TESIS PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI LUH ARI ARINI PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i TESIS PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI LUH ARI ARINI NIM 1490761001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 ii PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana LUH ARI ARINI NIM 1490761001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 iii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 JULI 2016 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr.dr Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro NIP. 194612131971071001 NIP. 194612311969021001 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP.195805211985031002 NIP. 195902151985102001 iv Tesis Ini Telah Diuji Dan Dinilai Oleh Panitia Penguji Pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 18 Juli 2016 Panitian Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.:.............., Tanggal................. Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And 3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 4. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama : Luh Ari Arini Nim : 1490761001 Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (IKR) Judul : Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi mRNA Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat pada karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undang yang berlaku. Denpasar, 9 Juni 2016 Yang membuat pernyataan, (Luh Ari Arini) vi UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung wara nugraha-Nya tesis yang berjudul ”Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi mRNA Reseptor Androgen pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi” ini dapat terselesaikan dengan baik. Berkat petunjuk, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dan rintangan dalam penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa. M.Kes, Sp.OT, FICS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Udayana. 3. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas Udayana. 4. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK., selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana vii atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Biomedik (IKR). 5. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis. 6. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis. 7. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 8. Prof. dr. I.G.M. Aman, Sp.FK selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 9. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 10. Dr. I.G.N Sri Wiryawan, M.Repro selaku Kepala Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian di Laboratorium Histologi. 11. dr. I.G.K Nyoman Arijana, Msi.Med., yang telah banyak membantu dalam proses penelitian. viii 12. Para dosen pengajar Magister Ilmu Biomedik, teman-teman sependidikan, para staf bagian Biomedik serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bimbingan, ilmu dan bantuan yang diberikan selama ini. Tak lupa dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini dan penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis pribadi, bagi pembaca dan seluruh pihak yang berkepentingan. Denpasar, 15 Mei 2016 Penulis ix ABSTRAK PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI Istilah andropause merupakan keadaan penuaan pada pria yang terjadi secara alami, diawali dengan menurunnya fungsi testis sehingga menimbulkan penurunan hormon testosteron. Defisiensi testosteron akan menimbulkan masalah khususnya pada pria tua seperti gangguan vasomotor, penurunan body performance, penurunan densitas tulang, menurunnya libido, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi yang akhirnya mempengaruhi keadaan psikologis pria tersebut. Pengaruh defisiensi testosteron pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi kelenjar yang akhirnya dapat mempengaruhi volume cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Pemberian testosterone replacement therapy merupakan cara yang efektif digunakan untuk memulihkan keadaan defisiensi tersebut. Pemberian preparat testosteron dapat meningkatkan struktur jaringan kelenjar prostat, yang kerjanya dimediasi oleh reseptor androgen melalui mekanisme autoregulasi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi. Penelitian ini menggunakan post test only control group design terhadap 36 ekor tikus wistar jantan yang dikastrasi, dan ditunggu efeknya selama 21 hari, tikus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok kontrol (diberikan injeksi aquadest secara intramuskuler) dan kelompok perlakuan (diberikan injeksi Sustanon 250 secara intramuskuler dengan dosis 4,5 mg/ 250 gr BB tikus), dengan jadwal injeksi 1 minggu sekali selama 21 hari/ 3 minggu. Pada minggu ke-8 tikus pada masing-masing kelompok dieuthanasia lalu diterminasi dan diambil kelenjar prostatnya untuk dianalisis ekspresi mRNA reseptor androgen dengan menggunakan metode realtime PCR. Oleh karena data berdistribusi normal maka analisis statistik yang digunakan yaitu independent-t test dengan taraf kemaknaan (α=0,05). Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok kontrol (0,57 + 0,17 pg/µl) dan kelompok perlakuan (0,77 + 0,21 pg/µl). Dengan independent-t test didapatkan bahwa terjadi peningkatan mRNA reseptor androgen secara bermakna pada kelompok perlakuan dimana p= 0,003 (p<0,05). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus kastrasi. Saran yang dapat disampaikan yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait peranan DHT terhadap ekspresi reseptor androgen pada kelenjar reproduksi. Kata kunci: testosterone replacement therapy, mRNA reseptor androgen dan kelenjar prostat. x ABSTRACT ADMINISTRATION OF TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY INCREASED ANDROGEN RECEPTOR EXPRESSION OF mRNA IN PROSTATE GLAND OF MALE CASTRATED WISTAR RATS (Rattus norvegicus) Andropause is the aging process occurs naturally on men, it is preceeded by deficiency of the testicular function resulting in a decrease of testosterone hormone. This creates some problems to old men like vasomotor dysfuction, decreases on body performance, bone density, and libido, dysfunction of erection and ejaculation that consequently affect the psychological condition of the men. Testosterone deficiency effects on the genital accessories like prostate gland, will cause atrophy on the gland and affect the volume of important seminal liquid for ejaculation. The administration of testosterone replacement therapy an effective way to recover the deficiency. Administration the testosterone increased tissue structure of prostate gland, that is mediated by androgen receptor through autoregulation mechanism. This research was aimed to prove that administration of testosterone replacement therapy increased androgen receptor expression of mRNA in prostate gland of male castrated wistar rats. This research used post test only control group design towards 36 castrated male wistar rats, with 21 days awaiting effects. The rats were divided into 2 groups namely, controlled group (aquades intramuscularly injected) and treated group (sustanon 250 intramuscularly injected with dosage of 4,5mg/ 250 gram of rat weight), with weekly injection sehedule for 21 days/ 3 weeks. In 8th week, euthanasia was done to the rats on each group to be dissected to get the prostate gland. The androgen receptor expression of mRNA was analyzed by realtime PCR method. Since the data were normally distributed, then independent t-test statistical analysis was used, with level of significance (α = 0.05). The result of the analysis showed that the mean of mRNA expression of prostate androgen receptor on the controlled group was (0,57 + 0,17 pg/µl), and (0,77 + 0,21 pg/µl) on the treated group. With the independent-t test indicates that androgen receptor of mRNA increased significantly on the treated group with p = 0,003 (p<0.05). The study concluded that administration of testosterone replacement therapy increased androgen receptor expression of mRNA in prostate gland of male castrated wistar rats. Thus, it was suggested that further research was required of the need to be conducted in relation to the role of DHT towards androgen receptor expression on reproductive gland. Keywords: testosterone replacement therapy, mRNA androgen receptor and prostate gland. xi DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN ......................................................................................... SAMPUL DALAM ........................................................................................ PERSYARATAN GELAR........................................................................... PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................. PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................... UCAPAN TERIMA KASIH......................................................................... ABSTRAK..................................................................................................... ABSTRACT..................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH ..................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. BAB I 1.1 1.2 1.3 1.4 i ii iii iv v vi vii x xi xii xv xvi xvii xix PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................ Rumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Penelitian ............................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................... 1.4.1 Manfaat akademik................................................................... 1.4.2 Manfaat praktis........................................................................ 1 6 6 6 6 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hipogonad ...................................................................................... 2.1.1 Definisi .................................................................................... 2.1.2 Etiologi .................................................................................... 2.1.3 Fisologi ................................................................................... 2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad ............................................ 2.1.5 Syarat penggunaan testosterone replacement therapy............ 2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) .......................................... 2.2.1 Karakteristik tikus ................................................................... 2.2.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia ................................. 2.3 Reseptor Androgen Pada Tikus ....................................................... 2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA) ............................................. 2.5 Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat ....................................... 2.6 Hormon Testosteron......................................................................... 2.6.1 Pada manusia.......................................................................... 2.6.2 Pada mamalia.......................................................................... 2.7 Pengobatan LOH Dengan Testosterone Replacement Therapy........ 2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy............................. 8 8 10 11 14 15 16 16 17 23 30 32 35 35 39 41 44 xii 2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy.................... 46 2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy............................ 47 2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy................ 48 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 50 3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 52 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 52 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 4.3 Penentuan Sumber Data ...................................................................... 4.3.1 Populasi ..................................................................................... 4.3.2 Populasi terjangkau ................................................................... 4.3.3 Teknik sampling ........................................................................ 4.3.4 Besar sampel ............................................................................. 4.3.5 Kriteria sampel .......................................................................... 4.3.5.1 Kriteria inklusi..................................................................... 4.3.5.2 Kriteria drop out .................................................................. 4.4 Variabel Penelitian .............................................................................. 4.4.1 Identifikasi variabel................................................................... 4.4.2 Klasifikasi variabel .................................................................... 4.4.3 Hubungan antar variabel ........................................................... 4.4.4 Definisi operasional................................................................... 4.5 Bahan dan Alat penelitian ................................................................... 4.5.1 Bahan penelitian ........................................................................ 4.5.2 Alat penelitian ........................................................................... 4.6 Prosedur Penelitian .............................................................................. 4.6.1 Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji................................. 4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................. 4.6.3 Metode analisis PCR................................................................ 4.6.4 Alur penelitian........................................................................... 4.7 Analisis data ........................................................................................ 53 54 54 54 55 55 55 56 56 56 56 56 56 57 57 58 58 59 61 61 61 63 66 67 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Deskriptif.............................................................................. 5.1.1 Analisis deskriptif pada studi pendahuluan............................... 5.2 Distribusi Dan Homogenitas Data Hasil Penelitian............................ 5.2.1 Uji normalitas data..................................................................... 5.2.2 Uji homogenitas data................................................................. 5.3 Uji Efek Perlakuan.............................................................................. 5.3.1 Uji efek perlakuan pada studi pendahuluan............................... 68 69 70 70 71 71 73 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subyek Penelitian................................................................................. 74 xiii 6.2 Penurunan ekspresi mRNA AR pada prostat pasca kastrasi............... 74 6.3 Peningkatan ekspresi mRNA AR pada prostat setelah pemberian testosterone replacement therapy....................................................... 79 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan............................................................................................. 86 6.2 Saran................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... LAMPIRAN xiv 87 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG.................................. Data Biologis Tikus................................................................................. Ekspresi Relatif mRNA AR Beberapa Organ Tikus Jantan.................... Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa.................................... Primer Androgen..................................................................................... Langkah-Langkah Amplifikasi................................................................ Rerata Umur Kelompok Kontrol Dan Perlakuan..................................... Rerata BB Kelompok Kontrol Dan Perlakuan........................................ Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan............. Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.............. Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.................................................................................................. 5.6 Hasil Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.................................................................................................. 5.7 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.................................................................................................. 5.8 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan.................................................................................................. xv 13 17 28 38 64 64 68 69 69 70 70 71 71 73 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 4.1 4.2 4.3 5.1 Sistem Reproduksi Tikus Jantan.............................................................. Anatomi Kelenjar Prostat........................................................................ Histologi Kelenjar Prostat....................................................................... Analisis Struktur DNA Komplemen Dari AR Pada Tikus...................... Aktivasi Dari Reseptor Hormon Steroid................................................. Struktur Kimia Hormon Testosteron....................................................... Bagan Konsep Penelitian.......................................................................... Rancangan Penelitian............................................................................... Hubungan Antar Variabel......................................................................... Alur Penelitian.......................................................................................... Perbandingan Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan................................................................................................... xvi 18 20 22 24 25 35 52 53 57 66 72 DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH A ACTB ACTH ADAM ADF AR AREs BB BPH C Ct cDNA DHEA DHT DNA FAI FSH G GF GH GnRH GR gr hAR hCG HPG HSP IGF IIEF IUPAC kDa LBD LH LOH µl mg MR mRNA ng/ml PBP PC3 pg : Adenin : Actin Beta : Adenocortcotropic Hormone : Androgen Deficiency In Aging Male : Age Dependent Factor : Androgen Receptor : Androgen Respone Elements : Berat Badan : Benign Prostate Hyperplasia : Citosin : Cycle Threshold : complementary Deoxyribonucleic Acid : Dehydroepiandrosterone : Dihydrotestosterone : Deoxyribonucleic Acid : Free Androgen Index : Follicle Stimulating Hormone : Guanin : Growth Factor : Growth Hormone : Gonadotrophin-Releasing Hormone : Glucocotcicoid Receptor : Gram : Human Androgen Receptor : Human Chorionic Gonadotropin : Hypothalamic-Pituitary-Gonadal : Heat Shock Protein : Insulin Growth Factor : International Index Of Erection Function : International Union Of Pure And Applied Chemistry : kilo-Dalton : Ligand Binding Domain : Luteinizing Hormone : Late Onset Hypogonadism : Mikroliter : miligram : Mineralcorticoid Receptor : messenger Ribonucleic Acid : Nanogram per mililiter : Prostate Binding Protein : Prostate Cancer Line-3 : pikogram xvii PSA PR rAR REST ROS SHBG Slp SPSS SRCs T TRT TSH USA 5’UTR 1-step qRT-PCR : Prostate Specific Antigen : Progesterone Receptor : rat Androgen Receptor : Relative Expression Software Tool : Reactive Oxygen Species : Sex Hormone Binding Globulin : Sex Limited Protein : Statistical Package For The Social Sciences : Steroid Receptor Coactivators : Timin : Testosterone Replacement Therapy : Tyroid Stimulating Hormone : United State Of America :Untranslated Region’5 : quantification Realtime Poly Chain Reaction LAMBANG : % / º = ® : Persentase : Per : Derajat : Sama dengan : Registered ISTILAH : Apoptosis Atropi Coactivators Down-regulates et. al Immature inflamasi Intact In Vitro In Vivo Leading gene Ligand-activated Ligand-dependent P53 P21 reexpression Up-Regulates : kematian sel yang terprogram : penyusutan organ : Pengaktif : regulasi menurun : dan kawan-kawan : belum matang : peradangan : kontrol sehat : kondisi di luar organisme yang dibuat sama dengan lingkungan normalnya seperti pembiakan/kultur jaringan : kondisi di dalam pada suatu organisme hidup : sintesis untaian DNA baru saat replikasi : ligan yang telah aktif : ligan yang saling terikat : protein tumor suprressor gen : protein inhibitor ciklin dependent kinase : diekspresikan kembali : regulasi meningkat xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Administrasi Penelitian.................................................................. 96 Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian................................................................. 98 Lampiran 3 Hasil penelitian dengan metode realtime PCR.............................. 101 Lampiran 4 Tabulasi Data Ekspresi Absolut mRNA AR.............................. 104 Lampiran 5 Hasil realtime PCR studi pendahuluan.......................................... 105 Lampiran 6 Karakteristik sampel penelitian..................................................... 107 Lampiran 7 Konversi Dosis............................................................................... 108 Lampiran 8 Hasil Output SPSS......................................................................... 109 Lampiran 9 Hasil Output SPSS studi pendahuluan........................................... 111 xix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter normal dari pria yang lebih muda dan sehat, hal ini terjadi oleh karena penurunan fungsi testis yang bertugas memproduksi hormon testosteron tersebut. Pria andropause memiliki gejala-gejala dari defisiensi testosteron seperti penurunan libido, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, penurunan massa otot, peningkatan lemak tubuh, penurunan densitas tulang, penurunan body performance dan hilangnya mood yang akhirnya mempengaruhi psikis serta menimbulkan masalah pada kualitas hidup (Nieschlag et al., 2005). Andropause secara alami biasanya terjadi pada rentang usia antara 40-60 tahun yang dilaporkan pada Massachusetts Male Aging Study (Araujo et al., 2004). Sekitar 30% dari pria usia 60–70 tahun dan 70% dari pria usia 70–80 tahun terjadi penurunan bioavailable atau level free testosterone (Cunningham et al., 2004). Testosteron menurun sekitar satu persen per tahun setelah usia 30 tahun (Borst et al., 2007). Prevalensi dari total serum testosteron antara usia 45 tahun atau yang lebih tua sekitar 39% (Mulligan et al., 2006). Kriteria kadar testosteron yang rendah terkait usia yaitu konsentrasi total serum testosteron kurang dari 200 ng/dl dikatakan sebagai hipogonad, prevalensi hipogonad meningkat seiring peningkatan usia (Borst et al., 2007). Seiring 1xx bertambahnya usia, selain terjadi penurunan fungsi reproduksi pria yang menyebabkan penurunan jumlah testosteron bebas dan availabilitasnya, terjadi juga peningkatan sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga pembentukan deoxyribonucleic acid (DNA), messenger ribonucleic acid (mRNA), protein termasuk growth factor (GF) juga menurun (Cunningham et al., 2004). Kejadian hipogonad pada hewan coba dapat dibuktikan dengan cara kastrasi (pengangkatan organ testis), didapatkan bahwa kadar testosteron menurun secara drastis seperti pada percobaan yang dilakukan oleh Justulin et al. (2006), bahwa pada tikus jantan usia 3 bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9 ng/ml dan pada tikus yang dikastrasi (setelah 21 hari) sekitar 0,05 ng/ml. Tahun 2005 ditemukan bahwa konsentrasi testosteron pada tikus tua usia 30 bulan (sekitar 0,8 ng/ml) lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang lebih muda yang berusia 3 bulan (sekitar 1,8 ng/ml) (Wang et al., 2005). Pengaruh hormon testosteron pada organ reproduksi pria selain pada testis dan penis, juga berpengaruh pada organ-organ lainnya yaitu untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan kelenjar aksesori genital pria baik morfologi maupun fisiologinya, karakteristik pria, vas deferens dan skrotum (Kusdiantoro et al., 2001). Pada literatur sebelumnya efek testosteron yang diblok dengan cara kastrasi, setelah satu minggu signifikan menyebabkan penurunan berat vesikula seminalis (sekitar 0,04%) dan abnormalitas histologi jaringan dibanding kontrol (sekitar 0,2%) (Belanger et al., 2013). Hasil temuan tersebut membuktikan bahwa keadaan defisiensi hormon testosteron akan menyebabkan gangguan pada kelenjar aksesori organ reproduksi pria termasuk pada kelenjar prostat. xxi Pertumbuhan normal dan diferensiasi epitelium dari kelenjar aksesori khususnya prostat dikontrol dan diregulasi oleh androgen dengan sinyal parakrin, dimediasi oleh reseptor androgen dengan stroma sebagai lokasi reseptor androgen yang berlangsung melalui suatu mekanisme autoregulasi (Gao et al., 2005). Pada kelenjar prostat hormon testosteron akan dikonversi terlebih dahulu menjadi dihydrotestosterone (DHT) oleh enzim 5α-reductase. Androgen khususnya DHT berinteraksi dengan reseptor androgen (androgen receptor/AR) membentuk kompleks androgen-AR, dan akan memacu mRNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi proliferasi, oleh karena itu jika ekspresi AR meningkat maka akan berpengaruh positif juga pada pertumbuhan dari organ target (Culig, 2004), begitu pula sebaliknya. Penelitian oleh Banerjee et al. (2001), mengatakan bahwa level ekspresi AR menunjukan penurunan dari pertumbuhan pada lobus ventral kelenjar prostat seiring bertambahnya usia. Ekspresi AR pada organ target juga ditemukan menurun jika dikaitkan dengan penuaan (Prakash et al., 2003). Pengaruh defisiensi androgen pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi pada kelenjar karena mekanisme autoregulasi di dalam jaringan tidak terjadi (Wright et al., 2006), pada akhirnya akan mempengaruhi volume cairan seminal terutama yang disekresikan oleh kelenjar prostat yang penting ketika ejakulasi. Penelitian oleh Justulin et al. (2006), menyatakan bahwa setelah 21 hari kastrasi pada tikus menyebabkan terjadinya penghambatan proliferasi pada prostat dan vesikula seminalis yang dilihat melalui struktur histologi, keadaan tersebut dapat dipulihkan kembali dengan pemberian hormon testosteron. Penelitian oleh xxii Vargas et al. (2013), membuktikan bahwa pemberian anabolic androgen steroid jenis nandrolone decanoat 10 mg/kg BB pada tikus tua setiap satu minggu menyebabkan perubahan pada struktur prostat seperti berat dan volumenya. Hasil temuan tersebut memberi kesan bahwa pengaruh testosteron pada tingkat jaringan menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan sel pada jaringan. Perbedaannya pada tingkat molekuler, karena didapatkan bahwa androgen menyebabkan terjadinya down-regulates level AR mRNA pada ventral prostat tikus, namun up-regulates level AR mRNA pada ginjal, otot polos, penis tikus, dan lines prostate cancer (PC3). Androgen juga menimbulkan perbaikan secara utuh dari level nuclear AR pada sel Sertoli khususnya pada tipe sel epitelium (Zhu et al., 2000). Pemberian androgen terkait pada ekspresi reseptor androgen masih kontroversial, karena studi pada tahun 2001 mengatakan bahwa androgen menyebabkan up-regulates dari AR pada prostat, hal ini disebabkan karena AR teraktivasi oleh karena adanya ikatan bersama androgen (Takeda et al., 2001). Peningkatan sintesis AR merupakan respon sel terhadap hormon androgen (Sanborn et al., 2001). Penelitian selanjutnya oleh Pelletier (2002), menunjukan bahwa pemberian estradiol kombinasi dengan DHT pada tikus setelah kastrasi selama 3 minggu, menginduksi peningkatan prostate binding protein (PBP) secara signifikan. Menurut Shidaifat (2009), dari hasil penelitiannya membuktikan bahwa ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat tidak signifikan berbeda antara hewan muda maupun tua. xxiii Pengaruh testosteron pada reseptor androgen berdasarkan penelitian yang lalu masih sangat beragam, namun berdasarkan teori bahwa androgen dapat meningkatkan AR dalam sel yang ditunjukan pada proliferasi sel. Pemberian hormon testosteron dipastikan dapat memelihara organ reproduksi maupun fungsi tubuh secara umum terutama pada usia tua. Testosterone replacement therapy merupakan pengganti hormon seks pria saat terjadi defisiensi hormon testosteron yang sesuai dengan pernyataan dari The American Society Of Andrology (2009), juga merekomendasikan testosterone replacement therapy untuk terapi pengganti hormon testosteron pada pria, yang digunakan ketika terdapat tanda dan gejala klinis dari menurunnya level testosteron, yang bertujuan untuk mengurangi keluhan yang dialami oleh pria hipogonad (Surampudi et al., 2011). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Arini (2016), pada 10 ekor tikus didapatkan terjadinya peningkatan ekspresi mRNA AR antara kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon testosteron dengan berbagai dosis (4,5mg, 2,25mg dan 1,5mg), dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya dikastrasi. Pada kelompok perlakuan pertama dengan dosis hormon terbesar memiliki ekspresi mRNA AR paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain, namun secara statistik tidak signifikan. Berdasarkan hal tersebut dan karena masih adanya kontroversi terkait pengaruh pemberian testosteron terhadap ekspresi AR seperti pada penelitian sebelumnya, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang xxiv pemberian testosterone replacement therapy yang mana pengaruhnya terhadap ekspresi mRNA AR pada prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi. 1.2 Rumusan Masalah Apakah pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk membuktikan pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat akademik Dapat digunakan untuk memberikan informasi ilmiah dan menambah wawasan tentang pengaruh pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi, yang berguna untuk proliferasi sel dan pemeliharaan organ reproduksi pria. xxv 1.4.2 Manfaat praktis Dapat digunakan untuk memberi informasi terkait penggunaan terapi sulih hormon testosteron terutama pada pria andropause, namun masyarakat tetap harus berhati-hati dalam penggunaan terapi sulih hormon ini. xxvi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hipogonad 2.1.1 Definisi Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi testosteron terkait usia atau disebut juga sebagai andropause merupakan sebuah sindrom yang terjadi pada pria akibat turunnya produksi hormon testosteron, yang sejalan dengan bertambahnya usia dan ditandai dengan gejala defisiensi testosteron. Penurunan serum testosteron terjadi oleh karena kegagalan hipotalamus untuk mensekresikan gonadotropin releasing hormon (GnRH), dan peningkatan sensitifitas dari hipotalamus-pituitari untuk melakukan feedback negatif efek dari testosteron. Perubahan yang memperbesar kejadian hipogonad terjadi pada hipotalamus dan testis. Penuaan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium, labia, rahim, penis dan testis (Klentze, 2003). Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormon dan akan mempengaruhi organ targetnya. Kadar serum testosteron pria muda yang sehat berada pada kisaran (9,8 -10,4 nmol/L) (Harman et al., 2001). Penurunan kadar serum testosteron merupakan keadaan yang berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi secara bertahap, sehingga mengakibatkan 8 xxvii terjadi penurunan sekitar 1-2% per tahun (Araujo et al., 2004). Penurunan drastis dari kadar testosteron bioavailable (hingga 50%) dan testosteron bebas biasanya terjadi setelah usia 30 tahun (Kalra et al., 2010). Pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah aktif sekitar 0,8-1,6% per tahun ketika memasuki usia sekitar 40 tahun. Saat mencapai usia 70 tahun, pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah sebanyak 35% dari kadar semula (Nieschlag et al., 2005). Temuan dari Baltimore Longitudinal Study of Aging (2006), menunjukkan bahwa 30% pria pada dekade kedelapan memiliki nilai total testosteron dalam rentang hipogonadisme (6,9-10,4 nmol/L), dan 50% memiliki nilai testosteron bebas yang rendah (0,17-0,31 nmol/L), serta diperkirakan 500.000 kasus baru LOH terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Goldenberg, 2011). Masa andropause dapat terjadi oleh karena kegagalan testis (hipogonadisme primer), hipofisis dan kegagalan hipotalamus (hipogonadisme sekunder), serta disfungsi yang berkaitan dengan usia (umumnya kombinasi hipogonadisme primer dan sekunder). Penyebab paling umum dari hipogonadisme primer termasuk sindrom klineferter, distrofi myotonic, anorchidism bawaan, dan radiasi atau kemoterapi. Penyebab dari hipogonadisme sekunder meliputi sindrom kallman dan idiopatik hipogonadisme, tumor hipofisis termasuk prolaktoma (Bebb, 2011). Pada proses penuaan normal pria selain terjadi penurunan hormon testosteron, juga terjadi penurunan hormon-hormon lain seperti: penurunan dehydroephyandrosteron (DHEA/DHEAS), insulin growth factor (IGF) dan growth hormone (GH) (Braunstein, 2011). xxviii Asosiasi Urologi Eropa pada tahun 2012 membagi hipogonadisme pada pria menjadi empat kelas, yakni (Indrayanto, 2011): 1) Hipogonadisme primer disebabkan oleh insufisiensi testis. 2) Hipogonadisme sekunder yang disebabkan oleh disfungsi hipotalamushipofisis. 3) Hipogonadisme onset lambat. 4) Hipogonadisme karena insensitivitas reseptor androgen. American Association of Clinical Endocrinologists juga membagi keadaan hipogonadisme menjadi dua kelas, yakni hipogonadisme hipogonadotropik dan hipogonadisme hipergonadotropik. 2.1.2 Etiologi Penurunan hormon pada hipogonad terjadi secara perlahan sehingga seringkali tidak menimbulkan gejala. Keluhan baru timbul jika ada penyebab lain yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lainnya. Beberapa penyebab tersebut antara lain: 1) Faktor lingkungan: a. Bersifat fisik: bahan kimia yang bersifat estrogenik yang sering digunakan dalam bidang pertanian, pabrik dan rumah tangga. b. Bersifat psikis: suasana lingkungan yang buruk, kebisingan dan perasaan tidak nyaman. 2) Faktor organik (perubahan hormonal): disebabkan karena penyakit-penyakit tertentu seperti diabetes, varikokel, prostatitis kronis, kolesterol dan obesitas. xxix 3) Faktor psikogenik: penyebab psikogenik sering dianggap sebagai faktor timbulnya berbagai keluhan andropause setelah terjadi penurunan hormon testosteron. 2.1.3 Fisiologi Testosteron merupakan hormon seks steroid pria (androgen) yang terpenting, yang terbentuk dari kolesterol. Testosteron disekresikan oleh sel-sel interstitial Leydig di dalam testis. Testis mensekresi beberapa hormon kelamin pria, yang secara bersamaan disebut dengan androgen, termasuk testosteron, dehidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari yang lain sehingga dapat dianggap sebagai hormon testiskuler yang terpenting (Nieschlag et al., 2010). Androgen pada umumnya (testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion, 17-ketosteroid) sangat dibutuhkan untuk perkembangan sifat-sifat seks primer maupun sekunder (maskulinitas) pada laki-laki. Testosteron sebagian besar (95%), disekresikan oleh sel Leydig di dalam jaringan testis dan sisanya (5%) diproduksi oleh kelenjar adrenal, disamping hormon-hormon steroid yang disebutkan tadi, testis juga memproduksi androgen yang kurang poten (bersifat androgen lemah) seperti DHEA dan androstendion (Baziad, 2002 dalam Braunstein 2011). Sel-sel Leydig selain memproduksi estradiol, juga mensekresikan (dalam jumlah yang sangat kecil) estron, pregnenolon, progesteron, 17-alfa-hidroksiprogesteron. Dehidrotestosteron dan estradiol tidak hanya disekresikan oleh selsel Leydig dari testis saja, tapi hormon-hormon seks steroid tersebut dapat juga dibentuk oleh prekursor androgen dan estrogen pada jaringan seperti jaringan xxx perifer dari kelenjar adrenal, bahkan 80% dari hormon steroid yang ditemukan dalam peredaran darah berasal dari prekursor androgen (Harman et al., 2001). Androgen atau testosteron dalam peredaran darah pada umumnya didapatkan dalam bentuk yang terikat dengan suatu molekul protein (binding protein), dan hanya sebagian kecil saja terdapat dalam bentuk yang bebas sebagai free testosterone. Free testosterone hanya dapat ditemukan sekitar 1,6%-2% saja atau sebesar 0,47 – 2,44 ng/dl (Davison, 2006). Pada remaja sekitar 38% testosteron terikat pada protein albumin, selebihnya sebanyak 60% terikat pada globulin, sedangkan pada orang tua testosteron yang terikat dengan globulin sebesar 75% dan terikat pada albumin 23%. Testosteron yang terikat dengan globulin sangat kuat sehingga sulit lepas menjadi free testosteron berbeda dengan ikatan testosteron dengan albumin yang lemah dan mudah lepas (Guyton dan Hall, 2008). Komponen aktif dari testosteron adalah testosteron terikat albumin dan testosteron bebas yang kemudian diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol dan oleh enzim 5α reduktase menjadi dehidrotestosteron. Free androgen index (FAI) menunjukan hubungan antara konsentrasi testosteron dengan protein pengikat androgen. Kadar normal testosteron pada pria berada pada kisaran 300ng/dl-700ng/dl, sedangkan FAI berkisar 70-100%, bila FAI < 50%, gejalagejala andropause akan muncul (Surampudi et al., 2012). Pada sel-sel targetnya hormon testosteron umumnya akan diubah menjadi dehidrotestosteron, namun di dalam hepar sebagian besar testosteron akan diubah menjadi berbagai macam metabolit, xxxi misalnya menjadi androsteron, epiandrosteron dan etiokholanolon. Metabolit-metabolit tersebut setelah berkonjugasi dengan glucuronic acid akan dikeluarkan melalui urin sebagai 17ketosteroid. Penentuan kadar 17- ketosteroid di dalam urin, perlu disadari bahwa hanya sekitar 20-30% ketosteroid urin berasal dari testosteron, sedangkan selebihnya berasal dari metabolit hormon steroid adrenal dan lainnya. Dengan demikian penentuan kadar 17- ketosteroid urin tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan kadar steroid dari testis (McCence dan Huether, 2008). Kadar testosteron dan kadar testosteron sex hormone binding globulin (SHBG) diklasifikasikan berdasarkan usia seperti tabel berikut ini: Tabel 2.1 Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG Kadar testosteron Kadar testosteron SHBG Usia ng/dl Usia nmol/l 20 - 39 400 - 1080 13 -15 13 - 63 40 - 59 350 - 890 16 - 18 13 -71 >50 350 - 720 >19 11 - 54 (Guyton dan Hall, 2008). Penurunan kadar hormon testosteron pada pria menimbulkan beberapa gejala dan keluhan pada berbagai aspek kehidupan, antara lain : 1) Ganguan vasomotor Tubuh terasa panas, berkeringat, insomnia, rasa gelisah dan takut terhadap perubahan yang terjadi. 2) Gangguan fungsi kognitif dan suasana hati (psikis) Mudah lelah, menurunnya konsentrasi, keluhan depresi, dan hilangnya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan inisiatif terhadap berbagai hal. xxxii 3) Gangguan virilitas Menurunnya energi dan tenaga secara signifikan, menurunnya kekuatan dan massa otot, perubahan pertumbuhan rambut dan kualitas kulit, penumpukan lemak pada daerah abdominal, osteoporosis karena berkurangnya densitas tulang serta fraktur tulang yang meningkat. 4) Gangguan seksual Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktivitas seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi spontan, berkurangnya kemampuan ejakulasi, mengecilnya testis dan menurunnya volume ejakulasi, menurunnya libido yang berimbas pada menurunnya minat terhadap aktivitas seksual (Guyton dan Hall, 2008). 2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad Penatalaksanaan terutama ditujukan agar dapat mengurangi keluhan maupun masalah saat memasuki usia tua. Pada tahap pencegahan, memperbaiki faktor psikologis yang terganggu mempunyai arti penting dalam mempertahankan kesehatan secara umum. Selain faktor psikologis, pria juga perlu menjaga kebugaran jasmani dan menerapkan pola hidup sehat (Wibowo, 2003). Tujuan penanganan hipogonad yaitu untuk menormalisasikan level serum testosteron dan memperbaiki simptom atau keadaan patologis yang dapat dialami oleh karena defisiensi testosteron. Pengobatan utama hipogonad saat ini adalah pemberian androgen replacement therapy, walaupun hormon yang menurun pada xxxiii hipogonad terdiri dari bermacam-macam hormon, namun pemberian hormonhormon multiple saat ini belum lazim dilakukan dan dalam tahap penelitian. Terapi pengganti yang saat ini hanya dapat diberikan khususnya pada pria hipogonad adalah pemberian hormon testosteron, pemberian terapi perlu dilakukan dengan hati-hati dan konsentrasi testosteron perlu tetap dikontrol mengikuti terapi testosteron, serta tetap memperhatikan kontraindikasi sebelum pemberian terapi (Dandona et al., 2009). 2.1.5 Syarat pemberian testosterone replacement therapy Syarat pemberian suntikan hormon testosteron menurut FDA, khususnya pada pria harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Pria dewasa dengan keadaan defisiensi atau hilangnya endogenous testosteron, seperti keadaan hipogonad primer dan sekunder, maupun hypogonadotropic hypogonad. 2) Terdapat tanda dan gejala hipogonadisme karena penuaan (menggunakan kuisioner ADAM) disertai dengan catatan level testosteron yang rendah. 3) Terkait dengan fungsi seksual (menggunakan domain IIEF-15). 4) Harus dievaluasi dulu penyakit yang menyertai, faktor kausatif, kejadian akut dan medikasi yang potensial menyebabkan penurunan testosteron. 5) Terdapat indikasi seperti peningkatan komposisi tubuh, penurunan minat seksual, insomnia, sleep apnea, penurunan densitas tulang dan massa otot, kerontokan rambut, hilangnya mood dan perasaan depresi. 6) Kontraindikasi seperti kanker prostat dan kanker payudara. xxxiv 7) Dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan bentuk tubuh (genekomastia dan lemak viseral), tekanan darah, rambut, kulit dan pemeriksaan genital seperti: ereksi penis (skor 1-4), jika skor yang didapat pada pria 1-3 maka pria tersebut mengalami disfungsi ereksi dan pemeriksaan testis menggunakan orchidometer. 8) Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan hormon testosteron (di bawah 300 ng/dl), LH dan FSH, lipid, insulin, kardiovaskuler dan glukosa. 9) Preparat testosterone replacement therapy yang digunakan sesuai kebutuhan dan pemberian dengan dosis yang tepat serta sesuai dengan demografi penderita dan catatan klinis sebelumnya (jika ada). 10) Evaluasi, follow up dan monitoring selama pemberiannya (Anonim, 2015). 2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) 2.3.1 Karakteristik tikus Tikus yang digunakan untuk penelitian di laboratorium terdiri dari beberapa galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley, yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya, dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium. Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan dalam jumlah yang cukup besar (Kusumawati, 2004). Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat. xxxv Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan dan dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, jika dipegang dengan cara yang benar tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan pada tikus lebih menguntungkan. Tabel 2.2 Data Biologis Tikus Karakteristik Ukuran Berat badan Jantan : 300 - 400 gram Betina : 250 – 300 gram Berat lahir :5-6 gram Lama hidup : 2,5 – 3 tahun Temperatur tubuh : 35,9 – 37,5 oC Kebutuhan air : 8 – 11 ml/100gBB Kebutuhan makan :5 g/100gBB Frekuensi jantung : 330 – 480 per menit Frekuensi respirasi : 66 – 114 per menit Tidal volume : 0,6 – 1,25 ml Pubertas : 50 – 60 hari Dewasa : 160 – 180 hari Jantan : 65 – 110 hari Betina : 65 – 110 hari Saat dikawinkan xxxvi Lama siklus birahi :4–5 hari Lama bunting : 21 -23 hari Jumlah anak perkelahiran : 6 – 12 Umur sapih : 21 hari hari (Kusumawati, 2004). 2.3.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia 1) Definisi Sistem reproduksi pada mamalia hampir sama dengan manusia yang merupakan sistem yang menjalankan proses reproduksi yakni proses biologis, merupakan proses untuk memproduksi organisme baru yang bertujuan untuk mempertahankan diri, dan terdiri atas alat-alat reproduksi yang mendukung kegiatan reproduksi dan seksual pada hewan disamping alat-alat tubuh lainnya. Organ genital pada suatu mahluk hidup merupakan kelengkapan alat reproduksi yang berfungsi untuk berkembangbiak dan memperoleh keturunan. Organ kelamin jantan dan organ kelamin betina berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Reproduksi pada tikus jantan diiringi oleh turunnya testis ke skrotum dan diikuti dengan mulainya spermatogenesis. Sekresi GnRH menghasilkan level sekresi testosteron yang meningkat selama pubertas. Luteinizing Hormone (LH) menstimulasi sel Leydig untuk meningkatkan produksi testosteron. Sistem reproduksi pada hewan terdiri atas organ reproduksi (penis, testis dan skrotum, epididimis), saluran reproduksi (vas deferens dan uretra), dan kelenjar seks aksesori (Syamsuharlin, 2011). Pada mamalia jantan, organ reproduksi utama berupa sepasang testis yang terdapat di dalam skrotum. Saluran reproduksi pada mamalia jantan berfungsi xxxvii sebagai jalur transportasi sperma (cairan seminal). Testis sebagai organ reproduksi utama memiliki fungsi ganda, yaitu selain untuk menghasilkan gamet (spermatozoa) juga mampu menghasilkan hormon seks pria terutama testosteron (Nuraini, 2014). Gambar 2.1 Sistem Reproduksi Tikus Jantan (Rugh, 1964 dalam Herliyani, 2009). 2) Kelenjar prostat a. Anatomi kelenjar prostat Kelenjar prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di bawah buli-buli (kandung kemih), di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini lebih dikenal daripada kelenjar vesikula seminalis. Prostat Terdiri dari dua bagian yaitu badan prostat dan prostat cryptik. Bagian badan prostat terdapat di belakang ampula dekat di atas uretra pars pelvis, sehingga disebut corpus prostat. Badan prostat berukuran lebar 2,5-4,0 cm dan tebal 1,0-1,5 cm. Bagian prostat yang cryptik disebut pars disseminata, yang mengelilingi uretra pars pelvis. Di bagian xxxviii dorsal ukurannya mencapai tebal 1,0-1,5 cm, panjang 10-12 cm dan tertutup oleh otot uretra (Herliyani, 2009). Kelenjar prostat berbentuk lonjong seperti biji kenari, beratnya kurang lebih 20 gram yang mengelilingi uretra, disusun oleh 30-50 kelenjar tubula alveolar/glandular bersama otot polos dan keseluruhan kelenjar dibungkus oleh kapsul yang terdiri atas jaringan ikat. Kelenjar prostat mempunyai rangkaian duktus pendek yang secara langsung disambungkan ke uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Otot polos tersebut digunakan untuk melengkapi tenaga yang dibutuhkan untuk ejakulasi. Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan kandung kemih, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti (Sjamsuhidajat et al., 2010). Anatomi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini: Gambar 2.2 xxxix Anatomi Kelenjar Prostat Tikus (Shen dan Robert, 1997 dalam Kinblom, 2003). Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas, biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas deferens dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafrgama tersebut, dan dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera serta prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Kinblom, 2003). Kelenjar prostat mengandung banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos, disamping mengandung jaringan kelenjar. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena (Sjamsuhidajat et al,. 2010). Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesciralis inferior dan arteria rectalis media. Vena-vena bergabung membentuk plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibroda dan sarung prostat, dan ditampung oleh vena iliaka interna (Moore et al., 2002). b. Histologi kelenjar prostat Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromaskular (Kumar et al., 2007). Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromaskuler anterior dan zona periurethra. Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona xl transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terjadi pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Junqueira, 2007). Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis bersama dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas. Struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron seperti pada organ reproduksi lainnya (Janqueira dan Carneiro, 2007). Histologi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini: Gambar 2.3 Histologi Kelenjar Prostat Pada Tikus (Conti et al., 2005). xli c. Fisiologi kelenjar prostat Kelenjar prostat mensekresikan cairan encer, seperti susu yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Sekresi kedua bagian ini melalui beberapa muara kecil masuk ke dalam uretra. Sekresinya juga banyak mengandung ion anorganik (Na, Cl, Ca, Mg) (Syamsuharlin, 2011). Selama pengisian, otot-otot kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairannya bersifat encer, yang dikeluarkan untuk menambah jumlah cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Sifat cairan prostat yang sedikat basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, sebagai akibatnya akan menghambat fertilisasi sperma. Sekret vagina bersifat asam (pH 3,5 – 4) sehingga menyebabkan sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6-6,5, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton dan Hall, 2008). 2.3 Reseptor Androgen (AR/androgen receptor) Pada Tikus Reseptor androgen juga dikenal sebagai nuclear receptor subfamily type dari nuclear receptor yang diaktivasi oleh ikatan dengan ligan dan menginduksi faktor transkripsi, yang juga termasuk reseptor untuk hormon steroid pada hewan mamalia seperti glucocorticoid receptor (GR), mineralcorticoid receptor (MR), progesterone receptor (PR), estrogen receptor (ER) dan androgen receptor (AR) (Marilia et al., 2009). xlii Analisis struktural dari cDNAs pada hAR (human androgen receptor) dan rAR (rat androgen receptor) mengindikasikan bahwa region dari amino terminal pada AR kaya akan oligo dan poli (amino acid), yang merupakan struktur dari beberapa gen homeotik. Reseptor androgen pada tikus mempunyai lengan atau untaian basa yang kaya akan glutamin, dan terdapat kesamaan sequence antara AR dan GR, PR dan MR dalam domain steroid-binding. Pada proses hibridasi molekuler cDNA AR digunakan sebagai promotor yang nantinya akan membentuk mRNA AR dalam proses transkripsi. Translasi dari mRNA mengandung 94 dan 76 kDa protein dan bentuk yang lebih kecil pada ikatan DNA serta mempunyai afinitas yang tinggi terhadap androgen, mengindikasikan bahwa organ aksesori genital pria ataupun hewan jantan kaya akan mRNA AR, dan produksi mRNA AR pada organ target terjadi karena mekanisme autoregulasi oleh androgen (Chang et al., 2008). Gambar 2.4 xliii Analisis Struktur cDNA Dari AR pada Tikus (Chang et al., 2008). Reseptor androgen bekerja secara bebas yang berinteraksi dan berikatan dengan DNA melalui protein sinyal transduksi di sitoplasma. Reseptor androgen dapat menyebabkan perubahan yang cepat pada fungsi sel yang bebas dari perubahan di gen transkripsi seperti perubahan pada ion transport (Arun et al., 2001). Fungsi AR sebagai DNA-binding dari faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen, yang mana jika diberikan testosteron akan masuk ke dalam sel yang sebelumnya telah diubah menjadi DHT, kemudian berikatan dengan reseptornya membentuk kompleks androgen-AR. Setelah pengikatan dengan steroid atau ligannya, AR mengalami perubahan bentuk dan pengeluaran heat shock protein (HSP), sehingga AR menjadi aktif (Davison, 2006). Ikatan androgen dan reseptornya yang terjadi di dalam sel kemungkinan merupakan ikatan spesifik pada sequence yang dekat dengan promotor dari gen target yang diaktivasi, dan akan menghasilkan modulasi dari inisiasi transkripsi (Arun et al., 2001). Pada ketiadaan hormon, AR dihubungkan dengan seluler chaperons seperti HSP dan protein lainnya yang berlokasi di sitoplasma dari sel target. Pada saat tersedianya hormon maka hormon yang berdifusi ke dalam sel, akan berikatan dengan reseptor dan menghasilkan perubahan pada AR yang inaktif yaitu perubahan bentuk reseptor dan peristiwa pelepasan hubungan antara reseptor dan HSP, selanjutnya AR menjadi aktif. Kompleks androgen bersama reseptornya yang telah terbentuk tersebut kemudian mengalami dimerisasi, phosphorylation dan selanjutnya translokasi ke dalam nukleus dan berikatan pada sequence DNA xliv target (hormone response element/HRE). Di dalam nukleus, interaksi AR dengan coactivators dan enzim dari kromatin menyebabkan munculnya faktor general transkripsi pada bentuk preinisiasi dan gen target transkripsi (Weigel dan Zhang, 2008), yang dapat ditunjukan pada gambar berikut ini: Gambar 2.5 Aktivasi Dari Reseptor Hormon Steroid (Weigel dan Zhang, 2008). Reseptor hormon steroid coactivators (SRCs) menunjukan pertumbuhan protein pada interaksinya dengan reseptor pada ligan-spesifik dan menjalani aktivitas transkripsi (Khan et al., 2005). Coactivators memiliki aktivitas enzimatik, seperti histone acetyltransferase, histone methyltransferase, ubiquitinconjugation dan ubiquitin-protein ligase (Nawaz et al., 2000 dalam Khan et al., 2005). Fungsi coactivator’s in vivo dimanifestasi oleh aktivitas enzimatik yang berkumpul pada region dari gen target. Kemampuan dari peningkatan reseptor dimediasi oleh ekspresi gen, coactivators memainkan peran penting dalam meregulasi besarnya respon biologis dari hormon steroid. Level dari ekspresi xlv coactivator merupakan faktor penentu dari aktivitas reseptor pada jaringan target dan berbagai macam respon hormon yang dapat dilihat diantara individu dalam populasi (Khan et al., 2005). Reseptor androgen berinteraksi dengan protein lain di dalam nukleus, menghasilkan up atau down regulation dari gen spesifik transkripsi. Aktivasi atau up regulasi transkripsi menghasilkan peningkatan sintesis mRNA yang diaktifkan dan ditranslasi oleh ribosom, untuk memproduksi protein spesifik yang berguna untuk pertumbuhan sel (Davison, 2006), sehingga kecepatan pertambahan jumlah sel (efek non-genomic) juga dikaitkan dengan aktivasi AR oleh karena androgen (Haelens et al., 2007). Semua AR ikut serta dalam proses transkripsi yang mengkode modular protein dari 919 asam amino yang timbul pada permukaan molekul dengan berat 110 kD (Lubhan et al., 2000 dalam Marilia et al., 2009). Perbedaan spesies termasuk pada manusia, tikus, hamster membuktikan bahwa region promotor dari gen AR khususnya pada manusia dan tikus mengalami kekurangan sequence yang khas seperti TATA dan CAAT, yang merupakan model urutan basa dari 5’ UTR tapi kaya dengan region GC yang penting untuk cis-acting element untuk AR gen transkripsi, dan diduga merupakan tempat yang aktif untuk mengikat faktor transkripsi dari gen sex limited protein (Slp) yang merupakan karakteristik suatu promotor (Wolf et al., 2003). Perbedaan antara subfamilies dari tipe reseptor nuklear, ditunjukan pada perbedaan mekanisme dari kumpulan sel dan regulasi dari promotor spesifik pada ekspresi gen, termasuk reseptor heterodimerization, jarak variabel yaitu antara HRE dan HRE site (Zechel et al., 2004 dalam Ikonen et al., 2007). Mekanisme ini xlvi tidak digunakan oleh PR, GR, MR dan AR, hal tersebut dikarenakan bahwa variabelnya tinggi pada region N-terminal yang mampu merespon sel dan regulasi dari steroid spesifik pada gen target. Gagasan tersebut mendukung pernyataan bahwa induksi dari ekspresi Slp pada tikus dimediasi oleh region N-terminal dari AR (Pearce & Yamamoto, 2003 dalam Ikonen et al., 2007). Delesi N-terminal identik pada wild-type rAR dan struktur rAR yang aktif (AR domain 641–902) tanpa ligand-binding domain (LBD), yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi transkripsi yaitu delesi dari residu 149–295 yang dihilangkan dari aktivitas wild-type AR, merupakan aktivitas dari transaktivasi domain N-terminal dan dikontrol oleh hormon yang bertindak sebagai LBD. Keadaan tersebut memberi kesan bahwa terdapat interaksi yang kuat dari androgen-dependent antara region N-terminal dan LBD (Ikonen et al., 2007). Ekspresi dan regulasi dari gen hAR dan rAR diobservasi pada sel lines hewan, dan dapat dipastikan bahwa ekspresi RNA AR diregulasi oleh adanya androgen (Keller et al., 2006). Ekspresi relatif mRNA AR pada beberapa jaringan dari tikus yang dianalisis menggunakan realtime PCR. Tabel 2.3 Ekspresi Relatif mRNA AR Pada Beberapa Organ Tikus Jantan Organ Ekspresi mRNA AR Hipotalamus 42 Kelenjar adrenal 141 Epididimis 115 Kelenjar tiroid 68 Kelenjar pituitari 56 xlvii Kelenjar preputial 44 Otot levator ani 30 Ginjal 27 Kelenjar prostat 25 Vesikula seminalis 25 Testis 20 Liver 18 Otot bulbocavernosus 16 Hati 8 Kelenjar submaksilaris 17 (Young et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Data tersebut digunakan sebagai gambaran persentasi dari mRNA AR relatif pada level mRNA AR dari organ reproduksi tikus jantan termasuk pada prostat. Ekspresi AR berubah selama perkembangan fetal, perkembangan seks sekunder, penuaan dan keganasan. Regulasi dari level AR dapat terjadi kapanpun sepanjang gen AR mengalami proses transkripsi selanjutnya post-translasi. Faktor yang mempengaruhi termasuk androgen yang melibatkan modulasi dari AR protein dari ekspresi mRNA (Keller et al., 2006). Pada perkembangan fetal tikus, mRNA AR tidak ditemukan pada urogenital pada 13,5 hari gestasi sedangkan pada 15,5 hari gestasi mRNA AR dan protein dapat ditemukan (Takeda et al., 2001). Pada tikus neonatal, setelah 3 hari kastrasi tidak menghasilkan perubahan ekspresi AR pada prostat tikus (Husmann et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Temuan ini memberi kesan bahwa terjadi satu atau lebih perkembangan dari faktor regulasi yang mempengaruhi ekspresi. xlviii Peningkatan usia menimbulkan penurunan ekspresi AR pada tikus yang dikaitkan dengan ekspresi age dependent factor (ADF) yang diekspresikan pada semua jaringan. Age Dependent Factor berikatan dengan fragmen rAR antara fragmen -310 sampai -330. Ikatan ADF pada promotor rAR secara in vitro menunjukan penurunan yang tergantung pada usia, ketika ADF berikatan pada tempatnya dikatakan telah terjadi mutasi sehingga menurunkan aktivitas promotor dari rAR. Beberapa faktor seperti androgen dilaporkan dapat memodifikasi ekspresi AR, yaitu terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada ventral prostat tikus, line kanker prostat (LNCap) dan line hepatoma sel (Shan et al., 2000 dalam Keller et al., 2006). Bagaimanapun temuan ini masih kontroversial karena up-regulation AR oleh karena androgen ditunjukan pada prostat tikus (Takeda et al., 2001), pada fibroblas genital, otot polos penis dan sel prekursor adiposa (Pergola et al., 2000 dalam Keller et al., 2006). Menurut Mozokami et al. (2002), terjadi down-regulation dari mRNA AR oleh karena androgen pada line kanker prostat yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi AR protein, memberi kesan bahwa AR protein up-regulation oleh karena androgen dihasilkan dari sejak terjadinya stabilitas AR protein. Pemberian androgen menyebabkan beberapa hormon dan faktor pertumbuhan dapat meregulasi ekspresi AR, seperti FSH meningkatkan level mRNA AR pada sel Sertoli. Growth Hormone, prolaktin dan ephitelial growth factor (EGF) meningkatkan mRNA AR pada sel prostatik (Mizokami et al., 2002 dalam Keller et al., 2006). xlix Ekspresi AR dapat dimodifikasi oleh karena variasi beberapa faktor yang muncul yang bekerja bersama androgen pada jaringan dan model sel spesifik. Meskipun androgen mengawali modulator dari perkembangan dan pemeliharaan pada struktur fenotif pria dan fungsi reproduksi, namun mekanisme molekuler yang mendasari regulasi AR secara in vivo dan mekanisme kerjanya kurang diketahui secara pasti terutama pada jaringan reproduksi (Wolf et al., 2003). 2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA) Molekul RNA sitoplasmik yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein (memindahkan informasi genetik dari DNA ke perangkat pembentuk protein) disebut dengan RNA pembawa atau messenger RNA. Kelas RNA pembawa ini adalah yang paling heterogen dari segi jumlah, ukuran dan stabilitas. Mekanisme transkripsi maupun pascatranskripsi ikut berperan dalam kandungan mRNA yang sangat bervariasi (Heredia dan Jansen, 2003). Pada proses ekspresi gen, mRNAs secara stabil diterjemahkan dari DNA dan akan ditranslasi oleh ribosom ke dalam protein. Jumlah keduanya dan tipe protein diekspresikan dalam sel yang penting untuk pertahanan hidup dan respon kapasitasnya oleh karena perubahan lingkungan. Regulasi transkripsi merupakan mekanisme dasar yang mengontrol level ekspresi dari protein (Denake et al., 2013). Lokasi mRNA tersebar luas saat mekanisme post-transcription untuk target sintesis protein pada tempat seluler spesifik, ini terkait pada generasi sel dengan muatan kutub yang berlawanan, terjadi pemisahan yang berbeda pada sel yang l penting dan spesifikasi dari sel germinal. Aktin dan filamen mikrotubul memiliki fungsi penting selama lokalisasi RNA, khususnya selama transport dari mRNAs dan mempengaruhi targetnya. Pergerakan dan sistem filamen dihasilkan melalui perpindahan mRNA dan dari purifikasi lokalisasi dari ribonucleoprotein, serta ditemukan juga jalur dari sentrosom pada lokalisasi RNA (Kloc et al., 2002 dalam Heridia dan Jansen, 2003). Pada sel mamalia termasuk sel manusia, molekul mRNA yang terdapat di sitoplasma bukan merupakan produk RNA yang disintesis langsung dari cetakan DNA, tetapi harus dibentuk oleh pemrosesan pre-mRNA sebelum masuk ke sitoplasma. Pada inti sel mamalia, produk langsung transkripsi gen (transkrip primer yaitu pre-mRNA) sangat heterogen dan bisa 10 hingga 50 kali lebih panjang daripada molekul mRNA matur. Molekul pre-mRNA diolah untuk membentuk molekul mRNA yang kemudian masuk ke dalam sitoplasma dan berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein. Messanger RNA memiliki usia hidup yang sangat beragam dalam sebuah sel. Molekul RNA yang disintesis dalam sel mamalia merupakan molekul prekursor yang masih harus menjalani pemrosesan agar menjadi RNA matur yang aktif (Murray et al., 2014). Pada sel mamalia, kelimpahan mRNA bervariasi hingga kelipatan 104, yang mana keseluruhan dari anggota kelas ini berfungsi sebagai pembawa yang menyampaikan informasi dalam suatu gen ke perangkat pembentuk protein. Masing-masing mRNA berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk polimer asam amino dengan sekuens spesifik, sehingga membentuk molekul protein spesifik yaitu produk akhir suatu gen (Denake et al., 2013). li 2.5 Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat Secara ultrastruktur, kelenjar aksesori terdiri dari sel epitelium dengan morfologi sel glandular yang mensekresikan protein. Pertumbuhan epitelium dipengaruhi oleh hormon androgen tertentu yakni DHT. Hormon tersebut diperoleh dari konversi testoteron dan androgen adrenal yang memasuki sel sekretorik epithelium glandular. Dehidrotestosteron memilliki aktivitas 30 kali lebih kuat dari testosteron, ikatan DHT dengan AR akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor menuju nukleus yang akhirnya mempengaruhi transkripsi gen, yang menstimulasi pertumbuhan normal epitelium khususnya pada prostat, serta dapat memicu pertumbuhan sel yang abnormal seperti benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat berkembang menjadi kanker prostat, terutama jika sebelumnya terdapat riwayat dari kanker prostat (Fernandez et al., 2005). Oleh karena itu, androgen dapat mempengaruhi perkembangan dari kelenjar prostat melalui reseptor protein intraseluler yaitu reseptor androgen (Marker et al., 2003 dalam Khan et al., 2005). Penyediaan androgen merupakan syarat untuk mendorong pertumbuhan kelenjar prostat dan untuk menjaga ukuran yang tetap stabil. Meskipun testosteron merupakan androgen yang lazim beredar dalam darah, DHT adalah androgen yang paling aktif terlibat dalam regulasi kelenjar prostat. Konversi testosteron menjadi metabolit aktifnya dicapai melalui aktivitas 5α-reduktase, yang terjadi dalam dua isozim, tipe I dan tipe II. Sementara jenis II didominasi oleh sel-sel prostat, tipe I oleh jaringan lain, seperti kulit dan hati. Kekurangan tipe II sangat menghambat lii pengembangan kelenjar prostat pada manusia dan yang lebih rendah pada tikus (Mahendroo et al., 2001). Reseptor androgen bertindak sebagai faktor transkripsi dimana fungsinya untuk pengikatan DNA dan mengatur ekspresi gen. Ekspresi mRNA AR secara signifikan terdeteksi pada sel kanker payudara, liver, sel line prostat, terdapat banyak pada permukaan fibroblas genital, ventral prostat dan pada line kanker prostat, ekspresi dari mRNA AR tersebut diregulasi oleh adanya androgen (Culig, 2004). Respon androgen terlibat dalam banyak kegiatan seluler yang berkisar dari proliferasi menuju ke kematian sel yang terprogram. Ekspresi AR telah terbukti terkait dengan proliferasi sel dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker prostat. Hasil ini menunjukkan dengan jelas pentingnya tingkat ekspresi AR dalam mengatur tingkat pertumbuhan kelenjar prostat terutama pada penuaan (Shidaifat, 2009), dan lokasi AR diketahui paling banyak terletak pada sel basal dari epitelium ventral prostat tikus (Soeffing, 2005). Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan menginduksi respon fisiologis pada beberapa variasi dari organisme eukariotik. Kerja hormon tersebut timbul jika berikatan dengan hormon steroid spesifik yang memiliki afinitas yang tinggi dengan reseptor protein pada sel-sel target, dan interaksi dari kompleks reseptor hormon steroid dengan elemen regulator pada gen spesifik (Yamamoto, 2005 dalam Chang et al., 2008). liii Reseptor androgen ditemukan pada beberapa organ yang sensitif terhadap androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebaceus dan preputial, otot levator ani dan beberapa tumor yang sensitif terhadap androgen. Beberapa abnormalitas dari respon androgenik kemungkinan terjadi karena adanya mutasi dari gen AR (Bardin et al., 2003 dalam Chang et al., 2008). Reseptor androgen merupakan ligand-activated dari faktor transkripsi yang memediasi sinyal dari semua androgen. Ketika diaktivasi oleh androgen, AR akan berikatan pada respon elemen pada promotor gen target, termasuk protein penyandi yang terkait dengan proses mitosis, diferensiasi dan apoptosis pada prostat (Verrijdt et al., 2003). Mekanisme aktivasi dari gen target oleh reseptor nuklear diidentifikasi oleh banyak protein coactivator, selanjutnya protein tersebut membentuk ikatan bersama agar dapat mengaktivasi reseptor ligand-dependent atau reseptor yang sebelumnya telah membentuk kompleks androgen-AR, dan juga meningkatkan kemampuan untuk mengaktivasi gen target (Bevan & Parker 1999 dalam Chang et al., 2008). 2.6 Hormon Testosteron 2.6.1 Pada manusia Kata ”hormon” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti membangkitkan untuk beraktivitas. Sesuai dengan definisi klasiknya, hormon adalah suatu zat yang disintesis dari satu organ dan diangkut oleh sistem sirkulasi untuk bekerja di liv jaringan lain. Hormon juga dapat bekerja pada sel-sel disekitarnya (kerja parakrin) dan pada sel tempat hormon tersebut berasal (kerja autokrin) tanpa harus masuk ke sirkulasi sistemik. Telah berkembang beragam hormon, masing-masing dengan mekanisme kerja dan biosintesis, penyimpanan, sekresi, pengangkutan serta metabolisme tersendiri untuk menghasilkan respon homeostasis (Guyton dan Hall, 2008). Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol dengan nama sistemik (memakai sistem IUPAC) yaitu: 17-hydroxy-10,13- dimethyl 1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17 dodecahydrocyclopenta [a] phenanthren-3-one (Braunstein, 2011). Gambar 2.6 Struktur Kimia Hormon Testosteron (Braunstein, 2011). Hormon disintesis pada organ-organ yang disusun untuk tujuan spesifik, misalnya tiroid menghasilkan hormon triodotironin, adrenal menghasilkan hormon glikokortikoid dan mineralokotikoid serta hipofisis menghasilkan hormon TSH, FSH, LH, ACTH, GH dan Prolaktin. Sebagian organ disusun untuk melakukan dua atau beberapa fungsi yang berbeda tetapi tetap berkaitan erat, misalnya ovarium yang menghasilkan oosit matang dan hormon reproduktif lv estradiol dan progesteron. Testis menghasilkan spermatozoa matang dan testosteron (Nieschlag et al., 2010). Regulasi hormonal diawali dengan proses pada poros hipotalamus-hipofisegonad pada pria sebagai fungsi dari testiskuler dan efek dari androgen. Pada pria muda regulasi poros tersebut merupakan proses sirkulasi yang akan menghasilkan konsentrasi testosteron (Belanger et al., 2013). Generator pulsasi hipotalamus akan mensekresikan GnRH kira-kira setiap 90 menit. Gonadotropin releasing hormone yang disekresikan dalam sirkulasi portal hipotalamus-pituitari, kemudian menstimulasi sekresi dari kelenjar pituitari anterior seperti luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) ke dalam sirkulasi sistemik. Luteinizing hormone mencapai testis dan menimbulkan keadaan tonik dan episodik pada sel Leydig yang berlokasi antara tubulus seminiferus untuk mensintesis dan mensekresikan testosteron, namun tetap di bawah kontrol dari LH (Borst dan Mulligan, 2007). Setelah sekresi oleh testis, sekitar 97% dari testosteron berikatan dengan plasma albumin atau yang lebih kuat berikatan dengan beta globulin yang dikenal sebagai SHBG, dan yang beredar dalam sirkulasi darah yaitu free testosterone atau bentuk yang tidak berikatan (Ullah et al., 2014). Bioavailable testosteron bekerja pada jaringan multi target dan dalam mekanisme regulasi pada poros Hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG). Konsentrasi serum testosteron diperlihatkan pada ritme sirkadian dan ultradian. Ritme sirkadian menghasilkan konsentrasi serum testosteron yang puncaknya selama pagi hari, sedangkan ritme ultradian merupakan siklus konsentrasi serum testosteron yang berfluktuasi sekitar 90 menit. Ritme ultradian lvi ini mewakili keseluruhan dari pola sekresi testosteron pada sekresi basal atau tonik. Pada dewasa muda, berlangsung dua peristiwa yaitu yang pertama, stimulasi GnRH yang menstimulasi LH untuk menskresikan testosteron dan yang kedua yaitu free atau bioavailable testosteron menghambat poros HPG, yang ditunjukan pada penurunan GnRH dan LH/FSH dari hipotalamus dan pituitari anterior (Nieschlag et al., 2010). Komponen dari poros HPG mempertahankan konsentrasi serum total testosteron dalam keadaan normal dengan range antara 450–1,000 ng/dL, dan konsentrasi serum total testosteron untuk dewasa muda yang sehat sekitar 650 ng/dL (Borst dan Mulligan, 2007). Testosteron penting untuk perkembangan dan pemeliharaan dari beberapa organ dan fungsi fisiologi pria. Hormon steroid memberikan efek seumur hidup terutama pada pria (Ullah et al., 2014). Perkembangan sel Leydig saat masa fetus terjadi pada minggu ke tujuh yang merupakan awal mula produksi testosteron. Testosteron berguna untuk diferensiasi dari traktus genitalis pada fetal seperti pada epididimis, vesikula seminalis, dan vas deferens. Genetalia eksternal pria mulai berkembang sekitar minggu ke delapan pada fetal. Testosteron mulai memberikan efek pada perkembangan dari karakteristik seks sekunder pada masa pubertas, selain itu testosteron juga berfungsi untuk memelihara komposisi tubuh termasuk massa otot, massa tulang, spermatogenesis, libido, sensitivitas insulin, metabolisme glukosa dan lain-lain (Ullah et al., 2014). Tabel 2.4 Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa Hormon Besar normal lvii Total testosteron 260-1000 ng/dl (9,0 – 34,7 nmol/L) Free testosterone 50 – 210 pg/ml (173 – 729 Pmol/L) Dehidrotestosteron 27 – 75 ng/dL (0,9 – 2,6 nmol/L) Androstenedion 50 – 250 ng/dL (1,7 – 8,5 nmol/L) Estradiol 10-50 pg/ml (3,67 – 18,35 Pmol/L) (Braunstein et al., 2011). Nilai normal kadar testosteron total pada laki-laki bervariasi antara 241 sampai 827 ng/dl, bila terjadi penurunan kadar testosteron di bawah 500 ng/dl, sudah menimbulkan gejala defisiensi (Ryan, 2007). Serum testosteron pada pria hipogonadisme setiap individu dapat bervariasi antara 6,9 nmol/L dan 10,4 nmol/L (Goldenberg, 2011). Testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh, disamping efeknya pada gametogenesis. Testosteron juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan rambut, metabolisme tulang, massa dan distribusi otot, membantu dalam regulasi pertumbuhan dan memelihara karakteristik seks sekunder dan fungsi organ reproduksi pria seperti penis, testis dan kelenjar aksesori (Nieschlag et al., 2008; Belanger et al., 2013). Pengaruh testosteron pada perkembangan sifat kelamin primer dan sekunder pada pria dewasa antara lain: 1) Perkembangan dan pembesaran alat kelamin laki-laki (penis) yang mulai nampak jelas pada usia 10-11 tahun (pubertas). 2) Perkembangan dan pembentukan lekuk-lekuk kulit skrotum dan pigmentasi kulit skrotum. 3) Perkembangan dan pembesaran volume testis dan kelenjar-kelenjar seks aksesori. lviii Efek dan fungsi testosteron pada jaringan spesifik terutama ketika masa pubertas yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi laki-laki. Pengaruh dari sekresi testosteron yaitu terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula seksual aksesori dan pembesaran penis serta skrotum (Indrayanto, 2011). Androgen penting khususnya untuk perkembangan, pertumbuhan dan fungsi prostatik. Diketahui efek testosteron bersifat jangka panjang dan menyebar ke dalam sepanjang prostat dengan konsentrasi yang tinggi. Jaringan prostat memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan DHT daripada testosteron. Dihydrotestosterone secara intrinsik dua kali potensial untuk menstimulasi pertumbuhan prostat. Dihydrotestosterone berikatan dengan AR pada sel prostatik dan berpengaruh pada leading gene untuk pertumbuhan prostat dan produksi PSA. Ukuran kelenjar prostat muncul sebagai benih sebelum pubertas, tapi kelenjar tersebut tumbuh dengan cepat dan distimulasi androgen pada saat dewasa (Wilczynski dan Agrawal, 2015). 2.6.2 Pada hewan mamalia Kadar testosteron normal pada tikus jantan adalah 0,66 – 5,4 ng/ml (Hees dan Carnes, 2004). Penelitian oleh Justulin et al. (2006), pada tikus jantan usia 3 bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9 ng/ml dan pada tikus yang dikastrasi sekitar 0,05 ng/ml. Penelitian oleh Wang et al. (2005), tentang hubungan antara usia terhadap penurunan level testosteron dalam darah dan produksi testosteron oleh sel Leydig pada tikus tua, didapatkan hasil pada tikus usia 3 bulan, 20 bulan dan 30 bulan memiliki konsentrasi testosteron dalam darah lix berturut-turut 1,8 ng/ml, 0,9 ng/ml dan 0,8 ng/ml dan produksi testosteron oleh sel Leydig berturut-turut 0,5 ng/ 10.000 cells, 0,3 ng/10.000 cells dan 0,1 ng/10.000 cells. Serum testosteron pada tikus jantan : 1) Pada tikus yang dikastrasi : <2 nmol/L 2) Pada tikus hipogonadisme tanpa kastrasi : 2-10,4 nmol/L 3) Eugonadal : 10,4-28 nmol/L 4) Supraphysiological : >28 nmol/L (Goldenberg, 2011). Fungsi biologis hormon testosteron pada mamalia adalah sebagai berikut: 1) Stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sekresi dari organ-organ genital aksesori jantan. 2) Perkembangan sifat karakteristik seksual sekunder jantan. 3) Turunnya testis. 4) Meningkatkan spermatogenesis bersama FSH. 5) Stimulasi proses anabolik dan sintesis dari sitoplasma protein. 6) Stimulasi pertumbuhan epifisa tulang rawan. 7) Perkembangan tingkah laku dan libido seksual jantan (Jones, 2008 dalam Arsani, 2011). 2.7 Pengobatan Late Onset Hypogonadism (LOH) Dengan Testosterone Replacement Therapy (TRT). lx Testosterone replacement therapy pada LOH, ditujukan pada pria tua yang memiliki level serum testosteron lebih rendah dari normal. Diagnosis LOH berkaitan dengan level testosteron pada setiap individu. Pada setiap individu sirkulasi total testosteron dapat menurun dengan range di bawah normal meskipun bersifat asimptomatis (Kalra et al., 2010). Pengaruh dari hormon testosteron sangat penting, yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh secara keseluruhan dan khususnya untuk pertumbuhan dari organ reproduksi pada pria itu sendiri baik sebelum pubertas, saat pubertas maupun setelah pubertas. Ketika memasuki usia dewasa bahkan lanjut usia hormon ini difokuskan untuk perkembangan organ reproduksi, namun ketika memasuki usia yang tergolong usia tua pada pria dapat terjadi keadaan hipogonadisme oleh karena defisiensi testosteron (Yassin et al., 2007). Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011). Data yang didapatkan pada pemberian TRT pada pria LOH di Korea menunjukan terjadinya peningkatan level testosteron, dan mempengaruhi simptom subyektif yang di ukur menggunakan kuisioner (Hwaii dan Kim, 2011). Testosteron dan derivatnya dapat meregulasi pertumbuhan dan perkembangan dari seluruh organ reproduksi pria seperti penis, vesikula seminalis dan kelenjar prostat. Selama perkembangan, peningkatan produksi testosteron lxi memainkan peran penting untuk maturasi dan pertumbuhan fisik dari organ tersebut beserta fungsinya (Kendeel et al., 2001). Clinical trials menunjukan terapi testosteron pada hipogonad menyebabkan pertumbuhan prostat pada ukuran yang sesuai dengan ukuran normalnya, namun secara statistik menunjukan hasil yang tidak signifikan (Stanworth dan Jones, 2008). Pengobatan dengan testosteron pada keadaan hipogonadisme oleh karena kastrasi pada tikus coba, ditunjukan pada studi oleh Ono et al. (2004), dengan pemberian testosteron secara subkutan setelah 12 jam kastrasi menyebabkan perbaikan dari struktur kapiler pembuluh darah pada vesikula seminalis. Penelitian yang dilakukan oleh Arsani (2011), menunjukan bahwa dengan pemberian testosteron injeksi Sustanon® 250 selama 21 hari dapat meningkatkan ketebalan otot polos corpus cavernosum pada penis tikus jantan yang diabetes melitus. Temuan tersebut memberi kesan bahwa pemberian terapi hormon seperti testosteron pada pria yang mengalami hipogonad, dapat memperbaiki kembali organ-organ reproduksi termasuk pada kelenjar reproduksi yang telah mengalami penurunan struktur maupun fungsinya, sehingga dapat mempertahankan fungsi reproduksi secara utuh. Indikasi terapi testosteron pada pria yakni keadaan hipogonad yang menunjukan gejala klinis yang kompleks, seperti adanya gejala-gejala hipogonadisme dan penurunan level hormon testosteron. Ambang batas level hormon testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung pada jenis gejala dan individu (Arver dan Lehtihet, 2008). Formulasi dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang lxii beredar, dan juga dapat menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu estradiol dan DHT. Dahulu penurunan kadar testosteron terkait usia dianggap tidak bisa diobati, tetapi paradigma ini sekarang telah berubah. Saat ini terapi sulih hormon adalah yang paling direkomendasikan untuk penanganan andropause. Pemberian testosteron adalah pilihan paling baik saat ini, walaupun belum ada kesepakatan ambang standar untuk memulai pengobatan. Kadar testosteron 200 ng/dl yang diambil pada pagi hari dianggap rendah tetapi angka ini tidak dapat dikaitkan dengan usia, karena nilai 300 ng/dl mungkin normal untuk pria berusia 65 tahun, tapi tidak normal untuk usia 30 tahun (Indrayanto, 2011). Level total testosteron dari eugonadal yang digunakan sebagai variabel spesifik pasien yaitu sekitar 300-1000 ng/dl (10.4–34.7 nmol), nilai ini digunakan sebagai acuan dalam penentuan keberhasilan pada TRT. Batas tertinggi untuk eugonadal sekitar 1000 ng/dl, jika pada hipogonad memiliki nilai di atas angka tersebut setelah pemberian terapi maka dapat menimbulkan risiko (Harman et al., 2001), sehingga pemberian TRT ini harus tetap dimonitoring. Keuntungan terapi testosteron yaitu mempengaruhi komposisi tubuh, termasuk peningkatan massa otot dan penurunan lemak tubuh. Efek ini dapat terjadi secara cepat (timbul setelah 3 bulan terapi) dan juga jangka panjang (setelah 3 tahun). Pemberian TRT mempengaruhi fungsi seksual, yang mana merupakan hallmark dari pemberian testosteron yaitu peningkatan dari sexual desire, motivasi dan penampilan (Coss et al, 2014). Pemberian testosteron sesuai lxiii resep dokter pertahunnya meningkat sekitar 300% di US antara tahun 2000 dan 2008 dan juga menjadi trend di negara-negara Eropa. Berdasarkan data yang didapat bahwa keberhasilan dalam pemasaran preparat testosteron replacement berbanding lurus dengan keberhasilan dalam intervensi terapiutik pada pasien. Dalam pemberian terapi juga harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka panjang (Coss et al., 2014). Prinsip penatalaksanaan kadar testosteron adalah mempertahankan kadar testosteron tetap berada pada nilai normal, jika kadar testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada di bawah nilai normal, terapi harus segera diberikan (Indrayanto, 2011). 2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy Pemberian TRT untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain: injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), testosteron oral dan testosteron implan. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011). Testosteron mempunyai waktu paruh yang pendek tetapi dengan esterifikasi waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat testosteron replacement yang ada adalah sustanon ‘250’ yang merupakan oilbased injectable esterized testosteron, yang terdiri dari testosteron propionat 30 lxiv mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosterone decanoat 100 mg (Roberts, 2010). Beberapa jenis sediaan preparat pemberian testosteron yang direkomendasikan untuk TRT atau sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1) Gel : 5 sampai 10 gram per hari. 2) Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari. 3) Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskuler yang diberikan pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas, fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012). Berikut adalah preparat testosteron yang ada di Indonesia: 1) 2) Per oral a. Testosteron undecanoat 400 mg. b. Meterolone tablet 25 mg. Per intramuskuler injeksi a. Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60 mg, testosteron decanoat 100 mg ampul (Sustanon). b. 3) Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (Nebido). Testosteron transdermal lxv Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Indrayanto, 2011). Hasil terapiutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda, untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006). Testosterone replacement therapy pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi. 2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron berbeda pada setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah: 1) Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual. 2) Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ: a. Efek anabolik (keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya). b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus. c. Retensi air dan garam. d. Efek metabolik lainnya (termasuk pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang). 3) Efek virilisasi pada wanita. 4) Mempengaruhi sistem saraf pusat. 5) Efek terhadap hepar dan hipersensitifitas. 6) Simptom BPH memburuk atau peningkatan risiko kanker prostat. 7) Polycythemia. lxvi 8) Gynecomastia. 9) Hypercalcemia. 10) Emotional (Ullah et al., 2014). 11) Efek teratogenik. Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2) (Goodman, 2001). 2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy 1) Memiliki riwayat kanker payudara atau kanker prostat. 2) Tampak nodul atau pengerasan pada prostat. 3) PSA 4 ng/ml atau 3 ng/ml pada pria dengan risiko tinggi untuk kanker prostat seperti di negara Afrika-Amerika. 4) Sering mengalami sleep apnea. 5) Gangguan atau masalah pada liver. 6) Erythrocytosis (hematocrit 50%). 7) International prostate symptom score di bawah 19. 8) Metastasis kanker prostat. 9) Unexplained PSA elevation 3 ng/ml. 2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy lxvii Pasien yang diterapi menggunakan testosteron replacement harus dimonitor untuk respon dari terapi dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Pasien harus dievaluasi secara klinis dan diperiksa konsentrasi serum testosteronnya setiap 2-3 bulan setelah pemberian awal dan setelah dosis pemberian selesai. Target konsentrasi serum testosteron yang diharapkan setelah injeksi testosteron enanthate atau cypionate sekitar 400–700 ng/dl, yang merupakan nilai normal dari eugonadal (Endocrine Society Clinical Practice Guideline, 2010). Sebelum pemberian terapi harus tetap diperhatikan besarnya kebutuhan serta tanda dan gejala yang terkait dengan rendahnya testosteron pada setiap individu. Nilai testosteron tertinggi (>1,000 ng/dl) dan terendah (sekitar 300 ng/dl) konsentrasi tersebut digunakan sebagai respon dari terapi. Beberapa ahli dari endocrine society clinical practice guideline, mengatakan bahwa terapi sering diberikan pada pria tua yang memiliki konsentrasi serum testosteron di bawah nilai normal dari pria yang sehat (300 ng/dl) (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014). Waktu pengukuran konsentrasi serum bervariasi, tergantung pada preparat yang digunakan. Testosteron injeksi bentuk ester direkomendasikan harus diperiksa konsentrasi serumnya pada pertengahan interval antara injeksi pertama dengan injeksi berikutnya, sedangkan evaluasi 3 sampai 12 jam setelah pemberian testosteron secara transdermal. Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dan setelahnya pada pemberian buccal testosteron, pengukuran serum testosteron tidak kurang dari 1 minggu setelah pasien diterapi menggunakan gel, dan evaluasi langsung ketika selesai penggunaan dosis interval untuk testosteron pellets, lxviii pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mendapat nilai normal dari serum testosteron. Monitoring untuk efek samping dari TRT harus sudah diperiksa, seperti konsentrasi PSA, pemeriksaan digital rectal, dan hematocrit harus menjadi dasar dalam pemeriksaan pada 3 bulan, 6 bulan, selanjutnya setiap tahun setelah terapi. Kadar hematocrit yang berada di bawah 54%, maka terapi harus distop dulu sampai kembali ke level yang aman, tapi jika tetap harus diberikan maka dosis harus diturunkan dan dibandingkan dengan dosis awal. Pertimbangan terapi diskontinyu dilakukan jika pada pemeriksaan urologi, didapatkan ukuran PSA yang meningkat dalam interval 6 bulan atau peningkatan serum PSA 1,4 ng/ml dalam setahun (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014). Ketika pemeriksaan digital rectal ditemukan masalah (tidak nomal) maka harus dilakukan biopsi untuk kanker prostat, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan payudara, hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian terapi selanjutnya. Pada pria dengan riwayat osteoporosis atau pernah trauma fraktur, densitas mineral tulang pada lumbar spine harus diukur setelah 1 atau 2 tahun pemberian terapi (Ullah et al., 2014). lxix BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Late onset hypogonadism atau andropause pada pria disebabkan karena terjadinya penurunan kemampuan aktivitas dari organ terutama testis yang berfungsi mensekresikan hormon testosteron, hal ini dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan. Produksi hormon testosteron yang menurun bahkan menghilang akhirnya akan menimbulkan masalah seperti gangguan vasomotor, penurunan body performance, menurunnya minat terhadap seksual, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi yang akhirnya mempengaruhi fungsi seksual dan psikologis pria serta secara keseluruhan akan berpengaruh pada kualitas hidup pria andropause. Masalah-masalah yang dihadapi oleh pria andropause disebabkan karena terjadinya kemunduran fungsi dari organ reproduksi pria seperti penis, epididimis, vesikula seminalis maupun pada kelenjar prostat yang berperan penting dalam produksi cairan seminal yang berguna untuk ejakulasi. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, defisiensi testosteron pada tikus jantan menyebabkan terhambatnya proliferasi sel bahkan dapat mengalami apoptosis pada jaringan khususnya pada kelenjar prostat, karena pertumbuhan prostat sangat tergantung pada konsentrasi androgen terutama dalam bentuk dihydrotestosterone, yang mana aktivitasnya dimediasi oleh reseptor androgen pada prostat yang dapat dilihat pada level messenger RNA dari reseptor tersebut. 50 lxx Penghilangan androgen dengan cara kastrasi pada tikus jantan menimbulkan keadaan defisiensi androgen, sehingga menyebabkan penurunan dari ekspresi mRNA reseptor androgen pada prostat dan dapat dipulihkan kembali dengan pemberian testosterone replacement therapy. Peningkatan sintesis reseptor androgen pada sel-sel dalam kelenjar prostat merupakan respon sel terhadap pemberian androgen, karena reseptor androgen akan teraktivasi oleh adanya ikatan bersama dengan androgen dan membentuk kompleks androgen-AR. Kompleks androgen-AR akan translokasi menuju nukleus untuk berikatan kembali bersama DNA dan faktor transkripsi. Gen target hasil transkripsi akan ditranslasi menjadi protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar. Level ekspresi AR yang meningkat berpengaruh juga pada peningkatan pertumbuhan dari kelenjar prostat, namun penuaan akan menyebabkan ekspresi AR pada organ target menurun sehingga proliferasi menjadi terhambat. Pada tingkat jaringan para ahli mengatakan pemberian testosterone replacement pada tikus tua menyebabkan peningkatan sedikit baik dari ukuran, berat maupun volume dari kelenjar prostat, yang terjadi oleh karena adanya peningkatan sintesis protein sehingga proliferasi pun meningkat. Perbedaannya dilihat pada tingkat molekuler yang hasilnya masih sangat beragam seperti terjadinya up atau down-regulate dari reseptor androgen pada kelenjar tersebut. lxxi 3.2 Konsep Penelitian Testosterone replacement therapy Faktor internal - Faktor eksternal Hormon testosteron Usia Kelainan genetik Psikologis Penyakit kronis Kanker prostat - Obat-obatan - Efek samping operasi - Pola hidup - Radiasi Tikus wistar jantan dikastrasi Ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian Keterangan: : Diteliti : Tidak diteliti 3.3 Hipotesis Penelitian Pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi. lxxii BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian true experiment dengan menggunakan posttest only control group design (Pocock, 2008). Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut: PO O1 P R S RA O2 P1 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan P = Populasi S = Sampel R = Random RA = Random Alokasi PO = Tikus diberikan plasebo dengan injeksi aquadest secara intramuskuler selama 21 hari (3 minggu). 53 lxxiii P1 = Tikus diberikan injeksi testosterone replacement therapy (Sustanon® 250) 4,5 mg/250 grBB, secara intramuskuler selama 21 hari (3 minggu). O1 = Observasi (ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi) pada kelompok kontrol. O2 = Observasi (ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi) pada kelompok perlakuan. 4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Mei 2016 dengan jangka waktu 65 hari, dengan rincian sebagai berikut: a. Persiapan penelitian seperti, pembersihan lokasi kandang, pengambilan tikus putih dan adaptasi dilakukan selama 7 hari b. Kastrasi dan penentuan dosis dilakukan selama 2 hari c. Pemulihan pasca kastrasi selama 21 hari, sambil menunggu efek dari kastrasi d. Perlakuan selama 21 hari (3 minggu) e. Pembedahan, dan pemeriksaan dengan menggunakan metode realtime PCR selama 14 hari. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi lxxiv Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diternakkan di Balai Besar Veteriner Denpasar. 4.3.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah tikus putih galur wistar jantan berumur 20-22 minggu dan berat badan 250-300 gram. 4.3.3 Teknik sampling Teknik simple random sampling dengan menggunakan tabel bilangan random dengan menggunakan komputer. 4.3.4 Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan rumus (Federer, 2008) : (t – 1) (r – 1) ≥ 15 Keterangan: t = jumlah perlakuan r = jumlah replikasi Pada penelitian ini jumlah perlakuan adalah 2 maka perhitungan dengan rumus: (2 - 1) (r - 1)  15 1 (r – 1)  15 1r – 1  15 r  16 lxxv Jumlah sampel minimal yang diperoleh adalah 16 untuk mengantisipasi sampel drop out maka di tambah 10% sehingga sampel menjadi 18 yang akan dibagi menjadi 2 kelompok, jadi total sampel keseluruhan yaitu 36 ekor tikus. 4.3.5 Kriteria Sampel Sampel dalam penelitian adalah tikus wistar jantan yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 4.3.5.1 Kriteria inklusi a. Tikus wistar jantan (Rattus norvegicus) b. Umur tikus 20-22 minggu c. Berat badan 250-300 gram d. Tikus yang sehat e. Tikus yang dikastrasi 4.3.5.2 Kriteria drop out a. Tikus jantan yang sakit dan mati saat penelitian berlangsung b. Tikus jantan yang mati saat kastrasi 4.4 Variabel Penelitian lxxvi 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel yang diukur adalah ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat. 4.4.2 Klasifikasi Variabel a. Variabel independen adalah pemberian testosterone replacement therapy. b. Variabel dependen adalah ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi. c. Variabel terkendali adalah varian tikus, usia tikus, jenis kelamin, berat badan, lingkungan, nutrisi, kandang. 4.4.3 Hubungan Antar Variabel Variabel Bebas Variabel Terikat Testosterone Replacement therapy Ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus jantan Variabel Terkendali - Umur tikus 20-22 minggu Jenis kelamin jantan Varian tikus BB tikus 250-300 gram Nutrisi & kandang tikus Lingkungan lxxvii Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel 4.4.4 Definisi Operasional a. Tikus wistar jantan adalah varian tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar usia 20-22 minggu yang dikastrasi pada organ testis. b. Ekspresi mRNA reseptor androgen pada prostat: jumlah gen mRNA reseptor androgen pada jaringan dari kelenjar prostat, yang dinormalisasi oleh ekspresi gen mRNA ACTB menggunakan metode relatif kuantifikasi ΔΔCt, dan diukur secara kuantitatif dengan amplifikasi 1-step qRT-PCR (Kit: Kappa SYBR ®, Biosystem, USA) menggunakan mesin realtime PCR. c. Testosterone replacement therapy adalah pemberian terapi sulih hormon dengan memberikan suntikan sediaan hormon testosteron. Pada penelitian ini digunakan sediaan Sustanon® 250 (produksi pabrik farmasi ScheringPlough) dengan dosis pada manusia adalah 250 mg/ml (Roberts, 2010). Dosis pada tikus dengan menggunakan konversi perhitungan untuk hewan dan manusia oleh Laurence dalam Ngatidjan (2006), yaitu konversi dengan berat badan manusia (70 kg) ke tikus (250 gram) adalah 0,018. Jadi dosis Sustanon® 250 mg pada tikus kelompok perlakuan : 0,018 x 250 mg = 4,5 mg/250 gram BB tikus. lxxviii d. Umur tikus : ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang didapat dari catatan Balai Besar Veteriner Denpasar, dengan usia tikus 133-143 hari. e. Berat badan : berat tikus yang ditimbang dengan timbangan digital (merk Camry) dalam gram, untuk mengontrol asupan nutrisi dan diet agar tikus tetap dalam keadaan sehat. f. Lingkungan (suhu, pencahayaan, kelembaban, dan kebersihan) pada tempat penelitian. Nutrisi pada tikus berupa konsentrat pakan ternak. Kandang berupa kotak plastik dengan atap penutup dari kawat, yang dilengkapi tempat makan dan minum dengan setiap kandang dialokasikan untuk 3-4 ekor tikus. 4.5 Bahan Dan Alat Penelitian 4.5.1 Bahan penelitian 1. Obat anastesi (ketamin 100 mg/ml). 2. Testosterone replacement (Sustanon® 250). 3. Tikus putih jantan galur wistar. lxxix 4. Makanan tikus berupa pellet dan air minum. 5. Aquadest. 6. Reagen ekstraksi RNA (RNeasy Protect Mini Kit, Germany) : 7. 1) Buffer RLT, Buffer RW1, Buffer RPE. 2) β-mercapethanol (Sigma, USA). 3) Ethanol 50%. 4) RNAlater (Ambion, USA). Reagen One Step qRT-PCR: 1) Kappa SYBR Fast One step qRT-PCR kit (Kappa Biosystems, USA). 2) dH2O. 3) Agarose powder (Bioline, USA). 4) EZ one (Amresco, USA) / GelGreen (Biothium, USA). 4.5.2 Alat penelitian 1. Timbangan digital dalam gram. 2. Kandang tikus berisi tempat makanan dan minuman. 3. Jarum suntik. 4. Alat bedah. 5. Papan fiksasi. lxxx 6. Syringe hamilton. 7. Set peralatan ekstraksi RNA : 8. 1) Mortar dan Pestel. 2) Pipette (20-200 &100-1000 µl). 3) 1.5 ml sterile microcentrifuge tube. 4) Spuit 5 cc. 5) RNeasy spin column. 6) 2.0 ml collection tube. 7) Microcentrifuge 5424R Eppendorf. Set peralatan One Step qRT-PCR : 1) Thermal cycler Biometra. 2) Thermal cycler Realtime RotorGene Qiagen/Biorad IQ5. 3) 0.2 µl PCR tube. 4) Pipette (0.1-100 µl). 5) UV transilluminator UVP / Dark Reader DR46B Clare Chemical. 6) Gel casting Embitec. 7) Gel electrophoresis Embitec. lxxxi 4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji Tikus wistar yang dijadikan sampel penelitian adalah tikus wistar jantan yaitu berusia 20 - 22 minggu dengan berat badan 250-300 gram. Tikus percobaan yang didapat dari Balai Besar Veteriner Denpasar dipelihara di rumah peneliti, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: tikus diberikan makanan yang sesuai standar nutrisi dan yang memenuhi syarat untuk jenis hewan uji, serta pemberian air minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi, lingkungan yang sehat dan bersih, suhu ruangan berkisar 28o-32oC, penggunaan insektisida, dan sebagainya (Ngadtijan, 2006). Tikus ditempatkan dalam kandang yang bersih, setiap kandang berisi 3 sampai 4 ekor tikus jantan dengan intensitas cahaya dan sirkulasi udara yang baik serta kandang kuat, kandang tikus dibersihkan setiap 4 hari sekali. 4.6.2 Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaaan penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan pemeriksaan sampel menggunakan metode realtime PCR. Berikut langkah-langkah pelaksanaan penelitian: 1) Populasi tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan dipilih secara random untuk menentukan kelompok sampel, yang selanjutnya diadaptasi selama satu minggu dalam kandang. Setelah adaptasi, 36 ekor tikus dikastrasi pada organ testisnya. Sebelum kastrasi tikus dianastesi terlebih dahulu menggunakan ketamin dengan dosis 15 mg/250 gr BB tikus (Sarjana dan Kusumawati, 2004). lxxxii 2) Tikus jantan post kastrasi, kemudian ditunggu selama 21 hari untuk melihat efek dari kastrasi tersebut, berdasarkan studi pendahuluan setelah 21 hari kastrasi, terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat tikus (Arini, 2016). 3) Dilakukan random alokasi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor tikus. Kelompok tikus pertama sebagai kontrol dan kelompok kedua sebagai kelompok perlakuan. 1) Setelah itu kelompok kontrol diberikan injeksi aquadest secara intramuskuler dan kelompok perlakuan diberikan injeksi Sustanon® 250 dosis 4,5 mg/250 gram BB tikus. Seluruh kelompok diberikan perlakuan selama 21 hari atau 3 minggu dengan jadwal injeksi perminggunya. 5) Pada minggu ke-8 setelah pelaksanaan penelitian selesai, seluruh tikus pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dieutanansia menggunakan kloroform, dan kemudian diterminasi untuk pengambilan kelenjar prostat. Masing-masing kelenjar tersebut dimasukan ke dalam cairan fiksasi RNA later, selanjutnya direndam selama kurang lebih 7 hari, sebelum dianalisis mRNA AR menggunakan metode realtime PCR. 4.6.3 Metode analisis PCR 1) Persiapan sampel Sampel jaringan dari hewan coba dipotong dengan ketebalan 5 mm seberat 20 mg kemudian direndam dalam larutan RNA later menggunakan tabung eppendorf dengan perbandingan 1:20 selama 4 hari dalam suhu 4oC. Sampel lxxxiii diambil dari larutan kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf baru dan disimpan pada suhu -20oC selama 3 hari. 2) Metode ekstraksi RNA: a. Timbang dan ambil sampel (maksimal 15-20 mg). b. Hancurkan dan homogenisasi sampel dengan menggiling sampai halus (menggunakan mortar dan pestel), masukkan jaringan ke dalam tabung eppendorf, tambahkan buffer RLT 600 ul, homogenisasi dengan jarum 20 G minimal 5x sedot-keluarkan. c. Centrifuge lysate selama 3 menit kecepatan penuh, ambil supernatant secara hati-hati dan masukkan supernatant ke dalam tabung eppendorf baru. d. Tambahkan ethanol 50% 1:1 dan campur melalui pipetting. e. Ambil campuran (maksimal 700 ul, termasuk presipitat yang mungkin ada) ke dalam RNA spin column, lalu centrifuge 15 detik 8000 x g. Buang flowthruogh (collection tube digunakan kembali). f. Ulangi langkah diatas sampai semua campuran dimasukkan ke dalam spin column. g. Tambahkan 700 ul buffer RW1 ke dalam spin column, centrifuge selama 15 detik pada 8000 x g. Buang flow-through (collection tube digunakan kembali). h. Tambahkan 500 ul buffer RPE ke dalam spin column, centrifuge 15 detik pada 8000 x g. Buang flow-through (collection tube digunakan kembali). i. Tambahkan 500 ul buffer RPE ke dalam spin column, centrifuge 2 menit pada 8000 x g. Buang flow-through. lxxxiv j. Pindahkan spin column ke dalam collection tube 2 ml baru, centrifuge selama 1 menit pada kecepatan maksimal. k. Pindahkan spin column pada tabung 1,5 ml, tambahkan 30-50 ul RNAase free-water langsung pada membrane spin column, centrifuge selama 1 menit pada 8000 x g. l. Ulangi langkah diatas atau gunakan elute dan centrifuge ulang. m. Simpan pada -20oC sebelum dilanjutkan pada langkah berikutnya. 3) Metode Kuantifikasi Absolut 1-step qRT-PCR Kuantifikasi absolut 1-step qRT-PCR dilakukan dengan menggunakan primer: Tabel 4.1 Primer Androgen Sequence 5’-3’ Target Forward Gen Androgen Receptor GGAGAACTCTTCAGAGCAAG Reverse Gen Androgen Receptor AGCTGAGTCATCCTGATCTG (Kim et al., 2013) Amplifikasi dengan mesin PCR akan dilakukan dalam total volume 20 µl, terdiri dari 100 ng RNA dari sampel, Kapa Sybr Fast 2X, Kapa RT mix (50X), distilled water sampai 20 µl. Amplifikasi akan dilakukan pada mesin thermal cycler selama 40 siklus menggunakan protokol sebagai berikut: Langkah Tabel 4.2 Langkah-langkah Amplifikasi Temperatur Durasi Siklus Sintesis cDNA 42oC 5 menit Hold Inaktivasi RT 95oC 5 menit Hold Denaturasi 95oC 3 detik 40 lxxxv Annealing Melting 60oC 20 detik Mengikuti instruksi instrumen (Kim et al., 2013). Hasil amplifikasi realtime PCR berupa cycle threshold (Ct) atau disebut juga sebagai ekspresi relatif yang didapat dalam angka dan grafik (Lampiran 3), kemudian dianalisis kuantitatif menggunakan piranti lunak REST dengan rumus (Y=slope Ln(X)+Y-int), nilai Slope Y dan Y-int didapat saat pembuatan kurva standar androgen. Rumus tersebut digunakan untuk menentukan ekspresi absolut kuantifikasi ΔΔCt atau untuk mendapatkan konsentrasi X (kadar mRNA pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan), yang mana jika dimasukan ke dalam rumus menjadi: kadar mRNA= Exp(Ct-Y-Int)/Slope (Kim et al., 2013). Ekspresi absolut kadar mRNA dalam satuan pg/µl yang telah didapat dari piranti lunak REST dilanjutkan dengan menggunakan analisis statistik. Kurva standar androgen juga dibuat dengan metode realtime PCR, dan digunakan untuk menentukan nilai mutlak (absolut) ekspresi mRNA AR dari nilai Ct (relatif) yang didapatkan melalui mesin realtime PCR. Ekspresi Glyseraldehida posphate dyhidrogenase (GAPDH) yang didapat setelah amplifikasi, digunakan untuk menormalisasikan nilai Ct dan sebagai indikator dalam menentukan apakah pemeriksaan yang dilakukan dengan realtime PCR sudah benar dan sesuai dengan prosedur (Shidaifat, 2009). lxxxvi 4.6.4 Alur Penelitian 36 tikus wistar jantan diadaptasi dalam kandang selama satu minggu Setelah adaptasi 36 tikus dikastrasi dan ditunggu selama 21 hari untuk melihat efek kastrasi yaitu terjadinya penurunan ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat 36 ekor tikus jantan pasca kastrasi 18 tikus diberi injeksi aquadest selama 21 hari (3 minggu) yang diinjeksi 1 kali seminggu 18 tikus diberi injeksi sustanon 4,5 mg/250 grBB tikus, selama 21 hari (3 minggu) yang diinjeksi 1 kali seminggu Pengambilan sampel kelenjar prostat untuk pemeriksaan ekspresi mRNA reseptor androgen menggunakan realtime PCR Analisis data Simpulan Gambar 4.3 lxxxvii Alur Penelitian 4.7 Analisis Data Data yang didapat dari penelitian ini disusun dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS 21. Analisis data dalam penelitian meliputi (Dahlan, 2012): 1. Analisis deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini menjelaskan tentang karakteristik sampel yang meliputi: umur dan berat badan serta ekspresi mRNA reseptor androgen. 2. Analisis normalitas Uji normalitas data tiap kelompok dilakukan dengan Saphiro-Wilk test oleh karena data tiap kelompok kurang dari 30, pada taraf kepercayaan 95%. Distribusi ekspresi mRNA reseptor androgen pada masing-masing kelompok berdistribusi normal p > 0,05. 3. Analisis homogenitas Uji homogenitas varian antar kelompok dilakukan dengan Levene’s test. Varian data dari ekspresi mRNA reseptor androgen pada masing-masing kelompok homogen p > 0,05. 4. Uji efek perlakuan Karena data berdistribusi normal, maka uji kemaknaan menggunakan independent-t test. lxxxviii BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini merupakan true eksperiment dengan post test only control group design, menggunakan 36 ekor tikus jantan galur wistar (pasca kastrasi selama 21 hari) berusia 20-22 minggu, sehat dengan berat badan 250-300 gram sebagai sampel, yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kontrol (injeksi plasebo/aquadest intramuskuler) dan kelompok perlakuan (injeksi testosteron replacement/Sustanon® 250 intramuskuler dengan dosis 4,5mg/250 gram BB tikus, diberikan seminggu sekali selama 3 minggu) yang masing-masing berjumlah 18 ekor tikus. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, homogenitas dan uji efek perlakuan. 5.1 Analisis Deskriptif Karakteristik data pada sampel penelitian yang meliputi: umur dalam hari dan BB dalam gram pada kelompok kontrol dan kelompk perlakuan disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 5.1 Rerata Umur Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok n Mean umur Min Max (hari) Kontrol 18 144 136 148 Perlakuan 18 144 142 148 Berdasarkan tabel 5.1 di atas, menunjukan bahwa rerata umur pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak berbeda. lxxxix 68 Tabel 5.2 Rerata Berat Badan Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok n Mean BB Min Max (gram) Kontrol 18 264 253 284 Perlakuan 18 275 258 294 Berdasarkan tabel 5.2 di atas, menunjukan bahwa rerata berat badan pada kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada tikus kastrasi dan tikus kastrasi yang diberikan perlakuan disajikan pada tabel 5.3 di bawah ini: Tabel 5.3 Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok Mean (pg/µl) Min Max Kontrol 0,5701 0,29 0,87 Perlakuan 0,7752 0,44 1,11 Berdasarkan tabel 5.3 di atas, menunjukan bahwa terjadi peningkatan ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok perlakuan sebab reratanya lebih tinggi daripada kelompok kontrol. 5.1.1 Analisis deskriptif pada studi pendahuluan Rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada tikus kastrasi dan tikus kastrasi yang diberikan perlakuan disajikan pada tabel 5.4 berikut ini: xc Tabel 5.4 Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok n Mean Min Max (pg/µl) Kontrol 2 2,05 1,76 2,35 Perlakuan I 2 4,49 2,93 6,05 Perlakuan II 3 3,46 2,93 4,01 Perlakuan III 3 2,57 1,44 3,50 Berdasarkan tabel 5.4 di atas, menunjukan bahwa terjadi peningkatan ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok perlakuan sebab reratanya lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dan kelompok perlakuan pertama memiliki rerata paling tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. 5.2 Distribusi Dan Homogenitas Data Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, data hasil penelitian ekspresi mRNA AR pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan uji distribusi dan variannya. 5.2.1 Uji normalitas data Data ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat pada masingmasing kelompok diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya xci menunjukan data berdistribusi normal (p>0,05), yang dapat disajikan pada tabel berikut: Tabel 5.5 Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA AR Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok subyek n p Ket Kontrol 18 0,289 Normal Perlakuan 18 0,078 Normal Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa masing-masing kelompok berdistribusi normal (p>0,05). 5.2.2 Uji homogenitas data Data ekspresi mRNA reseptor androgen diuji homogenitasnya dengan Levene’s test. Hasilnya menunjukan data homogen (p>0,05), disajikan pada tabel 5.6 berikut: Tabel 5.6 Hasil Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA AR Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok subyek n df p Ket Kontrol 18 1 0,119 Homogen Perlakuan 18 34 0,119 Homogen Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan varian data masing-masing kelompok homogen (p>0,05). 5.3 Uji Efek Perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi mRNA reseptor androgen antara kelompok kastrasi dan kelompok kastrasi yang diberikan xcii perlakuan berupa injeksi testosteron replacement (Sustanon®250). Analisis kemaknaan menggunakan independent-t test oleh karena data hasil penelitian telah berdistribusi normal dan homogen, yang disajikan pada tabel 5.7 berikut: Tabel 5.7 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok subyek n Mean (pg/µl) SD t p Kontrol 18 0,57 0,17 Perlakuan 18 0,77 0,21 -3,19 0,003 Berdasarkan tabel 5.7, menunjukan bahwa rerata ekspresi mRNA AR prostat pada kelompok kontrol adalah 0,57 + 0,17 pg/µl dan kelompok perlakuan adalah 0,77 + 0,21 pg/µl. Analisis kemaknaan menggunakan independent-t test, menunjukan nilai t = -3,19 dan nilai p = 0,003. Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa rerata ekspresi mRNA AR pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). xciii Gambar 5.1 Perbandingan Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan. Berdasarkan gambar 5.1 di atas, menunjukan bahwa ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon testosteron lebih besar daripada kelompok kontrol yang hanya dikastrasi. 5.3.1 Uji efek perlakuan pada studi pendahuluan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi mRNA reseptor androgen antara kelompok kastrasi dan kelompok kastrasi yang diberikan perlakuan. Analisis kemaknaan menggunakan Kruskal-Wallis test oleh karena data hasil studi pendahuluan berdistribusi normal namun tidak homogen (Lampiran 9), yang disajikan pada tabel 5.8 berikut: xciv Tabel 5.8 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Kelompok n Mean SD df P (pg/µl) Kontrol 2 2,05 1,76 Perlakuan I 2 4,49 2,93 Perlakuan II 3 3,46 2,93 Perlakuan III 3 2,57 1,44 3 0, 217 Berdasarkan tabel 5.8 di atas, menunjukan bahwa rerata ekspresi mRNA AR prostat pada kelompok kontrol (2,05 + 1,76 pg/µl), kelompok perlakuan pertama (4,49 + 2,93 pg/µl), kelompok perlakuan kedua (3,46 + 2,93 pg/µl) dan kelompok perlakuan ketiga (2,57 + 1,44 pg/µl). Analisis kemaknaan menggunakan Kruskall-Wallis, menunjukan nilai p= 0,217. Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa rerata ekspresi mRNA AR pada keempat kelompok tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). xcv BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subyek penelitian Penelitian ini menggunakan 36 ekor tikus jantan galur wistar (pasca kastrasi selama 21 hari). Ekspresi mRNA reseptor androgen baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-wilk dan uji homogenitas menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukan bahwa semua data berdistribusi normal dan homogen, sehingga digunakan uji parametrik yaitu independent-t test. 6.2 Penurunan Ekspresi mRNA AR Prostat Pasca Kastrasi Berdasarkan hasil analisis, didapatkan rerata ekspresi mRNA AR prostat pada kelompok kontrol adalah 0,57 + 0,17 pg/µl dan kelompok perlakuan adalah 0,77 + 0,21 pg/µl. Hasil temuan tersebut menunjukan bahwa ekspresi mRNA AR pada kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan, disebabkan karena kelompok kontrol yang hanya dikastrasi saja tanpa diberikan injeksi testosterone replacement therapy, menyebabkan keadaan defisiensi testosteron menjadi menetap sehingga ekspresi reseptor androgennya di dalam jaringan prostat lebih rendah. Reseptor androgen memainkan peran penting pada aktivitas androgen melalui faktor transkripsi nuklear, ikatan reseptor dengan androgen menjadi sangat stabil untuk berikatan kembali bersama DNA dan untuk menstimulasi gen xcvi 74 transkripsi yang sangat tergantung dengan adanya androgen (Zhu et al., 2000). Reseptor androgen merupakan ligand-activated faktor transkripsi yang memediasi sinyal dari semua androgen termasuk DHT, yang merupakan androgen terbesar terkait dengan perkembangan prostat serta aktivitas AR pada jaringan target tergantung pada AR signalling (Verrijdt et al., 2003). Reseptor androgen secara struktural dan fungsional mengandung tiga domain (transaktivasi, DNA-binding dan ligand-binding domain). Ekspresi AR diinduksi oleh peningkatan AR promoter (bagian DNA) dalam mekanisme transaktivasi. Ikatan dengan androgen akan menginduksi aktivasi kaskade yang menghasilkan transkripsional yang aktif dari AR (mRNA AR). Ligand binding domain (LBD) merupakan ligand yang terkait dengan chaperones (HSP90 dan HSP70) yang juga berperan dalam proses aktivasi reseptor. Chaperones bekerja pada apoAR (monomers AR) yang memiliki afinitas tinggi untuk membentuk LBD guna merespon hormon (Zhu dan Kyprinaou, 2008). Fungsi utama dari AR adalah sebagai faktor transkripsi DNA-binding yang meregulasi ekspresi gen. Reseptor androgen merupakan protein yang mengikat testosteron secara langsung atau metabolit aktifnya yaitu DHT. Penghilangan androgen dengan cara kastrasi akan menimbulkan kegagalan dari proses sintesis AR di dalam sel targetnya seperti pada prostat, karena tidak adanya ikatan bersama antara reseptor dan ligannya, sehingga menyebabkan mekanimse autoregulasi terhenti. Pada keadaan ini diketahui juga suatu protein corepressor ikut berperan serta dalam penghentian proses tersebut, yang mana akhirnya akan xcvii mempengaruhi sintesis protein di dalam sel-sel kelenjar prostat yang berguna untuk proliferasi sel. Defisiensi androgen lama-kelamaan akan menimbulkan penurunan AR message/µg DNA seiring dengan pertambahan usia terutama pada tikus yang dikastrasi, jika AR message terus menurun dan tidak dipulihkan kembali maka akan menimbulkan masalah, yaitu selain mempengaruhi organ reproduksi juga akan mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan. Konsentrasi AR message di dalam sel yang menurun bahkan menghilang akibat kastrasi, menyebabkan degradasi dari gen AR hasil transkrip (mRNA AR), yang merupakan produk secretory utama pada suatu region seperti pada kelenjar prostat (Liao et al., 2006). Kompleks Androgen-AR (AR-dependent) tidak terbentuk, oleh karena tidak tersedianya androgen yang menstimulasi AR maka menyebabkan. Pada ketiadaan hormon androgen tersebut, menyebabkan reseptor androgen monomers berikatan kembali bersama seluler chaperones seperti protein heat shock (HSP90, HSP70, HSP56 dan immunophilins), sehingga reseptor menjadi inaktif kembali. Proteinprotein tersebut berperan secara tidak langsung dalam perubahan bentuk reseptor terutama dalam efisiensi LBD. Penelitian oleh Kim et al. (2013), membuktikan bahwa pada penyakit diabetes melitus diketahui terjadi penurunan ekspresi AR yang dijelaskan secara genomic, dimana terjadi proses methylation DNA secara menyeluruh dari sel. Proses metilasi merupakan peristiwa penambahan gugus metil (CH3) pada atom C nomer 5 dari cincin pirimidin (citosin) pada eukariot atau cincin purin (adenin) pada prokariot, yang mengakibatkan terjadinya silencing pada ekspresi gen. xcviii Gugus metil ditambahkan oleh enzim metilase dan akan hilang pada pembentukan zigot, tapi prosesnya berangsur-angsur kembali selama tahap perkembangan seiring dengan pertambahan usia. Proses metilasi dari residu sitosin dapat mengakibatkan DNA yang aktif menjadi tidak aktif. Hipogonadisme yang disebabkan karena penyakit diabetes mengakibatkan sel-sel mengalami penurunan fungsi dan dapat dipastikan telah terjadi metilasi DNA secara menyeluruh (Kim et al., 2013). Pada peristiwa metilasi terjadi perubahan struktur kromatin dan silencing ekspresi gen sehingga dikaitkan juga dengan terjadinya proses penuaan. Aktivitas DNA metiltransferase ini merupakan mekanisme yang penting untuk penurunan DNA selama proses penuaan (Kim et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, bahwa pada kastrasi juga terjadi methylation DNA AR pada bagian promoter (region yang kaya protein citosin dan guanin/5’CpG dinukleotida), dan modifikasi histon yang menyebabkan ikatan dengan faktor transkripsi menurun sehingga DNA AR tidak dapat menjalani proses transkripsi (transkripsi inaktif) untuk membentuk gen AR hasil transkrip, sehingga menurunkan ekspresi mRNA AR dan protein pada prostat. In vitro metilasi DNA dari 5’CpG AR dinukleotida dikaitkan dengan hilangnya ekspresi AR dan reexpression dikaitkan dengan region demetilasi (Maegawa et al., 2010). Pada proses penuaan juga terjadi kerusakan DNA oleh karena pembentukan radikal bebas sehingga akan mempengaruhi ekspresi gen. Kastrasi juga menyebabkan terjadinya kerusakan DNA pada kelenjar prostat, oleh karena sel mengalami stress oksidatif sehingga menimbulkan respon berupa gangguan dalam xcix proses replikasi dan transkripsi dari DNA AR, yang akhirnya akan menimbulkan penurunan ekspresi mRNA AR seperti yang terjadi pada kelompok kontrol. Kerusakan DNA akibat kastrasi yang berlangsung lama dan tidak dipulihkan kembali maka akan menginduksi program kematian dari androgen-dependent pada prostatic glandular cells, dan dibantu oleh protein tumor supressor gene (p53) akan menginduksi gen pro-oksidan menyebabkan peningkatan reactive oxygen species (ROS) di dalam sel. Peningkatan ROS menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA pada reseptor dan selanjutnya mengalami peristiwa apoptosis, sehingga akan berpengaruh juga pada mekanisme autoregulasi serta sintesis protein di dalam sel (Berges et al., 2003). Penelitian oleh Liao et al. (2006), menunjukan bahwa kompleks androgenAR secara kuat berhubungan dengan RNA (bentuk cytoplasmic ribonucleoproteins dan nuklear), beliau berspekulasi bahwa interaksi antara ARRNA merupakan peristiwa yang fisiologis seperti proses, transport, dan pembentukan RNA. Defisiensi androgen setelah kastrasi akan menyebabkan hilangnya hubungan AR-RNA dan fungsinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu akan menimbulkan atropi jaringan pada organ target seperti yang terjadi pada kelenjar prostat dari kelompok kontrol, sehingga menyebabkan produksi cairan seminal terutama oleh prostat menjadi berkurang. Menurut Klentze (2003), salah satu akibat dari penuaan adalah terjadinya gangguan pada organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium, labia, rahim, penis dan testis, sehingga keadaan tersebut akan menimbulkan penurunan hormon seks steroid termasuk juga androgen. c Berdasarkan penelitian tahun 2006, defisiensi testosteron pada tikus jantan akibat kastrasi dapat menyebabkan terhambatnya proliferasi dan terjadinya atropi pada kelenjar aksesori genital. Setelah ablasi androgen, prostat dan vesikula seminalis menurun sekitar 10% dari berat normalnya dan penurunan stroma (Justulin et al., 2006). 6.3 Peningkatan ekspresi mRNA AR prostat setelah pemberian testosterone replacement therapy (TRT) Hasil analisis kemaknaan menunjukan nilai t = -3,19 dan nilai p = 0,003, menunjukan bahwa terjadi peningkatan ekspresi mRNA AR pada prostat secara bermakna antara kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon TRT, dengan kelompok kontrol yang hanya dikastrasi (p<0,05) dengan persentase sebesar 35%. Keadaan tersebut disebabkan karena pemberian hormon testosteron ini dapat mempengaruhi secara positif ekspresi AR di dalam kelenjar prostat. Berdasarkan kejadian tersebut, terbukti bahwa testosteron dapat memulihkan keadaan defisiensi yang sebelumnya terjadi. Secara genomic pemberian hormon testosteron mengalami demetilasi regulator (penghilangan gugus metil), pada region yang mulanya mengalami peristiwa metilasi DNA AR pada prostat akibat dari kastrasi. Demetilasi tersebut akan menyebabkan gen menjadi aktif, dan regulasi transkripsi mulai berlangsung kembali atau AR diekspresikan kembali menjadi gen yang responsif terhadap hormon androgen (Maegawa et al., 2010). ci Pemberian testosteron ini juga menyebabkan perbaikan DNA (DNA repair) pada AR di prostat yang awalnya mengalami kerusakan, yang bertujuan agar sel tidak mengalami apoptosis ataupun penuaan. Androgen diketahui dapat menginduksi gen p21 sebagai penahan siklus sel sebelum menuju proses perbaikan DNA, dan dikatakan sebagai protein multifungsional karena berfungsi untuk mengontrol siklus sel, DNA repair dan antiapoptosis (Shan et al, 2009), sehingga proses transkripsi dapat berjalan kembali. Berdasarkan hal tersebut, menunjukan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi up regulates dari ekspresi mRNA AR pada prostat oleh karena pemberian testosteron yang dibandingkan dengan kontrol. Sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Takeda et al. (2001), membuktikan bahwa androgen menyebabkan up-regulates dari AR pada prostat, hal ini disebabkan karena AR teraktivasi oleh karena adanya ikatan bersama androgen serta peningkatan sintesis dan half-life merupakan respon sel terhadap androgen (Sanborn et al., 2001), sehingga akan menghasilkan peningkatan dari level reseptor protein di dalam jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Marilia et al. (2009), half-life AR pada hipogonad diketahui sekitar 1-1,5 jam, selanjutnya setelah pemberian 10 nM DHT didapatkan half-life AR yang signifikan yaitu sekitar 10-11 jam. Ekspresi mRNA AR pada prostat yang mulanya menurun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dipulihkan dengan pemberian testosterone replacement therapy, ketika testosteron yang disintesis dalam testis di bawah kontrol LH dari pituitari, setelah memasuki sel-sel targetnya akan dimetabolisme menjadi 5α-DHT cii oleh enzim 5α-redukatse type 2 (Shidaifat, 2009). Dihidrotestosteron akan menstimulasi reseptor androgen yang mulanya inaktif di dalam sitoplasma prostat untuk berikatan bersama membentuk kompleks androgen-AR (DHT-AR), sehingga menghasilkan perubahan bentuk reseptor seperti pengaktifan AR dan pelepasan seluler chaperones. Proses ikatan tersebut dipengaruhi oleh AR signalling (cAMP, cGMP dan ligase), jika AR signalling meningkat oleh karena pengaruh androgen maka menyebabkan peningkatan juga pada mekanisme posttranskripsi mRNA AR, mRNA processing, transport dan stabilitas mRNA AR serta AR messages juga mulai beregulasi kembali (Zhu dan Kyprinaou, 2008), hal ini penting untuk aktivitas dari kompleks reseptor bersama DNA di dalam nukleus. Hormon yang berdifusi ke dalam sel selain berikatan dengan reseptor di cytoplasmic dan membentuk kompleks androgen-AR, selanjutnya juga akan berikatan dengan reseptor nuclear dengan peran serta dari AR messages. Kompleks androgen-AR yang telah aktif yang disebut juga AR-dependent, mengalami dimerisasi dan translokasi menuju nukleus. Reseptor androgen dimer akan berikatan dengan squence DNA spesifik (pada bagian promoter) yang dikenal sebagai sequence androgen respone elements (AREs) dan membentuk DNA-binding. Promoter DNA merupakan sequence yang dikenali pertama kali oleh RNA polimerase II (protein regulator) untuk menjalankan proses transkripsi. Protein lain termasuk coactivators dan faktor transkripsi juga akan berikatan bersama pada DNA dan AR-dependent di dalam nukleus sehingga menghasilkan transkripsional yang aktif (Weigel dan Zhang, 2007). Gen target (mRNA) di ciii dalam jaringan prostat, sebagai hasil transkripsi akan ditranslasi oleh ribosom untuk memproduksi protein spesifik, hasil sintesis protein itulah yang akan menimbulkan terjadinya respon sel berupa proliferasi dan diferensiasi sel pada organ target termasuk pada kelenjar prostat (Haelans et al., 2001). Setiap jaringan atau sel mengandung reseptor androgen dan respon terhadap hormon androgen akan menghasilkan perbedaan ekspresi dari AR, hal tersebut menyebabkan ekspresi AR pada setiap tipe jaringan ataupun organ akan berbedabeda. Ekspresi AR di dalam setiap region dari jaringan tersebut juga sangat bervariasi, disebabkan oleh karena terjadinya mekanisme autoregulasi (regulasi transkripsi maupun translasi protein) yang berbeda pada setiap region spesifik, namun mekanisme autoregulasi tersebut belum jelas. Regulasi dari ekspresi AR oleh karena androgen merupakan mekanisme yang penting untuk meregulasi sel atau jaringan yang responsif terhadap androgen. Penelitian oleh Zhu et al. (2000), menunjukan bahwa konsentrasi AR pada sel Leydig dan Sertoli memiliki perbedaan regulasi selama masa perkembangannya. Androgen replacement menyebabkan perbaikan secara utuh dari level nuklear AR pada sel Sertoli, namun pada myoid dan sel Leydig perbaikannya hanya sebagian saja. Responnya juga berbeda antara sel stroma dan sel epitelium. Hasil ini mengindikasikan bahwa level AR pada nukleus sel Sertoli dewasa sangat tergantung pada level androgen dan tipe sel epitelium juga sensitif terhadap androgen (Zhu et al., 2000). Level AR sangat dikaitkan dengan proliferasi dan kematian sel, maka jika terjadi peningkatan ekspresi AR akan berpengaruh positif juga pada pertumbuhan civ dari organ target (Culig, 2004), sebaliknya jika terjadi penurunan ekspresi AR maka lama-kelamaan sel akan mengalami apoptosis. Penelitian oleh Banerjee et al. (2001), mengatakan bahwa ekspresi AR terbukti menurunkan pertumbuhan dari lobus ventral kelenjar prostat seiring bertambahnya usia, karena ekspresi AR pada organ target ditemukan menurun pada penuaan (Prakash et al., 2003). Defisiensi androgen akan menurunkan kapasitas binding dari AR (Paris et al., 2004), seperti yang terjadi pada tikus yang dikastrasi dapat menyebabkan penurunan dari kapasitas binding dan dapat dipulihkan dengan pemberian hormon testosteron, karena terjadi pembentukan AR-dependent yang selanjutnya menyebabkan pemulihan secara cepat dari AR ligand binding. Androgen yang cukup akan merangsang AR untuk membentuk suatu ikatan dengan androgen, dan akan mengalami pengaktifan dan dimerisasi reseptor dan siap berikatan kembali bersama DNA di dalam nukleus, selanjutnya mengalami proses transkripsi dan translasi, begitupula sebaliknya pada keadaan defisiensi androgen tentunya menyebabkan berkurangnya ikatan antara androgen dengan reseptornya sehingga kompleks androgen-AR akan menurun, yang pada akhirnya akan menimbulkan penghambatan pertumbuhan kelenjar prostat oleh karena menurunnya sintesis protein. Berdasarkan hal tersebut, jadi betapa pentingnya ekspresi AR untuk meregulasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar prostat terutama jika dikaitkan dengan faktor penuaan. Mekanisme autoregulasi seperti translasi protein, proses posttranskripsi dan stabilitas AR dikaitkan dengan adanya ekspresi AR. Ketiadaan pengiriman pesan ke nuklear oleh AR message pada ketiadaan cv androgen, akan menyebabkan akumulasi pesan di dalam nukleus sehingga menimbulkan pengaruh pada proses translasi yang tidak dapat berjalan. Data hasil penelitian menunjukan peningkatan ekspresi mRNA AR hanya sebagian kecil saja, hal ini kemungkinan dikarenakan pada kelenjar prostat lebih responsif terhadap DHT dibandingkan dengan testosteron, dan konsentrasi DHT di dalam prostat 15-20 kali lebih tinggi daripada testosteron begitupula dengan reseptornya. Jumlah testosteron yang lebih sedikit disebabkan karena hormon testosteron memisahkan diri 3 kali lebih cepat daripada DHT. Testosteron kurang efektif untuk menstabilisasi AR sedangkan hasil konversinya (DHT) menghasilkan reaksi yang lebih stabil dan kompleks steroid-AR yang potensial berguna untuk pertumbuhan dan fungsi dari prostat (Wright et al., 2006). Penelitian oleh Shidaifat (2009), menunjukan ekspresi gen 5α reduktase pada prostat secara signifikan mengalami down-regulation pada anjing muda dan tua jika dibandingkan dengan immature, namun tidak signifikan berbeda jika ekspresinya dibandingkan antara anjing muda dan tua. Ekspresi gen 5α reduktase juga ditemukan menurun pada ventral prostat setelah kastrasi (Miyamoto et al., 2006). Berdasarkan temuan tersebut dengan kata lain kastrasi akan menyebabkan 5α reduktase berkurang sehingga konversi dari testosteron menjadi DHT sedikit terganggu, hal ini menyebabkan kelenjar prostat tidak mendapatkan androgen khususnya DHT secara optimal. Meskipun dengan peningkatan AR yang sedikit kelenjar prostat tetap dapat tumbuh, oleh karena adanya faktor pertumbuhan disamping hormon androgen sehingga perkembangannya pun menjadi stabil. cvi Bagaimanapun juga faktanya, hormon androgen dalam hal ini testosteron berfungsi dalam memelihara organ reproduksi seperti testis, penis, epididimis termasuk juga pada kelenjar prostat melalui kerja reseptornya. Pemberian hormon testosteron ini sangat penting untuk memelihara fungsi tubuh secara keseluruhan terutama pada usia tua. Menurut Dandona et al. (2009), pada andropause dengan gejala-gejala hipogonad, pemberian hormon sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan fungsi seksual dan memelihara karakteristik seks sekunder, sehingga sangat direkomendasikan untuk memulihkan keadaan defisiensi androgen pada pria andropause. cvii BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pemberian testosterone replacement therapy meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi. 6.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan metabolit aktif dari testosteron seperti DHT terhadap ekspresi reseptor androgen pada kelenjar reproduksi. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian testosterone replacement therapy terhadap ekspresi reseptor androgen pada kelenjar aksesori genital lainnya seperti vesikula seminalis. 3. Melakukan penelitian mengenai pemberian testosterone replacement therapy pada kelenjar reproduksi pada tikus tua dengan membandingkan antara ekspresi reseptor androgen dan reseptor estrogen pada kelenjar. cviii DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. Testosterone Replacement Theray. Advisor Committee Industry Briefing Document [cited 2016 June 06] Available from: URL: http:/www.FDA.Gov/Download/Advisor committee/UCM412357. United States 17-20 September. Araujo, A.B., O’donnell., Brambilla, D.J. 2004. Prevalence And Incidence Of Androgen Deficiency In Middle-Aged And Order Men: Estimates From The Massachusetts Male Aging Study. J clin Endocrinol Metab. PMC. Vol 89. p.5240-5247. Arini, L.A. 2016. “Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi mRNA Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi” (penelitian pendahuluan). Denpasar: Universitas Udayana. Arsani, A. 2011. “Terapi Sulih Testosteron Meningkatkan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Diabetes Melitus”. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Arun, K.R., Tyagi, S.C., Song,Y., Lavrovsky, C., Soon, T. 2001. Androgen Receptor: Structural Domains and Functional Dynamics After LigandReceptor Interaction. An. NY Acad. Sci. Vol. 949. p. 44-57. Arver, S., Lehtihet, M. 2008. Testosterone Replacement Therapy. In: Jones, T.H. editor. Testosterone Deficiency in Men. New York: Oxford University. p. 71-77. Banerjee, P., Banerjee, S., Brown, T.R. 2001. Increased Androgen Receptor Expression Correlates With Development Of Age-Dependent, LobeSpecific Spontaneous Hyperplasia Of Rat Prostate. Endocrinol. Vol. 142. p. 4066-4075. Bebb, R.A. 2011. Testosteron Deficiency: Practical Guidelines for Diagnosis and Treatment. BCMJ. Vol. 53. p. 474-479. [cited 2015 Agust 28] Available from: URL: http://www.hemj.org/articles/testosterone-deficiency-practicalguidelines-diagnosis-and- treatment. Belanger, R., Conant, S., Grabowski, G. 2013. Using Castration Surgery In Male Rats To Demonstrate The Physiological Effects Of Testosterone On cix Seminal Vesicle Anatomy In An Undergraduate Laboratory Setting. Bio scanes. Vol. 38(2). p. 270-278. Berges, R. R., Furuya, Y., Remington, L., English, H.F., Jacks, T. 2003. Cell Proliferation, DNA Repair and 87 P53 Function Are Not Required For Programmed Death Of Prostatic Glandular Cell Induced By Androgen Ablation. Med scanes. Vol. 90. p. 8910-8914. Bhasin, S., Cunningham, G.R., Haves, F.J., Matsumoto, A.M., Snyder, P.J., Swerdlof, R.S. 2006. Testosterone Therapy in Adult Men with Androgen Deficiency Syndromes: an Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. Vol. 91. p. 199-205 [cited 2015 Agust 28] Available from: URL: http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16720669. Borst, S.E., Mulligan, T. 2007. Testosterone Replacement Therapy for Older Men. Clinical Interventions in Aging. PMC. Ncbi. Vol. 4(2). p. 322-328. Braunstein, G.D. 2011. Testes. In: Gardner, D.G., and Shoback, D., editors. Greenspan’s Basic & Clinical Endocrinology. 9th.Ed. New York: McGrawHill. p. 395-401. Chang, C., Kokontis, J., Liao, S., 2008. Structural Anayisis Of Complementary DNA And Amino Acid Sequences Of Human And Rat Androgen Receptors. Biochemistry. Proc. Natl. Acad. Sci. Vol. 85. p.7211-7215. Conti, C.J., Irma, B., Conti, G., Benavedes, F., Conti, M.A. Ward, J.M. 2005. Atlas Of Laboratory Mouse Histology. Austin: Texas histopages. p. 27-31. Coss, C., Jones, A., Hancock, M., Steiner, M., Dalton, J. 2014. Selective androgen receptor modulators for the treatment of late onset male hypogonadism. Asian J Andro. Vol. 16. p. 256–261. Culig, Z. 2004. Androgen Receptor Cross-Talk With Cell Signaling Pathways. NCBI. Vol. 23(3). p. 179-184. Cunningham, R., Hijazi, A., Glenn, R. 2004. Androgen Replacement Therapy Indicated for the Aging Male. Departments of Medicine and Molecular and Cellular Biology, Baylor College of Medicine and VA Medical Center, Houston. Annual review. Vol. 56. p.117-137. Dahlan, M. S. 2012. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. p. 184-187, 189-208. Dandona, P., Dhindsa, S., Chandel, A., Topiwala, S. 2009. Low Testosterone in Men with Type 2 Diabetes – A Growing Public Health. Diabetes Voice. Vol. 54. p. 560-567. cx Davison, B. R. 2006. Androgen physiology. Reprod. Med. Vol. 24(2). p. 71–77. Denake, C., Lipowsky, R.,Valleriani, A., 2013. Effect Ribosome Shielding On mRNA Stability. Departement of theory and bio-system germany. Phy. Biol. Vol. 10. p.157-165. Federer, W.T. 2008. Statistic and Society. Data Collection and Interpretation. 2nd Edition. New York: Marcel Dekker. p. 350-354. ernandez. 2005. Anatomy And Physiology II. [cited 2015 march 8] Available from: URL: http/:www.mBio.dev.edu.211. The Reproductive Systems. p. 22. Gao, N., Ishii, K., Mirosevich, J., Kuwajima, S., Stacey, R., Richard, L., Jiang, M., Scott, B., Richard, M., Stoffel, M. 2005. Article Forkhead Box A1 Regulates Prostate Ductal Morphogenesis and Promotes Epithelial Cell Maturation. Company of Biologists. Vol.132. p. 3431-3443. Goodman, N.F. 2001. Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Hyperandrogenic Disorders. NCBI. Vol. 7(2). p. 121-124. Goldenberg, L., Koupparis, A., Robinson, M.E. 2011. Differing levels of testosterone and the prostate: a physiological interplay. Nat. Rev. Urol. Vol. 8. p.365–377. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed-11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 515-524. Haelans, A., Verrijdt, G., Callewaert, L., Peeters, B., Rombauts, W., Claessens, F. 2001. Androgen Receptor-Specific DNA Binding to An Element in the First Exon of the Human Secretory Component Gene. Biochem. J. Vol. 353(3). p. 611-620. Haelens, A., Tanner, T., Denayer, S., Callewert, L., Claessens, F. 2007. The Hinge Region Regulates DNA Binding, Nuclear Translocation, and Transativation of the Androgen Receptor. Cancer Res. Vol. 67(9). p. 14-23. Harman, S.M., Metter, E.J., Tobin, J.D., Pearson, J., Blackman, M.R. 2001. Longitudinal Effects of Aging on Serum Total and Free Testosterone Levels in Healthy Men. J Clin Endocrinol Metab. Vol. 86. p. 724-731. Hees, R.A., Carnes, K. 2004. The Role Of Estrogen In Testis And The Male Reproductive Tract: A Review And Species Comparison. Anim. Reprod. Vol. 1. p. 5-30. cxi Heredia, P.M., Jansen, R.P. 2003. mRNA Localization And The Cytoskeleton. Philadelphia: Elsevier. p. 16:1–6. Herliyani, L. 2009. Laporan Pratikum Embriologi Sistem Reproduksi Jantan. [cited 2015 Sep 16] Available from: URL: http:/www.LindaSapphireblue.Blogspot.com/LPE. Sistem Reproduksi. Html. p. 16-17. Hwaii, Y.K., Kim, J.J. 2011. Testosterone Replacement Therapy For Late-Onset Hypogonadism: Current Trends In Korea. Asian J. Andrology. Vol. 13. p.563–568. Ikonen, T., Jorma, J., Palvimo., Olli, A. 2007. Interaction Between The AminoAnd Carboxyl-Terminal Regions Of The Rat Androgen Receptor Modulates Transcriptional Activity And Is Influenced By Nuclear Receptor Coactivators by University Of Helsinki. Biochemistry. Vol. 272 (47). p. 29821–29828. Indrayanto, Y. 2011. Andropause. [cited 2015 Agust 28] Available from:URL: http:/www.fk.uns.ac.id. static-resensibuku-andropause. html. p.255-268. Junqueira, L.C. 2007. Persiapan Jaringan Untuk Pemeriksaan Mikroskopik. Histology Dasar. Teks Dan Atlas. Edisi 10. Jakarta : EGC. p. 3 - 5. Justulin, J.R., Rodrigo, L.A, Ureshino, P., Michelle, Z., Felisbino, S.L. 2006. Differential Proliferative Response Of The Ventral Prostate And Seminal Vesicle To Testosterone Replacement. International Federation For Cell Elseiver Ltd. Bio. Vol 30. p. 354-364. Kalra, S., Sharma, A., Agrawal, N., Kumar, S. 2010. Testosterone Replacement in Male Hypogonadism. Department of Endocrinology, Bharti Hospital, Karnal India; Clinical Research. Clinical Pharmacology. Vol. 149. p. 670678. Keller, E.T., Ershler, W.B., Chang, C. 2006. The Androgen Receptor: A Mediator of Diverse Responses. The Instite on Aging and the Departement of Human Oncology University of Wisconsin, Madison. Frontiers in Bioscience. Vol. 1. p.59-71. Kendeel, F., Koussa. R., Swerdloff, R. F. 2001. Male Sexual Fuction And Its Disorders. Endocrine Reviews. Vol. 22 (3). p.342-388. Khan, O.Y., Ismail, A., Srinivasan, S., Nawaz, Z. 2005. Multifunction Steroid Receptor Coactivator, E6-Associated Protein, Is Involved in Development of the Prostate Gland. Molecular Endocrinol. Vol 20 (3). p.544–559. cxii Kim, J.W., Yoon, M.M., Bae, C.Y., Kim, J.J., Moon, D.G. 2013. The Effect of Diet-Induced Insulin Resistance on DNA Methylation of the Androgen Receptor Promoter in the Penile Cavernosal Smooth Muscle of Mice. Asian J. Andrology. Vol. 15. p.487-491. Kim, K.C., Friso, S., Choi, S.W. 2009. DNA Methylation, An Epigenetic Mechanism Connecting Folate To Healthy Embryonic Development And Aging. J. Nutritional Biochemistr. Vol. 20. p. 917-926. Kinblom, J. 2003. Role Of Prolaktin in the Prostate Gland. Studies in Transgenic Mouse Models. Swedish: Gothenburg University. p. 628-650. Klentze, M. 2003. The New Science of Anti-Aging Hormone Replacement Therapy. A Multidimensional Approach. In: Klatz, R., editor. Anti Aging Medical Therapeutics. Chicago: The A4M Publications. p. 415-419. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. 7th-ed. Vol. 12. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. p: 189. Kusdiantoro, M., Savitri, N., Priyono, A. 2001. Morfologi dan Kandungan Karbohidrat Kelenjar Aksesori Organ Reproduksi Tikus Jantan Pada Umur Sebelum Dan Setelah Pubertas. Bogor: Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. p. 15-19. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University. p. 75-77. Liao, S. 2006. Receptors And The Mechanism Of Action Of Androgens. In: Receptors And Mechanism Of Action Of Steroid Hormones. 2nd Ed. New York : Marcel Dekker. p. 159-214. Maegawa, S., Hinkal, G., Kin, H.s. 2010. Widepread And Tissue Specific AgeRelated DNA Methylation Changes In Mice. Genome Res. Vol. 20 p. 332340. Mahendroo, M.S., Cala, K.M., Hess, D.L., Russell, D.W. 2001. Unexpected Virilization In Male Mice Lacking Steroid 5a-Reductase Enzymes. Endocrinol. Vol. 142. p. 4652-4662. Marilia, T.C., Erick, J.R., Cristina, M., Avelar, W. 2009. Androgen and the Male Reproductive Tract. Endocrinologi Experimental, Departement Farmacology Universitas Federal Sao Paulo Brasil. Arq. Bras. Endocrinol Metab. Vol. 53(8). p.934-945. McCence, K.L., Huether, S.E. 2008. Pathophysiology. The Biology Basic for Disease in Adult and Children. 5th Ed. Utah: Elsevier. p.755-759. cxiii Miyamoto, T., Kagawa, S., Kitagawa, K., Futaki, S., Yoka, H., Tsuruo, Y., Ishimura, K. 2006. Immunocytochemical Localization Of 5 Alpha Regulation In The Prostate Of Normal Castrated Rats. Histochem Sel Biol. Pubmed. Vol. 105 (2). p. 101-109. Moore, K., Anne, L., Agur, M.R., 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 455-466. Mulligan, T., Frick, M.F., Zuraw, Q.C. 2006. Prevalence Of Hypogonadism In Males Aged At Least 45 Years: the HIM study. Int J Clin Pract. PMC free article. PubMed. Vol. 60. p.762-771. Murray, R.K., Bender, D.A., Botham, K.M., Kennelly, P.J., Rodwell, V.W., Weil, P. 2014. Biokimia Harper. Ed. 29. Jakarta: EGC. p. 400-417. Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Yogyakarta: Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. p. 178-182. Nieschlag, E., Behre, H.M., Nieschlag, S. 2010. Andrology. Male Reproductive Health And Dysfunction. 3rd Ed. Berlin: Springer-Verlag Heidelberg. p. 530-541. Nieschlag, E., Swerdloff, R., Behre, H.M. 2005. Investigation, Treatment, and Monitoring of Late-Onset Hypogonadism in Males: ISA, ISSAM, and EAU Recommendations. Int J Androl. Vol. 28. p. 125–127. Nuraini, D.F. 2014. Pengaruh Infusa Daun Murbei (Morus Alba L) Terhadap Gambaran Histologi Dan Berat Testis Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Diabetes Militus Kronik. (tesis). Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Ono, S., Kazuhiro. S., Khasiwagi, B., Shibata, Y., Ito, K., Yamanaka, F. 2004. Role Of Androgen On Blood Flow And Capillary Structure In Rat Seminal Vesicle. Department of Urology, Gumma Universitu School Medicine, Maebashi. Tohoku, J.Exp.Med. Vol. 202. p. 193-201. Paris, F., Weinbaver, G.F., Blum, V., Nieschlag, E. 2004. The Effect Of Antiandrogens On The Immunohistochemical Localization Of The Androgen Receptor In Reproductive Organs Of Male Rats. J. Steroid Biochem. Vol. 48. p. 129-137. Pelletier, G. 2002. Effect Of Estradiol On Prostate Epithelial Cells In Castrated Rat. Oncology And Molecular Endocrinology Research Center, Laval cxiv University Medical Center Canada. Histochem Cytochem J. Vol. 50. p. 1517-1523. Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. Jhon Wiley And Son: Chichester. New York : Brisbane. Toronto. p. 68-72. Prakash, C., Supakar, Chung, S., Song, M., Jung, M. A., Slomczynska, J.M., Kim, R. L. Vellanoweth, B.C., Adrun, K.R. 2003. A Novel Regulatory Element Associated with Age-dependent Expression of the Rat Androgen Receptor Gen. J Biological Chemistry. Vol. 268 (35). p. 2610-2640. Roberts, B. 2010. Sustanon ‘250’ Profile. [cited 2015 Agust 28] Available from: URL: http:/www. mesomorphosis. com/steroid-profiles/sustanon-250.html. p. 13. Ryan, R. 2007. Dialed In The Health And Fitness Program That Will Change Your Life [cited 2016 Jan 07] Available from: URL: http:/www.books.google.com. Sanborn, B.M., Caston, L., Chang, C., Speller, R., Porter, L. 2001. Regulation of Androgen Receptor mRNA In Rat Sertoli and Peritubular Cells. Biology of Reprod. Vol. 45. p. 634-641. Sarjana, I.K., Kusumawati, D. 2004. Anastesi Veteriner. Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University. p. 57. Shan, L., Min, L., Daniel, E., Sophia, Y., Tsai, M. 2009. Androgen Regulation Of The Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor P21 Gene Through On Androgen Response Element In The Proximal Promoter. Molecular Endocrinol. Vol. 13 (3). p. 376-384. Shidaifat, F. 2009. Age-Dependent Expression of 5a-Reductase and Androgen Receptors mRNA by the Canine Prostate. Department of Basic Veterinary Medical Sciences, Faculty of Veterinary Medicine. Jordan. Physiol. Res. Vol. 58. p. 155-158. Sjamsuhidajat, R., Jong, D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd Ed. Jakarta : EGC. p. 60-68. Soeffing, W., Timms, B.G. 2005. Localization Of Androgen Receptor And Cell Spesific Cytokeratin In Basal Cell Of Rat Ventral Prostate. J. Andrology. Vol. 16 (3). p. 125-129. Stanworth, R., Jones, T. 2008. Testosterone for the aging male. Current evidence and recommended practice. Centre for Diabetes and Endocrinology, cxv Barnsley Hospital NHS Foundation Trust, Barnsley, South Yorkshire. Clinical Interventions in Aging. Vol. 1. p. 25-44. Surampudi, P.N., Wang, C., Swerdloff, R. 2012. Hypogonadism in the Aging Male Diagnosis, Potential Benefits, and Risks of Testosterone Replacement Therapy. J. Endocrinol. Vol. 20. p. 254-259. Syamsuharlin, E. 2011. Anatomi Dan Fisiologi Reproduksi Hewan. [cited 2015 Sep 16] Available from: URL: http/:www. Eanimal husbandry. blogspot.com/../pendahuluan-latar-belakang-reproduksi.html. p. 45-49. Takeda, H., Nakamoto, T., Kokontis, J., Chodak, G., Chang, C. 2001. Autoregulation Of Androgen Receptor Expression In Rodent Prostate: Immunohstochemical And In Situ Hybridization Analysis. Biochem Biophys Res Commun. Vol. 177. p. 488-496. Tong, S.F., Chink, J.L., Boon, C.L., Vena, K.M., Fe, M.L, Eng, G., Tan, H.M. 2012. Effect of long-acting testosterone undecanoate treatment on quality of life in men with testosterone deficiency syndrome: a double blind randomized controlled trial. Asian J. Andrology. Vol. 14. p.604-611. Ullah, M.I., Riche, D., Koch, C. 2014. Transdermal Testosterone Replacement Therapy in Men. Department of Medicine, University of Mississippi. USA: Medical Center Dovepress. p. 392-416. Vargas, R., Oliveira, L.P., Frankenfeld, S., Costa, W.S., Favorito, L. 2013. The Prostate After Administration of Anabolic Androgenic Steroids. Int. Braz. J. Urol. Vol. 39. p. 675-682. Verrijdt, G., Haelens, A., Claessens, F. 2003. Selective DNA Recognition By The Androgen Receptor As A Mechanism For Hormone-Specific Regulation Of Gene Expression. Molecular Genetics & Metabolism. Vol. 78. p. 175–185. Wang, X. 2005. Cyclooxygenase-2 Regulation of the Age-Related Decline in Testosterone Biosynthesis. Endocrinol. Vol. 146 (10). p. 4202-4208. Weigel, N.L., Zhang, Y., 2008. Ligand-Independent Activation Of Steroid Hormone Receptors. Springer-Verlag. J. Mol Med. Vol. 76. p. 469-479. Wibowo, S. 2003. Andropause: Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Jakarta: FKUI. p. 11-17. Wilczynski, C., Agrawal, L. 2015. Testosterone Effects on the Prostate Gland: Review of Pathophysiology and considerations in Prostate Cancer. J. Family Medicine & Disease Prevent. Vol. 1 (04). p. 26-35. cxvi Wolf, D.A., Herzingert, T. Hermeking, H. 2003. Transcriptional and Postranscriptional Regulation of Human Androgen Receptor Expression by Androgen. Instite of Physiological Chemistry University of Munich 2, Germany. Molecular Endocrinol. Vol. 7. p. 924-936. Wright, S.A., Thomas, L.N., Douglas, R.C., Lazier, C.B., Rittmaster, R.S. 2006. Relative Potency Of Testosterone And Dihydrotestosterone In Preventing Atrophy And Apoptosis In The Prostate Of The Castrated Rat. J. Clin. Invest. Vol. 98 (11). p. 2558-2563. Yassin, A.A., Saad, F. 2007. Improvement of Sexual Function in Men with Late Onset Hypogonadism Treated with Testosterone Only. J. Sex Med. Vol. 4. p. 497–501. Zhu, L.J., Matthew, H.P., Bardin, W., Alfred, J. 2000. Effects of Androgen on Androgen Receptor Expression in Rat Testicular and Epididymal Cells. Biology of Reprod. Vol. 63. p. 368–376. Zhu, M.L., Kyprinaou, N. 2008. Androgen Receptor And Growth Factor Signaling Cross-Talk In Prostate Cancer Cells. Endocr. Relat. Cancer. Vol 15 (4). p. 841-849. cxvii LAMPIRAN Lampiran 1. Administrasi Penelitian cxviii Gambar lamp. 1.1 Surat Keterangan Kelayakan Etik cxix cxx Gambar lamp. 1.2 Surat Keterangan Penelitian Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian Gambar lamp. 2.1 Tikus penelitian cxxi Gambar lamp. 2.2 Kegiatan Kastrasi cxxii Gambar lamp. 2.3 Hormon Testosteron cxxiii Gambar lamp 2.4 Perlakuan dengan injeksi sustanon 250 dan aquadest Gb lamp. 2.5 Persiapan ekstraksi RNA cxxiv Gambar lamp 2.7 Pembedahan cxxv cxxvi Gambar lamp. 2.8 Pemerosesan mRNA AR dengan realtime PCR. Lampiran 3. Hasil penelitian dengan metode realtime PCR cxxvii 1 Quantitation Report 1.1.1.1 Experiment Information Run Name AR GAPDH STUDI UTAMA ARIK SAMPEL 1-18 Run Start 02/05/2016 17:09:22 Run Finish 02/05/2016 18:27:08 Operator arik ari Notes Run On Software Version Rotor-Gene 4.4.1 Run Signature The Run Signature is valid. Gain Green 2,67 1.1.1.2 1.1.1.3 Quantitation Information Threshold 0,06598 Left Threshold 1,000 Standard Curve Imported No Standard Curve (1) N/A Standard Curve (2) N/A Start normalising from cycle 1 Noise Slope Correction No No Template Control Threshold 0% Reaction Efficiency Threshold Disabled Normalisation Method Dynamic Tube Normalisation Digital Filter Light Sample Page Page 1 Imported Analysis Settings cxxviii 1.1.1.4 1.1.1.5 1.1.1.6 1.1.1.7 1.1.1.8 1.1.1.9 Quantitation data for Cycling A.Green 1.1.1.10 Grafik Cycle Threshold 1.1.1.11 Standard Curve Androgen No. Colour Name Type Ct 1 AR ARI PUTIH 10 Unknown 28,63 cxxix Given Conc (pg/ul) Calc Conc (pg/ul) % Var 2 AR ARI PUTIH 11 Unknown 28,94 3 AR ARI PUTIH 12 Unknown 28,67 4 AR ARI PUTIH 13 Unknown 29,37 5 AR ARI PUTIH 14 Unknown 28,80 6 AR ARI PUTIH 15 Unknown 28,53 7 AR ARI PUTIH 16 Unknown 28,75 8 AR ARI PUTIH 17 Unknown 28,54 9 AR ARI PUTIH 18 Unknown 30,08 10 GAPDH ARI PUTIH 10 Unknown 13,30 11 GAPDH ARI PUTIH 11 Unknown 13,18 12 GAPDH ARI PUTIH 12 Unknown 13,14 13 GAPDH ARI PUTIH 13 Unknown 13,02 14 GAPDH ARI PUTIH 14 Unknown 13,08 15 GAPDH ARI PUTIH 15 Unknown 13,15 16 GAPDH ARI PUTIH 16 Unknown 13,34 17 GAPDH ARI PUTIH 17 Unknown 13,41 18 GAPDH ARI PUTIH 18 Unknown 12,86 19 AR ARI MERAH 10 Unknown 27,46 20 AR ARI MERAH 11 Unknown 28,00 21 AR ARI MERAH 12 Unknown 28,29 22 AR ARI MERAH 13 Unknown 27,53 23 AR ARI MERAH 14 Unknown 27,51 24 AR ARI MERAH 15 Unknown 27,95 25 AR ARI MERAH 16 Unknown 28,80 26 AR ARI MERAH 17 Unknown 27,48 27 AR ARI MERAH 18 Unknown 26,19 28 GAPDH ARI MERAH 10 Unknown 13,02 29 GAPDH ARI MERAH 11 Unknown 13,34 30 GAPDH ARI MERAH 12 Unknown 13,40 31 GAPDH ARI MERAH 13 Unknown 13,39 32 GAPDH ARI MERAH 14 Unknown 13,51 33 GAPDH ARI MERAH 15 Unknown 12,95 cxxx 34 GAPDH ARI MERAH 16 Unknown 13,45 35 GAPDH ARI MERAH 17 Unknown 13,43 36 GAPDH ARI MERAH 18 Unknown 11,96 1.1.1.12 Legend: NEG (NTC) - Sample cancelled due to NTC Threshold. NEG (R. Eff) - Sample cancelled as efficiency less than reaction efficiency threshold. This report generated by Rotor-Gene 6000 Series Software 1.7 (Build 87) Copyright 2000-2006 Corbett Research, a Division of Corbett Life Science. All rights reserved. ISO 9001:2000 (Reg. No. QEC21313) cxxxi NAMA Keterangan: perlakuan SAMPEL CT SAMPEL LOG - AR putih : kelompok kontrol - AR merah : kelompok Lampiran 4. Tabulasi Data Ekspresi Absolut mRNA AR cxxxii SAMPEL (pg/ul) AR PUTIH 1 AR PUTIH 2 AR PUTIH 3 AR PUTIH 4 AR PUTIH 5 AR PUTIH 6 AR PUTIH 7 AR PUTIH 8 AR PUTIH 9 AR PUTIH 10 AR PUTIH 11 AR PUTIH 12 AR PUTIH 13 AR PUTIH 14 AR PUTIH 15 AR PUTIH 16 AR PUTIH 17 AR PUTIH 18 AR MERAH 1 AR MERAH 2 AR MERAH 3 AR MERAH 4 AR MERAH 5 AR MERAH 6 AR MERAH 7 AR MERAH 8 AR MERAH 9 AR MERAH 10 AR MERAH 11 AR MERAH 12 AR MERAH 13 AR MERAH 14 AR MERAH 15 AR MERAH 16 AR MERAH 17 AR MERAH 18 27,24 27,69 26,71 26,65 27,18 27,51 27,36 28,08 27,2 28,63 28,94 28,67 29,37 28,8 28,53 28,75 28,54 30,08 26,79 26,13 27,42 26,48 26,13 26,29 26,21 25,9 27,75 27,46 28 28,29 27,53 27,51 27,95 28,8 27,48 26,19 cxxxiii -0,28 -0,41 -0,14 -0,12 -0,27 -0,36 -0,32 -0,518029523 -0,272505732 -0,671481891 -0,757973227 -0,682642064 -0,877945079 -0,718912624 -0,643581461 -0,704962408 -0,646371504 -1,076038137 -0,158113966 0,026028876 -0,33388668 -0,071622631 0,026028876 -0,018611813 0,003708532 0,090199867 -0,425958101 -0,345046852 -0,495709178 -0,576620427 -0,364577154 -0,358997068 -0,481758963 -0,718912624 -0,350626938 0,009288618 0,52040 0,38975 0,73149 0,76023 0,54085 0,43753 0,48179 0,30337 0,53394 0,21307 0,17459 0,20766 0,13245 0,19102 0,22721 0,19726 0,22575 0,08394 0,69484 1,06177 0,46357 0,84796 1,06177 0,95805 1,00858 1,23084 0,37501 0,45181 0,31937 0,26508 0,43194 0,43753 0,32979 0,19102 0,44604 1,02162 cxxxiv Keterangan : - AR PUTIH (Kelompok kontrol) perlakuan) - AR MERAH (Kelompok Lampiran 5. Hasil Realtime PCR studi pendahuluan 2 Quantitation Report 3 3.1.1.1 Experiment Information Run Name AR1 Run Start 2/5/2016 4:37:39 PM Run Finish 2/5/2016 6:08:03 PM Operator Notes Run On Software Version Rotor-Gene 4.4.1 Run Signature The Run Signature is valid. Gain Green 2.67 3.1.1.2 3.1.1.3 Quantitation Information Threshold 0.12403 Left Threshold 1.000 Standard Curve Imported No Standard Curve (1) N/A Standard Curve (2) N/A Start normalising from cycle 1 Noise Slope Correction No No Template Control Threshold 0% Reaction Efficiency Threshold Disabled Normalisation Method Dynamic Tube Normalisation Digital Filter Light Sample Page Page 1 Imported Analysis Settings cxxxv 3.1.1.4 3.1.1.5 3.1.1.6 3.1.1.7 3.1.1.8 3.1.1.9 3.1.1.10 3.1.1.11 3.1.1.12 Raw Data For Cycling A.Green 3.1.1.13 Quantitation data for Cycling A.Green No Colo Name . ur Type Ct 1 GAPDH ARIK merah 1 Unkno 15.4 (A1) wn 8 2 GAPDH ARIK merah 2 Unkno 17.0 (A2) wn 7 3 GAPDH ARIK putih 1 (A3) Unkno 15.1 wn 9 4 GAPDH ARIK putih 2 (A4) Unkno 15.7 wn 0 5 GAPDH ARIK hijau 1 (A5) Unkno 16.7 wn 1 6 GAPDH ARIK hijau 2 (A6) Unkno 17.0 wn 7 7 GAPDH ARIK hijau 3 (A7) Unkno 14.8 wn 9 cxxxvi Given Conc (Copies) Calc Conc (Copies) % Var No Colo Name . ur Type Ct 8 GAPDH ARIK kuning 1 Unkno 15.1 (A8) wn 5 9 GAPDH ARIK kuning 2 Unkno 15.8 (A9) wn 2 10 GAPDH ARIK kuning 3 Unkno 16.5 (A10) wn 2 11 AR ARIK merah 1 (A1) Unkno 24.5 wn 5 12 AR ARIK merah 2 (A2) Unkno 23.4 wn 2 13 AR ARIK putih 1 (A3) Unkno 25.3 wn 4 14 AR ARIK putih 2 (A4) Unkno 24,8 wn 9 15 AR ARIK hijau 1 (A5) Unkno 25,6 wn 5 16 AR ARIK hijau 2 (A6) Unkno 24.2 wn 7 17 AR ARIK hijau 3 (A7) Unkno 24.6 wn 3 18 AR ARIK kuning 1 (A8) Unkno 24.2 wn 9 19 AR ARIK kuning 2 (A9) Unkno 24,5 wn 5 20 AR ARIK kuning 3 (A10) Given Conc (Copies) Calc Conc (Copies) % Var Unkno 24.0 wn 6 Legend: NEG (NTC) - Sample cancelled due to NTC Threshold. NEG (R. Eff) - Sample cancelled as efficiency less than reaction efficiency threshold. This report generated by Rotor-Gene 6000 Series Software 1.7 (Build 87) Copyright 2000-2006 Corbett Research, a Division of Corbett Life Science. All rights reserved. ISO 9001:2000 (Reg. No. QEC21313) Keterangan : - AR putih : kelompok kontrol perlakuan pertama - AR kuning: kelompok perlakuan kedua perlakuan ketiga Lampiran 6. Karakteristik Sampel Penelitian cxxxvii - AR merah: kelompok - AR hijau: kelompok No Strain tikus Jenis kelamin Umur (hari) BB (gr) Hari ke-1 Hari ke-8 Hari ke-1 Hari ke-8 Ket Tindakan 01 Wistar Jantan 133 140 255 257 Sehat Kastrasi 02 Wistar Jantan 137 144 251 257 Sehat Kastrasi 03 Wistar Jantan 140 147 258 264 Sehat Kastrasi 04 Wistar Jantan 139 146 262 266 Sehat Kastrasi 05 Wistar Jantan 142 149 254 261 Sehat Kastrasi 06 Wistar Jantan 140 147 256 266 Sehat Kastrasi 07 Wistar Jantan 143 150 260 267 Sehat Kastrasi 08 Wistar Jantan 141 148 274 280 Sehat Kastrasi 09 Wistar Jantan 144 151 265 274 Sehat Kastrasi 10 Wistar Jantan 141 148 266 270 Sehat Kastrasi 11 Wistar Jantan 138 145 270 275 Sehat Kastrasi 12 Wistar Jantan 139 146 275 281 Sehat Kastrasi 13 Wistar Jantan 140 147 259 267 Sehat Kastrasi 14 Wistar Jantan 139 146 250 256 Sehat Kastrasi 15 Wistar Jantan 138 145 250 257 Sehat Kastrasi 16 Wistar Jantan 142 149 278 290 Sehat Kastrasi 17 Wistar Jantan 144 151 258 267 Sehat Kastrasi 18 Wistar Jantan 142 149 260 270 Sehat Kastrasi 19 Wistar Jantan 143 150 265 270 Sehat Kastrasi 20 Wistar Jantan 141 148 273 277 Sehat Kastrasi 21 Wistar Jantan 141 148 270 278 Sehat Kastrasi cxxxviii 22 Wistar Jantan 139 146 268 273 Sehat Kastrasi 23 Wistar Jantan 140 147 255 267 Sehat Kastrasi 24 Wistar Jantan 145 152 280 290 Sehat Kastrasi 25 Wistar Jantan 141 148 261 272 Sehat Kastrasi 26 Wistar Jantan 138 145 263 272 Sehat Kastrasi 27 Wistar Jantan 144 151 263 273 Sehat Kastrasi 28 Wistar Jantan 141 148 288 301 Sehat Kastrasi 29 Wistar Jantan 141 148 275 287 Sehat Kastrasi 30 Wistar Jantan 141 148 287 300 Sehat Kastrasi 31 Wistar Jantan 140 147 259 270 Sehat Kastrasi 32 Wistar Jantan 139 146 276 281 Sehat Kastrasi 33 Wistar Jantan 139 146 273 276 Sehat Kastrasi 34 Wistar Jantan 143 150 285 300 Sehat Kastrasi 35 Wistar Jantan 138 145 256 261 Sehat Kastrasi 36 Wistar Jantan 138 145 286 300 Sehat Kastrasi Keterangan: 01-18 (kelompok kontrol) 19-36 (kelompok perlakuan) Lampiran 7. Konversi Dosis untuk Berbagai Jenis (Species) Hewan Uji dan Manusia (Kusumawati, 2004). cxxxix cxl Lampiran 8. Hasil Output SPSS Descriptives mRNAAR 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 0 18 .5701 .17087 .04028 .4851 .6551 .29 .87 1 18 .7752 .21282 .05016 .6693 .8810 .44 1.11 Total 36 .6726 .21678 .03613 .5993 .7460 .29 1.11 Umur 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 0 18 144.01 2.698 .636 142.27 144.95 136 148 1 18 144.17 2.058 .485 143.14 145.19 142 148 Total 36 143.89 2.382 .397 143.08 144.69 136 148 BB 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 0 18 264.44 8.900 2.098 260.02 268.87 253 284 1 18 275.56 11.703 2.758 269.74 281.38 258 294 Total 36 270.00 11.694 1.949 266.04 273.96 253 294 Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Group Statistic df Sig. cxli Shapiro-Wilk Statistic df Sig. mRNA AR 0 .208 18 .038 .940 18 .289 1 .227 18 .015 .908 18 .078 a. Lilliefors Significance Correction Levene's Test of Equality of Error Variances a Dependent Variable:mRNA AR F df1 2.559 df2 1 Sig. 34 .119 Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means Independent t-test Group Statistics Group mRNA AR N Mean Std. Deviation Std. Error Mean 0 18 .5701 .17087 .04028 1 18 .7752 .21282 .05016 cxlii 95% Confidence Interval of the F mRNA AR Sig. t df Sig. (2- Mean Std. Error tailed) Difference Difference Difference Lower Uppe Equal variances 2.559 .119 -3.188 34 .003 -.20508 .06433 -.33581 -.074 -3.188 32.484 .003 -.20508 .06433 -.33604 -.074 assumed Equal variances not assumed Lampiran 9. Hasil Output SPSS pada studi pendahuluan Descriptives mRNAAR 95% Confidence Interval for Mean Std. N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 0 2 2.0550 .41719 .29500 -1.6933 5.8033 1.76 2.35 1 2 4.4900 2.20617 1.56000 -15.3317 24.3117 2.93 6.05 2 3 3.4667 .54003 .31179 2.1252 4.8082 2.93 4.01 3 3 2.5733 1.04543 .60358 -.0237 5.1703 1.44 3.50 10 3.1210 1.29485 .40947 2.1947 4.0473 1.44 6.05 Total cxliii Test of Homogeneity of Variances mRNAAR Levene Statistic df1 df2 6.512 3 Sig. 6 .026 Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Group mRNAAR Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic 3 .650 .950 3 .650 . 1.000 3 .980 . .971 3 .671 .260 2 . 1 .260 2 . 2 .176 3 3 .245 3 Test Statistics a,b mRNAAR Chi-Square df Asymp. Sig. 4.450 3 .217 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable:Group cxliv Sig. .950 0 a. Lilliefors Significance Correction df