BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan diuraikan tentang teori – teori yang dipakai sebagai dasar penjelasan hubungan stres kerja dan kinerja karyawan PT. Wira Insani. Pembahasan dalam bab ini adalah pengertian dan definisi tentang stres, stres kerja, jenis – jenis stres, gejala stres ditempat kerja, faktor – faktor penyebab stres kerja, serta dampak stres. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang kinerja, faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja serta hubungan antara stres kerja dengan kinerja. 2.1 Pengertian Stres Stres adalah suatu tanggapan adatif, dibatasi oleh perbedaan individual dan proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang. Menurut Selye, stres yang bersifat positif disebut “eustress” sedangkan yang bersifat berlebihan dan bersifat merugikan disebut “distress” Menurut Charles D. Spielberger (Handoyo, 2001) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan – tuntutan eksternal mengenai seseorang, misalnya objek – objek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara objektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. 2.1.1 Stres Kerja Stres dapat didefinisikan sebagai suatu respon yang dibawa oleh berbagai peristiwa eksternal dan dapat berbentuk pengalaman positif atau pengalaman negatif (Selye, 1976 dalam Jagaratnam dan Buchanan, 2004:238). Selain itu, Fontana (1989) dalam Jagaratnam dan Buchanan (2004:238) mendefinisikan stres sebagai suatu tuntutan yang muncul karena adanya kapasitas adaptif antara pikiran dan tubuh atau fisik manusia. Definisi lain tentang stres kerja dikemukakan oleh Selye (1976) dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) yang mengartikan stres kerja sebagai tanggapan atau respon yang tidak spesifik dari fisik manusia terhadap tuntutan (demand) yang timbul. Dalam hubungannya dengan stres, Robbins (2003) membagi tiga kategori potensi penyebab stres (stressor) yaitu lingkungan, organisasi, dan individu. Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi dalam perancangan struktur organisasi. Ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para karyawan dalam suatu organisasi. Lebih lanjut Robbins (2003) berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan potensi sumber stres. Selanjutnya Robbins (2003) memaparkan bahwa survei yang dilakukan secara konsisten yang telah dilakukan menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sebagai suatu yang sangat berharga. Kesulitan pernikahan, retaknya hubungan, dan kesulitan disiplin anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan dan dapat terbawa ke tempat kerja. Masalah ekonomi yang dialami oleh individu merupakan perangkat kesulitan pribadi lain yang dapat menciptakan stres bagi karyawan. Banyak faktor dalam lingkungan kerja yang ditandai dengan tingginya tingkat persaingan, keterbatasan waktu, adanya faktor-faktor yang tidak terkontrol, keterbatasan ruang, perkembangan teknologi yang terjadi terus menerus, adanya konflik kepentingan dari stakeholder organisasi (Hall dan Savery,1986 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.63), meningkatnya peran partisipasi manajemen dan adanya komputerisasi (Murray dan Forbes, 1986 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.63), semakin meningkatnya ketidakpastian dan halhal lain dapat menimbulkan semakin tingginya tingkat stres ditempat kerja. Stres dapat disebabkan oleh lingkungan, organisasi dan variabel individu (Mattesan dan Ivancevich, 1999, Cook dan Hunsaker, 2001 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64). Faktor-faktor organisasional diketahui mempengaruhi stres karyawan ditempat kerja (Greenhaus dan Beutell, 1985 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64). Faktor-faktor ini biasanya disebut sebagai penyebab stres organisasional karena faktor-faktor ini sebagai salah satu pemicu berbagai reaksi akan munculnya stres (Van Onciul, 1996 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64). Dari berbagai sumber stres organisasional, terdapat lima variabel yang merupakan sumber stres yaitu konflik, tersendatnya karir (blocked career), persaingan (alientation), kelebihan beban kerja (work overload) dan lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konflik peran (role conflict) mempunyai hubungan yang positif dengan stres kerja (Roberts et al, 1997 dalam Nasurdin dan Kumaresan, p.64). Foot dan Venne (1990) dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) berpendapat bahwa ada hubungan positif antara terhalangnya karir dengan stres kerja. Ketika karyawan merasa tidak mempunyai peluang karir, karyawan mungkin merasakan ketidakpastian tentang masa depannya di dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat menimbulkan dan mempengaruhi tingkat stres. Lebih lanjut Thoits (1995) dalam dalam Nasurdin dan Kumaresan (p.64) mengemukakan bahwa persaingan (alienation) mempunyai hubungan positif dengan stres kerja. Kelebihan beban kerja (work overload) baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif mempunyai hubungan empiris dengan fisiologi, psikologi dan stres (Beehr dan Newman, 1978). Penelitian mengenai stres peran oleh Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek dan Rosenthal (1964) dalam Narayanan, et al. (1999, p.64) yang melakukan penekanan pada sistem peran dan menggunakan variabel konflik peran (role conflict) dan skala kerancuan peran (role ambiguity scales) (Rizzo, House dan Lirtzman, 1970 dalam Narayanan, et al., 1999, p.64) berlangsung beberapa dekade. Penelitian yang dilakukan Parkes (1985) dalam Narayanan, et al. (1999, p.64) mengemukakan bahwa masalah hubungan antar personal yang merupakan penyebab utama dari stres. Lebih lanjut Motowidlo, Packard dan Manning (1986) menjelaskan bahwa work overload, interpersonal conflict dan kurangnya dukungan sebagai penyebab utama munculnya stres. Dalam kehidupan stres adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Manusia dalam hidupnya mempunyai banyak kebutuhan, namun dalam pemenuhannya kendala dan rintangan akan selalu menyertainya. Hal inilah yang merupakan pangkal terjadinya stres. Menurut Singer (1990, p.369) dalam Mardiana dan Muafi (2001, p.165), Stress ecompases the physiological and phsychological reactions which people exhibit in response to environment event called stressors. Ada tiga klasifikasi penyebab stres (stressor), pertama: organizational stressor, yang secara langsung terkait dengan lingkungan kerja dan fungsi secara langsung dengan pekerjaan. Kedua, life events yang tidak dipengaruhi oleh aspek organisasi tetapi lebih didominasi dari peristiwa kehidupan individu. Ketiga, individual stressor terkait dengan karaktristik yang dimiliki masing-masing individu dalam memandang lingkungannya (Singer, 1990; Robbins, 1996, p.224, Cook, 1988, p.18 dalam Mardiana dan Muafi, 2001). Gibson mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai repons dan stres sebagai stimulus – respons. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan invidu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respons individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respons, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan. Sementara itu, Luthans mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah dan agresif, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur. Dikalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (1999), mendefinisikan stres sebagai reaksi – reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi di mana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamodt (1999) memandangnya sebagai respons adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan external, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis. Berbeda dengan pakar di atas, Landy (1999) memahaminya sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting, tapi tidak dapat dipastikan Robbins (2001). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek – aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan. 2.1.2 Jenis Stres Quick and Quick (1984) mengategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: a. Eustress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. b. Distress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. 2.1.3 Gejala Stres di Tempat Kerja a. Kepuasan kerja rendah b. Kinerja yang menurun c. Semangat dan energi menjadi hilang d. Komunikasi tidak lancar e. Pengambilan keputusan jelek f. Kreativitas dan inovasi kurang g. Bergulat pada tugas – tugas yang tidak produktif Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Menurut Braham (2001), gejala stres dapat berupa tanda – tanda berikut ini: a. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal – gatal, punggung terasa sakit, urat – urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi. b. Emosional, yaitu marah – marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah – ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang dan kelesuan mental c. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja d. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata – kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang di mana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan external (lingkungan). Stres yang telalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Cary Cooper dan Alison Straw (1995) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda – tanda berikut: a. Fisik, yaitu napas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot – otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat, dan gelisah b. Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa – apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreativitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. c. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati – hati yang menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak – ledak. 2.1.4 Faktor – Faktor Penyebab Stres Kerja Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, Manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial – ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapa pun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001): a. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moral) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semcamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. b. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. c. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteks-nya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang – undang yang melindunginya (Baron and Greenberg, 1999). d. Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara, tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky, 1999). e. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga memengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, hingga akhirnya menimbulkan stres (Minner, 1999). f. Tipe kepribadian. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu – buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat risiko serangan/sakit jantung (Minner, 1999). g. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Di samping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari – hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg, 1999). h. Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan: 1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. 2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari – hari biasanya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. 3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan sering kali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. 4) Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. 5) Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performance yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta cakupan dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. 6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunya prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). 7) Frustasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang dilalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup, namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahannya berada di bawah perusahaan pertama. 9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran, yaitu (a) konflik peran intersender, di mana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing – masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama maka akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi di bawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif. i. Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni: 1) Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial teknologi, keluarga, relokasi keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal 2) Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi 3) Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal dan intergrup 4) Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self – efficacy, dan daya tahan psikologis. j. Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni: 1) Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerja sama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan 2) Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran. Daftar lengkap penyebab stres atas pekerjaan adalah sebagai berikut: Stressor Dari Faktor yang Memengaruhi (Hal – hal Konsekuensi Kondisi yang Stres Kerja yang Mungkin Terjadi di Lapangan ) Mungkin Muncul Kondisi pekerjaan Beban kerja berlebihan secara Kelelahan mental dan/atau kuantitatif Beban kerja berlebihan secara kualitatif Assembly – line hysteria Keputusan yang dibuat oleh seseorang Bahaya fisik Jadwal bekerja Technostress fisik Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout) Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan Stres karena Ketidakjelasan peran peran Adanya bias dalam Meningkatkan membedakan gender dan stereotype peran gender Pelecehan seksual Faktor interpersonal kecemasan dan ketegangan Menurunnya prestasi pekerjaan Hasil kerja dan sistem dukungan sosial Meningkatnya ketegangan Meningkatnya tekanan darah yang buruk Persaingan politik, kecemburuan dan Ketidakpuasan kerja kemarahan Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan Perkembangan karier Promosi ke jabatan yang lebih rendah Menurunnya produktivitas Kehilangan rasa percaya diri dari kemampuannya Promosi ke jabatan yang lebih tinggi Meningkatkan dari kemampuannya dan ketegangan Keamanan pekerjaannya Ambisi yang kesensitifan Ketidakpuasan kerja berlebihan sehingga mengakibatkan frustasi Struktur organisasi Struktur yang kaku dan tidak Menurunnya motivasi dan bersahabat Pertempuran politik Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang produktivitas Ketidakpuasan kerja Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan Tampilan rumah Mencampurkan – pekerjaan masalah pekerjaan Meningkatkan konflik dan dengan masalah pribadi kelelahan mental Kurangnya dukungan dari pasangan Menurunnya motivasi dan hidup Konflik pernikahan Stres karena memiliki dua pekerjaan produktivitas Meningkatkan konflik pernikahan Sumber: Cooper (1999) Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit, tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor – faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu faktor – faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrel, 2001). 1) Faktor – faktor intrinsik dalam pekerjaan. Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor – faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja dan penghayatan dari risiko dan bahaya. 2) Peran individu dalam organisasi. Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengn perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan – aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian, tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meliputi: konflik peran dan ketidakjelasan peran (roleambiguity). 3) Pengembangan Karier Unsur – unsur penting pengembangan karier meliputi: Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya Peluang mengembangkan keterampilan yang baru Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan – keputusan yang menyangkut karier. Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan promosi yang kurang. 4) Hubungan dalam pekerjaan. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala – gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketidakjelasan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan – rekan kerjanya (Kahn dkk., 2001) 5) Struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik. 6) Tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan. Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa – peristiwa kehidupan dan terjadi dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu – isu keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan – keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. 7) Ciri – ciri individu. Menurut pandangan interaktif dari stres, stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi – reaksi psikologis, fisiologis dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri – ciri kepribadian yang khusus dan pola – pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai – nilai pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intelegensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor – faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial. 2.1.5 Dampak Stres Kerja Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun, pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik – baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari – hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres. Perubahan – perubahan ini di tempat kerja, merupakan gejala – gejala individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999): (a) bekerja melewati batas kemampuan, (b) keterlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran pekerjaan, (d) kesulitan membuat keputusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f) kelalaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan tentang kesalahan yang dibuat, (j) menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernapasan. Pada umumnya, stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut terdapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh indvidu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah: a. Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual, b. Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993). Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu: a. Gejala Psikologis Berikut ini adalah gejala – gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan: 1) Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung 2) Perasaaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian) 3) Sensitif dan hyperreactivity 4) Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi 5) Komunikasi yang tidak efektif 6) Perasaan terkucil dan terasing 7) Kebosanan dan ketidakpuasan kerja 8) Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi 9) Kehilangan spontanitas dan kreativitas 10) Menurunnya rasa percaya diri b. Gejala Perilaku Gejala – gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah: 1) Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan 2) Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas 3) Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat – obatan 4) Perilaku sabotase dalam pekerjaan 5) Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas 6) Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba – tiba, kemungkinan berkombinasi dengan depresi 7) Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati – hati dan berjudi 8) Meningkatnya agresivitas, vitalisme dan kriminalitas 9) Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman 10) Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri 2.2 Pengertian Kinerja Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai & Basri, 2004). Kinerja karyawan (employee performance) adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan – persyaratan pekerjaan. (Simamora, 1995:327). Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun), maka pengertian performance atau kinerja dalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing – masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. (Rivai & Basri, 2004). Dilihat dari sudut pandang ahli yang lain, kinerja adalah banyaknya upaya yang dikeluarkan individu pada pekerjaannya (Robbins, 2001). Sementara itu menurut Bernandin & Russel dalam Gomes (2001) performansi adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu. Anwar Prabu Mangkunegara (2000) mengemukakan pengertian kinerja sebagai berikut: kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikannya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang sesuai dengan tujuan organisasi, misalnya kualitas kerja, kuantitas kerja, efisiensi dan kriteria efektivitas lainnya (Gibson et al., 1994). Berdasarkan uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa dengan hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerja pegawainya, maka kinerja karyawan harus dapat ditentukan dengan pencapaian target selama periode waktu yang dicapai organisasi. Mutu kerja karyawan secara langsung mempengaruhi kinerja perusahaan. Guna mendapatkan kontribusi karyawan yang optimal, manajemen harus memahami secara mendalam strategi untuk mengelola, mengukur dan meningkatkan kinerja, yang dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tolok ukur kinerja. Ada beberapa syarat tolok ukur kinerja yang baik, yaitu a. Tolok ukur yang baik haruslah mampu diukur dengan cara yang dapat dipercaya. Konsep keandalan pengukuran mempunyai dua komponen; stabilitas dan konsistensi. Stabilitas menyiratkan bahwa pengukuran yang dilakukan pada waktu yang berbeda haruslah mencapa hasil yang kira – kira serupa. Konsistensi menyiratkan bahwa pengukuran kriteria yang dilaksanakan dengan menggunakan metode yang berbeda atau orang yang berbeda haruslah mencapai hasil yang kira – kira sama. b. Tolok ukur yang baik harus mampu membedakan individu – individu sesuai dengan kinerja mereka. Salah satu tujuan penilaian kinerja adalah mengevaluasi kinerja anggota organsasi. Jika tolok ukur yang digunakan memberikan hasil identik pada semua orang, maka kriteria tersebut tidak berguna bagi distribusi pengupahan untuk kinerja, merekomendasikan kandidat untuk promosi, ataupun menilai kebutuhan – kebutuhan latihan pengembangan. c. Tolok ukur yang baik harus sensitif terhadap masukan dan tindakan – tindakan dari pemegang jabatan. Karena tujuan penilaian kinerja adalah untuk menilai efektivitas individu – indvidu anggota organsasi, kriteria efektivitas yang diapakai harus dapat digunakan semua individu dalam organisasi. Apabila tidak tepat, maka pembuat tolok ukur harus peka terhadap masukan yang diberikan. d. Tolok ukur yang baik harus dapat diterima oleh individu yang mengetahui kinerjanya sedang dinilai. Sangat penting untuk diperhatikan kinerjanya sedang dinilai. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa orang – orang yang kinerjanya sedang diukur merasa bahwa tolok ukur yang digunakan memberi petunjuk yang akurat dan adil mengenai kinerja mereka. Ukuran – ukuran dari kinerja karyawan yang dikemukakan oleh Bernandin & Russell dalam Gomes (2001) adalah sebagai berikut: 1) Quantity of work: jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan 2) Quality of work: kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat – syarat kesesuaian dan kesiapannya 3) Job knowledge: luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya 4) Creativeness: keaslian gagasan – gagasan yang dimunculkan dan tindakan – tindakan untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang timbul 5) Cooperation: kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi 6) Dependability: kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja 7) Initiative: semangat untuk melaksanakan tugas – tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya 8) Personal qualities: menyangkut keramahtamahan dan integritas pribadi kepribadian, kepemimpinan, 2.2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Streers (dalam Suharto & Cahyono, 2005) faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: a. Kemampuan, kepribadian dan minat kerja b. Kejelasan dan penerimaan atau penjelasan peran seorang pekerja yang merupakan taraf pengertian dan penerimaan seseorang atas tugas yang diberikan kepadanya c. Tingkat motivasi pekerja yaitu daya energi yang mendorong, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Sedangkan McCormick dan Tiffin (dalam Suharto & Cahyono, 2005) menjelaskan bahwa terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja yaitu: a. Variabel Indvidu Variabel individu terdari dari pengalaman, pendidikan, jenis kelamin, umur, motivasi keadaan fisik, kepribadian dan sikap b. Variabel Situasional Variabel situasional menyangkut dua faktor yaitu: 1) Faktor sosial dari organisasi, meliputi: kebijakan, jenis latihan dan pengalaman, sistem upah serta lingkungan sosial 2) Faktor fisik dan pekerjaan, meliputi: metode kerja, pengaturan dan kondisi, perlengkapan kerja, pengaturan ruang kerja, kebisingan, penyinaran dan temperatur 2.3 Hubungan Stres Kerja dan Kinerja Karyawan Haggis (dalam Umar, 1998: 259) berpendapat bahwa terdapat hubungan langsung antara stres dan kinerja, sejumlah riset telah menyelidiki hubungan stres kerja dengan kinerja disajikan dalam model stress – kinerja (hubungan U terbalik) yakni hukum Yerkes Podson (Mas’ud, 2002: 20). Pola U terbalik tersebut menunjukkan hubungan tingkat stress (rendah – tinggi) dan kinerja (rendah – tinggi). Bila tidak ada stress, tantangan kerja juga tidak ada dan kinerja cenderung menurun. Sejalan dengan meningkatnya stress, kinerja cenderung naik, karena stres membantu karyawan untuk mengarahkan segala sumber daya dalam memenuhi kebutuhan kerja adalah suatu rangsangan sehat yang mendorong para karyawan untuk menanggapi tantangan pekerjaan. Akhirnya stres mencapai titik stabil yang kira – kira sesuai dengan kemampuan prestasi karyawan. Selanjutnya, bila stres menjadi lebih besar, kinerja akan semakin menurun karena stres mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya. Akibat yang paling ekstrem adalah kinerja menjadi nol. Karyawan, menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa, keluar atau menolak bekerja untuk menghindari stres. Manajemen Stress Suprihanto (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres tertentu akan memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stres ringan bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja. Hubungan antara stres dan kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.1, dimana hubungan terjadi berbentuk kurva U terbalik (inverted U – shaped curve). Sebagai tambahan, beberapa peneliti juga menemukan bahwa terdapat jumlah optimal dari stres – tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit – yang sehat dan tidak membahayakan. Dengan kata lain, illness dapat muncul akibat terlalu sedikit stres, sama seperti pada saat terdapat terlalu banyak stres. Hubungan antara stres dan illness dapat digambarkan dalam kurva berbentuk U (U – shaped curve) pada Gambar 2.2. Gambar 2.1. Hubungan antara Stres dan Kinerja Sumber: Stephen P. Robbins, Organizational Behavior (10th ed.), New Jersey: Pearson Education, 2003, p. 583. Gambar 2.2. Hubungan antara Stres dan Illness Sumber: Jerrold S. Greenberg, Comprehensive Stress Management (11st ed.). New York: McGraw – Hill, 2009, p. 12. Dari kedua kurva tersebut, dapat dilihat bahwa stres bias berguna menstimulasi, dan diharapkan kedatangannya sehingga (1) kinerja optimal dapat tercapai dan (2) illness dapat dicegah. Jadi, bahkan bila sebenarnya dapat dilakukan, kita tidak boleh mengeliminasi seluruh stres yang ada dalam hidup kita. Dengan demikian, sasaran dari manajemen stres yang baik adalah memonitor stres untuk (1) menghasilkan kinerja optimal, dan (2) membatasi efek yang membahayakan yang dapat timbul dari stres sehingga dapat menjaga vitalitas dan kualitas hidup individu (Greenberg, 2009).