BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi pendengaran memainkan peran penting dalam komunikasi sosial sekaligus sebagai sistem peringatan dan orientasi dari segala arah. Fungsi pendengaran dapat diukur dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan audiometri nada murni yang akan menghasilkan ambang dengar dalam satuan desi Bel hearing level atau dBHL. Gangguan pendengaran atau ketulian akan terdeteksi sebagai peningkatan ambang dengar dengan audiometri (Probst dkk, 2006). Gangguan pendengaran atau ketulian menyebabkan kesulitan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya yang kemudian dapat menyebabkan rasa terisolasi dan frustasi. Individu dengan gangguan pendengaran juga memiliki status pengang-guran yang lebih tinggi sehingga menurunkan status ekonominya (WHO, 2015). Berdasarkan penyebabnya, gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi gangguan pendengaran kongenital dan didapat. Salah satu kondisi yang dihubungkan dengan terjadinya gangguan pendengaran yang didapat adalah penyakit ginjal kronik atau PGK (Vilayur dkk, 2010). Prevalensi gangguan pendengaran dilaporkan lebih tinggi pada pasien-pasien PGK dibandingkan dengan populasi umum. Lasisi dkk. (2007) mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien PGK, sedangkan pada kontrol normal didapatkan sebesar 32%. Vilayur dkk. 1 2 (2010) pada penelitian berbasis populasi mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 54,4% pada kelompok individu dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2, sedangkan kelompok individu dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 didapatkan gangguan pendengaran sebesar 28,3%. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh PGK dilaporkan bersifat tuli sensorineural dengan predileksi pada frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Karakteristik ini memberikan gambaran khas pada audiogram yang berbentuk seperti kubah atau dome. Derajat ketulian sebagian besar dilaporkan ringan hingga sedang (Gatland dkk, 1991;Sharma dkk, 2011; Thodi dkk, 2006; Zeigelboim dkk, 2001). Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih diperdebatkan, namun beberapa faktor telah diusulkan. Ginjal dan telinga dalam memiliki banyak kemiri-pan struktural, fungsional, antigen dan farmakologik. Selain itu, perkembangan ke-dua organ tersebut juga dipengaruhi oleh gen yang sama. Hal ini terlihat dari ber-bagai sindrom kongenital, seperti sindrom Alport yang bermanifestasi sebagai ga-gal ginjal dan gangguan pendengaran. Secara umum, faktor risiko terjadinya gang-guan pendengaran dan penyakit ginjal kronik juga sama, yaitu usia, hipertensi dan diabetes melitus. Kemiripan-kemiripan ini diduga menjadi penghubung terjadinya gangguan pendengaran pada pasien PGK (Vilayur dkk, 2010; Thodi dkk, 2006). Koklea dan nervus vestibubokoklear atau nervus VIII diduga sebagai lokasi lesi kerusakan yang menyebabkan gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik tulang temporal menemukan adanya sedimentasi pada stria vaskularis, 3 berkurangnya sel-sel rambut koklea, demyelinisasi serat-serat saraf preganglionik koklea, dan hilangnya sel-sel pada ganglion spiralis. Kerusakan-kerusakan ini didu-ga disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah gangguan keseimbangan elektrolit, uremia yang menyebabkan neuropati uremikum pada nervus VIII, efek penyakit komorbid yang menyertai PGK seperti diabetes melitus dan hipertensi, pemakaian obat-obatan yang bersiat ototoksik, dan efek hemodialisis (Govender dkk, 2013; Muyassaroh dan Ulfa, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Neuropati uremikum merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pasien PGK dan terjadi akibat akumulasi toksin uremik dalam darah yang normalnya diekskresikan oleh ginjal. Toksin-toksin ini akan menyebabkan penurunan enzim dalam sel saraf yang berperan dalam produksi energi dan menyebabkan disfungsi perineurium dan endoneurium sehingga toksin uremik dapat menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Hal tersebut akan menyebabkan degenerasi sel-sel saraf dan penurunan konduksi impuls saraf. Jika terjadi pada nervus VIII akan mengakibatkan gangguan pendengaran (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Hemodialisis atau HD merupakan terapi pengganti ginjal yang diberikan pada pasien dengan PGK tahap akhir. Pasien PGK yang menjalani HD reguler berada dalam kondisi yang stabil karena sebagian fungsi ginjal telah digantikan oleh mesin hemodialisis. Kelebihan cairan dan toksin uremik diekskresikan melalui HD. Selain itu keseimbangan elektrolit dan asam basa juga dapat dipertahankan (Liu dan Chertow, 2015). Hemodialisis dapat menghentikan 4 progresivitas neuropati uremikum. Abnormalitas eksitabilitas aksonal saraf akan segera kembali normal, walaupun terdapat abnormalitas minor yang menetap (Ramirez dan Gomez, 2012). Tiap pasien memerlukan dosis HD yang berbeda-beda. Pasien PGK umumnya memerlukan 9-12 jam hemodialisis tiap minggu yang dibagi menjadi beberapa sesi. Adekuasi hemodialisis merupakan dosis HD yang diperlukan untuk menjaga pasien tetap hidup dan relatif asimptomatik (Liu dan Chertow, 2015). Secara spesifik, De Palma seperrti yang dikutip oleh Widiana (2013) dialisis dianggap cukup bila dapat mencegah terjadinya neuropati. Urea kinetic modeling atau UKM merupakan metode yang paling umum digunakan untuk mengukur adekuasi hemodialisis dengan memakai klirens urea sebagai parameter efektivitas klirens toksin uremik dari darah pasien PGK. Kt/V merupakan persamaan matematik yang didasarkan atas UKM. Kt/V berupa rasio tanpa satuan dan nilai yang dianggap mewakili adekuasi hemodialisis yang cukup adalah >1,8 pada pasien yang menjalani HD dua kali seminggu. Pasien dengan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup berada dalam kondisi suburemik akibat tidak efektifnya ekskresi toksin-toksin uremik. Kondisi ini meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Perburukan neuropati pada pasien PGK merupakan tanda tidak cukupnya HD yang dierima pasien. Peningkatan mortalitas diasosiasikan pada pasien yang memiliki Kt/V di bawah 1,2 (Liu dan Chertow, 2015; Mehta dan Fenves, 2010; Ramirez dan Gomez, 2012). Berdasarkan hal tersebut di atas, pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup diduga lebih rentan mengalami 5 neuropati uremikum, termasuk pada nervus VIII, yang akhirnya akan menyebabkan gangguan pendengaran. Penelitian mengenai ambang dengar pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Sanglah, dan penelitian yang meneliti hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan ambang dengar belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Hal ini menarik untuk diteliti karena hasilnya dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap pencegahan dan preservasi fungsi pendengaran pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ambang dengar pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi hemodialisis yang cukup lebih rendah dibandingkan dengan pasien PGK yang menjalani HD reguler dengan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi pendengaran pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah. 1.3.2 1. Tujuan Khusus Membuktikan pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah dengan adekuasi hemodialisis yang cukup memiliki ambang dengar yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak cukup. 6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Dapat memberikan informasi mengenai fungsi pendengaran pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah. 2. Dapat memberikan informasi mengenai perbedaan rerata ambang dengar pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah dengan adekuasi hemodialisis yang cukup dan tdak cukup. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai gangguan pendengaran pada pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan mengenai usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah dan intervensi terhadap gangguan pendengaran pada pasien PGK yang menjalani HD reguler di RSUP Sanglah.