapat bertahan hingga 12 hari dan parasitoid jantan 3 hari (Baggen & Gurr 1998). Hal ini terjadi karena nektar bunga banyak mengandung glukosa dan asam amino yang dapat meningkatkan metabolisme serangga parasitoid (Idris & Grafius 1995). Selain lama hidup, nektar bunga dapat meningkatkan keperidian imago parasitoid betina. Peningkatan tersebut tidak hanya berasal dari tumbuhan berbunga sebagai sumber nektar tapi juga berasal dari kutu daun yang menyediakan embun madu sebagai sumber pakan tambahan. Berdasarkan hasil penelitian Idris dan Grafius (1995) tanaman Chenopodia album (Chenopodiaceae) dan Sonchus awensis (Asteraceae) yang dihuni oleh kutu dam sebagai penghasil embun madu dapat meningkatkan keperidian D. insulare (Hym : Ichneumonidae). Telur D. insulare betina berjurnlah 70 butir bila memakan embun madu dari tanaman C. album dan 60 butir saat makan embun madu dari tanaman S. awensis. Dalam ha1 ini kehadiran kutu daun pada tanaman memberikan dampak positif terhadap peningkatan keperidian imago parasitoid Hymenoptera. Beberapa imago parasitoid dari famili Ichneumonidae pergerakannya selalu aktif dalam mencari nektar dan larvanya hidup pada larva inang Lepidoptera yang merupakan hama perusak tanaman pertanian (DeLima 1980 dalam Pickett & Bugg 1998). Idris dan Grafius (1995) melaporkan bahwa persentase parasitisasi D. insulare pada P. xylostella meningkat akibat mengkonsumsi nektar yang dihasilkan dari bunga tanaman brokoli yang dikenal sebagai tanaman budidaya. Secara urnum tanaman budidaya tidak dapat menghasilkan nektar karena biasanya di panen pada masa 13 vegetatif, kecuali saat panen disisakan beberapa tanaman untuk menjadi sumber benih untuk musim tanam berikutnya. Sebelum menghasilkan benih biasanya tanaman menghasilkan bunga yang dimanfaatkan kehadirannya sebagai sumber pakan tambahan. Baggen dan Gurr (1998) melaporkan bahwa persentase parasitisasi C. koehleri berkorelasi positif dengan jarak sumber pakan tambahan. Pada jarak 1 meter persentase parasitisasi C. koehleri terhadap larva P. operculella (Lepidoptera : Gelechiidae) sebesar 55 % dan pada jarak 16 meter sebesar 39 %. Persentase parasitisasi serangga Hymenoptera meningkat pada lahan yang ditanami dengan plot tumbuhan berbunga (Nentwig 1991 dalam Pickett & Bugg 1998). Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa kehadiran tumbuhan berbunga di pertanaman memberikan manfaat yang nyata dalam usaha konservasi musuh alami. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah tumbuhan liar penghasil bunga yang bermanfaat untuk musuh alami dapat ditanam di pinggiran lahan tanaman budidaya (Nentwig 1991 dalam Pickett & Bugg 1998). Tumbuhan berbunga yang ditemui di sekitar lahan kubis Famili Asteraceae Galinsoga pamiflora Cav. Sinonim dengan Wollastana zollingeriana auct.non Sch.-Bip yang berasal dari Peru lalu menyebar ke daerah tropis. Pertama kali ditemukan di Jawa sebelum 1890 lalu menyebar ke seluruh Indonesia kecuali Kalimantan dan Maluku. Hidup pada tepi sawah, hutan, taman, tepi jalan dan perkebunan dengan ketinggian 300-2500 meter dpl (Soerjani et al. 1987). Tanaman tegak dengan tinggi 20-60 cm dan mempunyai percabangan yang kuat. Batang berbulu, dam bersilangan berbentuk lonjong dengan 14 panjang 1,5-5,O rnrn dengan kedua permukaan tertutup bulu. Bunga berkelamin dua, mempunyai tabung mahkota dengan panjang 1-2 mm dan berwarna kuning. Bijinya pipih dan akan diterbangkan oleh angin saat kering (Everaarst 1981). Famili Brassicaceae (Cruciferae) Brassica juncea (L.) Cosson Berasal dari Asia Selatan lalu menyebar ke Indonesia dan negara Asia lainnya. Dikenal sebagai sawi hijau (caisin) yang biasa dibudidayakan sebagai tanaman sayur pada pekarangan, sela-sela pertanaman kubis, bawang daun dan jenisjenis sayuran lainnya. Hidup pada ketinggian 0-1000 meter dpl. Daunnya berbentuk roset dan membentuk kanopi yang menutupi permukaan tanah. Panjang dam 15-30 cm dengan permukaan halus dan ujungnya tajam. Bunga berwarna kuning, bergerombol dan berada pada ujung batang. Menghasilkan polong berukuran 7 cm dan lebarnya 3-5 rnm. Satu polong menghasilkan biji sebanyak 10-25 butir. Biji akan terlempar keluar saat polong masak (Opena 1988). Cardamine hirsuta L. Menyebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada ketinggian 700 2600 meter dpl. Hidup pada tepi selokan dan tempat lembab lainnya. Tanaman tegak dengan tinggi 5-35 cm. Daun tersebar 5-11 helai tiap cabang. Bunga berada pada puncak tanaman. Mahkota bunga warna kuning. Menghasilkan polong yang akan melontarkan bijinya saat masak. Biji berwarna cokelat kemerahan berbentuk lonjong dan memipih (Everaarst 1981). Nasturtium indicum (L.)DC Sinonirn dengan Rorippa indica (L.) Hiern.; R. atrovirens (Hornem.) Ohwi & Hara.; R. sinapsis (Burm.f.) Ohwi & Hara. Berasal dari Asia menyebar ke Afiika dan Indonesia. Hidup pada tanah lembab sepanjang aliran air dengan ketinggian 0-2000 meter dpl. Tanaman setahun yang tegak dengan tinggi 10-50 cm, batang seringkali bercabang dari dasarnya. Daun bersilangan bentuk lonjong dengan ukuran 4-10 cm. Menghasilkan banyak bunga pada ujung tanaman dengan panjang 5-10 cm. Mahkota bunga warna kuning. Menghasilkan polong yang ramping dengan panjang 15-25 mm. Biji warna cokelat kemerahan dan akan menyebar saat polong masak atau lewat aliran air (Soerjani et al. 1987). Farnili Capparidaceae Cleome rutidosperma DC Sinonim dengan C. czliata Schurn. & Thonn. Berasal dari Afrika Barat menyebar ke Angola lalu diintroduksi ke Karibia. Pertama kali dilaporkan tahun 1920 di Medan (Sumatera Utara) dan Jawa (Jakarta) tahun 1958. Ditemukan di Singapura dan Thailand tahun 1946 d m Burma tahun 1948. Hidup pada dataran rendah, pekarangan dan persawahan pada ketinggian 0-1000 meter dpl. Tanamannya tegak, seringkali bercabang dengan tinggi 15-100 cm. Batangnya bentuk persegi. Daunnya berjari tiga, berbentuk oval atau lonjong. Bunga berkelarnin dua berada pada ketiak daun dan menyebar secara tunggal. Mahkota bunga warna ungu muda sering bercampur warna merah muda. Buah bentuk polong dengan panjang 4-10 rnrn. Biji berwarna cokelat atau hitam d m akan terlempar keluar saat polong masak (Soerjani et al. 1987). Famili Lythraceae Cuphea microphylla H.B.& K. Berasal dari Arnerika tropis dan menyebar ke Indonesia kecuali Irian Jaya. Tumbuh di tarnan, tepi jalan dengan ketinggian 0-1000 meter dpl. Biasa dijadikan sebagai tanaman hias. Merupakan tanaman tegak, banyak percabangan dengan tinggi 10-40 cm. Batang segiempat dengan daun bersilangan berbentuk lonjong. Bunga berkelamin dua turnbuh pada ketiak daun, kadang menyebar tunggal atau bergerombol. Mahkota bunga berwarna ungu atau putih. Berkembang biak dengan potongan bagian tanaman (Steenis 1988). Famili Oxalidaeeae Oxalis barrelieri L. Sinonim dengan 0.sepium A. St.-Hill. var. picta Prog. Berasal dari Arnerika Selatan dan menyebar ke negara-negara tropis seperti Indonesia. Khusus Indonesia ditemukan di sekitar Bogor (Jawa Barat) untuk pertama kali pada tahun 1888. Saat ini penyebarannya telah sampai ke Sumatera, Jawa dan Irian Jaya. Ditemukan di sekitar taman, sepanjang jalan, tepi sungai d m padang rumput dengan ketinggian 01500 meter dpl. Herba tegak dengan tinggi diatas 0,5 meter tanpa stolon. Batangnya bercabang, daun bersilangan dan satu tangkai terdiri dari 3 helai daun. Bunga berkelamin dua, mahkota bunga wama merah muda, sebagian kehijauan dengan bintik kuning. Menghasilkan buah dengan bentuk segilima dengan biji 3-4 butir per bilik. Biji menyebar lewat angin dan semut (Soerjani et al. 1987). 17 Oxalis corniculata L. Daerah asalnya tidak diketahui dengan pasti tapi bersifat kosmopolitan di daerah tropis dan sub tropis. Khusus Indonesia ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ketinggian di bawah 3000 meter dpl. Ditemukan pada semua jenis tanah, tepi selokan, padang rumput, tembok rumah dan tepi sawah (Everaarst 1981). Tanaman tahunan dengan panjang 5-35 cm, bercabang banyak, ramping dan berakar pada tiap mas. Batang bulat dan berambut. Daunnya terdiri 3 helai. Bunga berada pada ketiak daun, berkelamin dua dengan mahkota berwama kuning dan gelap pada dasar bunga. Buah terdiri dari 5 bilik berbentuk segilima dengan biji wama cokelat kemerahan saat masak. Penyebaran biji lewat serangga dan terlempar saat masak (Soerjani et al. 1987). Famili Scrophulariaceae Linderrtia crustacea (L.) F.v.M. Sinonim dengan L. rninuta Koord. ;Mimulus javanicus Bl.; Torenia crustacea Hassk.; T. minuta Bl.; Vandellia crustacea Benth.; V. minuta Miq. Berasal dari Asia tropis lalu menyebar ke Indonesia. Turnbuh pada tanah lembab, lapangan, taman, bebatuan sumur dan tanah keras. Kebanyakan pada ketinggian dibawah 1500 meter dpl. Tanaman tahunan yang tegak dengan banyak percabangan pada dasar perakaran. Batangnya berukuran panjang 4-20 cm dengan tinggi di bawah 8 cm. Batang segiempat dengan daun bersilangan, lonjong dan mempunyai banyak gerigi. Bunga tunggal, berkelamin dua, terletak pada ketiak daun atau diujung tanaman. Warna 18 mahkota bunga putih atau ungu pucat, dasar bunganya ungu tua dengan bintik kuning. Biji bentuk lonjong warna kuning kecokelatan. Penyebaran biji lewat aliran air (Soejani et al. 1987).