TINJAUAN PUSTAKA Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar dan embun madu sebagai makanannya. Serangga yang diparasit atau inangnya akhirnya mati ketika parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya. Parasitoid biasanya berukuran lebih kecil daripada inangnya (Shelton 2012). Musuh alami seperti parasitoid, sering digunakan untuk mengendalikan hama. Pengendalian hayati ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara kimia, antara lain tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Siklus hidup parasitoid yang lebih pendek dibandingkan inangnya dapat menekan laju pertumbuhan inangnya (Hoffmann & Frodsham 1993). Salah satu famili dari ordo Hymenoptera yang dapat digunakan sebagai pengendali hama adalah famili Chalcididae. Famili ini terdiri dari bermacam macam genus, dan salah satunya adalah Brachymeria. Brachymeria sp. dapat dijadikan sebagai pengendali hayati terhadap hama-hama terutama dari ordo Lepidoptera dan ordo Diptera dengan teknik pengendalian secara konservasi. Eksplorasi parasitoid Brachymeria sp. untuk mengendalikan hama terutama dari ordo Lepidoptera dapat dilakukan pada stadia pupa, dimana hama atau inang sedang berkembang menjadi pupa, sedangkan pada ordo Diptera dilakukan pada stadia larva instar akhir (Goulet & Huber 1993). Klasifikasi Parasitoid Salah satu hal yang menjadi dasar dalam mengklasifikasikan parasitoid adalah dimana telur diletakkan dan letak stadia pradewasanya berkembang. Klasifikasi ini membagi parasitoid menjadi dua jenis yaitu endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasitoid yang memasukkan telurnya kedalam tubuh inang. Contoh parasitoid yang termasuk endoparasit adalah Trichogramma spp, Brachymeria lasus, dan Cotesia glomerata. Parasitoid yang mematikan inangnya terlebih dahulu dengan menusukkan ovipositornya kemudian meletakkan telur dipermukaan atau di dekat inangnya disebut ektoparasitoid. 4 Contoh ektoparasitoid adalah Phytoditus yang menyerang larva Lepidoptera, Chepalonia stephanoderes yang tergolong parasitoid larva pada hama buah kopi Hyphotenemus hampei, dan Chepalonia stephanoderes merupakan ektoparasit pada larva-larva instar akhir (Purnomo 2010). Klasifikasi lain dari parasitoid adalah berdasarkan jenis stadia inang. Beberapa parasitoid dari ordo Hymenoptera dapat menyerang inang pada stadia yang berbeda. Parasitoid telur adalah parasitoid yang memarasit (meletakkan telur) pada inang yang masih stadia telur. Contoh parasitoid telur adalah Trichogramma sp. yang menyerang telur dari hama Scirpophaga incertulas. Parasitoid larva adalah parasitoid yang meletakkan telur pada inang yang masih stadia larva. Contoh parasitoid larva adalah Eriborus argenteopilosus yang memarasit larva dari Crocidolomia binotalis. Parasitoid pupa, nimfa dan bahkan imago masing masing meletakkan telur pada inang stadia pupa, nimfa, dan imago. Parasitoid Hymenoptera juga dapat meletakkan telur pada stadia tertentu dan muncul pada stadia berikutnya. Salah satu contoh parasitoid ini adalah Holcothorax testaceipes yang meletakkan telur pada inang stadia telur dan muncul pada saat inang stadia larva atau biasa disebut parasitoid telur-larva. Adapula parasitoid larva-pupa seperti Tetrastichus howardi pada Pluttela xylostella (Godfray 1993). Berdasarkan jumlah imago yang berkembang dalam satu inang, parasitoid dibagi menjadi parasitoid soliter dan gregarius. Apabila hanya satu parasitoid yang berkembang pada satu inang maka parasitoid tersebut adalah parasitoid soliter, sedangkan parasitoid gregarius dalam satu inang dapat berkembang lebih dari satu imago parasitoid (Purnomo 2010). Hubungan Inang dan Parasitoid Pada umumnya hubungan populasi serangga hama (inang) dengan parasitoidnya adalah bertautan padat (density dependent). Jika populasi inang meningkat maka populasi parasitoid juga akan meningkat dan dapat menekan populasi inang tersebut (Huffaker & Messenger 1976). Proses penemuan inang oleh parasitoid dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu (1) penemuan habitat, (2) penemuan inang, (3) penerimaan inang, dan (4) kesesuaian inang (Doutt 1959 dalam Takabayashi et al. 1998). Proses yang berlangsung secara terus-menerus 5 tersebut umumnya dimulai dengan reaksi parasitoid terhadap stimulasi yang diproduksi oleh inang dan apabila proses tersebut berlanjut, parasitoid akan lebih berorientasi pada inang (Hailemichael et al. 1994). Menurut Godfray (1994), penemuan habitat inang bukan merupakan faktor penting apabila parasitoid sudah menemukan lokasi inang secara tepat. Pada setiap tahapan tersebut parasitoid distimulasi senyawa kimia baik yang dihasilkan oleh serangga inang maupun oleh tanaman yang dimakan oleh inang (Takabayashi & Dicke 1996 dalam Takabayashi et al. 1998). Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia. Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan gerakan. Walaupun deteksi inang menggunakan senyawa kimia merupakan metode penemuan inang yang paling banyak digunakan, beberapa parasitoid menggunakan cara lain untuk mendeteksi keberadaan inangnya. Gerakan inang yang dideteksi secara visual sering menjadi petunjuk akhir bagi parasitoid untuk menemukan lokasi inangnya (Godfray 1994). Faktor lain yang ikut berperan dalam penemuan inang adalah pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid (Weseloh 1972). Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah proses diterima atau ditolaknya inang untuk peletakan telur setelah terjadi kontak (Arthur 1981). Schdmidt (1974 dalam Arthur 1981) membagi proses tersebut dalam empat fase yaitu (1) kontak dan pemeriksaan, (2) penusukan dengan ovipositor, (3) pemasukan ovipositor, dan (4) peletakan telur. Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan sehingga bila terjadi hambatan dalam salah satu fase, proses dimulai lagi dari awal. Kesesuaian inang menentukan keberhasilan perkembangan parasitoid sampai menjadi imago. Menurut Vinson & Inwantsch (1980), hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya: (1) kemampuan parasitoid dalam menghindar atau melawan sistem pertahanan inang, (2) kompetisi dengan parasitoid lain, (3) adanya toksin yang merusak atau mengganggu telur atau larva parasitoid, dan (4) kesesuaian makanan parasitoid. Faktor-faktor lainnya adalah (1) faktor lingkungan, (2) infeksi patogen, (3) kerentanan inang, dan (4) pengaruh agen pengendali serangga. 6 Pengendalian Hayati dengan Parasitoid Pengendalian hayati dengan parasitoid adalah upaya pengendalian menggunakan musuh alami berupa parasitoid. Pengendalian hayati ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara kimia, antara lain tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Wanta 2003). Sebagian besar parasitoid merupakan ordo Hymenoptera. Hymenoptera parasit merupakan kelompok terbesar dari serangga parasit yang larvanya berkembang pada atau dalam tubuh inangnya yang juga berupa serangga yang lain. Hymenoptera parasit berjumlah ribuan spesies di seluruh dunia dan memiliki biologi yang kompleks dan menarik. Parasitoid mempunyai satu sifat yang sama yang membedakannya dari serangga karnivor yang lain (predator), yaitu hanya memerlukan satu individu inang selama perkembangannya, sedangkan predator membutuhkan lebih dari satu mangsa untuk perkembangannya (Pudjianto 1994). Goodfray (1993) menyatakan bahwa berdasarkan perilaku makannya, parasitoid dapat diklasifikasikan menjadi dua. Beberapa parasitoid berkembang dan makan di dalam tubuh inang dan dikenal sebagai endoparasitoid. Parasitoid yang lain makan dan berkembang di luar tubuh inang dan disebut ektoparasit. Parasitoid dapat juga dibedakan berdasarkan stadia inangnya seperti parasitoid telur yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia telur, parasitoid larva yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia larva, dan parasitoid pupa yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia pupa (Novianti 2008). Parasitoid Brachymeria sp. Parasitoid Brachymeria sp. termasuk dalam ordo Hymenoptera famili Chalcididae. Ukuran tubuh imago Brachymeria sp. berkisar antara 2-7 mm dengan femur tungkai belakang sangat menggembung dan bergerigi, mempunyai alat peletakan telur (ovipositor) yang sangat pendek pada ujung abdomen, dan sayap-sayap yang tidak terlipat secara longitudinal saat beristirahat (Boror et al. 1996). Parasitoid ini memiliki ciri fisik bewarna hitam dengan ukuran tubuh mencapai 12 mm dan bagian femur tungkai belakang membesar. Jumlah Telur parasitoid Brachymeria sp. sangat bervariasi sesuai dengan ukuran inang. 7 Perkembangan parasit umumnya berlangsung cepat. Siklus hidup parasitoid ini berkisar antara 12-13 hari (Kalshoven 1981). Brachymeria sp. merupakan endoparasitoid yang bersifat gregarius bila ukuran inangnya besar, tetapi soliter bila ukuran inangnya kecil. Imago parasitoid meletakkan telur dalam pupa yang baru terbentuk. Pupa inang yang terparasit akan mati dalam satu atau dua hari. Pupa inang terparasit kemudian mengeras dan kaku ketika parasitoid di dalamnya telah menetas dari telurnya. Telur yang dihasilkan oleh induk parasitoid diletakkan pada permukaan kulit inang atau dimasukkan langsung ke dalam tubuh inang dengan tusukan ovipositornya. Larva yang keluar dari telur kemudian menghisap cairan tubuh atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang (Kalshoven 1981). Genus Brachymeria mempunyai banyak spesies. Salah satu spesies yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Brachymeria lasus. Parasitoid Brachymeria lasus Taksonomi dan Morfologi Brachymeria lasus Walker (Hymenoptera: Chalcididae) termasuk ke dalam ordo Hymenoptera, Superfamili Chalcidoidea dan Famili Chalcididae (Joseph et al. 1973). Imago parasitoid B. lasus memiliki panjang tubuh yang bervariasi antara 5 sampai 7 mm. Kepala berwarna hitam. Antena berbentuk siku, dengan ruas pertama panjang dan ruas-ruas berikutnya kecil dan membelok pada satu sudut dengan yang pertama dan merupakan ciri antena bertipe genikulat (Boror et al. 1996). Imago B. lasus baik jantan maupun betina mempunyai femur tungkai belakang yang membesar dengan bagian apikal bewarna kuning, dan tibia belakang bewarna krem-kekuningan (Joseph et al. 1973). Erniwati dan Ubaidillah (2011) menyatakan bahwa antena berbentuk siku terdiri dari 6 sampai 12 ruas (Gambar 1a) dan femur bagian belakang membesar dengan bagian apikal berwana kuning dan tibia belakang berwarna kuning (Gambar 1b). 8 Gambar 1 Ciri morfologi imago B. lasus (a, Antena; b, tungkai belakang; Sumber: Erniwati dan Ubaidillah 2011) Parasitoid dewasa jantan dan betina yang keluar dari inang pada waktu bersamaan dapat segera berkopulasi, tetapi pada beberapa spesies kopulasi terjadi segera setelah imago betina keluar dari inang. Di lapangan kopulasi mungkin terjadi lebih dari satu kali (Prabowo 1996). Parasitoid jantan umumnya muncul sedikit lebih awal daripada parasitoid betina sehingga kopulasi terjadi segera setelah kemunculan parasitoid betina (Pudjianto 1994). Imago betina B. lasus umumnya mempunyai ukuran yang lebih besar daripada imago jantan. Menurut Valindria (2012) imago parasitoid betina mempunyai panjang tubuh (tidak termasuk ovipositor) 6.86 mm dan lebar kepala 2.49 mm sedangkan imago jantan mempunyai panjang tubuh 6.15 mm dan lebar kepala 2.18 mm. Gejala Inang Terparasit Inang yang terparasit memiliki ciri-ciri struktur tubuh yang berbeda dari pupa sehat. Tubuh pupa terparasit mengeras dan terdapat bercak-bercak berwarna hitam. Seluruh tubuh pupa terparasit akhirnya akan berwarna hitam dan jika disentuh atau diganggu tidak bergerak (Gambar 2a). Inang yang tidak terparasit akan tetap sehat dan bewarna kuning segar kecoklatan, dan jika disentuh atau diganggu akan bergerak (Gambar 2b) (Valindria 2012). 9 Gambar 2 Gejala parasitisati B. lasus pada pupa E. thrax ( a, Pupa terparasit; b, pupa sehat; Sumber: Valindria 2012) Valindria (2012) mengungkapkan bahwa pupa inang yang terparasit akan menunjukkan perubahan gejala setiap harinya hingga imago parasitoid muncul. Hal ini merupakan reaksi tubuh inang yang terparasit terhadap perkembangan parasitoid di dalamnya. Pada hari pertama inang yang terparasit hanya diam dan bila disentuh tidak akan bergerak. Pada hari kedua inang mulai menunjukkan gejalanya dengan munculnya garis-garis hitam pada abdomennya (Gambar 3a). Diduga bahwa larva parasitoid mulai muncul pada hari kedua. Hari ketiga gejalanya sama dengan hari kedua. Pada hari keempat inang mulai kaku dan garis hitamnya semakin jelas (Gambar 3b). Pada hari keenam pupa kaku dan berwarna coklat kehitaman pada seluruh tubuhnya (Gambar 3c). Inang akan semakin keras dan bewarna hitam pada hari kedelapan (Gambar 3d). Pada hari kesembilan parasitoid di dalam pupa inang telah menjadi pupa. Pada hari ke sepuluh pupa inang terparasit bewarna hitam dan semakin keras bila disentuh (Gambar 3e). Pada hari-hari berikutnya tidak banyak perubahan pada tubuh pupa terparasit hingga imago parasitoid muncul. 10 Gambar 3 Perubahan gejala pupa E. thrax terparasit oleh B. lasus (a, hari kedua; b, hari keempat; c, hari keenam; d, hari kedelapan; e, hari kesepuluh; Sumber: Valindria 2012) Pupa E. thrax yang terparasit oleh B. lasus memiliki eksoskeleton yang keras atau kaku, berwarna hitam, dan mati. Gejala awalnya adalah pupa mengeras dan apabila disentuh tidak bergerak atau pergerakkannya sangat lambat, kemudian berangsur berwarna hitam yang dapat dilihat dalam waktu 2-3 hari setelah terparasit. Efek bagi inangnya adalah kematian setelah parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya (Kalshoven 1981). Siklus Hidup Siklus hidup adalah rentang waktu yang diperlukan untuk perkembangan parasitoid sejak telur diletakkan sampai imago parasitoid mulai meletakkan telur kembali. Siklus hidup B. lasus bekisar antara 12-14 dengan lama stadium telur, larva, dan pupa B. lasus berturut-turut adalah: 2.4 hari, 5.6 hari, dan 6.3 hari, dan siklus hidupnya adalah 14.3 hari (Valindria 2012; Kalshoven 1981). Keturunan yang dihasilkan oleh imago betina yang tidak kopulasi atau tidak mengalami pembuahan semuanya berkelamin jantan. Imago betina yang mengalami kopulasi menghasilkan keturunan jantan dan betina. Menurut Boror et al. (1996), keturunan yang dihasilkan pada kebanyakan kelompok ordo Hymenoptera dikontrol oleh proses pembuahan telur. Telur yang telah dibuahi akan berkembang menjadi betina, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berkembang menjadi imago jantan. Kelangsungan hidup imago B. lasus tergantung pada ketersediaan makanan, seperti nektar atau madu. Kelangsungan hidup semua organisme sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan. Larutan madu sangat dibutuhkan 11 untuk kelangsungan hidup imago parasitoid. Makanan akan menjadi sumber energi yang sangat dibutuhkan untuk pergerakan parasitoid dan mendukung produksi telur (Pudjianto 1994). Nutrisi yang terkandung dalam madu berpengaruh terhadap kesuburan imago jantan dan produksi telur imago betina. Protein, gula, air, karbohidrat, dan vitamin bagi sebagian besar serangga merupakan unsur penting untuk produksi telur. Setiap serangga mempunyai kebutuhan yang berbeda yang harus terpenuhi dan apabila mengalami kekurangan akan menurunkan kemampuan produksi telurnya (Prabowo 1996). Inang B. lasus dapat memarasit kelompok Lepidoptera, tetapi terkadang juga menyerang Hymenoptera dan Diptera. Goulet dan Huber (1993) menyebutkan bahwa B. lasus dapat digunakan untuk mengendalikan hama terutama dari ordo Lepidoptera dan ordo Diptera. Pada ordo Lepidoptera pengendalian dilakukan pada stadia pupa, sedangkan pada ordo Diptera dilakukan pengendalian pada stadia larva instar akhir. Suputa (2011) menyebutkan bahwa B. lasus merupakan salah satu parasitoid yang ditemukan memarasit serangga Arctornis sp. (Lepidoptera: Lymantriidae). Selain itu, parasitoid B. lasus juga telah diketahui dapat memarasit sekitar 120 spesies serangga lain (Erniwati & Ubaidillah 2011). Spesies yang pernah dilaporkan terparasit antara lain Erionota thrax, Anomis flava di China, Taiwan, dan Filiphina (Ferino et al. 1982; Lam 1996), Leucinodes orbonalis di Filiphina (Navasero 1983), Trichoplusia ni di Amerika (Dindo 1993), Arctornis sp., dan Lymantria atemeles yang merupakan spesies ulat bulu yang sempat outbreak di Probolinggo (Suputa 2011; Noerman 2012). Biologi Erionota thrax Erionota thrax termasuk golongan serangga ordo Lepidoptera, famili Hesperiidae dengan metamorfosis holometabola. Imago betina meletakkan telur secara berkelompok berkisar antara 10-37 butir telur pada permukaan bawah daun pisang yang masih muda pada sore hari (Kalshoven 1981, Hasyim et al. 1999). 12 Telur yang baru diletakkan berwarna kuning terang, kemudian berubah menjadi merah terang dan memucat. Telur akan menetas menjadi larva pada hari ke 5-8 setelah diletakkan (Capinera 2008). Larva yang masih muda berwarna kuning kehijauan dengan tubuh yang dilapisi lilin. Larva yang ukurannya lebih besar berwarna putih kekuningan dan tubuhnya dilapisi lilin. Masing masing larva hidup soliter dalam satu gulungan daun pisang (Feakin 1971). Stadium larva berlansung selama 28 hari. Larva memakan daun pisang dari dalam gulungan daun pisang dan membentuk gulungan yang lebih besar sesuai dengan perkembangan larva sampai instar akhir. Mortalitas larva muda cukup tinggi karena permukaan tubuh larva belum terlapisi lilin dan gulungan daun masih terbuka (Kalshoven 1981). Stadium prapupa E. thrax berlansung selama 3 hari. Tubuh pupa muda berwarna kuning terang dan berubah secara berangsur menjadi lebih gelap sampai berwarna coklat gelap (Feakin 1971). Pupa berada di dalam gulungan daun pisang dan dilapisi lilin. Panjang pupa bisa ± 6 cm dan mempunyai proboscrs. Stadium pupa berlansung selama 8-12 hari (Capinera 2008). Imago E. thrax seringkali disebut skipper (aktif pada sore hari). Imago berwarna coklat dengan bintik kuning pada sayap depannya. Panjang rentangan sayapnya ± 7.5 cm (Freakin 1971). Imago terbang bebas mencari madu atau nectar bunga tanaman pisang. Imago aktif pada pagi dan sore hari, siklus hidup E. thrax di bogor berkisar antara 5 sampai 6 minggu (Kalshoven 1981).