This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang “As the planet globalize, groups tribalize” -Frank Ogden K eberhasilan Uni Eropa dalam mewujudkan diri sebagai suatu entitas regional yang kuat telah membuat negara-negara di dunia internasional turut menimbang lebih jauh mengenai penguatan kerjasama di kawasan dalam upaya menghadapi berbagai tantangan yang ada. Tantangan dalam dunia internasional ini disebabkan seiring berakhirnya Perang Dingin, dunia dipenuhi berbagai dinamika dalam arena politik internasional, baik dalam kompleksitas permasalahan dan pelaku hubungan internasional. Sejak berakhirnya Perang Dingin, kompleksitas permasalahan dunia internasional ditandai dengan semakin mencuatnya isu- isu baru seperti Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan, kejahatan transnasional, dan isu seputar demokratisasi yang semakin penting dalam interaksi antar-negara. Sementara itu, dunia pasca-Perang Dingin juga ditandai dengan hadirnya pelaku-pelaku baru dalam hubungan internasional. Organisasi-organisasi nonpemerintah (nongovernment organizations, NGOs), masyarakat sipil, dan perusahan multinasional menjadi semakin berperan penting dalam interaksi global, membuat Negara kini tidak lagi sebagai aktor tunggal dalam hubungan internasional. Hal- hal ini kemudian membuat negara-negara di dunia internasional mempunyai kecenderungan untuk memfokuskan pada upaya memperkuat kerja sama regional di kawasan. Lebih lanjut, ada sebuah pandangan umum yang muncul setelah melihat keberhasilan Uni Eropa menciptakan entitas regional yang kuat, yakni bahwa kerja sama regional pada akhirnya akan menciptakan entitas yang lebih terintegrasi1 , yakni sebuah bentuk regionalisme.2 1 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro (ed), Community, (Jakarta: CSIS, 2007), hlm. 51. ASEAN Quest for a Full-Fledge 1 Universitas Indonesia Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 2 Melihat perubahan dan perkembangan dalam dunia internasional tersebut, suatu negara kini dituntut untuk dapat secara terus menerus memperbarui perumusan dan pelaksanaan politik luar negerinya yang memiliki kemampuan adaptif, antisipatif, dan efektif dalam arus perubahan politik internasional. Hal ini mutlak diperlukan agar politik luar negeri suatu negara bisa berfungsi dengan optimal untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Politik luar negeri sendiri secara umum adalah suatu perangkat formula, nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan politik internasional.3 Politik luar negeri juga dilihat sebagai suatu hasil interaksi negara yang bersangkutan dengan lingkungan internal dan eksternalnya. Sehingga kemudian politik luar negeri tidak bisa dikatakan sebagai tetap dan abadi. Politik luar negeri selalu terbentuk dari persepsi yang sedang mencuat pada saat perumusannya, baik di tingkat domestik maupun internasional. Oleh sebab itu, dalam menghadapi mencuatnya tren regionalisme dalam dunia internasional, setiap negara juga perlu untuk membuat desain politik luar negeri yang tetap berlandaskan pada kepentingan nasionalnya. Upaya membangun desain baru politik luar negeri yang dapat menghadapi tantangan dunia internasional juga tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Masa depan politik luar negeri Indonesia ditenggarai bukan hanya terletak pada kemampuannya untuk membangun dirinya sendiri, tetapi juga kemampuanya untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan kesempatan yang muncul dari perubahan-perubahan yang terjadi.4 Lebih lanjut, tantangan dan peluang yang terdepan bagi Indonesia adalah bagaimana mengantisipasi geliat perkembangan ASEAN yang ingin mewujudkan diri sebagai sebuah entitas yang lebih kuat lewat visi ASEAN Community-nya. Indonesia kemudian diharapkan dapat berupaya mengarahkan perkembangan ASEAN ini untuk kemakmuran rakyat Indonesia 2 Regionalisme terjadi ketika pemimpin dari negara-negara yang berdekatan secara wilayah membangun politik luar negerinya dengan menggunakan kacamata regional. Lihat Graham Evans dan Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International Relations, (London: Penguin Books, 1998), hlm. 474. 3 DR. A. A Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 47. 4 Bantarto Bandoro, “The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro, Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), hlm. 42. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 3 lewat penciptaan desain Politik Luar Negeri yang tetap berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia. Konsekuensi dari perkembangan dunia internasional dengan segala kompleksitas isunya dinilai telah menghadirkan sejumlah tantangan dan peluang bagi negara- negara di wilayah Asia Tenggara yang tergabung ke dalam ASEAN. Dunia saat ini jauh lebih berbeda dari dunia ketika ASEAN dideklarasikan pada 8 Agustus 1967 yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama politik dan sosial diantara negara anggota semata. ASEAN kini dituntut untuk dapat menciptakan suatu kerja sama yang utuh dan holistik dalam menghadapi berbagai tantangan dunia internasional kontemporer, karena kini kejadian yang menimpa suatu negara dapat memiliki keterkaitan yang erat dengan kejadian yang terjadi di negara tetangganya. Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 telah menjadi bukti tersendiri bagaimana negara- negara di kawasan Asia Tenggara memiliki keterkaitan yang erat. Diawali dari jatuhnya nilai tukar baht Thailand terhadap dollar AS, kejadian tersebut tidak hanya memukul perekonomian domestik Thailand, tapi juga memberi dampak simultan terhadap perekonomian beberapa negara di kawasan Asia Tenggara sehingga menghadirkan krisis yang lebih dari sekadar krisis ekonomi. Oleh karena itu, dengan kesadaran bahwa dunia internasional dewasa ini adalah dunia yang kompleks dan karenanya memperlukan upaya bersama untuk memetakan jalan ke masa depan, pada Pertemuan Puncak ASEAN ke-9 tahun 2003, para pemimpin ASEAN berkomitmen untuk mencapai suatu komunitas ASEAN pada tahun 2020 yang akan berlandaskan pada tiga pilar, yakni Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Ketiga pilar ini akan saling terkait secara erat dan saling memperkuat dalam upaya mencapai perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran.5 Komunitas ASEAN yang akan dibentuk ini adalah sebuah caring societies yang akan dibangun diatas sebuah identitas bersama, identitas ASEAN. Melalui visi untuk menjadi sebuah komunitas, ASEAN berjuang untuk mengubah statusnya dari sekedar “perhimpunan bangsa-bangsa“ menuju ke satu kesatuan “masyarakat “ yang terdiri atas bangsa-bangsa. Dengan kata lain, ASEAN memulai proses 5 Makarim Wibisono, Tantangan Diplomasi Multilateral, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hlm. 194. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 4 transformasi dari kumpulan negara yang berasosiasi ke arah komunitas kawasan yang lebih terintegrasi. Lebih lanjut, proses transformasi ASEAN kepada integrasi kawasan yang lebih kuat tersebut berupaya dipercepat, pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu City, Filipina 2006, sepuluh kepala negara ASEAN sepakat untuk mempercepat terbentuknya Masyarakat Bersama ASEAN dari 2020 menjadi 2015.6 Terlepas dari indahnya cita-cita yang didengungkan oleh para pemimpin ASEAN pada tahun 2003, masih banyak terdapat beberapa persoalan mendasar. Realitas yang ada adalah eksistensi ASEAN secara riil kepada masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih banyak yang mempertanyakan. ASEAN banyak dikritik sebagai organisasi yang elitis, di mana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya di tataran regional belum mampu menyentuh langsung kehidupan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Dengan kata lain, selama kurang lebih 41 tahun ASEAN berdiri, ASEAN ternyata masih belum embedded dalam masyarakat di negara Asia Tenggara. Terlebih lagi, dalam cita-citanya membangun suatu identitas bersama juga masih merupakan konsep yang abstrak, masih memerlukan pertanyaan lebih jauh tentang identitas seperti apa yang ingin ditonjolkan ASEAN di tengah beragamnya identitas di masing negara- negara anggota sendiri. Membaca identitas negara-negara Asia Tenggara sendiri ibarat membaca suatu teks yang berjalin kelindan tiada henti hingga akhirnya kemenyatuan yang menyeluruh dari identitas negara- negara Asia Tenggara itu tampak tak akan pernah ditemukan untuk diangkat menjadi suatu identitas ASEAN. Pertanyaan lebih lanjut terkait identitas ini pun muncul, “manakah yang disebut sebagai identitas ASEAN tersebut?” Apakah identitas tersebut masih perlu dirumuskan ataukah dibiarkan mengkristal sendiri?”. Secara umum, dalam mewujudkan visi ASEAN Community 2015, semangat mengintegrasikan ASEAN saja belum cukup, sehingga harus ada program aksi yang dapat dirasakan oleh masyarakat di level grassroot ASEAN. Menyimak berbagai permasalahan mendasar dalam membentuk suatu Komunitas ASEAN, seperti masih belum terasanya keberadaan dan fungsi 6 “Menhan se-ASEAN ingin ASC terbentuk 2015”, diakses dari http://www.antara.co.id/arc/2007/3/27/menhan-se-asean-ingin-asc-terbentuk-2015/, pada tanggal 20 Agustus 2008, pukul 19.10 WIB. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 5 ASEAN di level grassroot, serta masih sulitnya mengidentifikasi apa yang disebut dengan terminologi identitas bersama ASEAN, maka Indonesia, sebagai salah satu pendiri ASEAN dan juga sebagai penggagas ide mengenai Komunitas ASEAN, berupaya mengambil momentum untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam organisasi ASEAN. Keberhasilan dalam menempatkan posisi instrumental Indonesia dalam ASEAN disadari pemerintah akan dapat menjadi modal tambahan untuk meningkatkan leverage politik luar negeri Indonesia terhadap negara di luar kawasan ASEAN. Indonesia mempunyai kepentingan untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang aman dan damai, karena hal ini dilihat akan dapat menciptakan stabilitas dan keamanan domestik, yang lebih lanjut akan menunjang proses pembangunan di Indonesia.7 Tidaklah mengherankan jika kemudian, ASEAN tetap dicanangkan sebagai “pilar” Politik Luar Negeri Indonesia, menjadi inti atau dasar politik luar negeri yang bebas dan aktif.8 Oleh karena itu, dalam beberapa pernyataan resmi pemerintah Indonesia kerap kali ditemui keyakinan yang optimis bahwa akan terbentuk suatu komunitas ASEAN yang berdiri berdasarkan suatu identitas bersama. Seperti misalnya pernyataan yang dikeluarkan Presiden SBY dalam pidatonya di forum- forum ASEAN selalu menyinggung mengenai pentingnya political cohesiveness diantara negara anggota ASEAN.9 Peran Kepemimpinan yang diambil Indonesia untuk memajukan visi Komunitas ASEAN serta langkah Indonesia untuk lebih mementingkan kerja sama ASEAN dalam penyelenggaraan hubungan luar negerinya dan pelaksanaan politik luar negeri sebenarnya merupakan aktualisasi dari pendekatan ASEAN sebagai concentric circle (lingkaran konsentrik) utama Politik Luar Negeri Indonesia.10 Indonesia menempatkan ASEAN sebagai lingkaran utama Politik Luar Negerinya disebabkan adanya persepsi bahwasanya masalah- masalah yang muncul di Indonesia itu dominan berasal dari lingkungan kawasan Asia Tenggara, 7 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 83. 8 C.P.F. Luhulima, “Ketahanan Regional dan Nasional: Dasar untuk Diplomasi Regional Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro, Op.Cit, hlm. 53. 9 Lihat Pidato Presiden SBY, “Rethinking ASEAN Towards the ASEAN Community 2015” dan “On Buiding the ASEAN Community: the Democratic Aspect”,d i a k s e s d a r i http://www.aseansec.org/17655.htm, pada tanggal 20 Agustus 2008, pukul 19.15 WIB. 10 Ganewati Wuryandari (ed). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. (Jakarta: Pustaka Pelajar dan P2P- LIPI, 2008), hlm. 39-40.. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 6 sehingga Indonesia perlu memainkan peran yang lebih besar dan aktif di dalam ASEAN. Masalah- masalah yang umum muncul dari kawasan Asia Tenggara contohnya adalah masalah tenaga kerja migran Indonesia, masalah polusi asap, dan masalah keamanan Laut Cina Selatan. Permasalahan-permasalahan ini tidak hanya berdampak pada satu dimensi saja, seperti misalnya dalam masalah Laut Cina Selatan, kerugian yang dirasakan Indonesia tidak hanya dari sisi keamanan semata, namun secara perdagangan pun Indonesia menjadi dirugikan. Dengan tidak amannya kawasan Laut Cina Selatan, maka lalu lalang kapal akan semakin minim dan hal ini akan menurunkan volume perdagangan di kawasan, yang tentunya akan berdampak pada pemberian kesejahteraan dari negara kepada masyarakatnya. Dengan melihat dampak yang bisa timbul dari kawasan Asia Tenggara ini, maka Indonesia berkepentingan untuk menciptakan ASEAN sebagai organisasi regional yang lebih kuat guna dapat secara efektif menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul di kawasan. Inilah yang membuat Indonesia memandang penting ASEAN dengan menempatkannya sebagai lingkaran konsentrik utama Politik Luar Negerinya, yang melihat posisi ASEAN lebih strategis secara geopolitik dan geoekonomi bagi Indonesia dibandingkan kawasan-kawasan lainnya semisal Amerika dan Eropa. Dengan melihat signifikansi ASEAN bagi Indonesia dan juga dengan melihat perkembangan yang terjadi di ASEAN dengan visi ASEAN Community 2015-nya, maka menjadi relevan untuk menganalisa efektivitas peran yang telah dimainkan Indonesia di ASEAN selama ini. Hal ini juga dapat memperlihatkan sejauh mana keseriusan Indonesia dalam menempatkan ASEAN sebagai lingkaran konsentrik utama Politik Luar Negerinya, yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. 1.2 Rumusan Permasalahan “Bagaimana peran Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN sebagai upaya mewujudkan visi ASEAN Community 2015, pada periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2008)?” Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 7 Pertanyaan ini muncul karena sebagaimana telah dipaparkan diatas Pemerintah Indonesia, khususnya Deplu RI menempatkan ASEAN sebagai lingkaran konsentrik yang pertama dari Politik Luar Negeri Indonesia. ASEAN pun dipandang sebagai sokoguru Politik Luar Negeri Indonesia yang dipandang akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, baik untuk menyelesaikan masalah- masalah yang ada di Indonesia serta juga untuk memberikan kemakmuran bagi masyarakatnya. Dengan demikian perlu dilihat sejauh mana efektivitas peran yang dimainkan Indonesia di ASEAN, khususnya dalam mendorong ASEAN melangkah maju untuk menjadi sebuah entitas regional yang lebih kuat. Lebih lanjut, efektivitas peran Indonesia di ASEAN tersebut akan dilihat berdasarkan kerangka ‘New Regionalism’ Bjorn Hettne, yang akan memberikan gambaran mengenai pembangunan regionalisme secara lebih komprehensif. Dalam analisa makalah, penulis akan mengambil rentang waktu kebijakan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu dari tahun 2004-2008. Rentang waktu yang diambil pada masa Pemerintahan SBY untuk melihat kesinambungan kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia dalam memainkan peranannya di ASEAN. Tahun 2004 diambil sebagai rentang waktu awal analisa disebabkan pada tahun tersebut juga telah hadir tiga Rencana Aksi (Plan of Action / PoA ) untuk masing- masing pilar dalam ASEAN Community serta Vientianne Action Program yang akan dapat mempercepat proses integrasi ASEAN. Sehingga dengan demikian bisa dilihat bagaimana peranan Indonesia dalam mengimplementasikan butir-butir yang terdapat dalam PoA ASEAN Community tersebut. Sementara itu, tahun 2008 diambil sebagai rentang waktu akhir analisa untuk membatasi penelitian. 1.3 Tinjauan Pustaka Secara umum, literature review ini mencoba menelaah formulasi Politik Luar Negeri Indonesia dalam konteks perubahan dan perkembangan yang terjadi di ASEAN. Argumen yang berupaya diangkat adalah bahwa desain Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN tidak boleh merubah komitmen Indonesia untuk tetap menjadi bagian dari kolaborasi internasional untuk menciptakan lingkungan Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 8 regional yang lebih stabil dan aman, dan tentunya tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional dasar Indonesia. Bagian awal studi ini akan berupaya meninjau peran kepemimpinan Indonesia secara historis di ASEAN, untuk menunjukkan signifikansi ASEAN sebagai bagian dari lingkaran konsentrik pertama Politik Luar Negeri Indonesia. Selanjutnya, dalam mewujudkan peran yang lebih aktif di ASEAN, perlu tetap ditujukan untuk memajukan kepentingan nasional Indonesia, dengan memperhatikan keadaan domestik. Oleh sebab itu, bagian berikutnya akan mengeksplor beberapa faktor domestik yang harus menjadi landasan berpijak Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN. Lebih lanjut, studi ini kemudian berupaya menegaskan argumen bahwa Indonesia harus memainkan peran kepemimpinan yang kuat dalam mendorong regionalisme ASEAN, dengan mengangkat suatu pandangan bahwa pembentukan regionalisme di suatu wilayah memerlukan visi dan kepemimpinan dari suatu aktor atau grup yang memiliki shared ideas untuk dibangun bersama, bahwa regionalisme bisa dilihat sebagai state-driven regionalization process. Diharapkan, literature review ini dapat menjadi sebuah context review yang menempatkan proyek spesifik penelitian dalam sebuah gambaran besar. 1.3.1 Indonesia dan Kepemimpinannya di ASEAN: Tinjauan Historis Meninjau peran kepemimpinan Indonesia, khususnya di level ASEAN tidak bisa lepas dari prinsip Politik Luar Negeri ‘Bebas Aktif’ yang dianut Indonesia. Adalah Mohammad Hatta dalam pidatonya pada tahun 1947, yang pertama kali menyinggung bagaimana Indonesia seharusnya berperan di dunia internasional, yakni Indonesia harus dapat ‘Mendayung diantara dua karang’. Adagium yang diucapkan Moh. Hatta diatas mencerminkan sebuah keinginan akan kemandirian di dalam pergaulan dunia internasional dari suatu bangsa yang baru merdeka saat itu, yakni Indonesia. Dari pemikirannya pula, prinsip dari Politik Luar Negeri Indonesia yang ‘bebas dan aktif’ dikonsepsikan. Wakil Presiden RI yang pertama ini tidak ingin Indonesia menjadi obyek dalam percaturan internasional. Indonesia harus dapat menjadi subyek yang dapat menentukan kebijakannya sendiri. Prinsip bebas dan aktif sendiri (dalam konteks Perang Dingin) mengartikan bahwa Indonesia tidak terikat pada salah satu blok Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 9 manapun di dunia ini, bebas dalam menentukan kebijakannya dan turut aktif dalam politik internasional.11 Politik luar negeri bebas-aktif Indonesia kemudian bisa dianggap sebagai varietas dalam sistem internasional bipolaritas. Presiden Soekarno dan kemudian juga Presiden Soeharto pun mempunyai pandangan yang sama bagaimana seharusnya Indonesia berperan di dunia internasional, yakni dengan berperan lebih luas lagi di level regional sehingga akan memberikan dampak bagi peran Indonesia secara global. Namun dalam meraih tujuannya tersebut, kedua pemimpin Indonesia ini berbeda cara. Pada masa Soekarno arah kebijakan luar negeri Indonesia cenderung dekat dengan negara-negara komunis seperti Cina, dan “memusuhi” negara-negara imperialis Barat. ‘Bebas dan Aktif’ pada masa Soekarno diartikan Indonesia harus memimpin negara-negara berkembang dalam melawan imperialis Barat. Tidak jarang, dalam pelaksanaan kebijkan luar negerinya, Indonesia kerap bergesekan dengan negara lain semisal Malaysia dan Singapura. Sikap Indonesia yang cenderung memusuhi dunia Barat pun membuat Indonesia terjerembab dalam krisis ekonomi dengan inflasi ekonomi yang cukup tinggi. Pada masa Presiden Soeharto, kebijakan luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis, berorientasi pada pembangunan ekonomi dan berkeinginan kuat untuk berperan di kawasan.12 Kebijakan luar negeri Indonesia dengan diplomasi pembangunannya, memiliki tujuan ganda, yakni demi melakukan rehabilitasi ekonomi dalam negeri dan juga untuk repositioning Indonesia di level regional dan global. Disebutkan Anthony Smith dalam tulisannya, bahwa pada masa Soeharto, kebijakan luar negeri Indonesia memiliki tiga pilar pengaruh13 , yakni pertama berupaya memprioritaskan hubungannya dengan Amerika Serikat dan Jepang daripada dengan Cina dan Uni Soviet. Hal ini tidaklah mengherankan, karena Indonesia berupaya untuk mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat dan Jepang guna membayar semua hutang- hutangnya. Pilar berikutnya adalah 11 Leo Suryadinata, Op.Cit., hlm. 28. A. Agus Sriyono, “Politik Luar Negeri Indonesia dalam Zaman yang Berubah”, dalam A. Agus Sriyono dan Darmansjah Djumala, Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 13. 13 Anthony Smith, “Indonesia Role in ASEAN: the End of Leadership?”, Contempory Southeast Asia, August 1999, diakses dari http://findarticles.com/p/articles/mi_hb6479/is_2_21/ai_n28737296, pada tanggal 16 Februari 2009, pukul 20.00 WIB. 12 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 10 Aktifnya Indonesia diantara kelompok negara-negara berkembang, yakni Gerakan Non Blok (GNB), sebagai upaya untuk melakukan repositioning dan rehabilitasi ekonomi domestik, serta menjadi “pemain penting” di dunia internasional. Terakhir, adalah pilar kerja sama regional, yakni menguatkan kerja sama negaranegara Asia Tenggara dalam wadah ASEAN. Hal ini demi revitalisasi hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara di kawasan yang sempat memburuk pada era Soekarno. Terkait peran aktif Indonesia di ASEAN pada masa Soeharto, ada tiga hal besar yang ingin dicapai Indonesia, yakni (1) keinginan untuk menormalisasi hubungan Indonesia dengan negara nonkomunis di Asia tenggara, (2) keinginan untuk memperoleh stabilitas domestik, dan (3) keinginan agar keamanan wilayah tidak terlalu bergantung pada kekuatan eksternal kawasan.14 Oleh sebab inilah, Indonesia pada masa Soeharto dikenal sebagai negara yang mempunyai komitmen tinggi terhadap ASEAN, terutama terlihat ketika menghadapi kasus kamboja, dimana Indonesia mempelopori upaya penyelesaian masalah Kamboja dengan mengadakan Jakarta Informal Meeting (JIM). Sejak tahun 1990, Indonesia juga berupaya mencari pendekatan ke arah penyelesaian konflik teritorial di Laut Cina Selatan, dengan mempertemukan pihak-pihak yang bertikai di dalam negeri Filipina. Dari paparan diatas, terlihat bahwa arti penting ASEAN bagi Indonesia yang utama adalah dengan kuatnya ASEAN, maka akan tercipta aspek psikologis perasaan aman dan mengurangi rasa curiga diantara negara-negara anggota, sehingga tercapai rekonsiliasi antara sesama negara anggota yang sebelumnya terlibat konflik.15 Keberhasilan ASEAN dalam menggalang kerja sama politik dan keamanan akan memberi peluang kepada negara-negara anggota untuk mengupayakan stabilitas domestik dan memberi prioritas kepada pembangunan ekonomi. Nilai penting ASEAN inilah yang membuat Indonesia tidak mengubah komitmennya terhadap ASEAN. Hal ini terlihat dari ditempatkannya ASEAN sebagai lingkaran konsentrik pertama dari Politik Luar Negeri Indonesia. 14 Ibid. Edy Prasetyono, “Peran Indonesia dalam Satu Asia Tenggara”, dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 5, September-Oktober 1996 Refleksi Masa Depan ASEAN: Tinjauan oleh Generasi Muda, (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. 398. 15 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 11 Namun, seiring krisis ekonomi yang melanda Indonesia di penghujung dekade 1990-an, yang menjatuhkan pemerintahan Presiden Soeharto, kepemimpinan Indonesia di wilayah ASEAN pun memudar. Kebijakan luar negeri Indonesia pada masa awal reformasi lebih diarahkan bagaimana memulihkan kondisi domestik yang chaos. Implikasi dari kebijakan luar negeri ini adalah perhatian dalam menyelesaikan masalah yang muncul di tingkat regional menjadi berkurang, Indonesia dianggap tidak bisa bisa menyelesaikan masalah kasus polusi asap akibat kebakaran hutan dan juga masalah tenaga kerja migran. Padahal peran Indonesia dianggap sentral dan ditempatkan negara- negara lain untuk dapat mengambil inisiatif tentang apa yang baik dan buruk bagi ASEAN. Lebih lanjut, seperti apa yang telah dipaparkan diatas, relevansi ASEAN di abad 21 ini semakin meningkat dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia internasional yang memerlukan reaksi dengan timing yang tepat. Dengan digagasnya visi ASEAN Community 2015, Indonesia seharusnya tertantang untuk mengembalikan peran kepemimpinannya di kawasan regional. Relevansi dan kredibilitas ASEAN pun kemudian menjadi tergantung dari bagaimana hadirnya visi yang kuat dan munculnya peran kepemimpinan dalam mendorong terciptanya integrasi regional yang kuat. 1.3.2 Faktor Domestik sebagai Landasan Berpijak Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN “Foreign Policy Begins at Home” Hadirnya keinginan Indonesia untuk memainkan peranan internasional yang lebih aktif di wilayah ASEAN hendaknya tidak dijalankan berdasarkan keinginan para elit pembuat keputusan belaka, akan tetapi harus memperitungkan keadaan dan perubahan dalam konteks domestik. Rizal Sukma menyatakan bahwa desain baru politik luar negeri seharusnya tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu, namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan.16 Lebih lanjut, Rizal Sukma dalam tulisannya memaparkan beberapa faktor 16 Rizal Sukma, “Dimensi Domestik Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro, Op.Cit., hlm. 85. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 12 internal yang harus diperhitungkan pemerintah dalam merumuskan politik luar negerinya.17 Faktor pertama adalah bahwa politik luar negeri harus selalu diabdikan untuk kepentingan nasional. Dalam hal ini, kepentingan nasional Indonesia yang paling utama adalah bagaimana mempercepat proses pemulihan ekonomi, sehingga cita-cita untuk memakmurkan masyarakat dapat terwujud. Hal ini dapat dicapai diantaranya dengan menciptakan lapangan kerja, menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta menegakkan keadilan sosial. Faktor yang berikutnya yakni bahwa perumusan politik luar negeri kini harus dapat lebih memperhatikan opini publik. Sebagai konsekuensinya, pemerintah kini harus dapat mengambil keputusan dengan lebih melibatkan peran masyarakat (civil society). Faktor selanjutnya adalah bahwa politik luar negeri seharusnya mencerminkan adanya nilai- nilai yang berkembang di dalam negeri. Dalam hal ini, demokrasi dan penghormatan atas hak- hak asasi manusia (HAM) merupakan dua nilai terpenting yang memberi nilai tambah bagi Indonesia di mata dunia internasional, selain tentunya peran Islam dalam politik dalam negeri. Berkaitan dengan nilai demokrasi dan HAM ini, disebutkan Philips J. Vermonte18 , menciptakan kawasan Asia Tenggara yang dihuni negara-negara yang demokratis seharusnya menjadi tujuan Politik Luar Negeri Indonesia saat ini, karena hal tersebut akan memberikan sumbangsih dalam peningkatan citra Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri yang kemudian dapat turut memperkuat proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri. Faktor domestik terakhir yang disebutkan Rizal Sukma adalah adanya kapasitas nasional yang berguna untuk menyusun agenda prioritas dalam menjalankan keinginankeinginan di bidang luar negeri. Setelah memaparkan beberapa faktor domestik tersebut, Rizal Sukma menyebutkan bahwa politik luar negeri sebaiknya diarahkan terlebih dahulu untuk memperbaiki dan meningkatkan vitalitas nasional. Namun, fokus melakukan revitalisasi kapasitas nasional ini tidak berarti Indonesia harus menjadi inward- 17 Ibid., hlm. 84-88. Lihat tulisan Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Inonesia: Membangun Citra Diri”, dalam Ibid., hlm. 27-40. 18 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 13 looking.19 Lingkungan Asia Tenggara, dapat menjadi theater dimana Indonesia berpeluang besar untuk memanfaatkan dinamika kawasan bagi kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut, Indonesia dalam hal ini tidak dapat memungkiri perannya dalam diplomasi dan tata regional Asia Tenggara akan lebih besar daripada negara-negara ASEAN lain. Letak geografis, jumlah penduduk, jalurjalur penting internasional, pertumbuhan ekonomi, serta faktor historis menempatkan Indonesia dalam posisi penting dan strategis untuk memainkan leadership di ASEAN.20 Selain hal tersebut, Indonesia juga mempunyai kekuatan yang dapat menjadi dasar dalam mencapai kesuksessan pembentukan komunitas ASEAN 2015. Tri Astuti dalam tulisannya “Menuju Komunitas ASEAN 2015: Indonesia dan Tiga Pilar Integrasi”21 , setidaknya menyebutkan tiga kekuatan Indonesia tersebut. Pertama, dari segi keamanan internal, Indonesia tergolong cukup aman. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan secara umum pemerintah dalam menyelesaikan masalah- masalah keamanan yang ada di Indonesia dengan cara yang demokratis dan tetap menjunjung HAM. Hal ini dilihat akan memberikan sumbangan positif dengan menjadi contoh bagi terciptanya keamanan regional. Kedua, dari segi perekonomian, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan agraris yang memiliki sumber daya alam melimpah dan lingkungan yang asri. Hal ini dinilai akan menunjang perkembangan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai salah satu pilar dari komunitas ASEAN 2015. Ketiga, dari segi sosial budaya, Indonesia kaya akan keragaman budaya. Sehingga hal ini dapat menjadi soft power untuk mengimbangi kekuatan militer yang ada, serta menjadi arahan dalam menciptakan unity in diversity ASEAN. Dari ketiga kekuatan ini, kemudian dapat dilihat bahwa Indonesia telah memiliki modal yang cukup dalam mendorong kesuksesan terciptanya ASEAN Community 2015. Akan tetapi, modal kekuatan ini akan menjadi tidak efektif apabila Indonesia tidak mempunyai visi dan strategi terarah dalam bidang keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang diikuti dengan komitmen semua 19 Rizal Sukma, Ibid., hlm. 88. Ibid., hlm. 399. 21 Tri Astuti, “Menuju Komunitas ASEAN 2015: Indonesia dan Tiga Pilar Integrasi”, dalam Sekdilu 32 Deplu RI, Indonesia dan Dunia: Refleksi Pemikiran Diplomat Muda Indonesia, (Jakarta: Deplu RI, 2007), hlm. 246-247. 20 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 14 pihak. Tentunya, hal ini juga harus ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat serta tata kelola pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu, dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN yang kuat, Indonesia harus dapat menjadi state driven regionalization process. Bagian selanjutnya akan mencoba menelaah apa yang disebut dengan state driven regionalization process tersebut. 1.3.3 State Driven Regionalization Process Telah disebutkan pada bagian awal bahwa banyak negara kini terlibat dalam regional project, mulai dari kerja sama perdagangan hingga kerja sama dalam menciptakan komitmen politik untuk terintegrasi lebih mendalam. Kashima Masahiro dan Benny Teh Cheng Guan dalam tulisannya “New Regionalism in Comparison: the Emerging Regions of East Asia and the Arab Middle East”22 , berupaya melihat perkembangan dari regionalisme yang diantaranya didorong oleh hadirnya peran kepemimpinan suatu aktor. Masahiro dan Cheng Guan melihat regionalisme hadir sebagai hasil dari proses globalisasi yang menyeruakkan kecenderungan homogenisasi. Bagaimana pengaruh globalisasi telah memberikan efek terhadap terciptanya respon regional. Lebih lanjut, Masahiro dan Cheng Guan menyebutkan bahwa regionalisme jangan hanya dipandang sebagai sebuah a priori, tetapi lebih kepada pembentukkan secara sosial. Hal ini disebabkan dalam perkembangan pembentukkan regionalisme, aspek sosial dalam menciptakan identitas bersama di kawasan menjadi penting artinya dalam mengupayakan terciptanya entitas regional yang kuat, selain tentunya aspek ekonomi dan politik. Masahiro dan Cheng kemudian memaparkan bahwa regionalisme adalah sebuah konsep yang multidimensional, dengan proses pembentukkannya yang kompleks dan melibatkan banyak aktor.23 Definisinya mengenai regionalisme mengacu pada konsepsi N e w R egionalism yang diungkapkan Bjorn Hettne, yaitu sebuah konsep regionalisme yang mengeksplor kerja sama dan integrasi cross border berdasarkan pemahaman komparatif, historis, dan multilevel perspective. 22 Kashima Masahiro dan Benny Teh Cheng Guan,”New Regionalism in Comparison: The Emerging Regions of East Asia and the Arab Middle East”, diakses dari http://dspace.lib.kanazawa-u.ac.jp/dsapce/bitstream/2297/4464/1/KJ00004371022.pdf. p a d a tanggal 16 Februari 2009, pukul 20.05 Wib, hlm. 67-90. 23 Ibid., hlm. 72. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 15 Namun, dalam tulisannya Masahiro dan Cheng Ghuan tidak mengelaborasi lebih jauh konsepsi New Regionalism, argumen utama yang berupaya diungkapkan kedua penulis tersebut adalah mengenai perlu adanya peran leadership dari aktor atau grup aktor dalam membangun regionalisme yang kuat. Hal ini disebabkan proses regionalisasi yang terbentuk secara sosial adalah sebuah proses intersubjektif yang memerlukan agen untuk mengkonstitusikan struktur secara mutual lewat knowledgeble practices. Sebagaimana pemahaman perspektif konstruktivis, struktur normatif dan ideasional memang membentuk identitas dan kepentingan dari aktor, namun struktur tersebut tidak akan ada apabila bukan dengan adanya knowledgeble practices dari aktor tersebut.24 Inilah yang kemudian disebut Masahiro dan Cheng Guan sebagai state driven regionalization process. Dalam tulisannya, kedua penulis mengambil kasus dari upaya regionalisme di wilayah Arab. 1.3.3.1 Regionalisme Arab: Upaya Dominan Mesir Menyatukan Arab Wilayah Arab sebenarnya merupakan sebuah wilayah yang seragam secara identitas. Negara-negara di kawasan ini umumnya memiliki sebuah shared identity y a n g k uat, sehingga walau terdiri dari banyak negara, umumnya masyarakat di kawasan ini memaknai diri mereka sebagai orang Arab. Hal ini disebabkan wilayah Arab mempunyai karakteristik yang hampir sama, yakni memiliki bahasa dan tulisan Arab, mayoritas Agama yang dianut adalah agama Islam, serta negara-negara di kawasan ini secara umum pernah berada di bawah dominasi Ottoman Turki serta dikolonialisasi bangsa Eropa. Lebih lanjut, hal yang membuat negara-negara Arab memiliki identitas yang sama adalah sikap negaranegara Arab yang cenderung tidak suka dengan adanya kehadiran Israel di kawasan Arab.25 Menilik hal ini seharusnya proses regionalisme di wilayah Arab adalah hal yang relatif lebih mudah untuk diperkuat, namun pada kenyataannya, regionalisme di wilayah Arab hingga kini masih menjadi persoalan. Dalam menjelaskan hal ini, Masahiro dan Cheng Guan berupaya menelaahnya lewat tinjauan historis. 24 Christian Reus-Smith, “Constructivism”, dalam Scott Burchill, et.al., Theories of International Relations 2nd Edition, (New York: Palgrave, 2001), hlm. 215-221. 25 Masahiro dan Ceng Ghuan, Ibid., hlm. 80-81. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 16 Timbulnya rasa nasionalis sebagai bangsa Arab di wilayah ini baru muncul sejak berakhirnya Perang Dunia II. Munculnya Liga Arab sebagai sebuah respon terhadap kemerdekaan Israel pada 1948 adalah titik tolaknya. Dengan dipimpin oleh Mesir, negara-negara Arab berupaya menyuarakan perlawanan terhadap Israel dan kolonialisme. Pada era ini, peran kepemimpinan Mesir dalam mendorong terciptanya unifikasi negara-negara Arab sangatlah kuat. Gamal Abdul Nasser saat itu dianggap sebagai tokoh sentral dalam kebangkitan nasionalisme Arab. Terciptanya unifikasi Arab sebenarnya hampir terwujud dengan hadirnya United Arab Republic (UAR) pada tahun 1958, namun karena tidak adanya satu visi bersama mengenai integrasi wilayah Arab, hadirnya UAR ini malah ditakutkan beberapa negara akan dimanfaatkan Mesir untuk mendominasi wilayah Arab. Hingga akhirnya, UAR ini pun pecah dan mulai timbul perpecahan di negara Arab terutama antara kalangan konservatif dan revolusionernya. Puncak dari perpecahan wilayah Arab adalah dengan kekalahan negara-negara Arab dari perang melawan Israel tahun 1967. Sejak itu, Mesir pun mulai menarik diri dari kawasan Arab. Sejak Mesir menarik diri dari upaya unifikasi wilayah Arab, hingga saat ini belum ada lagi aktor yang menjadi pemimpin dalam mendorong integrasi kawasan. Sejak 1970-an wilayah ini diwarnai oleh berbagai ‘perang saudara’ dan berbagai konflik lainnya. Lebih lanjut, walaupun memiliki identitas bersama, wilayah Arab ternyata dalam perkembangannya memiliki perbedaan ideologi yang membuatnya sulit bersatu. Ada negara- negara konservatif, negara- negara yang pro terhadap hadirnya Amerika Serikat di kawasan, dan negara- negara radikal yang menolak kehadiran Amerika Serikat di wilayah Arab. Ditambah dengan belum adanya lagi negara di kawasan yang mengambil inisiatif untuk mengupayakan unifikasi wilayah Arab, akhirnya hingga saat ini perkembangan Liga Arab pun hanya jalan di tempat dan integrasi regional wilayah Arab pun merupakan jalan panjang untuk dilalui. Dari paparan diatas, terlihat bahwa pada kasus regionalisme Arab, hadirnya sebuah identitas bersama dan kerja sama antarnegara saja tidaklah cukup dalam membangun regionalisme yang kuat. Harus ada aktor yang berupaya mengkonstitusikan struktur secara mutual. Awalnya Mesir memang mengambil Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 17 peran kepemimpinan di wilayah Arab, namun Mesir gagal mendorong negaranegara lain di kawasan untuk memiliki visi yang sama mengenai unifikasi wilayah Arab. Sejak mundurnya peran Mesir di kawasan, belum ada aktor yang berupaya kembali mengangkat nasionalisme Arab, sehingga akhirnya proses regionalisme di wilayah Arab tidak berjalan. Pada bagian selanjutnya dalam tulisan Masahiro dan Ceng Ghun, disinggung juga mengenai kasus regionalisasi yang terjadi di wilayah Asia Timur, khususnya dengan adanya kerja sama ASEAN Plus Three (APT). Disebutkan kedua penulis, apa yang terjadi di wilayah Asia Timur dengan hadirnya kerjasama APT sebenarnya adalah sebuah respon dari negara- negara di Asia Tenggara terhadap krisis yang melanda wilayah tersebut di akhir 1990-an. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN merasa perlu mengikatkan diri lebih kuat dan juga berupaya menginisiasi kerja sama yang lebih intensif agar bisa lebih siap apabila terjadi krisis ekonomi kembali di kawasan. Oleh sebab itulah, kemudian negara-negara di Asia Tenggara, dalam wadah ASEAN, berupaya menjadi driving factor dalam proses terciptanya open regionalism. Namun, upaya ini kemudian menemui berbagai hambatan akibat tidak adanya visi besar yang ingin dibangun di kawasan. ASEAN pun mengalami sebuah dilema regionalisme. Penjabaran berikut, akan diperlihatkan bahwa ASEAN sepertinya tengah terjebak dalam sebuah dilema regionalisme, yakni apakah proses widening integrasi regional Asia Timur yang diutamakan ataukah proses deepening dalam menciptakan identitas regional ASEAN yang kuat terlebih dahulu dilakukan. 1.3.3.2 ASEAN dan Kemunculan Open Regionalism ASEAN dalam upayanya untuk menciptakan sebuah kerja sama regional yang kuat dalam mengantisipasi berbagai tantangan dalam dunia global kerap menggalakkan kerjasama terhadap negara-negara di luar ASEAN. Semakin intensnya ASEAN external co-operation disebut sebagai Low sebagai sebuah bentuk dari kehadiran open regionalism. 26 Dalam beberapa hal, kerjasama open regionalism jauh lebih menguntungkan dari pada kerjasama intra ASEAN sendiri. 26 Linda Low, ASEAN Economic Co-operation and Chalenges, (Singapore: ISEAS Publication, 2004), hlm. 45-80. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 18 Low sendiri tidak secara eksplisit menyebutkan apakah ini berdampak positif atau negatif terhadap peningkatan kerja sama ASEAN sendiri. Namun menurut hemat penulis, intensnya hubungan negara-negara ASEAN terhadap negara- negara di luar ASEAN bisa menjadi ancaman bagi kerja sama ASEAN sendiri. Dengan kata lain open regionalism dapat menjadi angin segar bagi ASEAN namun sebenarnya juga dapat menjadi ancaman bagi keberadaan ASEAN. Proses perkembangan regionalisme di wilayah Asia Timur sendiri27 selanjutnya bisa ditilik dari tahun 1980-an, dimana saat itu Mahatir Muhammad memunculkan konsep East Asia Economic Caucust. Akan tetapi berbagai pemaknaan terhadap Asia Timur tersebut belum dapat menciptakan regionalisme Asia Timur. Hal ini dikarenakan belum ada lembaga konkret untuk menginstitusionalisasikan Asia Timur. Baru pada tahun 1997, saat ada krisis finansial yang melanda Asia Timur mulai dari Korea Selatan hingga Indonesia, muncul pemikiran dan kesadaran untuk memperkuat kerjasama regional. Tidak adanya lembaga internasional yang membantu menyelesaikan krisis tersebut, kecuali IMF melatarbelakangi kesadaran tersebut. Sejak itu, kerjasama regional Asia Timur pun berusaha diimplementasikan, yaitu lewat munculnya kerjasama ASEAN +3 pada November 1997, yang merupakan kerjasama negara anggota ASEAN ditambah dengan Jepang, Cina, dan Republik Korea (Korea Selatan). Pertemuan ASEAN +3 ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang membuka jalan bagi proses kerjasama regional Asia Timur selanjutnya, yang mana didasarkan pada kepentingan regional dan suatu identitas regional yang baru, yaitu Asia Timur. Lebih lanjut, kerja sama wilayah Asia Timur juga ditandai dengan kemunculan ASEAN Regional Forum dimana anggotanya adalah negara- negara ASEAN plus Mongolia, Canada, China, Papua Nugini, AS, Rusia, Jepang, Korea, Australia, dan Uni Eropa, kerjasama eksternal ASEAN semakin menjamur. Namun ARF cenderung membahas permasalahan seputar politik dan strategi militer dalam menghadapi kondisi dunia pasca Perang Dingin. Beberapa tahun sebelumnya, Malaysia menginisiasi terciptanya East Asian Economic Caucus (EAEC) yang bertujuan untuk mempersatukan negara- negara Asia Tenggara 27 Istilah Asia Timur di sini mencakup pada wilayah Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, dan Cina) dan juga wilayah Asia Tenggara. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 19 dengan negara- negara Asia Timur dalam hal kerjasama perekonomian. Alasan dari inisiatif EAEC merupakan sebagai langkah strategis dalam berhadapan dengan Uni Eropa dan NAFTA yang telah menjadi pasar tunggal yang besar di dunia serta sebagai skema umum bagi kerjasama negara-negara Asia Tenggara dengan negara- negara Asia Timur yang semakin lama semakin meningkat. Namun karena intervensi AS yang merasa terganggu dengan adanya skema kerja sama ini, maka EAEC belum mampu menjadi skema kerja sama di Asia Timur.28 Low melihat ASEAN merupakan sebuah skema kerja sama yang fleksibel dalam praksis kerjanya. Ia tidak melihat ideologi sebagai sesuatu yang berarti. Hal inilah yang membuat ASEAN menjadi contoh sukses skema kerja sama regional. Namun, menurut hemat penulis, fleksibilitas ASEAN ini membuat ASEAN tidak memiliki perasaan unik yang membuatnya kokoh menjadi satu regionalisme sebagaimana yang ada pada Uni Eropa ataupun NAFTA. ASEAN sebagai sebuah aktor menjadi bagian dari Asia Pacific Economic Co-operation (APEC), AsiaEurope Meeting (ASEM), dan Forum for East Asia-Latin America Co-operation (FEALAC). Menurut Low, keikutsertaan ASEAN dalam forum- forum ini menunjukkan bahwa ASEAN berusaha untuk terus membuka hubungan ekonomi terhadap negara-negara di luar region Asia Tenggara sendiri. Upaya-upaya ASEAN untuk membuka dialog ekonomi dengan wilayah-wilayah lain juga merupakan sebuah reaksi dari kegagalan liberalisasi perdagangan multilateral yang dalam hal ini diwakili oleh kebuntuan rezim WTO. L o w m e l i h a t open regionalism ASEAN yang ditandai dengan memperbesar wilayah cakupan kerjasama negara ASEAN sebagai suatu hal yang positif. Namun penulis melihat, open regionalism merupakan sebuah ancaman bagi ASEAN. Pada saat ASEAN Free Trade Area belum juga terlaksana pada tahun 2002, kerja sama ekonomi negara ASEAN dengan negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea dalam skema kerja sama ASEAN Plus Three semakin menjanjikan. Jika ASEAN Plus Three berlanjut pada pembahasan liberalisasi perdagangan, maka dapat dipastikan ASEAN Free Trade Area akan semakin termarjinalkan. Angka statistik pun menunjukkan bahwa negara- negara 28 Hadi Soesastro (ed), One Southeast Asia: in a New Regional and International Setting, (Jakarta: CSIS), hlm. 46. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 20 ASEAN jauh lebih untung jika bekerja sama dalam skema ASEAN Plus Three dibandingkan ASEAN sendiri. Menurut Michalel Leifer, akan menjadi semakin susah bagi ASEAN untuk bersikeras menjadi identitas yang unik sebagaimana uniknya Uni Eropa terutama pasca Perang Dingin.29 Dilema yang menghampiri ASEAN adalah apakah proses widening atau proses deepeining yang harus dilakukan oleh ASEAN. Open regionalism bagi ASEAN berarti persoalan untuk memperbesar cakupan kerjasama ASEAN itu sendiri. ARF adalah contoh dari memperbesar cakupan kerja sama. Namun seperti yang dikatakan Micheal Leifer, proses menciptakan widening juga harus diikuti dengan deepening. 30 Menurut penulis, proses deepening ini pun harus menjadi fokus utama ASEAN. Jika Low sudah menyebutkan berbagai macam usaha untuk menciptakan kerja sama yang semakin erat antar sesama negara ASEAN, namun faktanya, usaha-usaha tersebut belum dirasakan oleh masyarakat secara umum. Bagi beberapa aktor tertentu seperti private sector, usaha-usaha tersebut sangat terasa dampaknya, namun bagi masyarakat luas, tentu usaha-usaha tersebut masih jauh dari harapan. Penulis khawatir tatkala ASEAN mencoba melirik keluar, maka fokus terhadap kerja sama internal menjadi kurang diperhatikan. Contoh konkretnya adalah AFTA yang semakin tidak jelas nasibnya tatkala ASEAN Plus Three lebih menjanjikan. Belum lagi kemunculan Bilateral Free Trade Agreements seperti yang ditawarkan Jepang melalui skema Comprehensive Economic Partnership, China, maupun Amerika Serikat. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa ASEAN sebagai driving factor dari open regionalism di Asia Timur. ASEAN adalah penggagas utama dalam mempromosikan integrasi dan kerjasama regional di Asia Timur. Namun ASEAN sebagai driving factor ini bukanlah by design, tapi by default sebagai akibat sulitnya tercipta regionalisme di wilayah Asia Timur Laut (Jepang, Korea Selatan, dan Cina). Hal yang menarik kemudian adalah ASEAN sendiri sebenarnya belum siap untuk mempunyai identitas tunggal Asia Timur. Hal ini dikarenakan dalam internal ASEAN sendiri belum menjadi suatu entitas regional 29 Michael Leifer, “International Dynamics of One Southeast Asia: Political and Security Context”, dalam Ibid., hlm. 194. 30 Ibid., hlm. 196. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 21 yang satu di Asia Tenggara. Lebih lanjut, ASEAN khawatir bahwa jika tercipta suatu kerjasama regional Asia Timur yang lebih mendalam lagi akan menyebabkan ASEAN “dimakan” oleh tiga negara tersebut. Hal ini dikarenakan dari sisi kekuatan ekonomi, negara-negara ASEAN sudah jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Timur Laut tersebut. Berdasarkan paparan diatas, kemudian terlihat apabila ASEAN mengutamakan proses widening terlebih dahulu dengan menggunakan kerangka open regionalism tanpa adanya kesiapan identitas ASEAN yang kuat, maka ASEAN bisa saja akan “termakan” oleh Negara-negara besar di kawasan Asia Timur. Dari bahasan ini kemudian juga dapat dilihat bahwa peran kepemimpinan yang diambil oleh suatu aktor dalam mendorong regionalisme haruslah peran kepemimpinan yang mempunyai visi besar dan jelas, bukan peran kepemimpinan by default sebagaimana yang terjadi pada kasus open regionalism Asia Timur. Oleh sebab itu, dalam menciptakan entitas regional yang kuat, ASEAN perlu terlebih dahulu menciptakan identitas bersama di kawasan Asia Tenggara dengan memperhatikan dimesi ekonomi, politik, dan sosial budaya. Sebagai penutup, berkaca dari paparan diatas, penulis melihat bahwa kelemahan ASEAN s a a t i n i terletak pada tidak adanya strong political commitment untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan dimana integrasi ekonomi, politik, dan sosial begitu kuatnya sehingga ikatan antarnegara pun menjadi kuat. Benar bahwa ASEAN kini memiliki visi untuk membentuk ASEAN Community pada tahun 2015. Namun, visi ASEAN Community 2015 saja tidak cukup. Dua hal yang penting hilang dari proses integrasi ASEAN dalam konteks hubungannya antarnegara ASEAN yakni leadership dan clear vision. Oleh sebab itu, Indonesia pun perlu memainkan peran kepemimpinannya dalam rangka mendorong integrasi regional ASEAN yang lebih kuat lagi. 1.4 Kerangka Teori “….Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi tanpa konsep adalah buta…” Immanuel Kant Penelitian ini berupaya mengelaborasi lebih jauh mengenai peran Indonesia pada masa pemerintahan SBY dalam mendorong terciptanya visi Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 22 ASEAN Community 2015, dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism Hettne yang berpijak pada perspektif konstruktivisme. Sehingga dengan demikian akan terlihat apakah peran yang selama ini dijalankan pemerintah Indonesia telah berada dalam track yang benar, dalam membawa Indonesia sebagai “pemain kunci” diantara negara-negara ASEAN, yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia di dalam usahanya memberikan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Namun, sebelum memahami bagaimana peran yang dijalankan Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN, haruslah dimengerti terlebih dahulu mengenai konsep regionalisme. Secara umum, regionalisme menurut R. Stubbs dan G. Underhill mempunyai tiga elemen utama, yaitu (1) adanya pengalaman kesejarahan masalah- masalah bersama yang dihadapi sekelompok negara dalam sebuah lingkungan geografis, (2) adanya sebuah keterkaitan yang sangat ereat di antara negara-negara tersebut, atau dengan kata lain ada sebuah batasan kawasan dalam interaksi di antara mereka, dan (3) terdapatnya kebutuhan bagi mereka untuk menciptakan organisasi yang dapat membentuk kerangka legal dan institusional untuk mengatur interaksi di antara mereka dan menyediakan ‘aturan main’ dalam kawasan.31 Dasar dari adanya konsepsi regionalisme sebenarnya berpijak dari pendekatan fungsionalis yang diungkapkan oleh David Mitrany.32 Visi Mitrany adalah membentuk sebuah dunia dimana pengaturan fungsi- fungsi dari kehidupan sosial sehari- hari seperti transportasi, kesehatan, komunikasi, agrikultur, pembangunan industri, dan lainnya tidak lagi terlalu dibebankan kepada tiap-tiap negara berdaulat, tetapi juga telah ditanggulangi oleh badan-badan yang bersifat regional, benua, dan universal. Oleh sebab itu, kemudian Mitrany menjelaskan bahwa dalam organisasi internasional yang berskala global haruslah mempunyai badan-badan yang menanggulangi masalah- masalah khusus, sehingga badan tersebut akan bersifat fungsional. Dengan terbentuknya badan-badan yang fungsional tersebut, maka akan terbentuk suatu kerjasama yang selanjutnya dapat menyelesaikan masalah31 Banyu Perwita dan Mochamad Yani, Op.Cit., hlm. 107-108. Untuk lebih jelas mengenai pandangan fungsionalis ini. Lihat, Clive Archer, International Organization 2nd edition, (London: Routledge, 2000), hlm. 88-94. 32 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 23 masalah yang dihadapi oleh setiap badan fungsional tersebut. Pendekatan fungsional ini lebih lanjut tidak hanya fokus pada organisasi internasional antarpemerintah (IGO) saja, tetapi juga kepada jaringan agen-agen terspesialisasi, dimana sebagian besar bisa berbentuk Non-Governmental Organizations (NGOs). Akan tetapi kemudian muncul kritikan terhadap pandangan fungsionalis ini, yakni mengenai asumsinya bahwa integrasi adalah sebuah proses yang gradual dan linear berdasarkan kemampuan setiap orang atau pemerintah untuk mengambil keputusan yang rasional. Lebih lanjut, kesalahan yang sering mengiringi teoretisi regionalisme ortodox adalah bahwa pemahaman yang terlalu berdasarkan pendekatan state centric. Untuk menghindari kesalahan yang sering mengiringi teoretisi regionalisme lama, kemudian teoretisi hubungan internasional kemudian memunculkan konsepsi New Regionalism atau open regionalism, yang sering m e n g a c u p a d a pemahaman regionalisme yang lebih menekankan pada governance; fokusnya pada pembentukkan entitas regional, bukan hanya pada penguatan kerja sama antarnegara; memaknai boundaries secara terbuka dan , fuzzy,elastis; fokusnya pada kolaborasi kesepakatan secara sukarela dan sejajar; dan juga penekanannya pada penguasaan power dengan cara melakukan empowerment pada masyarakat.33 Mengacu pada hal tersebut, pembahasan mengenai peran Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN akan berpijak pada konseptualisasi New Regionalism. Lebih lanjut, untuk memfokuskan analisa, maka penulis akan berupaya menggunakan kerangka regionalisme yang lebih komprehensif, sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Bjorn Hettne, “Towards a More Comprehensive Conseptualisation of Regions: The New Regionalism Revisited”34 , sebuah konsepsi yang disebut New Regionalism. Pendekatan New Regionalism Bjorn Hettne mengeksplor kerjasama dan integrasi cross border berdasarkan pemahaman komparatif, historis, dan multilevel perspective. Selain itu juga aspekaspek sosio-kultural juga diperhitungkan dalam rangka menciptakan suatu 33 Allan Wallis, “The New Regionalism”, diakses dari http://www.munimall.net/eos/2002/wallis_regionalism.nclk, pada tanggal 14 Juni 2009, pukul 19.00 WIB. 34 Bjorn Hettne, Towards a More Comprehensive Conseptualisation of Regions: The New Regionalism Revisited, hlm. 2-32 Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 24 kerjasama yang utuh dan kuat. Regionalisasi kemudian dilihat tidak hanya sebagai suatu proses kerjasama ekonomi semata tetapi melingkupi juga isu- isu seperti kebijakan sosial dan isu-isu keamanan. Secara umum fondasi teoretis dari kerangka New Regionalism adalah pemahaman sosial konstruktivis, multi-level approaches, dan studi pendekatan global seperti globalisasi dan international order. Sebelum dapat memahami kerangka New Regionalism, penulis terlebih dahulu harus mengetahui apa itu pendekatan sosial konstruktivis, pendekatan multi- level, dan studi pendekatan global. Konstruktivisme adalah sebuah pandangan yang melihat bahwa dunia sosial merupakan suatu hasil konstruksi manusia- manusia yang ada di dalamnya. Dan begitupun dengan manusia yang ada didalamnya, terbentuk dari hubungan sosial yang terjalin diantara mereka. Jadi dengan kata lain, manusia membentuk masyarakat dan masyarakat pun membentuk manusia, sebuah proses yang kontinu dan dua arah.35 Konstruktivisme juga merupakan suatu konsepsi intersubjektif terhadap proses dimana identitas dan interest (kepentingan) adalah endogenous terhadap interaksi, dengan begitu pandangan ini berusaha mendebat pandangan rasionalisme yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang given dan exogenous.36 Dengan demikian, dunia sosial diartikan bukan sebagai sesuatu yang given, melainkan juga termasuk ke dalam wilayah intersubjektif. Intersubjektif sendiri diartikan sebagai bagaimana mereka membangun dalam konteks situasi mereka, dan implikasi terhadap sikap agen dan pembangunan institusi dalam politik internasional.37 Dari penjelasan diatas kemudian dapat disimpulkan bahwa pandangan konstruktivisme melihat aktor sangat sosial yang identitasnya dibentuk oleh norma, nilai, dan ide yang terinstitusionalisasi oleh lingkungan sosial mereka. Konstruktivis juga berpandangan bahwa kepentingan aktor ditentukan secara endogenous oleh interaksi sosial. Lebih lanjut lagi, perspektif ini melihat 35 Nicholas Onuf, “Constructivism: A User Manual”, dalam Vendulka Kubakolva, et.al., International Relations in a Constructed World, (London: M. E. Sharpe, 1998), hlm. 59. 36 Alexander Wendt, “Anarchy is What States Make of It: the Social Construction of Power Politics”, dalam Freidich Kratochwil dan Edward Mansfield, International Organization: A Reader, (US: Harper Collins College Publishers, 1994). 37 Audie Klotz dan Cecelia Lynch, Conflicted Constructivism: Positivist Leaning vs Interpretivist Meanings, 1998, hlm. 1-26. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 25 masyarakat sebagai ranah konstitutif yang memunculkan aktor-aktor sebagai agen sosial dan politik. Proposisi ontologis konstruktivis, yakni hadirnya norma yang lantas membentuk identitas aktor yang selanjutnya menciptakan kepentingan dari aktor-aktor adalah sentral dari pemahaman akan New Regionalism. Singkatnya konstruktivis menekankan pentingnya faktor-faktor intersubjektif seperti identitas, norma, ide, dan hal- hal sosio-kultural lainnya dalam pembentukkan proses regionalisasi. Berkenaan dengan multi-level approaches, pendekatan ini dapat dilihat sebagai sebuah jaringan yang secara horizontal dan vertikal menghubungkan antara lokal, regional, dan sentral pemerintahan. Pendekatan ini juga menegaskan konsep jaringan sebagai suatu hubungan yang stabil dengan tidak adanya hierarki dan saling interdependensi. Lewat pemahaman akan multi-level approaches, regionalisasi dapat dilihat sebagai proses multi-faceted multi-actor dimana agenagen dalam ranah ekonomi, sosial dan politik saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam level lokal, regional, dan internasional. Sementara itu, regionalisme dipandang secara pendekatan studi global, dapat dilihat lewat dua konsep yakni international order dan globalisasi. International order atau tatanan internasional maksudnya adalah sekumpulan norma, perjanjian, rejim, dan institusi dalam skala internasional yang mengatur hubungan antaraktor dan kerap juga mempengaruhi perumusan kebijakan suatu negara. Perlu ditekankan lebih lagi bahwa tatanan internasional ini tidaklah statis saja dikuasai suatu negara atau pola, tetapi ini merupakan sebuah proses historis dan dinamis yang selalu dibentuk dan bertransformasi secara konstan. Poin berikutnya untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai regionalisme adalah pemahaman yang kuat akan globalisasi. Globalisasi merupakan sebuah contested consept, oleh karenanya, proses regionalisasi dan integrasi yang ada dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk “menegosiasikan” globalisasi agar tidak menenggelamkan konsep nation states. Setelah menjabarkan fondasi das a r d a r i kerangka new regionalism tersebut, untuk memudahkan, maka ilustrasinya adalah: Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 26 Tabel 1.1 Ilustrasi Fondasi Dasar New Regionalism Teori Hubungan Internasional Perspektif sosial- Dimensi / Aktor Global approaches Pendekatan multilevel konstruktivis KONSEP NEW REGIONALISM Lebih lanjut, setelah memaparkan mengenai fondasi normatif dari kerangka new regionalism, Hettne memaparkan bahwa sebuah region dapat diidentifikasi dengan adanya data mengenai interaksi yang mutual, kesamaan atribut dari aktor-aktor, dan adanya shared values and experinces.38 Setelah dapat mengidentifikasi sebuah region kemudian dapat dikategorikan kembali tingkatan dari region yang terbentuk. Hettne memaparkan ada lima degrees dari regioness, yakni:39 (1) region adalah sebuah unit geografis, (2) region adalah sebuah sistem sosial, (3) regions dapat dikarakteristikan ke dalam kerjasama ekonomi, politik, sosial, atau bidang keamanan, (4) region sebagai civil society dapat mempromosikan komunikasi sosial dan nilai ke seluruh region, dan (5) regions dapat muncul sebagai aktor internasional dengan segala kewenangan yang diberikan terhadapnya. Secara umum, pemahaman regionalisme yang diungkapkan Hettne ini telah membuka paradigma baru dalam melihat regionalisme yang sebelumnya hanya didominasi pandangan state-centric dan teori fungsionalisnya. 38 39 Hettne, Op.Cit., hlm. 28. Ibid., hlm. 28-29. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 27 Tabel 1.2 Operasionalisasi New Regionalism No. Dimensi 1. Variabel Perspektif Sosial The notion of identity Indikator Terbentuknya/hadirnya beberapa 40 Konstruktivis pengikat identitas, seperti: elemen common culture, common ethnic background, shared linguistic similarities, common experiences, common heritage, shared norms, principles and values. Dalam Penelitian ini akan dilihat bagaimana Indonesia: · Melakukan penjunjungan terhadap s h a r e d v a l u e s (nilai bersama ASEAN), yakni nilai demokrasi dan penegakkan HAM · Menggalakkan kegiatan sosial-budaya untuk meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap ASEAN. Sosialisasi norms and Norms and rules dapat disebutkan sebagai rules sebuah ekspektasi kolektif untuk menciptakan proper behaviour dalam situasi/kondisi tertentu.41 Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana mengangkat peran Piagam Indonesia ASEAN dalam yang diharapkan akan menjadi norms and rules di kawasan. 40 41 Ibid., hlm. 11. Ibid., hlm. 12. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 28 2. Pendekatan Multilevel Keterkaitan dan networks Multilevel governance/ actors merupakan faktor yang menentukan dalam transnasional dinamika proses regionalisasi. Indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini kemudian adalah bagaimana Indonesia: · mendorong keterlibatan aktor non-negara (kalangan NGOs, Pebisnis, dan kalangan epistemik) dalam ASEAN policy making procedur · Menjalin hubungan G to G dengan negara anggota ASEAN lainnya dalam mendorong terbuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil di ASEAN Multilevel dimensions Indikator yang digunakan adalah bagaimana Indonesia memainkan peran di ketiga pilar ASEAN Community menunjukkan perhatian yang sudah pada berbagai dimensi isu di kawasan Asia Tenggara. 3. Global International order Approaches Indikator yang kemudian akan dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana Indonesia menunjukkan peran kepemimpinannya di forum- forum ASEAN dan di luar forum ASEAN untuk menekankan pentingnya mempunyai sebuah entitas regional Asia Tenggara yang kuat, sehingga akan tercipta sebuah pemahaman intersubjektif mengenai perlunya memperkokoh proses regionalisasi ASEAN. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 29 1.5 Hipotesa Adapun hipotesa penelitian ini adalah: ”Peran Pemerintah Indonesia tidak maksimal dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN”. Sehingga dengan demikian, seharusnya Indonesia memahami variabel- variabel penguat regionalisme sebagaimana yang diungkapkan Hettne dalam konsepsi New Regionalismnya, dan kemudian menjalankan perannya dalam tiap-tiap variabel tersebut. Hipotesis operasional: · H 0 = Peran Pemerintah Indonesia sudah maksimal dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN · H 1 = Peran Pemerintah Indonesia tidak maksimal dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN. 1.6 Asumsi Asumsi dalam penelitian ini adalah : · Konsepsi ASEAN Community dengan tiga pilarnya, yaitu ASEAN Security Community ASEAN Economic Community, dan ASEAN SocioCultural Community telah menampakkan konsepsi New Regionalism yang multidimensi. Akan tetapi, konsep tersebut harus dapat diinternalisasi ke dalam masyarakat negara-negara di ASEAN untuk dapat menciptakan entitas regional yang kuat. · Peran Indonesia dalam diplomasi dan tata regional Asia Tenggara akan lebih besar daripada negara-negara ASEAN lain, dilihat dari faktor historis Indonesia serta konteks Indonesia sebagai negara besar di kawasan ASEAN. Sehingga peran yang maksimal di ASEAN akan mendatangkan stabilitas domestik dan benefits bagi Indonesia dalam memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia untuk mempunyai arahan Politik Luar Negeri Indonesia di wilayah ASEAN. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 30 1.7 Logic of Thinking Logic of thinking dalam penelitian secara sederhana digambarkan melalui skema di bawah ini: Gambar 1.1 Logic of Thinking Penelitian Pemimpin negara- negara Intersubjectivity ASEAN mencanangkan Discourse Peran yang dijalankan Tanpa Konsep Indonesia dalam new regionalism Regionalisme gagal mendorong visi ASEAN Community terbangun regionalisme ASEAN 2015 Konsep new Identitas bersama ASEAN Peran dijalankan dalam community building lewat berbagai dimensi isu dan aktor regionalism Bjorn Hettne 1.8 Model Analisa Dalam penelitian ini, peran Indonesia dalam mendorong terciptanya ASEAN Community 2015, berdasarkan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne akan menjadi variabel independen. Sementara terbentuknya regionalisme ASEAN yang komprehensif dan kuat akan menjadi variabel dependen, dengan mengacu pada efektivitas peran yang dijalankan Indonesia di ASEAN. Penelitian ini akan mencoba menganalisa sejauh mana peran yang dijalankan Indonesia dalam memunculkan identitas bersama ASEAN yang akan membangun konsepsi regionalisme yang komprehensif di wilayah Asia Tenggara. Model analisa secara sederhana digambarkan melalui skema di bawah ini: Gambar 1.2 Model Analisa Penelitian Peran Indonesia dalam mendorongEfektivitas Peran terciptanya ASEAN Community 2015, berdasarkan kerangka New Regionalisme ASEAN yang komprehensif dan kuat muncul Regionalism Bjorn Hettne Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 31 1.9 Metode Penelitian Pada dasarnya sebuah penelitian harus memenuhi beberapa syarat42 . Pertama penelitian harus mengikuti metode yang ketat, rigorous, berpegang teguh pada aturan tertentu untuk mencapai hasil yang objektif. Kedua, meminimalisir kesalahan yang dapat terjadi dalam pengumpulan data dan penafsirannya. Ketiga, harus dipublikasikan untuk membuka kritik untuk ditolak atau dibantah. Dalam penelitian, diperlukan sebuah alat yang disebut metode penelitian untuk dapat membuat penelitian tersebut menjadi sebuah prosedur yang sistematis. Metode penelitian sendiri ada yang disebut metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Lebih lanjut, peneliti harus mengerti kedua metode yang berbeda dengan baik dan benar agar dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya kesalahan yang menyebabkan hilangnya validitas hasil penelitian.43 Untuk tujuan tersebut, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Tujuannya adalah untuk melihat peran-peran yang dijalankan Indonesia dalam mendorong terciptanya visi ASEAN Community 2015 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan metode penelitian kuantitatif, peneliti akan berusaha untuk membuktikan teori yang telah dirumuskan sebelumya, yaitu new regionalism yang diungkapkan Bjorn Hettne. Pemilihan metode kuantitatif didasarkan pada pemikiran bahwa penelitian ini membutuhkan suatu kerangka yang membatasi sekaligus mengarahkan penelitian untuk membuktikan hipotesa penelitian. Metode ini akan membantu dalam penjelasan kausalitas (hubungan sebab-akibat) antara dua atau lebih variabel. Adapun model metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian deskriptif-analitis. Model deskriptif-analitis adalah suatu model dalam meneliti kasus sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.44 Dengan kata lain model deskriptif-analitis merupakan model pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, yang mempelajari masalah- masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk 42 Prof. Dr. S. Nasution, M.A., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Penerbit Tarsito, 1996), hlm. 3. 43 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm. 272-273. 44 Moh. Nazir, Ph. D., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 63. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 32 tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap serta pandangan-pandangan.45 Secara harfiah model deskriptif-analitis adalah model penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian sehingga model ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.46 Untuk melengkapi penelitan, data yang digunakan adalah data kuantitatif serta kualitatif. Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan lainnya. Penyajian tersebut dimaksudkan untuk memperkuat penjelasan mengenai fakta yang ada. Data kualitatif seperti pendapat dari sudut pandang ahli tertentu, akan digunakan untuk mempertajam analisa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer, yakni data-data kualitatif yang diperoleh dari sumber langsung seperti dokumendokumen penting mengenai peran Indonesia di level ASEAN yang dibuat oleh peemerintah Indonesia dan data-data mengenai laporan- laporan hasil pertemuan Indonesia di forum- forum internasional dalam mengupayakan terciptanya visi ASEAN Community 2015. Sementara itu, data sekunder dapat berupa existing statistic, atau terbitan bebas dan literatur. Sumber data diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal, artikel, surat kabar, terbitan bebas, situs dan homepage internet, serta dari sumber tertulis lainnya. Lebih lanjut, teknik pengumpulan data dengan wawancara, baik dengan pejabat pemerintah maupun kalangan nonpemerintah pun akan dilakukan guna mengetahui sejauh mana peran yang dijalankan Indonesia untuk mewujudkan visi ASEAN Community 2015. Adapun pihak-pihak yang ingin penulis wawancarai adalah sebagai berikut: a. Bapak George Lantu dari Direktorat Kerjasama ASEAN, Deplu RI Dalam rangka melihat peran Indonesia di ASEAN, tentunya tidak bisa melepaskan dari peran yang dilakukan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (Deplu RI). Hal ini dikarenakan peran Deplu RI sebagai focal point pemerintah Indonesia di ASEAN. Oleh karena itu, Deplu RI penting adanya untuk menjadi sumber informasi mengenai peran pemerintah Indonesia di ASEAN. Dan, Bapak George Lantu, sebagai deputi direktur Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu RI kemudian juga menjadi signifikan perannya dalam menyediakan data bagi 45 46 Ibid,. hlm. 54. Ibid,. hlm. 64. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 33 penelitian penulis karena kedudukan dan pengalamannya dalam forum- forum ASEAN. b. Bapak Rafendi Djamin dan Bapak Alexander Chandra, selaku Aktor Civil Society Indonesia di ASEAN Dalam penelitian penulis yang menggunakan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne, peran aktor civil society penting adanya dalam membangun regionalisme secara komprehensif. Sebagai aktor masyarakat sipil Indonesia di ASEAN (Bapak Rafendi Djamin melalui ASEAN People Center-nya dan Bapak Alexander Chandra melalui ASEAN-Oxfamnya), Bapak Rafendi Djamin dan Bapak Alexander Chandra telah banyak memberikan masukan- masukan yang konstruktif bagi posisi yang diambil oleh Indonesia di ASEAN. Informasi yang diharapkan didapatkan dari kedua aktor masyarakat sipil ini adalah informasi mengenai sejauh apa mekanisme yang tercipta dalam pemerintah Indonesia untuk melibatkan aktor-aktor dari masyarakat sipil dalam perumusan posisi Indonesia di ASEAN, dan juga dalam mengangkat identitas ASEAN di level masyarakat. c. Bapak C.P.F. Luhulima dan Ibu Dewi Fortuna Anwar, selaku Peneliti Senior LIPI Sebagai peneliti senior LIPI yang kerap menjadi think-thank Pemerintah Indonesia, penulis mengharapkan akan mendapatkan informasi mengenai konteks historis perkembangan ASEAN. Selain itu juga informasi yang ingin didapat adalah konteks hubungan Indonesia dengan kalangan think-thank dan kalangan epistemik dalam kerangka ASEAN. Sejauh mana ruang-ruang pemikiran teoretis juga diterapkan dalam peran yang dijalankan pemerintah Indonesia dalam membangun regionalisme ASEAN. e. Bapak Rizal Sukma, selaku Direktur Eksekutif CSIS dan Penggagas Komunitas Politik-Keamanan ASEAN Pandangan Bapak Rizal Sukma mengenai peran Indonesia di ASEAN kemudian juga menjadi penting untuk menjadi acuan dalam penelitian penulis. Hal ini disebabkan Bapak Rizal Sukma adalah salah satu aktor yang menggagas Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 34 terbentuknya pilar Politik-Keamanan ASEAN. Selain itu, Bapak Rizal Sukma juga aktif menyuarakan pandangannya mengenai pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia, khususnya dalam arena ASEAN. Oleh sebab itu, pandangan Bapak Rizal Sukma diperlukan sebagai bahan informasi mengenai evaluasi peran Indonesia di ASEAN dalam kacamata seorang akademisi. 1.10.Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1.10.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efektivitas peran yang dijalankan Indonesia, khususnya pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN. Peran yang dijalankan oleh Indonesia sendiri di ASEAN selama ini dianggap tidak mempunyai arah yang jelas. Oleh sebab itu, dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism yang menjabarkan beberapa fondasi dalam menciptakan regionalisme yang kuat diharapkan dapat memberikan arah bagi pemerintah Indonesia dalam memaksimalkan perannya di ASEAN. Dalam proses akhirnya, peneliti ingin melih a t a p a k a h peran yang dijalankan Indonesia selama ini dalam mendorong regionalisme ASEAN sudah maksimal atau belum. Untuk melihat efektivitas perannya kemudian akan digunakan konsepsi regionalisme yang lebih komprehensif, yakni new regionalism. New Regionalism ini sendiri terwujud dalam tiga fondasi teoretis, yakni perspektif sosial konstruktivis, pendekatan global, dan multilevel perspektif. Selama penelitian akan dianalisa peran Indonesia dalam ketiga fondasi tersebut dengan menggunakan indikator- indikator yang mengkatalis terbentuknya regionalisme ASEAN. 1.10.2. Signifikansi Penelitian Untuk tataran akademis, penelitian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan signifikansi pembentukkan regionalisme melalui kerangka berpikir New Regionalism. Konsepsi regionalisme yang selama ini didominasi oleh pendekatan state centric dan kerja sama fungsional kemudian berupaya didobrak dengan menghadirkan konsepsi regionalisme yang lebih komprehensif. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 35 Analisa pembentukkan regionalisme ASEAN dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism Bjorn Hettne akan memberikan sumbangan pada dunia akademis bahwa pembentukkan regionalisme yang kuat juga bekerja melalui interaksi sosial yang konstitutif dengan menciptakan pemahaman identitas bersama. Sehingga titik tolaknya pun tidak hanya dalam mengembangkan kerja sama fungsional di bidang ekonomi, politik, dan keamanan semata, tetapi juga pengembangan kerja sama di bidang sosial budaya dalam menciptakan ‘we feeling’ di level grassroot. Untuk tataran praktis, peneliti berharap penelitian ini akan memberikan sumbangan bagi pemerintah Indonesia dalam memainkan perannya di ASEAN. Sehingga Indonesia akan dapat dianggap sebagai “pemain kunci” di ASEAN yang lebih lanjut akan memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia dengan peran kepemimpinan Indonesia di level regional. Lebih lanjut, penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan bagi arahan dan platform Politik Luar Negeri Indonesia, khususnya di wilayah ASEAN ke depannya. 1.11 Sistematika Penulisan Peneliti membagi penulisannya dalam lima bab yang akan membahas halhal sebagai berikut: B a b I : Merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Pada bagian pertama akan diberikan penggambaran secara jelas mengenai ASEAN Community, latar belakang perumusannya dan pentingnya mempunyai suatu entitas regional Asia Tenggara yang kuat. Selain itu dalam Bab ini pun terdapat pemaparan mengenai blueprint dari tiga pilar yang membentuk ASEAN Community, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Sosio-Cultural Community. Bab III: Bagian ini akan berisi analisa peran yang dijalankan Indonesia pada masa pemerintahan SBY dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN. Analisa yang peneliti lakukan akan berdasar kepada ketiga fondasi New Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia This watermark does not appear in the registered version - http://www.clicktoconvert.com 36 Regionalism Hettne, dengan mengacu pada indikator-indikator yang telah dijabarkan. Bab IV: Bahasan pada bab IV ini akan berupaya menganalisa peran Indonesia dalam mendorong regionalisme ASEAN dengan melihat hubungan antarvariabel New Regionalism yang telah dijabarkan pada Bab sebelumnya. Sehingga dengan demikian dapat ditarik benang merah mengenai efektivitas peran Indonesia di ASEAN secara keseluruhan, berdasarkan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne. Bab V: Terakhir, peneliti akan mencoba untuk menyimpulkan hal-hal yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Dengan sudah dilakukannya penelitian, peneliti berharap dapat juga memberikan suatu rekomendasi. Pertama, rekomendasi itu dapat berupa kebijakan atau solusi mengenai peran kepemimpinan yang dapat dijalankan dan dimaksimalkan Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN. Kedua, rekomendasi/saran mengenai pelaksanaan penelitian dimasa depan kepada pembaca yang berpikir untuk melakukan penelitian dalam topik serupa ataupun peneliti yang sudah akan memulai penelitiannya. Politik Luar Negeri, Pandu Utama Manggala, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia