3 TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Menggunakan Parasitoid Pengendalian hayati menggunakan parasitoid adalah upaya menggunakan musuh alami berupa parasitoid. Pengendalian hayati ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara kimia, antara lain tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Wanta 2003). Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar atau embun madu sebagai makanannya. Serangga yang diparasit atau inangnya akhirnya mati ketika parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya. Parasitoid biasanya menyerang tahap kehidupan tertentu dari satu atau beberapa spesies tertentu. Siklus hidup parasitoid yang lebih pendek dibandingkan serangga inangnya dapat digunakan untuk menekan laju pertumbuhan inangnya (Shelton A 2012). Sebagian besar parasitoid merupakan ordo Hymenoptera. Hymenoptera parasit merupakan kelompok terbesar dari serangga parasit yang larvanya berkembang pada atau dalam tubuh inangnya yang juga berupa serangga yang lain. Hymenoptera parasit berjumlah ribuan spesies di seluruh dunia dan memiliki biologi yang kompleks dan menarik. Parasitoid mempunyai satu sifat yang sama yang membedakannya dari serangga karnivor yang lain (predator), yaitu hanya memerlukan satu individu inang selama perkembangannya, sedangkan predator membutuhkan lebih dari satu mangsa untuk perkembangannya (Pudjianto 1994). Goodfray (1993) menyatakan bahwa berdasarkan perilaku makannya, parasitoid dapat diklasifikasikan menjadi dua. Beberapa parasitoid berkembang dan makan di dalam tubuh inang dan dikenal sebagai endoparasitoid. Parasitoid yang lain makan dan berkembang di luar tubuh inang dan disebut ektoparasit. Parasitoid dapat juga dibedakan berdasarkan stadia inangnya seperti parasitoid telur yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia telur, parasitoid larva yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia larva, dan parasitoid pupa yaitu parasitoid yang memarasit inangnya pada stadia pupa. (Novianti 2008). 4 Parasitoid Brachymeria sp. Brachymeria sp. termasuk ordo Hymenoptera famili Chalcididae yang berukuran sedang (panjangnya 2-7 mm) dengan femur belakang sangat menggembung dan bergeligi, mempunyai alat peletakan telur (ovipositor) yang sangat pendek dan sayap-sayap tidak terlipat secara longitudinal saat beristirahat (Boror et al. 1996). Parasitoid ini memiliki ciri fisik bewarna hitam dengan ukuran tubuh mencapai 12mm, dan tungkai belakang bagian femur membesar. Imago betina dapat dibedakan melalui ovipositornya. Jumlah Telur parasitoid Brachymeria sp. sangat bervariasi sesuai dengan ukuran inang. Perkembangan parasit umumnya berlangsung cepat. Siklus hidup parasitoid ini berkisar antara 12-13 hari (Kalshoven 1981). Brachymeria sp. merupakan endoparasitoid yang bersifat gregarious bila ukuran inangnya besar, tetapi soliter bila ukuran inangnya kecil. Imago parasitoid meletakkan telur dalam pupa yang baru terbentuk. Pupa inang yang terparasit akan mati dalam satu atau dua hari, kemudian mengeras dan kaku ketika parasitoid di dalamnya telah menetas dari telurnya. Telur yang dihasilkan oleh induk parasitoid diletakkan pada permukaan kulit inang atau dimasukkan langsung ke dalam tubuh inang dengan tusukan ovipositornya. Larva yang keluar dari telur kemudian menghisap cairan tubuh atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang (Kalshoven 1981). Genus Brachymeria mempunyai banyak spesies, dan salah satu di antaranya yang terdapat di Indonesia adalah Brachymeria lasus. Parasitoid Brachymeria lasus Taksonomi Brachymeria lasus Walker (Hymenoptera : Chalcididae) termasuk ke dalam ordo Hymenoptera, Superfamili Chalcidoidae dan Famili Chalcididae (Joseph et al. 1973) Morfologi Imago parasitoid B. lasus memiliki panjang tubuh yang bervariasi antara 5-7 mm. Kepala berwarna hitam. Antena berbentuk siku, dengan ruas pertama 5 panjang dan ruas-ruas berikutnya kecil dan membelok pada satu sudut dengan yang pertama merupakan antena bertipe genikulat (Boror et al. 1996). Imago B. lasus baik jantan maupun betina mempunyai femur tungkai belakang yang membesar dengan bagian apikal bewarna kuning, dan tibia belakang bewarna krem-kekuningan (Joseph et al. 1973). Erniwati dan Ubaidillah (2011) menyatakan bahwa antena berbentuk siku terdiri dari empat sampai enam ruas (Gambar 1a) dan femur bagian belakang membesar dengan bagian apikal berwana kuning dan tibia belakang berwarna kuning (Gambar 1b). a b Gambar 1 Antena B. lasus (a) dan femur tungkai belakang (b) (Sumber: Erniwati dan Ubaidillah 2011) Serangga dewasa jantan dan betina yang keluar dari inang pada waktu bersamaan dapat segera berkopulasi, tetapi pada beberapa spesies kopulasi terjadi setelah imago keluar dari inang. Di lapangan kopulasi mungkin terjadi lebih dari satu kali (Prabowo 1996). Serangga jantan umumnya muncul sedikit lebih awal daripada serangga betina sehingga kopulasi terjadi segera setelah kemunculan serangga (Pudjianto 1994). Kisaran Inang B. lasus dapat memarasit kelompok Lepidoptera, tetapi terkadang juga menyerang Hymenoptera dan Diptera. Goulet dan Huber (1993) menyebutkan bahwa B. lasus dapat digunakan untuk mengendalikan hama terutama dari ordo Lepidoptera dan ordo Diptera. Pada ordo Lepidoptera pengendalian dilakukan pada stadia pupa, sedangkan pada ordo Diptera dilakukan pengendalian pada stadia larva instar akhir. 6 Suputa (2011) menyebutkan bahwa B. lasus merupakan salah satu parasitoid yang ditemukan memarasit serangga Arctornis sp. (Lepidoptera: Lymantriidae). Selain itu, parasitoid B. lasus juga telah diketahui dapat memarasit sekitar 120 spesies serangga lain (Erniwati & Ubaidillah 2011)