PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT

advertisement
TESIS
PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT
THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA
RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR
PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
JANTAN YANG DIKASTRASI
LUH ARI ARINI
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i
TESIS
PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT
THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA
RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR
PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
JANTAN YANG DIKASTRASI
LUH ARI ARINI
NIM 1490761001
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT
THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA
RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR
PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
JANTAN YANG DIKASTRASI
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi
Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
LUH ARI ARINI
NIM 1490761001
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 18 JULI 2016
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr.dr Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS
Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro
NIP. 194612131971071001
NIP. 194612311969021001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik
Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP.195805211985031002
NIP. 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji Dan Dinilai
Oleh Panitia Penguji Pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal 18 Juli 2016
Panitian Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.:.............., Tanggal.................
Ketua
: Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro
2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And
3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
4. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: Luh Ari Arini
Nim
: 1490761001
Program Studi
: Magister Ilmu Biomedik (IKR)
Judul
: Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan
Ekspresi mRNA Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat
Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat pada karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010
dan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Denpasar, 9 Juni 2016
Yang membuat pernyataan,
(Luh Ari Arini)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung wara nugraha-Nya tesis yang
berjudul ”Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi
mRNA Reseptor Androgen pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus
norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Berkat petunjuk, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, segala
hambatan dan rintangan dalam penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik,
untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas
Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas
Udayana.
2.
Prof. Dr. dr. Putu Astawa. M.Kes, Sp.OT, FICS selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Udayana.
3.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur program
Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana
Universitas Udayana.
4.
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK., selaku Ketua
Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
vii
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa
Program Studi Ilmu Biomedik (IKR).
5.
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Pembimbing I
yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan
masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.
6.
Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro selaku Pembimbing II
yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan
masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.
7.
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang telah
banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam
penyusunan tesis ini.
8.
Prof. dr. I.G.M. Aman, Sp.FK selaku penguji yang telah banyak
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan
tesis ini.
9.
Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro selaku penguji yang telah
banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam
penyusunan tesis ini.
10.
Dr. I.G.N Sri Wiryawan, M.Repro selaku Kepala Bagian Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan untuk melakukan
penelitian di Laboratorium Histologi.
11.
dr. I.G.K Nyoman Arijana, Msi.Med., yang telah banyak membantu dalam
proses penelitian.
viii
12.
Para dosen pengajar Magister Ilmu Biomedik, teman-teman sependidikan,
para staf bagian Biomedik serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, atas bimbingan, ilmu dan bantuan yang diberikan
selama ini.
Tak lupa dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan permohonan
maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini dan penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
penulis pribadi, bagi pembaca dan seluruh pihak yang berkepentingan.
Denpasar, 15 Mei 2016
Penulis
ix
ABSTRAK
PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY
MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA
KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN
YANG DIKASTRASI
Istilah andropause merupakan keadaan penuaan pada pria yang terjadi
secara alami, diawali dengan menurunnya fungsi testis sehingga menimbulkan
penurunan hormon testosteron. Defisiensi testosteron akan menimbulkan masalah
khususnya pada pria tua seperti gangguan vasomotor, penurunan body
performance, penurunan densitas tulang, menurunnya libido, disfungsi ereksi,
disfungsi ejakulasi yang akhirnya mempengaruhi keadaan psikologis pria tersebut.
Pengaruh defisiensi testosteron pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi
kelenjar yang akhirnya dapat mempengaruhi volume cairan seminal yang penting
ketika ejakulasi. Pemberian testosterone replacement therapy merupakan cara
yang efektif digunakan untuk memulihkan keadaan defisiensi tersebut. Pemberian
preparat testosteron dapat meningkatkan struktur jaringan kelenjar prostat, yang
kerjanya dimediasi oleh reseptor androgen melalui mekanisme autoregulasi.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan pemberian
testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor
androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi.
Penelitian ini menggunakan post test only control group design terhadap 36
ekor tikus wistar jantan yang dikastrasi, dan ditunggu efeknya selama 21 hari,
tikus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok kontrol (diberikan injeksi
aquadest secara intramuskuler) dan kelompok perlakuan (diberikan injeksi
Sustanon 250 secara intramuskuler dengan dosis 4,5 mg/ 250 gr BB tikus), dengan
jadwal injeksi 1 minggu sekali selama 21 hari/ 3 minggu. Pada minggu ke-8 tikus
pada masing-masing kelompok dieuthanasia lalu diterminasi dan diambil kelenjar
prostatnya untuk dianalisis ekspresi mRNA reseptor androgen dengan
menggunakan metode realtime PCR. Oleh karena data berdistribusi normal maka
analisis statistik yang digunakan yaitu independent-t test dengan taraf kemaknaan
(α=0,05).
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata ekspresi mRNA reseptor
androgen prostat pada kelompok kontrol (0,57 + 0,17 pg/µl) dan kelompok
perlakuan (0,77 + 0,21 pg/µl). Dengan independent-t test didapatkan bahwa
terjadi peningkatan mRNA reseptor androgen secara bermakna pada kelompok
perlakuan dimana p= 0,003 (p<0,05).
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pemberian testosterone
replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada
kelenjar prostat tikus kastrasi. Saran yang dapat disampaikan yaitu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut terkait peranan DHT terhadap ekspresi reseptor
androgen pada kelenjar reproduksi.
Kata kunci: testosterone replacement therapy, mRNA reseptor androgen dan
kelenjar prostat.
x
ABSTRACT
ADMINISTRATION OF TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY
INCREASED ANDROGEN RECEPTOR EXPRESSION OF mRNA IN
PROSTATE GLAND OF MALE CASTRATED WISTAR RATS (Rattus
norvegicus)
Andropause is the aging process occurs naturally on men, it is preceeded by
deficiency of the testicular function resulting in a decrease of testosterone
hormone. This creates some problems to old men like vasomotor dysfuction,
decreases on body performance, bone density, and libido, dysfunction of erection
and ejaculation that consequently affect the psychological condition of the men.
Testosterone deficiency effects on the genital accessories like prostate gland, will
cause atrophy on the gland and affect the volume of important seminal liquid for
ejaculation. The administration of testosterone replacement therapy an effective
way to recover the deficiency. Administration the testosterone increased tissue
structure of prostate gland, that is mediated by androgen receptor through
autoregulation mechanism. This research was aimed to prove that administration
of testosterone replacement therapy increased androgen receptor expression of
mRNA in prostate gland of male castrated wistar rats.
This research used post test only control group design towards 36 castrated
male wistar rats, with 21 days awaiting effects. The rats were divided into 2
groups namely, controlled group (aquades intramuscularly injected) and treated
group (sustanon 250 intramuscularly injected with dosage of 4,5mg/ 250 gram of
rat weight), with weekly injection sehedule for 21 days/ 3 weeks. In 8th week,
euthanasia was done to the rats on each group to be dissected to get the prostate
gland. The androgen receptor expression of mRNA was analyzed by realtime PCR
method. Since the data were normally distributed, then independent t-test
statistical analysis was used, with level of significance (α = 0.05).
The result of the analysis showed that the mean of mRNA expression of
prostate androgen receptor on the controlled group was (0,57 + 0,17 pg/µl), and
(0,77 + 0,21 pg/µl) on the treated group. With the independent-t test indicates that
androgen receptor of mRNA increased significantly on the treated group with p =
0,003 (p<0.05).
The study concluded that administration of testosterone replacement therapy
increased androgen receptor expression of mRNA in prostate gland of male
castrated wistar rats. Thus, it was suggested that further research was required of
the need to be conducted in relation to the role of DHT towards androgen receptor
expression on reproductive gland.
Keywords: testosterone replacement therapy, mRNA androgen receptor and
prostate gland.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN .........................................................................................
SAMPUL DALAM ........................................................................................
PERSYARATAN GELAR...........................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...........................................................
UCAPAN TERIMA KASIH.........................................................................
ABSTRAK.....................................................................................................
ABSTRACT.....................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH .....................
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
BAB I
1.1
1.2
1.3
1.4
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xi
xii
xv
xvi
xvii
xix
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................
Rumusan Masalah ............................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian ...........................................................................
1.4.1 Manfaat akademik...................................................................
1.4.2 Manfaat praktis........................................................................
1
6
6
6
6
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hipogonad ......................................................................................
2.1.1 Definisi ....................................................................................
2.1.2 Etiologi ....................................................................................
2.1.3 Fisologi ...................................................................................
2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad ............................................
2.1.5 Syarat penggunaan testosterone replacement therapy............
2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) ..........................................
2.2.1 Karakteristik tikus ...................................................................
2.2.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia .................................
2.3 Reseptor Androgen Pada Tikus .......................................................
2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA) .............................................
2.5 Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat .......................................
2.6 Hormon Testosteron.........................................................................
2.6.1 Pada manusia..........................................................................
2.6.2 Pada mamalia..........................................................................
2.7 Pengobatan LOH Dengan Testosterone Replacement Therapy........
2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy.............................
8
8
10
11
14
15
16
16
17
23
30
32
35
35
39
41
44
xii
2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy.................... 46
2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy............................ 47
2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy................ 48
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 50
3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 52
3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 52
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ..........................................................................
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................
4.3 Penentuan Sumber Data ......................................................................
4.3.1 Populasi .....................................................................................
4.3.2 Populasi terjangkau ...................................................................
4.3.3 Teknik sampling ........................................................................
4.3.4 Besar sampel .............................................................................
4.3.5 Kriteria sampel ..........................................................................
4.3.5.1 Kriteria inklusi.....................................................................
4.3.5.2 Kriteria drop out ..................................................................
4.4 Variabel Penelitian ..............................................................................
4.4.1 Identifikasi variabel...................................................................
4.4.2 Klasifikasi variabel ....................................................................
4.4.3 Hubungan antar variabel ...........................................................
4.4.4 Definisi operasional...................................................................
4.5 Bahan dan Alat penelitian ...................................................................
4.5.1 Bahan penelitian ........................................................................
4.5.2 Alat penelitian ...........................................................................
4.6 Prosedur Penelitian ..............................................................................
4.6.1 Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji.................................
4.6.2 Pelaksanaan penelitian.............................................................
4.6.3 Metode analisis PCR................................................................
4.6.4 Alur penelitian...........................................................................
4.7 Analisis data ........................................................................................
53
54
54
54
55
55
55
56
56
56
56
56
56
57
57
58
58
59
61
61
61
63
66
67
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Deskriptif..............................................................................
5.1.1 Analisis deskriptif pada studi pendahuluan...............................
5.2 Distribusi Dan Homogenitas Data Hasil Penelitian............................
5.2.1 Uji normalitas data.....................................................................
5.2.2 Uji homogenitas data.................................................................
5.3 Uji Efek Perlakuan..............................................................................
5.3.1 Uji efek perlakuan pada studi pendahuluan...............................
68
69
70
70
71
71
73
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian................................................................................. 74
xiii
6.2 Penurunan ekspresi mRNA AR pada prostat pasca kastrasi............... 74
6.3 Peningkatan ekspresi mRNA AR pada prostat setelah pemberian
testosterone replacement therapy....................................................... 79
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan............................................................................................. 86
6.2 Saran................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
LAMPIRAN
xiv
87
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1
2.2
2.3
2.4
4.1
4.2
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG..................................
Data Biologis Tikus.................................................................................
Ekspresi Relatif mRNA AR Beberapa Organ Tikus Jantan....................
Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa....................................
Primer Androgen.....................................................................................
Langkah-Langkah Amplifikasi................................................................
Rerata Umur Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.....................................
Rerata BB Kelompok Kontrol Dan Perlakuan........................................
Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.............
Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan..............
Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan
Perlakuan..................................................................................................
5.6 Hasil Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan
Perlakuan..................................................................................................
5.7 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan
Perlakuan..................................................................................................
5.8 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan
Perlakuan..................................................................................................
xv
13
17
28
38
64
64
68
69
69
70
70
71
71
73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
3.1
4.1
4.2
4.3
5.1
Sistem Reproduksi Tikus Jantan..............................................................
Anatomi Kelenjar Prostat........................................................................
Histologi Kelenjar Prostat.......................................................................
Analisis Struktur DNA Komplemen Dari AR Pada Tikus......................
Aktivasi Dari Reseptor Hormon Steroid.................................................
Struktur Kimia Hormon Testosteron.......................................................
Bagan Konsep Penelitian..........................................................................
Rancangan Penelitian...............................................................................
Hubungan Antar Variabel.........................................................................
Alur Penelitian..........................................................................................
Perbandingan Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan
Perlakuan...................................................................................................
xvi
18
20
22
24
25
35
52
53
57
66
72
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH
A
ACTB
ACTH
ADAM
ADF
AR
AREs
BB
BPH
C
Ct
cDNA
DHEA
DHT
DNA
FAI
FSH
G
GF
GH
GnRH
GR
gr
hAR
hCG
HPG
HSP
IGF
IIEF
IUPAC
kDa
LBD
LH
LOH
µl
mg
MR
mRNA
ng/ml
PBP
PC3
pg
: Adenin
: Actin Beta
: Adenocortcotropic Hormone
: Androgen Deficiency In Aging Male
: Age Dependent Factor
: Androgen Receptor
: Androgen Respone Elements
: Berat Badan
: Benign Prostate Hyperplasia
: Citosin
: Cycle Threshold
: complementary Deoxyribonucleic Acid
: Dehydroepiandrosterone
: Dihydrotestosterone
: Deoxyribonucleic Acid
: Free Androgen Index
: Follicle Stimulating Hormone
: Guanin
: Growth Factor
: Growth Hormone
: Gonadotrophin-Releasing Hormone
: Glucocotcicoid Receptor
: Gram
: Human Androgen Receptor
: Human Chorionic Gonadotropin
: Hypothalamic-Pituitary-Gonadal
: Heat Shock Protein
: Insulin Growth Factor
: International Index Of Erection Function
: International Union Of Pure And Applied Chemistry
: kilo-Dalton
: Ligand Binding Domain
: Luteinizing Hormone
: Late Onset Hypogonadism
: Mikroliter
: miligram
: Mineralcorticoid Receptor
: messenger Ribonucleic Acid
: Nanogram per mililiter
: Prostate Binding Protein
: Prostate Cancer Line-3
: pikogram
xvii
PSA
PR
rAR
REST
ROS
SHBG
Slp
SPSS
SRCs
T
TRT
TSH
USA
5’UTR
1-step qRT-PCR
: Prostate Specific Antigen
: Progesterone Receptor
: rat Androgen Receptor
: Relative Expression Software Tool
: Reactive Oxygen Species
: Sex Hormone Binding Globulin
: Sex Limited Protein
: Statistical Package For The Social Sciences
: Steroid Receptor Coactivators
: Timin
: Testosterone Replacement Therapy
: Tyroid Stimulating Hormone
: United State Of America
:Untranslated Region’5
: quantification Realtime Poly Chain Reaction
LAMBANG :
%
/
º
=
®
: Persentase
: Per
: Derajat
: Sama dengan
: Registered
ISTILAH :
Apoptosis
Atropi
Coactivators
Down-regulates
et. al
Immature
inflamasi
Intact
In Vitro
In Vivo
Leading gene
Ligand-activated
Ligand-dependent
P53
P21
reexpression
Up-Regulates
: kematian sel yang terprogram
: penyusutan organ
: Pengaktif
: regulasi menurun
: dan kawan-kawan
: belum matang
: peradangan
: kontrol sehat
: kondisi di luar organisme yang dibuat sama dengan
lingkungan normalnya seperti pembiakan/kultur jaringan
: kondisi di dalam pada suatu organisme hidup
: sintesis untaian DNA baru saat replikasi
: ligan yang telah aktif
: ligan yang saling terikat
: protein tumor suprressor gen
: protein inhibitor ciklin dependent kinase
: diekspresikan kembali
: regulasi meningkat
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Administrasi Penelitian..................................................................
96
Lampiran 2
Dokumentasi Penelitian.................................................................
98
Lampiran 3
Hasil penelitian dengan metode realtime PCR..............................
101
Lampiran 4 Tabulasi Data Ekspresi Absolut mRNA AR..............................
104
Lampiran 5
Hasil realtime PCR studi pendahuluan..........................................
105
Lampiran 6
Karakteristik sampel penelitian.....................................................
107
Lampiran 7
Konversi Dosis...............................................................................
108
Lampiran 8
Hasil Output SPSS.........................................................................
109
Lampiran 9
Hasil Output SPSS studi pendahuluan...........................................
111
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan
biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron
di bawah parameter normal dari pria yang lebih muda dan sehat, hal ini terjadi
oleh karena penurunan fungsi testis yang bertugas memproduksi hormon
testosteron tersebut.
Pria andropause memiliki gejala-gejala dari defisiensi testosteron seperti
penurunan libido, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, penurunan massa otot,
peningkatan lemak tubuh, penurunan densitas tulang, penurunan body
performance dan hilangnya mood yang akhirnya mempengaruhi psikis serta
menimbulkan masalah pada kualitas hidup (Nieschlag et al., 2005).
Andropause secara alami biasanya terjadi pada rentang usia antara 40-60
tahun yang dilaporkan pada Massachusetts Male Aging Study (Araujo et al.,
2004). Sekitar 30% dari pria usia 60–70 tahun dan 70% dari pria usia 70–80 tahun
terjadi penurunan bioavailable atau level free testosterone (Cunningham et al.,
2004). Testosteron menurun sekitar satu persen per tahun setelah usia 30 tahun
(Borst et al., 2007). Prevalensi dari total serum testosteron antara usia 45 tahun
atau yang lebih tua sekitar 39% (Mulligan et al., 2006).
Kriteria kadar testosteron yang rendah terkait usia yaitu konsentrasi total
serum testosteron kurang dari 200 ng/dl dikatakan sebagai hipogonad, prevalensi
hipogonad meningkat seiring peningkatan usia (Borst et al., 2007). Seiring
1xx
bertambahnya usia, selain terjadi penurunan fungsi reproduksi pria yang
menyebabkan penurunan jumlah testosteron bebas dan availabilitasnya, terjadi
juga peningkatan sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga pembentukan
deoxyribonucleic acid (DNA), messenger ribonucleic acid (mRNA), protein
termasuk growth factor (GF) juga menurun (Cunningham et al., 2004).
Kejadian hipogonad pada hewan coba dapat dibuktikan dengan cara kastrasi
(pengangkatan organ testis), didapatkan bahwa kadar testosteron menurun secara
drastis seperti pada percobaan yang dilakukan oleh Justulin et al. (2006), bahwa
pada tikus jantan usia 3 bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9
ng/ml dan pada tikus yang dikastrasi (setelah 21 hari) sekitar 0,05 ng/ml. Tahun
2005 ditemukan bahwa konsentrasi testosteron pada tikus tua usia 30 bulan
(sekitar 0,8 ng/ml) lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang lebih muda yang
berusia 3 bulan (sekitar 1,8 ng/ml) (Wang et al., 2005).
Pengaruh hormon testosteron pada organ reproduksi pria selain pada testis
dan penis, juga berpengaruh pada organ-organ lainnya yaitu untuk memacu
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar aksesori genital pria baik morfologi
maupun fisiologinya, karakteristik pria, vas deferens dan skrotum (Kusdiantoro et
al., 2001). Pada literatur sebelumnya efek testosteron yang diblok dengan cara
kastrasi, setelah satu minggu signifikan menyebabkan penurunan berat vesikula
seminalis (sekitar 0,04%) dan abnormalitas histologi jaringan dibanding kontrol
(sekitar 0,2%) (Belanger et al., 2013). Hasil temuan tersebut membuktikan bahwa
keadaan defisiensi hormon testosteron akan menyebabkan gangguan pada kelenjar
aksesori organ reproduksi pria termasuk pada kelenjar prostat.
xxi
Pertumbuhan normal dan diferensiasi epitelium dari kelenjar aksesori
khususnya prostat dikontrol dan diregulasi oleh androgen dengan sinyal parakrin,
dimediasi oleh reseptor androgen dengan stroma sebagai lokasi reseptor androgen
yang berlangsung melalui suatu mekanisme autoregulasi (Gao et al., 2005). Pada
kelenjar prostat hormon testosteron akan dikonversi terlebih dahulu menjadi
dihydrotestosterone (DHT) oleh enzim 5α-reductase. Androgen khususnya DHT
berinteraksi dengan reseptor androgen (androgen receptor/AR) membentuk
kompleks androgen-AR, dan akan memacu mRNA di dalam sel-sel kelenjar
prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi proliferasi, oleh karena itu jika
ekspresi AR meningkat maka akan berpengaruh positif juga pada pertumbuhan
dari organ target (Culig, 2004), begitu pula sebaliknya.
Penelitian oleh Banerjee et al. (2001), mengatakan bahwa level ekspresi AR
menunjukan penurunan dari pertumbuhan pada lobus ventral kelenjar prostat
seiring bertambahnya usia. Ekspresi AR pada organ target juga ditemukan
menurun jika dikaitkan dengan penuaan (Prakash et al., 2003). Pengaruh
defisiensi androgen pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi pada kelenjar
karena mekanisme autoregulasi di dalam jaringan tidak terjadi (Wright et al.,
2006), pada akhirnya akan mempengaruhi volume cairan seminal terutama yang
disekresikan oleh kelenjar prostat yang penting ketika ejakulasi.
Penelitian oleh Justulin et al. (2006), menyatakan bahwa setelah 21 hari
kastrasi pada tikus menyebabkan terjadinya penghambatan proliferasi pada prostat
dan vesikula seminalis yang dilihat melalui struktur histologi, keadaan tersebut
dapat dipulihkan kembali dengan pemberian hormon testosteron. Penelitian oleh
xxii
Vargas et al. (2013), membuktikan bahwa pemberian anabolic androgen steroid
jenis nandrolone decanoat 10 mg/kg BB pada tikus tua setiap satu minggu
menyebabkan perubahan pada struktur prostat seperti berat dan volumenya.
Hasil temuan tersebut memberi kesan bahwa pengaruh testosteron pada
tingkat jaringan menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan sel pada
jaringan. Perbedaannya pada tingkat molekuler, karena didapatkan bahwa
androgen menyebabkan terjadinya down-regulates level AR mRNA pada ventral
prostat tikus, namun up-regulates level AR mRNA pada ginjal, otot polos, penis
tikus, dan lines prostate cancer (PC3). Androgen juga menimbulkan perbaikan
secara utuh dari level nuclear AR pada sel Sertoli khususnya pada tipe sel
epitelium (Zhu et al., 2000).
Pemberian androgen terkait pada ekspresi reseptor androgen masih
kontroversial, karena studi pada tahun 2001 mengatakan bahwa androgen
menyebabkan up-regulates dari AR pada prostat, hal ini disebabkan karena AR
teraktivasi oleh karena adanya ikatan bersama androgen (Takeda et al., 2001).
Peningkatan sintesis AR merupakan respon sel terhadap hormon androgen
(Sanborn et al., 2001). Penelitian selanjutnya oleh Pelletier (2002), menunjukan
bahwa pemberian estradiol kombinasi dengan DHT pada tikus setelah kastrasi
selama 3 minggu, menginduksi peningkatan prostate binding protein (PBP) secara
signifikan. Menurut Shidaifat (2009), dari hasil penelitiannya membuktikan
bahwa ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat tidak signifikan berbeda antara
hewan muda maupun tua.
xxiii
Pengaruh testosteron pada reseptor androgen berdasarkan penelitian yang
lalu masih sangat beragam, namun berdasarkan teori bahwa androgen dapat
meningkatkan AR dalam sel yang ditunjukan pada proliferasi sel. Pemberian
hormon testosteron dipastikan dapat memelihara organ reproduksi maupun fungsi
tubuh secara umum terutama pada usia tua.
Testosterone replacement therapy merupakan pengganti hormon seks pria
saat terjadi defisiensi hormon testosteron yang sesuai dengan pernyataan dari The
American Society Of Andrology (2009), juga merekomendasikan testosterone
replacement therapy untuk terapi pengganti hormon testosteron pada pria, yang
digunakan ketika terdapat tanda dan gejala klinis dari menurunnya level
testosteron, yang bertujuan untuk mengurangi keluhan yang dialami oleh pria
hipogonad (Surampudi et al., 2011).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Arini
(2016), pada 10 ekor tikus didapatkan terjadinya peningkatan ekspresi mRNA AR
antara kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon testosteron
dengan berbagai dosis (4,5mg, 2,25mg dan 1,5mg), dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang hanya dikastrasi. Pada kelompok perlakuan pertama
dengan dosis hormon terbesar memiliki ekspresi mRNA AR paling tinggi
dibandingkan dengan kelompok lain, namun secara statistik tidak signifikan.
Berdasarkan hal tersebut dan karena masih adanya kontroversi terkait
pengaruh pemberian testosteron terhadap ekspresi AR seperti pada penelitian
sebelumnya, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
xxiv
pemberian testosterone replacement therapy yang mana pengaruhnya terhadap
ekspresi mRNA AR pada prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan
ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus
norvegicus) jantan yang dikastrasi?
1.3
Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan pemberian testosterone replacement therapy dapat
meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus
wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat akademik
Dapat digunakan untuk memberikan informasi ilmiah dan menambah
wawasan tentang pengaruh pemberian testosterone replacement therapy
dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar
prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi, yang berguna untuk proliferasi
sel dan pemeliharaan organ reproduksi pria.
xxv
1.4.2 Manfaat praktis
Dapat digunakan untuk memberi informasi terkait penggunaan terapi sulih
hormon testosteron terutama pada pria andropause, namun masyarakat tetap
harus berhati-hati dalam penggunaan terapi sulih hormon ini.
xxvi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Hipogonad
2.1.1 Definisi
Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi
testosteron terkait usia atau disebut juga sebagai andropause merupakan sebuah
sindrom yang terjadi pada pria akibat turunnya produksi hormon testosteron, yang
sejalan dengan bertambahnya usia dan ditandai dengan gejala defisiensi
testosteron.
Penurunan serum testosteron terjadi oleh karena kegagalan hipotalamus
untuk mensekresikan gonadotropin releasing hormon (GnRH), dan peningkatan
sensitifitas dari hipotalamus-pituitari untuk melakukan feedback negatif efek dari
testosteron. Perubahan yang memperbesar kejadian hipogonad terjadi pada
hipotalamus dan testis. Penuaan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada
organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium,
labia, rahim, penis dan testis (Klentze, 2003).
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk
poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormon
dan akan mempengaruhi organ targetnya. Kadar serum testosteron pria muda yang
sehat berada pada kisaran (9,8 -10,4 nmol/L) (Harman et al., 2001).
Penurunan kadar serum testosteron merupakan keadaan yang berkaitan
dengan proses penuaan yang terjadi secara bertahap, sehingga mengakibatkan
8
xxvii
terjadi penurunan sekitar 1-2% per tahun (Araujo et al., 2004). Penurunan drastis
dari kadar testosteron bioavailable (hingga 50%) dan testosteron bebas biasanya
terjadi setelah usia 30 tahun (Kalra et al., 2010). Pria akan mengalami penurunan
kadar testosteron darah aktif sekitar 0,8-1,6% per tahun ketika memasuki usia
sekitar 40 tahun. Saat mencapai usia 70 tahun, pria akan mengalami penurunan
kadar testosteron darah sebanyak 35% dari kadar semula (Nieschlag et al., 2005).
Temuan dari Baltimore Longitudinal Study of Aging (2006), menunjukkan
bahwa 30% pria pada dekade kedelapan memiliki nilai total testosteron dalam
rentang hipogonadisme (6,9-10,4 nmol/L), dan 50% memiliki nilai testosteron
bebas yang rendah (0,17-0,31 nmol/L), serta diperkirakan 500.000 kasus baru
LOH terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Goldenberg, 2011).
Masa andropause dapat terjadi oleh karena kegagalan testis (hipogonadisme
primer), hipofisis dan kegagalan hipotalamus (hipogonadisme sekunder), serta
disfungsi yang berkaitan dengan usia (umumnya kombinasi hipogonadisme
primer dan sekunder). Penyebab paling umum dari hipogonadisme primer
termasuk sindrom klineferter, distrofi myotonic, anorchidism bawaan, dan radiasi
atau kemoterapi. Penyebab dari hipogonadisme sekunder meliputi sindrom
kallman dan idiopatik hipogonadisme, tumor hipofisis termasuk prolaktoma
(Bebb, 2011). Pada proses penuaan normal pria selain terjadi penurunan hormon
testosteron, juga terjadi penurunan hormon-hormon lain seperti: penurunan
dehydroephyandrosteron (DHEA/DHEAS), insulin growth factor (IGF) dan
growth hormone (GH) (Braunstein, 2011).
xxviii
Asosiasi Urologi Eropa pada tahun 2012 membagi hipogonadisme pada pria
menjadi empat kelas, yakni (Indrayanto, 2011):
1)
Hipogonadisme primer disebabkan oleh insufisiensi testis.
2)
Hipogonadisme sekunder yang disebabkan oleh disfungsi hipotalamushipofisis.
3)
Hipogonadisme onset lambat.
4)
Hipogonadisme karena insensitivitas reseptor androgen.
American Association of Clinical Endocrinologists juga membagi keadaan
hipogonadisme menjadi dua kelas, yakni hipogonadisme hipogonadotropik dan
hipogonadisme hipergonadotropik.
2.1.2 Etiologi
Penurunan hormon pada hipogonad terjadi secara perlahan sehingga
seringkali tidak menimbulkan gejala. Keluhan baru timbul jika ada penyebab lain
yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lainnya.
Beberapa penyebab tersebut antara lain:
1)
Faktor lingkungan:
a.
Bersifat fisik: bahan kimia yang bersifat estrogenik yang sering
digunakan dalam bidang pertanian, pabrik dan rumah tangga.
b.
Bersifat psikis: suasana lingkungan yang buruk, kebisingan dan
perasaan tidak nyaman.
2)
Faktor organik (perubahan hormonal): disebabkan karena penyakit-penyakit
tertentu seperti diabetes, varikokel, prostatitis kronis, kolesterol dan
obesitas.
xxix
3)
Faktor psikogenik: penyebab psikogenik sering dianggap sebagai faktor
timbulnya berbagai keluhan andropause setelah terjadi penurunan hormon
testosteron.
2.1.3 Fisiologi
Testosteron merupakan hormon seks steroid pria (androgen) yang
terpenting, yang terbentuk dari kolesterol. Testosteron disekresikan oleh sel-sel
interstitial Leydig di dalam testis. Testis mensekresi beberapa hormon kelamin
pria, yang secara bersamaan disebut dengan androgen, termasuk testosteron,
dehidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari
yang lain sehingga dapat dianggap sebagai hormon testiskuler yang terpenting
(Nieschlag et al., 2010).
Androgen pada umumnya (testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion,
17-ketosteroid) sangat dibutuhkan untuk perkembangan sifat-sifat seks primer
maupun sekunder (maskulinitas) pada laki-laki. Testosteron sebagian besar (95%),
disekresikan oleh sel Leydig di dalam jaringan testis dan sisanya (5%) diproduksi
oleh kelenjar adrenal, disamping hormon-hormon steroid yang disebutkan tadi,
testis juga memproduksi androgen yang kurang poten (bersifat androgen lemah)
seperti DHEA dan androstendion (Baziad, 2002 dalam Braunstein 2011).
Sel-sel Leydig selain memproduksi estradiol, juga mensekresikan (dalam
jumlah yang sangat kecil) estron, pregnenolon, progesteron, 17-alfa-hidroksiprogesteron. Dehidrotestosteron dan estradiol tidak hanya disekresikan oleh selsel Leydig dari testis saja, tapi hormon-hormon seks steroid tersebut dapat juga
dibentuk oleh prekursor androgen dan estrogen pada jaringan seperti jaringan
xxx
perifer dari kelenjar adrenal, bahkan 80% dari hormon steroid yang ditemukan
dalam peredaran darah berasal dari prekursor androgen (Harman et al., 2001).
Androgen atau testosteron dalam peredaran darah pada umumnya
didapatkan dalam bentuk yang terikat dengan suatu molekul protein (binding
protein), dan hanya sebagian kecil saja terdapat dalam bentuk yang bebas sebagai
free testosterone. Free testosterone hanya dapat ditemukan sekitar 1,6%-2% saja
atau sebesar 0,47 – 2,44 ng/dl (Davison, 2006). Pada remaja sekitar 38%
testosteron terikat pada protein albumin, selebihnya sebanyak 60% terikat pada
globulin, sedangkan pada orang tua testosteron yang terikat dengan globulin
sebesar 75% dan terikat pada albumin 23%. Testosteron yang terikat dengan
globulin sangat kuat sehingga sulit lepas menjadi free testosteron berbeda dengan
ikatan testosteron dengan albumin yang lemah dan mudah lepas (Guyton dan Hall,
2008).
Komponen aktif dari testosteron adalah testosteron terikat albumin dan
testosteron bebas yang kemudian diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol
dan oleh enzim 5α reduktase menjadi dehidrotestosteron. Free androgen index
(FAI) menunjukan hubungan antara konsentrasi testosteron dengan protein
pengikat androgen. Kadar normal testosteron pada pria berada pada kisaran
300ng/dl-700ng/dl, sedangkan FAI berkisar 70-100%, bila FAI < 50%, gejalagejala andropause akan muncul (Surampudi et al., 2012).
Pada sel-sel targetnya hormon testosteron umumnya akan diubah menjadi
dehidrotestosteron, namun di dalam hepar sebagian besar testosteron akan diubah
menjadi
berbagai
macam
metabolit,
xxxi
misalnya
menjadi
androsteron,
epiandrosteron
dan
etiokholanolon.
Metabolit-metabolit
tersebut
setelah
berkonjugasi dengan glucuronic acid akan dikeluarkan melalui urin sebagai 17ketosteroid. Penentuan kadar 17- ketosteroid di dalam urin, perlu disadari bahwa
hanya sekitar 20-30% ketosteroid urin berasal dari testosteron, sedangkan
selebihnya berasal dari metabolit hormon steroid adrenal dan lainnya. Dengan
demikian penentuan kadar 17- ketosteroid urin tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menentukan kadar steroid dari testis (McCence dan Huether, 2008).
Kadar testosteron dan kadar testosteron sex hormone binding globulin
(SHBG) diklasifikasikan berdasarkan usia seperti tabel berikut ini:
Tabel 2.1
Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG
Kadar testosteron
Kadar testosteron SHBG
Usia
ng/dl
Usia
nmol/l
20 - 39
400 - 1080
13 -15
13 - 63
40 - 59
350 - 890
16 - 18
13 -71
>50
350 - 720
>19
11 - 54
(Guyton dan Hall, 2008).
Penurunan kadar hormon testosteron pada pria menimbulkan beberapa
gejala dan keluhan pada berbagai aspek kehidupan, antara lain :
1)
Ganguan vasomotor
Tubuh terasa panas, berkeringat, insomnia, rasa gelisah dan takut terhadap
perubahan yang terjadi.
2)
Gangguan fungsi kognitif dan suasana hati (psikis)
Mudah lelah, menurunnya konsentrasi, keluhan depresi, dan hilangnya rasa
percaya diri, menurunnya motivasi dan inisiatif terhadap berbagai hal.
xxxii
3)
Gangguan virilitas
Menurunnya energi dan tenaga secara signifikan, menurunnya kekuatan dan
massa otot, perubahan pertumbuhan rambut dan kualitas kulit, penumpukan
lemak pada daerah abdominal, osteoporosis karena berkurangnya densitas
tulang serta fraktur tulang yang meningkat.
4)
Gangguan seksual
Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktivitas
seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi
spontan, berkurangnya kemampuan ejakulasi, mengecilnya testis dan
menurunnya volume ejakulasi, menurunnya libido yang berimbas pada
menurunnya minat terhadap aktivitas seksual (Guyton dan Hall, 2008).
2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad
Penatalaksanaan terutama ditujukan agar dapat mengurangi keluhan maupun
masalah saat memasuki usia tua. Pada tahap pencegahan, memperbaiki faktor
psikologis yang terganggu mempunyai arti penting dalam mempertahankan
kesehatan secara umum. Selain faktor psikologis, pria juga perlu menjaga
kebugaran jasmani dan menerapkan pola hidup sehat (Wibowo, 2003).
Tujuan penanganan hipogonad yaitu untuk menormalisasikan level serum
testosteron dan memperbaiki simptom atau keadaan patologis yang dapat dialami
oleh karena defisiensi testosteron. Pengobatan utama hipogonad saat ini adalah
pemberian androgen replacement therapy, walaupun hormon yang menurun pada
xxxiii
hipogonad terdiri dari bermacam-macam hormon, namun pemberian hormonhormon multiple saat ini belum lazim dilakukan dan dalam tahap penelitian.
Terapi pengganti yang saat ini hanya dapat diberikan khususnya pada pria
hipogonad adalah pemberian hormon testosteron, pemberian terapi perlu
dilakukan dengan hati-hati dan konsentrasi testosteron perlu tetap dikontrol
mengikuti terapi testosteron, serta tetap memperhatikan kontraindikasi sebelum
pemberian terapi (Dandona et al., 2009).
2.1.5 Syarat pemberian testosterone replacement therapy
Syarat pemberian suntikan hormon testosteron menurut FDA, khususnya
pada pria harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)
Pria dewasa dengan keadaan defisiensi atau hilangnya endogenous
testosteron, seperti keadaan hipogonad primer dan sekunder, maupun
hypogonadotropic hypogonad.
2)
Terdapat tanda dan gejala hipogonadisme karena penuaan (menggunakan
kuisioner ADAM) disertai dengan catatan level testosteron yang rendah.
3)
Terkait dengan fungsi seksual (menggunakan domain IIEF-15).
4)
Harus dievaluasi dulu penyakit yang menyertai, faktor kausatif, kejadian
akut dan medikasi yang potensial menyebabkan penurunan testosteron.
5)
Terdapat indikasi seperti peningkatan komposisi tubuh, penurunan minat
seksual, insomnia, sleep apnea, penurunan densitas tulang dan massa otot,
kerontokan rambut, hilangnya mood dan perasaan depresi.
6)
Kontraindikasi seperti kanker prostat dan kanker payudara.
xxxiv
7)
Dilakukan
pemeriksaan
fisik
seperti
pemeriksaan
bentuk
tubuh
(genekomastia dan lemak viseral), tekanan darah, rambut, kulit dan
pemeriksaan genital seperti: ereksi penis (skor 1-4), jika skor yang didapat
pada pria 1-3 maka pria tersebut mengalami disfungsi ereksi dan
pemeriksaan testis menggunakan orchidometer.
8)
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan hormon testosteron (di
bawah 300 ng/dl), LH dan FSH, lipid, insulin, kardiovaskuler dan glukosa.
9)
Preparat testosterone replacement therapy yang digunakan sesuai kebutuhan
dan pemberian dengan dosis yang tepat serta sesuai dengan demografi
penderita dan catatan klinis sebelumnya (jika ada).
10)
Evaluasi, follow up dan monitoring selama pemberiannya (Anonim, 2015).
2.2
Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus)
2.3.1 Karakteristik tikus
Tikus yang digunakan untuk penelitian di laboratorium terdiri dari beberapa
galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley, yang
berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada
badannya, dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih
pendek. Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan
di laboratorium. Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan dalam jumlah
yang cukup besar (Kusumawati, 2004). Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal
dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat.
xxxv
Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan dan dapat tinggal sendirian
dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, jika dipegang
dengan cara yang benar tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di
laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit,
tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam
percobaan pada tikus lebih menguntungkan.
Tabel 2.2
Data Biologis Tikus
Karakteristik
Ukuran
Berat badan
Jantan
: 300 - 400
gram
Betina
: 250 – 300
gram
Berat lahir
:5-6
gram
Lama hidup
: 2,5 – 3
tahun
Temperatur tubuh
: 35,9 – 37,5 oC
Kebutuhan air
: 8 – 11
ml/100gBB
Kebutuhan makan
:5
g/100gBB
Frekuensi jantung
: 330 – 480
per menit
Frekuensi respirasi
: 66 – 114
per menit
Tidal volume
: 0,6 – 1,25
ml
Pubertas
: 50 – 60
hari
Dewasa
: 160 – 180
hari
Jantan
: 65 – 110
hari
Betina
: 65 – 110
hari
Saat dikawinkan
xxxvi
Lama siklus birahi
:4–5
hari
Lama bunting
: 21 -23
hari
Jumlah anak perkelahiran
: 6 – 12
Umur sapih
: 21
hari
hari
(Kusumawati, 2004).
2.3.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia
1) Definisi
Sistem reproduksi pada mamalia hampir sama dengan manusia yang
merupakan sistem yang menjalankan proses reproduksi yakni proses biologis,
merupakan proses untuk memproduksi organisme baru yang bertujuan untuk
mempertahankan diri, dan terdiri atas alat-alat reproduksi yang mendukung
kegiatan reproduksi dan seksual pada hewan disamping alat-alat tubuh lainnya.
Organ genital pada suatu mahluk hidup merupakan kelengkapan alat reproduksi
yang berfungsi untuk berkembangbiak dan memperoleh keturunan.
Organ kelamin jantan dan organ kelamin betina berbeda sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Reproduksi pada tikus jantan diiringi oleh turunnya
testis ke skrotum dan diikuti dengan mulainya spermatogenesis. Sekresi GnRH
menghasilkan level sekresi testosteron yang meningkat selama pubertas.
Luteinizing Hormone (LH) menstimulasi sel Leydig untuk meningkatkan produksi
testosteron. Sistem reproduksi pada hewan terdiri atas organ reproduksi (penis,
testis dan skrotum, epididimis), saluran reproduksi (vas deferens dan uretra), dan
kelenjar seks aksesori (Syamsuharlin, 2011).
Pada mamalia jantan, organ reproduksi utama berupa sepasang testis yang
terdapat di dalam skrotum. Saluran reproduksi pada mamalia jantan berfungsi
xxxvii
sebagai jalur transportasi sperma (cairan seminal). Testis sebagai organ reproduksi
utama memiliki fungsi ganda, yaitu selain untuk menghasilkan gamet
(spermatozoa) juga mampu menghasilkan hormon seks pria terutama testosteron
(Nuraini, 2014).
Gambar 2.1
Sistem Reproduksi Tikus Jantan (Rugh, 1964 dalam Herliyani, 2009).
2)
Kelenjar prostat
a.
Anatomi kelenjar prostat
Kelenjar prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di bawah buli-buli
(kandung kemih), di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini
lebih dikenal daripada kelenjar vesikula seminalis. Prostat Terdiri dari dua bagian
yaitu badan prostat dan prostat cryptik. Bagian badan prostat terdapat di belakang
ampula dekat di atas uretra pars pelvis, sehingga disebut corpus prostat. Badan
prostat berukuran lebar 2,5-4,0 cm dan tebal 1,0-1,5 cm. Bagian prostat yang
cryptik disebut pars disseminata, yang mengelilingi uretra pars pelvis. Di bagian
xxxviii
dorsal ukurannya mencapai tebal 1,0-1,5 cm, panjang 10-12 cm dan tertutup oleh
otot uretra (Herliyani, 2009).
Kelenjar prostat berbentuk lonjong seperti biji kenari, beratnya kurang lebih
20 gram yang mengelilingi uretra, disusun oleh 30-50 kelenjar tubula
alveolar/glandular bersama otot polos dan keseluruhan kelenjar dibungkus oleh
kapsul yang terdiri atas jaringan ikat. Kelenjar prostat mempunyai rangkaian
duktus pendek yang secara langsung disambungkan ke uretra pars prostatika, yang
menembus prostat. Otot polos tersebut digunakan untuk melengkapi tenaga yang
dibutuhkan untuk ejakulasi.
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat
prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat
berhubungan dengan kandung kemih, sedangkan bagian inferior bersandar pada
diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh
lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal
berbatas pada ampulla recti (Sjamsuhidajat et al., 2010). Anatomi kelenjar prostat
ditunjukan pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2
xxxix
Anatomi Kelenjar Prostat Tikus (Shen dan Robert, 1997 dalam Kinblom, 2003).
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas, biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafrgama tersebut, dan dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera serta prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok
dubur (Kinblom, 2003).
Kelenjar prostat mengandung banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot
polos, disamping mengandung jaringan kelenjar. Kelenjar ini ditembus oleh uretra
dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena
(Sjamsuhidajat et al,. 2010). Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari
arteria vesciralis inferior dan arteria rectalis media. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibroda dan
sarung prostat, dan ditampung oleh vena iliaka interna (Moore et al., 2002).
b.
Histologi kelenjar prostat
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel,
bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori
kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromaskular (Kumar et
al., 2007). Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromaskuler anterior dan zona periurethra.
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan
kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona
xl
transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH
terjadi pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer (Junqueira, 2007).
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau
kuboid. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis bersama dengan otot polos.
Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus
yang tidak berbatas tegas. Struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar
testosteron seperti pada organ reproduksi lainnya (Janqueira dan Carneiro, 2007).
Histologi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.3
Histologi Kelenjar Prostat Pada Tikus (Conti et al., 2005).
xli
c.
Fisiologi kelenjar prostat
Kelenjar prostat mensekresikan cairan encer, seperti susu yang mengandung
kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Sekresi
kedua bagian ini melalui beberapa muara kecil masuk ke dalam uretra. Sekresinya
juga banyak mengandung ion anorganik (Na, Cl, Ca, Mg) (Syamsuharlin, 2011).
Selama pengisian, otot-otot kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi
vas deferens sehingga cairannya bersifat encer, yang dikeluarkan untuk
menambah jumlah cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Sifat cairan
prostat yang sedikat basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum,
karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir
metabolisme sperma, sebagai akibatnya akan menghambat fertilisasi sperma.
Sekret vagina bersifat asam (pH 3,5 – 4) sehingga menyebabkan sperma
tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6-6,5,
cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan
seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas
sperma (Guyton dan Hall, 2008).
2.3
Reseptor Androgen (AR/androgen receptor) Pada Tikus
Reseptor androgen juga dikenal sebagai nuclear receptor subfamily type
dari nuclear receptor yang diaktivasi oleh ikatan dengan ligan dan menginduksi
faktor transkripsi, yang juga termasuk reseptor untuk hormon steroid pada hewan
mamalia seperti glucocorticoid receptor (GR), mineralcorticoid receptor (MR),
progesterone receptor (PR), estrogen receptor (ER) dan androgen receptor (AR)
(Marilia et al., 2009).
xlii
Analisis struktural dari cDNAs pada hAR (human androgen receptor) dan
rAR (rat androgen receptor) mengindikasikan bahwa region dari amino terminal
pada AR kaya akan oligo dan poli (amino acid), yang merupakan struktur dari
beberapa gen homeotik. Reseptor androgen pada tikus mempunyai lengan atau
untaian basa yang kaya akan glutamin, dan terdapat kesamaan sequence antara
AR dan GR, PR dan MR dalam domain steroid-binding.
Pada proses hibridasi molekuler cDNA AR digunakan sebagai promotor
yang nantinya akan membentuk mRNA AR dalam proses transkripsi. Translasi
dari mRNA mengandung 94 dan 76 kDa protein dan bentuk yang lebih kecil pada
ikatan DNA serta mempunyai afinitas yang tinggi terhadap androgen,
mengindikasikan bahwa organ aksesori genital pria ataupun hewan jantan kaya
akan mRNA AR, dan produksi mRNA AR pada organ target terjadi karena
mekanisme autoregulasi oleh androgen (Chang et al., 2008).
Gambar 2.4
xliii
Analisis Struktur cDNA Dari AR pada Tikus (Chang et al., 2008).
Reseptor androgen bekerja secara bebas yang berinteraksi dan berikatan
dengan DNA melalui protein sinyal transduksi di sitoplasma. Reseptor androgen
dapat menyebabkan perubahan yang cepat pada fungsi sel yang bebas dari
perubahan di gen transkripsi seperti perubahan pada ion transport (Arun et al.,
2001).
Fungsi AR sebagai DNA-binding dari faktor transkripsi yang meregulasi
ekspresi gen, yang mana jika diberikan testosteron akan masuk ke dalam sel yang
sebelumnya telah diubah menjadi DHT, kemudian berikatan dengan reseptornya
membentuk kompleks androgen-AR. Setelah pengikatan dengan steroid atau
ligannya, AR mengalami perubahan bentuk dan pengeluaran heat shock protein
(HSP), sehingga AR menjadi aktif (Davison, 2006). Ikatan androgen dan
reseptornya yang terjadi di dalam sel kemungkinan merupakan ikatan spesifik
pada sequence yang dekat dengan promotor dari gen target yang diaktivasi, dan
akan menghasilkan modulasi dari inisiasi transkripsi (Arun et al., 2001).
Pada ketiadaan hormon, AR dihubungkan dengan seluler chaperons seperti
HSP dan protein lainnya yang berlokasi di sitoplasma dari sel target. Pada saat
tersedianya hormon maka hormon yang berdifusi ke dalam sel, akan berikatan
dengan reseptor dan menghasilkan perubahan pada AR yang inaktif yaitu
perubahan bentuk reseptor dan peristiwa pelepasan hubungan antara reseptor dan
HSP, selanjutnya AR menjadi aktif. Kompleks androgen bersama reseptornya
yang telah terbentuk tersebut kemudian mengalami dimerisasi, phosphorylation
dan selanjutnya translokasi ke dalam nukleus dan berikatan pada sequence DNA
xliv
target (hormone response element/HRE). Di dalam nukleus, interaksi AR dengan
coactivators dan enzim dari kromatin menyebabkan munculnya faktor general
transkripsi pada bentuk preinisiasi dan gen target transkripsi (Weigel dan Zhang,
2008), yang dapat ditunjukan pada gambar berikut ini:
Gambar 2.5
Aktivasi Dari Reseptor Hormon Steroid (Weigel dan Zhang, 2008).
Reseptor hormon steroid coactivators (SRCs) menunjukan pertumbuhan
protein pada interaksinya dengan reseptor pada ligan-spesifik dan menjalani
aktivitas transkripsi (Khan et al., 2005). Coactivators memiliki aktivitas
enzimatik, seperti histone acetyltransferase, histone methyltransferase, ubiquitinconjugation dan ubiquitin-protein ligase (Nawaz et al., 2000 dalam Khan et al.,
2005).
Fungsi coactivator’s in vivo dimanifestasi oleh aktivitas enzimatik yang
berkumpul pada region dari gen target. Kemampuan dari peningkatan reseptor
dimediasi oleh ekspresi gen, coactivators memainkan peran penting dalam
meregulasi besarnya respon biologis dari hormon steroid. Level dari ekspresi
xlv
coactivator merupakan faktor penentu dari aktivitas reseptor pada jaringan target
dan berbagai macam respon hormon yang dapat dilihat diantara individu dalam
populasi (Khan et al., 2005).
Reseptor androgen berinteraksi dengan protein lain di dalam nukleus,
menghasilkan up atau down regulation dari gen spesifik transkripsi. Aktivasi atau
up regulasi transkripsi menghasilkan peningkatan sintesis mRNA yang diaktifkan
dan ditranslasi oleh ribosom, untuk memproduksi protein spesifik yang berguna
untuk pertumbuhan sel (Davison, 2006), sehingga kecepatan pertambahan jumlah
sel (efek non-genomic) juga dikaitkan dengan aktivasi AR oleh karena androgen
(Haelens et al., 2007). Semua AR ikut serta dalam proses transkripsi yang
mengkode modular protein dari 919 asam amino yang timbul pada permukaan
molekul dengan berat 110 kD (Lubhan et al., 2000 dalam Marilia et al., 2009).
Perbedaan spesies termasuk pada manusia, tikus, hamster membuktikan
bahwa region promotor dari gen AR khususnya pada manusia dan tikus
mengalami kekurangan sequence yang khas seperti TATA dan CAAT, yang
merupakan model urutan basa dari 5’ UTR tapi kaya dengan region GC yang
penting untuk cis-acting element untuk AR gen transkripsi, dan diduga merupakan
tempat yang aktif untuk mengikat faktor transkripsi dari gen sex limited protein
(Slp) yang merupakan karakteristik suatu promotor (Wolf et al., 2003).
Perbedaan antara subfamilies dari tipe reseptor nuklear, ditunjukan pada
perbedaan mekanisme dari kumpulan sel dan regulasi dari promotor spesifik pada
ekspresi gen, termasuk reseptor heterodimerization, jarak variabel yaitu antara
HRE dan HRE site (Zechel et al., 2004 dalam Ikonen et al., 2007). Mekanisme ini
xlvi
tidak digunakan oleh PR, GR, MR dan AR, hal tersebut dikarenakan bahwa
variabelnya tinggi pada region N-terminal yang mampu merespon sel dan regulasi
dari steroid spesifik pada gen target. Gagasan tersebut mendukung pernyataan
bahwa induksi dari ekspresi Slp pada tikus dimediasi oleh region N-terminal dari
AR (Pearce & Yamamoto, 2003 dalam Ikonen et al., 2007).
Delesi N-terminal identik pada wild-type rAR dan struktur rAR yang aktif
(AR domain 641–902) tanpa ligand-binding domain (LBD), yang dihasilkan
sebagai akibat dari aktivasi transkripsi yaitu delesi dari residu 149–295 yang
dihilangkan dari aktivitas wild-type AR, merupakan aktivitas dari transaktivasi
domain N-terminal dan dikontrol oleh hormon yang bertindak sebagai LBD.
Keadaan tersebut memberi kesan bahwa terdapat interaksi yang kuat dari
androgen-dependent antara region N-terminal dan LBD (Ikonen et al., 2007).
Ekspresi dan regulasi dari gen hAR dan rAR diobservasi pada sel lines hewan,
dan dapat dipastikan bahwa ekspresi RNA AR diregulasi oleh adanya androgen
(Keller et al., 2006). Ekspresi relatif mRNA AR pada beberapa jaringan dari tikus
yang dianalisis menggunakan realtime PCR.
Tabel 2.3
Ekspresi Relatif mRNA AR Pada Beberapa Organ Tikus Jantan
Organ
Ekspresi mRNA AR
Hipotalamus
42
Kelenjar adrenal
141
Epididimis
115
Kelenjar tiroid
68
Kelenjar pituitari
56
xlvii
Kelenjar preputial
44
Otot levator ani
30
Ginjal
27
Kelenjar prostat
25
Vesikula seminalis
25
Testis
20
Liver
18
Otot bulbocavernosus
16
Hati
8
Kelenjar submaksilaris
17
(Young et al., 2001 dalam Keller et al., 2006).
Data tersebut digunakan sebagai gambaran persentasi dari mRNA AR relatif
pada level mRNA AR dari organ reproduksi tikus jantan termasuk pada prostat.
Ekspresi AR berubah selama perkembangan fetal, perkembangan seks sekunder,
penuaan dan keganasan. Regulasi dari level AR dapat terjadi kapanpun sepanjang
gen AR mengalami proses transkripsi selanjutnya post-translasi. Faktor yang
mempengaruhi termasuk androgen yang melibatkan modulasi dari AR protein dari
ekspresi mRNA (Keller et al., 2006).
Pada perkembangan fetal tikus, mRNA AR tidak ditemukan pada urogenital
pada 13,5 hari gestasi sedangkan pada 15,5 hari gestasi mRNA AR dan protein
dapat ditemukan (Takeda et al., 2001). Pada tikus neonatal, setelah 3 hari kastrasi
tidak menghasilkan perubahan ekspresi AR pada prostat tikus (Husmann et al.,
2001 dalam Keller et al., 2006). Temuan ini memberi kesan bahwa terjadi satu
atau lebih perkembangan dari faktor regulasi yang mempengaruhi ekspresi.
xlviii
Peningkatan usia menimbulkan penurunan ekspresi AR pada tikus yang dikaitkan
dengan ekspresi age dependent factor (ADF) yang diekspresikan pada semua
jaringan.
Age Dependent Factor berikatan dengan fragmen rAR antara fragmen -310
sampai -330. Ikatan ADF pada promotor rAR secara in vitro menunjukan
penurunan yang tergantung pada usia, ketika ADF berikatan pada tempatnya
dikatakan telah terjadi mutasi sehingga menurunkan aktivitas promotor dari rAR.
Beberapa faktor seperti androgen dilaporkan dapat memodifikasi ekspresi AR,
yaitu terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada ventral prostat tikus, line kanker
prostat (LNCap) dan line hepatoma sel (Shan et al., 2000 dalam Keller et al.,
2006). Bagaimanapun temuan ini masih kontroversial karena up-regulation AR
oleh karena androgen ditunjukan pada prostat tikus (Takeda et al., 2001), pada
fibroblas genital, otot polos penis dan sel prekursor adiposa (Pergola et al., 2000
dalam Keller et al., 2006).
Menurut Mozokami et al. (2002), terjadi down-regulation dari mRNA AR
oleh karena androgen pada line kanker prostat yang dikaitkan dengan peningkatan
ekspresi AR protein, memberi kesan bahwa AR protein up-regulation oleh karena
androgen dihasilkan dari sejak terjadinya stabilitas AR protein. Pemberian
androgen menyebabkan beberapa hormon dan faktor pertumbuhan dapat
meregulasi ekspresi AR, seperti FSH meningkatkan level mRNA AR pada sel
Sertoli. Growth Hormone, prolaktin dan ephitelial growth factor (EGF)
meningkatkan mRNA AR pada sel prostatik (Mizokami et al., 2002 dalam Keller
et al., 2006).
xlix
Ekspresi AR dapat dimodifikasi oleh karena variasi beberapa faktor yang
muncul yang bekerja bersama androgen pada jaringan dan model sel spesifik.
Meskipun androgen mengawali modulator dari perkembangan dan pemeliharaan
pada struktur fenotif pria dan fungsi reproduksi, namun mekanisme molekuler
yang mendasari regulasi AR secara in vivo dan mekanisme kerjanya kurang
diketahui secara pasti terutama pada jaringan reproduksi (Wolf et al., 2003).
2.4
Messenger Ribonucleid Acid (mRNA)
Molekul RNA sitoplasmik yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis
protein (memindahkan informasi genetik dari DNA ke perangkat pembentuk
protein) disebut dengan RNA pembawa atau messenger RNA. Kelas RNA
pembawa ini adalah yang paling heterogen dari segi jumlah, ukuran dan stabilitas.
Mekanisme transkripsi maupun pascatranskripsi ikut berperan dalam kandungan
mRNA yang sangat bervariasi (Heredia dan Jansen, 2003).
Pada proses ekspresi gen, mRNAs secara stabil diterjemahkan dari DNA
dan akan ditranslasi oleh ribosom ke dalam protein. Jumlah keduanya dan tipe
protein diekspresikan dalam sel yang penting untuk pertahanan hidup dan respon
kapasitasnya oleh karena perubahan lingkungan. Regulasi transkripsi merupakan
mekanisme dasar yang mengontrol level ekspresi dari protein (Denake et al.,
2013).
Lokasi mRNA tersebar luas saat mekanisme post-transcription untuk target
sintesis protein pada tempat seluler spesifik, ini terkait pada generasi sel dengan
muatan kutub yang berlawanan, terjadi pemisahan yang berbeda pada sel yang
l
penting dan spesifikasi dari sel germinal. Aktin dan filamen mikrotubul memiliki
fungsi penting selama lokalisasi RNA, khususnya selama transport dari mRNAs
dan mempengaruhi targetnya. Pergerakan dan sistem filamen dihasilkan melalui
perpindahan mRNA dan dari purifikasi lokalisasi dari ribonucleoprotein, serta
ditemukan juga jalur dari sentrosom pada lokalisasi RNA (Kloc et al., 2002 dalam
Heridia dan Jansen, 2003).
Pada sel mamalia termasuk sel manusia, molekul mRNA yang terdapat di
sitoplasma bukan merupakan produk RNA yang disintesis langsung dari cetakan
DNA, tetapi harus dibentuk oleh pemrosesan pre-mRNA sebelum masuk ke
sitoplasma. Pada inti sel mamalia, produk langsung transkripsi gen (transkrip
primer yaitu pre-mRNA) sangat heterogen dan bisa 10 hingga 50 kali lebih
panjang daripada molekul mRNA matur. Molekul pre-mRNA diolah untuk
membentuk molekul mRNA yang kemudian masuk ke dalam sitoplasma dan
berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein. Messanger RNA memiliki usia
hidup yang sangat beragam dalam sebuah sel. Molekul RNA yang disintesis
dalam sel mamalia merupakan molekul prekursor yang masih harus menjalani
pemrosesan agar menjadi RNA matur yang aktif (Murray et al., 2014).
Pada sel mamalia, kelimpahan mRNA bervariasi hingga kelipatan 104, yang
mana keseluruhan dari anggota kelas ini berfungsi sebagai pembawa yang
menyampaikan informasi dalam suatu gen ke perangkat pembentuk protein.
Masing-masing mRNA berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk polimer
asam amino dengan sekuens spesifik, sehingga membentuk molekul protein
spesifik yaitu produk akhir suatu gen (Denake et al., 2013).
li
2.5
Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat
Secara ultrastruktur, kelenjar aksesori terdiri dari sel epitelium dengan
morfologi sel glandular yang mensekresikan protein. Pertumbuhan epitelium
dipengaruhi oleh hormon androgen tertentu yakni DHT. Hormon tersebut
diperoleh dari konversi testoteron dan androgen adrenal yang memasuki sel
sekretorik epithelium glandular.
Dehidrotestosteron memilliki aktivitas 30 kali lebih kuat dari testosteron,
ikatan DHT dengan AR akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor
menuju nukleus yang akhirnya mempengaruhi transkripsi gen, yang menstimulasi
pertumbuhan normal epitelium khususnya pada prostat, serta dapat memicu
pertumbuhan sel yang abnormal seperti benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat
berkembang menjadi kanker prostat, terutama jika sebelumnya terdapat riwayat
dari kanker prostat (Fernandez et al., 2005). Oleh karena itu, androgen dapat
mempengaruhi perkembangan dari kelenjar prostat melalui reseptor protein
intraseluler yaitu reseptor androgen (Marker et al., 2003 dalam Khan et al., 2005).
Penyediaan androgen merupakan syarat untuk mendorong pertumbuhan
kelenjar prostat dan untuk menjaga ukuran yang tetap stabil. Meskipun testosteron
merupakan androgen yang lazim beredar dalam darah, DHT adalah androgen yang
paling aktif terlibat dalam regulasi kelenjar prostat. Konversi testosteron menjadi
metabolit aktifnya dicapai melalui aktivitas 5α-reduktase, yang terjadi dalam dua
isozim, tipe I dan tipe II. Sementara jenis II didominasi oleh sel-sel prostat, tipe I
oleh jaringan lain, seperti kulit dan hati. Kekurangan tipe II sangat menghambat
lii
pengembangan kelenjar prostat pada manusia dan yang lebih rendah pada tikus
(Mahendroo et al., 2001).
Reseptor androgen bertindak sebagai faktor transkripsi dimana fungsinya
untuk pengikatan DNA dan mengatur ekspresi gen. Ekspresi mRNA AR secara
signifikan terdeteksi pada sel kanker payudara, liver, sel line prostat, terdapat
banyak pada permukaan fibroblas genital, ventral prostat dan pada line kanker
prostat, ekspresi dari mRNA AR tersebut diregulasi oleh adanya androgen (Culig,
2004).
Respon androgen terlibat dalam banyak kegiatan seluler yang berkisar dari
proliferasi menuju ke kematian sel yang terprogram. Ekspresi AR telah terbukti
terkait dengan proliferasi sel dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker
prostat. Hasil ini menunjukkan dengan jelas pentingnya tingkat ekspresi AR
dalam mengatur tingkat pertumbuhan kelenjar prostat terutama pada penuaan
(Shidaifat, 2009), dan lokasi AR diketahui paling banyak terletak pada sel basal
dari epitelium ventral prostat tikus (Soeffing, 2005).
Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan menginduksi respon fisiologis
pada beberapa variasi dari organisme eukariotik. Kerja hormon tersebut timbul
jika berikatan dengan hormon steroid spesifik yang memiliki afinitas yang tinggi
dengan reseptor protein pada sel-sel target, dan interaksi dari kompleks reseptor
hormon steroid dengan elemen regulator pada gen spesifik (Yamamoto, 2005
dalam Chang et al., 2008).
liii
Reseptor androgen ditemukan pada beberapa organ yang sensitif terhadap
androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebaceus dan
preputial, otot levator ani dan beberapa tumor yang sensitif terhadap androgen.
Beberapa abnormalitas dari respon androgenik kemungkinan terjadi karena
adanya mutasi dari gen AR (Bardin et al., 2003 dalam Chang et al., 2008).
Reseptor androgen merupakan ligand-activated dari faktor transkripsi yang
memediasi sinyal dari semua androgen. Ketika diaktivasi oleh androgen, AR akan
berikatan pada respon elemen pada promotor gen target, termasuk protein
penyandi yang terkait dengan proses mitosis, diferensiasi dan apoptosis pada
prostat (Verrijdt et al., 2003).
Mekanisme aktivasi dari gen target oleh reseptor nuklear diidentifikasi oleh
banyak protein coactivator, selanjutnya protein tersebut membentuk ikatan
bersama agar dapat mengaktivasi reseptor ligand-dependent atau reseptor yang
sebelumnya telah membentuk kompleks androgen-AR, dan juga meningkatkan
kemampuan untuk mengaktivasi gen target (Bevan & Parker 1999 dalam Chang et
al., 2008).
2.6
Hormon Testosteron
2.6.1 Pada manusia
Kata ”hormon” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti membangkitkan
untuk beraktivitas. Sesuai dengan definisi klasiknya, hormon adalah suatu zat
yang disintesis dari satu organ dan diangkut oleh sistem sirkulasi untuk bekerja di
liv
jaringan lain. Hormon juga dapat bekerja pada sel-sel disekitarnya (kerja parakrin)
dan pada sel tempat hormon tersebut berasal (kerja autokrin) tanpa harus masuk
ke sirkulasi sistemik.
Telah berkembang beragam hormon, masing-masing dengan mekanisme
kerja dan biosintesis, penyimpanan, sekresi, pengangkutan serta metabolisme
tersendiri untuk menghasilkan respon homeostasis (Guyton dan Hall, 2008).
Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol dengan
nama sistemik (memakai sistem IUPAC) yaitu: 17-hydroxy-10,13- dimethyl
1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17
dodecahydrocyclopenta
[a]
phenanthren-3-one
(Braunstein, 2011).
Gambar 2.6
Struktur Kimia Hormon Testosteron (Braunstein, 2011).
Hormon disintesis pada organ-organ yang disusun untuk tujuan spesifik,
misalnya tiroid menghasilkan hormon triodotironin, adrenal menghasilkan
hormon glikokortikoid dan mineralokotikoid serta hipofisis menghasilkan hormon
TSH, FSH, LH, ACTH, GH dan Prolaktin. Sebagian organ disusun untuk
melakukan dua atau beberapa fungsi yang berbeda tetapi tetap berkaitan erat,
misalnya ovarium yang menghasilkan oosit matang dan hormon reproduktif
lv
estradiol dan progesteron. Testis menghasilkan spermatozoa matang dan
testosteron (Nieschlag et al., 2010).
Regulasi hormonal diawali dengan proses pada poros hipotalamus-hipofisegonad pada pria sebagai fungsi dari testiskuler dan efek dari androgen. Pada pria
muda regulasi poros tersebut merupakan proses sirkulasi yang akan menghasilkan
konsentrasi testosteron (Belanger et al., 2013). Generator pulsasi hipotalamus
akan mensekresikan GnRH kira-kira setiap 90 menit. Gonadotropin releasing
hormone yang disekresikan dalam sirkulasi portal hipotalamus-pituitari, kemudian
menstimulasi sekresi dari kelenjar pituitari anterior seperti luteinizing hormone
(LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) ke dalam sirkulasi sistemik.
Luteinizing hormone mencapai testis dan menimbulkan keadaan tonik dan
episodik pada sel Leydig yang berlokasi antara tubulus seminiferus untuk
mensintesis dan mensekresikan testosteron, namun tetap di bawah kontrol dari LH
(Borst dan Mulligan, 2007). Setelah sekresi oleh testis, sekitar 97% dari
testosteron berikatan dengan plasma albumin atau yang lebih kuat berikatan
dengan beta globulin yang dikenal sebagai SHBG, dan yang beredar dalam
sirkulasi darah yaitu free testosterone atau bentuk yang tidak berikatan (Ullah et
al., 2014). Bioavailable testosteron bekerja pada jaringan multi target dan dalam
mekanisme regulasi pada poros Hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG).
Konsentrasi serum testosteron diperlihatkan pada ritme sirkadian dan
ultradian. Ritme sirkadian menghasilkan konsentrasi serum testosteron yang
puncaknya selama pagi hari, sedangkan ritme ultradian merupakan siklus
konsentrasi serum testosteron yang berfluktuasi sekitar 90 menit. Ritme ultradian
lvi
ini mewakili keseluruhan dari pola sekresi testosteron pada sekresi basal atau
tonik.
Pada dewasa muda, berlangsung dua peristiwa yaitu yang pertama, stimulasi
GnRH yang menstimulasi LH untuk menskresikan testosteron dan yang kedua
yaitu free atau bioavailable testosteron menghambat poros HPG, yang ditunjukan
pada penurunan GnRH dan LH/FSH dari hipotalamus dan pituitari anterior
(Nieschlag et al., 2010). Komponen dari poros HPG mempertahankan konsentrasi
serum total testosteron dalam keadaan normal dengan range antara 450–1,000
ng/dL, dan konsentrasi serum total testosteron untuk dewasa muda yang sehat
sekitar 650 ng/dL (Borst dan Mulligan, 2007).
Testosteron penting untuk perkembangan dan pemeliharaan dari beberapa
organ dan fungsi fisiologi pria. Hormon steroid memberikan efek seumur hidup
terutama pada pria (Ullah et al., 2014). Perkembangan sel Leydig saat masa fetus
terjadi pada minggu ke tujuh yang merupakan awal mula produksi testosteron.
Testosteron berguna untuk diferensiasi dari traktus genitalis pada fetal seperti
pada epididimis, vesikula seminalis, dan vas deferens. Genetalia eksternal pria
mulai berkembang sekitar minggu ke delapan pada fetal. Testosteron mulai
memberikan efek pada perkembangan dari karakteristik seks sekunder pada masa
pubertas, selain itu testosteron juga berfungsi untuk memelihara komposisi tubuh
termasuk massa otot, massa tulang, spermatogenesis, libido, sensitivitas insulin,
metabolisme glukosa dan lain-lain (Ullah et al., 2014).
Tabel 2.4
Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa
Hormon
Besar normal
lvii
Total testosteron
260-1000 ng/dl (9,0 – 34,7 nmol/L)
Free testosterone
50 – 210 pg/ml (173 – 729 Pmol/L)
Dehidrotestosteron
27 – 75 ng/dL (0,9 – 2,6 nmol/L)
Androstenedion
50 – 250 ng/dL (1,7 – 8,5 nmol/L)
Estradiol
10-50 pg/ml (3,67 – 18,35 Pmol/L)
(Braunstein et al., 2011).
Nilai normal kadar testosteron total pada laki-laki bervariasi antara 241
sampai 827 ng/dl, bila terjadi penurunan kadar testosteron di bawah 500 ng/dl,
sudah menimbulkan gejala defisiensi (Ryan, 2007). Serum testosteron pada pria
hipogonadisme setiap individu dapat bervariasi antara 6,9 nmol/L dan 10,4
nmol/L (Goldenberg, 2011).
Testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh,
disamping efeknya pada gametogenesis. Testosteron juga memainkan peran
penting dalam pertumbuhan rambut, metabolisme tulang, massa dan distribusi
otot, membantu dalam regulasi pertumbuhan dan memelihara karakteristik seks
sekunder dan fungsi organ reproduksi pria seperti penis, testis dan kelenjar
aksesori (Nieschlag et al., 2008; Belanger et al., 2013). Pengaruh testosteron pada
perkembangan sifat kelamin primer dan sekunder pada pria dewasa antara lain:
1)
Perkembangan dan pembesaran alat kelamin laki-laki (penis) yang mulai
nampak jelas pada usia 10-11 tahun (pubertas).
2)
Perkembangan dan pembentukan lekuk-lekuk kulit skrotum dan pigmentasi
kulit skrotum.
3)
Perkembangan dan pembesaran volume testis dan kelenjar-kelenjar seks
aksesori.
lviii
Efek dan fungsi testosteron pada jaringan spesifik terutama ketika masa
pubertas yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi
laki-laki. Pengaruh dari sekresi testosteron yaitu terjadi pembesaran testis dan
dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula
seksual aksesori dan pembesaran penis serta skrotum (Indrayanto, 2011).
Androgen penting khususnya untuk perkembangan, pertumbuhan dan fungsi
prostatik. Diketahui efek testosteron bersifat jangka panjang dan menyebar ke
dalam sepanjang prostat dengan konsentrasi yang tinggi. Jaringan prostat
memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan DHT daripada testosteron.
Dihydrotestosterone secara intrinsik dua kali potensial untuk menstimulasi
pertumbuhan prostat. Dihydrotestosterone berikatan dengan AR pada sel prostatik
dan berpengaruh pada leading gene untuk pertumbuhan prostat dan produksi PSA.
Ukuran kelenjar prostat muncul sebagai benih sebelum pubertas, tapi kelenjar
tersebut tumbuh dengan cepat dan distimulasi androgen pada saat dewasa
(Wilczynski dan Agrawal, 2015).
2.6.2 Pada hewan mamalia
Kadar testosteron normal pada tikus jantan adalah 0,66 – 5,4 ng/ml (Hees
dan Carnes, 2004). Penelitian oleh Justulin et al. (2006), pada tikus jantan usia 3
bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9 ng/ml dan pada tikus yang
dikastrasi sekitar 0,05 ng/ml. Penelitian oleh Wang et al. (2005), tentang
hubungan antara usia terhadap penurunan level testosteron dalam darah dan
produksi testosteron oleh sel Leydig pada tikus tua, didapatkan hasil pada tikus
usia 3 bulan, 20 bulan dan 30 bulan memiliki konsentrasi testosteron dalam darah
lix
berturut-turut 1,8 ng/ml, 0,9 ng/ml dan 0,8 ng/ml dan produksi testosteron oleh sel
Leydig berturut-turut 0,5 ng/ 10.000 cells, 0,3 ng/10.000 cells dan 0,1 ng/10.000
cells. Serum testosteron pada tikus jantan :
1)
Pada tikus yang dikastrasi
: <2 nmol/L
2)
Pada tikus hipogonadisme tanpa kastrasi : 2-10,4 nmol/L
3)
Eugonadal
: 10,4-28 nmol/L
4)
Supraphysiological
: >28 nmol/L (Goldenberg, 2011).
Fungsi biologis hormon testosteron pada mamalia adalah sebagai berikut:
1)
Stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sekresi dari organ-organ genital
aksesori jantan.
2)
Perkembangan sifat karakteristik seksual sekunder jantan.
3)
Turunnya testis.
4)
Meningkatkan spermatogenesis bersama FSH.
5)
Stimulasi proses anabolik dan sintesis dari sitoplasma protein.
6)
Stimulasi pertumbuhan epifisa tulang rawan.
7)
Perkembangan tingkah laku dan libido seksual jantan (Jones, 2008 dalam
Arsani, 2011).
2.7
Pengobatan Late Onset Hypogonadism (LOH) Dengan Testosterone
Replacement Therapy (TRT).
lx
Testosterone replacement therapy pada LOH, ditujukan pada pria tua yang
memiliki level serum testosteron lebih rendah dari normal. Diagnosis LOH
berkaitan dengan level testosteron pada setiap individu. Pada setiap individu
sirkulasi total testosteron dapat menurun dengan range di bawah normal meskipun
bersifat asimptomatis (Kalra et al., 2010).
Pengaruh dari hormon testosteron sangat penting, yang berguna untuk
menjalankan fungsi tubuh secara keseluruhan dan khususnya untuk pertumbuhan
dari organ reproduksi pada pria itu sendiri baik sebelum pubertas, saat pubertas
maupun setelah pubertas. Ketika memasuki usia dewasa bahkan lanjut usia
hormon ini difokuskan untuk perkembangan organ reproduksi, namun ketika
memasuki usia yang tergolong usia tua pada pria dapat terjadi keadaan
hipogonadisme oleh karena defisiensi testosteron (Yassin et al., 2007).
Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% pria berusia 45 tahun atau lebih
tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis dan
diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi
sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan
efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011). Data yang didapatkan pada pemberian
TRT pada pria LOH di Korea menunjukan terjadinya peningkatan level
testosteron, dan mempengaruhi simptom subyektif yang di ukur menggunakan
kuisioner (Hwaii dan Kim, 2011).
Testosteron
dan
derivatnya
dapat
meregulasi
pertumbuhan
dan
perkembangan dari seluruh organ reproduksi pria seperti penis, vesikula seminalis
dan kelenjar prostat. Selama perkembangan, peningkatan produksi testosteron
lxi
memainkan peran penting untuk maturasi dan pertumbuhan fisik dari organ
tersebut beserta fungsinya (Kendeel et al., 2001).
Clinical trials menunjukan terapi testosteron pada hipogonad menyebabkan
pertumbuhan prostat pada ukuran yang sesuai dengan ukuran normalnya, namun
secara statistik menunjukan hasil yang tidak signifikan (Stanworth dan Jones,
2008). Pengobatan dengan testosteron pada keadaan hipogonadisme oleh karena
kastrasi pada tikus coba, ditunjukan pada studi oleh Ono et al. (2004), dengan
pemberian testosteron secara subkutan setelah 12 jam kastrasi menyebabkan
perbaikan dari struktur kapiler pembuluh darah pada vesikula seminalis.
Penelitian yang dilakukan oleh Arsani (2011), menunjukan bahwa dengan
pemberian testosteron injeksi Sustanon® 250 selama 21 hari dapat meningkatkan
ketebalan otot polos corpus cavernosum pada penis tikus jantan yang diabetes
melitus. Temuan tersebut memberi kesan bahwa pemberian terapi hormon seperti
testosteron pada pria yang mengalami hipogonad, dapat memperbaiki kembali
organ-organ reproduksi termasuk pada kelenjar reproduksi yang telah mengalami
penurunan struktur maupun fungsinya, sehingga dapat mempertahankan fungsi
reproduksi secara utuh.
Indikasi terapi testosteron pada pria yakni keadaan hipogonad yang
menunjukan gejala klinis yang kompleks, seperti adanya gejala-gejala
hipogonadisme dan penurunan level hormon testosteron. Ambang batas level
hormon testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi
tergantung pada jenis gejala dan individu (Arver dan Lehtihet, 2008). Formulasi
dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang
lxii
beredar, dan juga dapat menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya
yaitu estradiol dan DHT.
Dahulu penurunan kadar testosteron terkait usia dianggap tidak bisa diobati,
tetapi paradigma ini sekarang telah berubah. Saat ini terapi sulih hormon adalah
yang paling direkomendasikan untuk penanganan andropause. Pemberian
testosteron adalah pilihan paling baik saat ini, walaupun belum ada kesepakatan
ambang standar untuk memulai pengobatan. Kadar testosteron 200 ng/dl yang
diambil pada pagi hari dianggap rendah tetapi angka ini tidak dapat dikaitkan
dengan usia, karena nilai 300 ng/dl mungkin normal untuk pria berusia 65 tahun,
tapi tidak normal untuk usia 30 tahun (Indrayanto, 2011).
Level total testosteron dari eugonadal yang digunakan sebagai variabel
spesifik pasien yaitu sekitar 300-1000 ng/dl (10.4–34.7 nmol), nilai ini digunakan
sebagai acuan dalam penentuan keberhasilan pada TRT. Batas tertinggi untuk
eugonadal sekitar 1000 ng/dl, jika pada hipogonad memiliki nilai di atas angka
tersebut setelah pemberian terapi maka dapat menimbulkan risiko (Harman et al.,
2001), sehingga pemberian TRT ini harus tetap dimonitoring.
Keuntungan terapi testosteron yaitu mempengaruhi komposisi tubuh,
termasuk peningkatan massa otot dan penurunan lemak tubuh. Efek ini dapat
terjadi secara cepat (timbul setelah 3 bulan terapi) dan juga jangka panjang
(setelah 3 tahun). Pemberian TRT mempengaruhi fungsi seksual, yang mana
merupakan hallmark dari pemberian testosteron yaitu peningkatan dari sexual
desire, motivasi dan penampilan (Coss et al, 2014). Pemberian testosteron sesuai
lxiii
resep dokter pertahunnya meningkat sekitar 300% di US antara tahun 2000 dan
2008 dan juga menjadi trend di negara-negara Eropa.
Berdasarkan data yang didapat bahwa keberhasilan dalam pemasaran
preparat testosteron replacement berbanding lurus dengan keberhasilan dalam
intervensi terapiutik pada pasien. Dalam pemberian terapi juga harus diperhatikan
efek samping yang dapat ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka panjang
(Coss et al., 2014). Prinsip penatalaksanaan kadar testosteron adalah
mempertahankan kadar testosteron tetap berada pada nilai normal, jika kadar
testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada di
bawah nilai normal, terapi harus segera diberikan (Indrayanto, 2011).
2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy
Pemberian TRT untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa
sediaan preparat, antara lain: injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel
atau patch), testosteron oral dan testosteron implan. Semua sediaan preparat
tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien
memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb,
2011).
Testosteron mempunyai waktu paruh yang pendek tetapi dengan esterifikasi
waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi intramuskuler. Jenis-jenis ester
yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate,
undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat
testosteron replacement yang ada adalah sustanon ‘250’ yang merupakan oilbased injectable esterized testosteron, yang terdiri dari testosteron propionat 30
lxiv
mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosterone
decanoat 100 mg (Roberts, 2010).
Beberapa
jenis
sediaan
preparat
pemberian
testosteron
yang
direkomendasikan untuk TRT atau sulih testosteron adalah sebagai berikut :
1)
Gel
: 5 sampai 10 gram per hari.
2)
Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari.
3)
Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskuler yang diberikan
pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan
komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad,
khususnya vitalitas, fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor
komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara
statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada
minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang
berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012).
Berikut adalah preparat testosteron yang ada di Indonesia:
1)
2)
Per oral
a.
Testosteron undecanoat 400 mg.
b.
Meterolone tablet 25 mg.
Per intramuskuler injeksi
a.
Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60
mg, testosteron decanoat 100 mg ampul (Sustanon).
b.
3)
Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (Nebido).
Testosteron transdermal
lxv
Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Indrayanto, 2011).
Hasil terapiutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai
kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda, untuk pria dewasa tua sebaiknya
mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006).
Testosterone replacement therapy pada umumnya dilakukan dalam jangka
panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur,
termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi.
2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy
Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron berbeda pada setiap
individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah:
1)
Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual.
2)
Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ:
a.
Efek anabolik (keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan
sebagainya).
b.
Efek pada hematopoesis dan formasi trombus.
c.
Retensi air dan garam.
d.
Efek metabolik lainnya (termasuk pada ginjal, pernapasan, dan
metabolisme tulang).
3)
Efek virilisasi pada wanita.
4)
Mempengaruhi sistem saraf pusat.
5)
Efek terhadap hepar dan hipersensitifitas.
6)
Simptom BPH memburuk atau peningkatan risiko kanker prostat.
7)
Polycythemia.
lxvi
8)
Gynecomastia.
9)
Hypercalcemia.
10)
Emotional (Ullah et al., 2014).
11)
Efek teratogenik.
Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan
alopecia. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler
yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler dan dislipidemi), dan
penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2) (Goodman, 2001).
2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy
1) Memiliki riwayat kanker payudara atau kanker prostat.
2) Tampak nodul atau pengerasan pada prostat.
3) PSA 4 ng/ml atau 3 ng/ml pada pria dengan risiko tinggi untuk kanker
prostat seperti di negara Afrika-Amerika.
4) Sering mengalami sleep apnea.
5) Gangguan atau masalah pada liver.
6) Erythrocytosis (hematocrit 50%).
7) International prostate symptom score di bawah 19.
8) Metastasis kanker prostat.
9) Unexplained PSA elevation 3 ng/ml.
2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy
lxvii
Pasien yang diterapi menggunakan testosteron replacement harus dimonitor
untuk respon dari terapi dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Pasien harus
dievaluasi secara klinis dan diperiksa konsentrasi serum testosteronnya setiap 2-3
bulan setelah pemberian awal dan setelah dosis pemberian selesai. Target
konsentrasi serum testosteron yang diharapkan setelah injeksi testosteron
enanthate atau cypionate sekitar 400–700 ng/dl, yang merupakan nilai normal dari
eugonadal (Endocrine Society Clinical Practice Guideline, 2010). Sebelum
pemberian terapi harus tetap diperhatikan besarnya kebutuhan serta tanda dan
gejala yang terkait dengan rendahnya testosteron pada setiap individu.
Nilai testosteron tertinggi (>1,000 ng/dl) dan terendah (sekitar 300 ng/dl)
konsentrasi tersebut digunakan sebagai respon dari terapi. Beberapa ahli dari
endocrine society clinical practice guideline, mengatakan bahwa terapi sering
diberikan pada pria tua yang memiliki konsentrasi serum testosteron di bawah
nilai normal dari pria yang sehat (300 ng/dl) (Bhasin et al., 2010; Ullah et al.,
2014).
Waktu pengukuran konsentrasi serum bervariasi, tergantung pada preparat
yang digunakan. Testosteron injeksi bentuk ester direkomendasikan harus
diperiksa konsentrasi serumnya pada pertengahan interval antara injeksi pertama
dengan injeksi berikutnya, sedangkan evaluasi 3 sampai 12 jam setelah pemberian
testosteron secara transdermal. Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dan
setelahnya pada pemberian buccal testosteron, pengukuran serum testosteron
tidak kurang dari 1 minggu setelah pasien diterapi menggunakan gel, dan evaluasi
langsung ketika selesai penggunaan dosis interval untuk testosteron pellets,
lxviii
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mendapat nilai normal dari serum
testosteron.
Monitoring untuk efek samping dari TRT harus sudah diperiksa, seperti
konsentrasi PSA, pemeriksaan digital rectal, dan hematocrit harus menjadi dasar
dalam pemeriksaan pada 3 bulan, 6 bulan, selanjutnya setiap tahun setelah terapi.
Kadar hematocrit yang berada di bawah 54%, maka terapi harus distop dulu
sampai kembali ke level yang aman, tapi jika tetap harus diberikan maka dosis
harus diturunkan dan dibandingkan dengan dosis awal. Pertimbangan terapi
diskontinyu dilakukan jika pada pemeriksaan urologi, didapatkan ukuran PSA
yang meningkat dalam interval 6 bulan atau peningkatan serum PSA 1,4 ng/ml
dalam setahun (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).
Ketika pemeriksaan digital rectal ditemukan masalah (tidak nomal) maka
harus dilakukan biopsi untuk kanker prostat, selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan payudara, hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian terapi
selanjutnya. Pada pria dengan riwayat osteoporosis atau pernah trauma fraktur,
densitas mineral tulang pada lumbar spine harus diukur setelah 1 atau 2 tahun
pemberian terapi (Ullah et al., 2014).
lxix
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Late onset hypogonadism atau andropause pada pria disebabkan karena
terjadinya penurunan kemampuan aktivitas dari organ terutama testis yang
berfungsi mensekresikan hormon testosteron, hal ini dikaitkan dengan terjadinya
proses penuaan. Produksi hormon testosteron yang menurun bahkan menghilang
akhirnya akan menimbulkan masalah seperti gangguan vasomotor, penurunan
body performance, menurunnya minat terhadap seksual, disfungsi ereksi,
gangguan ejakulasi yang akhirnya mempengaruhi fungsi seksual dan psikologis
pria serta secara keseluruhan akan berpengaruh pada kualitas hidup pria
andropause.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh pria andropause disebabkan karena
terjadinya kemunduran fungsi dari organ reproduksi pria seperti penis, epididimis,
vesikula seminalis maupun pada kelenjar prostat yang berperan penting dalam
produksi cairan seminal yang berguna untuk ejakulasi. Berdasarkan hasil studi
sebelumnya, defisiensi testosteron pada tikus jantan menyebabkan terhambatnya
proliferasi sel bahkan dapat mengalami apoptosis pada jaringan khususnya pada
kelenjar prostat, karena pertumbuhan prostat sangat tergantung pada konsentrasi
androgen terutama dalam bentuk dihydrotestosterone, yang mana aktivitasnya
dimediasi oleh reseptor androgen pada prostat yang dapat dilihat pada level
messenger RNA dari reseptor tersebut.
50
lxx
Penghilangan
androgen
dengan
cara
kastrasi
pada
tikus
jantan
menimbulkan keadaan defisiensi androgen, sehingga menyebabkan penurunan
dari ekspresi mRNA reseptor androgen pada prostat dan dapat dipulihkan kembali
dengan pemberian testosterone replacement therapy. Peningkatan sintesis reseptor
androgen pada sel-sel dalam kelenjar prostat merupakan respon sel terhadap
pemberian androgen, karena reseptor androgen akan teraktivasi oleh adanya
ikatan bersama dengan androgen dan membentuk kompleks androgen-AR.
Kompleks androgen-AR akan translokasi menuju nukleus untuk berikatan
kembali bersama DNA dan faktor transkripsi. Gen target hasil transkripsi akan
ditranslasi menjadi protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar. Level ekspresi
AR yang meningkat berpengaruh juga pada peningkatan pertumbuhan dari
kelenjar prostat, namun penuaan akan menyebabkan ekspresi AR pada organ
target menurun sehingga proliferasi menjadi terhambat.
Pada tingkat jaringan para ahli mengatakan pemberian testosterone
replacement pada tikus tua menyebabkan peningkatan sedikit baik dari ukuran,
berat maupun volume dari kelenjar prostat, yang terjadi oleh karena adanya
peningkatan sintesis protein sehingga proliferasi pun meningkat. Perbedaannya
dilihat pada tingkat molekuler yang hasilnya masih sangat beragam seperti
terjadinya up atau down-regulate dari reseptor androgen pada kelenjar tersebut.
lxxi
3.2
Konsep Penelitian
Testosterone replacement
therapy
Faktor internal
-
Faktor eksternal
Hormon testosteron
Usia
Kelainan genetik
Psikologis
Penyakit kronis
Kanker prostat
- Obat-obatan
- Efek samping
operasi
- Pola hidup
- Radiasi
Tikus wistar jantan dikastrasi
Ekspresi mRNA reseptor
androgen pada kelenjar prostat
Gambar 3.1
Bagan Konsep Penelitian
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
3.3
Hipotesis Penelitian
Pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi
mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus
norvegicus) jantan yang dikastrasi.
lxxii
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian true experiment dengan menggunakan
posttest only control group design (Pocock, 2008). Skema rancangan penelitian
adalah sebagai berikut:
PO
O1
P
R
S
RA
O2
P1
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian
Keterangan
P
= Populasi
S
= Sampel
R
= Random
RA
= Random Alokasi
PO
= Tikus diberikan plasebo dengan injeksi aquadest secara intramuskuler
selama 21 hari (3 minggu).
53
lxxiii
P1
= Tikus diberikan injeksi testosterone replacement therapy (Sustanon®
250) 4,5 mg/250 grBB, secara intramuskuler selama 21 hari (3 minggu).
O1
= Observasi (ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat
tikus wistar jantan yang dikastrasi) pada kelompok kontrol.
O2
= Observasi (ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat
tikus wistar jantan yang dikastrasi) pada kelompok perlakuan.
4.2
Tempat Dan Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar. Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Mei 2016
dengan jangka waktu 65 hari, dengan rincian sebagai berikut:
a.
Persiapan penelitian seperti, pembersihan lokasi kandang, pengambilan tikus
putih dan adaptasi dilakukan selama 7 hari
b.
Kastrasi dan penentuan dosis dilakukan selama 2 hari
c.
Pemulihan pasca kastrasi selama 21 hari, sambil menunggu efek dari kastrasi
d.
Perlakuan selama 21 hari (3 minggu)
e.
Pembedahan, dan pemeriksaan dengan menggunakan metode realtime PCR
selama 14 hari.
4.3
Penentuan Sumber
Data
4.3.1
Populasi
lxxiv
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tikus wistar (Rattus norvegicus)
yang diternakkan di Balai Besar Veteriner Denpasar.
4.3.2
Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah tikus putih galur wistar jantan berumur 20-22
minggu dan berat badan 250-300 gram.
4.3.3
Teknik sampling
Teknik simple random sampling dengan menggunakan tabel bilangan
random dengan menggunakan komputer.
4.3.4
Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan rumus
(Federer, 2008) :
(t – 1) (r – 1) ≥ 15
Keterangan:
t = jumlah perlakuan
r = jumlah replikasi
Pada penelitian ini jumlah perlakuan adalah 2 maka perhitungan dengan
rumus:
(2 - 1) (r - 1)  15
1 (r – 1)  15
1r – 1  15
r  16
lxxv
Jumlah sampel minimal yang diperoleh adalah 16 untuk mengantisipasi
sampel drop out maka di tambah 10% sehingga sampel menjadi 18 yang akan
dibagi menjadi 2 kelompok, jadi total sampel keseluruhan yaitu 36 ekor tikus.
4.3.5
Kriteria Sampel
Sampel dalam penelitian adalah tikus wistar jantan yang memenuhi kriteria
inklusi sebagai berikut:
4.3.5.1
Kriteria inklusi
a.
Tikus wistar jantan
(Rattus norvegicus)
b.
Umur tikus 20-22
minggu
c.
Berat badan 250-300
gram
d.
Tikus yang sehat
e.
Tikus yang dikastrasi
4.3.5.2
Kriteria drop out
a.
Tikus jantan yang sakit
dan mati saat penelitian berlangsung
b.
Tikus jantan yang mati
saat kastrasi
4.4
Variabel Penelitian
lxxvi
4.4.1
Identifikasi Variabel
Variabel yang diukur adalah ekspresi mRNA reseptor androgen pada
kelenjar prostat.
4.4.2
Klasifikasi Variabel
a.
Variabel independen
adalah pemberian testosterone replacement therapy.
b.
Variabel dependen
adalah ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar
jantan yang dikastrasi.
c.
Variabel terkendali
adalah varian tikus, usia tikus, jenis kelamin, berat badan, lingkungan, nutrisi,
kandang.
4.4.3
Hubungan Antar
Variabel
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Testosterone
Replacement therapy
Ekspresi mRNA reseptor
androgen pada kelenjar
prostat tikus jantan
Variabel Terkendali
-
Umur tikus 20-22 minggu
Jenis kelamin jantan
Varian tikus
BB tikus 250-300 gram
Nutrisi & kandang tikus
Lingkungan
lxxvii
Gambar 4.2
Hubungan Antar Variabel
4.4.4
Definisi Operasional
a.
Tikus
wistar
jantan
adalah varian tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar usia 20-22
minggu yang dikastrasi pada organ testis.
b.
Ekspresi
mRNA
reseptor androgen pada prostat: jumlah gen mRNA reseptor androgen pada
jaringan dari kelenjar prostat, yang dinormalisasi oleh ekspresi gen mRNA
ACTB menggunakan metode relatif kuantifikasi ΔΔCt, dan diukur secara
kuantitatif dengan amplifikasi 1-step qRT-PCR (Kit: Kappa SYBR ®,
Biosystem, USA) menggunakan mesin realtime PCR.
c.
Testosterone
replacement therapy adalah pemberian terapi sulih hormon dengan
memberikan suntikan sediaan hormon testosteron. Pada penelitian ini
digunakan sediaan Sustanon® 250 (produksi pabrik farmasi ScheringPlough) dengan dosis pada manusia adalah 250 mg/ml (Roberts, 2010).
Dosis pada tikus dengan menggunakan konversi perhitungan untuk hewan
dan manusia oleh Laurence dalam Ngatidjan (2006), yaitu konversi dengan
berat badan manusia (70 kg) ke tikus (250 gram) adalah 0,018. Jadi dosis
Sustanon® 250 mg pada tikus kelompok perlakuan : 0,018 x 250 mg = 4,5
mg/250 gram BB tikus.
lxxviii
d.
Umur
tikus
:
ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang didapat dari catatan Balai
Besar Veteriner Denpasar, dengan usia tikus 133-143 hari.
e.
Berat badan : berat
tikus yang ditimbang dengan timbangan digital (merk Camry) dalam gram,
untuk mengontrol asupan nutrisi dan diet agar tikus tetap dalam keadaan
sehat.
f.
Lingkungan
(suhu,
pencahayaan, kelembaban, dan kebersihan) pada tempat penelitian. Nutrisi
pada tikus berupa konsentrat pakan ternak. Kandang berupa kotak plastik
dengan atap penutup dari kawat, yang dilengkapi tempat makan dan minum
dengan setiap kandang dialokasikan untuk 3-4 ekor tikus.
4.5
Bahan Dan Alat
Penelitian
4.5.1
Bahan penelitian
1.
Obat anastesi (ketamin
100 mg/ml).
2.
Testosterone
replacement (Sustanon® 250).
3.
Tikus putih jantan
galur wistar.
lxxix
4.
Makanan tikus berupa
pellet dan air minum.
5.
Aquadest.
6.
Reagen ekstraksi RNA
(RNeasy Protect Mini Kit, Germany) :
7.
1)
Buffer RLT, Buffer RW1, Buffer RPE.
2)
β-mercapethanol (Sigma, USA).
3)
Ethanol 50%.
4)
RNAlater (Ambion, USA).
Reagen One Step qRT-PCR:
1) Kappa SYBR Fast One step qRT-PCR kit (Kappa Biosystems,
USA).
2) dH2O.
3) Agarose powder (Bioline, USA).
4) EZ one (Amresco, USA) / GelGreen (Biothium, USA).
4.5.2
Alat penelitian
1.
Timbangan digital
dalam gram.
2.
Kandang tikus berisi
tempat makanan dan minuman.
3.
Jarum suntik.
4.
Alat bedah.
5.
Papan fiksasi.
lxxx
6.
Syringe hamilton.
7.
Set peralatan ekstraksi
RNA :
8.
1)
Mortar dan Pestel.
2)
Pipette (20-200 &100-1000 µl).
3)
1.5 ml sterile microcentrifuge tube.
4)
Spuit 5 cc.
5)
RNeasy spin column.
6)
2.0 ml collection tube.
7)
Microcentrifuge 5424R Eppendorf.
Set peralatan One Step qRT-PCR :
1)
Thermal cycler Biometra.
2)
Thermal cycler Realtime RotorGene Qiagen/Biorad IQ5.
3)
0.2 µl PCR tube.
4)
Pipette (0.1-100 µl).
5)
UV transilluminator UVP / Dark Reader DR46B Clare Chemical.
6)
Gel casting Embitec.
7)
Gel electrophoresis Embitec.
lxxxi
4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji
Tikus wistar yang dijadikan sampel penelitian adalah tikus wistar jantan
yaitu berusia 20 - 22 minggu dengan berat badan 250-300 gram. Tikus percobaan
yang didapat dari Balai Besar Veteriner Denpasar dipelihara di rumah peneliti,
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: tikus diberikan makanan yang
sesuai standar nutrisi dan yang memenuhi syarat untuk jenis hewan uji, serta
pemberian air minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi, lingkungan yang
sehat dan bersih, suhu ruangan berkisar 28o-32oC, penggunaan insektisida, dan
sebagainya (Ngadtijan, 2006). Tikus ditempatkan dalam kandang yang bersih,
setiap kandang berisi 3 sampai 4 ekor tikus jantan dengan intensitas cahaya dan
sirkulasi udara yang baik serta kandang kuat, kandang tikus dibersihkan setiap 4
hari sekali.
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaaan penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana dan pemeriksaan sampel menggunakan metode
realtime PCR. Berikut langkah-langkah pelaksanaan penelitian:
1)
Populasi tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan dipilih secara random untuk
menentukan kelompok sampel, yang selanjutnya diadaptasi selama satu
minggu dalam kandang. Setelah adaptasi, 36 ekor tikus dikastrasi pada
organ testisnya. Sebelum kastrasi tikus dianastesi terlebih dahulu
menggunakan ketamin dengan dosis 15 mg/250 gr BB tikus (Sarjana dan
Kusumawati, 2004).
lxxxii
2)
Tikus jantan post kastrasi, kemudian ditunggu selama 21 hari untuk melihat
efek dari kastrasi tersebut, berdasarkan studi pendahuluan setelah 21 hari
kastrasi, terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat tikus
(Arini, 2016).
3)
Dilakukan random alokasi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah
18 ekor tikus. Kelompok tikus pertama sebagai kontrol dan kelompok kedua
sebagai kelompok perlakuan.
1)
Setelah
itu
kelompok
kontrol
diberikan
injeksi
aquadest
secara
intramuskuler dan kelompok perlakuan diberikan injeksi Sustanon® 250
dosis 4,5 mg/250 gram BB tikus. Seluruh kelompok diberikan perlakuan
selama 21 hari atau 3 minggu dengan jadwal injeksi perminggunya.
5)
Pada minggu ke-8 setelah pelaksanaan penelitian selesai, seluruh tikus pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dieutanansia menggunakan
kloroform, dan kemudian diterminasi untuk pengambilan kelenjar prostat.
Masing-masing kelenjar tersebut dimasukan ke dalam cairan fiksasi RNA
later, selanjutnya direndam selama kurang lebih 7 hari, sebelum dianalisis
mRNA AR menggunakan metode realtime PCR.
4.6.3 Metode analisis PCR
1)
Persiapan sampel
Sampel jaringan dari hewan coba dipotong dengan ketebalan 5 mm seberat
20 mg kemudian direndam dalam larutan RNA later menggunakan tabung
eppendorf dengan perbandingan 1:20 selama 4 hari dalam suhu 4oC. Sampel
lxxxiii
diambil dari larutan kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf baru
dan disimpan pada suhu -20oC selama 3 hari.
2)
Metode ekstraksi RNA:
a.
Timbang dan ambil sampel (maksimal 15-20 mg).
b.
Hancurkan dan homogenisasi sampel dengan menggiling sampai halus
(menggunakan mortar dan pestel), masukkan jaringan ke dalam tabung
eppendorf, tambahkan buffer RLT 600 ul, homogenisasi dengan jarum 20 G
minimal 5x sedot-keluarkan.
c.
Centrifuge lysate selama 3 menit kecepatan penuh, ambil supernatant secara
hati-hati dan masukkan supernatant ke dalam tabung eppendorf baru.
d.
Tambahkan ethanol 50% 1:1 dan campur melalui pipetting.
e.
Ambil campuran (maksimal 700 ul, termasuk presipitat yang mungkin ada)
ke dalam RNA spin column, lalu centrifuge 15 detik 8000 x g. Buang flowthruogh (collection tube digunakan kembali).
f.
Ulangi langkah diatas sampai semua campuran dimasukkan ke dalam spin
column.
g.
Tambahkan 700 ul buffer RW1 ke dalam spin column, centrifuge selama 15
detik pada 8000 x g. Buang flow-through (collection tube digunakan
kembali).
h.
Tambahkan 500 ul buffer RPE ke dalam spin column, centrifuge 15 detik
pada 8000 x g. Buang flow-through (collection tube digunakan kembali).
i.
Tambahkan 500 ul buffer RPE ke dalam spin column, centrifuge 2 menit
pada 8000 x g. Buang flow-through.
lxxxiv
j.
Pindahkan spin column ke dalam collection tube 2 ml baru, centrifuge
selama 1 menit pada kecepatan maksimal.
k.
Pindahkan spin column pada tabung 1,5 ml, tambahkan 30-50 ul RNAase
free-water langsung pada membrane spin column, centrifuge selama 1 menit
pada 8000 x g.
l.
Ulangi langkah diatas atau gunakan elute dan centrifuge ulang.
m.
Simpan pada -20oC sebelum dilanjutkan pada langkah berikutnya.
3)
Metode Kuantifikasi Absolut 1-step qRT-PCR
Kuantifikasi absolut 1-step qRT-PCR dilakukan dengan menggunakan
primer:
Tabel 4.1
Primer Androgen
Sequence 5’-3’
Target
Forward Gen Androgen Receptor
GGAGAACTCTTCAGAGCAAG
Reverse Gen Androgen Receptor
AGCTGAGTCATCCTGATCTG
(Kim et al., 2013)
Amplifikasi dengan mesin PCR akan dilakukan dalam total volume 20 µl,
terdiri dari 100 ng RNA dari sampel, Kapa Sybr Fast 2X, Kapa RT mix (50X),
distilled water sampai 20 µl. Amplifikasi akan dilakukan pada mesin thermal
cycler selama 40 siklus menggunakan protokol sebagai berikut:
Langkah
Tabel 4.2
Langkah-langkah Amplifikasi
Temperatur
Durasi
Siklus
Sintesis cDNA
42oC
5 menit
Hold
Inaktivasi RT
95oC
5 menit
Hold
Denaturasi
95oC
3 detik
40
lxxxv
Annealing
Melting
60oC
20 detik
Mengikuti instruksi instrumen
(Kim et al., 2013).
Hasil amplifikasi realtime PCR berupa cycle threshold (Ct) atau disebut
juga sebagai ekspresi relatif yang didapat dalam angka dan grafik (Lampiran 3),
kemudian dianalisis kuantitatif menggunakan piranti lunak REST dengan rumus
(Y=slope Ln(X)+Y-int), nilai Slope Y dan Y-int didapat saat pembuatan kurva
standar androgen. Rumus tersebut digunakan untuk menentukan ekspresi absolut
kuantifikasi ΔΔCt atau untuk mendapatkan konsentrasi X (kadar mRNA pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan), yang mana jika dimasukan ke dalam
rumus menjadi: kadar mRNA= Exp(Ct-Y-Int)/Slope (Kim et al., 2013).
Ekspresi absolut kadar mRNA dalam satuan pg/µl yang telah didapat dari
piranti lunak REST dilanjutkan dengan menggunakan analisis statistik. Kurva
standar androgen juga dibuat dengan metode realtime PCR, dan digunakan untuk
menentukan nilai mutlak (absolut) ekspresi mRNA AR dari nilai Ct (relatif) yang
didapatkan melalui mesin realtime PCR. Ekspresi Glyseraldehida posphate
dyhidrogenase (GAPDH) yang didapat setelah amplifikasi, digunakan untuk
menormalisasikan nilai Ct dan sebagai indikator dalam menentukan apakah
pemeriksaan yang dilakukan dengan realtime PCR sudah benar dan sesuai dengan
prosedur (Shidaifat, 2009).
lxxxvi
4.6.4 Alur Penelitian
36 tikus wistar jantan diadaptasi dalam
kandang selama satu minggu
Setelah adaptasi 36 tikus dikastrasi dan ditunggu
selama 21 hari untuk melihat efek kastrasi yaitu
terjadinya penurunan ekspresi mRNA AR pada
kelenjar prostat
36 ekor tikus jantan pasca kastrasi
18 tikus diberi injeksi
aquadest selama 21 hari (3
minggu) yang diinjeksi 1
kali seminggu
18 tikus diberi injeksi
sustanon 4,5 mg/250 grBB
tikus, selama 21 hari (3
minggu) yang diinjeksi 1
kali seminggu
Pengambilan sampel kelenjar prostat untuk
pemeriksaan ekspresi mRNA reseptor androgen
menggunakan realtime PCR
Analisis data
Simpulan
Gambar 4.3
lxxxvii
Alur Penelitian
4.7
Analisis Data
Data yang didapat dari penelitian ini disusun dalam bentuk tabel dan
dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS 21. Analisis data
dalam penelitian meliputi (Dahlan, 2012):
1.
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini menjelaskan tentang karakteristik
sampel yang meliputi: umur dan berat badan serta ekspresi mRNA reseptor
androgen.
2.
Analisis normalitas
Uji normalitas data tiap kelompok dilakukan dengan Saphiro-Wilk test oleh
karena data tiap kelompok kurang dari 30, pada taraf kepercayaan 95%.
Distribusi ekspresi mRNA reseptor androgen pada masing-masing
kelompok berdistribusi normal p > 0,05.
3.
Analisis homogenitas
Uji homogenitas varian antar kelompok dilakukan dengan Levene’s test.
Varian data dari ekspresi mRNA reseptor androgen pada masing-masing
kelompok homogen p > 0,05.
4.
Uji efek perlakuan
Karena data berdistribusi normal, maka uji kemaknaan menggunakan
independent-t test.
lxxxviii
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan true eksperiment dengan post test only control
group design, menggunakan 36 ekor tikus jantan galur wistar (pasca kastrasi
selama 21 hari) berusia 20-22 minggu, sehat dengan berat badan 250-300 gram
sebagai sampel, yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kontrol (injeksi
plasebo/aquadest intramuskuler) dan kelompok perlakuan (injeksi testosteron
replacement/Sustanon® 250 intramuskuler dengan dosis 4,5mg/250 gram BB
tikus, diberikan seminggu sekali selama 3 minggu) yang masing-masing
berjumlah 18 ekor tikus. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas
data, homogenitas dan uji efek perlakuan.
5.1
Analisis Deskriptif
Karakteristik data pada sampel penelitian yang meliputi: umur dalam hari
dan BB dalam gram pada kelompok kontrol dan kelompk perlakuan
disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.1
Rerata Umur Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan
Kelompok
n
Mean umur
Min
Max
(hari)
Kontrol
18
144
136
148
Perlakuan
18
144
142
148
Berdasarkan tabel 5.1 di atas, menunjukan bahwa rerata umur pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak berbeda.
lxxxix
68
Tabel 5.2
Rerata Berat Badan Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan
Kelompok
n
Mean BB
Min
Max
(gram)
Kontrol
18
264
253
284
Perlakuan
18
275
258
294
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, menunjukan bahwa rerata berat badan pada
kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.
Rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada tikus kastrasi dan
tikus kastrasi yang diberikan perlakuan disajikan pada tabel 5.3 di bawah
ini:
Tabel 5.3
Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Mean (pg/µl)
Min
Max
Kontrol
0,5701
0,29
0,87
Perlakuan
0,7752
0,44
1,11
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, menunjukan bahwa terjadi peningkatan
ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok perlakuan sebab
reratanya lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
5.1.1 Analisis deskriptif pada studi pendahuluan
Rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada tikus kastrasi dan
tikus kastrasi yang diberikan perlakuan disajikan pada tabel 5.4 berikut ini:
xc
Tabel 5.4
Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Kelompok
Perlakuan
Kelompok
n
Mean
Min
Max
(pg/µl)
Kontrol
2
2,05
1,76
2,35
Perlakuan I
2
4,49
2,93
6,05
Perlakuan II
3
3,46
2,93
4,01
Perlakuan III
3
2,57
1,44
3,50
Berdasarkan tabel 5.4 di atas, menunjukan bahwa terjadi peningkatan
ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok perlakuan sebab
reratanya lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dan kelompok perlakuan
pertama memiliki rerata paling tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan
lainnya.
5.2
Distribusi Dan Homogenitas Data Hasil Penelitian
Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, data hasil penelitian ekspresi
mRNA AR pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan uji
distribusi dan variannya.
5.2.1 Uji normalitas data
Data ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat pada masingmasing kelompok diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya
xci
menunjukan data berdistribusi normal (p>0,05), yang dapat disajikan pada tabel
berikut:
Tabel 5.5
Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA AR Pada Kelompok
Kontrol Dan Kelompok Perlakuan
Kelompok subyek
n
p
Ket
Kontrol
18
0,289
Normal
Perlakuan
18
0,078
Normal
Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa masing-masing kelompok
berdistribusi normal (p>0,05).
5.2.2 Uji homogenitas data
Data ekspresi mRNA reseptor androgen diuji homogenitasnya dengan
Levene’s test. Hasilnya menunjukan data homogen (p>0,05), disajikan pada tabel
5.6 berikut:
Tabel 5.6
Hasil Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA AR Pada Kelompok
Kontrol Dan Kelompok Perlakuan
Kelompok subyek
n
df
p
Ket
Kontrol
18
1
0,119
Homogen
Perlakuan
18
34
0,119
Homogen
Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan varian data masing-masing
kelompok homogen (p>0,05).
5.3
Uji Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi mRNA reseptor
androgen antara kelompok kastrasi dan kelompok kastrasi yang diberikan
xcii
perlakuan berupa injeksi testosteron replacement (Sustanon®250). Analisis
kemaknaan menggunakan independent-t test oleh karena data hasil penelitian
telah berdistribusi normal dan homogen, yang disajikan pada tabel 5.7 berikut:
Tabel 5.7
Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan
Kelompok Perlakuan
Kelompok subyek
n
Mean (pg/µl)
SD
t
p
Kontrol
18
0,57
0,17
Perlakuan
18
0,77
0,21
-3,19
0,003
Berdasarkan tabel 5.7, menunjukan bahwa rerata ekspresi mRNA AR
prostat pada kelompok kontrol adalah 0,57 + 0,17 pg/µl dan kelompok perlakuan
adalah 0,77 + 0,21 pg/µl. Analisis kemaknaan menggunakan independent-t test,
menunjukan nilai t = -3,19 dan nilai p = 0,003. Berdasarkan hal tersebut berarti
bahwa rerata ekspresi mRNA AR pada kedua kelompok berbeda secara bermakna
(p < 0,05).
xciii
Gambar 5.1 Perbandingan Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok
Kontrol Dan Kelompok Perlakuan.
Berdasarkan gambar 5.1 di atas, menunjukan bahwa ekspresi mRNA
reseptor androgen pada kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan
hormon testosteron lebih besar daripada kelompok kontrol yang hanya dikastrasi.
5.3.1 Uji efek perlakuan pada studi pendahuluan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi mRNA reseptor
androgen antara kelompok kastrasi dan kelompok kastrasi yang diberikan
perlakuan. Analisis kemaknaan menggunakan Kruskal-Wallis test oleh karena
data hasil studi pendahuluan berdistribusi normal namun tidak homogen
(Lampiran 9), yang disajikan pada tabel 5.8 berikut:
xciv
Tabel 5.8
Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan
Kelompok Perlakuan
Kelompok
n
Mean
SD
df
P
(pg/µl)
Kontrol
2
2,05
1,76
Perlakuan I
2
4,49
2,93
Perlakuan II
3
3,46
2,93
Perlakuan III
3
2,57
1,44
3
0, 217
Berdasarkan tabel 5.8 di atas, menunjukan bahwa rerata ekspresi mRNA AR
prostat pada kelompok kontrol (2,05 + 1,76 pg/µl), kelompok perlakuan pertama
(4,49 + 2,93 pg/µl), kelompok perlakuan kedua (3,46 + 2,93 pg/µl) dan kelompok
perlakuan ketiga (2,57 + 1,44 pg/µl). Analisis kemaknaan menggunakan
Kruskall-Wallis, menunjukan nilai p= 0,217. Berdasarkan hal tersebut berarti
bahwa rerata ekspresi mRNA AR pada keempat kelompok tidak berbeda secara
bermakna (p > 0,05).
xcv
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Subyek penelitian
Penelitian ini menggunakan 36 ekor tikus jantan galur wistar (pasca kastrasi
selama 21 hari). Ekspresi mRNA reseptor androgen baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok perlakuan diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-wilk
dan uji homogenitas menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukan bahwa
semua data berdistribusi normal dan homogen, sehingga digunakan uji parametrik
yaitu independent-t test.
6.2
Penurunan Ekspresi mRNA AR Prostat Pasca Kastrasi
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan rerata ekspresi mRNA AR prostat
pada kelompok kontrol adalah 0,57 + 0,17 pg/µl dan kelompok perlakuan adalah
0,77 + 0,21 pg/µl. Hasil temuan tersebut menunjukan bahwa ekspresi mRNA AR
pada kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan,
disebabkan karena kelompok kontrol yang hanya dikastrasi saja tanpa diberikan
injeksi testosterone replacement therapy, menyebabkan keadaan defisiensi
testosteron menjadi menetap sehingga ekspresi reseptor androgennya di dalam
jaringan prostat lebih rendah.
Reseptor androgen memainkan peran penting pada aktivitas androgen
melalui faktor transkripsi nuklear, ikatan reseptor dengan androgen menjadi
sangat stabil untuk berikatan kembali bersama DNA dan untuk menstimulasi gen
xcvi
74
transkripsi yang sangat tergantung dengan adanya androgen (Zhu et al., 2000).
Reseptor androgen merupakan ligand-activated faktor transkripsi yang memediasi
sinyal dari semua androgen termasuk DHT, yang merupakan androgen terbesar
terkait dengan perkembangan prostat serta aktivitas AR pada jaringan target
tergantung pada AR signalling (Verrijdt et al., 2003).
Reseptor androgen secara struktural dan fungsional mengandung tiga
domain (transaktivasi, DNA-binding dan ligand-binding domain). Ekspresi AR
diinduksi oleh peningkatan AR promoter (bagian DNA) dalam mekanisme
transaktivasi. Ikatan dengan androgen akan menginduksi aktivasi kaskade yang
menghasilkan transkripsional yang aktif dari AR (mRNA AR). Ligand binding
domain (LBD) merupakan ligand yang terkait dengan chaperones (HSP90 dan
HSP70) yang juga berperan dalam proses aktivasi reseptor. Chaperones bekerja
pada apoAR (monomers AR) yang memiliki afinitas tinggi untuk membentuk
LBD guna merespon hormon (Zhu dan Kyprinaou, 2008).
Fungsi utama dari AR adalah sebagai faktor transkripsi DNA-binding yang
meregulasi ekspresi gen. Reseptor androgen merupakan protein yang mengikat
testosteron secara langsung atau metabolit aktifnya yaitu DHT. Penghilangan
androgen dengan cara kastrasi akan menimbulkan kegagalan dari proses sintesis
AR di dalam sel targetnya seperti pada prostat, karena tidak adanya ikatan
bersama antara reseptor dan ligannya, sehingga menyebabkan mekanimse
autoregulasi terhenti. Pada keadaan ini diketahui juga suatu protein corepressor
ikut berperan serta dalam penghentian proses tersebut, yang mana akhirnya akan
xcvii
mempengaruhi sintesis protein di dalam sel-sel kelenjar prostat yang berguna
untuk proliferasi sel.
Defisiensi androgen lama-kelamaan akan menimbulkan penurunan AR
message/µg DNA seiring dengan pertambahan usia terutama pada tikus yang
dikastrasi, jika AR message terus menurun dan tidak dipulihkan kembali maka
akan menimbulkan masalah, yaitu selain mempengaruhi organ reproduksi juga
akan mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan. Konsentrasi AR message di
dalam sel yang menurun bahkan menghilang akibat kastrasi, menyebabkan
degradasi dari gen AR hasil transkrip (mRNA AR), yang merupakan produk
secretory utama pada suatu region seperti pada kelenjar prostat (Liao et al., 2006).
Kompleks Androgen-AR (AR-dependent) tidak terbentuk, oleh karena tidak
tersedianya androgen yang menstimulasi AR maka menyebabkan. Pada ketiadaan
hormon androgen tersebut, menyebabkan reseptor androgen monomers berikatan
kembali bersama seluler chaperones seperti protein heat shock (HSP90, HSP70,
HSP56 dan immunophilins), sehingga reseptor menjadi inaktif kembali. Proteinprotein tersebut berperan secara tidak langsung dalam perubahan bentuk reseptor
terutama dalam efisiensi LBD.
Penelitian oleh Kim et al. (2013), membuktikan bahwa pada penyakit
diabetes melitus diketahui terjadi penurunan ekspresi AR yang dijelaskan secara
genomic, dimana terjadi proses methylation DNA secara menyeluruh dari sel.
Proses metilasi merupakan peristiwa penambahan gugus metil (CH3) pada atom C
nomer 5 dari cincin pirimidin (citosin) pada eukariot atau cincin purin (adenin)
pada prokariot, yang mengakibatkan terjadinya silencing pada ekspresi gen.
xcviii
Gugus metil ditambahkan oleh enzim metilase dan akan hilang pada pembentukan
zigot, tapi prosesnya berangsur-angsur kembali selama tahap perkembangan
seiring dengan pertambahan usia. Proses metilasi dari residu sitosin dapat
mengakibatkan DNA yang aktif menjadi tidak aktif.
Hipogonadisme yang disebabkan karena penyakit diabetes mengakibatkan
sel-sel mengalami penurunan fungsi dan dapat dipastikan telah terjadi metilasi
DNA secara menyeluruh (Kim et al., 2013). Pada peristiwa metilasi terjadi
perubahan struktur kromatin dan silencing ekspresi gen sehingga dikaitkan juga
dengan terjadinya proses penuaan. Aktivitas DNA metiltransferase ini merupakan
mekanisme yang penting untuk penurunan DNA selama proses penuaan (Kim et
al., 2009).
Berdasarkan hal tersebut, bahwa pada kastrasi juga terjadi methylation DNA
AR pada bagian promoter (region yang kaya protein citosin dan guanin/5’CpG
dinukleotida), dan modifikasi histon yang menyebabkan ikatan dengan faktor
transkripsi menurun sehingga DNA AR tidak dapat menjalani proses transkripsi
(transkripsi inaktif) untuk membentuk gen AR hasil transkrip, sehingga
menurunkan ekspresi mRNA AR dan protein pada prostat. In vitro metilasi DNA
dari 5’CpG AR dinukleotida dikaitkan dengan hilangnya ekspresi AR dan
reexpression dikaitkan dengan region demetilasi (Maegawa et al., 2010).
Pada proses penuaan juga terjadi kerusakan DNA oleh karena pembentukan
radikal bebas sehingga akan mempengaruhi ekspresi gen. Kastrasi juga
menyebabkan terjadinya kerusakan DNA pada kelenjar prostat, oleh karena sel
mengalami stress oksidatif sehingga menimbulkan respon berupa gangguan dalam
xcix
proses replikasi dan transkripsi dari DNA AR, yang akhirnya akan menimbulkan
penurunan ekspresi mRNA AR seperti yang terjadi pada kelompok kontrol.
Kerusakan DNA akibat kastrasi yang berlangsung lama dan tidak dipulihkan
kembali maka akan menginduksi program kematian dari androgen-dependent
pada prostatic glandular cells, dan dibantu oleh protein tumor supressor gene
(p53) akan menginduksi gen pro-oksidan menyebabkan peningkatan reactive
oxygen species (ROS) di dalam sel. Peningkatan ROS menyebabkan terjadinya
fragmentasi DNA pada reseptor dan selanjutnya mengalami peristiwa apoptosis,
sehingga akan berpengaruh juga pada mekanisme autoregulasi serta sintesis
protein di dalam sel (Berges et al., 2003).
Penelitian oleh Liao et al. (2006), menunjukan bahwa kompleks androgenAR
secara
kuat
berhubungan
dengan
RNA
(bentuk
cytoplasmic
ribonucleoproteins dan nuklear), beliau berspekulasi bahwa interaksi antara ARRNA merupakan peristiwa yang fisiologis seperti proses, transport, dan
pembentukan RNA. Defisiensi androgen setelah kastrasi akan menyebabkan
hilangnya hubungan AR-RNA dan fungsinya, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Oleh karena itu akan menimbulkan atropi jaringan pada organ target
seperti yang terjadi pada kelenjar prostat dari kelompok kontrol, sehingga
menyebabkan produksi cairan seminal terutama oleh prostat menjadi berkurang.
Menurut Klentze (2003), salah satu akibat dari penuaan adalah terjadinya
gangguan pada organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi
dari ovarium, labia, rahim, penis dan testis, sehingga keadaan tersebut akan
menimbulkan penurunan hormon seks steroid termasuk juga androgen.
c
Berdasarkan penelitian tahun 2006, defisiensi testosteron pada tikus jantan akibat
kastrasi dapat menyebabkan terhambatnya proliferasi dan terjadinya atropi pada
kelenjar aksesori genital. Setelah ablasi androgen, prostat dan vesikula seminalis
menurun sekitar 10% dari berat normalnya dan penurunan stroma (Justulin et al.,
2006).
6.3
Peningkatan ekspresi mRNA AR prostat setelah pemberian testosterone
replacement therapy (TRT)
Hasil analisis kemaknaan menunjukan nilai t = -3,19 dan nilai p = 0,003,
menunjukan bahwa terjadi peningkatan ekspresi mRNA AR pada prostat secara
bermakna antara kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon TRT,
dengan kelompok kontrol yang hanya dikastrasi (p<0,05) dengan persentase
sebesar 35%. Keadaan tersebut disebabkan karena pemberian hormon testosteron
ini dapat mempengaruhi secara positif ekspresi AR di dalam kelenjar prostat.
Berdasarkan kejadian tersebut, terbukti bahwa testosteron dapat memulihkan
keadaan defisiensi yang sebelumnya terjadi.
Secara genomic pemberian hormon testosteron mengalami demetilasi
regulator (penghilangan gugus metil), pada region yang mulanya mengalami
peristiwa metilasi DNA AR pada prostat akibat dari kastrasi. Demetilasi tersebut
akan menyebabkan gen menjadi aktif, dan regulasi transkripsi mulai berlangsung
kembali atau AR diekspresikan kembali menjadi gen yang responsif terhadap
hormon androgen (Maegawa et al., 2010).
ci
Pemberian testosteron ini juga menyebabkan perbaikan DNA (DNA repair)
pada AR di prostat yang awalnya mengalami kerusakan, yang bertujuan agar sel
tidak mengalami apoptosis ataupun penuaan. Androgen diketahui dapat
menginduksi gen p21 sebagai penahan siklus sel sebelum menuju proses
perbaikan DNA, dan dikatakan sebagai protein multifungsional karena berfungsi
untuk mengontrol siklus sel, DNA repair dan antiapoptosis (Shan et al, 2009),
sehingga proses transkripsi dapat berjalan kembali. Berdasarkan hal tersebut,
menunjukan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi up regulates dari ekspresi
mRNA AR pada prostat oleh karena pemberian testosteron yang dibandingkan
dengan kontrol.
Sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Takeda et al. (2001),
membuktikan bahwa androgen menyebabkan up-regulates dari AR pada prostat,
hal ini disebabkan karena AR teraktivasi oleh karena adanya ikatan bersama
androgen serta peningkatan sintesis dan half-life merupakan respon sel terhadap
androgen (Sanborn et al., 2001), sehingga akan menghasilkan peningkatan dari
level reseptor protein di dalam jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Marilia et
al. (2009), half-life AR pada hipogonad diketahui sekitar 1-1,5 jam, selanjutnya
setelah pemberian 10 nM DHT didapatkan half-life AR yang signifikan yaitu
sekitar 10-11 jam.
Ekspresi mRNA AR pada prostat yang mulanya menurun seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, dipulihkan dengan pemberian testosterone replacement
therapy, ketika testosteron yang disintesis dalam testis di bawah kontrol LH dari
pituitari, setelah memasuki sel-sel targetnya akan dimetabolisme menjadi 5α-DHT
cii
oleh enzim 5α-redukatse type 2 (Shidaifat, 2009). Dihidrotestosteron akan
menstimulasi reseptor androgen yang mulanya inaktif di dalam sitoplasma prostat
untuk berikatan bersama membentuk kompleks androgen-AR (DHT-AR),
sehingga menghasilkan perubahan bentuk reseptor seperti pengaktifan AR dan
pelepasan seluler chaperones.
Proses ikatan tersebut dipengaruhi oleh AR signalling (cAMP, cGMP dan
ligase), jika AR signalling meningkat oleh karena pengaruh androgen maka
menyebabkan peningkatan juga pada mekanisme posttranskripsi mRNA AR,
mRNA processing, transport dan stabilitas mRNA AR serta AR messages juga
mulai beregulasi kembali (Zhu dan Kyprinaou, 2008), hal ini penting untuk
aktivitas dari kompleks reseptor bersama DNA di dalam nukleus.
Hormon yang berdifusi ke dalam sel selain berikatan dengan reseptor di
cytoplasmic dan membentuk kompleks androgen-AR, selanjutnya juga akan
berikatan dengan reseptor nuclear dengan peran serta dari AR messages.
Kompleks androgen-AR yang telah aktif yang disebut juga AR-dependent,
mengalami dimerisasi dan translokasi menuju nukleus. Reseptor androgen dimer
akan berikatan dengan squence DNA spesifik (pada bagian promoter) yang
dikenal sebagai sequence androgen respone elements (AREs) dan membentuk
DNA-binding. Promoter DNA merupakan sequence yang dikenali pertama kali
oleh RNA polimerase II (protein regulator) untuk menjalankan proses transkripsi.
Protein lain termasuk coactivators dan faktor transkripsi juga akan berikatan
bersama pada DNA dan AR-dependent di dalam nukleus sehingga menghasilkan
transkripsional yang aktif (Weigel dan Zhang, 2007). Gen target (mRNA) di
ciii
dalam jaringan prostat, sebagai hasil transkripsi akan ditranslasi oleh ribosom
untuk memproduksi protein spesifik, hasil sintesis protein itulah yang akan
menimbulkan terjadinya respon sel berupa proliferasi dan diferensiasi sel pada
organ target termasuk pada kelenjar prostat (Haelans et al., 2001).
Setiap jaringan atau sel mengandung reseptor androgen dan respon terhadap
hormon androgen akan menghasilkan perbedaan ekspresi dari AR, hal tersebut
menyebabkan ekspresi AR pada setiap tipe jaringan ataupun organ akan berbedabeda. Ekspresi AR di dalam setiap region dari jaringan tersebut juga sangat
bervariasi, disebabkan oleh karena terjadinya mekanisme autoregulasi (regulasi
transkripsi maupun translasi protein) yang berbeda pada setiap region spesifik,
namun mekanisme autoregulasi tersebut belum jelas. Regulasi dari ekspresi AR
oleh karena androgen merupakan mekanisme yang penting untuk meregulasi sel
atau jaringan yang responsif terhadap androgen.
Penelitian oleh Zhu et al. (2000), menunjukan bahwa konsentrasi AR pada
sel
Leydig
dan
Sertoli
memiliki
perbedaan
regulasi
selama
masa
perkembangannya. Androgen replacement menyebabkan perbaikan secara utuh
dari level nuklear AR pada sel Sertoli, namun pada myoid dan sel Leydig
perbaikannya hanya sebagian saja. Responnya juga berbeda antara sel stroma dan
sel epitelium. Hasil ini mengindikasikan bahwa level AR pada nukleus sel Sertoli
dewasa sangat tergantung pada level androgen dan tipe sel epitelium juga sensitif
terhadap androgen (Zhu et al., 2000).
Level AR sangat dikaitkan dengan proliferasi dan kematian sel, maka jika
terjadi peningkatan ekspresi AR akan berpengaruh positif juga pada pertumbuhan
civ
dari organ target (Culig, 2004), sebaliknya jika terjadi penurunan ekspresi AR
maka lama-kelamaan sel akan mengalami apoptosis. Penelitian oleh Banerjee et
al. (2001), mengatakan bahwa ekspresi AR terbukti menurunkan pertumbuhan
dari lobus ventral kelenjar prostat seiring bertambahnya usia, karena ekspresi AR
pada organ target ditemukan menurun pada penuaan (Prakash et al., 2003).
Defisiensi androgen akan menurunkan kapasitas binding dari AR (Paris et
al., 2004), seperti yang terjadi pada tikus yang dikastrasi dapat menyebabkan
penurunan dari kapasitas binding dan dapat dipulihkan dengan pemberian hormon
testosteron, karena terjadi pembentukan AR-dependent yang selanjutnya
menyebabkan pemulihan secara cepat dari AR ligand binding.
Androgen yang cukup akan merangsang AR untuk membentuk suatu ikatan
dengan androgen, dan akan mengalami pengaktifan dan dimerisasi reseptor dan
siap berikatan kembali bersama DNA di dalam nukleus, selanjutnya mengalami
proses transkripsi dan translasi, begitupula sebaliknya pada keadaan defisiensi
androgen tentunya menyebabkan berkurangnya ikatan antara androgen dengan
reseptornya sehingga kompleks androgen-AR akan menurun, yang pada akhirnya
akan menimbulkan penghambatan pertumbuhan kelenjar prostat oleh karena
menurunnya sintesis protein.
Berdasarkan hal tersebut, jadi betapa pentingnya ekspresi AR untuk
meregulasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar prostat terutama jika
dikaitkan dengan faktor penuaan. Mekanisme autoregulasi seperti translasi
protein, proses posttranskripsi dan stabilitas AR dikaitkan dengan adanya ekspresi
AR. Ketiadaan pengiriman pesan ke nuklear oleh AR message pada ketiadaan
cv
androgen, akan menyebabkan akumulasi pesan di dalam nukleus sehingga
menimbulkan pengaruh pada proses translasi yang tidak dapat berjalan.
Data hasil penelitian menunjukan peningkatan ekspresi mRNA AR hanya
sebagian kecil saja, hal ini kemungkinan dikarenakan pada kelenjar prostat lebih
responsif terhadap DHT dibandingkan dengan testosteron, dan konsentrasi DHT
di dalam prostat 15-20 kali lebih tinggi daripada testosteron begitupula dengan
reseptornya. Jumlah testosteron yang lebih sedikit disebabkan karena hormon
testosteron memisahkan diri 3 kali lebih cepat daripada DHT. Testosteron kurang
efektif
untuk
menstabilisasi
AR
sedangkan
hasil
konversinya
(DHT)
menghasilkan reaksi yang lebih stabil dan kompleks steroid-AR yang potensial
berguna untuk pertumbuhan dan fungsi dari prostat (Wright et al., 2006).
Penelitian oleh Shidaifat (2009), menunjukan ekspresi gen 5α reduktase
pada prostat secara signifikan mengalami down-regulation pada anjing muda dan
tua jika dibandingkan dengan immature, namun tidak signifikan berbeda jika
ekspresinya dibandingkan antara anjing muda dan tua. Ekspresi gen 5α reduktase
juga ditemukan menurun pada ventral prostat setelah kastrasi (Miyamoto et al.,
2006).
Berdasarkan temuan tersebut dengan kata lain kastrasi akan menyebabkan
5α reduktase berkurang sehingga konversi dari testosteron menjadi DHT sedikit
terganggu, hal ini menyebabkan kelenjar prostat tidak mendapatkan androgen
khususnya DHT secara optimal. Meskipun dengan peningkatan AR yang sedikit
kelenjar prostat tetap dapat tumbuh, oleh karena adanya faktor pertumbuhan
disamping hormon androgen sehingga perkembangannya pun menjadi stabil.
cvi
Bagaimanapun juga faktanya, hormon androgen dalam hal ini testosteron
berfungsi dalam memelihara organ reproduksi seperti testis, penis, epididimis
termasuk juga pada kelenjar prostat melalui kerja reseptornya. Pemberian hormon
testosteron ini sangat penting untuk memelihara fungsi tubuh secara keseluruhan
terutama pada usia tua. Menurut Dandona et al. (2009), pada andropause dengan
gejala-gejala hipogonad, pemberian hormon sulih testosteron (testosterone
replacement therapy) dapat meningkatkan fungsi seksual dan memelihara
karakteristik seks sekunder, sehingga sangat direkomendasikan untuk memulihkan
keadaan defisiensi androgen pada pria andropause.
cvii
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
6.1
Simpulan
Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pemberian testosterone replacement therapy meningkatkan ekspresi mRNA
reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus)
jantan yang dikastrasi.
6.2
Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan metabolit aktif
dari testosteron seperti DHT terhadap ekspresi reseptor androgen pada
kelenjar reproduksi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian testosterone
replacement therapy terhadap ekspresi reseptor androgen pada kelenjar
aksesori genital lainnya seperti vesikula seminalis.
3. Melakukan penelitian mengenai pemberian testosterone replacement
therapy pada kelenjar reproduksi pada tikus tua dengan membandingkan
antara ekspresi reseptor androgen dan reseptor estrogen pada kelenjar.
cviii
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Testosterone Replacement Theray. Advisor Committee Industry
Briefing Document [cited 2016 June 06] Available from: URL:
http:/www.FDA.Gov/Download/Advisor committee/UCM412357. United
States 17-20 September.
Araujo, A.B., O’donnell., Brambilla, D.J. 2004. Prevalence And Incidence Of
Androgen Deficiency In Middle-Aged And Order Men: Estimates From The
Massachusetts Male Aging Study. J clin Endocrinol Metab. PMC. Vol 89.
p.5240-5247.
Arini, L.A. 2016. “Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan
Ekspresi mRNA Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar
(Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi” (penelitian pendahuluan).
Denpasar: Universitas Udayana.
Arsani, A. 2011. “Terapi Sulih Testosteron Meningkatkan Ketebalan Otot Polos
Korpus Kavernosum Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Diabetes Melitus”.
(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Arun, K.R., Tyagi, S.C., Song,Y., Lavrovsky, C., Soon, T. 2001. Androgen
Receptor: Structural Domains and Functional Dynamics After LigandReceptor Interaction. An. NY Acad. Sci. Vol. 949. p. 44-57.
Arver, S., Lehtihet, M. 2008. Testosterone Replacement Therapy. In: Jones, T.H.
editor. Testosterone Deficiency in Men. New York: Oxford University. p.
71-77.
Banerjee, P., Banerjee, S., Brown, T.R. 2001. Increased Androgen Receptor
Expression Correlates With Development Of Age-Dependent, LobeSpecific Spontaneous Hyperplasia Of Rat Prostate. Endocrinol. Vol. 142. p.
4066-4075.
Bebb, R.A. 2011. Testosteron Deficiency: Practical Guidelines for Diagnosis and
Treatment. BCMJ. Vol. 53. p. 474-479. [cited 2015 Agust 28] Available
from: URL: http://www.hemj.org/articles/testosterone-deficiency-practicalguidelines-diagnosis-and- treatment.
Belanger, R., Conant, S., Grabowski, G. 2013. Using Castration Surgery In Male
Rats To Demonstrate The Physiological Effects Of Testosterone On
cix
Seminal Vesicle Anatomy In An Undergraduate Laboratory Setting. Bio
scanes. Vol. 38(2). p. 270-278.
Berges, R. R., Furuya, Y., Remington, L., English, H.F., Jacks, T. 2003. Cell
Proliferation, DNA Repair and 87
P53 Function Are Not Required For
Programmed Death Of Prostatic Glandular Cell Induced By Androgen
Ablation. Med scanes. Vol. 90. p. 8910-8914.
Bhasin, S., Cunningham, G.R., Haves, F.J., Matsumoto, A.M., Snyder, P.J.,
Swerdlof, R.S. 2006. Testosterone Therapy in Adult Men with Androgen
Deficiency Syndromes: an Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J
Clin Endocrinol Metab. Vol. 91. p. 199-205 [cited 2015 Agust 28]
Available from: URL: http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16720669.
Borst, S.E., Mulligan, T. 2007. Testosterone Replacement Therapy for Older Men.
Clinical Interventions in Aging. PMC. Ncbi. Vol. 4(2). p. 322-328.
Braunstein, G.D. 2011. Testes. In: Gardner, D.G., and Shoback, D., editors.
Greenspan’s Basic & Clinical Endocrinology. 9th.Ed. New York: McGrawHill. p. 395-401.
Chang, C., Kokontis, J., Liao, S., 2008. Structural Anayisis Of Complementary
DNA And Amino Acid Sequences Of Human And Rat Androgen Receptors.
Biochemistry. Proc. Natl. Acad. Sci. Vol. 85. p.7211-7215.
Conti, C.J., Irma, B., Conti, G., Benavedes, F., Conti, M.A. Ward, J.M. 2005.
Atlas Of Laboratory Mouse Histology. Austin: Texas histopages. p. 27-31.
Coss, C., Jones, A., Hancock, M., Steiner, M., Dalton, J. 2014. Selective androgen
receptor modulators for the treatment of late onset male hypogonadism.
Asian J Andro. Vol. 16. p. 256–261.
Culig, Z. 2004. Androgen Receptor Cross-Talk With Cell Signaling Pathways.
NCBI. Vol. 23(3). p. 179-184.
Cunningham, R., Hijazi, A., Glenn, R. 2004. Androgen Replacement Therapy
Indicated for the Aging Male. Departments of Medicine and Molecular and
Cellular Biology, Baylor College of Medicine and VA Medical Center,
Houston. Annual review. Vol. 56. p.117-137.
Dahlan, M. S. 2012. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika. p. 184-187, 189-208.
Dandona, P., Dhindsa, S., Chandel, A., Topiwala, S. 2009. Low Testosterone in
Men with Type 2 Diabetes – A Growing Public Health. Diabetes Voice.
Vol. 54. p. 560-567.
cx
Davison, B. R. 2006. Androgen physiology. Reprod. Med. Vol. 24(2). p. 71–77.
Denake, C., Lipowsky, R.,Valleriani, A., 2013. Effect Ribosome Shielding On
mRNA Stability. Departement of theory and bio-system germany. Phy. Biol.
Vol. 10. p.157-165.
Federer, W.T. 2008. Statistic and Society. Data Collection and Interpretation. 2nd
Edition. New York: Marcel Dekker. p. 350-354.
ernandez. 2005. Anatomy And Physiology II. [cited 2015 march 8] Available
from: URL: http/:www.mBio.dev.edu.211. The Reproductive Systems. p.
22.
Gao, N., Ishii, K., Mirosevich, J., Kuwajima, S., Stacey, R., Richard, L., Jiang,
M., Scott, B., Richard, M., Stoffel, M. 2005. Article Forkhead Box A1
Regulates Prostate Ductal Morphogenesis and Promotes Epithelial Cell
Maturation. Company of Biologists. Vol.132. p. 3431-3443.
Goodman, N.F. 2001. Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis
and Treatment of Hyperandrogenic Disorders. NCBI. Vol. 7(2). p. 121-124.
Goldenberg, L., Koupparis, A., Robinson, M.E. 2011. Differing levels of
testosterone and the prostate: a physiological interplay. Nat. Rev. Urol. Vol.
8. p.365–377.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed-11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 515-524.
Haelans, A., Verrijdt, G., Callewaert, L., Peeters, B., Rombauts, W., Claessens, F.
2001. Androgen Receptor-Specific DNA Binding to An Element in the First
Exon of the Human Secretory Component Gene. Biochem. J. Vol. 353(3). p.
611-620.
Haelens, A., Tanner, T., Denayer, S., Callewert, L., Claessens, F. 2007. The
Hinge Region Regulates DNA Binding, Nuclear Translocation, and
Transativation of the Androgen Receptor. Cancer Res. Vol. 67(9). p. 14-23.
Harman, S.M., Metter, E.J., Tobin, J.D., Pearson, J., Blackman, M.R. 2001.
Longitudinal Effects of Aging on Serum Total and Free Testosterone Levels
in Healthy Men. J Clin Endocrinol Metab. Vol. 86. p. 724-731.
Hees, R.A., Carnes, K. 2004. The Role Of Estrogen In Testis And The Male
Reproductive Tract: A Review And Species Comparison. Anim. Reprod.
Vol. 1. p. 5-30.
cxi
Heredia, P.M., Jansen, R.P. 2003. mRNA Localization And The Cytoskeleton.
Philadelphia: Elsevier. p. 16:1–6.
Herliyani, L. 2009. Laporan Pratikum Embriologi Sistem Reproduksi Jantan.
[cited 2015 Sep 16] Available from: URL: http:/www.LindaSapphireblue.Blogspot.com/LPE. Sistem Reproduksi. Html. p. 16-17.
Hwaii, Y.K., Kim, J.J. 2011. Testosterone Replacement Therapy For Late-Onset
Hypogonadism: Current Trends In Korea. Asian J. Andrology. Vol. 13.
p.563–568.
Ikonen, T., Jorma, J., Palvimo., Olli, A. 2007. Interaction Between The AminoAnd Carboxyl-Terminal Regions Of The Rat Androgen Receptor Modulates
Transcriptional Activity And Is Influenced By Nuclear Receptor
Coactivators by University Of Helsinki. Biochemistry. Vol. 272 (47). p.
29821–29828.
Indrayanto, Y. 2011. Andropause. [cited 2015 Agust 28] Available from:URL:
http:/www.fk.uns.ac.id. static-resensibuku-andropause. html. p.255-268.
Junqueira, L.C. 2007. Persiapan Jaringan Untuk Pemeriksaan Mikroskopik.
Histology Dasar. Teks Dan Atlas. Edisi 10. Jakarta : EGC. p. 3 - 5.
Justulin, J.R., Rodrigo, L.A, Ureshino, P., Michelle, Z., Felisbino, S.L. 2006.
Differential Proliferative Response Of The Ventral Prostate And Seminal
Vesicle To Testosterone Replacement. International Federation For Cell
Elseiver Ltd. Bio. Vol 30. p. 354-364.
Kalra, S., Sharma, A., Agrawal, N., Kumar, S. 2010. Testosterone Replacement in
Male Hypogonadism. Department of Endocrinology, Bharti Hospital,
Karnal India; Clinical Research. Clinical Pharmacology. Vol. 149. p. 670678.
Keller, E.T., Ershler, W.B., Chang, C. 2006. The Androgen Receptor: A Mediator
of Diverse Responses. The Instite on Aging and the Departement of Human
Oncology University of Wisconsin, Madison. Frontiers in Bioscience. Vol.
1. p.59-71.
Kendeel, F., Koussa. R., Swerdloff, R. F. 2001. Male Sexual Fuction And Its
Disorders. Endocrine Reviews. Vol. 22 (3). p.342-388.
Khan, O.Y., Ismail, A., Srinivasan, S., Nawaz, Z. 2005. Multifunction Steroid
Receptor Coactivator, E6-Associated Protein, Is Involved in Development
of the Prostate Gland. Molecular Endocrinol. Vol 20 (3). p.544–559.
cxii
Kim, J.W., Yoon, M.M., Bae, C.Y., Kim, J.J., Moon, D.G. 2013. The Effect of
Diet-Induced Insulin Resistance on DNA Methylation of the Androgen
Receptor Promoter in the Penile Cavernosal Smooth Muscle of Mice. Asian
J. Andrology. Vol. 15. p.487-491.
Kim, K.C., Friso, S., Choi, S.W. 2009. DNA Methylation, An Epigenetic
Mechanism Connecting Folate To Healthy Embryonic Development And
Aging. J. Nutritional Biochemistr. Vol. 20. p. 917-926.
Kinblom, J. 2003. Role Of Prolaktin in the Prostate Gland. Studies in Transgenic
Mouse Models. Swedish: Gothenburg University. p. 628-650.
Klentze, M. 2003. The New Science of Anti-Aging Hormone Replacement
Therapy. A Multidimensional Approach. In: Klatz, R., editor. Anti Aging
Medical Therapeutics. Chicago: The A4M Publications. p. 415-419.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. 7th-ed. Vol. 12. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. p: 189.
Kusdiantoro, M., Savitri, N., Priyono, A. 2001. Morfologi dan Kandungan
Karbohidrat Kelenjar Aksesori Organ Reproduksi Tikus Jantan Pada Umur
Sebelum Dan Setelah Pubertas. Bogor: Anatomi Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. p. 15-19.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah
Mada University. p. 75-77.
Liao, S. 2006. Receptors And The Mechanism Of Action Of Androgens. In:
Receptors And Mechanism Of Action Of Steroid Hormones. 2nd Ed. New
York : Marcel Dekker. p. 159-214.
Maegawa, S., Hinkal, G., Kin, H.s. 2010. Widepread And Tissue Specific AgeRelated DNA Methylation Changes In Mice. Genome Res. Vol. 20 p. 332340.
Mahendroo, M.S., Cala, K.M., Hess, D.L., Russell, D.W. 2001. Unexpected
Virilization In Male Mice Lacking Steroid 5a-Reductase Enzymes.
Endocrinol. Vol. 142. p. 4652-4662.
Marilia, T.C., Erick, J.R., Cristina, M., Avelar, W. 2009. Androgen and the Male
Reproductive
Tract.
Endocrinologi
Experimental,
Departement
Farmacology Universitas Federal Sao Paulo Brasil. Arq. Bras. Endocrinol
Metab. Vol. 53(8). p.934-945.
McCence, K.L., Huether, S.E. 2008. Pathophysiology. The Biology Basic for
Disease in Adult and Children. 5th Ed. Utah: Elsevier. p.755-759.
cxiii
Miyamoto, T., Kagawa, S., Kitagawa, K., Futaki, S., Yoka, H., Tsuruo, Y.,
Ishimura, K. 2006. Immunocytochemical Localization Of 5 Alpha
Regulation In The Prostate Of Normal Castrated Rats. Histochem Sel Biol.
Pubmed. Vol. 105 (2). p. 101-109.
Moore, K., Anne, L., Agur, M.R., 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. p. 455-466.
Mulligan, T., Frick, M.F., Zuraw, Q.C. 2006. Prevalence Of Hypogonadism In
Males Aged At Least 45 Years: the HIM study. Int J Clin Pract. PMC free
article. PubMed. Vol. 60. p.762-771.
Murray, R.K., Bender, D.A., Botham, K.M., Kennelly, P.J., Rodwell, V.W., Weil,
P. 2014. Biokimia Harper. Ed. 29. Jakarta: EGC. p. 400-417.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Yogyakarta:
Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
p. 178-182.
Nieschlag, E., Behre, H.M., Nieschlag, S. 2010. Andrology. Male Reproductive
Health And Dysfunction. 3rd Ed. Berlin: Springer-Verlag Heidelberg. p.
530-541.
Nieschlag, E., Swerdloff, R., Behre, H.M. 2005. Investigation, Treatment, and
Monitoring of Late-Onset Hypogonadism in Males: ISA, ISSAM, and EAU
Recommendations. Int J Androl. Vol. 28. p. 125–127.
Nuraini, D.F. 2014. Pengaruh Infusa Daun Murbei (Morus Alba L) Terhadap
Gambaran Histologi Dan Berat Testis Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Diabetes Militus Kronik. (tesis). Malang: Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Ono, S., Kazuhiro. S., Khasiwagi, B., Shibata, Y., Ito, K., Yamanaka, F. 2004.
Role Of Androgen On Blood Flow And Capillary Structure In Rat Seminal
Vesicle. Department of Urology, Gumma Universitu School Medicine,
Maebashi. Tohoku, J.Exp.Med. Vol. 202. p. 193-201.
Paris, F., Weinbaver, G.F., Blum, V., Nieschlag, E. 2004. The Effect Of
Antiandrogens On The Immunohistochemical Localization Of The
Androgen Receptor In Reproductive Organs Of Male Rats. J. Steroid
Biochem. Vol. 48. p. 129-137.
Pelletier, G. 2002. Effect Of Estradiol On Prostate Epithelial Cells In Castrated
Rat. Oncology And Molecular Endocrinology Research Center, Laval
cxiv
University Medical Center Canada. Histochem Cytochem J. Vol. 50. p.
1517-1523.
Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. Jhon Wiley And Son:
Chichester. New York : Brisbane. Toronto. p. 68-72.
Prakash, C., Supakar, Chung, S., Song, M., Jung, M. A., Slomczynska, J.M., Kim,
R. L. Vellanoweth, B.C., Adrun, K.R. 2003. A Novel Regulatory Element
Associated with Age-dependent Expression of the Rat Androgen Receptor
Gen. J Biological Chemistry. Vol. 268 (35). p. 2610-2640.
Roberts, B. 2010. Sustanon ‘250’ Profile. [cited 2015 Agust 28] Available from:
URL: http:/www. mesomorphosis. com/steroid-profiles/sustanon-250.html.
p. 13.
Ryan, R. 2007. Dialed In The Health And Fitness Program That Will Change
Your Life [cited 2016 Jan 07] Available from: URL:
http:/www.books.google.com.
Sanborn, B.M., Caston, L., Chang, C., Speller, R., Porter, L. 2001. Regulation of
Androgen Receptor mRNA In Rat Sertoli and Peritubular Cells. Biology of
Reprod. Vol. 45. p. 634-641.
Sarjana, I.K., Kusumawati, D. 2004. Anastesi Veteriner. Jilid I. Yogyakarta:
Gadjah Mada University. p. 57.
Shan, L., Min, L., Daniel, E., Sophia, Y., Tsai, M. 2009. Androgen Regulation Of
The Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor P21 Gene Through On Androgen
Response Element In The Proximal Promoter. Molecular Endocrinol. Vol.
13 (3). p. 376-384.
Shidaifat, F. 2009. Age-Dependent Expression of 5a-Reductase and Androgen
Receptors mRNA by the Canine Prostate. Department of Basic Veterinary
Medical Sciences, Faculty of Veterinary Medicine. Jordan. Physiol. Res.
Vol. 58. p. 155-158.
Sjamsuhidajat, R., Jong, D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd Ed. Jakarta : EGC.
p. 60-68.
Soeffing, W., Timms, B.G. 2005. Localization Of Androgen Receptor And Cell
Spesific Cytokeratin In Basal Cell Of Rat Ventral Prostate. J. Andrology.
Vol. 16 (3). p. 125-129.
Stanworth, R., Jones, T. 2008. Testosterone for the aging male. Current evidence
and recommended practice. Centre for Diabetes and Endocrinology,
cxv
Barnsley Hospital NHS Foundation Trust, Barnsley, South Yorkshire.
Clinical Interventions in Aging. Vol. 1. p. 25-44.
Surampudi, P.N., Wang, C., Swerdloff, R. 2012. Hypogonadism in the Aging
Male Diagnosis, Potential Benefits, and Risks of Testosterone Replacement
Therapy. J. Endocrinol. Vol. 20. p. 254-259.
Syamsuharlin, E. 2011. Anatomi Dan Fisiologi Reproduksi Hewan. [cited 2015
Sep 16] Available from: URL: http/:www. Eanimal husbandry.
blogspot.com/../pendahuluan-latar-belakang-reproduksi.html. p. 45-49.
Takeda, H., Nakamoto, T., Kokontis, J., Chodak, G., Chang, C. 2001.
Autoregulation Of Androgen Receptor Expression In Rodent Prostate:
Immunohstochemical And In Situ Hybridization Analysis. Biochem Biophys
Res Commun. Vol. 177. p. 488-496.
Tong, S.F., Chink, J.L., Boon, C.L., Vena, K.M., Fe, M.L, Eng, G., Tan, H.M.
2012. Effect of long-acting testosterone undecanoate treatment on quality of
life in men with testosterone deficiency syndrome: a double blind
randomized controlled trial. Asian J. Andrology. Vol. 14. p.604-611.
Ullah, M.I., Riche, D., Koch, C. 2014. Transdermal Testosterone Replacement
Therapy in Men. Department of Medicine, University of Mississippi. USA:
Medical Center Dovepress. p. 392-416.
Vargas, R., Oliveira, L.P., Frankenfeld, S., Costa, W.S., Favorito, L. 2013. The
Prostate After Administration of Anabolic Androgenic Steroids. Int. Braz. J.
Urol. Vol. 39. p. 675-682.
Verrijdt, G., Haelens, A., Claessens, F. 2003. Selective DNA Recognition By The
Androgen Receptor As A Mechanism For Hormone-Specific Regulation Of
Gene Expression. Molecular Genetics & Metabolism. Vol. 78. p. 175–185.
Wang, X. 2005. Cyclooxygenase-2 Regulation of the Age-Related Decline in
Testosterone Biosynthesis. Endocrinol. Vol. 146 (10). p. 4202-4208.
Weigel, N.L., Zhang, Y., 2008. Ligand-Independent Activation Of Steroid
Hormone Receptors. Springer-Verlag. J. Mol Med. Vol. 76. p. 469-479.
Wibowo, S. 2003. Andropause: Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Jakarta:
FKUI. p. 11-17.
Wilczynski, C., Agrawal, L. 2015. Testosterone Effects on the Prostate Gland:
Review of Pathophysiology and considerations in Prostate Cancer. J. Family
Medicine & Disease Prevent. Vol. 1 (04). p. 26-35.
cxvi
Wolf, D.A., Herzingert, T. Hermeking, H. 2003. Transcriptional and
Postranscriptional Regulation of Human Androgen Receptor Expression by
Androgen. Instite of Physiological Chemistry University of Munich 2,
Germany. Molecular Endocrinol. Vol. 7. p. 924-936.
Wright, S.A., Thomas, L.N., Douglas, R.C., Lazier, C.B., Rittmaster, R.S. 2006.
Relative Potency Of Testosterone And Dihydrotestosterone In Preventing
Atrophy And Apoptosis In The Prostate Of The Castrated Rat. J. Clin.
Invest. Vol. 98 (11). p. 2558-2563.
Yassin, A.A., Saad, F. 2007. Improvement of Sexual Function in Men with Late
Onset Hypogonadism Treated with Testosterone Only. J. Sex Med. Vol. 4.
p. 497–501.
Zhu, L.J., Matthew, H.P., Bardin, W., Alfred, J. 2000. Effects of Androgen on
Androgen Receptor Expression in Rat Testicular and Epididymal Cells.
Biology of Reprod. Vol. 63. p. 368–376.
Zhu, M.L., Kyprinaou, N. 2008. Androgen Receptor And Growth Factor
Signaling Cross-Talk In Prostate Cancer Cells. Endocr. Relat. Cancer. Vol
15 (4). p. 841-849.
cxvii
LAMPIRAN
Lampiran 1. Administrasi Penelitian
cxviii
Gambar lamp. 1.1 Surat Keterangan Kelayakan Etik
cxix
cxx
Gambar lamp. 1.2 Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Gambar lamp. 2.1 Tikus penelitian
cxxi
Gambar lamp. 2.2 Kegiatan Kastrasi
cxxii
Gambar lamp. 2.3 Hormon Testosteron
cxxiii
Gambar lamp 2.4 Perlakuan dengan injeksi sustanon 250 dan aquadest
Gb lamp. 2.5 Persiapan ekstraksi RNA
cxxiv
Gambar lamp 2.7 Pembedahan
cxxv
cxxvi
Gambar lamp. 2.8 Pemerosesan mRNA AR dengan realtime PCR.
Lampiran 3. Hasil penelitian dengan metode realtime PCR
cxxvii
1 Quantitation Report
1.1.1.1 Experiment Information
Run Name
AR GAPDH STUDI UTAMA ARIK SAMPEL 1-18
Run Start
02/05/2016 17:09:22
Run Finish
02/05/2016 18:27:08
Operator
arik ari
Notes
Run On Software Version Rotor-Gene 4.4.1
Run Signature
The Run Signature is valid.
Gain Green
2,67
1.1.1.2
1.1.1.3 Quantitation Information
Threshold
0,06598
Left Threshold
1,000
Standard Curve Imported
No
Standard Curve (1)
N/A
Standard Curve (2)
N/A
Start normalising from cycle
1
Noise Slope Correction
No
No Template Control Threshold 0%
Reaction Efficiency Threshold
Disabled
Normalisation Method
Dynamic Tube Normalisation
Digital Filter
Light
Sample Page
Page 1
Imported Analysis Settings
cxxviii
1.1.1.4
1.1.1.5
1.1.1.6
1.1.1.7
1.1.1.8
1.1.1.9 Quantitation data for Cycling A.Green
1.1.1.10 Grafik Cycle Threshold
1.1.1.11 Standard Curve Androgen
No. Colour
Name
Type
Ct
1
AR ARI PUTIH 10
Unknown
28,63
cxxix
Given Conc
(pg/ul)
Calc Conc
(pg/ul)
% Var
2
AR ARI PUTIH 11
Unknown
28,94
3
AR ARI PUTIH 12
Unknown
28,67
4
AR ARI PUTIH 13
Unknown
29,37
5
AR ARI PUTIH 14
Unknown
28,80
6
AR ARI PUTIH 15
Unknown
28,53
7
AR ARI PUTIH 16
Unknown
28,75
8
AR ARI PUTIH 17
Unknown
28,54
9
AR ARI PUTIH 18
Unknown
30,08
10
GAPDH ARI PUTIH 10
Unknown
13,30
11
GAPDH ARI PUTIH 11
Unknown
13,18
12
GAPDH ARI PUTIH 12
Unknown
13,14
13
GAPDH ARI PUTIH 13
Unknown
13,02
14
GAPDH ARI PUTIH 14
Unknown
13,08
15
GAPDH ARI PUTIH 15
Unknown
13,15
16
GAPDH ARI PUTIH 16
Unknown
13,34
17
GAPDH ARI PUTIH 17
Unknown
13,41
18
GAPDH ARI PUTIH 18
Unknown
12,86
19
AR ARI MERAH 10
Unknown
27,46
20
AR ARI MERAH 11
Unknown
28,00
21
AR ARI MERAH 12
Unknown
28,29
22
AR ARI MERAH 13
Unknown
27,53
23
AR ARI MERAH 14
Unknown
27,51
24
AR ARI MERAH 15
Unknown
27,95
25
AR ARI MERAH 16
Unknown
28,80
26
AR ARI MERAH 17
Unknown
27,48
27
AR ARI MERAH 18
Unknown
26,19
28
GAPDH ARI MERAH 10 Unknown
13,02
29
GAPDH ARI MERAH 11 Unknown
13,34
30
GAPDH ARI MERAH 12 Unknown
13,40
31
GAPDH ARI MERAH 13 Unknown
13,39
32
GAPDH ARI MERAH 14 Unknown
13,51
33
GAPDH ARI MERAH 15 Unknown
12,95
cxxx
34
GAPDH ARI MERAH 16 Unknown
13,45
35
GAPDH ARI MERAH 17 Unknown
13,43
36
GAPDH ARI MERAH 18 Unknown
11,96
1.1.1.12
Legend:
NEG (NTC) - Sample cancelled due to NTC Threshold.
NEG (R. Eff) - Sample cancelled as efficiency less than reaction efficiency threshold.
This report generated by Rotor-Gene 6000 Series Software 1.7 (Build 87)
Copyright 2000-2006 Corbett Research, a Division of Corbett Life Science. All rights reserved.
ISO 9001:2000 (Reg. No. QEC21313)
cxxxi
NAMA
Keterangan:
perlakuan
SAMPEL CT
SAMPEL LOG
- AR putih : kelompok kontrol
- AR merah : kelompok
Lampiran 4. Tabulasi Data Ekspresi Absolut mRNA AR
cxxxii
SAMPEL
(pg/ul)
AR PUTIH 1
AR PUTIH 2
AR PUTIH 3
AR PUTIH 4
AR PUTIH 5
AR PUTIH 6
AR PUTIH 7
AR PUTIH 8
AR PUTIH 9
AR PUTIH 10
AR PUTIH 11
AR PUTIH 12
AR PUTIH 13
AR PUTIH 14
AR PUTIH 15
AR PUTIH 16
AR PUTIH 17
AR PUTIH 18
AR MERAH 1
AR MERAH 2
AR MERAH 3
AR MERAH 4
AR MERAH 5
AR MERAH 6
AR MERAH 7
AR MERAH 8
AR MERAH 9
AR MERAH 10
AR MERAH 11
AR MERAH 12
AR MERAH 13
AR MERAH 14
AR MERAH 15
AR MERAH 16
AR MERAH 17
AR MERAH 18
27,24
27,69
26,71
26,65
27,18
27,51
27,36
28,08
27,2
28,63
28,94
28,67
29,37
28,8
28,53
28,75
28,54
30,08
26,79
26,13
27,42
26,48
26,13
26,29
26,21
25,9
27,75
27,46
28
28,29
27,53
27,51
27,95
28,8
27,48
26,19
cxxxiii
-0,28
-0,41
-0,14
-0,12
-0,27
-0,36
-0,32
-0,518029523
-0,272505732
-0,671481891
-0,757973227
-0,682642064
-0,877945079
-0,718912624
-0,643581461
-0,704962408
-0,646371504
-1,076038137
-0,158113966
0,026028876
-0,33388668
-0,071622631
0,026028876
-0,018611813
0,003708532
0,090199867
-0,425958101
-0,345046852
-0,495709178
-0,576620427
-0,364577154
-0,358997068
-0,481758963
-0,718912624
-0,350626938
0,009288618
0,52040
0,38975
0,73149
0,76023
0,54085
0,43753
0,48179
0,30337
0,53394
0,21307
0,17459
0,20766
0,13245
0,19102
0,22721
0,19726
0,22575
0,08394
0,69484
1,06177
0,46357
0,84796
1,06177
0,95805
1,00858
1,23084
0,37501
0,45181
0,31937
0,26508
0,43194
0,43753
0,32979
0,19102
0,44604
1,02162
cxxxiv
Keterangan : - AR PUTIH (Kelompok kontrol)
perlakuan)
- AR MERAH (Kelompok
Lampiran 5. Hasil Realtime PCR studi pendahuluan
2 Quantitation Report
3
3.1.1.1 Experiment Information
Run Name
AR1
Run Start
2/5/2016 4:37:39 PM
Run Finish
2/5/2016 6:08:03 PM
Operator
Notes
Run On Software Version Rotor-Gene 4.4.1
Run Signature
The Run Signature is valid.
Gain Green
2.67
3.1.1.2
3.1.1.3 Quantitation Information
Threshold
0.12403
Left Threshold
1.000
Standard Curve Imported
No
Standard Curve (1)
N/A
Standard Curve (2)
N/A
Start normalising from cycle
1
Noise Slope Correction
No
No Template Control Threshold 0%
Reaction Efficiency Threshold
Disabled
Normalisation Method
Dynamic Tube Normalisation
Digital Filter
Light
Sample Page
Page 1
Imported Analysis Settings
cxxxv
3.1.1.4
3.1.1.5
3.1.1.6
3.1.1.7
3.1.1.8
3.1.1.9
3.1.1.10
3.1.1.11
3.1.1.12 Raw Data For Cycling A.Green
3.1.1.13 Quantitation data for Cycling A.Green
No Colo Name
. ur
Type
Ct
1
GAPDH ARIK merah 1 Unkno 15.4
(A1)
wn
8
2
GAPDH ARIK merah 2 Unkno 17.0
(A2)
wn
7
3
GAPDH ARIK putih 1
(A3)
Unkno 15.1
wn
9
4
GAPDH ARIK putih 2
(A4)
Unkno 15.7
wn
0
5
GAPDH ARIK hijau 1
(A5)
Unkno 16.7
wn
1
6
GAPDH ARIK hijau 2
(A6)
Unkno 17.0
wn
7
7
GAPDH ARIK hijau 3
(A7)
Unkno 14.8
wn
9
cxxxvi
Given Conc
(Copies)
Calc Conc
(Copies)
%
Var
No Colo Name
. ur
Type
Ct
8
GAPDH ARIK kuning 1 Unkno 15.1
(A8)
wn
5
9
GAPDH ARIK kuning 2 Unkno 15.8
(A9)
wn
2
10
GAPDH ARIK kuning 3 Unkno 16.5
(A10)
wn
2
11
AR ARIK merah 1 (A1) Unkno 24.5
wn
5
12
AR ARIK merah 2 (A2) Unkno 23.4
wn
2
13
AR ARIK putih 1 (A3)
Unkno 25.3
wn
4
14
AR ARIK putih 2 (A4)
Unkno 24,8
wn
9
15
AR ARIK hijau 1 (A5)
Unkno 25,6
wn
5
16
AR ARIK hijau 2 (A6)
Unkno 24.2
wn
7
17
AR ARIK hijau 3 (A7)
Unkno 24.6
wn
3
18
AR ARIK kuning 1 (A8) Unkno 24.2
wn
9
19
AR ARIK kuning 2 (A9) Unkno 24,5
wn
5
20
AR ARIK kuning 3
(A10)
Given Conc
(Copies)
Calc Conc
(Copies)
%
Var
Unkno 24.0
wn
6
Legend:
NEG (NTC) - Sample cancelled due to NTC Threshold.
NEG (R. Eff) - Sample cancelled as efficiency less than reaction efficiency threshold.
This report generated by Rotor-Gene 6000 Series Software 1.7 (Build 87)
Copyright 2000-2006 Corbett Research, a Division of Corbett Life Science. All rights reserved.
ISO 9001:2000 (Reg. No. QEC21313)
Keterangan : - AR putih : kelompok kontrol
perlakuan pertama
- AR kuning: kelompok perlakuan kedua
perlakuan ketiga
Lampiran 6. Karakteristik Sampel Penelitian
cxxxvii
- AR merah: kelompok
- AR hijau: kelompok
No
Strain
tikus
Jenis
kelamin
Umur (hari)
BB (gr)
Hari
ke-1
Hari
ke-8
Hari
ke-1
Hari
ke-8
Ket
Tindakan
01
Wistar
Jantan
133
140
255
257
Sehat
Kastrasi
02
Wistar
Jantan
137
144
251
257
Sehat
Kastrasi
03
Wistar
Jantan
140
147
258
264
Sehat
Kastrasi
04
Wistar
Jantan
139
146
262
266
Sehat
Kastrasi
05
Wistar
Jantan
142
149
254
261
Sehat
Kastrasi
06
Wistar
Jantan
140
147
256
266
Sehat
Kastrasi
07
Wistar
Jantan
143
150
260
267
Sehat
Kastrasi
08
Wistar
Jantan
141
148
274
280
Sehat
Kastrasi
09
Wistar
Jantan
144
151
265
274
Sehat
Kastrasi
10
Wistar
Jantan
141
148
266
270
Sehat
Kastrasi
11
Wistar
Jantan
138
145
270
275
Sehat
Kastrasi
12
Wistar
Jantan
139
146
275
281
Sehat
Kastrasi
13
Wistar
Jantan
140
147
259
267
Sehat
Kastrasi
14
Wistar
Jantan
139
146
250
256
Sehat
Kastrasi
15
Wistar
Jantan
138
145
250
257
Sehat
Kastrasi
16
Wistar
Jantan
142
149
278
290
Sehat
Kastrasi
17
Wistar
Jantan
144
151
258
267
Sehat
Kastrasi
18
Wistar
Jantan
142
149
260
270
Sehat
Kastrasi
19
Wistar
Jantan
143
150
265
270
Sehat
Kastrasi
20
Wistar
Jantan
141
148
273
277
Sehat
Kastrasi
21
Wistar
Jantan
141
148
270
278
Sehat
Kastrasi
cxxxviii
22
Wistar
Jantan
139
146
268
273
Sehat
Kastrasi
23
Wistar
Jantan
140
147
255
267
Sehat
Kastrasi
24
Wistar
Jantan
145
152
280
290
Sehat
Kastrasi
25
Wistar
Jantan
141
148
261
272
Sehat
Kastrasi
26
Wistar
Jantan
138
145
263
272
Sehat
Kastrasi
27
Wistar
Jantan
144
151
263
273
Sehat
Kastrasi
28
Wistar
Jantan
141
148
288
301
Sehat
Kastrasi
29
Wistar
Jantan
141
148
275
287
Sehat
Kastrasi
30
Wistar
Jantan
141
148
287
300
Sehat
Kastrasi
31
Wistar
Jantan
140
147
259
270
Sehat
Kastrasi
32
Wistar
Jantan
139
146
276
281
Sehat
Kastrasi
33
Wistar
Jantan
139
146
273
276
Sehat
Kastrasi
34
Wistar
Jantan
143
150
285
300
Sehat
Kastrasi
35
Wistar
Jantan
138
145
256
261
Sehat
Kastrasi
36
Wistar
Jantan
138
145
286
300
Sehat
Kastrasi
Keterangan: 01-18 (kelompok kontrol)
19-36 (kelompok perlakuan)
Lampiran 7. Konversi Dosis untuk Berbagai Jenis (Species) Hewan Uji dan
Manusia (Kusumawati, 2004).
cxxxix
cxl
Lampiran 8. Hasil Output SPSS
Descriptives
mRNAAR
95% Confidence Interval for
Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
0
18
.5701
.17087
.04028
.4851
.6551
.29
.87
1
18
.7752
.21282
.05016
.6693
.8810
.44
1.11
Total
36
.6726
.21678
.03613
.5993
.7460
.29
1.11
Umur
95% Confidence Interval for
Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
0
18
144.01
2.698
.636
142.27
144.95
136
148
1
18
144.17
2.058
.485
143.14
145.19
142
148
Total
36
143.89
2.382
.397
143.08
144.69
136
148
BB
95% Confidence Interval for
Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
0
18
264.44
8.900
2.098
260.02
268.87
253
284
1
18
275.56
11.703
2.758
269.74
281.38
258
294
Total
36
270.00
11.694
1.949
266.04
273.96
253
294
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Group
Statistic
df
Sig.
cxli
Shapiro-Wilk
Statistic
df
Sig.
mRNA AR
0
.208
18
.038
.940
18
.289
1
.227
18
.015
.908
18
.078
a. Lilliefors Significance Correction
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
Dependent Variable:mRNA AR
F
df1
2.559
df2
1
Sig.
34
.119
Levene's Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
Independent t-test
Group Statistics
Group
mRNA AR
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
0
18
.5701
.17087
.04028
1
18
.7752
.21282
.05016
cxlii
95% Confidence
Interval of the
F
mRNA AR
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference
Lower
Uppe
Equal
variances
2.559
.119
-3.188
34
.003
-.20508
.06433
-.33581
-.074
-3.188 32.484
.003
-.20508
.06433
-.33604
-.074
assumed
Equal
variances not
assumed
Lampiran 9. Hasil Output SPSS pada studi pendahuluan
Descriptives
mRNAAR
95% Confidence Interval for
Mean
Std.
N
Mean
Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
0
2
2.0550
.41719
.29500
-1.6933
5.8033
1.76
2.35
1
2
4.4900
2.20617
1.56000
-15.3317
24.3117
2.93
6.05
2
3
3.4667
.54003
.31179
2.1252
4.8082
2.93
4.01
3
3
2.5733
1.04543
.60358
-.0237
5.1703
1.44
3.50
10
3.1210
1.29485
.40947
2.1947
4.0473
1.44
6.05
Total
cxliii
Test of Homogeneity of Variances
mRNAAR
Levene Statistic
df1
df2
6.512
3
Sig.
6
.026
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Group
mRNAAR
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
3
.650
.950
3
.650
.
1.000
3
.980
.
.971
3
.671
.260
2
.
1
.260
2
.
2
.176
3
3
.245
3
Test Statistics
a,b
mRNAAR
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
4.450
3
.217
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:Group
cxliv
Sig.
.950
0
a. Lilliefors Significance Correction
df
Download