7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau
pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago
fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan periosteumnya(Probst dkk, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006)
Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum
timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui
tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur
7
8
penting berbatasan dengan atau meliputi telinga tengah, diantaranya adalah nervus
fasialis, arteri karotis interna, sinus venosus yang berasal dari kranium, dura, dan
telinga dalam. Kavum timpani dipisahkan dengan telinga luar oleh membran
timpani dan berisi osikel atau tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang pendengaran ini terdiri dari maleus, inkus dan stapes (Probst dkk, 2006).
Telinga dalam terletak di pars petrosus tulang temporal dan terdiri dari
banyak duktus yang saling terhubung yang secara kolektif disebut labirin. Labirin
dibagi dua yaitu labirin membranosa dan labirin oseus. Labirin membranosa
terletak di da-lam labirin oseus yang terdiri dari organ keseimbangan dan
pendengaran. Koklea adalah struktur berbentuk rumah siput yang berisi organ
sensori pendengaran, dan pada manusia memiliki sekitar dua setengah putaran
(Norton dkk, 2010; Probst dkk, 2006).
Koklea dibagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala
media terletak di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran
Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala
timpani mengandung perilimfe, suatu cairan ekstraseluler dengan konsentrasi
kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh
membran Reissner, membran basilar dan lamina spiral osseus, dan dinding lateral.
Skala media berisi endolimfe, yaitu cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium
144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L. Skala media menyempit ke arah
apeks koklea, berakhir sedikit dari akhir apikal labirin tulang. Bukaan dekat apikal
berakhirnya labirin tulang, disebut helikotrema, memungkinkan hubungan antara
skala vestibuli dan skala timpani, pada manusia luasnya sekitar 0,05 mm 2.
9
Membran basilaris memisahkan suara sesuai dengan frekuensi atau spektrum dan
organ Corti yang terletak di sepanjang membran basilar, mengandung sel-sel
sensorik atau sel rambut yang mengubah getaran membran basilaris menjadi
impuls saraf (Moller, 2006; Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2. Penampang koklea (Moller, 2006).
Organ Corti terdiri dari bermacam-macam sel. Salah satunya adalah sel-sel
rambut, yang merupakan sel-sel sensorik dan berbentuk seperti kumpulan rambut
yang terletak dan tersusun berbaris di bagian atas membran basilaris. Sel-sel
rambut memiliki kumpulan stereosilia pada bagian atasnya. Sel-sel rambut terdiri
dari dua jenis utama yaitu sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam. Koklea
manusia memiliki sekitar 12.000 sel rambut luar yang teratur dalam 3-5 baris
sepanjang membran basilar, dan sekitar 3.500 sel-sel rambut dalam yang teratur
dalam satu baris. Pada setiap sel rambut luar terdapat 50-150 stereosilia yang
10
disusun dalam 3-4 baris berbentuk W atau V sedangkan pada sel-sel rambut
dalam terdapat stereosilia dalam formasi berbentuk U datar (Moller, 2006).
Stria vaskularis merupakan struktur penting yang terletak antara ruang
perilimfatik dan endolimfatik sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis memiliki
banyak suplai darah dan sel-sel yang banyak pada mitokondria, menunjukkan
bahwa stria vaskularis terlibat dalam aktivitas metabolik. Membran basilar terdiri
dari jaringan ikat dan membentuk dasar dari skala media. Membran basiler ini
memiliki lebar sekitar 150 µM di dasar koklea dan lebar sekitar 450 µM di apeks.
Jika suara telah memasuki koklea akan terjadi kekakuan yang bergantian mulai
dari dasar menuju ke apeks. Akibat perubahan kekakuan yang bertahap ini, suara
yang sampai ke telinga membuat gelombang pada membran basilar yang bergerak
dari dasar menuju puncak koklea. Gerak gelombang berjalan ini adalah dasar
pemisahan frekuensi sebelum suara mengaktifkan sel sensorik yang terletak di
sepanjang mem-bran basilar. Analisis frekuensi pada koklea sangat kompleks,
melibatkan interaksi antara membran basilar, cairan sekitarnya dan sel sensorik
(Moller, 2006).
Terdapat tiga jenis serat saraf yang mempersarafi koklea, yaitu serat saraf
aferen pendengaran, serat eferen pendengaran atau berkas olivokoklearis dan serat
saraf otonom. Serat aferen saraf pendengaran merupakan sel bipolar, terletak di
ganglion spiralis dalam kanal tulang yang disebut Rosenthal’s canal. Saraf
pendengaran manusia memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua jenis serat
aferen telah diidentifikasi, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan serat saraf
bermyelin, memiliki badan sel yang besar dan merupakan 95% dari serat-serat
11
saraf pendengaran. Serat aferen tipe II merupakan serat saraf tak bermyelin dan
memiliki badan sel yang kecil (Moller, 2006).
Nervus VIII terdiri dari tiga komponen yang berbeda. Ada dua saraf vestibularis yaitu superior dan inferior dan saraf koklearis. Saraf-saraf tersebut bersamasama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal ini juga berisi N VII
dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri auditori internal. Saraf
melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf vestibularis menuju ke nukleus
vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nukleus koklearis (Mutton, 2006).
Proses pendengaran akan dimulai saat gelombang suara ditangkap oleh
pinna dan diarahkan oleh KAE untuk menggetarkan membran timpani.
Selanjutnya, gelombang suara akan dikonduksikan dari membran timpani
melewati tulang-tulang pendengaran menuju tingkap lonjong. Perjalanan
gelombang suara dari telinga luar menuju telinga tengah akan melewati perubahan
medium, yaitu dari udara di telinga luar menuju cairan di telinga dalam yang
memiliki perbedaan impedans. Perbedaan impedans ini akan menyebabkan
penurunan energi suara yang melaluinya. Telinga tengah berperan sebagai
impedance-matching device untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan energi
tersebut. Proses ini diperoleh dari efek perbandingan luas membran timpani
terhadap luas footplate stapes, aksi tuas tulang-tulang pendengaran, dan bentuk
membran timpani. Bentuk membran timpani berkontribusi minor terhadap proses
impedance-matching (Lee, 2003).
Luas membran timpani sebesar 85-90 mm2 dengan area vibrasi optimal
sebesar 55 mm2 sedangkan luas footplate stapes sebesar 3,2 mm2, sehingga
12
memberikan peningkatan energi suara sebesar 17:1. Saat membran timpani
bervibrasi, tulang-tulang pendengaran akan ikut bergerak. Manubrium maleus
yang panjangnya 1,3 kali dibandingkan prosesus longus inkus akan membuat
tekanan yang diterima oleh footplate stapes lebih besar dibandingkan tekanan
yang diterima oleh maleus sebesar 1,3:1. Jika efek tuas tulang-tulang pendengaran
dan efek luas area membran timpani, telinga tengah menghasilkan peningkatan
energi suara sebesar 22 kali, yaitu kira-kira sebesar 25 dB (Lee, 2003).
Saat gelombang suara mencapai tingkap lonjong, koklea mengubah energi
mekanik suara menjadi energi hidrolik, lalu menjadi energi bioelektrik saat mencapai sel-sel rambut. Saat footplate stapes bergerak masuk-keluar pada tingkap
lon-jong, suatu gelombang akan terbentuk dan berjalan di dalam koklea dari basal
me-nuju apeks. Gelombang tersebut akan menggerakkan membran basilaris dan
tekto-rial. Kedua membran ini memiliki perbedaan titik-titik perlekatan sehingga
perge-rakannya
akan
menekuk
stereosilia
sel-sel
rambut,
kemudian
mengakibatkan depo-larisasi sel-sel rambut dan menghasilkan impuls elektrik
saraf aferen (Lee, 2003).
Begitu impuls saraf terbentuk, implus ini akan berjalan sepanjang jaras
auditori dari sel ganglion spiralis di dalam koklea menuju modiolus, letak seratserat cabang koklearis dari nervus VIII. Serat-serat ini kemudian berjalan menuju
nukleus koklearis di batang otak secara ipsilateral, lalu menuju kompleks olivarius
superior kontralateral. Perjalanan serat-serat ini berlanjut menuju lemniskus
lateralis, kolikulus inferior dan ganglion genikulatum sebelum akhirnya mencapai
korteks auditori (Lee, 2003).
13
2.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan fungsi pendengaran dimulai dengan anamnesis
yang meliputi riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat
penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Pemeriksaan
dilanjutkan dengan inspeksi menyeluruh daun telinga dan sekitarnya serta
pemeriksaan otos-kopi untuk memeriksa liang telinga dan membran timpani.
Pemeriksaan hidung dan tenggorok juga dilaksanakan (Probst dkk, 2006).
Evaluasi fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai
dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan pengukuran
kuantitatif dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, Oto Acoustic Emission
atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State
Response atau ASSR (Probst dkk, 2006).
2.2.1. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni merupakan pengukuran fungsi pendengaran pada
berbagai frekuensi. Pemeriksaan ini dilaksanakan memakai audiometer dalam
ruang kedap suara dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem
auditorius mulai dari telinga luar hingga korteks auditorius (Sweetow dan Bold,
2004).
Ambang dengar diukur pada konduksi udara dan konduksi tulang. Saat
mengukur
konduksi
udara,
stimulus
nada
murni
yang
berbeda-beda
14
ditransmisikan melalui earphone. Ambang konduksi udara menggambarkan
mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pengukuran konduksi tulang,
sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada
prominensia mastoid. Nada murni akan merangsang koklea setelah melewati liang
telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk
grafik yang menggambarkan am-bang pendengaran dalam berbagai frekuensi
(Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel hearing
level (dBHL). Rerata ambang de-ngar frekuensi bicara yang umum digunakan
didapatkan dari rerata frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Selanjutnya
berdasarkan ambang dengar ini gangguan pendengaran dapat dikategorikan
menjadi tidak ada gangguan atau normal (<25 dBHL), derajat ringan (26-40
dBHL), derajat sedang (41-60 dBHL), derajat berat (61-80 dBHL), dan profound
(>81 dBHL) (Mathers dkk, 2000).
2.3. Fungsi ginjal
Fungsi ginjal secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi
ekskretorik dan fungsi metabolik. Sebagai organ ekskretorik, ginjal berfungsi
mengekskresikan sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur
anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh melalui aktivitas hormon
anti-diuretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan
tubuh, dan menjaga keseimbangan asam dan basa (Hall, 2015; Pranawa dkk,
2007).
15
Sebagai fungsi metabolik ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu berpartisipasi
dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil eritropoetin yang dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah, ikut mengatur tekanan darah dengan menghasilkan
renin
yang
merangsang
pembentukan
angiotensinogen,
dan
menjaga
keseimbangan kalsium dan fosfor dengan berperan dalam metabolisme vitamin D.
Selain itu, ginjal juga berperan dalam metabolisme beberapa hormon, diantaranya
hormon paratiroid atau PTH (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).
2.4. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal kronik atau PGK didefinisikan sebagai abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal yang muncul lebih dari tiga bulan dan berdampak pada
kesehatan. Berdasarkan penyebabnya, PGK dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan
penyakit pada transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; KDIGO, 2013).
Kriteria diagnosis PGK adalah jika terdapat penanda kerusakan ginjal dan/
atau penurunan glomerular filtration rate/ GFR (<60 ml/menit/1,73m2) yang telah
berlangsung tiga bulan atau lebih. Penanda-penanda kerusakan ginjal adalah
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, dan abnormalitas lain akibat
gangguan tubulus, abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan
radiologi, abnormalitas yang terdeteksi secara histopatologik, dan riwayat transplantasi ginjal (KDIGO, 2013). Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas GFR dan
dibagi menjadi lima stadium seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Stadium penyakit ginjal kronik (Pranawa dkk, 2007)
16
GFR
mL/menit/1,73m2
>90
60-89
30-59
15-29
<15
Deskripsi
Stadium I (kerusakan ginjal dengan GFR normal)
Stadium II (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan)
Stadium III (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang)
Stadium IV (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat)
Stadium V (kerusakan ginjal stadium akhir)
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, namun
secara umum dapat dibagi menjadi penyakit ginjal diabetik, hipertensi, penyakit
vaskular, penyakit glomerular primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik,
penyakit tubulointersisial, disfungsi atau obstruksi saluran kemih, batu ginjal,
kelainan kongenital, dan cidera ginjal akut yang tidak teratasi (Bargman dan
Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
Penyakit ginjal kronik pada stadium 1 dan 2 umumnya tidak menimbulkan
gejala apapun dari penurunan GFR. Jika GFR telah menurun dan pasien
memasuki stadium 3 dan 4, komplikasi PGK akan terlihat lebih jelas baik secara
klinik maupun laboratorik (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
End-stage renal disease atau ESRD merupakan tahap akhir PGK yang ditandai
dengan akumulasi toksin, cairan dan elektrolit yang normalnya diekskresikan oleh
ginjal sehingga menimbulkan sindrom uremia. Kondisi ini dapat menyebabkan
kematian kecuali toksin tersebut diekskresikan melalui terapi pengganti ginjal,
baik melalui dialisis maupun transplantasi ginjal (Bargman dan Skorecki, 2015).
Gejala penyakit ginjal kronik akan ditunjukkan oleh semua organ, namun
yang umum ditemukan adalah kelelahan, mual, muntah, penurunan nafsu makan
dan berat badan, kulit pucat, rapuh dan gatal, sering kencing, dan haus. Gejala lain
17
berupa edema pada tungkai atau seluruh tubuh, perdarahan cenderung sulit berhenti, penurunan libido, dan sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan fungsi ginjal, anemia, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, penurunan
estrogen dan testoteron, abnormalitas kalsium, fosfor dan hormon yang mengatur
mineral, serta abnormalitas homeostasis sodium, potasium, air, dan asam-basa
(Pranawa dkk, 2007). Penderita PGK stadium 5 atau end-stage renal disease
(ESRD)
mengalami
gangguan
bermakna
dalam
aktivitas
sehari-hari,
kesehatannya, status nutrisi, dan gangguan keseimbangan air serta elektrolit, yang
menandai terjadinya sindrom uremik (Bargman dan Skorecki, 2015).
Penanganan PGK secara umum bertujuan untuk menghambat aatau
menghentikan progresivitas PGK, mendiagnosis dan menangani manifestasi patologik PGK dan merencanakan terapi pengganti ginjal untuk jangka waktu panjang.
Dalam praktek klinik sehari-hari, penanganan PGK secara umum meliputi pengobatan penyakit dasar, pengendalian keseimbangan air dan garam, diet rendah protein tinggi kalori, pengendalian tekanan darah, keseimbangan elektrolit dan asambasa, pencegahan dan pengobatan osteoditrofi ginjal, pengobatan gejala uremia
spe-sifik, deteksi dini dan pengobatan infeksi, penyesuaian dosis obat-obatan,
deteksi dan pengobatan komplikasi, serta persiapan terapi pengganti ginjal, baik
melalui dialisis ataupun transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk,
2007).
2.5. Neuropati Uremikum
18
Neuropati uremikum atau uraemic neuropathy merupakan polineuropati saraf
sensorimotorik yang disebabkan oleh uremia. Kondisi ini lebih sering mengenai
saraf sensorik daripada motorik. Pemeriksaan histopatologik mendapatkan terjadi
retraksi aksonal, yang ditandai dengan berkurangnya diameter akson, reorganisasi
myelin dan degenerasi total akson. Hal ini akan menimbulkan penurunan
kecepatan konduksi saraf (Bargman dan Skorecki, 2015; Ramirez dan Gomez,
2012).
Manifestasi neuropati uremikum umumnya muncul saat GFR <12 ml/menit.
Senyawa uremik yang bersifat neurotoksin menguras suplai energi akson dengan
menghalangi kerja enzim serat saraf yang berfungsi dalam produksi energi
tersebut. Suplai enzim dari soma saraf tidak mencukupi kebutuhan enzim yang
diperlukan oleh akson yang akhirnya menyebabkan berbagai perubahan patologik
dan degenerasi saraf (Ramirez dan Gomez, 2012).
Penurunan kecepatan konduksi saraf diduga diakibatkan oleh disfungsi
membran dan inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase. Disfungsi membran
ditemukan pada perineurium dan dalam endoneurium. Perineurium berfungsi
sebagai sawar difusi antara cairan intersisial dengan saraf, sedangkan
endoneurium berfungsi sebagai sawar antara darah dan saraf. Akibat disfungsi
tersebut, toksin-toksin uremik dapat memasuki ruang endoneural dan dapat
menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Inhibisi aktivasi pompa Na+/K+
ATPase pada aksolemma, membran sel yang menutupi suatu akson, menyebabkan
akumulasi natrium intrasel dan mengubah potensial istirahat membran (membrane
19
resting potential). Hal ini akan menyebabkan degenerasi aksonal dan
demyelinisasi seg-mental sekunder (Ramirez dan Gomez, 2012).
Neuropati uremikum lebih sering mengenai ekstremitas bawah dibandingkan
ekstremitas atas yang bermanifestasi sebagai defisit sensorik dan motorik. Nervus
kranialis yang dilaporkan paling sering mengalami neuropati uremikum adalah
nervus vestibulokoklear. Hal ini menyebabkan keluhan gangguan pendengaran
dalam berbagai derajat pada pasien PGK (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan
Gomez, 2012).
Penanganan neuropati uremikum meliputi berbagai modalitas, namun hanya
transplantasi ginjal yang efektif. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal akan
menunjukkan perbaikan klinik secara umum dalam waktu tiga hingga enam bulan.
Modalitas lainnya adalah hemodialisis, penanganan nyeri dengan antidepresan
trisiklik dan obat antikonvulsi, suplemen vitamin serta restriksi asupan K+
(Ramirez dan Gomez, 2012).
Hemodialisis standar umumnya akan menghentikan progresivitas neuropati,
namun jarang memberikan perbaikan klinik yang bermakna. Sebelum menjalani
HD, berbagai parameter eksitabilitas aksonal saraf menunjukkan berbagai abnormalitas. Hemodialisis akan menyebabkan normalisasi parameter-parameter eksitabilitas tersebut dengan cepat dan signifikan, walaupun beberapa abnormalitas
minor akan menetap. Sebagian besar pasien PGK menunjukkan HD reguler dapat
mensta-bilkan neuropati yang dialami pasien PGK. Perburukan neuropati
mengindikasikan perlunya memulai terapi HD pada pasien PGK dan
20
ketidakcukupan HD bagi pasien yang telah menjalani dialisis (Ramirez dan
Gomez, 2012).
2.6. Hemodialisis
Hemodialisis atau HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal
pada pasien PGK yang telah memasuki ESRD dan hanya menggantikan sebagian
kecil dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas dkk, 2007). Indikasi pemberian HD
reguler pada pasien PGK adalah adanya sindrom uremik, hiperkalemia yang tidak
merespon terhadap penanganan konservatif, ekspansi volume ekstraseluler persisten walaupun telah mendapat terapi diuretik, asidosis yang refrakter terhadap
terapi medikamentosa, diastesis perdarahan, dan klirens kreatinin atau perkiraan
GFR kurang dari 10 ml/menit/1.73 m2 (Liu dan Chertow, 2015).
Hemodialisis memiliki tiga komponen, yaitu dialiser, diasilat, dan sistem
penghantaran
darah.
Dialiser
merupakan
ruang
plastik
yang
mampu
memperfusikan kompartemen darah dan diasilat secara simultan dengan
kecepatan tinggi. Diasilat merupakan cairan yang berfungsi untuk menarik sisa
produk metabolik dari sirkulasi. Sistem penghantaran darah terdiri dari dua
komponen, yaitu sirkuit ekstrakorporeal yang terdapat pada mesin dialisis dan
akses dialisis. Mesin dialisis memiliki pompa darah yang mengalirkan darah dari
lokasi akses dialisis melewati dialiser kemudian kembali ke tubuh pasien. Akses
dialisis merupakan fistula, graft atau kateter tempat darah diperoleh dari pasien
untuk keperluan hemodialisis (Liu dan Chertow, 2015).
21
Kerja HD didasarkan atas prinsip difusi senyawa terlarut atau solutes
melewati membran semipermeabel. Prosedur hemodialisis berlangsung dengan
memompa darah yang terheparinisasi dengan laju 300-500 ml/menit, sedangkan
diasilat mengalir dari arah yang berlawanan dalam laju 500-800 ml/menit.
Transfer produk sisa metabolik berlangsung mengikuti gradien konsentrasi dari
sirkulasi menuju diasilat. Berdasarkan hukum difusi, molekul yang lebih besar
memiliki laju transfer yang lebih lambat melewati membran. Molekul kecil seperti
urea dengan ukuran 60 Da akan dibersihkan lebih efektif dibandingkan kreatinin
yang memiliki ukuran 113 Da (Liu dan Chertow, 2015).
2.6.1. Adekuasi hemodialisis
De Palma pada tahun 1971, seperti yang dikutip oleh Widiana (2013),
menyatakan dialisis dapat dianggap cukup bila pasien mengalami rehabilitasi
penuh, nafsu makan normal, tubuh dapat memproduksi sel darah merah yang
cukup, tekanan darah normal tercapai, dan dapat mencegah terjadinya neuropati.
Definisi tersebut cukup holistik dan valid, namun masih bersifat subjektif
sehingga diperlukan definisi yang lebih objektif memakai parameter laboratorik.
Ureum darah merupakan solut yang dipakai untuk mengukur efektivitas
dialisis karena urea diasumsikan terdistribusi merata dalam darah serta diproduksi
dan dibersihkan dengan kecepatan yang konstan. Untuk itu, pada orang dengan
fungsi ginjal yang dapat diabaikan, klirens urea dapat dipakai untuk mengukur
22
adekuasi hemodialisis. Model ini disebut sebagai urea kinetic modeling atau
UKM (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).
Setiap pasien yang menjalani HD diberikan resep dosis HD. Persamaan
matematika untuk menghitung dosis HD yang didasarkan atas UKM adalah Kt/V.
Kt/V adalah parameter jumlah plasma yang dibersihkan terhadap urea (K*t)
dibagi dengan volume distribusi urea (V) dalam badan dan merupakan suatu rasio
tanpa satuan. Kt/V dibagi menjadi dua, yaitu Kt/V yang diresepkan atau
prescribed dan Kt/V yang terlaksana atau delivered (Widiana, 2013).
Dosis HD ditentukan dengan menetapkan nilai Kt/V yang diresepkan
terlebih dahulu. Target Kt/V untuk HD yang dilaksanakan dua kali seminggu
adalah 1,8 (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana,
2013).
Adekuasi
hemodialisis
didapatkan dengan
menghitung Kt/V yang
terlaksana, yang dinyatakan sebagai nilai Kt/V. Formula yang digunakan untuk
menghitung Kt/V ini adalah formula Daugirdas, yaitu:
(
)
(
)
ln merupakan log natural (e); R merupakan perbandingan konsentrasi urea predialisis (BUNpre) dan paskadialisis (BUNpost), yaitu BUNpost/BUNpre; t adalah
du-rasi satu sesi dialisis; UF/W adalah perbandingan ultrafiltrat dan berat badan
pasien (BB), dihitung memakai rumus: (BB predialisis-BB paskadialisis)/ BB
paskadia-lisis (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003;
Widiana, 2013).
23
Nilai Kt/V yang terlaksana tidak selalu sama dengan nilai Kt/V yang
diresepkan. Jika nilai Kt/V yang terlaksana kurang dari nilai Kt/V yang
diresepkan, maka hemodialisisnya dikatakan tidak adekuat atau memiliki adekuasi
hemodialisis yang tidak cukup. Hemodialisis yang tidak adekuat dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal,
waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan ureum
darah(Laaksonen dkk, 2000; Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).
Adekuasi hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi
klinik pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. Kt/V di bawah 1,2
diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien HD reguler
(Jindal dkk, 2006). Pourfarziani dkk. (2008) berdasarkan pene-litian terhadap 338
pasien HD menyimpulkan bersihan urea yang tidak optimal pada HD yang tidak
adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan produktivitas
pasien HD, dan kerugian material akibat penurunan produktivitas tersebut.
2.7. Gangguan Pendengaran pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Prevalensi gangguan pendengaran ditemukan lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Vilayur dkk. (2010) mendapatkan gangguan pendengaran
pada pasien PGK derajat sedang sebesar 54,4%, sedangkan pada populasi individu
dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 dilaporkan sebesar 28,3%. Lasisi dkk. (2007)
mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien PGK, sedangkan
pada kontrol sebesar 32%.
Tipe gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilaporkan sebagian
besar bersifat tuli sensorineural. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh
24
PGK memiliki predileksi pada frekuensi rendah (125-250 Hz) dan frekuensi tinggi
(4.000-8.000 Hz), sedangkan frekuensi 500-2.000 Hz dilaporkan dalam batas
normal atau terjadi sedikit peningkatan. Hal ini membuat gambaran audiometri
pada pasien PGK berbentuk seperti kubah atau dome (Gatland dkk, 1991; Sharma,
2011; Zeigelboim dkk, 2001).
Gambar 2.3. Audiogram pasien PGK yang berbentuk seperti kubah (Gatland dkk,
1991).
Lasisi dkk. (2007) melaporkan rerata ambang dengar pasien PGK sebesar
47,42 dBHL. Sharma dkk. (2011) juga melaporkan hal serupa, di mana derajat
ketulian berkisar antara derajat ringan hingga sedang seperti pada gambar 2.7.
25
Gambar 2.4. Rerata ambang dengar pada pasien PGK pada masing-masing
frekuensi (Sharma dkk, 2011).
2.8. Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial.
Bebera-pa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya gangguan pendengaran
pada pa-sien PGK adalah kemiripan antara ginjal dan koklea, gangguan elektrolit,
uremia, kondisi komorbid, obat-obat ototoksik, dan hemodialisis (Thodi dkk,
2006).
Nefron pada ginjal dan stria vaskularis pada koklea memiliki kemiripan
fisiologi, ultrastruktur dan antigen yang diduga sebagai kaitan antara gangguan
pendengaran dan penyakit ginjal kronik. Membran basilaris pada endotelium
kapiler kapsul Bowman dan tubular proksimal ginjal serta stria vaskularis koklea
pada pemeriksaan histologi sangat mirip. Sel epitel pada kedua organ ini berperan
dalam transpor aktif cairan dan elektrolit dan mengandung banyak mitokondria,
Na+/K+ ion pump ATP-ase dan karbonik anhidrase. Ginjal dan koklea juga
memiliki kemiripan farmakologik, yaitu beberapa obat yang bersifat nefrotoksisk
juga bersi-fat ototoksik, seperti aminoglikosida. Perkembangan ginjal dan koklea
diduga dipe-ngaruhi oleh gen yang sama, seperti pada sindrom Alport yang
menunjukkan gangguan kongenital pada koklea dan ginjal. Kemiripan-kemiripan
ini menge-sankan faktor yang sama dapat menyebabkan gangguan pada koklea
dan ginjal. Selain itu gangguan pendengaran dan PGK memiliki faktor risiko yang
26
sama, diantaranya usia tua, diabetes dan hipertensi (Muyassaroh dan Ulfa, 2013;
Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).
Gangguan keseimbangan elektrolit dalam darah yang terjadi pada pasien
PGK akan mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam koklea. Komposisi
elektrolit cairan telinga dalam berperan untuk mempertahankan elektromotilitas
sel-sel rambut koklea. Rasio konsentrasi Na+/K+ pada endolimfe dan perilimfe
berbeda dan tranduksi sensorik sel-sel rambut koklea terjadi sebagai hasil
pertukaran ion Na+ dan K+. Gangguan pada keseimbangan konsentrasi elektrolit
ini akan meng-ganggu fungsi koklea dan menimbulkan gangguan pendengaran
(Govender dkk, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Pemeriksaan
histopatologik pada tulang temporal pasien PGK mendapatkan sedimentasi pada
stria vaskularis, berku-rangnya sel-sel rambut luar koklea, demyelinisasi seratserat preganglionik koklea dan kehilangan sel-sel pada ganglion spiralis (Thodi
dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).
Uremia dapat menimbulkan neuropati uremikum yang mengenai nervus
vestibulokoklear dan menyebabkan gangguan konduksi impuls saraf (Burn dan
Bates, 1998). Berbagai penelitian elektrofisiologi memakai auditory brainstem
response atau ABR membuktikan adanya perlambatan konduksi saraf. Penelitian
oleh Antonelli dkk. (1990) yang memakai ABR pada pasien PGK dan kontrol
tanpa PGK dengan gangguan pendengaran serupa mendapatkan kelompok PGK
memiliki interpeak latency gelombang I-III yang secara signifikan lebih panjang
dibanding-kan kelompok kontrol. Interpeak latency gelombang I-III mewakili
waktu konduksi dari koklea menuju nukleus koklearis, sehingga temuan ini
27
diinterpretasikan seba-gai disfungsi subklinik nervus vestibulokoklear yang
diakibatkan oleh neuropati uremikum. Sharma dkk. (2012) mendapatkan adanya
perbedaan yang signifikan pemanjangan latensi absolut gelombang III dan V
ABR, interpeak latency ge-lombang I-III dan I-V pada pasien PGK tanpa
gangguan pendengaran dengan GFR <10 ml/menit/1,73m2 dibandingkan dengan
pasien PGK tanpa gangguan pende-ngaran dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2
namun lebih dari 10 ml/menit/1,73m2.
Komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PGK adalah hipertensi dan
diabetes melitus. Kedua kondisi ini secara independen dihubungkan dengan terjadinya gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik koklea pada pasien
diabetes melitus menunjukkan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis,
ber-kurangnya jumlah serat dalam lamina spiralis, degenerasi organ Corti, dan
penurunan fungsi sel-sel rambut luar. Hormon natriuretik yang sering ditemukan
dalam aliran darah pasien hipertensi diduga menghambat aksi Na+/K+ ion pump,
sehingga mengganggu fungsi stria vaskularis koklea (Govender dkk, 2013).
Penanganan PGK meliputi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal
yang lebih agresif memakai dialisis ataupun transpalantasi ginjal. Beberapa jenis
pengobatan dan metode yang digunakan memiliki efek terhadap fungsi pendengaran pasien PGK. Salah satu obat yang paling sering digunakan oleh pasien
PGK adalah furosemide yang merupakan diuretik yang bersifat ototoksik.
Pemakaian furosemide diketahui dapat menimbulkan penurunan potensial
endokoklea dan aksi potensial N.VIII yang cepat namun reversibel, serta
penurunan konsentrasi K+ endolimfe yang perlahan. Gangguan ini diduga karena
28
furosemide menghambat transport K+ pada stria vaskularis. Antibiotika golongan
aminoglikosida mening-katkan efek ototoksisitas furosemide (Rybak, 1985).
Efek HD terhadap fungsi pendengaran pasien PGK masih diperdebatkan.
Gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilakukan HD diduga terjadi
akibat perubahan cairan dan komposisi elektrolit endolimfe, serta kemungkinan
paparan membran selusosa asetat dari mesin hemodialisis yang digunakan,
sehingga produk degradasi asetat tersebut masuk ke dalam aliran darah
(Muyassaroh dan Ulfa, 2013). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal
pasien PGK yang menjalani HD dan mengalami gangguan pendengaran
mendapatkan adanya kolaps sistem endolimfatik, edema dan atrofi sebagian selsel di dalam koklea. Perubahan-perubahan ini diduga akibat gangguan osmotik
karena HD (Thodi dkk, 2006).
Mancini dkk. (1996) mendapatkan insiden tuli sensorineural pada pasien
anak-anak PGK yang mendapatkan terapi konservatif sebesar 29% dan HD
sebesar 28%. Angka ini didapatkan tidak signifikan dan mengambil kesimpulan
bahwa onset ketulian telah terjadi pada tahap awal perjalanan PGK dan tidak
disebabkan oleh terapi yang diberikan. Hasil serupa juga didapatkan oleh Ozturan
dan Lam. (1998), yaitu tidak terdapat hubungan bermakna antara tuli
sensorineural dan HD berdasarkan penelitian pada 15 subjek dan 10 kontrol
memakai audiometri nada murni dan DPOAE. Samir dkk. (1998) mendapatkan
insiden disfungsi koklea yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien PGK
anak-anak yang menjalani HD dibandingkan dengan yang menjalani terapi
konservatif. Namun fungsi ginjal pada pasien HD lebih buruk dibandingkan
29
dengan pasien yang menjalani terapi konservatif, sehingga hal ini dapat
mengaburkan interpretasi efek fungsi ginjal yang buruk dan efek terapi terhadap
fungsi pendengaran.
Penelitian oleh Aspris dkk. (2008) mendapatkan adanya perbaikan latensi
gelombang I dan V yang signifikan pada pasien PGK setelah HD dibandingkan
dengan sebelum HD. Namun semua latensi gelombang ini tetap mengalami
pemanjangan yang signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol normal.
Mereka berkesimpulan HD dapat memperbaiki fungsi jaras auditorik secara
keseluruhan, tetapi tidak dapat mengembalikan fungsinya sampai normal. Gafter
dkk. (1989) mendapatkan perbaikan transien latensi gelombang III setelah HD.
Hal ini menunjukkan HD mungkin memiliki efek positif sementara, namun efek
HD jangka panjang tampaknya tidak mempengaruhi konduksi sepanjang jaras
saraf auditorik.
Jakic dkk. (2010) melaporkan 63,64% dari total 66 pasien yang menjalani
HD kronik mengalami peningkatan ambang dengar di atas 20 dBHL. Pasien HD
yang berusia di bawah 60 tahun memiliki rerata ambang dengar 23,60 dBHL
dengan simpang baku 10,95, sedangkan yang berusia di atas 60 tahun memiliki
rerata ambang dengar sebesar 30,30 dBHL dengan simpang baku 7,95. Rerata
ambang dengar ini didapatkan tidak berkorelasi dengan durasi HD dan hanya
berkorelasi signifikan dengan usia pasien. Etiologi yang diduga berperan dalam
terjadinya gangguan pendengaran ini adalah akibat neuropati uremikum dan
penuaan vaskular prematur, walaupun faktor-faktor lain juga diduga ikut
berkontribusi.
30
2.9. Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal
Kronik dengan Hemodialisis Reguler
Penelitian yang meneliti mengenai pengaruh adekuasi hemodialisis terhadap
ambang dengar belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun berdasarkan laporan
sebelumnya yang menyatakan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup akan
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK, salah satunya
adalah perburukan neuropati uremikum (Ramirez dan Gomez, 2012).
Laaksonen dkk (2000) meneliti hubungan antara adekuasi hemodialisis dan
fungsi nervus autonomik jantung, yang dinilai dari variabilitas detak jantung, pada
pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Mereka mendapatkan adekuasi HD
merupakan prediktor terhadap fungsi nervus autonomik jantung. Hanya pasien
dengan Kt/V di atas 1,2 menunjukkan perbaikan variabilitas detak jantung,
sedang-kan pasien dengan Kt/V di bawah 1,2 tidak menunjukkan perbaikan,
bahkan beberapa menunjukkan perburukan.
Hasil serupa juga diharapkan terjadi pada nervus vestibulokoklear. Nervus
vestibulokeklear yang berperan dalam proses mendengar dan keseimbangan merupakan nervus kranialis yang paling sering mengalami neuropati uremikum (Burn
dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Pasien dengan adekuasi HD yang
tidak cukup diduga memiliki ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasuien dengan adekuasi HD yang cukup.
Download