BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan tentang teori – teori yang dipakai sebagai
dasar penjelasan hubungan stres kerja dan kinerja karyawan PT. Wira Insani.
Pembahasan dalam bab ini adalah pengertian dan definisi tentang stres, stres kerja,
jenis – jenis stres, gejala stres ditempat kerja, faktor – faktor penyebab stres kerja,
serta dampak stres. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang kinerja, faktor –
faktor yang mempengaruhi kinerja serta hubungan antara stres kerja dengan
kinerja.
2.1
Pengertian Stres
Stres adalah suatu tanggapan adatif, dibatasi oleh perbedaan individual dan
proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan),
situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis atau fisik
yang berlebihan terhadap seseorang. Menurut Selye, stres yang bersifat positif
disebut “eustress” sedangkan yang bersifat berlebihan dan bersifat merugikan
disebut “distress”
Menurut Charles D. Spielberger (Handoyo, 2001) menyebutkan bahwa stres
adalah tuntutan – tuntutan eksternal mengenai seseorang, misalnya objek – objek
dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara objektif adalah berbahaya.
Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan tidak
menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
2.1.1 Stres Kerja
Stres dapat didefinisikan sebagai suatu respon yang dibawa oleh berbagai
peristiwa eksternal dan dapat berbentuk pengalaman positif atau pengalaman
negatif (Selye, 1976 dalam Jagaratnam dan Buchanan, 2004:238). Selain itu,
Fontana (1989) dalam Jagaratnam dan Buchanan (2004:238) mendefinisikan stres
sebagai suatu tuntutan yang muncul karena adanya kapasitas adaptif antara pikiran
dan tubuh atau fisik manusia. Definisi lain tentang stres kerja dikemukakan oleh
Selye (1976) dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) yang mengartikan stres kerja
sebagai tanggapan atau respon yang tidak spesifik dari fisik manusia terhadap
tuntutan (demand) yang timbul.
Dalam hubungannya dengan stres, Robbins (2003) membagi tiga kategori potensi
penyebab
stres
(stressor)
yaitu
lingkungan,
organisasi,
dan
individu.
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi dalam perancangan struktur organisasi.
Ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para karyawan
dalam suatu organisasi. Lebih lanjut Robbins (2003) berpendapat bahwa struktur
organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan
peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya
partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan
merupakan potensi sumber stres. Selanjutnya Robbins (2003) memaparkan bahwa
survei yang dilakukan secara konsisten yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sebagai suatu yang sangat
berharga. Kesulitan pernikahan, retaknya hubungan, dan kesulitan disiplin anak
merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan dan
dapat terbawa ke tempat kerja. Masalah ekonomi yang dialami oleh individu
merupakan perangkat kesulitan pribadi lain yang dapat menciptakan stres bagi
karyawan. Banyak faktor dalam lingkungan kerja yang ditandai dengan tingginya
tingkat persaingan, keterbatasan waktu, adanya faktor-faktor yang tidak
terkontrol, keterbatasan ruang, perkembangan teknologi yang terjadi terus
menerus, adanya konflik kepentingan dari stakeholder organisasi (Hall dan
Savery,1986 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.63), meningkatnya peran
partisipasi manajemen dan adanya komputerisasi (Murray dan Forbes, 1986 dalam
Nasurdin dan Kumaresan, p.63), semakin meningkatnya ketidakpastian dan halhal lain dapat menimbulkan semakin tingginya tingkat stres ditempat kerja. Stres
dapat disebabkan oleh lingkungan, organisasi dan variabel individu (Mattesan dan
Ivancevich, 1999, Cook dan Hunsaker, 2001 dalam Nasurdin dan Kumaresan,
p.64). Faktor-faktor organisasional diketahui mempengaruhi stres karyawan
ditempat kerja (Greenhaus dan Beutell, 1985 dalam Nasurdin dan Kumaresan,
p.64). Faktor-faktor ini biasanya disebut sebagai penyebab stres organisasional
karena faktor-faktor ini sebagai salah satu pemicu berbagai reaksi akan
munculnya stres (Van Onciul, 1996 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64). Dari
berbagai sumber stres organisasional, terdapat lima variabel yang merupakan
sumber stres yaitu konflik, tersendatnya karir (blocked career), persaingan
(alientation), kelebihan beban kerja (work overload) dan lingkungan kerja yang
tidak kondusif. Konflik peran (role conflict) mempunyai hubungan yang positif
dengan stres kerja (Roberts et al, 1997 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64).
Foot dan Venne (1990) dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) berpendapat bahwa
ada hubungan positif antara terhalangnya karir dengan stres kerja. Ketika
karyawan merasa tidak mempunyai peluang karir, karyawan mungkin merasakan
ketidakpastian tentang masa depannya di dalam organisasi, yang pada gilirannya
dapat menimbulkan dan mempengaruhi tingkat stres. Lebih lanjut Thoits (1995)
dalam dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) mengemukakan bahwa persaingan
(alienation) mempunyai hubungan positif dengan stres kerja. Kelebihan beban
kerja (work overload) baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif mempunyai
hubungan empiris dengan fisiologi, psikologi dan stres (Beehr dan Newman,
1978). Penelitian mengenai stres peran oleh Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek dan
Rosenthal (1964) dalam Narayanan, et al. (1999, p.64) yang melakukan
penekanan pada sistem peran dan menggunakan variabel konflik peran (role
conflict) dan skala kerancuan peran (role ambiguity scales) (Rizzo, House dan
Lirtzman, 1970 dalam Narayanan, et al., 1999, p.64) berlangsung beberapa
dekade. Penelitian yang dilakukan Parkes (1985) dalam Narayanan, et al. (1999,
p.64) mengemukakan bahwa masalah hubungan antar personal yang merupakan
penyebab utama dari stres. Lebih lanjut Motowidlo, Packard dan Manning (1986)
menjelaskan bahwa work overload, interpersonal conflict dan kurangnya
dukungan sebagai penyebab utama munculnya stres.
Dalam kehidupan stres adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Manusia
dalam hidupnya mempunyai banyak kebutuhan, namun dalam pemenuhannya
kendala dan rintangan akan selalu menyertainya. Hal inilah yang merupakan
pangkal terjadinya stres. Menurut Singer (1990, p.369) dalam Mardiana dan
Muafi (2001, p.165), Stress ecompases the physiological and phsychological
reactions which people exhibit in response to environment event called stressors.
Ada tiga klasifikasi penyebab stres (stressor), pertama: organizational stressor,
yang secara langsung terkait dengan lingkungan kerja dan fungsi secara langsung
dengan pekerjaan. Kedua, life events yang tidak dipengaruhi oleh aspek organisasi
tetapi lebih didominasi dari peristiwa kehidupan individu. Ketiga, individual
stressor terkait dengan karaktristik yang dimiliki masing-masing individu dalam
memandang lingkungannya (Singer, 1990; Robbins, 1996, p.224, Cook, 1988,
p.18 dalam Mardiana dan Muafi, 2001). Gibson mengemukakan bahwa stres kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai repons dan stres sebagai stimulus – respons. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan invidu untuk memberikan
tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi
dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respons individu. Stres
dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respons, melainkan stres merupakan
hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan
individu untuk memberikan tanggapan. Sementara itu, Luthans mendefinisikan
stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh
perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan
lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan
psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stres
kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam
menghadapinya dapat berbeda. Masalah stres kerja di dalam organisasi
perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan
untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang
menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan
pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil
dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala yang dapat
mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah
dan agresif, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja
sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.
Dikalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan
persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (1999), mendefinisikan stres
sebagai reaksi – reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi di mana
tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamodt (1999)
memandangnya sebagai respons adaptif yang merupakan karakteristik individual
dan konsekuensi dan tindakan external, situasi atau peristiwa yang terjadi baik
secara fisik maupun psikologis. Berbeda dengan pakar di atas, Landy (1999)
memahaminya
sebagai
ketidakseimbangan
keinginan
dan
kemampuan
memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Robbins
memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu
dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh
sangatlah penting, tapi tidak dapat dipastikan Robbins (2001). Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya
ketidakseimbangan
antara
karakteristik
kepribadian
karyawan
dengan
karakteristik aspek – aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi
pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stres
seorang karyawan.
2.1.2 Jenis Stres
Quick and Quick (1984) mengategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
a.
Eustress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif,
dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan
individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,
fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b.
Distress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan
keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
2.1.3 Gejala Stres di Tempat Kerja
a.
Kepuasan kerja rendah
b.
Kinerja yang menurun
c.
Semangat dan energi menjadi hilang
d.
Komunikasi tidak lancar
e.
Pengambilan keputusan jelek
f.
Kreativitas dan inovasi kurang
g.
Bergulat pada tugas – tugas yang tidak produktif
Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Menurut Braham (2001),
gejala stres dapat berupa tanda – tanda berikut ini:
a.
Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air
besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal – gatal,
punggung terasa sakit, urat – urat pada bahu dan leher terasa tegang,
keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau
serangan jantung, kehilangan energi.
b.
Emosional, yaitu marah – marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,
gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah – ubah, sedih, mudah
menangis dan depresi, gugup agresif terhadap orang lain dan mudah
bermusuhan serta mudah menyerang dan kelesuan mental
c.
Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit
untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu
pikiran saja
d.
Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada
orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang
mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata – kata, menutup
diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan
kondisi seseorang di mana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi
kemampuan
penyesuaian
dirinya
terhadap
suatu
tuntutan
external
(lingkungan). Stres yang telalu besar dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri
para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Cary Cooper dan Alison Straw (1995) mengemukakan gejala stres dapat
berupa tanda – tanda berikut:
a.
Fisik, yaitu napas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan
lembab, merasa panas, otot – otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit,
letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat, dan gelisah
b.
Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham,
tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa – apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit membuat
keputusan, hilangnya kreativitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan
hilangnya minat terhadap orang lain.
c.
Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati – hati yang menjadi cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan,
penjengkel menjadi meledak – ledak.
2.1.4 Faktor – Faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja,
yaitu faktor lingkungan kerja faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan
kerja dapat berupa kondisi fisik, Manajemen kantor maupun hubungan sosial di
lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian,
peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial – ekonomi keluarga di mana
pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapa pun faktor kedua tidak secara
langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, maka faktor pribadi
ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum
dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001):
a.
Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada
para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial
mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan
pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa
para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak
mendapat dukungan (khususnya moral) dari keluarga, seperti orang tua,
mertua, anak, teman dan semcamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak
memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun
bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan
oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan
menjalankan pekerjaan dan tugasnya.
b.
Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di
kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam
menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja
ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung
jawab dan kewenangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang
karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut
dirinya.
c.
Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau
dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan
seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian
badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling
halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteks-nya.
Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja
adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji
promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres
akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran
warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi,
namun tidak ada undang – undang yang melindunginya (Baron and
Greenberg, 1999).
d.
Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa
suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan
seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang
terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara, tetapi
juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi
andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif
pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky, 1999).
e.
Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan
ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni
seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya
bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa
sehingga memengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja
atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang
semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa
menjalankan pekerjaannya, hingga akhirnya menimbulkan stres (Minner,
1999).
f.
Tipe kepribadian. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung
mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian
tipe A ini adalah sering merasa diburu – buru dalam menjalankan
pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada
waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang
diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam
situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak
perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai
dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang
bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan
mendapatkan pegawai yang mendapat risiko serangan/sakit jantung (Minner,
1999).
g.
Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman
pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak
sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan peristiwa traumatis atau
menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan
bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati
pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan
tempat tinggal. Di samping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
sehari – hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini
(Baron & Greenberg, 1999).
h.
Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan:
1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi
penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak
sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu
yang tersedia bagi karyawan.
2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan
tugas sehari – hari biasanya di bawah bimbingan sekaligus
mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor
pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan
memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.
3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya
mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor perusahaan
yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian,
pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak
atasan sering kali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas.
Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai
tepat waktu yang ditetapkan atasan.
4) Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan
dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas
kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai.
Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang
menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
5) Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performance yang baik,
karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan
untuk dikerjakan serta cakupan dan tanggung jawab dari pekerjaan
mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang
diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para
karyawan atau manajer yang mempunya prinsip yang berkaitan dengan
profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi
(altruisme).
7) Frustasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustasi memang bisa
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustasi
kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang
serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.
8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum.
Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian
dan jenjang karir yang dilalui atau mutasi pada perusahaan lain,
meskipun dalam satu grup, namun lokasinya dan status jabatan serta
status perusahannya berada di bawah perusahaan pertama.
9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran, yaitu (a) konflik
peran intersender, di mana pegawai berhadapan dengan harapan
organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik
peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan
atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika
masing – masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama
maka akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada
posisi di bawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu
alternatif.
i.
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas
empat hal utama, yakni:
1) Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial
teknologi, keluarga, relokasi keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan
kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal
2) Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam
organisasi
3) Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu,
interpersonal dan intergrup
4) Individual
stressors,
yang
terdiri
dari
terjadinya
konflik
dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian
Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self – efficacy, dan daya
tahan psikologis.
j.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam
pekerjaan menjadi dua, yakni:
1) Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun
keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerja sama antara
karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun
kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan
2) Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri
individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan
tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat
ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Daftar lengkap penyebab stres atas pekerjaan adalah sebagai berikut:
Stressor Dari
Faktor yang Memengaruhi (Hal – hal
Konsekuensi Kondisi yang
Stres Kerja
yang Mungkin Terjadi di Lapangan )
Mungkin Muncul
Kondisi pekerjaan  Beban
kerja
berlebihan
secara  Kelelahan mental dan/atau
kuantitatif
 Beban kerja berlebihan secara kualitatif
 Assembly – line hysteria
 Keputusan yang dibuat oleh seseorang
 Bahaya fisik
 Jadwal bekerja
 Technostress
fisik
 Kelelahan yang amat sangat
dalam bekerja (burnout)
 Meningkatnya kesensitivan
dan ketegangan
Stres
karena  Ketidakjelasan peran
peran
 Adanya
bias
dalam
 Meningkatkan
membedakan
gender dan stereotype peran gender
 Pelecehan seksual
Faktor
interpersonal
kecemasan
dan ketegangan
 Menurunnya
prestasi
pekerjaan
 Hasil kerja dan sistem dukungan sosial  Meningkatnya ketegangan
 Meningkatnya tekanan darah
yang buruk
 Persaingan politik, kecemburuan dan  Ketidakpuasan kerja
kemarahan
 Kurangnya
perhatian
manajemen
terhadap karyawan
Perkembangan
karier
 Promosi ke jabatan yang lebih rendah  Menurunnya produktivitas
 Kehilangan rasa percaya diri
dari kemampuannya
 Promosi ke jabatan yang lebih tinggi  Meningkatkan
dari kemampuannya
dan ketegangan
 Keamanan pekerjaannya
 Ambisi
yang
kesensitifan
 Ketidakpuasan kerja
berlebihan
sehingga
mengakibatkan frustasi
Struktur
organisasi
 Struktur
yang
kaku
dan
tidak  Menurunnya motivasi dan
bersahabat
 Pertempuran politik
 Pengawasan dan pelatihan yang tidak
seimbang
produktivitas
 Ketidakpuasan kerja
 Ketidakterlibatan
dalam
membuat
keputusan
Tampilan rumah  Mencampurkan
– pekerjaan
masalah
pekerjaan  Meningkatkan konflik dan
dengan masalah pribadi
kelelahan mental
 Kurangnya dukungan dari pasangan  Menurunnya motivasi dan
hidup
 Konflik pernikahan
 Stres karena memiliki dua pekerjaan
produktivitas
 Meningkatkan
konflik
pernikahan
Sumber: Cooper (1999)
Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pembangkit, tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu
manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya
atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor – faktor di
pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu faktor – faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrel, 2001).
1)
Faktor – faktor intrinsik dalam pekerjaan. Termasuk dalam kategori ini ialah
tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan.
Sedangkan faktor – faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja dan
penghayatan dari risiko dan bahaya.
2)
Peran individu dalam organisasi. Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengn
perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai
kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan – aturan
yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun
demikian, tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya
tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang
merupakan
pembangkit
stres
yaitu
meliputi:
konflik
peran
dan
ketidakjelasan peran (roleambiguity).
3)
Pengembangan Karier
Unsur – unsur penting pengembangan karier meliputi:

Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya

Peluang mengembangkan keterampilan yang baru

Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan – keputusan yang
menyangkut karier. Pengembangan karier merupakan pembangkit stres
potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan
promosi yang kurang.
4) Hubungan dalam pekerjaan. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap
dalam gejala – gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang
rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan
secara positif berhubungan dengan ketidakjelasan peran yang tinggi, yang
mengarah ke komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara pekerjaan
yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh
atasan dan rekan – rekan kerjanya (Kahn dkk., 2001)
5) Struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang dikenali dalam kategori
ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau
berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi
dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan
perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan
peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental
dan fisik.
6) Tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan. Kategori pembangkit stres
potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat
berinteraksi dengan peristiwa – peristiwa kehidupan dan terjadi dalam satu
organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu – isu keluarga,
krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan – keyakinan pribadi dan
organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan
tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu
dalam
pekerjaannya, sebagaimana
halnya
stres
dalam
pekerjaan
mempunyai dampak negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
7) Ciri – ciri individu. Menurut pandangan interaktif dari stres, stres
ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat
situasinya sebagai penuh stres. Reaksi – reaksi psikologis, fisiologis dan
dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi
dengan individunya, mencakup ciri – ciri kepribadian yang khusus dan
pola – pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai – nilai
pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain
intelegensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian,
faktor – faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh
antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres
potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan
bagaimana, dalam kenyataannya individu bereaksi terhadap pembangkit
stres potensial.
2.1.5 Dampak Stres Kerja
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun, pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan
perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan
pekerjaan dengan sebaik – baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi
bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stres akan
menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia
sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku
melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari – hari
ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan
bentuk stres. Perubahan – perubahan ini di tempat kerja, merupakan gejala –
gejala individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999): (a) bekerja
melewati batas kemampuan, (b) keterlambatan masuk kerja yang sering, (c)
ketidakhadiran pekerjaan, (d) kesulitan membuat keputusan, (e) kesalahan yang
sembrono, (f) kelalaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah
dibuat dan kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i)
kerisauan tentang kesalahan yang dibuat, (j) menunjukkan gejala fisik seperti pada
alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernapasan.
Pada umumnya, stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun
perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut terdapat berupa
menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice,
1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas
kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak
dapat
tidur
dengan
tenang,
selera
makan
berkurang,
kurang mampu
berkonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa
ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh
indvidu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance,
serta memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Penelitian yang
dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan
mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan
ada dua. Dua hal tersebut adalah:
a.
Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut
jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual,
b.
Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak
bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi
stres
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung
adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan
secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan
teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984;
Robbins, 1993). Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji
ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres
pada individu, yaitu:
a.
Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala – gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil
penelitian mengenai stres pekerjaan:
1)
Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung
2)
Perasaaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
3)
Sensitif dan hyperreactivity
4)
Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
5)
Komunikasi yang tidak efektif
6)
Perasaan terkucil dan terasing
7)
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
8)
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
9)
Kehilangan spontanitas dan kreativitas
10) Menurunnya rasa percaya diri
b.
Gejala Perilaku
Gejala – gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
1)
Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
2)
Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
3)
Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat – obatan
4)
Perilaku sabotase dalam pekerjaan
5)
Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
mengarah ke obesitas
6)
Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan
diri dan kehilangan berat badan secara tiba – tiba, kemungkinan
berkombinasi dengan depresi
7)
Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti menyetir
dengan tidak hati – hati dan berjudi
8)
Meningkatnya agresivitas, vitalisme dan kriminalitas
9)
Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
10) Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
2.2
Pengertian Kinerja
Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu
didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai
& Basri, 2004). Kinerja karyawan (employee performance) adalah tingkat
terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan – persyaratan pekerjaan.
(Simamora, 1995:327). Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda
(noun), maka pengertian performance atau kinerja dalah hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing – masing dalam upaya pencapaian
tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan
dengan moral dan etika. (Rivai & Basri, 2004). Dilihat dari sudut pandang ahli
yang lain, kinerja adalah banyaknya upaya yang dikeluarkan individu pada
pekerjaannya (Robbins, 2001). Sementara itu menurut Bernandin & Russel dalam
Gomes (2001) performansi adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu
pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu. Anwar Prabu
Mangkunegara (2000) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut: kinerja
adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang
karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikannya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang sesuai dengan tujuan
organisasi, misalnya kualitas kerja, kuantitas kerja, efisiensi dan kriteria
efektivitas lainnya (Gibson et al., 1994).
Berdasarkan uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa dengan hasil
kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan dapat
dievaluasi tingkat kinerja pegawainya, maka kinerja karyawan harus dapat
ditentukan dengan pencapaian target selama periode waktu yang dicapai
organisasi. Mutu kerja karyawan secara langsung mempengaruhi kinerja
perusahaan. Guna mendapatkan kontribusi karyawan yang optimal, manajemen
harus memahami secara mendalam strategi untuk mengelola, mengukur dan
meningkatkan kinerja, yang dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tolok
ukur kinerja. Ada beberapa syarat tolok ukur kinerja yang baik, yaitu
a.
Tolok ukur yang baik haruslah mampu diukur dengan cara yang dapat
dipercaya. Konsep keandalan pengukuran mempunyai dua komponen;
stabilitas dan konsistensi. Stabilitas menyiratkan bahwa pengukuran yang
dilakukan pada waktu yang berbeda haruslah mencapa hasil yang kira – kira
serupa.
Konsistensi
menyiratkan
bahwa
pengukuran
kriteria
yang
dilaksanakan dengan menggunakan metode yang berbeda atau orang yang
berbeda haruslah mencapai hasil yang kira – kira sama.
b.
Tolok ukur yang baik harus mampu membedakan individu – individu sesuai
dengan kinerja mereka. Salah satu tujuan penilaian kinerja adalah
mengevaluasi kinerja anggota organsasi. Jika tolok ukur yang digunakan
memberikan hasil identik pada semua orang, maka kriteria tersebut tidak
berguna bagi distribusi pengupahan untuk kinerja, merekomendasikan
kandidat untuk promosi, ataupun menilai kebutuhan – kebutuhan latihan
pengembangan.
c.
Tolok ukur yang baik harus sensitif terhadap masukan dan tindakan –
tindakan dari pemegang jabatan. Karena tujuan penilaian kinerja adalah
untuk menilai efektivitas individu – indvidu anggota organsasi, kriteria
efektivitas yang diapakai harus dapat digunakan semua individu dalam
organisasi. Apabila tidak tepat, maka pembuat tolok ukur harus peka
terhadap masukan yang diberikan.
d.
Tolok ukur yang baik harus dapat diterima oleh individu yang mengetahui
kinerjanya sedang dinilai. Sangat penting untuk diperhatikan kinerjanya
sedang dinilai. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa orang – orang yang
kinerjanya sedang diukur merasa bahwa tolok ukur yang digunakan
memberi petunjuk yang akurat dan adil mengenai kinerja mereka.
Ukuran – ukuran dari kinerja karyawan yang dikemukakan oleh Bernandin
& Russell dalam Gomes (2001) adalah sebagai berikut:
1)
Quantity of work: jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang
ditentukan
2)
Quality of work: kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat – syarat
kesesuaian dan kesiapannya
3)
Job
knowledge:
luasnya
pengetahuan
mengenai
pekerjaan
dan
keterampilannya
4)
Creativeness: keaslian gagasan – gagasan yang dimunculkan dan tindakan –
tindakan untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang timbul
5)
Cooperation: kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama
anggota organisasi
6)
Dependability: kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
penyelesaian kerja
7)
Initiative: semangat untuk melaksanakan tugas – tugas baru dan dalam
memperbesar tanggungjawabnya
8)
Personal
qualities:
menyangkut
keramahtamahan dan integritas pribadi
kepribadian,
kepemimpinan,
2.2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Streers (dalam Suharto & Cahyono, 2005) faktor – faktor yang
mempengaruhi kinerja adalah:
a.
Kemampuan, kepribadian dan minat kerja
b.
Kejelasan dan penerimaan atau penjelasan peran seorang pekerja yang
merupakan taraf pengertian dan penerimaan seseorang atas tugas yang
diberikan kepadanya
c.
Tingkat motivasi pekerja yaitu daya energi yang mendorong, mengarahkan
dan mempertahankan perilaku.
Sedangkan McCormick dan Tiffin (dalam Suharto & Cahyono, 2005)
menjelaskan bahwa terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja yaitu:
a.
Variabel Indvidu
Variabel individu terdari dari pengalaman, pendidikan, jenis kelamin, umur,
motivasi keadaan fisik, kepribadian dan sikap
b.
Variabel Situasional
Variabel situasional menyangkut dua faktor yaitu:
1)
Faktor sosial dari organisasi, meliputi: kebijakan, jenis latihan dan
pengalaman, sistem upah serta lingkungan sosial
2)
Faktor fisik dan pekerjaan, meliputi: metode kerja, pengaturan dan kondisi,
perlengkapan kerja, pengaturan ruang kerja, kebisingan, penyinaran dan
temperatur
2.3
Hubungan Stres Kerja dan Kinerja Karyawan
Haggis (dalam Umar, 1998: 259) berpendapat bahwa terdapat hubungan
langsung antara stres dan kinerja, sejumlah riset telah menyelidiki hubungan stres
kerja dengan kinerja disajikan dalam model stress – kinerja (hubungan U terbalik)
yakni hukum Yerkes Podson (Mas’ud, 2002: 20). Pola U terbalik tersebut
menunjukkan hubungan tingkat stress (rendah – tinggi) dan kinerja (rendah –
tinggi). Bila tidak ada stress, tantangan kerja juga tidak ada dan kinerja cenderung
menurun. Sejalan dengan meningkatnya stress, kinerja cenderung naik, karena
stres membantu karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam
memenuhi kebutuhan kerja adalah suatu rangsangan sehat yang mendorong para
karyawan untuk menanggapi tantangan pekerjaan. Akhirnya stres mencapai titik
stabil yang kira – kira sesuai dengan kemampuan prestasi karyawan. Selanjutnya,
bila stres menjadi lebih besar, kinerja akan semakin menurun karena stres
mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk
mengendalikannya. Akibat
yang paling ekstrem adalah kinerja menjadi nol.
Karyawan, menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa, keluar atau menolak bekerja
untuk menghindari stres.
Manajemen Stress Suprihanto (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut
pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya
mengalami stres yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres tertentu akan
memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk
melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan
yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan
mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang
individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen
mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stres ringan
bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu
akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja.
Hubungan antara stres dan kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.1, dimana
hubungan terjadi berbentuk kurva U terbalik (inverted U – shaped curve). Sebagai
tambahan, beberapa peneliti juga menemukan bahwa terdapat jumlah optimal dari
stres – tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit – yang sehat dan tidak
membahayakan. Dengan kata lain, illness dapat muncul akibat terlalu sedikit stres,
sama seperti pada saat terdapat terlalu banyak stres. Hubungan antara stres dan
illness dapat digambarkan dalam kurva berbentuk U (U – shaped curve) pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.1. Hubungan antara Stres dan Kinerja
Sumber: Stephen P. Robbins, Organizational Behavior (10th ed.), New Jersey: Pearson
Education, 2003, p. 583.
Gambar 2.2. Hubungan antara Stres dan Illness
Sumber: Jerrold S. Greenberg, Comprehensive Stress Management (11st ed.). New York:
McGraw – Hill, 2009, p. 12.
Dari kedua kurva tersebut, dapat dilihat bahwa stres bias berguna
menstimulasi, dan diharapkan kedatangannya sehingga (1) kinerja optimal dapat
tercapai dan (2) illness dapat dicegah. Jadi, bahkan bila sebenarnya dapat
dilakukan, kita tidak boleh mengeliminasi seluruh stres yang ada dalam hidup
kita. Dengan demikian, sasaran dari manajemen stres yang baik adalah memonitor
stres untuk (1) menghasilkan kinerja optimal, dan (2) membatasi efek yang
membahayakan yang dapat timbul dari stres sehingga dapat menjaga vitalitas dan
kualitas hidup individu (Greenberg, 2009).
Download