4 I. TINJAUAN PUSTAKA A. Parasitoid Brachymeria sp. Penggunaan parasitoid sebagai agens pengendali biologis untuk mengendalikan serangga hama merupakan salah satu tindakan yang bijaksana dan cukup beralasan untuk dilaksanakan. Menurut Purnomo (2010), parasitoid mempunyai ciri-ciri menghabiskan inangnya di dalam perkembangannya, inang parasitoid adalah serangga, ukuran tubuh parasitoid bisa lebih kecil atau sama dengan inangnya, parasitoid dewasa tidak lagi melakukan aktivitas parasitasi dan parasitoid hanya berkembang dalam satu inang. Menurut ADW (2014), klasifikasi Brachymeria sp. dapat dituliskan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Class : Insecta Ordo : Hymenoptera Famili : Chalcididae Genus : Brachymeria Spesies : B. lasus Brachymeria sp. termasuk ordo Hymenoptera famili Chalcididae yang berukuran sedang (panjangnya 2-7 mm) dengan femur belakang sangat menggembung dan bergeligi, mempunyai alat peletakan telur (ovipositor) yang sangat pendek dan sayap-sayap tidak terlipat secara longitudinal saat beristirahat (Boror et al. 1996). Parasitoid ini memiliki ciri fisik bewarna hitam dengan ukuran tubuh mencapai 12mm, dan tungkai belakang bagian femur membesar. Imago betina dapat dibedakan melalui ovipositornya. Jumlah Telur parasitoid Brachymeria sp. sangat bervariasi sesuai dengan ukuran inang. Perkembangan parasitoid umumnya berlangsung cepat. Siklus hidup parasitoid ini berkisar antara 12-13 hari (Kalshoven 1981). Pracaya (2011) menuliskan bahwa tabuhan betina menghisap madu. Telur sebanyak 75 butir selama 20 hari diletakkan pada pupa yang disengatnya terlebih dahulu. Setelah menetas, larva yang keluar akan segera memakan bangkai pupa 4 5 yang ditempatinya. Setelah 2 hari, larva akan segera menjadi pupa selama 10 hari. Tabuhan dewasa kemudian akan keluar dan kawin. Tabuhan akan mulai bertelur 3 hari kemudian. Tabuhan Brachymeria sp. ini bisa mengurangi banyak ulat pada tanaman melati gambir, pisang dan tanaman lainnya. Namun, tabuhan ini juga menjadi hiperparasit pada Ichneumonid dan Charops yang menjadi parasit larva. Antena berbentuk genikulat segmen lebih sedikit Abdomen Brachymeria jantan lebih kecil Antena berbentuk genikulat, segmen lebih banyak Abdomen Brachymeria betina lebih besar Gambar 1. Perbedaan Brachymeria sp. jantan dan betina Brachymeria lasus merupakan salah satu parasitoid yang ditemukan memarasit serangga Arctornis (Lepidoptera: Lymantriidae). Selain itu, parasitoid B. lasus juga telah diketahui dapat memarasit sekitar 120 spesies serangga lain. Spesies yang pernah dilaporkan terparasit antara lain Erionota thrax, Anomis flava di China, Taiwan, dan Filiphina, Leucinodes orbonalis di Filiphina, Trichoplusiani di Amerika, Arctornis, dan Lymantria atemeles yang merupakan spesies ulat bulu yang sempat menjangkit di Probolinggo (Nurzaizi 1986). Okolle et al. (2006) menuliskan bahwa terdapat 5 endoparasitoid primer yang ditemukan, yaitu Ooencyrtus erionotae Ferriere, Cotesia erionotae Wikinson, Brachymeria albotibialis Hoffman, Elasmus sp. dan Melaloncha sp.. korelasi antara populasi E. thrax dan jumlah serangga terparasitir menunjukkan hubungan positif yang kuat. Puncak persentase parasitasi pada Agustus, Oktober dan Februari dengan nilai 60-100%. 6 Parasitoid E. thrax telah dipelajari, dan dilaporkan bahwa 94% telur, larva dan pupa telah diparasitir oleh 6 species parasiotid. Telur E. thrax terparasitir oleh famili Encyrtidae, Eupelmidae, Eulophidae dan Pteromelidae. Larva E. thrax terparasit oleh Ichneumonidae, Brachonidae dan Eulophidae. Pupa E. thrax terparasit oleh Ichneumonidae dan Chalcididae (Erniwati et al. 2011). B. Ulat Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax) Pisang merupakan salah satu komoditas pertanian yang dapat dimanfaatkan daunnya untuk membungkus makanan. Ditinjau dari segi lingkungan, daun pisang sebagai barang substitusi kertas dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena kertas lebih sulit untuk diolah kembali. Namun, budidaya pohon pisang banyak mengalami kendala. Penelitian di Papua New Guinea menyebutkan bahwa serangan hama E. thrax pada tanaman pisang menyebabkan defoliasi 60% dan penurunan produksi 30% (Waterhouse et al. 1998). Insiden dari hama juga terjadi di Kerala, India. Soumya et al. (2013) menyebutkan bahwa E. thrax mempunyai siklus hidup mencapai 40 hari. Berikut merupakan taksonomi E. thrax yang diadopsi dari ITIS (2016): Kingdom : Animalia Class : Insecta Ordo : Lepidoptera Family : Hesperiidae Genus : Erionota Spesies : E. thrax E. thrax adalah salah satu hama tanaman pisang yang penting dan dikenal sebagai hama penggulung daun (banana skipper). Serangan hama Erionota thrax termasuk ordo Lepidoptera, famili Herperidae dan mempunyai daerah penyebaran di Indonesia (Susniahti et al. 2005). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa di Indonesia hama ini banyak menyebabkan kerusakan tanaman pisang di Kawasan Timur Indonesia, terutama pada daerah-daerah yang terlindung oleh angin. Hama tersebut menyebabkan kerugian ekonomi pada pertanaman pisang di Papua New Guinea (Sands et al. 1991). 7 Hama ini menyerang bagian daun pisang dan dikenal sebagai ulat penggulung daun pisang. Apabila dibiarkan, tanaman akan menjadi gundul dan hanya tampak tulang daunnya. Larva berwarna hijau muda dan ditutupi lapisan tepung berwarna putih, dan panjangnya sekitar 7 cm. Telur berwarna kuning dan diletakkan oleh serangga betina dewasa di bagian tepi permukaan bawah daun. Larva yang keluar dari telur akan memotong lamina daun mulai dari pinggir dan menggulungnya. Imago dewasa berwarna coklat, dan aktif pada sore dan pagi hari (Satuhu dan Supriyadi 1999). Kerusakan yang berat terutama terjadi pada musim kemarau. Pertanaman pisang di tempat yang terlindungi dari terpaan angin kerusakannya akan semakin berat (Kalshoven 1981). Imago E. thrax menghisap madu bunga pisang. Perkawinannya dilakukan sambil beterbangan pada waktu sore dan pagi hari. Kupu-kupu ini akan bertelur pada waktu malam hari. Telur diletakkan bergerombol sebanyak 25 butir pada daun pisang yang masih utuh (Pracaya 2011). CABI (2014) mencatat siklus hidup E. thrax dari telur hingga imago selama 28 hari. Telur berwarna kuning mencolok, diletakkan secara tunggal pada bagian bawah daun. Larva berwarna hijau pucat dengan rambut halus, kepala hitam dan berbentuk hati dalam tampilan depan. Thorax tepat di belakang kepala jauh lebih sempit daripada kepala. Larva ditutupi dengan bubuk lilin putih yang merupakan produk limbah dari metabolisme. Larva mencapai panjang sekitar 6 cm. Pupa ramping berwarna kuning-coklat dan tertutup dengan bubuk lilin yang sama dengan larva. Ini mencapai panjang 4-6 cm. Imago berwarna coklat pada bagian atas dan bawah sisi. Lebar sayap adalah 5-5,5 cm pada jantan, 6-6,5 cm pada betina. Sayap depan berwarna pucat-kuning dan terdapat bintik-bintik semihialin. Berikut merupakan gambar dari siklus hidup E. thrax: 8 Telur E. thrax Larva E. thrax Imago E. thrax Pupa E. thrax Gambar 2. Siklus hidup E. thrax C. Pertanaman Pisang Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang baik pisang segar, olahan dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada Indonesia ubntuk dapat memenfaatkan dan memilih jenis pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen (BPPP 2005). Nelson et al. (2006) mendeskripsikan bahwa tanaman dapat tumbuh pada elevasi 0-920 m, suhu rata-rata 26-30oC, kejadian hujan tahunan 2000 mm. Vegetasi dapat berasosiasi dengan tanaman hutan di daerah tropis maupun di perkebunan. Tumbuh diberbagai jenis tanah, khususnya yang mempunyai drainase yang baik. Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem pertanian seperti persawahan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman, yaitu dalam sistem perputaran nutrisi, perubahan iklim mikro, dan detoksifikasi senyawa kimia (Altieri 1999). Serangga sebagai salah satu komponen keanekaragaman hayati juga memiliki peranan penting dalam jaring makanan 9 yaitu sebagai herbivor, karnivor dan detritivor (Strong et. al 1984). Berdasarkan penelitian yang akan dilakukan, E. thrax merupakan serangga herbivor pada daun pisang, sedangkan Brachymeria merupakan serangga karnivor yang memparasit E. thrax. Keberadaan musuh alami pada ekosistem pertanian, baik itu predator maupun parasitoid, memiliki peranan yang sangat penting khususnya dalam pengaturan populasi serangga hama (Altieri 1999). Penelitian Herlina et. al (2011) menyebutkan bahwa habitat sekitar lahan persawahan mempengaruhi keanekaragaman Hymenoptera Parasitika yang ada di dalamnya. Walaupun demikian, kondisi habitat sekitar lahan merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan parasitoid. Hasil penelitian Suharjo et al. (2008) menunjukkan bahwa dalam satu masa berbunga (selama 5 hari), satu bunga pisang didatangi E. thrax rata-rata sebanyak 11 ekor untuk dareah pekarangan, 17 ekor untuk persawahan, dan 15 ekor untuk tegalan. Imago E. thrax akan mengunjungi bunga pisang pada waktu bunga pisang mulai membuka seludangnya, ataupun pada bunga pisang yang seludangnya sudah terbuka secara penuh. Pisang dan pertanaman adalah tanaman pangan yang penting bagi setiap orang. Okolle et al (2010) menuliskan salah satu hama daun pada tanaman ini adalah ulat penggulung daun pisang, E. thrax. Larva dapat menyebabkan defoliasi sebesar 60% yang dapat menurunkan produksi sebesar 20%. Di Asia Tenggara, fase hidup hama tersebut dapat diserang oleh beberapa parasitoid, yaitu Ooencyrtus erionotae, Cotesia erionotae dan Brachymeria spp.. D. Faktor Lingkungan dalam Parasitasi Cahaya memiliki daya tarik dan mampu mempengaruhi perilaku serangga, dengan intensitas tertentu akan diperoleh efesiensi sumber energi (catu daya), serta daya pikat untuk mengumpulkan serangga. Kemampuan ini dapat dijadikan sebagai alat pengendalian populasi serangga yang tidak menguntungkan dengan pendekatan ramah lingkungan (Alim 2011). Cahaya adalah faktor ekologi yang besar pengaruhnya bagi serangga, diantaranya lamanya hidup, cara bertelur, dan berubahnya arah terbang. Banyak 10 jenis serangga yang memilki reaksi positif terhadap cahaya dan tertarik oleh sesuatu warna, misalnya oleh warna kuning atau hijau. Beberapa jenis serangga diantaranya mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap suatu warna dan bau, misalnya terhadap warna-warna bunga (Rahayu 2012). Perbedaan aktivitas serangga dapat terjadi karena adanya ketertarikan oleh cahaya. Aktivitas M. sexmaculatus terjadi antara pukul 9.00-13.00. Selain dipengaruhi oleh cahaya, aktivitas M. sexmaculatus dipengaruhi oleh keadaan lapar (Setiawati et al. 2004). Suhu, kelembaban dan cahaya sangat berpengaruh pada aktivitas parasitoid dalam mendapatkan kesempatan menemukan inangnya. Suhu sangat berpengaruh terhadap jumlah keturunan yang dihasilkan parasitoid. Siklus hidup parasitoid dewasa akan menjadi lebih panjang dengan semakin meningkatnya suhu udara dimana parasitoid tersebut hidup (Purba 2008). Abraha (2003) menjelaskan bahwa telur menetas dalam waktu 3-4 hari pada inang dan instar pertama larva parasitoid mulai makan di dalam tubuh inang. Larva parasitoid terdiri dari 3 instar dalam tubuh inang, periode larva rata-rata adalah 11 hari. Setelah menyelesaikan perkembangannya larva muncul dari tubuh inang dengan mengunyah integumen. Setelah muncul, larva instar terakhir segera membentuk kokon. Periode pra-pupa dan pupa menjadi 4-5 hari. Di alam, kokon ditemukan di dalam batang bekas gerekan larva inang. Perkembangan selesai dalam 16 hari pada suhu 300C (periode larva 11,5 hari, pra-pupa dan pupa periode 4,5 hari). Minot dan Leonard (1976) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa B. intermedia aktif pada interval 30 menit dalam sehari. B. intermedia merupakan serangga yang aktif pada siang hari. Aktivitas tertinggi yaitu pada pukul 14.0015.00 dengan jumlah B. intermedia yang aktif yaitu 350. Pukul 21.00 jumlah B. intermedia yang aktif adalah kurang dari 100.