Laporan Penelitian Korelasi antara Rentang Waktu

advertisement
Daftar Isi
Laporan Penelitian
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya Terapi
Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya Post Traumatic Headache
(PTH)
Radian Ahmad Halimi, Iwan Fuadi, Tatang Bisri .................................................................. 141–48
Laporan Kasus
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra
Rebecca S. Mangastuti, Himendra Wargahadibrata, Nazaruddin Umar................................. 149–56
Tehnik Proteksi Otak pada Pembedahan Non Neurosurgery (Radical Neck
Dissection) dengan Premorbid Space Occupying Lesion (SOL) dan Infark Serebri
Buyung Hartiyo Laksono, Siti Chasnak Saleh........................................................................ 157‒63
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
Ardana Tri Arianto, MH Soedjito........................................................................................... 164–72
Awake Craniotomy pada Biopsi Steriotaktik Tumor Supratentorial
di daerah Thalamus Dextra et causa Suspect Thalamic Glioma
Muhammad Dwi Satriyanto, Siti Chasnak Saleh .................................................................. 173–79
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk Operasi
Meningioma Foramen Magnum
Riyadh Firdaus, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh.......................................................... 180–88
Tinjauan Pustaka
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri........................................................................................... 189–98
Disseminated Intravascular Coagulation pada Cedera Otak Traumatik
Agus Baratha Suyasa, Sudadi, Bambang Suryono ................................................................ 199–205
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya Terapi
Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya
Post Traumatic Headache (PTH)
Radian Ahmad Halimi, Iwan Fuadi, Tatang Bisri
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Keluhan nyeri kepala setelah terjadinya Cedera Otak Traumatik (COT) dikenal
sebagai Post Traumatic Headache (PTH) yang dapat terjadi setelah cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Tujuan penelitian ini adalah mencari apakah ada korelasi antara rentang waktu kejadian COT hingga dilakukannya
terapi pembedahan kraniotomi terhadap angka kejadian dan beratnya PTH.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional kohort prospektif pada 33 orang pasien COT derajat ringan atau sedang
dengan pengambilan data secara consequetif sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia,
jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu dari kejadian COT hingga dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi,
angka kejadian PTH, derajat berat nyeri dengan menggunakan sistem penilaian Numeric Rating Scale (NRS). Analisis
korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman. Hubungan korelasi bermakna bila koefisien
korelasi (R) >0,4 dan nilai p<0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara rentang waktu terhadap kejadian PTH (r =
0,75) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05). Terdapat korelasi yang kuat antara rentang waktu terhadap
derajat beratnya PTH (r = 0,82) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05).
Simpulan: semakin lama rentang waktu dari kejadian COT hingga dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi
maka akan semakin banyak angka kejadian dan semakin berat PTH.
Kata kunci: cedera otak traumatik, post traumatic headache, numeric rating scale
JNI 2014;3 (3): 141‒48
The Correlation between The Interval of Traumatic Brain Injury with Craniotomy
Surgery Start on The Incidence and Severity of Post Traumatic Headache (PTH)
Abstract
Background and Objective: Complaints of headache in the aftermath of Traumatic Brain Injury (TBI) is known
as Post Traumatic Headache (PTH), which can occur after mild, moderate, or severe head injury. The purpose of
this study is to find a correlation between the time span from the TBI events until the craniotomy surgical therapy
was performed with the incidence and severity of PTH.
Subject and Method: Prospective observational cohort study in 33 patients with mild or moderate TBI with data
retrieval consequetif sampling. The parameters recorded in this study including age, gender, weight, GCS, time interval
between the events of TBI until the craniotomy surgical therapy was performed, the incidence of PTH, severity of pain
using NRS score. Analysis of linear correlation of two variables calculated by Spearman correlation analysis. Significant
correlation when the correlation coefficient (R) > 0.4 and p < 0.05.
Result: The results showed a strong correlation between the interval of the incidence with the incidence of PTH
(r = 0.75) with unidirectional and significant correlation (p< 0.05). There is a strong correlation between the time
span from TBI events until the craniotomy surgical therapy with the severity of PTH (r = 0.82) with unidirectional
and significant correlation ( p< 0.05).
Conclusions: the longer of interval between the TBI events to craniotomy surgical treatment, the more of the
incidence and severity of PTH.
Key words: traumatic brain injury, post traumatic headache, numeric rating scale
JNI 2014;3 (3): 141‒48
141
142
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera otak traumatik (COT) merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan pada
masyarakat Barat.1 Kejadian COT memiliki
insidensi yang tinggi terutama pada usia
muda.2 The Center for Disease Control (CDC)
melaporkan bahwa pada pasien dengan COT
terhitung sekitar 1,4 juta pasien perlu dirujuk
ke ruang gawat darurat, 275.000 ribu pasien
perlu dilakukan rawat inap di rumah sakit, dan
52.000 pasien meninggal setiap tahunnya.3
Angka kejadian keseluruhan COT di Amerika
Serikat terhitung 538,2 per 100.000 populasi atau
sekitar 1,5 juta kasus baru di tahun 2003. Telah
dilaporkan angka kejadian yang lebih rendah di
negara Eropa (235 per 100.000) dan Australia
(322 per 100.000).4 Pada daerah industri seperti
Amerika, sebanyak 45% mekanisme penyebab
COT adalah akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, 30% karena mekanisme jatuh, 10%
akibat kecelakaan kerja, 10% kecelakaan rekreasi,
dan 3% karena kecelakaan akibat kekerasan.5
Berdasarkan tingkat keparahannya COT dibagi
menjadi derajat ringan, sedang, dan berat. Tingkat
keparahan COT ini tentu mempengaruhi beratnya
gangguan neurologis dan fungsionalnya.
Di Amerika Serikat angka kejadian kecacatan
jangka panjang akibat COT berkisar antara 3,2–
5,2 juta penduduk atau 1–2% dari total populasi,
dengan insidensi terjadinya cedera kepala berat
adalah 10%, 10% mengalami cedera kepala
sedang, dan 80% mengalami cedera kepala derajat
ringan.6 Saat ini penatalaksanaan COT dilakukan
berdasarkan konsep COT primer atau sekunder.
Terapi pembedahan karena adanya lesi pada
otak merupakan terapi inisial pada COT primer.
Identifikasi, pencegahan, dan penatalaksanaan
terhadap COT sekunder merupakan fokus prinsip
pada manajemen neurointensif.4 Pada pasien COT
primer dengan lesi intrakranial, dapat dilakukan
terapi konservatif atau terapi pembedahan,
tergantung pada jumlah volume perdarahannya.
Adanya hematoma dan edema pada COT dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Selain itu adanya mekanisme kaskade cedera
molekuler saat awal terjadinya trauma yang
kemudian berkembang hingga beberapa hari, dan
diikuti oleh edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan terjadinya
kematian pada sel dan mengeksaserbasi cedera
kepala.4 Suatu studi prospektif menunjukkan
bahwa pada satu tahun setelah terjadinya COT
terdapat 72,6% pasien mengeluh nyeri kepala
dimana 47,2% pasien mengeluh nyeri ringan,
dan 25,4% pasien mengeluh nyeri derajat sedang
hingga berat.7 Keluhan nyeri kepala yang paling
sering timbul setelah terjadinya COT dikenal
sebagai Post Traumatic Headache (PTH) yang
dapat terjadi setelah cedera kepala ringan,
sedang, atau berat. Gejala PTH biasanya hilang
dalam 3 bulan, namun telah dilaporkan gejala
yang menetap pada beberapa kejadian.8 Secara
keseluruhan angka kejadian PTH terjadi sekitar
4% dari seluruh nyeri kepala simptomatis. Suatu
penelitian menyatakan bahwa 31,3–90% pasien
mengalami nyeri kepala hingga 1 bulan, 47–78%
hingga 3 bulan, 8,4–35% hingga 1 tahun, dan 25%
pasien hingga 4 tahun.5 Didapatkan beberapa
jenis nyeri kepala yang terjadi setelah COT antara
lain; nyeri kepala tipe migraine, nyeri kepala tipe
tension, nyeri kepala tipe cervicogenic dan nyeri
kepala tipe rebound. Pada kebanyakan pasien,
PTH dapat sembuh spontan dalam beberapa
bulan, akan tetapi, ada sebagian kasus PTH yang
menetap.9
Suatu penelitian melaporkan bahwa 87,3%
pasien dengan PTH mengeluh nyeri kepala tipe
tension, 10% yang terjadi setiap harinya dengan
intensitas nyeri derajat sedang (verbal rating
scale adalah 6).1 Kriteria diagnostik PTH tidak
memerlukan fenotip nyeri kepala secara spesifik.
Kualitas nyeri kepala dalam bentuk apapun
dapat diterima untuk dilakukannya diagnosis,
karena tidak terdapat karakteristik PTH dengan
bentuk yang khusus.1 Post Traumatic Headache
merupakan suatu permasalahan medis dan
sosioekonomi serius, yang perlu penanganan
yang tepat dan adekuat dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya nyeri kepala yang kronis.1
Suatu penelitian menunjukkan bahwa ketika
PTH dapat terdiagnosa dengan cepat dan
penatalaksanaan PTH dilakukan secara adekuat,
maka pada kebanyakan pasien dengan gejala PTH
dapat disembuhkan. Apabila PTH tidak dapat
disembuhkan maka akan dimodulasi dan menetap
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya
Terapi Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya
Post Traumatic Headache (PTH)
hingga waktu yang lama.10 Antara kejadian trauma
dan dimulainya nyeri kepala akan berkorelasi
dengan waktu dilakukannya terapi.11 Berdasarkan
data-data diatas maka rentang waktu dari mulai
terjadinya hematoma, edema, iskemia hingga
dimulainya terapi, akan sangat berperan dalam
menentukan hasil luaran pasien, yang biasanya
dinilai dengan Glasgow Outcome Scale (GOS)
atau GOSE (extended GOS), dengan salah satu
parameter dari GOSE adalah gangguan fungsi
kognitif dan PTH.9 Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui korelasi antara rentang waktu cedera
otak traumatik dengan dimulainya terapi evakuasi
hematoma intrakranial terhadap kejadian dan
beratnya PTH.
II. Subjek dan Metode Penelitian
Penelitian observasional kohort prospektif
dilakukan pada 33 pasien yang menjalani operasi
kraniotomi di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung, dengan kriteria inklusi adalah pasien
pria atau wanita dengan cedera kepala derajat
ringan atau sedang yang dilakukan terapi
pembedahan kraniotomi, umur antara 13 hingga
59 tahun, pada pemeriksaan CT-scan kepala
didapatkan hematoma intrakranial, hematoma
ekstra aksial, atau fraktura terdepresi, dan
pasien yang mendapatkan kembali kesadarannya
setelah terapi pembedahan kraniotomi. Kriteria
ekslusi adalah pasien yang memiliki cedera
servikal, pasien yang memiliki riwayat nyeri
kepala berulang sebelum terjadinya trauma, dan
pasien yang sedang dalam pengaruh alkohol atau
intoksikasi obat-obatan. Kriteria pengeluaran
adalah pasien yang tidak mendapatkan kembali
kesadarannya setelah lebih dari 2 minggu pasca
kraniotomi, pasien yang meninggal selama masa
penelitian, dan pasien yang dengan gangguan
fungsi kognitif yang dinilai dengan menggunakan
skoring Mini Mental State Examination (MMSE).
Parameter yang dicatat pada penelitian ini
adalah usia, jenis kelamin, berat badan, GCS,
rentang waktu dari mulai terjadinya COT hingga
dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi,
angka kejadian PTH yang dinilai setelah pasien
sadar penuh dan dinilai hingga 1 minggu, Derajat
beratnya PTH dengan menggunakan skor NRS.
143
Dilakukan analisis korelasi linear dua variabel
yang dihitung berdasarkan analisis korelasi
Spearman. Hubungan korelasi bermakna bila
koefisien korelasi (R) >0,4 dan nilai p<0,05.
III. Hasil
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien
dalam penelitian ini adalah 26,96 tahun dengan
usia termuda 14 tahun dan usia tertua 52 tahun.
Rata-rata berat badan pada pasien ini adalah 60,77
kg dengan berat badan terendah adalah 48 kg
dan berat badan tertinggi adalah 80 kg. Sebagian
besar jenis kelamin pada penelitian ini adalah
laki-laki, rentang GCS pada penelitian ini adalah
9 pada rentang bawah dan 15 pada rentang atas.
Selain itu rentang waktu kejadian pada penelitian
ini adalah 6 jam hingga 12 hari, dengan rentang
penilaian NRS berkisar antara 0 hingga 8, dan
sebagian besar pasien mengalami PTH.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Umur Pasien
(tahun)
Berat Badan
(Kg)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Rentang Waktu
(jam)
NRS Score
GCS Pasien
n(%)
Rerata
(SD)
26,96
(12,06)
60,77
(7,92)
Median
13,09
(5,78)
12,00
25
60
22 (71,0%)
9 (29,0%)
11,32
(1,97)
5,00
11,00
Keterangan: NRS: Numeric Rating Scale; GCS: Glasgow
Coma Scale; PTH: Post Traumatic Headache
Tabel 2 menunjukkan analisis korelasi yang
digunakan untuk menganalisis korelasi antara
antara variabel numeric dengan nominal yaitu
dengan menggunakan analisis korelasi point
biserial. Berdasarkan dari analisis statistika
diperoleh p value sebesar <0,0001 dimana
nilai tersebut kurang dari 0,05 (p<0,05) maka
hal ini menunjukkan signifikan atau bermakna
secara statistika maka dapat disimpulkan
144
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 2. Korelasi antara Rentang Waktu dengan
Kejadian PTH
Variabel
PTH PTH
R
Nilai p
(+)
(-)
Rentang
0,75 <0,0001**
Waktu
15.31 7,66
Mean (SD)
(5.38) (1.65)
14,00 8,00
Median
18,00 5,00
Range
Keterangan: Analisis Korelasi Point
Biserial;
nilai kemaknaan p<0,05. Tanda ** menunjukkan
signifikan
atau
bermakna
secara
statistika.
r:
koefisien korelasi. PTH: Post Traumatic Headache
terdapat korelasi antara Rentang Waktu kejadian
COT hingga dilakukannya terapi pembedahan
kraniotomi dengan kejadian PTH. Dari nilai
koefisien korelasi (R) diperoleh informasi bahwa
arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi
kuat antara Rentang Waktu kejadian COT hingga
dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi
dengan kejadian PTH. Dengan menggunakan
analisis statistik point biserial, maka didapatkan
nilai r: 0.75; nilai p=0.0001 (p<0,05).
Setelah melalui pengujian hipotesis dan hasilnya
signifikan, maka untuk menentukan keeratan
hubungan bisa digunakan Kriteria Guilford
(1956), yaitu:
1. ≥0,00→<0.20=> Korelasi yang sangat kecil
dan bisa diabaikan
2. ≥0,20→<0,40=> Korelasi yang kecil (tidak
erat)
3. ≥0,40→<0,70=> Korelasi yang moderat
4. ≥0,70→<0,90=> Korelasi yang kuat
5. ≥0,90→<1,00=> Korelasi yang sangat kuat
Dari kriteria diatas maka keeratan hubungan atau
korelasi pada tabel diatas untuk variabel Rentang
Waktu dengan PTH, memiliki hubungan atau
korelasi yang kuat menurut kriteria Guillford.
Tabel 3 menunjukkan bahwa data pada penelitian
tidak berdistribusi normal berdasarkan uji
kenormalan data dengan uji Shapiro Wilks Test
maka analisis selanjutnya dengan analisis korelasi
antara variabel numeric dengan numeric yaitu
dengan analisis korelasi Spearman. Berdasarkan
dari analisis statistika diperoleh p value sebesar
Tabel 3. Koefisien Korelasi antara Rentang
Waktu terhadap Berat PTH yang diukur dengan
menggunakan skor NRS
Variabel
Rentang
Waktu
Skor NRS
R
0.82*
Nilai p
<0.0001**
Keterangan: Analisis Korelasi Pearson apabila data normal,
alternatif Spearman apabila data tidak berdistribusi normal
; nilai kemaknaan p <0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan
atau bermakna secara statistika. r: koefisien korelasi. NRS:
Numeric Rating Scale
<0,0001 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05
(p<0,05) maka hal ini menunjukkan signifikan
atau bermakna secara statistika maka dapat
disimpulkan terdapat korelasi antara rentang
waktu dengan NRS Score. Dari nilai koefisien
korelasi (R) diperoleh informasi bahwa arah
korelasi positif dengan kekuatan korelasi kuat
antara rentang waktu dengan NRS Score.
Dengan menggunakan analisis statistik korelasi
Spearman, maka didapatkan nilai r:0.82; nilai
p=0.0001 (p<0,05).
Setelah melalui pengujian hipotesis dan hasilnya
signifikan, maka untuk menentukan keeratan
hubungan bisa digunakan Kriteria Guilford
(1956), yaitu:
1. ≥0,00→<0,20=> Korelasi yang sangat kecil
dan bisa diabaikan
2. ≥0,20→<0,40=> Korelasi yang kecil
3. ≥0,40→<0,70=> Korelasi yang moderat
4. ≥0,70→<0,90=> Korelasi yang kuat
5. ≥0,90→<1,00=> Korelasi yang sangat kuat
Dari kriteria diatas maka keeratan hubungan atau
korelasi pada tabel diatas untuk variabel Rentang
Waktu dengan NRS Score, memiliki hubungan
atau korelasi yang kuat menurut kriteria Guillford.
IV. Pembahasan
Keluhan nyeri kepala yang paling sering timbul
setelah terjadinya COT dikenal sebagai Post
Traumatic Headache (PTH) yang dapat terjadi
setelah cedera kepala ringan, sedang, atau berat.8
Kriteria diagnostik PTH tidak memerlukan
fenotip nyeri kepala secara spesifik. Kualitas
nyeri kepala dalam bentuk apapun dapat diterima
untuk dilakukannya diagnosis, karena tidak
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya
Terapi Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya
Postt Taumatic Headache (PTH)
terdapat karakteristik PTH dengan bentuk yang
khusus.1 Pada satu penelitian dinyatakan bahwa
hasil luaran dari PTH ditentukan oleh faktor usia,
jenis kelamin dan tingkat depresi seseorang.
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan pada
33 subyek penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dengan usia rata-rata 26,96 tahun, berat
badan rata-rata 60,77 kg, jumlah pasien dengan
jenis kelamin laki-laki sebanyak 71% dan
jenis kelamin wanita sebanyak 29%. Subjek
penelitian memiliki rentang waktu dari terjadinya
COT hingga dilakukannya terapi pembedahan
kraniotomi rata-rata sebesar 13,09 jam, penilaian
NRS rata-rata sebesar 4,03 dan angka kejadian
PTH sebesar 71%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
lama rentang waktu dari kejadian COT hingga
dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi
maka akan semakin sering kejadian PTH dan
meningkatnya derajat berat PTH. Ketika COT
terjadi, autoregulasi akan menjadi terganggu
sehingga akan menyebabkan peningkatan aliran
darah ke otak, dan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK).6 Peningkatan TIK
akan mengakibatkan berkurangnya perfusi
dan aliran darah ke otak, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kondisi iskemia yang
akan mengakibatkan terjadinya cedera otak
iskemik sekunder.12 Semakin meningkatnya TIK
maka akan mengakibatkan semakin meluasnya
daerah yang mengalami iskemia hingga
menyebabkan kerusakan sel yang menetap dan
gangguan fungsi otak. Rentang waktu untuk
dilakukannya penurunan terhadap TIK akan
menentukan besarnya kerusakan pada otak.13
Salah satu penyebab terjadinya peningkatan TIK
adalah karena terjadinya edema pada otak. Saat
terjadinya cedera dan iskemia pada sistem saraf
pusat (SSP), mediator seperti glutamat, free fatty
acid, atau campuran potassium ekstraselular
yang tinggi akan dilepaskan atau diaktivasi,
hal tersebut akan menyebabkan pembengkakan
sekunder dan cedera dari sel saraf. Substansi lain
seperti histamin, asam arakhidonat dan radikal
bebas meliputi NO merupakan mediator untuk
terjadinya edema otak.13 Kerusakan pada sel dan
pembuluh darah akan mengaktivasi suatu kaskade
145
dari COT. Kaskade ini dimulai dengan pelepasan
glutamat ke kompartemen ekstraselular. Gerbang
kalsium dan sodium akan terbuka dengan
terstimulasinya glutamat. Pompa pada membran
ATPase akan menyebabkan terjadinya pertukaran
satu ion kalsium dengan tiga ion sodium. Sodium
banyak masuk ke dalam sel dan menyebabkan
peningkatan gradien osmotik sehingga akan
meningkatkan volume sel dengan masuknya air
kedalam sel.13 Pembengkakkan otak kongestif
setelah COT berhubungan dengan peningkatan
volume darah otak pada kondisi segera setelah
terjadinya trauma. Penyebabnya diakibatkan
karena suatu respon vasodilatasi yang merupakan
respon otak untuk menjaga aliran darah otak
yang optimal pada jaringan otak yang rusak.
Edema otak merupakan akibat dari meningkatnya
kandungan cairan di dalam otak. Edema otak luas
dapat terjadi secara tidak terduga pada pasien
dengan COT derajat berat.6
Diklasifikasikan bahwa terdapat 2 kategori edema
pada otak, yakni edema vasogenik dan sitotoksik.
Edema vasogenik adalah edema pada otak yang
diakibatkan karena masuknya cairan kedalam
otak melalui sawar darah otak. Edema sitotoksik
diakibatkan karena terjadinya pembengkakkan
pada glia, neuron, sel endotel yang akan dimulai
segera setelah terjadinya trauma. Edema
sitotoksik biasa ditemukan pada kondisi pasien
dengan cedera kepala dan hipoksia.13 Suatu
penelitian mengatakan bahwa edema otak yang
bukan diakibatkan oleh meningkatnya aliran
darah ke otak merupakan penyebab yang paling
sering terjadi pada edema otak pada pasien dengan
COT. Sedangkan edema sitotoksik merupakan
penyebab untuk terjadinya edema otak pada
kondisi cedera kepala sekunder.12 Mekanisme
edema pada otak terjadi karena pompa pada
membran ATPase akan menyebabkan terjadinya
pertukaran satu ion kalsium dengan tiga ion
sodium. Sodium banyak masuk ke dalam sel
dan menyebabkan peningkatan gradien osmotik
sehingga akan meningkatkan volume sel dengan
masuknya air kedalam sel.13
Edema pada otak tidak akan menyebabkan
terjadinya iskemia lokal apabila nilai TIK belum
mencapai titik tertentu. Edema otak apabila tidak
146
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
disertai dengan peningkatan TIK (berdiri sendiri)
maka tidak akan menyebabkan abnormalitas pada
pemeriksaan neurologis.13 Edema otak iskemik
pada tahap inisial merupakan bentuk edema otak
yang sitotoksik, pada tahap selanjutnya diikuti
oleh edema otak vasogenik yang dikarenakan
oleh terjadinya gangguan pada sawar darah
otak. Edema otak biasanya terjadi segera
setelah onset dari proses iskemia dan dengan
fase tertingginya 24–96 jam. Ketika proses dari
zona iskemia menyebabkan penekanan terhadap
otak maka dapat menyebabkan perburukan dari
kondisi neurologis.13 Sehingga kombinasi dari
peningkatan TIK, edema otak, dan iskemia dapat
menimbulkan kerusakan sel-sel neuron dan
mengaktifasi suatu kaskade cedera kepala.6
Pada saat terjadinya suatu trauma kepala,
serangkaian proses patologis berupa kerusakan
pada intraselular dan ekstraselular mulai
terjadi, meliputi neurokimia, neuroanatomi, dan
perubahan neurofisiologi. Cedera otak sekunder
sangat mempengaruhi proses patologis tersebut.6
Kaskade cedera kepala sekunder terjadi akibat
suatu proses yang kompleks, yang mengikuti dan
menyebabkan komplikasi dari suatu cedera kepala
primer yang terjadi dalam hitungan jam hingga
hari.14 Cedera kepala sekunder terjadi meliputi
kaskade selular dan molekular yang menyebabkan
terjadinya kematian sel, yang akan menyebabkan
terjadinya edema otak dan iskemia.15 Mekanisme
ini diawali dengan terjadinya pelepasan
neurotransmiter glutamat dan radikal bebas ke
membran sel, gangguan elektrolit, disfungsi
mitokondria, respon inflamasi, apoptosis, iskemi
sekunder akibat vasospasme, oklusi pembuluh
darah mikro, dan cedera pembuluh darah.6
Suatu penelitian menyatakan bahwa gangguan
pada perfusi di otak setelah COT sedang atau berat
telah diteliti dengan menggunakan Perfussion
Weighted Imagin (PWI) dan pada penelitian
ini ditemukan bahwa gangguan perfusi paling
banyak ditemukan pada daerah lobus frontalis.16
Dikatakan bahwa operasi kraniotomi dilakukan
untuk menurunkan TIK pada pasien dengan
COT. Pada penelitian lain mengatakan bahwa
terapi operasi kraniotomi dekompresi pada
pasien COT dengan lesi intrakranial bertujuan
untuk meminimalisir terjadinya cedera otak
sekunder.17 Pengendalian dari TIK merupakan
salah satu prinsip utama dari manajemen COT.15
Manfaat dari dilakukannya terapi evakuasi
hematoma adalah untuk mengurangi kondisi
edema pada otak.13 Ketepatan waktu untuk
dilakukannya dekompresi merupakan hal yang
krusial untuk menentukan suatu hasil luaran.
Sasaran dari operasi kraniotomi ini adalah untuk
mengoptimalkan daerah otak yang sehat sebelum
terjadinya penurunan aliran darah otak yang
diakibatkan oleh terjadinya penurunan tekanan
perfusi otak, penekanan pada otak, dan distorsi
pada pembuluh darah.18 Tindakan operasi dengan
rentang waktu dari kejadian trauma hingga
dilakukannya kraniotomi lebih dari 12 jam
dianggap penatalaksanaan yang terlambat.19
Berdasarkan analisis dari beberapa jurnal artikel,
disimpulkan bahwa serotonin sangat berpengaruh
pada patogenesis nyeri kepala. Abnormalitas
pembuluh darah juga berimplikasi terhadap
terjadinya nyeri kepala tipe migren, dan kontraksi
otot yang berlebihan dapat menyebabkan nyeri
kepala tipe tension. Diduga perubahan pada
kadar serotonin dapat menyebabkan terjadinya
hal diatas.20
Menurut data diatas, menunjukkan bahwa bagian
otak bukanlah merupakan sumber penyebab nyeri.
Pada bagian dalam dari tulang tengkorak kepala,
struktur utama yang merupakan sumber penyebab
terjadinya nyeri adalah lapisan pelindung yang
melapisi otak (duramater), sinus venosus,
pembuluh darah, dan beberapa syaraf kranialis.5
Nyeri kepala biasanya disebabkan karena cedera
pada daerah tulang kepala, daerah servikal
dan struktur intrakranial. Biasanya sulit untuk
menentukan bahwa PTH disebabkan oleh faktor
organik atau psikogenik, karena kedua faktor
tersebut sangat berpengaruh dalam menyebabkan
terjadinya PTH dan derajat beratnya PTH.11
Pada suatu penelitian menyatakan bahwa PTH
merupakan hal yang langka dan hanya dapat
disebabkan karena kondisi lesi intrakranial yang
organik. Beberapa penelitian lainnya menyatakan
bahwa PTH merupakan manifestasi disfungsi
otak yang diakibatkan oleh cedera otot skeletal.
Nyeri akut dapat pula diakibatkan oleh lesi
pada daerah kepala. Stimulus pada jaringan otot
skeletal dapat mencetuskan terjadinya perubahan
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya
Terapi Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya
Post Traumatic Headache (PTH)
neuroplastik pada neuron di caudalis trigeminal
nucleus yang menyebabkan terjadinya fenomena
sensititasi. Dengan stimulus yang terus menerus
dapat menyebabkan peningkatan sensititasi pada
neuron dorsal, mencetuskan peningkatan aktifitas
spontan, menurunnya ambang batas nyeri dan
berubahnya proses stimulus aferen yang dapat
menjelaskan sebagai salah satu sumber terjadinya
PTH.11
Secara definisi, nyeri kepala yang terjadi dalam
1 minggu setelah terjadinya nyeri kepala (atau
1 minggu setelah pasien mendapatkan kembali
kesadarannya) disebut juga dengan PTH.11
Nyeri kepala merupakan akibat dari 6 fenomena
fisiologis, yakni; perubahan struktur pada daerah
intrakranial, peradangan, iskemia atau perubahan
metabolik, myodystonia (meningkatnya tonus
otot), iritasi meningen, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.5 Pada edisi pertama dari
klasifikasi IHS, waktu interval antara terjadinya
trauma hingga terjadinya nyeri kepala terjadi
dalam 14 hari.11 Pada penelitian ini digunakan
klasifikasi ICHD yakni kejadian PTH terjadi
dalam 1 minggu seelah terjadinya trauma,
ditemukan sebanyak 71% pasien mengeluhkan
timbulnya gejala nyeri kepala dalam 7 hari
setelah terjadinya trauma. Hasil yang didapatkan
pada penelitian ini menjawab pertanyaan dari
penelitian-penelitian lain, yakni terdapatnya
pengaruh dari kecepatan dilakukannya tindakan
kraniotomi dalam meminimalisir kerusakan otak
yang terjadi akibat COT.
V. Simpulan
Semakin lama rentang waktu terjadinya
COT hingga dimulainya terapi pembedahan
kraniotomi maka akan semakin tinggi kejadian
PTH dan derajat beratnya PTH. Mengacu
pada hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan praktis yang bermanfaat
mengenai rentang waktu yang diperlukan hingga
dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi
terhadap kejadian PTH, sehingga karena dapat
dibuktikan bahwa semakin lama rentang waktu
dari terjadinya COT hingga dilakukan terapi dapat
menyebabkan semakin berat dan seringnya terjadi
PTH, akan membuka kesadaran pada tenaga medis
147
untuk tidak memperlambat dilakukannya terapi.
Daftar Pustaka
1. Obermann M, Keidel M, Diener HC. Post
traumatic headache: is it for real? Crossfire
debates on headache: pro. Headache Currents
2010; 710–15.
2. Bullock MR, Chestnut R, Ghajaar J, Gordon
D, Harti R, Newell DW, dkk. Introduction.
Neurosurgery 2006; 58 (suppl3):S1–3.
3. Bullock MR, Chestnut R, Ghajaar J, Gordon
D, Harti R, Newell DW, dkk. Surgical
management of acute epidural hematomas.
Neuro Surgery 2006; 58 (Suppl3): S2:7–15.
4. Finkel AG.
Concussion
and
post
traumatic headache. Information For
Health
Care
Professionals.
(www.
AmericanHeadacheSociety.org).
Diunduh
pada tanggal 28 juli 2014.
5. Seifert TD, Evans RW. Post traumatic
headache: a review. Curr Pain Headache Rep
2010.
6. Heegaard W, Biros M. Traumatic brain injury.
Emerg Med Clin N Am 2007; 25:655–78.
7. Sherman KB, Bell KR. Traumatic brain
injury and pain. Phys Med Rehabil Clin N
Am 17 (2006); hlm 473–490.
8. Lew HL, Lin PH, Fuh JL, Wang SJ, Clark
DJ, Walker WC. Characteristic and treatment
of headache after traumatic brain injury.
American Journal of Physical Medicine and
Rehabilitation 2006; hlm: 619–27.
9. DeGuise E, LeBlanc J, Feyz M, Meyer K,
Duplantie J, Thomas H, dkk. Long term
outcome after severe traumatic brain injury:
the McGill interdisciplinary prospective
study. J Head Trauma Rehabil 2008; (5):
294–303.
10. Zasler N. Post traumatic headache: Clinical
148
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
caveats. Rev Cubana Neurol Neuroar 2014;
4(2):105–8.
11. Martins HAL, Ribas VR, Martins BBM,
Ribas RMG, Valenca MM. Post traumatic
headache. Arq Neuropsiquiatr 2009;
67(1):43–45.
12. Smith M. Monitoring intracranial pressure
in traumatic brain injury. Anest Analg
2008;106:240–8).
13. Puri SK, Patna, Bihar. Cerebral edema and its
management. MJAFI 2003; 59: 326–31.
14. Haddad SH, Arabi YM. Critical care
management of severe traumatic brain injury
in adults. Emergency medicine 2012;20:1–15.
15. Levine JM, Kumar MA. Traumatic brain
injury. Neurocritical Care Society Practice
Update 2013; 1–28.
16. Wilson MC, Krolczyk SJ. Pediatric posttraumatic headache. Current Pain and
Headache Reports 2006;10:387–90.
17. Syed AB, Ahmad IH, Hussain M, AlBya F, Solaiman A. Outcome following
decompressive craniectomy in severe head
injury: Rashid hospital experience. Pan Arab
Journal of Neurosurgery 2009;13:29–33.
18. Mathai
KI,
Sudumbrekar
SM,
Shashivadhanan MS, Sengupta SK, Rappai
TJ. Decompressive craniectomy in traumatic
brain injury rationale and practice. Indian
Journal of Neurotrauma 2010;7:9–12.
19. Khan MB, Riaz M, Javed G, Hashmi
FA, Sanaullah M, Ahmed SI. Surgical
management of traumatic extra dural
hematoma in children: experiences and
analysis from 24 consecutively treated
patients in a developing country. Surg Neurol
Int 2013;4:103.
20. Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain
following craniotomy: a review. Anesthesia
2005; 60:693–704.
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra
Rebecca S. Mangastuti*), Himendra Wargahadibrata**), Nazaruddin Umar***)
*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan,
**)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif – Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara – Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Abstrak
Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang sering ditemukan. Berasal dari jaringan meningen dan
medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Pada kasus ini, pasien laki-laki, 46 tahun, 80 kg, datang ke rumah
sakit dengan keluhan kejang berulang dan sakit kepala yang hilang timbul sejak 5 bulan yang lalu. Kesadaran
composmentis, GCS 15, pupil isokor bilateral 2 mm, hemodinamik stabil, jantung dan paru tidak ada kelainan
dan tidak ada kelumpuhan atau kelemahan pada ke empat ekstremitas. Magnetic Resonance Imaging (MRI) brain
ditemukan masa hipointens yang melekat dengan meningen di frontal kiri ukuran 52x48x43 mm, kesan convexitas
meningioma disertai perifokal edema dengan midline shift ke kanan sekitar 7 mm. Disimpulkan meningioma
frontal sinistra dan dianjurkan kraniotomi pengangkatan tumor. Operasi dilakukan dengan anestesi umum. Tehnik
anestesi menggunakan Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) dengan syringe pump. Operasi berlangsung selama
7 jam dan tumor dapat terangkat semua. Jumlah perdarahan 1000 mL. Pasien mendapat 300 ml Fresh Frozen
Plasma (FFP) dan 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperasi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial, diberikan
manitol 0,5 gram/kgBB dan drainase cairan serebrospinal 10–20 mL langsung ke ventrikel lateral oleh operator.
Pascaoperasi, pasien diekstubasi dan rawat diruang ICU. Dengan data five year survival rate untuk meningioma
jinak 70%, meningioma ganas 55%, diharapkan prognosis pasien pascaoperasi adalah dubia ad bonam.
Kata kunci: anestesi, meningioma, total intra venous anesthesia
JNI 2014;3 (3): 149‒56
Management Anesthesia with TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
for Meningioma Frontalis Sinistra Operation
Abstract
Meningiomas are the most common benign intracranial tumors. These tumors originate from the meninges and
spinal cord, not from the brain tissue. A 46 year old 80 kgs male patient, was admited to the hospital with recurrent
seizures and intermittent headaches that occured since five months ago. He was fully alert, GCS 15, both pupils
were isokor (2 mm), with stable hemodynamic, no parese in all extremities and normal heart and lung. Magnectic
Resonance Imaging (MRI) result showed a 52x48x43 mm mass attached to the meninges at the left frontal with
perifocal tumour edema and midline shifted to the right about 7 mm. The patients was diagnosed with the left
frontal meningioma and suggested for craniotomy tumour removal. The surgery was performed under general
anesthesia using. Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) with syringe pump. The 7 hours surgery performed
uneventfully with total bleeding of 1000 mL and the patient was received 300 mL Fresh Frozen Plasma (FFP) and
500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperatively. To reduce intracranial pressure, a 0.5gr/kg mannitol was and a
10–20 cc of cerebrospinal liquor drainage through the lateral ventricle was performed by the operator. The patient
was extubated after the operation and admitted the ICU for futher management. With the five year survival rate of
70% for benign meningioma and 55% for malignant meningiomas, the prognosis of this patient is dubia ad bonam.
Key words: anesthesia, meningiomas, total intra venous anesthesia
JNI 2014;3 (3): 149‒56
149
150
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Meningioma merupakan tumor otak jinak yang
banyak ditemukan. Tumor ini berasal dari
jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak
tumbuh dari jaringan otak. Pertumbuhan tumor
yang lambat, menyebabkan gejala klinis baru
terlihat setelah otak atau jaringan sekitar terdesak
oleh tumor. Sedikitnya 6500 orang di Amerika
Serikat di diagnosis meningioma setiap tahunnya.
Umumnya ditemukan pada usia 40–70 tahun,
lebih banyak wanita dibandingkan pria dengan
rasio wanita banding pria kira-kira 3 banding 1.
Diduga faktor predisposisi meningioma adalah
terpapar gelombang radiasi, trauma, virus atau
herediter yang disebut neurofibromatosis tipe
2 (NF-2).1–4 Meningioma dibagi menjadi 3
kategori, yakni meningioma jinak, meningioma
atipikal dan meningioma maligna (anaplastik).
Tujuh puluh sampai 80% meningioma umumnya
jinak, 2–3% meningioma maligna, sisanya
meningioma atipikal yaitu meningioma yang
tumbuhnya lebih cepat dibanding meningioma
jinak dan dapat tumbuh kembali walaupun tumor
sudah diangkat.1,5,6
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan diperkuat dengan hasil CT-scan kepala atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala.
Terapi yang dianjurkan, umumnya kraniotomi
pengangkatan tumor, atau radiasi jika tumor
tidak dapat terangkat semua. Tehnik anestesi
yang digunakan adalah anestesi umum dengan
tujuan menghindari terjadinya hipertensi
intrakranial dan pembengkakan otak (brain
bulging). 2,3,6 Usia penderita, besar masa tumor,
lokasi tumor, kecepatan tumbuh tumor dan data
five year survival rate untuk meningioma jinak
70%, meningioma ganas 55% turut menentukan
prognosis penderita meningioma.1,2,6
II. Kasus
Laki-laki berusia 46 tahun dengan berat badan 80 kg.
Anamnesis: Pasien kejang berulang sejak 5 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Lama kejang 5 menit.
Dalam 1 hari, pasien mengalami kejang sampai 7
kali. Saat kejang, pasien tampak tidak sadarkan
diri, tangan dan kaki tampak kaku. Pasien juga
mengeluh sakit kepala yang hilang timbul, mual
dan muntah. Pandangan mata kabur dan gangguan
pendengaran disangkal. Tidak didapatkan
perubahan perilaku, memori dan fungsi intelektual.
Riwayat kejang demam disangkal. Riwayat
penyakit hipertensi, diabetes melitus disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran composmentis, GCS 15, pupil isokor,
diameter 2 mm kanan dan kiri, reflek cahaya
kedua mata positip, papil edema negatif. Tekanan
darah 120/70 mmHg, laju nadi 90 x/menit, laju
nafas 12 x/menit, suhu 36,5 0C. Bunyi jantung I,
II reguler, tidak didapatkan murmur dan gallop.
Gambar 1. MRI Otak: Tumor Meningioma Frontalis Sinistra
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra
Paru vesikuler, tidak didapatkan ronchi dan
wheezing dikedua lapang paru. Abdomen lemas,
soepel, nyeri tekan tidak ada, tidak membuncit,
hepar dan lien tidak membesar. Ekstremitas
hangat, tidak didapatkan edema, sianosis dan
ikterik. Kekuatan motorik ke empat ekstremitas
sama, tidak ada kelemahan atau kelumpuhan
pada ke empat ekstremitas. Tidak didapatkan
gangguan sensorik pada ke empat ekstremitas.
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin 15,2 g/dl, Hematokrit 45 %,
Leukosit 6500 /mm3, Trombosit 179.000 /mm3,
Ureum 21 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl, Gula
darah sewaktu 143 mg/dl. Albumin 3,1 g/dl,
Globulin 3 g/dl. Natrium 140 mEq/L, Kalium 3,6
mEq/L, Chlorida 109 mEq/L. Foto thorax tidak
didapatkan kelainan, CTR <50%. EKG sinus
ritme, laju jantung 75–85 x/menit. MRI kepala,
didapatkan masa hipointens yang melekat dengan
meningen di frontal kiri ukuran 52x48x3 mm,
kesan convexitas meningioma disertai perifokal
edema dengan midline shift ke kanan sekitar 7 mm.
Pasien dirawat inap dan mendapat terapi
manitol 250 mg dalam waktu 6 jam dilanjutkan
manitol 4x125 mgiv, methyl prednisolon
2x125 mg, phenitoin 3x100 mgiv, ketofrozen
HCL 1x1 ampul iv. Diagnosa kerja, tumor
meningioma frontalis sinistra. Direncanakan
operasi kraniotomi elektif pro eksisi tumor.
Penatalaksanaan Anestesi
Saat masuk kamar operasi, kesadaran pasien
composmentis, GCS 15, tekanan darah 140/94
mmHg, laju nadi 90 x/menit, laju nafas 12 x/menit,
suhu 36,5 0C. Diberikan premedikasi midazolam
5 mg iv dilanjutkan dengan fentanyl 50 mcg iv,
induksi dengan propofol 160 mg iv, fentanil 100
mcg iv, lidokain 120 mg iv, vecuronium 8 mg
iv, intubasi dengan ETT non kinking no 8, cuff
(+). Saat akan dilakukan pemasangan head-pin
diberikan fentanil 50 mcg iv dan propofol 20 mg.
Pada saat akan insisi kulit diberikan fentanil 50
mcg iv. Pemeliharaan anestesi dengan Total Intra
Venous Anesthesia (TIVA) menggunakan syringe
pump, propofol 2–3 mg/kg BB/jam, vecuronium
0,06 mg/kg BB/jam, fentanyl 1 mcg/kg BB/
jam, dexmedetomidine 0,1–0,2 mcg/kg BB/jam.
151
Inhalasi dengan gas O2 : udara = 1 : 1, tanpa gas
anestesi. Cairan masuk intraoperatif, kristaloid
2500 ml, manitol 500 ml, Fresh Frozen Plasma
(FFP) 300 ml, Packed Red Cell (PRC) 500 ml.
Cairan keluar intraoperatif, urine 1500 ml,
perdarahan 1000 ml. Diusahakan balans imbang
selama operasi berlangsung. Hemodinamik,
Grafik 1. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik
selama Operasi Berlangsung
Grafik 2. Laju Nadi dan Laju Nafas selama
Operasi Berlangsung
Grafik 3. Saturasi O2 dan End Tidal CO2 selama
Operasi Berlangsung
152
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
saturasi O2 dan end tidal CO2 stabil selama
intraoperatif. Operasi berjalan selama 7 jam.
Tumor berhasil terangkat semua. Pascaoperasi,
pasien diekstubasi dan rawat di ICU.
III. Pembahasan
Meningioma umumnya terdeteksi pada usia 40–
70 tahun. Umumnya lebih banyak dijumpai pada
wanita, hal ini diduga karena faktor hormonal
estrogen, progesteron dan androgen yang terkait
dengan pola menstruasi dan kehamilan.2,3,8,9
Namum meningioma pada kasus ini ditemukan
pada pasien laki-laki berusia 46 tahun.
Meningioma merupakan tumor jinak intracranial
dan cenderung mudah berdarah. Tumor ini berasal
dari lapisan meningen dan medulla spinalis, tidak
tumbuh dari jaringan otak. Umumnya tumbuh
ke dalam otak yang menyebabkan tekanan
pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga
dapat tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak.
Pertumbuhan tumor ini lambat sehingga pasien
tidak merasakan gejala klinis. Gejala klinis baru
terasa saat telah terjadi penekanan pada otak
atau jaringan sekitar akibat desakan tumor.1,2,7
Meningioma pada kasus ini terletak pada
lobus frontalis. Fungsi lobus frontalis adalah
mengatur gerakan voluntari, fungsi intelektual,
proses berpikir, memori dan perilaku. Sehingga
apabila terjadi kerusakan atau terdapat tumor
pada lobus ini, akan didapatkan gejala klinis
sakit kepala, mual, muntah, drowsiness, pingsan,
kejang,
kelemahan atau kelumpuhan pada
ekstremitas, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran dan perubahan perilaku (personality
atau behavior), emosi dan intelektual.
Pada kasus ini, tidak didapatkan papil edema,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
perubahan perilaku, emosi, intelektukal, kelemahan
atau kelumpuhan pada ke empat ekstremitas, serta
tidak terdapat gangguan sensorik pada keempat
ekstremitas. Hal ini diduga karena belum atau
tidak terdesaknya area tersebut oleh masa tumor.
Adanya kenaikan tekanan intrakranial pada pasien
ini ditandai dengan gejala sakit kepala yang hilang
timbul, mual dan muntah. Gejala lain seperti
penurunan kesadaran, pandangan kabur, papil
edema, depresi nafas tidak didapatkan. Pada CT
scan atau MRI, peningkatan tekanan intrakranial
terlihat dengan adanya midline shift ke kanan
sekitar 7 mm disertai dengan perifokal edema.
Peningkatan
tekanan
intrakranial
dapat
dijelaskan dengan hipotesis Monro-Kellie,
dengan mengingat tulang tengkorak merupakan
bagian yang keras, dimana rongganya terdiri dari
3 komponen, yaitu jaringan otak 80% (1400 ml),
darah 10% (150 ml) dan cairan serebrospinal 10%
(150 ml). Dalam keadaaan normal, komponenkomponen ini dalam keseimbangan yang
dinamis yakni jika terjadi kenaikan volume dari
salah satu komponen maka akan dikompensasi
dengan penurunan volume komponen yang
lain supaya tidak terjadi kenaikan tekanan
intrakranial. Mekanisme kompensasi tersebut
berupa perpindahan cairan serebrospinal kearah
rongga spinal, peningkatan reabsorbsi cairan
serebrospinal, dan kompresi sinusvenosus.
Hasil dari mekanisme ini akan menurunkan
volume cairan intrakranial. Hipotesis MonroKellie dapat diperjelas dengan kurva hubungan
tekanan intrakranial dan kenaikan masa/volume
komponen otak.1,10,11
Derajat 1–2: fase kompensasi, dimana bila ada
kenaikan volume salah satu komponen maka
volume komponen yang lain akan menurun
sehingga tekanan intrakranial tetap konstan.
Derajat 3–4: fase dekompensasi, yaitu ketika fase
kompensasi terlampui dengan sedikit kenaikan
komponen intrakranial akan menyebabkan
kenaikan yang tinggi dari tekanan intrakranial. 1,10
Kemiringan kurva tergantung pada komponen
yang volumenya meningkat. Peningkatan volume
darah, cairan serebrospinalis atau keduanya
Gambar 3. Kurva Hubungan Tekanan Intrakranial
dan Volume3
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra
maka daya kompresinya kurang bagus dan
kemiringannya lebih tajam. Peningkatan volume
jaringan otak, misal tumor, kemiringannya kurve
lebih landai dan lebih dapat dikompresi.1,10
Bila tekanan intrakranial meningkat dengan cepat,
terjadi perubahan sistemik seperti hipertensi,
takikardia, bradikardia, perubahan irama jantung,
perubahan EKG, gangguan elektrolit, hipoksia
dan Neurogenic Pulmonary Edema (NPE).
Cushing menuliskan adanya Trias Cushing pada
pasien dengan kenaikan tekanan intrakranial.
Trias ini terdiri atas hipertensi, bradikardia
dan melambatnya respirasi. Peningkatan
tekanan darah ini merupakan mekanisme untuk
mempertahankan tekanan darah otak yang terjadi
akibat peningkatan kadar adrenalin, nor adrenalin,
dopamin dalam sirkulasi. Bradikardia tidak selalu
terjadi pada setiap pasien. Bradikardia dapat
juga terjadi selintas, yang paling sering terjadi
yaitu takikardia dan atau aritmia ventrikel.10-12
Kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
pada pasien ini, merupakan masalah yang harus
diperhatikan saat penatalaksanaan preoperasi,
intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperatif,
telah diberikan terapi manitol 250 mg dalam
waktu 6 jam dilanjutkan manitol 4x125 mg iv,
methylprednisolon 2x125 mg, phenitoin 3x100
mg iv selama perawatan untuk mengatasi masalah
ini. Intraoperasi, penatalaksanaan anestesi yang
dilakukan bertujuan menghindari terjadinya
intrakranial hipertensi dan pembengkakan
otak melalui tindakan preventif dan terapi
dengan cara memberikan sedasi, analgetik dan
ansiolitis yang adekuat dengan midazolam iv
(dosis tidak melebihi 0,25 mg/kgBB), propofol
2–2,5 mg/kg BB iv, fentanil 1–3 mcg/kgBB,
vecuronium 0,1–0,15 mg/kgBB. Lidokain 1–1,5
mg/kgBB diberikan 3 menit sebelum intubasi
dilakukan untuk menghindari terjadinya lonjakan
hemodimanik saat intubasi berlangsung. Saat
akan dilakukan pemasangan head-pin diberikan
fentanil 50 mcg iv dan propofol 20 mg, dan saat
akan insisi kulit diberikan fentanil 50 mcg iv.
Teknik TIVA yaitu tehnik anestesi umum dengan
menggunakan obat anestesi secara intra vena yang
dilakukan saat induksi maupun rumatan anestesi
tanpa menggunakan gas anestesi. Keuntungan
153
TIVA adalah hemodinamik lebih stabil, dalamnya
anestesi lebih stabil, lebih dapat diprediksi,
pemulihan lebih cepat, mual dan muntah post
operasi menurun, tidak ada polusi di kamar
operasi, tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi
pada jalan nafas, tidak delirium pascaoperasi, laju
jantung lebih rendah, menurunkan tingkat stres
hormon, memelihara reaktifitas cerebrovaskular.1
Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi
inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh
GABA. Efek terhadap serebral, pada pasien
dengan tekanan intrakranial normal (ICP =
intracanial pressure), propofol akan menurunkan
Cerebral Metabolic Rate (CMR) 36%, ICP
30%, dan Cerebral Perfussion Pressure (CPP)
10%. Reaktivitas cerebral terhadap CO2 dan
auroregulasi dipelihara selama infus propofol
berjalan. Sesudah injeksi bolus propofol iv, tekanan
darah menurun sehingga CPP menurun. Propofol
sebagai proteksi otak terbatas pada iskemik ringan.
Untuk iskemik sedang dan berat, propofol tidak
sebaik barbiturat dalam hal efek proteksi otak.1,13
Dosis kecil narkotik mempunyai efek minimal
pada cerebral blood flow (CBF) dan cerebral
metabolic rate for oxygen (CMRO2), sedangkan
dosis besar secara progresif akan menurunkan
CBF dan CMRO2. Autoregulasi dan reaktivitas
terhadap CO2 tetap dipertahankan. Pada
umumnya, sedikit sekali efeknya pada CBF
dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk
fentanil, sufentanil dan alfentanil dapat
menyebabkan kenaikan ICP pada pasien tumor
otak dan cedera kepala.1,13 Pengaruh pada
dinamika CBF terlihat pada tabel 1 dibawah ini
Pada dosis kecil, fentanil, alfentanil dan sufentanil
menyebabkan tidak ada perubahan pada Vf dan
ada penurunan pada Ra dengan prediksi terjadi
penurunan ICP. Pada dosis tinggi, fentanil
menurunkan Vf, tidak ada perubahan atau ada
peningkatan Ra dengan prediksi akan menurunkan
ICP atau efeknya pada ICP tidak menentu.
Pada dosis besar, alfentanil tidak menimbulkan
perubahan pada Vf dan tidak ada perubahan atau
peningkatan pada Ra, dan diprediksi pengaruhnya
pada ICP tidak berubah atau meningkat.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak
menimbulkan perubahan atau sedikit menurunkan
154
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ICP. Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik
dapat menimbulkan peningkatan ICP, misalnya
pemberian bolus sufentanil dapat menimbulkan
peningkatan ICP yang selintas tapi besar pada
pasien dengan cedera kepala berat. Demikian
pula, pemberian bolus sufentanil dan alfentanil
akan meningkatkan tekanan CSF pada pasien
dengan tumor supratentorial, hal ini karena
autoregulasi yang menimbulkan vasodilatasi
pembuluh darah serebral akibat penurunan MAP.
Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien bedah
saraf, harus diberikan dengan syarat jangan terjadi
penurunan tekanan darah yang tiba-tiba.1,10,13
Dexmedetomidin adalah selektif α2 agonis, sedatif
lebih selektif terhadap reseptor α2 dibanding
klonidin. Pada dosis yang lebih tinggi akan hilang
selektifitasnya dan stimulasinya pada reseptor α
adrenergik. Dexmedetomidin dapat menyebabkan
sedasi, ansiolitis, analgesia dan kurangnya respon
simpatik terhadap pembedahan dan stres. Efek
utama adalah menurunkan kebutuhan opioid,
tidak menyebabkan depresi respirasi secara
signifikan, tetapi dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas. Digunakan untuk waktu yang pendek
(<24 jam) untuk sedasi intravena pada pasien
dengan ventilasi mekanik. Pada penghentian
sesudah pemakaian lama, potensial menyebabkan
fenomena withdrawal sama seperti klonidin.
Manifestasinya dapat terjadi krisis hipertensi.
Tabel 1. Pengaruh Narkotik pada Laju
Pembentukan, CSF, Resistensi CSF dan ICP
Narkotik
Vf Rs Prediksi efek pada ICP
Dosis rendah:
Fentanyl
0
Alfentanil
0
Sufentanil
0
Dosis tinggi:
Fentanyl
- 0,+,*
-,?,*
Alfentanil
0
0
0
Sufentanil
0 +,0,*
+,0,*
Keterangan: Vf = Kecepatan pembentukan cerebrospinal fluid/
CSF, RS = Resistensi terhadap absorpsi CSF, ICP= intracranial
pressure (tekanan intrakranial), 0 = tidak ada perubahan, - =
menurun, + = meningkat,* = efek bergantung pada dosis.
Dikutip dari: Newfield P, Cottrell JE., ed. Handbook of
neuroanesthesia, 4th, ed; 2007
Dexmedetomidin juga digunakan sebagai sedasi
untuk tambahan pada anestesi umum. Efek
sampingnya berupa bradikardi, blok jantung dan
hipotensi. Dosis, untuk permulaan diberikan 1
ug/kgBB iv selama lebih dari 10 menit, kecepatan
infus untuk pemeliharaan 0,2–0,7 ug/kgBB/jam.
Mula kerja cepat, waktu paruh terminal 2 jam.
Metabolisme di hepar, metabolit akan dieliminasi
lewat urine. Dosis diturunkan pada gangguan
fungsi ginjal atau perburukan hepar.1,10,13
Tindakan lain untuk menurunkan peningkatan
tekanan intrakranial, adalah posisi head-up.
Posisi head-up untuk menurunkan ICP harus
hati-hati, karena MAP lebih menurun daripada
ICP saat posisi head-up. Posisi head-up yang
dianjurkan 10–20% atau 15–300. Posisi pasien
terlentang dengan kepala miring ke kanan dan
dipastikan tidak terdapat penekanan pada vena
jugularis. Steroid (methylprednisolon) telah
diberikan selama perawatan. Manitol diberikan
0,5 gr/kgBB selama 20 menit iv sebelum
dura dibuka. Dilakukan drainase langsung ke
ventrikel lateralis 10–20 ml oleh operator.10,11
Kortikosteroid akan mengurangi edema sekeliling
tumor otak. Penurunan tekanan intrakranial
baru terlihat beberapa jam atau hari pada
terapi kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid
sebelum reseksi tumor sering menimbulkan
perbaikan neurologis mendahului pengurangan
tekanan intrakranial. Kortikosteroid dapat
memperbaiki kerusakan Blood Brain Barier
(BBB), mengurangi edema otak, dehidrasi otak,
pencegahan aktivitas lisosom, mempertinggi
transport elektrolit serebral, merangsang
ekresi air dan elektrolit, menghambat aktivitas
fosfolipase A2. Efek pemberian kortikosteroid
dalam jangka panjang adalah hiperglikemia,
ulkus peptikum, peningkatan kejadian infeksi.10-12
Penurunan tekanan intrakranial yang cepat, dapat
dicapai dengan pemberian diuretik. Dua macam
diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik
diuretik (manitol) dan loop diuretik (furosemide).
Manitol diberikan secara bolus intravena dengan
dosis 0,25–1 gram/kg BB, diberikan secara
perlahan selama 10–20 menit. Bekerja dalam
waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira selama
2 jam. Manitol tidak menembus sawar darah
otak yang intak. Manitol akan meningkatkan
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl
untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra
osmolalitas darah relatif terhadap otak dan
menarik air dari otak ke dalam pembuluh darah.
Bila sawar darah otak rusak, manitol dapat
memasuki otak dan menyebabkan rebound
fenomena, yaitu kenaikan tekanan intrakranial
sebab ada suatu reversal perbedaan osmotik.
Manitol dapat menyebabkan vasodilatasi yang
tergantung dari besarnya dosis dan kecepatan
pemberian. Vasodilatasi akibat manitol dapat
menyebabkan peningkatan volume darah otak
dan tekanan intrakranial secara selintas yang
simultan dengan penurunan tekanan darah
sistemik. Penggunaan manitol jangka panjang
dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan
elektrolit, hiperosmolalitas dan gangguan
fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum
osmolalitas meningkat diatas 320 mOsm/kg.10-12
Furosemide mengurangi tekanan intrakranial
dengan menimbulkan diuresis, menurunkan
produksi cairan serebrospinal, dan memperbaiki
edema serebral dengan memperbaiki transport
air seluler. Furosemide menurunkan tekanan
intrakranial tanpa meningkatkan volume darah
otak atau osmolalitas darah, tetapi tidak seefektif
manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Furosemide dapat diberikan sendiri dengan
dosis 0,5–1 mg/kg BB atau dengan manitol
dengan dosis yang lebih rendah 0,15–0,3 mg/
kg BB. Kombinasi manitol dan furosemide lebih
efektif daripada manitol saja dalam mengurangi
brain bulk dan tekanan intrakranial, tetapi
lebih menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangan elektrolit, sehingga diperlukan
pemantauan serum elektrolit dan osmolalitas
dan penggantian kalium bila ada indikasi.10,11
Pola pernafasan normoventilasi dengan target
PaO2 100 mmHg dan PaCO2 29–34 mmHg
yang setara dengan endtidal CO2 25–30 mmHg.
Intraoperasi, tidak menggunakan PEEP saat
operasi berlangsung, untuk menghindari terjadinya
peningkatan tekanan intratorakal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial intraoperatif.
Perdarahan 1000 ml dan urine 1500 ml intraopratif
digantikan dengan kristaloid 2500 ml, FFP 300
ml dan PRC 500 ml. Diusahakan balans imbang
selama operasi berlangsung.Operasi berlangsung
selama 7 jam. Tumor berhasil terangkat semua.
Pasca operasi, diberikan reverse dengan 4 ampul
155
Sulfas Atropin iv dan 4 ampul prostigmin iv,
setelah diyakini hemodimanik stabil, laju nafas
10–12 x/menit, tidak takikardi, tidal volume
mencukupi, dilakukan ekstubasi diatas meja
operasi dan pasien di rawat di ruang ICU.
IV. Simpulan
Meningioma merupakan tumor otak jinak, berasal
dari lapisan meningen dan medulla spinalis. Dapat
tumbuh ke dalam otak dan keluar ke arah tulang
tengkorak. Gejala klinis baru dirasakan setelah
tumor membesar dan terjadi desakan pada otak
atau jaringan sekitar tumor. Terapi meningioma
meliputi terapi simptomatis, operatif dan radiasi
(atas indikasi). Penatalaksanan anestesi pada
meningioma bertujuan mencegah terjadinya
hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak
(brain bulging). Indikator yang berperan adalah
posisi pasien, elevasi kepala, kedalaman anestesi
yang adekuat, PaCO2, end tidal CO2 dan balans
imbang.
Daftar Pustaka
1. Roosiati B, Rahardjo Sri. TIVA pada
kraniotomi
pengangkatan
meningioma
residif. JNI Oktober 2012; 1 (4): 269–77
2. Meningioma. American Association of
Neurological Surgeons Jurnal, Juni 2012.
http: //www. brainsciencefoundation.org/
3. Smith WOHG. Supratentorial masses:
anesthetic consideration. Dalam: Anesthesia
and neurosurgery, 4th ed; Philadelphia:Mosby,
297–313
4. Park JK. Meningioma (beyond the basics).
Wolters Kluwer Health Journal. Juli 2013
5. Laura J, Martin MD. WebMD Medical
Reference. June 22, 2012.
6. Gonzales N. Meningioma brain tumor. UCLA
Neurosurgery journal, February 2013.
7. Haddad G. Meningioma treatment and
management. Medscape Jurnal. May 2013.
156
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
8. Wen P. Meningioma treatment options. Brain
science foundation Journal. April 2012
9. Kaal ECA, Vecht CJ. The management of
brain edema in brain tumors. Current Opinion
in Oncology 2004, 593–9
10. Bruder N, Ravussin P. Supratentorial masses;
anesthetic considerations. Dalam: Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia. 5th ed;
Philadelphia: Mosby, 184–191
11. Bisri T. Neurofisiologi. Dalam: Penanganan
Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera
Otak Traumatik. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran 2012,
10–12
12. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral blood flow and
intracranial pressure. Medscape Journal.
Oktober 2012
13. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ,
Nonvolatile anesthetic agents. Dalam: Clinical
Anesthesiology. 4 th ed: New York: The
Mc Grow Hill Companies: 2006. 192–202.
Tehnik Proteksi Otak pada Pembedahan Non Neurosurgery (Radical Neck Dissection)
dengan Premorbid Space Occupying Lesion (SOL) dan Infark Serebri
Buyung Hartiyo Laksono*), Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – Rumah Sakit
Daerah Dr Saiful Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi – Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga – Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Insidensi kasus tumor dengan metastase otak berkisar antara 100.000 sampai 170.000 pertahun. Metastase otak
bersifat multiple dengan 80% terletak pada hemis ferserebri. Pendesakan akibat lesi tersebut mengakibatkan
gangguan neurologis dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Seorang laki-laki, 62 tahun dengan tumor
sub mandibula direncanakan radical neck dissection. Pada pasien didapatkan proses metastase pada serebri dan
cerebropontine angle disertai infark serebri daerah pons dan otak tengah. Defisit neurologis berupa kelemahan
ekstremitas kanan dan disartria. Preoperatif diberikan kortikosteroid untuk menurunkan edema perifokal. Tatalaksana
anestesi dengan prinsip tehnik proteksi otak, dilakukan induksi kombinasi dengan midazolam, fentanyl, lidokain,
propofol dan rocuronium. Kontrol ventilasi target paCO2 30–35 mmHg. Pemeliharaan anestesi dengan kombinasi
sevofluran dan propofol. Pembedahan berjalan 7 jam, temperature selama pembedahan 35–36 °C dan MAP dijaga
>70 mmHg. Dilakukan ekstubasi, setelah menilai status neurologis dan hemodinamik, difasilitasi dengan lidokain.
Pascabedah tidak didapatkan perburukan defisit neurologis. Pasien dirawat di ICU selama 2 hari kemudian ke
ruangan dengan perbaikan status neurologis. Tehnik proteksi otak bertujuan mencegah cedera sekunder dari SOL
dan iskemia. Tindakan anestesi dan pembedahan dapat menambah perburukan cedera sekunder. Penatalaksanaan
anestesi yang baik dengan prinsip proteksi otak akan menghasilkan outcome pembedahan sesuai yang diharapkan.
Kata kunci: tehnik proteksiotak, prosedur non neurosurgery, space occupying lession, infark serebri
JNI 2014;3 (3): 157‒63
Brain Protection Technique in Non Neurosurgical Procedure (Radical Neck Dissection)
on a Patient with Space Occupying Lession (SOL) and Cerebral Infarction
Abstract
The incidence of tumors with brain metastases ranged from 100,000 to 170,000 per year. Brain metastases
are multiple with 80% of lesion located on the cerebral hemispheres. These lesions could cause neurological
disorders and increase intracranial pressure (ICP). A 62 years old male, diagnosed with sub mandibular
tumour was scheduled for radical neck dissection. From preoperative evaluation he hadcerebral metastasis at
the cerebrum and cerebro-pontine angle with cerebral infarction at pons and middle brain regions. Neurological
deficits were weakness of the right limband dysarthria. The patient received corticosteroids pre-operatively to
reduce perifocal edema. Anesthesia management was given using brain protection principles. Induction was
done by using midazolam, fentanyl, lidocaine, propofol and rocuronium. Ventilation was controlled with a target
PaCO2 of 30–35 mmHg. Sevoflurane and propofol was given as anesthesia maintenance. Surgery was done for
7 hrs, temperature was 35–36 °C during surgery and MAP was maintained >70 mmHg. Extubation was done
after assessing the neurologic and hemodynamic status,facilitated with lidocaine. There was no worsening
of neurologic deficits post surgery. Patients was managed in the ICU for 2 days and transferred to ward with
increased neurological state. The technique of brain protection aims to prevent further process of secondary
injury from SOL and ischemia. Anesthesia and surgery itself could increase the progression of secondary
injury. Anesthesia management usingbrain protection principles will provide better outcomes as expected.
Key words: brain protection techniques, non neurosurgical procedure, space occupying lesion, cerebral infarction
JNI 2014;3 (3): 157‒63
157
158
I.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pendahuluan
Insidensi kasus tumor dengan metastase otak
berkisar antara 100.000 sampai 170.000 pertahun.
Lesi metastase otak 80% berupa metastase
multipel pada otak besar.1,2 Pendesakan akibat lesi
tersebut mengakibatkan gangguan neurologis dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Banyak
kasus memerlukan pembedahan pada tumor primer
dengan premorbid SOL. Manajemen anestesi
bukan hanya memperhatikan pembedahan tumor
primer tetapi juga memperhatikan tatalaksana
proteksi otak akibat adanya SOL.
Salah satu komplikasi yang ditakuti akibat dari
anestesi dan pembedahan adalah kejadian iskemia
pada otak dan kerusakan neuron. Meskipun
angka kejadian stroke selama pembedahan
masih rendah, tetapi pada beberapa kondisi dapat
menjadi tinggi. Pada kasus pembedahan jantung
insiden komplikasi neurologis berkisar antara
2–6%. Sebagian besar terjadi selama pembedahan
berlangsung. Risiko kejadian stroke pasca
pembedahan pada kasus carotid endarterectomy
berkisar 15%. Pada kondisi tertentu risiko
tersebut dapat lebih tinggi.3,4
Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh
keadaan iskemia sehingga didapatkan outcome
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Keterangan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Natrium
Kalium
Clorida
Ureum
Creatinin
SGOT
11,3 g/dl
32%
14.700/mm3
230.000//mm3
138 mEq/L
3,51 mEq/L
105 mEq/L
27,0 mg/dl
0,84 mg/dl
15 u/L
SGPT
13 u/L
neurologis yang sesuai dengan harapan. Setelah
terjadi cedera iskemia, kemampuan regenerasi
otak sangat terbatas. Maka dari itu untuk
tatakelola anestesi pada kasus dengan SOL dan
infark serebri diperlukan tehnik proteksi otak
yang baik.
II. Kasus
Pasien laki-laki usia 62 tahun dengan
diagnosis tumor submandibula yang sudah
metastase kelenjar leher dan jaringan otak.
Anamnesis
didapatkan keluhan benjolan dileher yang
membesar cepat dalam 1 tahun terakhir.
Tidak didapatkan kesulitan menelan ataupun
mudah tersedak. Dari pernafasan juga tidak
didapatkan adanya keluhan. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan keluhan sering nyeri
kepala, 1 bulan terakhir pasien mengalami
gangguan bicara (pelo) dan tangan kaki
dirasakan melemah pada sebelah kanan.
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik prabedah didapatkan
nafas spontan dengan udara ruangan saturasi
pulse oxymetri (SpO2) 97%, buka mulut 3 jari,
Mallampati I, tidak ada gigi palsu, pergerakan
sendi temporomandibular baik, fleksi ekstensi
leher baik, didapatkan benjolan submandibulla
dengan kosistensi kenyal, tidak melekat pada
Pemeriksaan
PT
APTT
Albumin
GDS
Keterangan
11 ( kontrol 12) detik
31 (kontrol 26) detik
3.43 u/L
107 u/L
Tehnik Proteksi Otak pada Pembedahan Non Neurosurgery (Radical Neck Dissection)
dengan Premorbid Space Occupying Lesion (SOL) dan Infark Serebri
dasar, disertai benjolan lain berbagai ukuran
disekitar leher, auskultasi tidak didapatkan
wheezing dan ronkhi. Akral hangat, suhu aksila
36,30C, nadi 88x/m, tekanan darah 120/70 mmHg
dan CRT <2 detik. Auskultasi suara jantung S12
single, tidak ada suara tambahan. Kesadaran
baik, GCS 4x (dysarthria) 6, paralisis N. cranialis
tidak didapatkan, didapatkan kelemahan pada
ektremitas atas dan bawah sebelah kanan dengan
nilai 3, sensoris dalam batas normal, reflek
patologis tidak ditemukan dan otonom dalam batas
normal. Pupil 3 mm/3mm, reflek cahaya normal/
normal. Miksi spontan tidak terpasang kateter.
Bising usus (+) normal. Tulang ekstremitas dan
tulang belakang dalam batas normal. Pasien
termasuk status fisik ASA 3 geritari, SOL
dengan risiko TIK meningkat, infark dan defisit
neurologis. Direncanakan pembedahan radical
neck dissection bilateral dengan anestesi umum
intubasi. Pengobatan steroid tetap diberikan
hingga pagi hari menjelang operasi yaitu
dexametason 5 mg. Kebutuhan cairan disesuaikan
dengan kebutuhan rumatan selama puasa (50 cc/
jam) dengan isoosmolar kristaloid.
Pengelolaan Anestesi
Dilakukan induksi dengan pemberian midazolam
2,5 mg, fentanyl 100 uq titrasi, lidokain 80 mg,
propofol 90 mg titrasi, rocuronium 50mg, satu
menit sebelum tindakan intubasi diberikan
tambahan propofol 30 mg. Intubasi dilakukan
menggunakan laringoskopi Macintosh dengan
159
pipa endotrakeal (ETT) non kinking nomor
7.5, kedalaman ETT 20 cm pada tepi bibir.
Pemeliharaan anestesi menggunakan sevoflurane
kurang dari 1 MAC dengan aliran oksigen dan
N20 (3:1) kombinasi propofol TIVA, fentanyl
kontinyu 1–2 μg/KgBB/jam dan vecuronium
kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam. Ventilasi terkontrol
dengan evaluasi end tidal CO2 dan BGA. Target
paCO2 30–35 mmHg. Setelah intubasi dilakukan
pemasangan CVC subclavia kanan dan arterial
line pada arteri radialis kanan. Diberikan mannitol
0,5 mg/kgbb dan dexamethason 10 mg iv sebelum
incisi kulit. Monitoring selama operasi berupa
evaluasi tekanan darah sistolik, diastolik, arteri
rerata, tekanan CVC, end tidal CO2, saturasi
oksigen, gelombang EKG, pemasangan stetoskop
prekordial, produksi urine melalui kateter urine,
insersi NGT, analisa gas darah. Gula darah
diperiksa setelah operasi berjalan 2 jam dengan
hasil 145. Hasil analisis gas darah selama operasi
dengan pH 7,45, PCO2 33, PaO2 210, HCO3 24,
BE –0.1, Sat 99%. Pembedahan berlangsung
selama 7 jam dengan insisi daerah dekat tumor
dan diperlebar pada daerah leher bilateral. Tumor
beserta kelenjar limfe diangkat total. Setelah
pembedahan selesai dan dilakukan jahitan primer
pada luka, dilakukan evaluasi jalan nafas terhadap
risiko kemungkinan obstruksi. Dipastikan drain
lancar dan perdarahan minimal. Pasien mulai
dibangunkan. Evaluasi nafas adekuat dan dapat
merespon perintah, dilakukan early emergence
dengan difasilitasi lidokain. Pascaekstubasi
Foto torak AP normal tidak didapatkan metastasis pada paru. EKG irama sinus 89x/m, axis normal,
intraventrikular corda defesiensi inferior borderline. Hasil CT Scan (gambar 1) menunjukkan metastase
cerebrum dan cerebello pontin angle, infark pada pons dan otak tengah.
160
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
140
120
100
80
60
40
20
0
Sistolik
Diastolik
HR
CVP
ET
ET CO
CO2
2
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 2. Grafik Profil Tanda Vital dan Monitoring selama Operasi
dinilai lagi status neurologis pasien tidak ada
perburukan dari status neurologis dibandingkan
preoperatif.
Pengelolaan Pascabedah
Pasca tindakan bedah, pasien dirawat di Unit
Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU)
selama 2 hari sebelum pindah ruangan untuk
observasi patensi jalan nafas, kemungkinan
perdarahan dan penurunan derajat status
neurologis. Hari kedua di ICU, pasien bernafas
spontan, kondisi hemodinamik stabil, sudah
bisa diet lunak dan status neurologis tidak ada
penurunan bahkan ada kecenderungan kenaikan
pada motoris ekstremitas 1 poin, pasien kemudian
dipindahkan ke ruangan.
regio serebri dan sisanya pada cerebellum.
Diketemukannya kasus tersebut bisa sebelum
diagnosa dari tumor primer. Pemeriksaan
radiologis baik CT scan atau MRI dilakukan
karena keluhan dan klinis dari pasien. Rentang
usia 45–64 tahun insidensi kasus tersebut
III. Pembahasan
Insidensi metastase tumor ke otak 80% multipel
pada beberapa regio otak. Sekitar 85% pada
Gambar 3. Kondisi Pembedahan dan Pascabedah
Tabel 2. Balans Cairan Selama Operasi
Cairan output
Urine 1800 cc
Pendarahan 600 cc
NS
Mannitol
Koloid
Rumatan
NS
Cairan operasi
NS
Keterangan: NS = normal salin
Cairan input
500 cc
150 cc
500 cc
(50 cc/jam)
400 cc
(2 cc/Kg/jam)
500 cc + Ringerfundin 250 cc
Balans cairan
Defisit 500 cc
Tehnik Proteksi Otak pada Pembedahan Non Neurosurgery (Radical Neck Dissection)
dengan Premorbid Space Occupying Lesion (SOL) dan Infark Serebri
meningkat dan puncaknya pada usia 65 tahun.
Pasien ini berusia 63 tahun, masuk pada rentang
usia risiko kejadian kasus tersebut. Diagnosa
didapatkan setelah diagnosa tumor primer.1,2
Pada pasien ini juga didapatkan stroke iskemia
infark pada pons dan otak tengah. Angka
kejadian stroke perioperatif 1 dalam 1000
kasus pembedahan, meningkat menjadi 6 dalam
1000 kasus pada kasus-kasus pembedahan
vaskular.2-4 Untuk mengantipasi perburukan
dari kondisi tersebut maka optimalisasi tekanan
perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP)
dengan tehnik proteksi otak sangat diperlukan.
Pasien mempunyai risiko terjadinya iskemia
selama pembedahan karena beberapa kondisi
preoperatif yang mendukung kondisi tersebut.
Usia tua dengan adanya SOL dan stroke iskemia,
besar kemungkinan risiko kejadian iskemia
selama pembedahan tinggi. Manipulasi selama
pembedahan pada daerah leher akan mengganggu
perfusi otak dengan adanya penekanan pada
curah balik atau sirkulasi arteri menuju otak.
Posisi kepala yang hiperekstensi berisiko
peningkatan TIK. Manipulasi sinus caroticus
juga berpengaruh pada stabilitas hemodinamik.
Stabilitas hemodinamik yang terganggu akan
mengganggu perfusi otak. Anestesiolog harus
mewaspadai faktor-faktor tersebut. Monitoring
ketat dan melihat lapang pembedahan penting
untuk mengantisipasinya.
Target tatalaksana anestesi dengan proteksi otak
pada pasien ini adalah mencegah perburukan
dari kondisi iskemia dan cedera otak sekunder
untuk menghasilkan luaran neurologis yang
diharapkan. Daerah penumbra akibat pendesakan
SOL ataupun infark dapat dijaga perfusinya
secara optimal dan memperpanjang kemampuan
kompensasinya. Berdasarkan postulat Monro
Kellie bahwa isi otak adalah konstan, meliputi
80% massa otak, 10% darah dan 10% cairan
serebro spinal, maka peningkatan TIK yang tidak
terkompensasi dapat meningkatkan TIK melebihi
batas regulasi. Ini besar terjadi pada kasus ini,
karena tidak dilakukan dekompresi.5-7
Obat-obatan anestesi yang dipilih adalah obatobat yang termasuk golongan obat neuroanastesi.
161
Untuk induksi anestesi pada kasus ini dipilih
obat-obatan yang mempunyai efek proteksi otak.
Midazolam digunakan sebagai koinduksi dengan
dosis 30 µg/kgbb untuk mengurangi kebutuhan
obat anestesi lain dan memperdalam induksi.
Propofol digunakan sebagai obat induksi karena
memiliki efek proteksi otak. Tekanan intrakranial,
aliran darah otak dan metabolism otak turun
pada penggunaan propofol.8 Propofol diberikan
titrasi 80 mg untuk induksi untuk menghindari
penurunan tekanan darah yang dapat menurunkan
CPP, terutama pada kasus geriatri.
Lidokain berdasarkan literatur digunakan sebagai
adjuvant proteksi otak. Pemberian lidokain
menurunkan CMRO2 15–20%. Dosis yang
direkomendasikan 1,5 mg/kgbb. Tujuan lain
penggunaan lidokain untuk menurunkan respon
hemodinamik sewaktu dilakukan tindakan
intubasi.9 Pada kasus ini digunakan lidokain
80 mg intravena saat induksi dengan harapan
tidak terjadi gejolak hemodinamik yang dapat
meningkatkan tekanan darah rerata dan lidokain
mempunyai efek proteksi otak. Mekanisme
lidokain dalam proteksi otak adalah menurunkan
perpindahan ion transmembran, menurunkan laju
metabolisme otak (cerebral metabolit rate/CMR),
modulator aktifitas leukosit dan menurunkan
pelepasan excitotoxin karena iskemia.7
Anestesi inhalasi yang digunakan dalam prosedur
ini adalah sevoflurane dengan menggunakan
aliran gas O2 dan N2O dengan perbandingan
(60:40). Penggunaan aliran oksigen 60%
dilakukan dengan tujuan untuk mencegah tekanan
PaO2 diatas 200 mmHg dan dilakukan konfirmasi
dengan pemeriksaan analisis gas darah.
Penggunaan N2O dipilih karena tidak tersedianya
fasilitas udara bertekanan. Penggunaan N2O
dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah otak secara langsung dan meningkatkan
aliran darah otak, akan tetapi efek tersebut dapat
dikurangi dengan tindakan hiperventilasi (PaCO2
30–35). Pada beberapa penelitian penggunaan
N2O tidak memiliki efek protektif terhadap
neuron otak dan dapat menyebabkan vakuolisasi
endoplasmik retikulum serta mitokondria.
N2O juga dapat menyebabkan disinhibisi pada
reseptor GABA secara menyeluruh. Pada pasien
162
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dengan defisiensi asam folat, penggunaan N2O
dapat menyebabkan degenerasi medulla spinalis
serta manghambat pemulihan elektrofisiologis
sel. Akan tetapi pengaruh negatif tersebut
bervariasi bila N2O digunakan bersama anestesi
inhalasi lain, dengan atau tanpa hipokapnia.6,10
Sevolurane digunakan dalam kasus ini karena
efek dari vasodilatasi serebral serta peningkatan
CBF yang paling kecil diantara semua gas
anestesi. Sevoflurane juga memiliki efek
neuroprotektif berupa anti apoptosis.11 Penurunan
curah jantung oleh sevoflurane juga lebih kecil
dibandingkan isoflurane ataupun halothane
sehingga menghindari pemberian cairan berlebih
atau penggunaan vasokonstriktor. Ekstubasi
dini setelah pemakaian sevofluran memfasilitasi
dilakukan pemeriksaan neurologis dini.8
Pelumpuh otot yang digunakan adalah
vecuronium dengan dosis bolus 0,1 mg/kgBB
dan dosis rumatan 0,06 mg/kg/jam. Vecuronium
dipilih pada kasus ini karena tidak menyebabkan
pelepasan histamin yang dapat menimbulkan
gejolak hemodinamik dan tidak meningkatkan
aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan
edema. Vecuronium juga mempunyai efek
minimal atau tidak ada efeknya pada ICP, tekanan
darah, denyut jantung dan efektif pada pasien
dengan SOL ataupun iskemia. Rocuronium
merupakan alternatif terbaik karena mula kerja
cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika
intrakranial.12
Pemberian kortikosteroid pada kasus tumor otak
untuk mengurangi edema disekeliling tumor.
Pemberian steroid sebelum reseksi tumor sering
memberikan perbaikan neurologis mendahului
pengurangan tekanan intrakranial. Steroid dapat
memperbaiki kerusakan barier darah-otak. Pada
kasus ini, steroid sudah diberikan sejak sebelum
pembedahan. Banyak literatur menuliskan
pemberian steroid menurunkan edema vasogenic
peritumoral. Efek steroid melalui mekanisme
stabilisasi membran, mencegah pelepasan lipid
peroxidase dan antiinflamasi sehingga dapat
sebagai proteksi kondisi iskemia otak. Selain
steroid diberikan juga mannitol dengan dosis
0,5–1 gr/kgbb dengan tujuan menurunkan
tekanan intrakranial (TIK), meningkatkan CPP
dan memperbaiki aliran darah otak terutama pada
daerah iskemia.6,7 Suhu tubuh dijaga pada rentang
35–36 0C dengan tujuan mempertahankan kondisi
low normothermia. Terdapat bukti-bukti dari
kondisi tersebut sebagai upaya proteksi otak.
Keuntungan low normothermia terbatas pada
mencegah kejadian hipertermia yang sangat tidak
menguntungkan dan menghindari efek samping
dari kondisi hipothermia. Literatur menyarankan
suhu tubuh di kamar operasi 34–35 0C dan
pascabedah di ICU 36 0C.6 Tindakan lain yang
dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan
intakranial adalah dengan mengatur posisi pasien
elevasi 15–30 derajat. Mencegah penekanan pada
vena-vena leher karena posisi leher yang tertekan
dapat menyebabkan penurunan drainase vena
jugularis sehingga menyebabkan peningkatan
TIK. Mencegah PEEP dengan mengawasi
penekanan pada daerah abdomen dan toraks yang
dapat meningkatkan tekanan inspirasi puncak
dan mempengaruhi aliran darah ke jantung.6
Pengelolaan cairan selama pembedahan dengan
memperhitungkan kebutuhan rumatan dan
penggantian cairan yang keluar melalui urin akibat
penggunaan diuretika osmotik dan perdarahan.
Target dari hematokrit optimal dengan kondisi
iskemia pada otak adalah 30%–32%. Penting
untuk mencapai kondisi tekanan perfusi serebral
(CPP) yang optimal.13 Pembatasan cairan yang
berlebihan akan menurunkan CPP sehingga
akibat kondisi iskemia makin besar.14 Pada kasus
ini perdarahan 600 cc dan digantikan dengan
koloid. Urin digantikan dengan kristaloid.
Balans cairan selama operasi tercapai defisit
500 cc. Dengan kondisi defisit ringan tersebut
diharapkan tercapai target hematokrit dan CPP
yang optimal. Kondisi normovolemia adalah hal
yang sementara ini diterima paling luas oleh para
ahli, kontroversi penggunaan jenis cairan masih
dalam perdebatan.14
Pascabedah dilakukan rapid emergence dengan
mempertimbangkan lama operasi tidak lebih
7 jam, perdarahan tidak banyak, airway aman,
nafas spontan adekuat dan tidak ada tanda-tanda
kejadian penurunan status neurologis. Untuk
menghindari batuk dan perubahan hemodinamik
mendadak selama ekstubasi difasilitasi dengan
pemberian lidokain. Evaluasi status neurologis
Tehnik Proteksi Otak pada Pembedahan Non Neurosurgery (Radical Neck Dissection)
dengan Premorbid Space Occupying Lesion (SOL) dan Infark Serebri
dini dilakukan pascabedah dengan tujuan untuk
menilai outcome pembedahan dan jika ada
komplikasi dapat segera terdeteksi. Pada pasien
ini status neurologis dinilai tidak didapatkan
penurunan. Penilaian kembali ke kondisi semula
tanpa adanya tambahan defisit neurologis yang
lain.
V. Simpulan
Tehnik proteksi otak bertujuan mencegah cedera
sekunder dari SOL dan iskemia. Beban anestesi
dan pembedahan akan menambah perburukan
cedera sekunder. Penatalaksanaan anestesi
yang baik dengan prinsip proteksi otak akan
menghasilkan luaran pembedahan sesuai yang
diharapkan.
Daftar Pustaka
1. Lassman AB, DeAngelis LM. Brain
metastases. Neurol Clin N Am 2003; 21:1–23.
2. Anonimus. Metastasic brain tumors.
American Brain Tumors Association (ABTA)
2012.
3. Mashour GA, Moore LE, Lele AV, Robicsek
R, Gelb WA. Perioperative care of patients
at high risk for stroke during or after noncardiac, non-neurologic surgery: Consensus
statement from the society for neuroscience in
anesthesiology and critical care. J Neurosurg
Anesthesiology 2014;00:000–000.
4. Patel P. Brain protection – The clinical reality.
Revista Mexicana de Anestesiologia 2007;
30(1): 101–06.
5. Hans P, Bonhomme V. The rationale for
perioperative brain protection. EJA 2004;
21(1): 1–5.
163
6. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Edisi
ke-2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008, 1–74.
7. Menon G, Nair S, Bhattacharya RN. Cerebral
protection – Current concepts. IJNT 2005;
2(2):67–79.
8. Rao GSU. Anaesthetic management of
supratentorial intracranial tumors. ISSN
2005; 311(2): 4.
9. Lalenoh D, Bisri T, Yusuf I. Brain protection
effect of lidocaine measured by interleukin-6
and phospholipase A2 concentration in
epidural haematoma with moderate head injury
patient. J Anesth Clin Res 2014;5(3):1–3.
10. Ansgar MB, Jeffresy RK. Essentials of
Neurosurgical Anesthesia & Critical Care.
Springer; 2012: 78–80.
11. Ravussin PA, Smith W. Supratentorial mass:
anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE,
Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
4th ed. St.Louis: Mosby 2001; 297–313.
12. William
F,
Chandler.
Management
of suprasellar meningioma. J NeuroOphthalmology 2003; 23(1): 1–2.
13. Ramachandra PT, Sheth RN, Heros RC.
Hemodilution and fluid management
in neurosurgery. Clinical Neurosurgery
2006;53:249–50.
14. Lindroos AC, Niiya T, Lundell M, Randell
T, Hernesniemi J, Niemi T. Stroke volumedirected administration of hydroxyethyl starch
(HES 130/0.4) or ringer´s acetate in sitting
position during craniotomy: a randomised
controlled trial. Acta Anaesthesiol Scand
2013;57(6):729–36.
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
Ardana Tri Arianto, MH Soedjito
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo
Abstrak
Malformasi Arnold-Chiari, merupakan suatu bentuk malformasi pada otak. Pada malformasi ini terjadi
pergeseran (displasi) tonsila serebelum ke arah bawah melalui foramen magnum (lubang di basis kranii),
yang terkadang menyebabkan hidrosefalus non-komunikans sebagai akibat terjadinya obstruksi aliran
keluar dari cairan serebrospinal. Seorang wanita 23 tahun datang dengan keluhan sering pusing, nyeri
tengkuk, serta kelemahan pada lengan kanan. CT Scan dan MRI didapatkan gambaran cerebellar tonsil
yang mendukung Arnold Chiari Malformation. Dilakukan operasi osteotomi suboccipital dengan posisi
prone. Rumatan anestesi dengan sevoflurane 1 vol% dan O2: udara 1,5: 1,5, analgetik fentanyl 25
mcg tiap 30 menit, pelumpuh otot vecuronium 3 mg/jam. Operasi berlangsung selama 2 jam 45 menit.
Hemodinamik selama operasi stabil. Dilakukan ekstubasi segera di kamar operasi. Pascaoperasi pasien
dirawat di unit intensif selama sehari. Hemodinamik selama di ICU stabil. Tidak ada keluhan selama di ICU.
Kata kunci: fossa posterior, malformasi arnold chiari, posisi prone
JNI 2014;3 (3): 164‒72
Anesthesia for Arnold Chiari Malformation
Abstract
Arnold-Chiari's malformation, is a brain malformation caused by the displacement of the cerebellar tonsil caudally
into the foramen magnum, which in some cases will cause obstruction of the cerebrospinal fluid flow, resulting in
a communicating hydrocephalus condition. A 23 years old female patient with a chief complaint of having frequent
dizzines, painful neck, and weakness of the right arm. CT scan and MRI reveal cerebellar tonsil imaging that support
the diagnosis of Arnold-Chiari's malformation. Surgical procedure was performed using suboccipital osteotomy
approach in a prone position. Maintenance anesthesia with sevoflurane 1 vol% and O2: air 1,5: 1,5, analgetic
fentanyl 25 mcg every 30 minute, muscle relaxant vecuronium 3 mg/hour. The time of surgery was 2 hours and
45 minutes. Hemodynamics were stable during the procedure. Patient was extubated early after surgery at operating
room, and admitted to the ICU for 24 hours. Hemodynamics parameter were stable, without any remarkable events.
Key words: posterior fossa, Arnold-Chiari's malformation, prone position
JNI 2014;3 (3): 164‒72
164
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
I. Pendahuluan
Malformasi Chiari menunjukan turunnya
cerebellar tonsils melalui celah terbesar di dasar
tengkorak (foramen magnum) ke bagian atas
cervical (leher). Secara normal cerebellar tonsils
terletak didalam tengkorak. Seorang dengan
Malformasi Chiari, tonsilnya turun ke bawah
sampai vertebra cervical pertama atau terkadang
bahkan sampai vertebra cervical kedua. Istilah
"malformasi" mungkin tidak sepenuhnya sesuai.
Istilah ini tentu saja tidak digunakan dalam
cara yang sama seperti saat kita memikirkan
malformasi jantung pada bayi baru lahir, bibir
sumbing, clubfoot atau spina bifida. Ketika
Profesor Hans Chiari pertama kali menjelaskan
Malformasi Chiari lebih dari 100 tahun yang lalu,
perbedaan ini tidak jelas. Saat ini kita meyakini
pada sebagian besar orang, turunnya tonsils
terjadi karena adanya rongga di tengkorak dimana
terdapat cerebellum dengan kedua tonsilnya
(kanan dan kiri), rongga tersebut terlalu kecil
untuk berkembangnya otak; dengan demikian,
tonsil "keluar" melalui foramen magnum.
Pada tahun 1890 Profesor Chiari pertama kali
mendiskripsikan kelainan yang saat ini kita kenal
sebagai Malformasi Chiari. Semua penelitiannya
dilakukan pada bayi yang lahir mati atau bayi
yang baru lahir, dan kelainan yang dia teliti
diklasifikasikan sesuai dengan tingkat keparahan
tonsillar and cerebellar descent, tipe I menjadi
tipe yang parah, tipe IV adalah tipe yang terparah.
Saat ini ada terdapat banyak pemahaman yang
lebih mengenai kondisi ini, tidak ada ukuran yang
kecil berdasarkan hasil MRI. Kita menyadari
adanya fakta bahwa Malformasi Chiari III and IV
benar-benar merupakan malformasi otak yang
parah dan bayi dengan masalah ini pada umumnya
tidak dapat bertahan lama setelah kelahirannya.
Fossa posterior atau ruangan infratentorial berisi
pons, medulla (brainstem) dan serebellum.
Dalam medulla terdapat serabut motoris dan
sensoris utama, nervus cranial, pusat-pusat
vital yang mengendalikan fungsi respirasi dan
kardiovaskuler, sistem aktivasi retikuler dan jalan
keluar cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid/
CSF) dari sistem ventrikuler serebri.1,2 Tumor
di daerah ini akan menekan dan menyebabkan
165
obstruksi CSF atau penekanan pada batang otak
pada stadium pertumbuhan tumor. Disebabkan
karena kecilnya ruangan fossa posterior, suatu
space occupying lesion (SOL) atau sedikit edema
akan menimbulkan gejala neurologis.2 Masalah
selama pembedahan adalah adanya pengaruh
pada fungsi pernafasan dan kardiovaskuler atau
saraf kranial dimana efek ini kadang-kadang
menetap sampai ke periode pascabedah, sehingga
memerlukan perawatan ICU. Operasi pada fossa
posterior mungkin tumor, aneurisma, dekompresi
saraf kranial. Obstruksi tumor pada aliran CSF di
ventrikel IV bisa menyebabkan hidrosefalus.1,3
Masalah anestesi pada operasi fossa posterior
adalah adanya bahaya emboli udara, stimulasi
batang otak dengan kemungkinan kerusakan
pusat-pusat vital dan saraf kranial, dan bahaya
yang dihubungkan dengan posisi pasien.1-3
Operasi fossa posterior terkadang membutuhkan
posisi pasien yang tidak umum, banyak digunakan
posisi prone, lateral, park bench, dan posisi
duduk. Pada posisi prone, ulserasi kulit wajah
dapat terjadi karena tekanan saat menggunakan
head rest, dan kebutaan dapat terjadi oleh karena
tekanan pada bola mata. Faktor-faktor resiko yang
berkaitan dengan posisi ini termasuk kehilangan
darah yang signifikan, anemia, dan hipotensi.4
II. Kasus
Anamnesa
Seorang wanita, Nn. U, usia 23 tahun datang ke
RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan
sering pusing dan nyeri tengkuk. Kondisi ini
sudah dirasakan sejak beberapa tahun terakhir
namun memberat dalam 3 bulan terakhir. Nyeri
yang dirasakan hilang timbul, kadang menetap.
Ketika nyeri tersebut timbul dapat mengganggu
aktivitas. Pada bulan Januari 2014 pasien
memeriksakan diri di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Setelah berkonsultasi dengan dokter
saraf, sempat diberi obat penghilang rasa sakit,
tapi tetap mengganggu aktivitas. Keluhan lain
yang dirasakan pasien adalah perkembangan ruas
jari kanan pasien sedikit lebih kecil dibanding
kiri, dan agak kesulitan mengangkat beban yang
terlalu berat, sehingga dilakukan pemeriksaan CTscan dan akhirnya MRI. Didapatkan kesimpulan
hasil berupa: Gambaran tonsil cerebelli dibawah
166
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
foramen magnum sejauh 25,5 mm sesuai
dengan gambaran “Malformasi Arnold–Chiari”.
Syrinx setinggi vertebra C2 s/d vertebra Th
1-12. Tidak ada keluhan kejang/batuk/muntah/
gangguan pendengaran/gangguan menelan.Tidak
didapatkan riwayat penyakit lain (asma, alergi,
hipertensi, diabetes melitus, sesak/biru sejak
kecil). Riwayat penyakit keluarga disangkal.
Riwayat operasi sebelumnya disangkal. Di RSUD
Dr. Soetomo disarankan untuk berkonsultasi
dengan dokter bedah saraf. Karena tempat tinggal
pasien di Cepu sehingga memutuskan berobat di
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta yang lebih
dekat dengan tempat tinggal pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan praoperasi (7 Februari 2014),
didapatkan: Pasien dengan berat badan 50 kg,
tinggi badan 156 cm, kesan status gizi cukup,
keadaan umum baik dan tidak tampak sesak,
kesadaran komposmentis, GCS E4V5M6, pupil
isokor diameter 3 mm/ 3 mm, reflek cahaya (+/+),
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86 x/menit,
laju napas 15 x/ menit, suhu afebril. Konjungtiva
anemis (-), sklera ikterik (-), napas cuping hidung
(-), tekanan vena jugularis tidak meningkat,
limfonodi leher tidak membesar. Gigi palsu dan
gigi goyah (-) dengan skor Mallampati 1.
Abdomen
Inspeksi
: Dinding perut sejajar dengan
dinding dada
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : CRT <2 detik
Oedem
: Superior (-/-); Inferior (-/-)
Akral dingin ; Superior (-/-); Inferior (-/-)
Lengan dan tangan kanan lebih kecil 20%
dibandingkan lengan dan tangan kiri
Sensorik
: Kanan sama dengan kiri
Motorik
: Lengan kanan 4 vs Lengan
kiri 5, Tungkai kanan 5 =
tungkai kiri 5
Thorax
: Bentuk dan ukuran normal,
retraksi intercostal (-)
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
:
:
:
:
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Bunyi jantung I – II normal,
intensitas normal, reguler,
bising (-).
: Pengembangan dada kanan =
dada kiri
: Fremitus dada kanan = dada
kiri
: Sonor – sonor
: SD vesikuler (+/+); ST
Ronkhi (-/-); ST Wheezing
(-/-)
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah (13 Februari 2012)
Hemoglobin
: 12,5 g/dl
Hematokrit
: 39%
Leukosit
: 8.000/ul
Trombosit
: 305.000/ul
Eritrosit
: 4,70 juta/ul
Gula darah sewaktu
: 148 mg/dl
Natrium
: 138 mmol/L
Kalium
: 3,9 mmol/L
Chloride
: 105 mmol/L
Golongan Darah
: AB
PT
: 11,4 detik
APTT
: 20,7 detik
INR
: 0,880
Albumin
: 4,8 g/dl
SGOT
: 19 u/l
SGPT
: 12 u/l
Ureum
: 16 mg/dl
Creatinin
: 0,5 mg/dl
MRI tanpa kontras (16 Januari 2014)
• Tampak tonsil cerebelli dibawah foramen
magnum sejauh 25,5 mm
• Tampak lesi fuiform beaded appearance di
myelum setinggi VC2 s/d Vth 11–12 yang
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
•
•
•
•
•
•
yang hipodens pada T1W1 dan hiperintens
pada T2W1
Alignment baik, curve normal. Tak tampak
listesis ataupun kompresi
Tak tampak perubahan intensitas bone
marrow
Tak tampak loss of intense pada discus
intervertebralis
Conu medularis berakhir pada L1 – L2
Tak tampak gambaran abses soft tissue
MR myelografi: Tak tampak hambatan
aliran liquor cerebrospinalis
Simpulan:
• Sesuai “Malformasi Arnold–Chiari” dengan
gambaran tonsil cerebelli dibawah foramen
magnum sejauh 25,5 mm.
• Syrinx setinggi VC2 s/d VTh 1-12.
kg) perlahan, lalu lidocaine 80 mg (1,5 mg/kg),
lalu propofol 50 mg (1mg/kgBB). Pelumpuh
otot menggunakan vecuronium 5 mg (0,1 mg/
kg BB). Dilakukan pemasangan ETT 7,0 non
kingking. Memastikan kedalaman ETT (level
21) dan dilakukan fiksasi. Rumatan anestesi
dengan sevoflurane 1 vol% dan O2: udara 1,5:
1,5. Analgetik fentanyl 25 mcg tiap 30 menit,
pelumpuh otot vecuronium 3 mg/jam. Setelah
terintubasi dilakukan pemasangan jalur infus
intravena di dorsum manus sinistra dengan kanul
intravena 18G terhubung dengan infus NaCl 500
ml (untuk mengantisipasi bila terjadi perdarahan)
dan pemasangan kateter urin. Lalu tanda vital
sementara dicopot untuk dilakukan pemindahan
dari brankar ke meja operasi.
Pasien diposisikan tengkurap (prone). Pemasangan
kembali bedside monitor. Setelah dilakukan
pemasangan doek steril diberikan fentanyl 25
Konsul Anestesi
Setuju penatalaksaan anestesi atas pasien Nn U
dengan “Malformasi Arnold– Chiari”, yang akan
dilakukan kraniotomi/osteotomi dekompresi
dengan status fisik ASA II.
Pengelolaan Anestesi
Perencanaan anestesi dilakukan dengan anestesi
umum dengan ETT respirasi kontrol dengan
teknik neuroanestesi dan dilakukan proteksi otak,
sedia darah sesuai operator, pascabedah di ICU,
disiapkan ventilator jika diperlukan, lakukan
informed consent, puasa 6 jam pre op, disertai
pemasangan IVFD RL 20 tetes per menit.
Pasien masuk ruang operasi pada jam 08.10,
dilakukan pemasangan EKG, saturasi oksigen
dan tekanan darah (pasien tetap di brankar).
Didapatkan data tanda vital:
Tekanan darah: 108/ 67 mmHg Denyut jantung:
85 x/ menit, Saturasi: O2 100%,E K G : S i n u s
rhythm
Pembiusan tetap dilakukan di kereta pendorong/
brankar pada jam 08.15. Kemudian pasien
diberikan sedasi dengan midazolam 0,05 mg/
kg (2,5 mg). Sambil diberikan loading NaCl
300cc. Mulai diberikan fentanyl 150 mcg (3 mcg/
167
Gambar 6. CT Scan Pasien
Gambar 7. Posisi Prone Pasien
168
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
mcg. Operasi dimulai pada pukul 09.00. Obat–
obatan yang diberikan selama operasi berupa
Fentanyl 25 mcg/30 menit sebanyak 3x, asam
tranexamat 1000 mg, dexketoprofen 50 mg dan
ondansetron 4 mg. Operasi dimulai pada pukul
08.30. Operasi berjalan selama 2 jam dan 45
menit, selesai pada pukul 11.15. Selama operasi,
kisaran tekanan darah 89/58 mmHg–108/67
(MAP 60–80) mmHg; denyut jantung 65–98 x/
menit; saturasi O2 99–100%. Perdarahan kira-kira
200 cc. Produksi urin 30cc/jam. Pasien dilakukan
prosedur osteotomi suboccipital. Diambilnya
tulang kurang lebih 1,5 cm untuk dekompresi.
Kemudian dilakukan observasi duramater kurang
lebih 30 menit. Prosedur operasi selesai pukul
11.15. Pascaoperasi pasien dilakukan early
extubation (Fast track), dengan extubasi dalam
dengan lidocaine 60 mg.
Jam II = (100 + 300) mL
= 400 mL
Jam III = (100 + 300) mL
= 400 mL
Ditambah keluaran urin dan perdarahan yang
terjadi selama operasi.
Perhitungan kebutuhan transfusi (BB 50 kg)
1. Estimated blood volume (EBV)
EBV= 65 ml/ kgBB x 50 kg = 3.250 mL
2. ABL = 20% x EBV= 650 mL
Perdarahan yang terjadi selama operasi < ABL,
tidak perlu transfusi.
Pada pukul 11.45 pasien selesai operasi lalu
dilakukan extubasi kemudian di bawa ke
ICU dengan instruksi pascabedah: periksa
laboratorium
darah
rutin
pascabedah,
analgetik pascabedah dexketoprofen/8 jam
dan paracetamol/8jam. Bila bising usus (+),
Pengelolaan Pascabedah
Perawatan pascabedah dilakukan di ruang ICU.
Kesadaran composmentis. Tanda vital stabil.
Suplementasi oksigen dengan nasal kanul
3 liter/menit. Analgetik pascabedah dengan
menggunakan dexketoprofen 50 mg/8 jam dan
paracetamol infus 1000mg/8jam. Fungsi motorik
dan sensorik kembali seperti sebelum operasi.
Perhitungan kebutuhan cairan perioperatif
(BB 50 kg)
Pengganti puasa
Pasien mendapatkan asupan oral terakhir 8 jam
sebelum operasi dimulai dan infus intravena telah
terpasang.
Pengganti puasa= 2 mL/ kgBB/ jam x 50 kg x 8
jam = 800 mL
Dari ruangan, kebutuhan pengganti puasa telah
diberikan sebanyak 1 kantung infus malam
sebelumnya, dan infus diganti pagi hari jam 5,
tersisa sekitar 200 mL. Sehingga diasumsikan
kehilangan cairan karena puasa preoperasi sudah
tergantikan.
Pemeliharaan
Pemeliharaan = 2 mL/ kgBB/ jam x 50 kg = 100
mL/ jam
Stres operasi besar = 6 mL/ kgBB/ jam x 50 kg
= 30 mL/ jam
Sehingga rencana pemberian cairan:
Jam I = (100 + 300) mL
= 400 mL
Gambar 8. Medan Operasi 1
Gambar 9. Medan Operasi 2
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
maka boleh minum sedikit demi sedikit.
III. Pembahasan
Gejala Arnold Chiari Malformation antara
lain nyeri kepala, kelelahan, kelemahan otot
(kelemahan dimulai dari lengan tangan kemudian
berjalan sesuai dengan arah jarum jam), kesulitan
menelan, pusing, mual, gangguan koordinasi,
dan pada kasus-kasus yang berat, juga dapat
menyebabkan paralisis. Pada pasien ini hanya
didapatkan nyeri kepala disertai atrofi pada
ruas jari kanan dan kelemahan lengan kanan
dibandingkan kiri. Dari pemeriksaan CT Scan
dan MRI didapatkan kesimpulan hasil berupa:
Gambaran tonsil cerebelli dibawah foramen
magnum sejauh 25,5 mm sesuai dengan gambaran
“Malformasi Arnold–Chiari”. Syrinx setinggi C2
s/d Th 1–12.
Arnold Chiari malformasi sendiri terdiri dari
4 tipe. Klasifikasi pada pasien ini termasuk
Arnold Chiari Malformasi tipe I. Arnold Chiari
malformasi merupakan kelainan di fossa posterior.
Hasil pemeriksaan darah pascaoperasi:
Laboratorium darah pasca operasi (07 Februari
2014 jam 15.00)
Hemoglobin : 12,1 g/dl
Hematokrit : 38%
: 11.200/ul
Leukosit
: 282.000/ul
Trombosit
: 4,55 juta/ul
Eritrosit
: 138 mmol/L
Natrium
: 3,9 mmol/L
Kalium
: 110 mmol/L
Chloride
: 7,383
PH
: - 3,6
BE
: 35,3
PCO2
: 238
PO2
: 21,4
HCO3
: 99,4
Saturasi
Follow Up hari ke -1 di ICU
: Tidak ada
Kel
: Baik, Kes: CM, GCS 15
KU
: tensi 110/70, HR 82 x/menit
VS
RR
VAS
169
: spontan 18x/menit, Nasal
kanul O2 2 lpm
: 2
Pemeriksaan fisik
: anemis (-)
Mata
: cor dan pulmo dbn
Thoraks
: BU(+) normal, supel
Abdomen
Ekstremitas : edema (-)
Pasien dapat pindah perawatan di ruangan
Masalah anestesi pada operasi fossa posterior
adalah adanya: bahaya emboli udara, stimulasi
batang otak, kemungkinan kerusakan pusat-pusat
vital dan saraf kranial, bahaya yang dihubungkan
dengan posisi pasien. Untuk prosedur pada pasien
ini dilakukan posisi prone. Prosedur untuk Chiari
Malformation dapat dikelompokkan menjadi 4
Group antara lain: dekompresi, drainase syrinx,
terminal ventrikulostomi, aspirasi perkutaneous
syrinx. Pada pasien ini dilakukan dekompresi
dengan cara osteotomi suboccipital.
Pengelolaan Anestesia
Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan
premedikasi. Premedikasi yang berat harus
dihindari pada pasien dengan hidrocephalus
dan peningkatan tekanan intrakranial. Selama
membuka tulang tengkorak dan hindari
pemakaian N2O, gunakan ventilasi kendali.2,3,9
Harus ada monitor untuk mendeteksi emboli udara
dan mendeteksi kerusakan pusat-pusat vital dan
nervus cranialis. Pemakaian Doppler dan ET CO2
dipertimbangkan untuk pemakaian minimum.10
Teknik anestesi yang baik untuk operasi otak:
mempertahankan CPP yang baik, relaksasi otak
yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.2,3 Hipotermia ringan (34–36
o
C) harus selalu dijaga selama operasi. Teknik
hipotermia ringan ini bisa memberikan dampak
yang bagus bagi perkembangan otaknya selama
operasi.9 Penempatan retraktor dekat batang otak
dapat menimbulkan perubahan irama dan tekanan
darah.1 Stimulasi batang otak dan nervus kranialis
mempunyai efek yang dramatis. Hipertensi hebat
terjadi akibat stimulasi nervus kranialis V, daerah
170
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
periventrikuler substansia grisea, formasio
retikularis, nukleus traktus solitarius. Bradikardia
terjadi akibat stimulasi nervus vagus. Hipotensi
terjadi akibat penekanan medulla oblongata
dan pontin. Ventrikuler dan supra ventrikuler
aritmia terjadi akibat stimulasi struktur batang
otak. Persiapan dengan atropin atau glikopirolat
kadang diperlukan.1,9 Bangun dari anestesi harus
tenang, batuk dan mengejan karena adanya pipa
endotrakeal dapat menyebabkan perdarahan
intrakranial. Untuk mencegah mengejan dan
batuk dapat diberikan lidokain 1,5 mg iv.4,9
Pemeriksaan Prabedah
Biasanya pasien dengan SOL pada fossa posterior
sensitif terhadap depresi respirasi karena narkotik,
juga sensitif terhadap sedatif dan tranquilizer,
maka premedikasi dengan sedatif harus minimal.
Obat-obat sedasi dan depresi respirasi lebih baik
dihindari sebelum pasien betul-betul diawasi
oleh anesthesiologist.1,3,9 Kontrol jalan nafas dan
sistem respirasi harus dikaji. Pasien mungkin
akan merasa disfagi, disfungsi laringeal,
ketidakteraturan pola napas. Pada beberapa kasus
sering terjadi aspirasi.9 Pasien pada umumnya
menderita sakit kepala, muntah tapi gejala
tersebut sering berkurang dengan penggunaan
steroid. Mungkin diperlukan premedikasi dengan
antiemetik.1 Untuk menentukan apakah pasien
dapat diekstubasi atau tidak, tidak selalu mudah.
Pada umumnya, jika pasien komposmentis pada
periode prabedah dan operasinya superfisial
dan tanpa banyak traksi pada batang otak, maka
ekstubasi diperkirakan aman bila dilakukan di
kamar operasi. Tetapi bila sebaliknya, operasinya
dalam, banyak traksi pada batang otak, ada
bahaya terjadi apnea dan penurunan sensorium
dengan penurunan refleks jalan nafas, pasien
harus diintubasi dan diventilasi sampai bahaya
terlewati.1 Manajemen anestesi pada pasien di atas
pada prinsipnya sama dengan kasus neuroanestesi
yang lain. Hal ini disebutkan sebagai ABCDE
Neuroanestesi, yaitu1:
Airway
Jalan napas harus bebas sepanjang waktu, karena
bila terjadi hipoksia dan atau hiperkarbia, maka
aliran darah akan meningkat. Sebaiknya dipilih
pipa endorakheal non kinking dengan ukuran
terbesar yang bisa masuk.
Breathing
Ventilasi kendali dengan target PaCO2 30–35
mmHg untuk operasi tumor dan normokapnea
(PaCO2 35–45 mmHg) pada kasus trauma, PaO2
100–200 mmHg. Hindari PaCO2 <20 mmHg
karena: (1) sedikit pengaruhnya pada aliran darah
(2) untuk mencapai PaCO2 <20 mmHg dibutuhkan
ventilasi semenit yang tinggi, sehingga tekanan
vena sentral meningkat yang akan menyebabkan
peningkatan volume darah dan tekanan di dalam
sistem saraf pusat (3) vasokonstriksi sehingga
dapat terjadi iskemia.
Circulation
Pengendalian tekanan darah merupakan faktor
yang penting karena saat induksi dapat terjadi
hipotensi. Pada pasien yang sebelumnya tekanan
darahnya normal, lebih disukai sistolik sekitar
90-100 mmHg.
Drugs
Pemilihan obat dan keterampilan dokter
anestesi sangat penting karena cedera sekunder
dapat terjadi sebagai akibat tindakan anestesi.
Sebaiknya dipakai obat yang punya efek proteksi
otak/sistem saraf pusat.
Environment
Pengaturan suhu dengan cara mengatur suhu inti
35 0C saat operasi dan menjadi 36 0C pascabedah.
Monitoring
Dikarenakan komplikasi dari operasi posterior
sangatlah besar terutama emboli maka sebaiknya
invasif monitor dan ET CO2 terpasang tetapi tidak
dilakukan karena masalah fasilitas namun anestesi
tetap meminimalisir kejadian tersebut dengan
terus memonitor hemodinamik dan dilakukan
pemeriksaan analisa gas darah. Perhatian posisi
prone pada pasien ini tidak kalah penting antara
lain dengan meminimalkan cedera pasien yaitu
pemakaian benda lunak untuk melindungi wajah,
lengan, lutut. Serta pemantauan hemodinamik
akibat perubahan posisi ini. Untuk menghindari
cedera akibat tekanan, maka digunakan penahan
kepala khusus dan bagian wajah dialasi dengan
Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari
balon berisi air. ETT dipastikan tidak kinking
dan guedel tetap terpasang. Karena kami tidak
memberikan antisialogogue maka diinsersikan
kasa lembab untuk meresap lendir dari kavitas
oral. Pascaoperasi dan ketika pasien sudah bisa
diajak berkomunikasi, pasien tidak mengeluhkan
adanya perubahan atau gangguan penglihatan
pascaoperasi. Juga tidak didapatkan adanya injuri
tekan pada tubuh pasien.
Posisi prone menyebabkan sisi bedah terletak
lebih tinggi daripada jantung, hal ini menyebabkan
mudah masuknya udara ke sistem sirkulasi.
Deteksi emboli udara ini secara legeartis dapat
dideteksi dengan alat Doppler Precordial. Alat ini
mampu mendeteksi gelembung udara di sirkulasi
bahkan pada volume hanya 1 cc. Selain precordial
Doppler, bisa juga digunakan kapnograf. Jika
terjadi penurunan end tidal CO2 menunjukkan
udara yang memasuki sirkulasi paru. Namun
penurunan et CO2 ini tidak spesifik karena bisa
juga disebabkan oleh hal lain. Masuknya udara ke
sirkulasi paru akan meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis yang sesuai dengan ukuran emboli
yang terjadi. Cara yang paling sensitif adalah
menggunakan transesofageal ekokardiografi.
171
fentanyl 25 mcg intermiten tiap 30 menit.
Perdarahan durante operasi kurang lebih 200 cc,
hemodinamik stabil. Tidak dilakukan tranfusi
pada pasien ini. Kami kesulitan mengambil
sampel untuk analisa gas darah durante operasi
dikarenakan posisi pasien prone. Terapi dari
malformasi pada pasien ini dilakukan osteotomi
dekompresi untuk mengurangi sempitnya ruangan
dari foramen magnum. Setelah tulang terangkat,
dilakukan observasi kondisi parenkim otak dan
duramater. Operator mengobservasi kurang
lebih selama setengah jam, dan diputuskan tidak
dilakukan sayatan pada duramater.
Emergens
Pada pasien ini dilakukan ekstubasi segera karena
memenuhi syarat antara lain: kesadaran prabedah
adekuat, operasi otak terbatas, tidak ada laserasi
otak yang luas, bukan operasi fossa posterior
yang mengenai syaraf IX dan XII, bukan reseksi
AVM yang besar, temperatur normal, oksigenasi
normal, kardiovaskuler stabil.
Perawatan pascaoperasi di ICU, hemodinamik
stabil dengan hasil analisa gas darah baik. Dirawat
di ICU selama 24 jam, dan dipindah ke ruangan.
Prainduksi dan Induksi
Prainduksi diberikan midazolam 2,5 mg
untuk mengurangi kecemasan pasien, sambil
dilakukan preoksigenasi. Sebelum pasien
diintubasi, diberikan fentanyl 150mcg secara
pelan-pelan dan lidocain 80 mg untuk meredam
gejolak hemodinamik. Digunakan pelumpuh
otot vecuronium 0,1 mg/kg. Intubasi dilakukan
setelah tekanan darah menurun kira-kira 20%
dari tekanan awal, relaksasi otot adekuat, dan
dengan kombinasi obat-obat tersebut diatas pada
umumnya tekanan darah tidak terlalu turun (asal
sebelumnya normovolemia) dan tidak naik saat
intubasi
Pascabedah
Komplikasi yang dihubungkan dengan operasi
fossa posterior: perdarahan atau pembengkakan
akut dari struktur struktur fossa posterior harus
dipikirkan bila pasien tidak bangun dari anestesi.
Adanya vasospasme atau hidrosephalus akibat
obstruksi akut perlu dipertimbangkan setelah
operasi aneurisma serebral atau ventrikel
IV. Bisa juga terjadi epidural atau subdural
hematom akibat bridging vena di dura akibat
dekompresi yang cepat dari hidrosefalus pada
tumor fossa posterior. Burr hole dan fiksasi
pin bisa menyebabkan sumber dari perdarahan
supratentorial. Pneumocephalus sering terjadi
setelah operasi dengan posisi duduk.1
Rumatan
Pemilihan obat sebaiknya yang punya efek paling
kecil atau tidak mempengaruhi autoregulasi dan
respon terhadap CO2, mempertahankan kestabilan
kardiovaskuler. Rumatan anestesi dengan inhalasi
sevoflurane 1–1,5%, oksigen + udara: 1,5+1,5,
tanpa pemakaian N2O. Durante operasi diberikan
Pasien yang manifest dengan gejala disfungsi n.
Cranialis umumnya karena pembengkakan dan
retraksi selama operasi. Kerusakan N. IX dan X
dapat dilihat dari kehilangan kemampuan menelan
dan batuk yang efektif selama pascabedah,
sehingga bisa terjadi aspirasi.9
Bila selama operasi ada retraksi batang otak
172
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
atau diseksi dekat n. cranialis, maka pada
periode pascabedah pipa endotrakeal tetap
dipertahankan sampai pasien benar-benar sadar
dan mampu menunjukkan refleks jalan nafas
yang adekuat.1,4,9 Meningitis aseptis, terlihat
dengan adanya peningkatan suhu tubuh, nuchal
rigidity ringan, leosyntesis CSF, lebih sering
terjadi setelah operasi fossa posterior daripada
operasi intrakranial yang lain.1
Simpulan
Operasi pada fossa posterior harus dilakukan
dengan cermat dan hati-hati mengingat komplikasi
yang terjadi lebih besar yang berkaitan dengan
emboli udara, kerusakan saraf, dan bahaya posisi
pasien selama operasi. Maka dari itu prinsipprinsip neuroanestesia harus dilakukan dengan
baik. Pemantauan fungsi motorik dan sensorik
pasien sebelum dan setelah dilakukan prosedur
dekompresi harus selalu diamati.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung:
Olah Saga Citra; 2011
2. Porter SS, Sanan A, Rengachary SS. Surgery
and anesthesia of the posterior fossa. Dalam:
Albin MS, ed. Textbook of Anesthesia with
Neurosurgical and Neuroscience Pespective.
New York: The McGraw-Hill Companie;
1997, 971–1008
3. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesi and
Neurosurgery. Fourth Edition. Philadelphia:
Mosby; 2001, 319–35
4. Pederson DS, Petefreund RA. Anesthesia
for posterior fossa surgery. Dalam:
Newfield P, Cotrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia. Fifth edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2012, 136–47.
5. Batzdorf U, Benzel EC, Ellenbogen RG,
Ferrante FM, Green BA, Menezes AH, et
al. Chiari malformation and Syringomyelia
a Handbook for Patients and their Families;
2008, 5–33
6. Yassari R, Frim D. Evaluation and
management of the Chiari. Pediatr Clin N
Am 2004;51: 477– 90
7. Longnecker DE. Anesthesiology. New York:
The McGraw-Hill Companies;2008, 470–2
8. Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. Anesthesia
in prone position. Br J Anesth 2008; 100(2):
165–83
9. Duffy C. Anesthesia for posterior fossa
surgery. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner
JM, eds. Textbook of Neuroanesthesia and
Critical Care. London: Greenwich Medical
Media Ltd. 2000, 267–80
10. Feldstein
N.
Pediatric
neurosurgery
chiari malformation, diakses
http: //
cpmcnet.columbia.edu/dept/nsg/PNS/
ChiariMalformation.html (1 of 2) [5/24/1999
4:44:18 PM]
Awake Craniotomy pada Biopsi Steriotaktik Tumor Supratentorial
di daerah Thalamus Dextra et causa Suspect Thalamic Glioma
Muhammad Dwi Satriyanto*), Siti Chasnak Saleh**)
*)Departement Anestesi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau, **)Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Awake craniotomy merupakan suatu prosedur yang banyak digunakan pada kasus-kasus intrakranial dengan
berbagai tujuan, yang memungkinkan dapat menentukan lokasi kelainan di otak yang akurat dan meminimalkan
risiko cedera neurologis selama tindakan. Peran anaesthesiologist adalah untuk memberikan analgesia dan
sedasi yang memadai sambil mempertahankan ventilasi dan stabilitas hemodinamik pada pasien yang sadar dan
harus kooperatif selama tindakan berlangsung. Seorang wanita berusia 32 tahun dengan tumor supratentorial
at region thalamus dextra et causa suspek thalamic glioma untuk dilakukan tindakan steriotaktik biopsi dengan
Awake craniotomy. Pada pemeriksaan ditemukan keluhan sulit berjalan sejak 4 tahun karena sisi tubuh bagian
kiri lemah, bicara cedal, mulut mencong ke kanan, kejang pada kepala dan mata sebelah kiri. Pasien dirujuk
karena muntah hebat dan sakit kepala hebat 1 minggu terakhir, kesadaran komposmentis, GCS E4M6V5.
Paresenerves VI kanan-kiri, parese nerves VII sinistra sentral. Pemeriksaan laboratorium, ECG dan foto thorak
tidak didapatkan kelainan, sedangkan pada MSCT kepala didapat kan adanya massa berbatas tidak tegas, dinding
tidak teratur dengan kalsifikasi minimal di thalamus kanan disertai edema perifokal kemungkinan suatu low grade
astrocytoma dan hydrocephalus obstruksi. Tindakan biopsi steriotaktik terhadap tumor supratentorial ini dilakukan
dengan tehnik anestesi awake craniotomy dengan obat dexmedetomidin, propofol dan fentanyl. Pengawasan
pasien di ruang pemulihan selama 4 jam.Setelah Modified Aldrete score 9–10, pasien dipindahkan ke ruangan.
Kata Kunci: tumor supratentorial, awake craniotomy, dexmedetomidin, propofol, fentanyl
JNI 2014;3 (3): 173‒79
Awake Craniotomy in Stereotactic Biopsy for Supratentorial Tumors
at Thalamus Dextra Region et causa Suspect Thalamic Glioma
Abstract
Awake craniotomy is a procedure that is widely used in intracranial procedures with a variety purposes, which
also allows an accurate localization of abnormalities in the brain, and to minimize the risk of neurological injury.
Anaesthesiologist role is to provide adequateanalgesia and sedation while maintaining ventilation and hemodynamic
stability in patients that still conscious and cooperative during the surgery. A 32years old woman with supratentorial
tumor at theright thalamus with suspected thalamic glioma. Stereotactic biopsy was performed under awake
craniotomy.She was sufferedwith difficulty in walking for 4 years due to weakness of the left side of the body,slurred
talking, and lopsided mouth to the right, withspastic on the head and left eye. She was referred because of severe
vomiting and headaches since 1 week, but still fully alert withGCS E4M6V5. She had bilateral nerve VI and central
of left nerve VIIpareses. Her laboratory examinations, ECG and thoracic images were normal, whereas MSCT
showeda mass with not firm verge, irregular wall with minimal calcification in the right thalamus and perifocaledema,
suggested as a low grade astrocytoma and hydrocephalus obstruction. Stereotactic biopsy of supratentorial tumors
was performed under awake craniotomy with dexmedetomidine, propofol and fentanyl. The patient was observed
at the PACU for 4 hours, and after Modified Aldrete score reached 9–10, the patient was transferred to the ward.
Key words: supratentorial tumors, awake craniotomy, dexmedetomidine, propofol, fentanyl
JNI 2014;3 (3): 173‒79
173
174
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa operasi untuk intractable
epilepsi dilakukan pada pasien yang sadar atau
terjaga dibeberapa bagian dari prosedur tindakan,
hal ini dilakukan untuk memfasilitasi pemetaan
kortikal dan dapat melakukan tindakan eksisi
pada focus epileptogenik dengan aman. Walaupun
awake craniotomy untuk tindakan pengangkatan
tumor otak masih kurang umum dilakukan namun
saat ini semakin sering dilakukan. Sementara itu
dengan ketersediaan alat modern yaitu dengan
paduan system frameless stereotactic dan
neuronavigation telah dapat melokalisasi tumor
intraoperatif menjadi lebih tepat, namun hal ini
juga masih tidak dapat menggantikan pengujian
neurologis intraoperatif dengan pasien yang
sadar.1-2 Teknik anestesi untuk awake craniotomy
telah berkembang selama bertahun-tahun dan
saat ini dilakukan dengan anestesi lokal dan
sedasi atau anestesi umum dengan pasien
bangun saat intraoperatif. Tantangan manajemen
anestesi pada awake craniotomy adalah dengan
membuat pasien agar cukup nyaman untuk tetap
bergerak selama prosedur dan belum cukup
mengetahui dan kooperatifnya pasien saat
dilakukan pengujian neurologis selama tindakan
pembedahan. Ketersediaan obat anestesi dengan
kerja singkat telah meningkatkan penggunaannya
oleh dokter spesialis neuroanestesi dalam
manajemen perioperatif untuk tindakan ini.3-4
II. Kasus
Wanita berusia 32 tahun dengan dengan tumor
supratentorial at region thalamus dextra et causa
suspect thalamic glioma akan dilakukan tindakan
stereotaktik biopsi dengan awake craniotomy.
Anamnesis
Pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan
sulit berjalan sejak 4 tahun. Sulit berjalan ini
terjadi perlahan, awalnya kaki kiri diseret,
namun saat ini pasien tidak bisa berjalan sama
sekali disertai dengan kelemahan lengan kiri,
bicara cedal, mulut mencong ke kanan, pasien
juga pernah mengalami kejang, rasa baal tidak
ada. Sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit
pasien mengeluh muntah hebat dan sakit kepala
sehingga pasien dibawa kerumah sakit. Saat
pemeriksaan prabedah pasien tidak mengeluh
sakit kepala lagi, tidak ada kejang selama
perawatan, tetapi masih mengeluh lemah pada
sisi tubuh bagian kiri. Tidak ada riwayat trauma.
Tidak didapatkan riwayat penyakit sistemik
lainnya dan tidak ada riwayat operasi sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik
Didapatkan pasien tampak sakit sedang, dengan
berat badan 50 kg, kesadaran composmentis
dengan kontak baik, GCS E4M6V5, pada
pemeriksaan mata pupil isokor dengan diameter
pupil kanan 4mm dan pupil kiri 4mm dan reflek
cahaya baik pada kedua mata, namun didapatkan
kesan adanya parese nervus VI mata kanan dan
kiri, parese nervus VII sinistra central. Pada
respirasi didapatkan suara nafas vesikuler kanan
kiri, tidak ditemukan adanya ronki dan mengi,
laju nafas 20 kali permenit, pulse saturasi
oksigen 99% dengan udara ruangan. Pemeriksaan
pada jantung didapatkan S1–2 normal, murmur
dan gallop tidak ada, tekanan darah 130/80
mmHg, laju nadi 76 kali permenit. Pemeriksaan
ekstremitas didapatkan motorik atas kanan 4
dan kiri 3, sedangkan pada pemeriksaan motorik
bawah kanan 4 dan kiri 3, pemeriksaan tonus
dalam batas normal, sedangkan pada pemeriksaan
sensibilitas dalam batas normal.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah didapatkan kadar
hemoglobin 13,7g/dL, hematokrit 41%, hitung
leukosit 6.400/mm3 dan trombosit 187.000/mm3,
Na 138mEq/L, Kalium 3,2 mEq/L, Chlorida
106 mEq/L, Calsium 8,91 mg/dL, Magnesium
1,81mg/dL, Glukosa 137 mg/dL, PT 14,2 detik,
INR 1,14 detik, aPTT 24,9 detik, Ureum 19,
Creatinin 0,51, Albumin 3,7.
Pemeriksaan penunjang foto thorak didapatkan
kesan jantung dan paru dalam batas normal tidak
tampak metastase intrapulmonal. Pemeriksaan
EKG didapatkan irama sinus dengan laju jantung
82 kali permenit. Kesimpulan hasil MSCt kepala
didapatkan adanya massa berbatas tidak tegas,
dinding tidak teratur dengan kalsifikasi minimal
di thalamus disertai dengan edema perifokal,
kesimpulan sugestif suatu low grade astrocytoma
Awake Craniotomy pada Biopsi Steriotaktik Tumor Supratentorial
di daerah Thalamus Dextra et causa Suspect Thalamic Glioma
dan hidrocephalus obstruksi.
Pengelolaan Anestesia
Pada praanestesi, pasien disiapkan untuk tindakan
awake craniotomy dengan obat dexmedetomidin,
propofol, fentanyl, obat dan alat untuk persiapan
anestesi umum bila awake craniotomy mengalami
hambatan dan obat-obat darurat. Sebelum
dipasang head frame, pasien diberikan midazolam
1mg intravena dan infiltrasi lidokain pada tempat
pemasangan pin dari head frame. Pasien tiba di
kamar bedah 10.40 wib, pasien diposisikan supine
dengan slight head-up, pasien telah terpasang
infus dengan cairan NaCl 0,9% pada tangan
kiri, kemudian dipasang monitor standar yaitu
EKG, tensimeter kontinyu setiap 5 menit, pulse
oksimetri, oksigen kanul 2 liter permenit, tidak
dipasang kateter urine. Dilakukan pemeriksaan
tanda vital awal dengan tekanan darah 125/85
mmHg, nadi 80 kali permenit, pulse saturasi O2
didapatkan 99%, pada gambaran EKG irama
sinus. Disiapkan syringe pump yang digunakan
untuk dexmedetomidin (konsentrasi 4µg/cc)
dengan syringe 25 cc, dihubungkan dengan three
way stopcock ke infus. Kemudian diberikan
loading dose dexmedetomidine 1µ/kgbb (12mL)
selama 15 menit hingga pasien tampak tertidur
(Ramsay 2–3), kemudian dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 0,2–0,7 µg/kgbb/jam. Selama
pemberian dexmedetomidine ini dilakukan
pemantauan ketat hemodinamik.
Setelah dilakukan loading dexmedetomidine,
175
diberikan dosis rumatan 0,7 µg/kgbb/ jam, namun
setelah 5 menit berjalan didapatkan tekanan
darah dan laju jantung turun menjadi 66 kali
permenit, lalu dosis dexmedetomidin diturunkan
menjadi 0,4 µg/kgbb/jam, namun dalam 5 menit
pemantauan didapat laju jantung cenderung tetap
turun sampai 57 kali permenit dan kembali dosis
dexmedetomidin diturunkan kembali sampai
0,15 µg/kgbb/jam, dan setelah dosis ini laju
jantung kembali stabil normal menjadi. Jam
11.15 wib, dilakukan infiltrasi lokal anestesi
dengan bupivacain 0,25% ditambah adrenalin
1/200,000 unit, diinfiltrasikan pada daerah yang
akan dilakukan insisi. Saat dilakukan insisi kulit
kepala, penderita masih mengeluh nyeri, maka
ditambahkan fentanyl 1 µg/kgBB perlahan. Jam
11.35 wib dilakukan bor tulang kepala, pasien
merasa tidak nyaman dan agak kesakitan, maka
diberikan propofol 20 mg iv perlahan dan fentanyl
1µg/kgBB iv perlahan, dosis dexmedetomidin 0,2
µg/kgBB/jam, didapatkan hemodinamik stabil
dengan tekanan darah 120/80 mmHg, dan laju
jantung 64 x/mnt, saturasi oksigen 99%. Pada
jam 12.00 wib, saat dilakukan penusukan trocath
melalui lubang yang telah dibuat tadi, pasien
gelisah dan mengeluh kesakitan, maka diberikan
kembali propofol 20 mg iv perlahan, didapatkan
hemodinamik yang stabil dengan tekanan darah
115/75 mmHg, laju jantung 70 x/menit, saturasi
oksigen 99%, Ramsay 2. Selama prosedur
berlangsung kesadaran dan hemodinamik
dipantau secara berkala. Jam 12.10 wib, sebagian
Gambar 1. MSCt Kepala dari Tumor
176
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 2. Pemantauan Tekanan Darah, Saturasi selama Tindakan Berlangsung
Gambar 3. Saat tindakan berlangsung (stereotactic biopsy)
tumor telah selesai diaspirasi untuk biopsi.
Hemodinamik stabil dan infus dexmedetomidine
0,6 µg/kgBB/jam. Dilakukan jahit duramater,
evaluasi perdarahan, dosis dexmedetomidin di
turunkan bertahap sampai 0,15/kgbb/jam. Jam 12.25 wib operasi selesai, dimana kondisi
pasien sadar, tidak ada gangguan anggota gerak,
nyeri dengan VAS 2, lalu pasien diberikan
metamizol 1 gram iv. Hemodinamik stabil dengan
tekanan darah 110/62 mmHg, laju jantung 75x/
menit dan saturasi oksigen pulse 100% dengan
binasal kanul 2 liter permenit.Total pemakaian
dexmedetomidin 104 µg atau 26 cc, fentanyl
100 µg, propofol 40 mg. Operasi berlangsung
selama 2 jam 40 menit, kemudian pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan diobservasi
selama 4 jam, setelah modified Aldrete score
tercapai 10, kemudian dipindahkan ke ruangan.
III. Pembahasan
Awake craniotomy pada operasi tumor saat ini
menjadi lebih popular, hal ini memungkinkan
dilakukan pemetaan otak dan memfasilitasi
untuk dilakukanya pengangkatan tumor secara
maksimal dengan penurunan risiko morbiditas
neurologis. Pada pengangkatan tumor otak
yang agresif menawarkan banyak keuntungan,
termasuk peningkatan diagnose yang akurat,
mengurangai tekanan intrakranial, mengurangi
besarnya tumor sebagai awal untuk tambahan
terapi dan penurunan differensiasi ke kelas yang
lebih rendah. Ada data yang menunjukkan adanya
peningkatan lama bertahan hidup rata-rata dan
Awake Craniotomy pada Biopsi Steriotaktik Tumor Supratentorial
di daerah Thalamus Dextra et causa Suspect Thalamic Glioma
timbulnya kekambuhan dikemudian hari, namun
hal ini harus pikirkan terhadap kemungkinan
terjadinya perubahan defisit neurologis.
Pengangkatan tumor dekat dengan daerah korteks
yang penting dapat sangat aman dikerjakan pada
pasien yang sadar, karena hal ini memberikan
umpan balik terus menerus pada ahli bedah saraf
mengenai integritas fungsi neurologis. Penilaian
terhadap fungsi neurologis ini juga memfasilitasi
dilakukannya tindakan eksisi tumor.1-2 Tindakan
anestesi pada awake craniotomy memberikan
suatu tantangan tersendiri dan pemilihan pasien
merupakan hal yang sangat penting karena tidak
semua pasien dapat menjalani tindakan awake
craniotomy, kebingungan, penurunan tingkat
kesadaran dan komunikasi yang sulit (misalnya
disfasia atau hambatan bahasa) serta kecemasan
yang ekstrim merupakan kontraindikasi terhadap
tindakan awake craniotomy. Lama tindakan
sekitar 4 jam dan karenanya kemampuan pasien
untuk berbaring diam dalam jangka waktu yang
lama harus dipertimbangkan.2-3 Stereotaktik
biopsi merupakan suatu prosedur invasif minimal
bedah saraf yang dilakukan untuk mengetahui
diagnosis dari lesi tumor atau hal lain di dalam
otak atau yang diatasnya diliputi otak. Hal ini
hanya dimaksudkan sebagai prosedur diagnostik.
Modalitas lainnya termasuk pengangkatan bedah
penuh, radiasi dan/atau kemoterapi mungkin juga
tindakan awake craniotomy ini.1,4
Pasien yang mengalami sleep apnea obstruktif
terjadi pada pasien sangat gemuk dan pasien
dengan tumor pembuluh darah yang besar
atau tumor yang melibatkan duramater secara
signifikan dapat memberikan tantangan tambahan
bagi dokter sepsialis anestesi. Setiap adanya
defisit neurologis dan masalah medis harus
diidentifikasikan selama kunjungan prabedah.
Pasien juga harus diberitahu tentang kerumitan
dan tuntutan dari awake craniotomy. Perlu
dibentuk suatu hubungan yang baik antara dokter
spesialis anestesi dengan pasien. Tanda-tanda
dan gejala yang mungkin menunjukkan bahwa
pasien mengalami kejang harus diperhatikan dan
obat-obatan seperti steroid dan antikonvulsan
harus tetap dilanjutkan Tindakan awake
craniotomy menambah stres tambahan bagi
177
pasien dan seluruh tim operasi sehingga semua
persiapan harus diselesaikan sebelum pasien tiba
di ruang operasi. Semua team harus menyadari
kehadiran pasien yang sadar dengan beri tanda
pada semua pintu masuk diruang dan kebisingan
harus hindari. Gerakan team operasi harus
dibatasi dan suasana yang tenang dipertahankan.
Jika perlu bantal ekstra, headrest dengan kasur
yang empuk dan lembut harus tersedia untuk
menjamin kenyamanan pasien selama operasi.
Pemantauan rutin tekanan darah tidak invasif,
elektrokardiogram dan pulse oksimetri sangat
penting. Pemantauan kapnograf juga berguna,
terutama sebagai memantau tingkat pernapasan
dan kecukupan ventilasi, karena bila terjadi apnea
atau obstruksi saluran napas dapat dideteksi oleh
hilangnya jejak pada kapnografi. Kehilangan
darah umumnya tidak signifikan dan pemasangan
kateter vena sentral tidak perlu, Sedangkan
pemasangan kateter urin juga tidak rutin
dilakukan guna meminimalkan ketidaknyamanan
pasien, namun harus dipertimbangkan juga untuk
dipasang jika diperkirakan operasi akan terjadi
lebih lama atau jika ada kemungkinan besar
penggunaan diuretic selama operasi. Penggunaan
neuronavigation memerlukan penempatan kepala
pasien dalam sistem tengkorak yang kaku dengan
pemasangan pin fiksasi sehingga pemberian
anestesi lokal harus dilakukan sebelum pin
tersebut di pasang.
Tambahan analgesia intravena dan sedasi
kadang-kadang diperlukan selama pemberian
anestesi lokal infiltrasi, karena hal ini dapat sangat
menyakitkan pasien, biasanya tindakan anestesi
lokal infiltrasi pada kulit kepala ini dilakukan
oleh ahli bedah saraf. Obat anestesi lokal kerja
lama seperti bupivakain dan ditambah adrenalin
sering digunakan. Lignocaine/lidokain dapat
diberikan pada daerah yang masih menimbulkan
sakit selama prosedur berlangsung seperti pada
duramater. Banyak teknik sedasi telah dijelaskan
untuk tindakan awake craniotomy, pemberian
dan dosis obat sangat bervariasi dan harus
diberikan secara titrasi dan sesuai kebutuhan
masing-masing pasien. Obat anestesi yang kerja
singkat sangat disukai karena dapat memberikan
kondisi yang baik dimana pasien masih tetap
sadar saat dilakukan penilaian neurologis.
178
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Dahulu digunakan bolus intermiten fentanyl dan
droperidol namun saat ini kombinasi propofol dan
fentanil atau remifentanil ini sering digunakan.
Dexmedetomidine adalah agonis adrenoreseptor
α2 selektif. Tidak seperti opioid dan propofol,
dexmedetomidine telah terbukti mempunyai
sifat sebagai obat penenang dan analgesia
tanpa menyebabkan depresi pernafasan yang
signifikan. Pemberian dexmedetomidine juga
dapat mengurangi penggunaan obat anestesi lain.
Pasien yang dianestesi dengan dexmedetomidine
mengamali sedasi yang nyaman dan mudah
dibangunkan dengan rangsang verbal. Hal
inilah yang membuat dexmedetomidine sering
digunakan pada tindakan awake craniotomy.
Namun efek samping yang umum terjadi adalah
hipotensi dan bradikardia.6-10
Pasien yang menjalani kraniotomi sering
mengalami mual dan muntah, hal ini terjadi
karena adanya rangsangan pada saat manipulasi
duramater, lobus temporal dan pembuluh
meningeal. Suatu penelitian melaporkan
insiden terjadinya mual muntah pascabedah
setelah awake craniotomy selama operasi
tumor kurang terjadi dibandingkan dengan
tindakan anestesi umum, mereka mengatakan
juga bahwa penggunaan propofol juga efektif
untuk digunakan sebagai antiemetik, selain
itu hindari dosis tinggi penggunaan opioid.
Pada kasus ini, pasien telah dilakukan awake
craniotomy dengan pertimbangan bahwa tindakan
yang dilakukan hanya untuk menentukan jenis
tumor atau sebagai prosedur diagnostik dengan
durasi operasi 2–4 jam. Selama operasi, pasien
cukup tenang dan kooperatif. Evaluasi jalan nafas
menjadi perhatian utama karena lokasi yang akan
sulit untuk dijangkau. Dengan manipulasi alat
dan sarana diupayakan agar muka dan jalan nafas
pasien tetap lapang dan secara visual tidak ada
halangan. Suasana kamar operasi yang dingin juga
menjadi perhatian sehingga dilakukan pemberian
selimut dan meningkatkan suhu kamar operasi.
Pemberian midazolam sebelum pemasangan
frame dimaksudkan sebagai ansilolitik atau
penenang dan pasien masih tetap sadar
serta lebih kooperatif, dosis yang diberikan
merupakan dosis premedikasi untuk ansiolitik
sehingga tidak menyebabkan hipoventilasi yang
dapat mengakibatkan terjadinya hiperkapnia.
Dexmedetomidin digunakan pada tindakan
ini karena beberapa alasan seperti dijelaskan
sebelumnya, dan pada kasus ini dexmedetomidine
dipakai sebagai obat utama dengan fentanyl
sebagai rescue analgesia, ternyata cukup
memberikan hasil yang baik. Respon bradikardi
tampak beberapa kali terjadi pada pasien ini,
tetapi pasien masih tetap bernafas spontan,
tekanan darah relatif stabil, saturasi oksigen
baik, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis
dexmedetomidine sampai tercapai denyut jantung
yang diharapkan.9,10 Pemakaian analgetik opioid
tidak dilakukan secara kontinyu untuk mengurangi
efek mual-muntah yang mungkin terjadi.
Pemakaian anestesi lokal pehacaine saat sebelum
pemasangan pin, berguna untuk mengurangi
nyeri dan kandungan epinefrin bertujuan untuk
vasokonstriksi lokal sebagai hemostasis lokal.
Pemakaian bupivacaine 0,25% untuk insisi
kulit kepala untuk membantu penanganan
nyeri dengan durasi kurang lebih 4 jam
dan ditambahkan lagi sesaat akan menutup
kulit untuk penanganan nyeri pascabedah.
Pada saat prosedur berlangsung, propofol
beberapa kali digunakan seperti saat tindakan
berlangsung, seperti saat dilakukan bor dan
penusukan dura dengan trochart. Pemberian
propofol bertujuan untuk menambah kedalam
sedasi, namun pemberian propofol ini harus
dilakukan perlahan atau titrasi sampai tercapai
Ramsay 2, tujuan pemberian titrasi ini adalah
mencegah jangan sampai pasien apnoe.
Pascabedah pasien diobservasi di ruangan
pemulihan dan selama di ruang pemulihan
pasien tetap sadar baik, orientasi baik, nyeri
minimal dengan nilai Visual Analog Scale/
VAS 2 dan tidak ada mual dan muntah.
IV. Simpulan
Awake craniotomy merupakan salah satu
prosedur anestesi yang telah berkembang
pesat sejak awal diperkenalkan seiring dengan
kemajuan teknologi kedokteran, keterampilan
dokter bedah saraf dan dokter spesialis anestesi.
Prosedur ini memerlukan kerjasama dari pasien,
karena dilakukan suatu test selama pembedahaan
Awake Craniotomy pada Biopsi Steriotaktik Tumor Supratentorial
di daerah Thalamus Dextra et causa Suspect Thalamic Glioma
berlangsung. Awake craniotomy menjamin masa
pemulihan yang cepat dengan evaluasi secara dini
fungsi neurologis pasien. Dengan masa pemulihan
yang cepat, rawat inap di rumah sakit juga singkat
sehingga dapat mengurangi beban biaya maupun
mengurangi risiko infeksi yang didapat di rumah
sakit. Pemakaian kombinasi dexmedetomidine,
fentanyl, propofol dan anestesi lokal memberikan
hasil yang cukup baik dengan sedikit komplikasi.
Daftar Pustaka
1. Koenig HM. Anesthesia for awake
intracranial procedures. Dalam: Lake
CL, Johnson JO, McLoughin TM, editor.
Advances in Anesthesia. Philadelphia:
Mosby Elsevier, Inc; 2006, 127–48
2. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy,
epilepsy, minimal invasive, and robotic
surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL,
editor. Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier, Inc; 2010, 296–302.
3. Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman
E.
Neuroanestesi.
Bandung;
Bagian
Anestesiologi dan Reanimasi FK UNPAD/
RS Hasan Sadikin: 1997.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical
179
Anesthesiology, 4th ed. New York: A Lange
Medical Books; 2006, 631–40.
5. Sarang A, Dinsmore J. Anaesthesia for awake
craniotomy-evolution of technique that
facilitates awake neurological testing. Br J.
Anaesth 2003; 90(2): 161–65.
6. Ard JL, Bekker AY, Doyle WK.
Dexmedetomidine in awake craniotomy: a
technical note. Surgical Neurology 2003; 63:
114–17.
7. Skucas AP, Artru AA. Anesthetic
complications of awake craniotomies for
epilepsy surgery. Anesth Analg 2006; 102:
882–7.
8. Blanshard HJ. Awake craniotomy for removal
of intracranial tumor: considerations for early
discharge. Anesth Analg 2001;92: 89 –94.
9. Bhana N, Goa KL, Mc Clellan KJ.
Dexmedetomidine. Drugs. Adis International
2000;59(2): 263–68.
10. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidin
in anesthesiology. Rev Bras Anestesiol
2003;53(1): 97–113.
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk Operasi Meningioma
Foramen Magnum
Riyadh Firdaus*), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi – Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Pemantauan neurofisiologis intraoperatif (Intraoperative neurophysiological monitoring/IONM) pada operasi yang
rentan mencederai saraf sangat penting untuk menunjang proses keputusan medis intraoperatif dan pada akhirnya
mengurangi angka morbiditas. Operasi meningioma foramen magnum sangat berisiko cedera saraf dan morbiditas
sehingga menjadi kandidat yang cocok untuk penggunaan IONM. Cakupan manajemen anesthesia pada operasi
yang menggunakan IONM adalah pertimbangan tentang pilihan dan dosis obat anestesia yang digunakan serta
perhatian terhadap kestabilan homeostasis pasien. Pemahaman yang baik oleh dokter bedah, anestesi dan neurologi
akan membuat tindakan operasi berjalan dengan lancar dan mencegah terjadinya komplikasi intra dan pascaoperasi.
Seorang wanita umur 39 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala belakang sejak 2 bulan yang lalu. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien di diagnosis tumor meningioma pada regio
foramen magnum. Pasien dilakukan operasi kraniotomi removal tumor dengan panduan IONM dalam posisi park
bench. Lama operasi kurang lebih 14 jam. Pascaoperasi pasien tidak dilakukan ekstubasi dan dirawat di ICU sehari.
Kata kunci: anatomi foramen magnum, IONM, posisi park bench, bispectral index
JNI 2014;3 (3): 180‒88
Intraoperative Neurophysiological Monitoring (IONM) during Anesthesia for Meningioma
Foramen Magnum Surgery
Abstract
Intraoperative neurophysiological monitoring (IONM) in a surgery that is prone to neuronal injury is very useful
to guide intraoperative decision makings and to reduce morbidity. Foramen magnum tumor surgerycarries
a very high risk for neuronal injury, and thereforeapplication of IONM would be advantageous. The termsof
anesthetic management in IONM-guided-surgery are the selection of anesthetic agents with limitation of the
dosageswhileremain focusingon stability of patient’s homeostasis. A thorough understanding and communication
among surgeon, neurologist and anesthesiologist are important to createan uneventful procedure and to reduce
intra and postoperative complications.A 39 years old female with severe headache for 2 months was diagnosed
with meningioma at foramen magnum based on history, physical examination, and advanced examination
procedures. The patient was underwent tumor removal guided by IONM on park bench position. The duration
of surgery was 14 hours. The patient was not extubatedpostoperatively and admitted to ICU for a day.
Key words: foramen Magnum, IONM, park bench position, bispectral index
JNI 2014;3 (3): 180‒88
180
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk
Operasi Meningioma Foramen Magnum
I. Pendahuluan
Monitoring
neurofisiologis
intraoperatif
(intraoperative neurophysiological monitoring/
IONM) merupakan metode yang digunakan untuk
memonitor integritas fungsional dari sebuah
struktur neural tertentu (saraf, spinal cord dan
bagian dari otak) selama pembedahan.1 Manfaat
monitoring ini sangat penting untuk menunjang
proses keputusan medis intraoperatif dan pada
akhirnya mengurangi angka morbiditas.2 Tumor
foramen magnum merupakan tumor yang
sangat unik dan membutuhkan manajemen
serta tatalaksana yang khusus.3 Hal tersebut
disebabkan oleh letak foramen magnum yang
secara anatomis berada dekat dengan medula
oblongata, persarafan kranial bawah dan arteri
vertebralis. Sesuai dengan keunikan tersebut,
maka tatalaksana tumor foramen magnum
memerlukan perhatian khusus antara lain
dengan penggunaan monitoring neurofisiologis
intraoperatif.4 Meningioma merupakan tumor
ekstra-aksial dari sistem saraf pusat yang berasal
dari sel arakhnoid duramater. Jumlah insiden
per tahun tumor ini adalah 6 per 100.000 orang,
sebagian besar terjadi pada populasi berusia 50
hingga 60 tahun dan sangat jarang terjadi pada
anak-anak.5 Sebagian besar meningioma bersifat
jinak, memiliki kecepatan pertumbuhan yang
lambat, sering terjadi pada wanita dan keturunan
Afrika.
Perbandingan penderita tumor ini antara pria dan
wanita sebanding dengan peningkatan insiden
meningioma pada wanita postmenopause yang
mendapatkan terapi sulih hormon. Meningioma
merupakan salah satu keganasan yang cukup
sering terjadi dan memiliki prevalensi 14,3%–
19% dari semua tumor intrakranial. Dari
sebagian besar meningioma, hanya 1,8% hingga
3,2% yang merupakan tumor foramen magnum.
Meningioma merupakan tumor yang paling
sering diobservasi yang merupakan 70% dari
semua tumor jinak.Hampir sepanjang waktu
meningioma hanya melibatkan bagian intradural.
Sebanyak 10% tumor ini dapat mencapai
ekstradural, sedangkan sebagian besar adalah
tumor intra dan ekstradural dan hanya sebagian
kecil yang meliputi keseluruhan ekstradural.6 Lesi
181
pada meningioma ini sering ditemukan dengan
ukuran yang besar, kecepatan pertumbuhan
yang sangat lambat, tingkat kesulitan diagnosis
mengakibatkan jangka waktu yang cukup panjang
antara diagnosis dan gejala awal yang timbul pada
pasien. Metode diagnosis yang sering digunakan
untuk meningioma adalah dengan menggunakan
contrast–enhanced computerized tomography
(CT-scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI). Imaging dengan menggunakan MRI
lebih diunggulkan dibandingkan dengan CT-scan
karena resolusi yang lebih tajam, tidak adanya
artefak tulang dan penguatan kontras yang intens
pada tumor.3,6
Berdasarkan letak tumor, risiko pada pasien
dengan meningioma serta gejala neurologis yang
timbul, reseksi dengan pembedahan tumor pada
sebagian besar kasus merupakan tindakan kuratif.
Pada kasus yang memiliki risiko tinggi untuk
dilakukan pembedahan sehingga reseksi yang
dilakukan tidak lengkap, maka angka kekambuhan
dan agresivitas tumor menjadi lebih tinggi, selain
itu juga diperlukan radioterapi sebagai bagian
dari manajemen.4-6 Tindakan anestesi pada
operasi tumor foramen magnum memiliki hal
yang khusus. Beberapa tindakan tersebut adalah
pengaturan posisi pasien, pemasangan alatalat (central venous catheter, arterial line, dan
pressure monitoring kit), penggunaan bispectral
index (BIS) untuk monitoring kedalaman
anestesia dan tidak digunakannya relaksan
kontinyu seperti pembedahan bedah saraf pada
umumnya dikarenakan penggunaan alat IONM
untuk mencegah terjadinya cidera saraf kranial.
II. Kasus
Ny S, perempuan, 39 tahun dengan keluhan utama
nyeri pada kepala sejak kurang lebih 6 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri terutama
dibagian belakang kepala, dirasakan berdenyut
dan hilang timbul. Keluhan tersebut diatas tidak
berkurang walaupun penderita telah minum obat
penghilang rasa sakit. Mual muntah tidak ada,
kejang tidak ada dan gangguan menelan tidak ada.
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Riwayat
alergi obat ada yaitu griseofulvin, membuat
gatal dan merah-merah seluruh badan. Riwayat
182
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
sakit asma, diabetes mellitus tidak ada, riwayat
hipertensi ada sejak 2 tahun yang lalu, tekanan
darah tertinggi 160/90 mmHg, saat ini sekitar
140/90 mmHg terkontrol dengan obat amlodipin
1 x 5mg per oral. Riwayat penyakit jantung, paru,
kuning, kejang, dan pingsan tidak ada. Riwayat
nyeri dada dan sesak nafas tidak ada, New York
Functional Class I. Saat ini demam, batuk, dan
pilek tidak ada. Gigi goyang dan palsu tidak ada.
Pemeriksaaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tampak kesadaran
komposmentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 95 x/mnt, laju napas 18kali/mnt, suhu 36,8
o
C, berat badan 75 kg, tinggi badan 147 cm, BMI
34,7 kg/m2. Periksaan mata didapatkan pupil
isokor 4 mm: 4 mm, reflek cahaya +/+, lain-lain
dalam batas normal.
Disimpulkan pasien dengan status fisik ASA II
dengan peningkatan tekanan intrakranial kronis,
hipertensi terkontrol TD/140/90 mmHg, Terapi
Amlodipin 1x 5mg P, dan obesitas BMI 34,7 kg/
m2. Rencana anestesia dengan anestesia umum
inhalasi dengan kombinasi anestesia intravena.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil
pemeriksaan darah seperti dibawah ini.
WBC
HGB
HCT
PLT
Albumin
:
:
:
:
:
8740K/µL
12,4gr%
37,3%
503K/µL
4,5gr/dL
Pengelolaan Anestesi
Persiapan di kamar operasi dilakukan dengan
memposisikan pasien tidur telentang diatas
meja operasi, kemudian dilakukan pemasangan
elektrode EKG dan manset tekanan darah serta
pulse oksimeter. Tekanan darah praoperasi
150/90 mmHg, nadi 95 x/menit. Premedikasi
midazolam 2 mg dan fentany l200µg intravena.
Anestesia dimulai pukul 06:00 WIB dengan
induksi anestesia dengan propofol 100mg secara
intravena, pelumpuh otot untuk intubasi dengan
atrakurium 50 mg intravena. Laringoskopi
intubasi dengan pipa endotrakea tipe non kinking
ukuran ID7, 5, cuff (+) dan pemasangan selang
nasogastrik. Pemeliharaan anestesia dengan
isoflurane 0,8 vol%, dengan O2 dan udara FiO2
40%, drip propofol 2,5 mg/kg/jam, dan fentanyl
5 mcg/kg/jam. Arterial line dan CVC dipasang,
diikuti dengan pemasangan IONM oleh dokter
neurologi. Pengaturan posisi park bench dilakukan
bersama-sama antara dokter anestesiologi,
operator dan neurologi. BIS dipasang setelah
posisi stabil dan nilai BIS dipertahankan antara
50–60 untuk memfasilitasi kualitas IONM yang
diharapkan tanpa mengganggu jalannya anestesia
dan operasi.
Operasi mulai pukul 09.27 sampai pukul 20:30
WIB. Durante operasi tekanan darah berkisar
antara 90–120 mmHg sistolik dan 85–50 mmHg
diastolik, nadi antara 80–60x/menit.
BT
: ’30”
Ureum
CT
: 9’00” Creat
PT/APPT : 1/1,1x SGOT
SGPT
:
:
:
:
24mg/dL
1,1mg/dL
19 IU/L
6 IU/L
Na+
: 145mmol/L
K+
: 4,23 mmol/L
Cl: 103,4 mmol/L
Rontgen thorak
: cor dan pulmo dalam batas normal
MRI kepala dengan kontras: massa ekstraaksial hipervaskular di region foramen magnum–
medulla oblongata ukuran 2,5x1,93x1,72 cm.
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk
Operasi Meningioma Foramen Magnum
183
Pada pukul 10:45 WIB manitol diberikan 75 gram
drip IV sebelum duramater dibuka. Pada pukul
13:30WIB, tekanan darah turun 90/50 mmHg,
dilakukan pemasangan dopamin 5µg/kg/menit
dan pemberian darah PRC satu kantong (216 ml).
Dopamine distop setelah satu jam pemberian,
tekanan darah saat itu 120/80 mmHg.
Pada pukul 16:15 WIB relaksan atrakurium
diberikan 10 mg setelah IONM tidak dibutuhkan
lagi. Total perdarahan adalah ±1000 ml. Total
produksi urin adalah ±2500 ml. Total cairan:
koloid 1000ml, kristaloid 2500ml, transfusi
PRC 2 kantong (419 ml). Operasi selesai pukul
20:30 WIB dan pasien ditransport ke ICU tanpa
dilakukan ekstubasi. Pasien diesktubasi keesokan
harinya dan pindah ke ruangan setelah hari
perawatan ICU kedua. Pasien dirawat di ruangan
selama seminggu untuk pemulihan luka dan
rehabilitas medik. Setelah beristirahat selama
sebulan di rumah pasien kembali bekerja seperti
biasa.
III. Pembahasan
Penatalaksanaan pada tumor foramen magnum
merupakan tindakan yang sangat menantang
baik dari segi pembedahan maupun pengelolaan
anestesinya. Foramen magnum yang merupakan
suatu ruang yang menghubungkan medula
oblongata dan medula spinalis mempunyai
struktur yang vital bagi otak yaitu beberapa
saraf kranialis dan arteri vertebralis. Oleh sebab
itu dibutuhkan pemahaman mengenai anatomi
foramen magnum, peralatan monitoring yang
digunakan, serta manajemen anestesia pada
tumor foramen magnum.
Anatomi
Batasan Foramen Magnum
Meningioma foramen magnum didefinisikan
sebagai meningioma yang tumbuh berasal dari
duramater. Sehingga tidak termasuk tumor yang
berasal dari luar duramater yang meluas menuju
duramater.7 Batasan anatomis foramen magnum
adalah sebagai berikut dari sisi anterior, batasannya
yaitu sepertiga clivus dan batas atas C2, dari
bagian lateral batasannya adalah tuberkel jugular
dan batas atas lamina C2, dari arah posterior
Gambar 1. Foramen Magnum
batasannya merupakan bagian tepi anterior dari
tulang occipital squamosal dan prosesus spinalis.
Lower Cranial Nerves
Empat saraf kranial/cranial nerves (CN)
bagian bawah yang melintasi foramen
magnum merupakan persarafan yang harus
dilindungi dan dipertahankan tetap utuh selama
pembedahan sehingga morbiditas neurologis
akibat pembedahan dapat dihindari.6,7 Empat
saraf tersebut adalah saraf glossofaringeal (CN
IX), vagus (CN X), aksesorius (CNXI) yang
berasal dari akar dari sulkus postolivari dan akan
bergabung dengan foramen jugular, melewati
bagian ventral ke plexus choroidales dan keluar
dari foramen Luschka dan bagian dorsal menuju
ke arteri vertebralis. Saraf hipoglosus (CN XII)
yang berasal dari akar dari sulkus preolivari.
Saraf tersebut akan berjalan secara anterolateral
pada ruang subarakhnoid dan melewati bagian
belakang arteri vertebralis hingga mencapai
kanal hipoglosus. Sangat jarang terjadi, arteri
vertebralis akan memisahkan akar dari CN XII.
Persarafan saraf aksesorius terdiri dari akar
yang berasal dari medula dan spinal cord. Akar
persarafan medula bagian atas akan berjalan
secara langsung menuju ke foramen jugular.
Bagian utama dibentuk dari akar tulang belakang
yang akan bergabung ke atas melalui foramen
magnum berjalan di belakang ligament dentata
dan bersatu dengan akar dari medulla bagian
184
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
atas. Anastomosis dengan akar dorsal dari saraf
servikal bagian atas sering terjadi yang dengan
C1 akan menjadi akar saraf yang terbesar.
Segmen Arteri Vertebra (VA), V3 dan V4
Pembedahan pada kasus meningioma di
daerah foramen magnum tidak terpisahkan
dengan pembedahan arteri vertebralis. Bahkan
pendekatan pembedahan sangat terkait dengan
arteri vertebra, segmen V3 dan reseksi dari lesi
itu sendiri berhubungan dengan arteri vertebra
dan segmen V4.6,7 Segmen VA V3 juga dikenal
dengan segmen suboksipital yang berasal dari
prosesus transversus C2 menuju duramater
foramen magnum dimana kemudian akan berubah
menjadi segmen V4 ketika melewatinya.
Pendarahan Duramater Foramen Magnum
Terdapat empat pembuluh darah meningeal yang
memperdarahi duramater foramen magnum,
bagian anterior dan posterior dari arteri
meningeal VA dan cabang meningeal dari arteri
faringeal ascending dan oksipital. Jarang sekali,
percabangan meningeal berasal dari posterior
inferior cerebellar artery (PICA), arteri spinal
posterior dan segmen VA V4. Percabangan
meningeal anterior yang merupakan cabang
paling utama, berasal dari VA pada level C2–C3.
Arteri meningeal posterior berasal dari aspek
posterosuperior VA ketika berputar mengelilingi
masa lateral dari atlas, diatas arkus posterior
atlas, tepat sebelum melakukan penetrasi ke
dura, atau tepat pada permulaan segmen V4.6,7
Arteri faringeal asending merupakan cabang
dari arteri karotis eksternal, yang mengakibatkan
cabang meningeal melakukan penetrasi ke kanal
hipoglosus dan foramen jugular. Percabangan
meningeal dari arteri oksipital inkonsisten dan
melewati foramen emissary mastoid.6,7
Teknik pembedahan
Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan
pembedahan yang umumnya digunakan dalam
melakukan reseksi meningioma foramen
magnum. Pendekatan tersebut antara lain dengan
pendekatan midline posterior, pendekatan
posterolateral dan pendekatan anterolateral.6,8
Seperti yang dijelaskan oleh Rhoton, pendekatan
postero-lateral atau far lateral approach
merupakan pendekatan subocipital lateral yang
ditujukan di belakang otot sternokleidomastoideus
dan VA serta medial terhadap occipital dan
kondilus Atlanta serta sendi atlanto-ocipital.9
Pendekatan anterolateral atau pendekatan ekstrim
lateral merupakan pendekatan lateral ke dalam
bagian anterior otot sternokleidomastoideus dan
di belakang vena jugularis interna sepanjang
bagian depan dari VA. Pada kenyataannya,
kedua pendekatan memungkinkan pengeboran
kondilus occipital namun menyediakan tampilan
yang berbeda karena terdapat perbedaan arah
pendekatan.
Gambar 2. Sistem Klasifikasi Meningioma Foramen Magnum
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk
Operasi Meningioma Foramen Magnum
Gambar 3. Posisi Park Bench
Posisi Pembedahan (Park Bench Position )
Posisi dalam pembedahan merupakan salah satu
hal yang perlu diperhatikan dalam prosedur
reseksi meningioma foramen magnum.10 Pada
pembedahan reseksi meningioma foramen
magnum terdapat dua posisi pembedahan yang
sering digunakan yaitu posisi duduk dan Park
Bench. Pada posisi duduk, segmen sefalik dari
meja operasi ditinggikan. Kepala pasien dalam
posisi fleksi dan diputar kearah sisi lesi agar
memungkinkan visualisasi langsung dan akses
terhadap lesi. Aliran balik vena dijaga dengan
cara kaki dibalut dengan elastic bandage,
panggul dan lutut dalam keadaan fleksi dengan
meja ditempatkan pada posisi trendelenburg.
Posisi pasien dan mikroskop harus diuji terlebih
dahulu sebelum dilakukan draping sehingga ahli
bedah lebih nyaman dalam melakukan operasi.
Sedangkan pada posisi Park Bench, pasien
diposisikan secara lateral dengan sebuah roll
dibawah axilla. Kepala sedikit fleksi dan diputar
menuju kearah lantai. Bahu dijaga agar tetap
berada diluar lapangan operasi dengan strapping.
Meja operasi dapat diputar sedikit bila diperlukan
untuk menjaga kesejajaran dengan tumor.
Intraoperative Neurophysiological Monitoring
(IONM)
Tujuan dari IONM adalah mengurangi risiko
pasien untuk terkena kerusakan iatrogenik
pada sistem saraf pusat serta menyediakan
acuan fungsional kepada ahli bedah pada saat
pembedahan.1,2
185
Gambar 4. Intraoperative Neurophysiological
Monitoring (IONM)
Neuromonitoring meliputi berbagai modalitas
elektrofisiologis seperti extracellular single
unit dan local field recordings, somatosensory
evoked potentials (SSEP), transcranial electrical
motor evoked potentials (TCeMEP), electro
encephalography (EEG), electro miography
(EMG) dan Auditory brainstem response
(ABR).1,11 Teknik IONM ini secara signifikan
mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas
tanpa meningkatkan risiko, sehingga secara
keseluruhan dapat mengurangi pembiayaan
kesehatan.1
Seorang neurofisiologis akan menghubungkan
sistem komputer dengan pasien dengan
menggunakan stimulasi dan elektroda perekam.
Program komputer interaktif akan bekerja
dalam sistem yang melakukan dua tugas yaitu
mengaktifkan elektroda stimulasi dengan waktu
yang tepat dan memproses dan menampilkan
sinyal elektrofisiologis pada saat bersamaan
dengan sinyal tersebut diterima oleh elektrode
perekam. Operator sistem ini dapat mengawasi
dan merekam sinyal elektrofisiologis secara
realtime pada area operasi selama pembedahan.
Sinyal elektrofisiologis ini akan berubah atau
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain zat
anestesia, suhu jaringan, tahapan pembedahan
dan stres pada jaringan. Beberapa contoh alat
IONM adalah EEG dan EMG. Pengukuran EEG
dilakukan selama dilakukan anestesia akibat
adanya perubahan pola pada EEG seiring dengan
bertambah dalamnya anestesia.11 Perubahan
186
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ini tampak pada pola gelombang dengan
perlambatan frekuensi yang diikuti dengan
peningkatan amplitude sehingga akan mencapai
puncaknya saat pasien kehilangan kesadaran.
Saat kedalaman anestesia bertambah, EEG akan
menunjukkan gelombang ritmik yang terputus,
amplitude yang tinggi, amplitude isoelektrik
yang rendah atau aktivitas flat line. Berbagai
pendekatan analisis sinyal telah dilakukan untuk
menerjemahkan perubahan pola gelombang
sehingga dapat menunjukkan hilangnya loss
of recall, loss of consciousness dan kedalaman
anestesia.12 Monitor telah dikembangkan dengan
berbagai algoritma untuk analisis sinyal, namun
hingga saat ini belum ada yang terbukti akurat.
EMG digunakan untuk monitoring persarafan
kranial pada dasar otak dan monitoring pada akar
persarafan serta untuk pembedahan di daerah
spinal.
Bispectral Index (BIS)
Monitor bispectral index menunjukkan penilaian
secara real time pada electroencephalography
(EEG), yang dihasilkan dari gelombang
frontotemporal. Monitor akan mengeluarkan
angka dengan skala kontinu dari 0–100, dengan
100 menunjukkan aktivitas elektrik kortikal
yang normal dan 0 mengindikasikan ketiadaan
aktivitas listrik kortikal.13 Pengaruh adanya
neuropatologi sebelumnya pada nilai BIS
hingga kini masih belum diketahui. Sedangkan
Gambar 5. Bispectral Index (BIS)
dengan adanya sinyal EEG, dapat mengganggu
penilaian dan mempengaruhi nilai BIS.
Mengingat tidak terdapat baku emas yang dapat
dibandingkan dengan BIS maka berbagai studi
yang dilakukan terhadap nilai BIS memiliki
variasi intepretasi yang sangat beragam. Studi
yang telah dilakukan menghasilkan panduan
yang menyatakan nilai BIS pada pasien yang
dilakukan anestesia umum berkisar 45–60.
Nilai BIS <60 intraoperasi menunjukkan
kemungkinan recall post operasi sangat rendah.13
Fase hubungan antara komponen gelombang dari
berbagai frekuensi yang berbeda yang merupakan
komponen dari EEG tidak turut diperhitungkan
dengan penghitungan analisis power spektral
tradisional. Analisis Bispectral menggabungkan
antara analisis daya secara tradisional dengan
pemeriksaan dari fase hubungan ini. Sejumlah
subparameter EEG lain untuk menghasilkan
kombinasi pelengkap yang diturunkan dari EEG
yang tidak terkoordinasi. BIS dikembangkan
dengan merekam data EEG dari manusia
dewasa yang sehat yang mengalami transisi
berulang antara kesadaran dan ketidaksadaran,
menggunakan beberapa regimen anestesia yang
berbeda. Data mentah EEG ditandai berdasarkan
berbagai nilai akhir yang bervariasi.13
Manajemen Anestesia
Anestesia pada tumor foramen magnum
mempunyai beberapa hal khusus yang harus
diperhatikan. Beberapa hal tersebut berkaitan
dengan posisi operasi, obat-obat yang digunakan,
pemantauan intraoperasi, serta komplikasi yang
dapat terjadi. Pembedahan pada tumor foramen
magnum memerlukan posisi pasien yang tidak
umum dilakukan. Pada laporan kasus diatas,
operasi dilakukan dengan posisi park bench. Posisi
lain yang dapat digunakan adalah posisi duduk,
namun posisi duduk mempunyai komplikasi
yang sering terjadi yaitu emboli udara vena.
Penggunaan obat anestesia pada tumor foramen
magnum untuk premedikasi dan induksi anestesia
memiliki kesamaan pada operasi bedah saraf pada
umumnya. Namun penggunaan obat anestesia
pada pemeliharaan intraoperasi memiliki hal yang
khusus. Obat pelumpuh otot hanya digunakan
untuk fasilitasi intubasi dan selama pemeliharaan
obat pelumpuh otot tidak digunakan. Hal ini
Pemantauan Neurofisiologis Intraoperatif selama Anestesia untuk
Operasi Meningioma Foramen Magnum
berkaitan dengan digunakannya alat intraoperatif
neurofisiologi monitoring (IONM) oleh dokter
neurologi agar mencegah cidera saraf kranialis
yang berada disekitar foramen magnum. Obat
yang digunakan untuk menjaga kedalaman
anestesia
adalah
dengan
menggunakan
kombinasi gas sevofluran dan propofol intravena
serta penggunaan fentanyl drip. Pemantauan
intraoperasi untuk memantau kedalaman
anestesia dengan menggunakan bispectral index
(BIS). BIS dipertahankan nilainya sekitar 50–
60 membuat kedalaman anestesia yang cukup
namun tidak mengganggu pemantauan IONM
selama intraoperasi. Komplikasi yang dapat
timbul dari operasi foramen magnum antara lain
cidera saraf kranialis, trauma medula oblongata
dan spinalis serta perdarahan arteri vertebralis.
Disfungsi saraf kranialis umumnya karena
pembengkakan dan retraksi selama operasi.
Kerusakan nervus IX dan X dapat dilihat dari
kehilangan kemampuan menelan dan batuk yang
efektif selama pascabedah. Post operasi untuk
menentukan pasien dilakukan ekstubasi atau
tidak bukan perkara yang mudah. Pada umumnya,
jika pasien komposmentis pada periode prabedah
dan intraoperasinya tidak banyak traksi pada
batang otak, maka pasien diperkirakan bisa untuk
dilakukan ekstubasi. Akan tetapi jika intraoperasi
banyak traksi pada batang otak akan membuat
terjadinya apneu dan penurunan sensorium
dengan penurunan reflek jalan nafas, sehingga
pasien tersebut harus diintubasi sampai bahaya
tersebut dilewati. Pada pasien ini tidak dilakukan
ekstubasi untuk memastikan benar-benar kondisi
pasien aman untuk dilakukan ekstubasi.
Pada pasien didapatkan oedem pada tangan
kanan, wajah dan mata dikarenakan posisi
operasi yang ekstrim (park bench). Postoperasi
pasien dirawat di ICU dan diberikan sedasi
dengan propofol intravena 100mg/jam sampai
dipastikan aman untuk dilakukan ekstubasi. Hasil
lab post operasi DPL:13,4/39/19550/442000,
SGOT/SGPT: 41/29, Ur/Cr: 22/0, 5, Pt/Aptt:
1/1, 1x, Na/K/Cl: 142/3,8/101, GDS: 250. Pasien
diberikan terapi clear fluid 30 cc/jam sampai
makan cair 70cc/jam, ringerfundin 20 cc/jam,
propofol 100mg/jam, cefazolin 2x2 gram (P1),
OMZ 2x40mg, deksametason 4x5 mg, tramadol
187
3x100mg, ondansetron 2x8 mg, ketorolak 3x30
mg. Keesokan harinya pasien dilakukan ekstubasi
dengan sebelumnya dilakukan leak test untuk
memastikan tidak terjadinya sumbatan jalan
nafas akibat oedem pada laring.
IV. Simpulan
Monitoring
neurofisiologis
intraoperatif
sangat berguna untuk meningkatkan presisi
pembedahan dan menghindari kerusakan saraf
kranial serta medula spinalis pada operasi
meningioma foramen magnum. Teknis anestesia
yang memperhatikan efek obat-obat anestesia
dan perubahan homeostasis pasien terhadap
monitoring neurofisiologis turut menyertai
faktor-faktor lain yang terkait dengan kekhususan
operasi ini. Beberapa faktor tersebut adalah posisi
operasi, obat-obat yang digunakan, pemantauan
intraoperasi (selain IONM), serta komplikasi
yang dapat terjadi. Posisi operasi yang bisa
digunakan dalam operasi tumor foramen magnum
adalah posisi duduk dan posisi park bench. Posisi
park bench lebih sering digunakan operator
dibandingkan posisi duduk karena posisi duduk
memiliki komplikasi yang sering terjadi yaitu
emboli udara vena. Alat yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kedalaman anestesia selama
operasi berlangsung ialah dengan menggunakan
Bispectral Index (BIS). Dibutuhkan kerjasama
dokter bedah saraf, neurologi dan anestesia
agar operasi berjalan lancar serta mengurangi
morbiditas dan mortalitas terhadap pasien yang
memiliki tumor foramen magnum.
Daftar Pustaka
1. Sabbagh AJ, Al Yamany M, Bunyan RF,
Takrouri MSM, Radwan SM. Neuroanesthesia
management of neurosurgery of brain stem
tumor requiring neurophysiology monitoring
in an IMRI OT setting. Saudi Journal of
Anaesthesia 2009; 3:91–3.
2. Sloan TB, Jameson L, Janik D. Evoked
potentials. Dalam: Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia. 2010;
7: 115–130.
188
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
3. Boulton MF, Cusimano MD. Foramen
magnum
meningioma:
concepts,
classifications and nuances. Neurosurg
Focus. 2004;14;1–8.
4. Tsao GJ, Tsang MW, Mobley CB, Cheng
WW. Foramen magnum meningioma:
dysphagia of atypical etiology. JGIM. 2007;
206–9.
5. Geetha L, Radhakrishan M, Raghavendra BS,
Rao U, Devi BI. Anesthetic management for
foramen magnum decompression in a patient
with morquio syndrome: a case report. J
Anesth. 2010;24; 594–7.
6. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee
WK, Burger PC, Jouvet A, Scheithauer BW,
et al The 2007 WHO classification of tumours
of central nervous system. Acta Neurophatol.
2007;114; 97–109.
7. Bruneau M, George B. Foramen Magnum
Menangiomas: detailed surgical approaches
and technical aspects at Lariboisiere Hospital
and review of the literature. Neurosurg.
2008;31;19–33.
8. Bruneau M, George B. Classification system
of foramen magnum meningiomas. Journal
of Craniovertebral Junction and Spine. 2010;
1; 10–17.
9. Koizumi H, Utsuki S, Inukai M, Oka H.
Osawa S, Fujii K. An Operation in the park
bench position complicated by massive
tongue swelling: case report. Neurological
Medicine Journal. 2012; 1–4.
10. Chan Y, Data NN, Chan KY, Chan K, Ur
Rehman S, Poon CY, et al. Outcome analysis
of 40 cases of vestibular schwanoma: A
comparison of sitting and park bench surgical
position. Ann CollSurg HK. 2003;7; 83–7.
11. Kauff DW, Koch KP, Somerlit KH, Heimann
A, Hoffmann KP, Lang H, et al. Online signal
processing of internal anal sphincter activity
during pelvic autonomic nerve stimulation:
a new method to improve the reliability of
intra-operative neuromonitoring Signals.
The Association of Coloproctology of Great
Britain and Ireland Journal. 2011;13; 1422-7.
12. Nazzi V, Cordella R, Messina G, Dones
I, Franzini A. Role of inta-operative
neurophysiologic
monitoring
during
decompression and neurolysis after peripheral
nerve injury: case report. Somatosensory and
Motor Research. 2012; 29(4): 117–121.
13. Russel IF. The ability of bispectral index to
detect intra-operative wakefulness during
total intravenous anaesthesia compared with
the isolated forearm technique. Anaesthesia
Journal. 2013; 68; 502–11.
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin – Bandung
Abstrak
Mekanisme proteksi otak hipotermi adalah mengurangi kebutuhan metabolik, cerebral metabolic rate for
oxygen (CMRO2), eksitotoksisitas, menurunkan pelepasan glutamat, menurunkan pembentukan radikal bebas,
mengurangi pembentukan edema, stabilisasi membran, memelihara adenosine triphosphate (ATP), menurunkan
influx Ca, dan tekanan intrakranial. Sedangkan komplikasi hipotermi berat adalah pneumonia, sepsis, disritmia
jantung, hipotensi, masalah perdarahan dan menggigil. Temperatur ideal untuk hipotermia terapeutik adalah 35
0
C. Pertanyaan untuk terapi hipotermik (HT) adalah bagaimana mekanisme terapi hipotermi sebagai protektor
otak? Berapa derajat C penurunan suhu tubuhnya? Bagaimana cara melakukan penurunan suhu? Berapa cepat
hipotermia harus dicapai? Berapa lama hipotermi dipertahankan? Bagaimana memulihkan ke normotermi
(rewarming)? Bagaimana hasilnya? Apakah ada penelitian yang sedang berlangsung? Untuk menggunakan
hipotermia sebagai neuroprotektor, diperlukan mencapai keadaan hipotermi secepat mungkin setelah cedera dan
pertahankan pada level aman. Metode hipotermi terapeutik adalah pendinginan permukaan tubuh, pendinginan
endovaskuler, pendinginan kepala. Selama penghangatan kembali pasien dengan hipertensi intrakranial telah
diketahui bisa terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemanasan yang cepat. Dianjurkan pemanasan
lambat lebih dari 12 jam dengan kecepatan 0,1 0C/jam. Sebagai simpulan, hipotermi terapeutik masih
kontroversi, tapi dalam situasi klinik pertahankan suhu pasien 35 0C dan harus dihindari temperatur lebih
dari 37 0C. Untuk mencapai suhu inti 35 0C dianjurkan digunakan metode pendinginan permukaan tubuh.
Kata kunci: cedera otak traumatik, terapi hipotermia, proteksi otak, resusitasi otak
JNI 2014;3 (3): 189‒98
Hypothermia Therapy after Traumatic Brain Injury
Abstract
The mechanism of hypothermia as neuro protector are by reducing metabolic demand of the brain, cerebral
metabolic rate of oxygen (CMRO2), excitotoxicity, decrease the glutamate release, reduction of free radical
formation, edema formation, membrane stabilization, maintains adenosine triphosphate (ATP), decrease in Ca
influx, and intracranial pressure. In the order hand, complication of deep hypothermia are pneumonia, sepsis,
cardiac dysrrhythmia, hypotension, bleeding problem and shivering. The ideal temperature for therapeutic
hypothermia is 35 0C. Question arised for hypothermic therapy (HT) are what is the therapeutic mechanism of HT
as neuroprotective? What is the proper degree for hypothermia? What can we do to induce hypothermia? How soon
should we do the HT? How long hypothermia should be maintain? How to restore normothermia (rewarming)?
What is the result? Is there any ongoing research?. For the use hypothermia as one of neuroprotective therapy, it
is necessary to implement it as soon as possible after the insult and to maintain it at the lowest safe level. Methods
of therapeutic hypothermia are surface cooling, endovascular cooling, as well as selective head cooling. During
rewarming, patients with intracranial hypertension are known to have reflex that would increase ICP during rapid
rewarming. Slow rewarming over a period of 12 hrs at the rate of 0.1 0C/hr is desirable. As conclusion, therapeutic
hypothermia still controversial, but in clinical situation keep the patient 35 0C is desirable and temperature more
than 37 0C should be avoided. To reach core temperature 35 0C, surface cooling is recommended.
Key words: brain protection, brain resuscitation, hypothermia therapy, traumatic brain injury
JNI 2014;3 (3): 189‒98
189
190
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera otak traumatik (COT) merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
usia muda. Di Amerika Serikat kejadian COT
kira-kira 1,5 juta orang setiap tahunnya dengan
50.000 orang meninggal dan 70 ribu sampai
90 ribu pasien yang selamat dari cedera otak
berat akan berkembang kearah terjadinya defisit
fungsional serius yang memerlukan pengobatan
dan perawatan terus menerus.1 Pengelolaan pasien
COT harus komprehensif, dimulai dari tempat
kecelakaan, selama transportasi, kamar operasi,
dan pengelolaan pascabedah (pengelolaan
perioperatif).1
Pasien dengan risiko hipertensi intrakranial,
seperti pasien COT, secara nyata dipengaruhi
oleh perubahan suhu tubuh karena aliran
darah otak (cerebral blood flow/CBF) akan
meningkat seiring dengan peningkatan suhu
tubuh. Peningkatan volume darah otak yang
dihubungkan dengan kenaikan suhu tubuh akan
meningkatkan tekanan intrakranial (intracranial
pressure/ICP) dan menyebabkan otak berisiko
terkena cedera lain. Karena itu, hipertermia
meningkatkan resiko kerusakan sel neuron dan
menempatkan pasien beresiko terjadinya cedera
otak sekunder melalui adanya peningkatan ICP.1
Hipertermia postiskemik dihubungkan dengan
peningkatan ukuran infark dan outcome yang
lebih buruk. Walaupun pengendalian yang
ketat kearah suhu tubuh yang normal telah
dicatat sebagai strategi terapi yang penting pada
Guideline for Management Severe Head Injury,
akan tetapi, strategi managemen terapi klinis
untuk praktisi sering tidak efektif dan mungkin
merupakan kontraindikasi pada pasien COT.2
Pengendalian normotermia (pencegahan panas
dengan pendinginan intravaskuler) efektif dalam
mengurangi panas dan beratnya cedera otak
sekunder setelah cedera kepala berat akibat dari
penurunan tekanan intrakranial dan panas.3
Telah lama diketahui dari beberapa penelitian
eksperimental bahwa hipotermia adalah
neuroprotektif setelah iskemia otak. Mekanisme
bagaimana hipotermia mempunyai efek proteksi
otak, belum jelas. Kemungkinan karena
menurunkan metabolisme otak, mencegah
apoptosis, mengurangi disfungsi mitokhondria,
mengurangi produksi radikal bebas dan
juga mengurangi kerusakan oksidatif DNA,
menurunkan influks Ca2+, menurunkan pelepasan
exitatory amino acids (EAA) glutamat, mencegah
peroksidasi lipid, menurunkan pembentukan
edema. Pada umumnya diterima efek
neuroproteksi hipotermia pada iskemia global
dan pada iskemia fokal seperti setelah COT.
Hipotermia juga dipercaya dapat digunakan untuk
mengendalikan peningkatan ICP dan memotong
kaskade biokimia dalam proses terjadinya cedera
otak sekunder.4
Ada 4 konsekuensi negatif dari hipotermia pada
pasien COT berdasarkan patofisiologi serebral
spesifik pasien-pasien ini, yang menerangkan
kenapa
hipotermia
belum
menunjukkan
efektivitasnya untuk outcome atau memperburuk
outcome pada pasien COT yaitu: 1) efek
hipotermia memicu stres pada mikrosirkulasi
zona penumbra, 2) efek samping dari penggunaan
vasokonstriktor disebabkan penurunan tekanan
darah setelah cooling, 3) risiko perdarahan karena
hipotermi memicu koagulopati, 4) bahaya akibat
peningkatan ICP selama rewarming pada pasien
dengan peningkatan ICP.4
Satu penelitian meta-analysis RCT mendukung
bahwa hipotermia tidak menguntungkan dalam
pengelolaan cedera otak traumatika berat, akan
tetapi, karena hipotermia terus digunakan untuk
terapi cedera otak, maka diperlukan penelitian
segera untuk memastikan tentang kegunaan
dan kerugian terapi hipotermi pada pengelolaan
cedera otak traumatika berat.
II. Apakah yang disebut terapi hipotermi?
Pendinginan (cooling) setelah cedera otak
traumatik pertama kali disampaikan pada tahun
1945. Akhir tahun 50-an dilakukan pendinginan
setelah henti jantung dan akhir tahun 1990
ketertarikan akan terapi hipotermi muncul kembali.
Terapi hipotermia adalah kondisi dimana suhu
tubuh menurun dibawah temperatur tubuh yang
normal yang diperlukan untuk berlangsungnya
metabolisme yang normal. Dengan demikian,
ada 8 pertanyaan untuk terapi hipotermi yaitu5:
1. Bagaimana mekanisme terapi hipotermi
sebagai protektor otak?
2. Berapa derajat Celcius penurunan suhu
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
tubuhnya?
Bagaimana cara melakukan penurunan suhu?
Berapa cepat hipotermia harus dicapai?
Berapa lama hipotermi dipertahankan?
Bagaimana memulihkan ke normotermi
(rewarming)?
7. Bagaimana hasilnya?
8. Apakah ada penelitian yang sedang
berlangsung?
3.
4.
5.
6.
Penelitian cedera otak traumatik pada model
hewan coba menunjukkan bahwa penggunaan
hipotermi dalam (profound hypothermia)
memberikan hasil yang tidak konsisten.
Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
hipotermi sedang (moderate hypothermia)
memperlihatkan efek neuroproteksi pada tikus
dengan model cedera otak traumatik.6 Penelitian
cedera otak traumatik pada manusia menunjukkan
bahwa terapi hipotermi mempunyai pengaruh
memulihkan autoregulasi serebral, memperbaiki
neuro-electrofisiologi dan oksigenasi otak,
mengurangi kadar lipid dan kolesterol pasien TBI
di area perikontusio,7 serta mengurangi tekanan
intrakranial sebesar 3–10 mmHg.8 Penggunaan
hipotermia selalu terlambat pada saat resusitasi
awal, optimalisasi CPP/CBF, evakuasi bedah,
pemantauan ICP, pengendalian perdarahan
pasien cedera otak traumatik. Padahal cedera
otak sekunder dapat terjadi akibat temperatur,
diperberat oleh demam, dan dihambat oleh
hipotermi. Panas setelah cedera otak traumatik
dapat menimbulkan hipertensi intrakranial dan
memperburuk prognosis.3
Pada cedera otak traumatik dapat terjadi cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Kekuatan
mekanis dari luar dapat menimbulkan gangguan
menetap atau temporer berupa perubahan
kesadaran, gangguan fungsi kognitif, fisikal,
psikososial. Penyebabnya adalah kontusio otak,
epidural hematoma, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intraventrikuler, cedera robekan.
Insult sekunder dapat berupa hipotensi
arterial, hipoxemia/hiperoxemia, hiperkapnia,
hipokapnia,
hiperglikemia,
hipoglikemia,
hipertermia, gangguan keseimbangan air dan
elektrolit, anemia, seizure. Cedera sekunder
dapat menyebabkan terjadinya iskemia seluler,
191
pembengkakkan neuron, edema vasogenik,
dan pembengkakkan otak dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan menurunkan tekanan
perfudi otak (cerebral perfusion pressure/CPP).9
Terapi hipotermi telah digunakan pada pasien
dengan henti jantung, asfiksia perinatal, cedera
otak traumatik, oprasi jantung, bedah saraf,
bedah vaskuler.9 Komplikasi dari hipotermia
dalam (profound/deep hypothermia) adalah
pneumonia, sepsis, disritmia jantung, hipotensi,
masalah perdarahan karena adanya koagulopati.
Komplikasi kardiovaskuler adalah depresi
miokardial, disritmia termasuk ventricular
fibrilasi, hipotensi, perfusi jaringan tidak
adequat, iskemia. Gangguan koagulasi berupa
thrombositopenia, fibrinolisis, disfungsi platelet,
peningkatan perdarahan. Gangguan metabolisme
berupa melambatnya metabolisme anestetika,
memanjangnya
blokade
neuromuskuler,
meningkatnya katabolisme protein. Adanya
komplikasi menggigil akan meningkatkan
konsumsi oksigen, meningkatkan produksi
CO2, desaturasi O2 arterial, ketidakstabilan
hemodinamik.
III. Bagaimana mekanisme terapi hipotermi
sebagai protektor otak?
Hipotermia menurunkan aktivitas metabolik
dan fungsional dari otak. Koefisien temperatur
(Q10) menunjukkan faktor dengan mana CMRO2
berubah setiap perbedaan temperatur 10 derajat.
Untuk kebanyakan reaksi biologis, Q10 nilainya
kira-kira 2 (penurunan 50% CMRO2 untuk setiap
penurunan temperatur 10 0C). Jadi otak yang
normotermik (37 0C) dapat mentolerir iskemia
komplit yang berlangsung selama 5 menit, pada
suhu 27 0C otak dapat mentolerir iskemia yang
berlangsung selama 10 menit.5,10 Walaupun
hipotermi mengurangi CMRO2 sekitar 7% setiap
derajat C, mekanismenya tidak linier. Aktual
Q10 adalah 2,2 sampai 2,4 antara 37 0C dan 27
0
C menyebabkan penurunan 50% CMRO2 pada
suhu 27 0C. Antara 27 0C dan 17 0C, Q10 kira-kira
5. Hal ini berkorelasi dengan kehilangan fungsi
neuron secara bertahap, seperti ditunjukkan
dengan EEG isoelektrik (yang terjadi antara
18 0C dan 17 0C) dan kemampuan otak untuk
mentolerir iskemia otak yang lebih berat daripada
192
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
yang diprediksi dengan model linier. Dibawah 17
0
C, Q10 kembali ke 2,2 sampai 2,4 lagi.5,10
Proteksi otak dari hipotermi ringan sampai
sedang telah ditunjukkan dalam model
laboratorium COT yang berbeda. Mekanismenya
multifaktorial
dan
berhubungan
dengan
penurunan metabolisme, penurunan Ca influx,
penurunan pelepasan excitatory amino acids
(EAA), preservasi sintesa protein dan sawar darah
otak, mencegah peroksidasi lipid, menurunkan
pembentukan edema, protein substansia alba,
modulasi respons inflamasi dan kematian sel
apoptotik.5,10 Secara klinis penggunaan hipotermi
pada pasien pascacedera otak traumatik, stroke,
aneurisma serebral mungkin mempunyai efek
menguntungkan dalam hal penurunan ICP dan
kemungkinan proteksi otak. Akan tetapi, sampai
saat ini penelitian klinis belum membenarkan
penggunaan hipotermi untuk proteksi otak pada
keadaan-keadaaan tersebut.10 Untuk mencapai
keuntungan maksimum, terapi hipotermi harus
diberikan sesegera mungkin, langsung ke target
suhu yang diinginkan dan diberikan dalam jangka
waktu lama. Pasien yang menunjukkan respons
terhadap teurapetik hipotermia adalah pasien
usia muda (<15 tahun) dan yang mengalami
cedera kepala berat dengan GCS 4 sampai 7 saat
masuk ke rumah sakit. Pada kasus stroke ikemik,
hipotermia harus dikombinasi dengan perfusi
otak yang adekuat. Bukti keuntungan hipotermi
ringan tidak ada untuk carotid endarterectomy
(CEA) dan clipping aneurisma serebral.10
Walaupun riset klinis tidak menunjukkan
perbaikan pada outcome, hipotermi ringan (32–
35 0C), dan hipotermi sedang (26–31 0C) telah
digunakan untuk prosedur jantung. Hal yang
sama, hipotermia dalam (deep hypothermia, suhu
18-25 0C) selama henti sirkulasi juga digunakan
pada repair penyakit jantung kongenital, aorta
torakalis pada dewasa, dan giant atau serebral
aneurisma kompleks.10 Ada beberapa komplikasi
serius dari hipotermia yang membatasi efek
menguntungkan dalam memelihara fungsi
neuron. Keadaan ini kebanyakan terjadi pada
hipotermia berat dan sedang. Komplikasi yang
terjadi dapat mengenai sistem kardiovaskuler,
gangguan koagulasi, perlambatan metabolisme
obat, dan menggigil. Komplikasi kardiovaskuler
antara lain depresi miokardium, disritmia,
hipotensi, dan perfusi jaringan yang tidak adekuat.
Gangguan koagulasi antara lain trombositopenia,
fibrinolisis, dan disfungsi platelet. Menggigil
dapat
menyebabkan
desaturasi
oksigen,
ketidakstabilan hemodinamik, peningkatan
kebutuhan oksigen dan produksi CO2.10 Dalam
dekade yang lalu penelitian menunjukkan bahwa
hipotermi ringan secara nyata menurunkan
cedera pada pasien dengan iskemia serebral. Ada
resiko sistemik yang nyata dan faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan sebelum dilakukan teknik
hipotermi. Hipotermi ringan (sampai suhu 34 oC)
mempunyai efek proteksi otak. Terdapat sejumlah
laporan penelitian model binatang percobaan
pada iskemi serebral global untuk melihat
efek proteksi dengan penurunan temperatur
1–4 oC. Untuk penurunan 3 oC, ada penurunan
cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2)
sebanyak 20%. Akan tetapi, efek proteksi
otak dengan hipotermia ringan bukan primer
pada efeknya menurunkan CMRO2, tetapi juga
pada mediator cedera iskemik (misalnya dengan
menurunkan pelepasan EAA). Hipotermia ringan
untuk beberapa hari setelah kliping aneurisma,
subarachnoid hemorrhage (SAH) atau cedera
kepala secara nyata mengurangi konsentrasi
glutamat pada cairan serebrospinal. Hipotermia
ringan juga mempunyai keuntungan lain dengan
bekerja pada sintesa ubiqitin dan aktivasi protein
C-kinase atau dengan stabilisasi membran dan
mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler.10
Peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan
CMRO2 yang menyebabkan ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan pasokan oksigen.
Beberapa penelitian klinis hipotermia ringan
selama 24–48 jam setelah cedera kepala berat
memperbaiki outcome neurologis. Beberapa
pusat pendidikan anestesi menggunakan teknik
hipotermia ringan (33–35 0C) pada operasi
dimana jelas ada resiko cedera iskemi susunan
saraf pusat, misal cliping aneurisma serebral.
Pengaturan temperatur pasien yang dirawat di
ICU adalah konsep “low normothermia” yaitu
pasien dipertahankan dalam temperatur 36 oC.
Pada penelitian invitro menunjukkan bahwa
hipotermia akan memelihara ATP, mengurangi Ca
influks, memperbaiki pemulihan elektrofisiologis
dari hipoksia sedangkan hipertermi akan
menghabiskan ATP, meningkatkan Ca influks dan
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
mengganggu pemulihan. Adanya demam pada
pasien neuro dan jantung akan memperburuk
outcome, sebagai contoh 90% pasien SAH akan
mengalami hipertemi selama perawatan di ICU
dan dihubungkan dengan buruknya outcome.5,10
Penelitian pada pasien yang diberikan moderat
hipotermi (33 0C) 11 dari 24 pasien meninggal
akibat herniasi yang disebabkan peningkatan
ICP sekunder setelah rewarming dan 10
dari 25 pasien (40%) menderita pneumonia.
Kalau keuntungan hipotermi ringan terbatas
pada mencegah hipertermi, keuntungan yang
lebih baik adalah mempertahankan pasien
dalam low normothermia.5,10 Terdapat buktibukti neuroproteksi dari profilaksis hipotermi
ringan. Data yang baru yang membandingkan
normotermi dengan hipotermi (35,5–36,5 lawan
28–30 0C) pasien bypass kardiopulmonal, gagal
menunjukkan keuntungan dari hipotermi. Akan
tetapi sampai bukti-bukti empiris ada, dianjurkan
untuk melakukan hipotermi ringan intraoperatif.
Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi adalah
menurunkan metabolisme otak, memperlambat
depolarisasi
anoksik/iskemik,
memelihara
homeostasis
ion,
menurunkan
eksitatori
neurotransmisi, mencegah atau mengurangi
kerusakan sekunder terhadap perubahan
biokimia. Efek proteksi serebral dari hipotermia
telah diketahui dengan baik. Teknik yang aman
dan efektif untuk melakukan hipotermi, masih
sulit ditentukan. Untuk mencapai hipotermi
ringan dengan pendinginan permukaan tubuh
berlangsung lambat karena adanya vasokontriksi
perifer dan pada umumnya gagal untuk
mendinginkan otak mencapai temperatur inti.
Selain itu, prosedur pendinginan permukaan
tubuh sulit dengan adanya fenomena rewarming
afterdrop dan dapat menyebabkan pembengkakan
otak selama periode rewarming. Hal ini ditambah
dengan adanya efek buruk akibat hipotermi
pada seluruh tubuh, termasuk terjadinya aritmia
jantung, koagulopati, hemolisis, disfungsi hepar
dan renal dan penekanan fungsi imun.
Untuk menghindari komplikasi sistemik akibat
pendinginan seluruh tubuh (total body cooling)
peneliti-peneliti mencoba melakukan pendinginan
secara selektif hanya pada serebralnya saja.
Alat-alat pendinginan eksternal telah terbukti
efektif dalam mendinginkan secara selektif pada
193
otak saja pada binatang kecil. Sayangnya, tidak
berhasil dilakukan pada binatang yang lebih besar.
Penelitian lain menunjukkan kelambatan teknik
ini yaitu ketidak mampuan mencapai bagian otak
yang dalam. Sebaliknya, extracorporeal cerebral
bypass hypothermia efektif untuk melakukan
pendinginan otak secara selektif, akan tetapi,
teknik ini memerlukan heparin yang menjadi
sulit pada pasien trauma pembuluh darah,
embolisasai, edema serebral idiopatik dan telah
ditinggalkan karena tidak praktis dan tidak aman.
Satu penelitian dengan melakukan pendinginan
intravaskuler dikarenakan kegagalan mencapai
hipotermia ringan pada pasien cedera kepala
berat. Penelitian ini ditekankan pada kebutuhan
mendapatkan cara yang lebih aman, efektif untuk
mencapai keadaan serebral hipotermia. Mack
melakukan katerisasi vena no 10 F melalui vena
femoralis dan ujungnya mencapai vena cava
inferior. Dilakukan pendinginan dengan kecepatan
6,3(0,8) 0C, dan temperatur otak 32,2(0,2) 0C
dicapai dalam waktu 47,7 (6,32) menit.5 Cedera
otak akibat cedera merupakan penyebab penting
dari kematian dan disabilitas pada personil sipil
maupun militer. Dengan sistem pengorganisasian
trauma care dan critical care yang baik dan
adekuat, mortalitas dari cedera kepala berat
telah menurun dari kira-kira 50% pada tahun
70-an menjadi 30% pada tahun 2001. Lebih
penting, penurunan mortalitas ini dihubungkan
dengan peningkatan proporsi yang hidup dengan
fungsi otak yang relatif normal. Bagaimanapun,
pencapaian yang luar biasa ini tidak diketahui
secara luas. Perbaikan ini dianggap disebabkan
karena lebih cepatnya transportasi pasien ke
UGD, menghindari terjadinya hipotensi dan
hipoksia, metode resusitasi yang lebih efektif,
brain imaging yang segera, intervensi bedah yang
segera, ICU yang baik, dan pemantauan serta
pengelolaan tekanan intrakranial.
Beberapa dari cedera neurologis dapat terjadi
pada saat terjadinya kecelakaan dan mungkin
bersifat ireversibel. Tetapi, kemudian terjadi
proses biokimia yang memperburuk outcome.
Menghambat atau melawan proses ini menjadi
target neuroscientist dalam banyak tahun.
Sebagai data,
terdapat lusinan penelitian
klinis dari obat seperti free radical scavenger,
194
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
antagonis glutamat, Ca chanel blocker yang
mungkin mengurangi cedera pada otak
pasien dengan cedera kepala. Walaupun telah
dipelajari tentang patofisiologi cedera otak dan
faktor-faktor yang mempengaruhi outcome,
tidak ada satupun obat yang terbukti efektif.
Pendekatan non-farmakologi untuk pengobatan
pasien dengan cedera otak trauma difokuskan
pada pencegahan hipertensi intrakranial dan
mempertahankan perfusi otak yang adekuat.
Penelitian klinis multisenter dari hipotermia
pada pasien dengan cedera kepala berat
telah dilaporkan oleh Clifton dkk, walaupun
mengecewakan, menggambarkan hasil yang
penting. Penelitian Clifton dimulai tahun 1994
dengan harapan ada bukti definitif keuntungan
hipotermi pada pasien cedera kepala. Akan
tetapi, pada bulan Mei 1998, penelitian tersebut
dihentikan oleh Patient Safety and Monitoring
Board setelah dilakukan pada 392 pasien dari
500 pasien yang direncanakan, karena ternyata
terapi hipotermi tidak efektif. Pendinginan pasien
dengan target suhu kandung kencing 33 0C dalam
8 jam setelah cedera dan dipertahankan hipotermi
selama 48 jam tidak efektif dalam memperbaiki
outcome klinik pada 6 bulan kemudian. Dalam
kenyataannya, pasien yang berumur >45 tahun.
Mild hypothermia-core temperatur tubuh 32–34
0
C dapat memproteksi tubuh efek inflamasi setelah
cedera otak, henti jantung, atau infark miokardial
acut. Tujuan terapi hipotermi pada keadaan–
keadaan tersebut adalah untuk mengurangi cedera
iskemi yang disebabkan karena proses biokimia.
Mekanisme proteksi dari hipotermi belum
dimengerti dengan jelas. Pada iskemi serebral
akibat stroke atau henti jantung, hipotermi
mengurangi metabolisme otak dan kebutuhan
oksigen dan menurunkan kadar EAA. Hipotermi
juga menghambat infark miokard pada AMI,
kemungkinan dengan mekanisme yang sama.
Hipotermia ringan mungkin rentang terapi
yang paling aman dan paling efektif, bahkan
bila diberikan dalam jangka waktu lama,
hipotermia
ringan
tidak
menimbulkan
komplikasi seperti hipotermi moderat (28–32
0
C). Sebaliknya, hipotermi moderat dapat
menimbulkan terjadinya aritmia jantung,
fibrilasi ventrikel, koagulopati, dan infeksi.
Terapi hipotermia mempunyai efek dalam
menurunkan metabolisme otak, menurunkan
pelepasan excitatory amino acids (EAA),
pencegahan apoptosis, mengurangi disfungsi
mitokhondria, mengurangi produksi radikal bebas,
mengurangi oksidatif DNA, mempertahankan
ATP, menurunkan Ca influx, memelihara
sintesa protein dan sawar darah otak, mencegah
peroksidasi lipid, mengurangi pembentukan
edema, memodulasi respons inflamasi dan
kematian sel secara apptotik. Terapi hipotermi
dapat mengendalikan tekanan intrakranial.11
IV. Berapa derajat celcius penurunan suhu
tubuhnya?
Banyak definisi tentang hipotermia dan tidak
semuanya sama. Sebagai contoh, ada yang
menyebut hipotermia ringan bila suhu 32-34
0
C, hipotermia sedang 28–32 0C. Hipotermia
ringan: 32–33 0C. Hipotermia sedang: 33–34 0C.
Hipotermia dalam (deep hypothermia): 27 0C
atau lebih rendah. Hipotermia ringan 33–35 0C.
Hipotermia ringan 34–360 C, sedang 32–34 0C,
berat <32 0C . Yang lainnya mengatakan bahwa
disebut ringan bila suhu 32–35 0C, sedang 28–
32 0C, berat 20–28 0C, profound <20 0C. Lebih
rendah temperatur, lebih dalam proteksi otak
dengan hipotermia, tapi dengan lebih rendahnya
temperatur, efek samping akan meningkat.
Kedalaman optimal dari hipotermia terapeutik
harus seimbang antara proteksi otak maksimal
dan efek samping yang minimal. Dari data
eksperimental dan pengalaman klinis, temperatur
optimal adalah dalam rentang 340 dan 350C.5
V. Bagaimana cara melakukan penurunan
suhu?
Pengelolaan tradisional hipertermi setelah COT
adalah dengan memberikan antipiretik, selimut
pendingin, ice packs, dan beberapa kasus blokade
neuromuskuler. Ada kekurangan dari evaluasi
literatur tentang efektivitas antipiretik tradisional
seperti asetaminofen, paracetamol, aspirin, dan
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
untuk hipertermia akibat COT. Data terbatas
mendukung bahwa walaupun sering diberikan
antipiretik untuk mengobati hipertermi setelah
COT, ternyata tidak mampu (insufficient)
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
mengobati pireksia. Satu penelitian menunjukkan
bahwa paracetamol tidak bisa menurunkan suhu
pada 20% anak untuk mengobati hipertermia
setelah COT. Acetaminophen juga jarang
berhasil dalam mengobati hipertermia pada
pediatrik COT. Antipiretik hanya efektif hanya
pada 7% pasien dewasa yang panas pada COT.
Induksi hipotermi dapat dilakukan dengan
pendinginan permukaan (surface cooling),
endovascular cooling, selective head cooling.
Surface cooling dapat dilakukan dengan kantong
es, helm, vests, mattresses, intravenous cooling,
intravascular cooling devices, selective brain
cooling (pharyngeal).12 Pendinginan intravena
dilakukan dengan memberikan 20–30 mL/kg
larutan kristaloid (4 0C), diberikan lebih dari 30
menit dan dengan teknik ini risiko terjadinya
pneumonia kecil.
Surface cooling dilakukan dengan selimut dingin
dan kantong es merupakan metode yang sangat
sederhana, dan butuh 3 jam untuk mencapai target
suhu, kebutuhan obat pelumpuh otot dan intubasi
untuk melawan vasokonstriksi dan menggigil.
Endovascular cooling membutuhkan waktu yang
lebih singkat untuk mencapai temperatur target,
tidak diperlukan pelumpuh otot dan intubasi dan
pengendalian menggigil. Head cooling adalah
selective head cooling dengan
hipotermia
sistemik ringan dan diberikan pada neonatal
ensephalopati.12
195
dengan kecepatan 0,5 0C setiap 2 jam. Penelitian
ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan hipotermia
sebagai strategi neuroprokteksi yang utama pada
pasien dengan cedera otak traumatik berat.4
VII. Berapa lama hipotermi dipertahankan?
Pendinginan harus dimulai sesegera mungkin
dengan temperatur extracorporeal 30 0C dan
dipertahankan pada temperatur otak 32 0C untuk
48 jam kemudian dilakukan rewarming secara
bertahap untuk 24 jam. Delapan pasien, GCS
4–5 dan hasilnya adalah 5 pasien meninggal
akibat kelainan intrakranial (n=4) atau akibat
septik syok setelah pneumonia (n=1). Sebagai
simpulannya adalah tidak ada keuntungan
terapeutik hipotermia pada outcome. Satu
penelitian melakukan hipotermia untuk mencapai
temperatur tubuh 33 0C, yang dimulai 6 jam
setelah cedera dan dipertahankan selama 48
jam dengan surface cooling. Hasilnya adalah
tidak efektip. Peneliti lain melakukan hipotermi
ringan (33–35 0C) dalam jangka lama (long-term
cooling) dan ternyata secara nyata memperbaiki
outcome pasien cedera kepala berat dengan
kontusio serebral dan hipertensi intrakranial
tanpa komplikasi yang nyata. Pendinginan selama
5 hari lebih manjur daripada 2 hari (short-term
cooling).13
VI. Berapa cepat hipotermia harus dicapai?
VIII. Bagaimana memulihkan ke normotermi
(Rewarming)?
Untuk
penggunaan
hipotermia
sebagai
neuroprotektif dalam pencegahan kerusakan
iskemik, itu diperlukan untuk melakukan
hipotermi sesegera mungkin setelah insult dan
mempertahankannya pada level terendah yang
aman.
Induksi hipotermi sangat segera pada pasien
dengan cedera otak traumatik berat (Very early
hypothermia induction in patient with severe
brain injury/the NABIS: Hypothermia II). RCT,
penelitian klinis multisenter, menyertakan 232
pasien cedera otak traumatik berat (119 pasien
dilakukan hipotermia terapeutik dalam 2,5 jam
setelah cedera, 113 pasien lagi normotermia),
umur 16–45 tahun, segera didinginkan sampai 33
0
C, dipertahankan untuk 48 jam dan dihangatkan
Pasien dengan hipertensi intrakranial diketahui
mempunyai refleks meningkatkan ICP selama
rewarming yang cepat. Menggigil selama
rewarming akan meningkatkan konsumsi
oksigen dan harus dihentikan dengan pemberian
sedasi dan pelumpuh otot. Alat penghangat
adalah pemanas cairan, sikuit humidifier, selimut
air panas, forced air warming blankets (paling
cepat), lampu pemanas infrared. Rewarming
dilakukan bila ICP <20 mmHg (stabil untuk
48 jam). Dianjurkan rewarming yang lambat
lebih dari 12 jam dengan kecepatan 0,1 0C/
jam, ada yang menyarankan rewarming dengan
kecepatan 1 0C setiap 3–4 jam, 1 0C/hari, 0,5 0C
dalam 2 jam. Rewarming yang lambat 0,25 0C/
jam memberikan proteksi yang maksimal.14
196
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
IX. Bagaimana hasilnya?
Bukti klinis tentang hasil dari terapi hipotermia
masih kontroversial. Limabelas persen perbaikan
outcome 6 bulan pada 46 pasien yang mana
temperatur tubuhnya diturunkan sampai 32 0C
selama 48 jam yang dimulai dalam 6 jam setelah
cedera.
Penelitian lain menunjukkan perbaikan outcome
yang signifikan secara statistik sebanyak 38%
pada 46 pasien dengan GCS 5–7 diantara 82
pasien yang didinginkan sampai 32 0C. Walaupun
terbatas, bukti terbaik yang tersedia mendukung
bahwa terapeutik hipotermi dapat mengurangi
risiko mortalitas dan memperbaiki neurologik
outcome, terutama bila dipertahankan dalam
waktu lebih dari 48 jam dan bila digunakan
pada pasien yang berespon baik terhadap
tindakan standar untuk mengendalikan ICP
tanpa menggunakan dosis tinggi barbiturat.5,15
Satu sistematik review dari 18 penelitian yang
terdiri dari 13 RCT dan 5 penelitian observasional.
Terapeutik hipotermia 32–4 0C, efektip dalam
mengendalikan hipertensi intrakranial. Sebagai
kesimpulannya adalah tangguhkan menunggu
hasil penelitian multisenter yang besar yang
mengevaluasi efek terapeutik hipotermia pada
hipertensi intrakranial dan outcome, terapeutik
hipotermia harus dimasukkan sebagai opsi terapi
untuk mengendalikan hipertensi intrakranial pada
pasien dengan cedera otak traumatik yang berat.16
Sebaliknya, terapi dengan hipotermia dengan
suhu tubuh mencapai 33 0C dalam 8 jam
setelah cedera, tidak efektif untuk memperbaiki
outcome pada pasien dengan cedera kepala berat.
Penelitian Clifton dkk., dimulai pada tahun 1994,
akan tetapi pada bulan Mei 1998, penelitiannya
dihentikan oleh Patient Safety and Monitoring
Board, setelah melakukan penelitian pada 392
dari 500 pasien yang direncanakan, disebabkan
terapinya tidak efektip. Satu Cochrane Database
Systematic Review tahun 2009 dengan kriteria
seleksi: penelitian RCT dengam hipotermia
maksimal sampai 35 0C dan dilakukan minimal
12 jam. Dilakukan pada 23 penelitian dengan total
1614 pasien. Tidak ada bukti bahwa hipotermia
menguntungkan untuk terapi cedera kepala.17
Tidak konsistennya efek hipotermia terapi pada
cedera kepala berat pada penelitian-penelitian
sebelumnya mungkin disebabkan karena induksi
hipotermi terlalu terlambat setelah cedera. Satu
penelitian melakukan pendinginan segera (early
cooling) dalam 2–2,5 jam setelah cedera dengan
suhu 33 0C dan dipertahankan selama 48 jam
dan dibandingkan dengan normotermia sebagai
kontrol. Penelitian ini tidak mengkonfirmasikan
kegunaan hipotermia sebagai suatu strategi
neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera
otak traumatika berat.11 Untuk dapat melakukan
terapi hipotermia diperlukan unit khusus,
personil yang berpengalaman dan protokol
pelaksanaannya.
X. Apakah ada penelitian yang sedang
berlangsung?
Ada bebeapa penelitian besar yang sedang
berlangsung yaitu di Jepang (clinical trials:
NCT00134472),
Australia-New
Zealand
(Polar RCT), dan Eropa (Eurotherm Trial).
Japanese trial (clinical trials: NCT00134472).18
Peneltian
RCT tentang terapi hipotermia
untuk pasien cedera kepala berat di Jepang.
Mereka membagi sampel dalam dua kelompok
yaitu kelompok normotermia 35–37 0C dan
hipotermia ringan 32–34 0C dan dipertahankan
selama 72 jam. Pengambilan sampelnya
sudah selesai tapi belum dipublikasikan.
Polar RCT 19
Prophylactic Hypothermia Trial to Lessen
TBI (POLAR-RCT) dilakukan di Australian
and New Zealand Intensive Care Research
Centre. Penelitian dilakukan pada 500 pasien
dan sampai saat ini masih mengumpulkan
pasien. Suhu tubuh diturunkan sampai 33 0C
selama 3 hari. Rewarming dilakukan dengan
kecepatan 0,17 0C/jam. Penelitian ini dilakukan
untuk menjawab pertanyaan apakah propilaksis
early hypothermia memperbaiki outcome
pada 6 bulan setelah cedera otak traumatik?
The Eurotherm3235Trial 20
European Society of Intensive Care Medicine
study of HT (32-35°C) for ICP reduction after
TBI (the Eurotherm3235Trial).
Ini adalah penelitian pragmatis, internasional,
Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
multisenter RCT yang menguji efek hipotermia
32–35 0C, untuk mengurangi ICP <20 mmHg,
dalam morbiditas dan mortalitas 6 bulan setelah
cedera otak raumatik. Pendinginan dilakukan
dalam 72 jam setelah cedera otak traumatika
dan dipertahankan selama 48 jam, untuk melihat
efek terhadap penurunan tekanan intrakranial.
Jumlah pasiennya direncanakan 1800 pasien dan
penelitian dimulai bulan April 2010.
X. Simpulan
Hipotermi terapeutik masih kontroversi, akan
tetapi, dalam situasi klinik pertahankan suhu
pasien 35 0C dan hindari suhu tubuh pasien
lebih dari 37 0C, lakukan terapeutik hipotermi
minimal 5 hari, untuk mencapai suhu 35 0C
dianjurkan memakai metode surface cooling,
tentang outcome masih dipertanyakan, dan belum
diketahui, dan sekarang penelitian yang lebih
besar sedang dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Bendo AA. Perioperative management of
adult patient with severe head injury. Dalam:
Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia; 2011, 317–25.
2. Bullock RM, Povlishock JT. Guideline for the
management severe traumatic brain injury,
Brain Trauma Foundation. J Neurotrauma
2007;24, S21
3. Puccio AM, Fischer MR, Jankowitz BT,
Yonas H, Darby JM, Okonkwo D. Induce
normothermia
attenuate
intracranial
hypertension and reduces fever burden after
severe traumatic brain injury. Neurocrit Care
2009;11(1):82–87
4. Grande PO, Reinstrup P, Romner B. Active
cooling in traumatic brain-injured patients:
a questionable therapy? Acta Anaesthesiol
Scand 2009;53:1233–38
5. Bisri DY, Oetoro B, Harahap S, Siti Chasnak
Saleh SC. Hipotermia untuk proteksi otak. JNI
197
6. Sinclair HL, Andrews PJ. Bench-to-bed
side review: hypothermia in traumatic brain
injury. Crit Care 2010;14(1): 204
7. Masaoka H. Cerebral blood flow and
metabolism during mild hypothermia in
patient with severe traumatic brain injury. J
Med Sci Den 2010;57(2):133–8
8. Schreckinger M, Marion DW. Contemporary
management of traumatic intracranial
hypertension: is there a role for
therapeutic hypothermia? Neurocrit Care
2009;11(3):427–36.
9. Oddo M, Ribordy V, Feihl F, Rosetti AO,
Schaller MD, Chiolero R, et al. Early
predictors of outcome in comatose survivors
of ventricular fibrillation and non-ventricular
fibrillation cardiac arrest trated with
hypothermia: a prospective study. Crit Care
Med 2008;36(8):2296–301
10. Hou YJ, Cottrell JE, Lei B, Kass IS.
Improving neurologic recovery from cerebral
ischemia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE,
eds. Handbook of Neuroanesthesia, 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2012, 50–69
11. Clifton GL, Valadka A, Zygun D, Coffey
CS, Drever P, Fourwinds S, et al. Very early
hypothermia induction in patients with severe
brain injury (the National Acute Brain Injury
Study: hypothermia II): a randomised trial.
Lancet Neurol 2011;10(2):131–39
12. Hoedemaekers CW, Ezzahti M, Gerritsen A,
van der Hoeven JG. Comparison of cooling
method to induce and maintain normo and
hypothermia in intensive care unit patients:
a prospective intervention study. Crit Care
2007;11(4):R–91
13. Jiang JY, Xu W, Li WP, Gao GY, Bau YH,
Liang YM, et al. Effect of long-term mild
hypothermia or short-term mild hypothermia
on outcome of patients with severe traumatic
brain injury. Journal of Cerebral Blood Flow
198
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
& Metabolism 2006;26:771–6
14. Povlishock JT, Wei EP. Posthypothermic
rewarning consideration following traumatic
brain injury. J Neurotrauma 2009;26:333–40
15. Patterson K, Carson S,
Carney N.
Hypothermic treatment for traumatic brain
injury: a systematic review and metaanalysis. J Neurotrauma 2008;25(1):62–71
16. Sadaka F, Veremakis C. Therapeutic
hypothermia for the management of
intracranial hypertension in severe traumatic
brain injury: a systematic review. Brain
injury 2012;26(7-8):899–908
17. Sydenham E, Robert L, Anderson P.
Hypothermia for traumatic head injury.
Cochrane Database Syst Rev 2009, issue 2.
18. Maekawa T, Yamashita S. Therapeutic
hypothermia for severe traumatic brain
injury in Japan. Japanese trial (clinical trials:
NCT00134472)
cloud.golgbamboo.com/
topic-t10163–a1
19. Cooper D, Myburgh J, Cameron P, Presneill
J, Bernard S, Nichol A. The Polar RCT. http://
researchdata.ands.org.au/polar-rct
20. Andrews PJD, Sinclair HL, Battison CG,
Polderman KH, Citerio G, Mascia L, et
al. European society of intensive care
medicine study of therapeutic hypothermia
(32-350C)
for
intracranial
pressure
reduction after traumatic brain injury (the
Eurotherm3235Trial). Trial 2011,12:8 http://
www.trialsjournal.com/content/12/1/8
Disseminated Intravascular Coagulation pada Cedera Otak Traumatik
Agus Baratha Suyasa*, Sudadi**, Bambang Suryono**
*)Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar – Bali
**)Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Sardjito – Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada, Yogjakarta
Abstrak
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan konsekuensi yang sering dan penting pada cedera otak
traumatik (Traumatic Brain Injury/TBI) dan menyebabkan cedera otak sekunder. Walaupun perkembangan proses
ini belum dapat dijelaskan secara keseluruhan, namun abnormalitas koagulasi darah adalah bukti yang ditemukan
pascatrauma. DIC adalah proses patofisiologi dan bukan merupakan suatu penyakit tersendiri. Gangguan yang
terjadi meliputi ketidaktepatan, berlebihan dan aktivasi proses hemostasis yang tidak terkontrol. Karakteristik
DIC adalah konsumsi faktor pembekuan darah dan trombosit dalam sirkulasi yang menimbulkan berbagai derajat
obstruksi pembuluh darah mikro sehubungan dengan deposisi fibrin. Masalah dan gambaran utama akut DIC
adalah perdarahan. Gangguan mekanisme hemostatik sangat penting dalam TBI. Perdarahan mikro sering terjadi
di parenkim otak dan status koagulasi normal adalah penting untuk mencegah perkembangannya menjadi hematom
yang lebih besar. Abnormalitas koagulasi tidak hanya hasil dari cedera, tetapi juga menyebabkan cedera sekunder.
Gangguan koagulasi dalam TBI sangat kompleks dan dapat disertai dengan koagulopati dan hiperkoagulabilitas.
Di temukan bukti bahwa luasnya trauma jaringan otak memiliki peran penting terhadap gangguan koagulasi
dibandingkan syok traumatik maupun hipoksia. Adanya koagulopati pada TBI mengindikasikan prognosis yang
buruk, sehingga pemeriksaan rutin terhadap status koagulasi harus selalu dilakukan pada semua pasien TBI.
Kata kunci: koagulopati, disseminated intravascular coagulation, cedera otak traumatik
JNI 2014;3 (3): 199‒205
Disseminated Intravascular Coagulation on Traumatic Brain Injury
Abstract
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) is a frequent and important consequence of traumatic brain injury
and may cause secondary brain injury. Although the mechanism of this process cannot be explained as a whole, but
abnormalities of blood coagulation after trauma is the evidence. DIC in brain trauma is a pathophysiological process
and is not due to a disease in itself. Disturbance includes inaccuracy, excessive and activation of uncontrolled
hemostasis process. Characteristic of DIC is the consumption of blood clotting factors and platelets in the circulation
that cause various degrees of micro vascular obstruction in conjunction with the deposition of fibrin. The main
problem features of acute DIC are bleeding. Impaired hemostatic mechanism plays an important role in traumatic
brain injury (TBI). Micro bleeding often occurs in the brain parenchyma and normal coagulation status is important
to prevent its development into a larger hematoma. Coagulation abnormality is not the only discouraging factor of
injury, but also lead to secondary injury. Coagulation disorders in TBI are very complex and can be accompanied by
coagulopathy and hypercoagulability. Found evidence ofextented trauma in the brain tissue plays more important
role to coagulation disorder than traumatic shock and hypoxia. The presence of coagulopathy in TBI indicates a poor
prognosis, so the routine inspection of the coagulation status should always be performed in all patients with TBI.
Key words: coagulopathy, disseminated intravascular coagulation, traumatic brain injury
JNI 2014;3 (3): 199‒205
199
200
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I.Pendahuluan
Abnormalitas pada koagulasi darah cukup sering
terjadi pada cedera otak traumatik (traumatic brain
injury/TBI). Beberapa penulis meneliti gambaran
klinis dan patofisiologi dari fenomena tersebut
dan menemukan bahwa abnormalitas koagulasi
darah merupakan awal terjadinya disseminated
intravascular coagulation (DIC). Hubungan ini
dapat menjelaskan terjadinya iskemia serebral
yang menyertai cedera otak traumatik, yang
disebut mikrotrombosis intravaskular. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa DIC merupakan
konsekuensi yang sering dan penting pada
cedera otak traumatik dan menyebabkan cedera
otak sekunder. Walaupun perkembangan proses
ini belum dapat dijelaskan secara keseluruhan,
namun abnormalitas koagulasi darah adalah bukti
yang ditemukan pascatrauma. Abnormalitas
hemostasis berhubungan dengan banyak
komplikasi pada trauma dan berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas.1-6
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC adalah proses patofisiologi dan bukan
merupakan
suatu
penyakit
tersendiri.
Gangguan yang terjadi meliputi ketidaktepatan,
berlebihan dan aktivasi proses hemostasis
yang tidak terkontrol. Manifestasi klinis DIC
berhubungan dengan sumbatan pembuluh
darah kecil (microvessel) selama fase obstruksi
dan perdarahan karena konsumsi plasma dan
komponen seluler pada sistem hemostasis.
Proses DIC kemungkinan karena berlanjutnya
stimulus dan atau konsumsi inhibitor alami
hemostasis. Pada awalnya DIC muncul dengan
kompensasi yang adekuat, namun jika proses
berlanjut menjadi berat, maka gejala klinis
akan muncul sebagai perdarahan sistemik dan
biasanya berkaitan dengan kerusakan organ.
Kompensasi sekunder DIC adalah fibrinolisis,
dimana pada beberapa kasus justru meningkatkan
perdarahan.7,8
Patofisiologi
Karakteristik DIC adalah konsumsi faktor
pembekuan darah dan trombosit dalam sirkulasi
yang menimbulkan berbagai derajat obstruksi
pembuluh darah mikro sehubungan dengan deposisi
fibrin. Pada saat konsumsi faktor pembekuan
darah dan trombosit menjadi signifikan, maka
gejala utama yang terjadi adalah perdarahan.7,8
Beberapa mekanisme yang secara tidak langsung
mengaktifkan sistem hemostasis diantaranya:
1. Aktivasi jalur koagulasi dengan melepaskan
tromboplastin jaringan kedalam sirkulasi
sistemik (pada trauma jaringan, operasi,
keganasan, dan hemolisis intravaskuler akut).
2. Kerusakan dinding endotel pembuluh darah
menyebabkan aktivasi trombosit yang diikuti
aktivasi sistem hemostasis, melalui jalur
intrinsik; misalnya (sepsis karena pelepasan
endotoksin gram negatif, infeksi virus, luka
bakar luas, hipertensi, hipoksia dan asidosis).
3. Induksi aktivasi trombosit, contohnya
(septikemia, viraemia, komplek antigenantibodi dan aktivasi trombosit).
Gambaran klinis
Gambaran klinis DIC bervariasi, dapat berupa
trombosis,
perdarahan,
atau
manifestasi
campuran pada berbagai sistem organ. Masalah
dan gambaran utama akut DIC adalah perdarahan.
Manifestasinya dapat sebagai bercak menyeluruh,
perdarahan pada tempat trauma seperti (penusukan
vena dan luka operasi). DIC juga dapat muncul
berkaitan dengan berbagai macam gangguan
klinis (tabel 2). Jika DIC muncul pada penderita
dengan penyakit berat dan kerusakan organ
multipel, maka prognosisnya menjadi buruk.7,8
Gambaran Laboratorium
DIC yang signifikan ditandai dengan pemeriksaan
standar koagulasi (Prothrombintime/PT, Activated
partial thromboplastin time/APTT, dan Thrombin
clotting time/TCT). Kunci pemeriksaan dalam
mendiagnosis adalah menemukan bukti konversi
fibrinogen menjadi fibrin yang berlebihan dalam
sirkulasi dan kemudian lisis. Gumpalan fibrintrombosit (platelet-fibrin clots) membentuk
jaring (mesh) pada mikrosirkulasi yang
menimbulkan trauma pada sel darah merah yang
lewat sehingga menyebabkan fragmentasi dan
hemolisis. Pemeriksaan hapusan darah (blood
film) menunjukkan fragmentasi sel darah merah
(microangiopatic haemolytic anemia).7,8
Disseminated Intravascular Coagulation pada Cedera Otak
Traumatik
201
Gambar 1. Patofisiologi dan Manajemen DIC7
Diagnosis DIC biasanya berdasarkan kombinasi
gambaran klinis yang sesuai dan gambaran
laboratorium sistem hemostasis yang mendukung
(tabel 1) Trombosiopenia, hipofibrinogenemia
dengan pemanjangan PT, APTT, dan TCT serta
peningkatan produk degradasi fibrin (fibrinogen
degradation product/FDP dan D-Dimer)
merupakan bukti pendukung untuk menegakan
diagnosis. D-Dimer merupakan pemeriksaan
spesifik untuk pemecahan fibrin dibandingkan
fibrinogenolisis primer. Pemeriksaan yang lebih
spesifik adalah peningkatan fibrinopeptide A dan
penurunan antitrombin III (ATIII) juga dapat
mempertegas diagnosis.7-9
II. DIC pada Cedera Otak Traumatik (TBI)
Pada tahun 1960, Penick dan McLendon
melaporkan beberapa kasus abnormalitas
koagulasi darah karena berbagai penyebab,
diantaranya terdapat kasus neonatus yang
mengalami cedera otak traumatik selama
persalinan dan mengalami koagulopati yang
berat. Beberapa tahun kemudian dilaporkan
serial kasus gangguan pembekuan darah pasca
cedera otak taumatik dan cedera kepala lainnya.
Kejadian abnormalitas pembekuan darah pada
cedera otak traumatik bervariasi antara 15–100%.1
Gangguan mekanisme hemostatik sangat
relevan dalam TBI). Perdarahan mikro sering
202
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 1. Kondisi yang Berhubungan dengan DIC7
Infeksi
Trauma
Keganasan
Gangguan Imunologi
Bakterial sepsis
Panas
karena
virus
hemoragik
Protozoa (malaria)
Kerusakan jaringan luas
Cedera kepala
Emboli Lemak
Karsinoma
Leukemia
(terutama
promielositik)
Penolakan transplantasi
Reaksi transfusiincompatible haemolytic
blood
Reaksi alergi berat
Reaksi obat
Sirkulasi
ekstra
korporeal
Gigitan ular tanpa
antidotum
Gangguan vaskuler
Hemangioma besar
Aneurisma aorta
Gangguan kehamilan
Aborsi septik
Plasenta abrupsi/ablatio
Eklampsia
Emboli air ketuban
Plasenta previa
Luka bakar
Hipertermia
Penyakit
hati
dan
nekrosis hati akut
terjadi di parenkim otak dan status koagulasi
normal adalah penting untuk mencegah
perkembangannya menjadi hematom yang lebih
besar. Abnormalitas koagulasi tidak hanya hasil
dari cedera, tetapi juga menyebabkan cedera
sekunder. Gangguan koagulasi dalam TBI sangat
kompleks dan dapat disertai dengan koagulopati
dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas
adalah meningkatnya kapasitas pembentukan
fibrin dalam pembuluh darah. Suatu keadaan
hiperkoagulasi dapat digeneralisasikan pada
kasus disseminated intravascular coagulation
(DIC) atau lokal dengan perkembangan
microthrombi dalam daerah kontusio penumbra.
DIC ditandai dengan meluasnya aktivasi
koagulasi, yang menghasilkan pembentukan
fibrin intravaskular dan akhirnya trombotik
oklusi pembuluh darah kecil dan sedang.3,9,10
III. Patogenesis Gangguan Koagulasi pada TBI
Pada individu sehat, koagulasi dan fibrinolisis
adalah seimbang untuk mencegah perdarahan
yang berlebihan atau trombosis. Pasien dengan
TBI berisiko terjadi kelainan koagulasi dan
fibrinolisis. Abnormalitas koagulasi berbeda
antara pasien dengan cedera otak terisolasi
(isolated brain injury) dan pasien dengan cedera
multipel. Di temukan bukti bahwa luasnya
trauma jaringan otak memiliki peran penting
terhadap gangguan koagulasi dibandingkan syok
traumatik maupun hipoksia. Pada awal tahun
tujuh puluhan, pelepasan faktor jaringan (Tissue
factor/TF), sebelumnya disebut tromboplastin
atau thrombokinase dari cedera jaringan otak
telah dinyatakan sebagai penyebab. Faktor
jaringan adalah protein, hadir dalam jaringan
subendothelial, trombosit, dan leukosit diperlukan
untuk memulai kaskade koagulasi yang akhirnya
mengarah ke pembentukan trombin dari zymogen
protrombin. TF adalah inisiator fisiologis
utama koagulasi dan karena pelepasanya juga
dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang
berlebihan pada pasien dengan trauma kepala.3,10
Hal ini menunjukkan bahwa aktivasi ini
tergantung pada jumlah TF yang dilepaskan
dari kerusakan jaringan otak. Penelitian Gando
dan rekan-rekan menunjukkan kadar TF yang
lebih tinggi pada pasien dengan cedera kepala
dibandingkan pasien yang bukan cedera kepala.
Namun ditegaskan kadar plasma antigen terlarut
faktor jaringan belum dapat dijelaskan dan apakah
kadar ini memiliki arti serta apa fungsinya belum
diketahui.3 Paparan awal TF terhadap faktor VII
dan VIIA menghasilkan FVIIa /TF kompleks.
Bentuk kompleks ini menghasilkan sejumlah
kecil faktor Xa dan faktor IXa. Faktor Xa bersama
dengan permukaan membran mengaktifkan
sejumlah kecil protrombin menjadi trombin.
Generasi kecil trombin akan mengaktifkan
Disseminated Intravascular Coagulation pada Cedera Otak
Traumatik
203
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis 7
Analisis
Jumlah Platelet
Activated partial thromboplastin (APTT)
Prothrombin time (PT)
Thrombin clotting time (TCT)
Fibrin degradation time (TCT)
Hypofibrinogen
Other coagulation factors II, VII, X, VIII
Coagulation inhibitors-antithrombin III, protein
C
Blood film
Supplementary and research test-prothrombin
fragment 1+2 thrombin-antithrombin complex
(TAT-complex), procalcitonin (PCT)
Plasmin-antiplasmin complexes (PAP-complex)
Early
Late
↑
↑
↑
↑
↑
↓
↓
↓
↓↓
↑↑
↑
↑
↑↑
↓↓
↓↓
↓↓↓
Usually normal in
early stages
↑
Fragmented red cells+in subacute or
chronic cases
↑
Traumatic Brain Injury
Brain tissue damage
Local release tissue factor
Activation of haemostasis
system
Fibrin deposition
Depletion coagulation factors and platelets
Multi organ-failure
Haemorrhagic
10
diathesis
Gambar 2. Diagram Skematik TBI dan Koagulopati
trombosit dan faktor V dan VIII, dimana
akan menyediakan permukaan yang sesuai
untuk membentuk prothrombinase yang akan
membutuhkan lebih banyak generasi trombin
untuk konversi fibrinogen menjadi fibrin.3,9,11
Aktivasi faktor jaringan-dependen dari koagulasi,
yang kemudian dikenal sebagai jalur ekstrinsik,
menyebabkan pembentukan thrombus fibrin
mikro dan makrovaskular. Mekanisme kontrol,
termasuk inhibitor jalur faktor jaringan (TFPI),
sistem protein C, dan antitrombin glycosamine
glycans aktif untuk melawan pembentukan fibrin
204
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan melokalisir pembentukan fibrin ke tempat
cedera, tetapi sering tidak cukup setelah terpapar
TF yang luas. DIC yang dicetuskan oleh aktivasi TF,
menghambat mekanisme antitrombotik melalui
pelepasan sitokin dan upregulation menyebabkan
gangguan jalur antikoagulasi fisiologis. Hal ini
dapat menyebabkan nekrosis dan perdarahan di
banyak organ, akhirnya menyebabkan kegagalan
multi organ (multiple organ failure/MOF).10
Beberapa penelitian telah memastikan hubungan
antara abnormalitas koagulasi dengan outcome
yang buruk. Keterkaitan antara abnormalitas
koagulasi dengan perdarahan intraserebral lambat
juga telah dibuktikan. Diagnosis dan penanganan
koagulopati pada TBI masih menjadi kontroversi,
walaupun penangangan awal yang telah diberikan
pada fase awal hiperkoagulasi dapat mencegah
progresi lesi dan meningkatkan outcome.10
secara signifikan waktu koagulopati. Obat anti
fibrinolitik seperti aprotinin, asam tranexamat
dan asam aminokaproat sering digunakan pada
operasi jantung. Peran obat antifibrinolitik
pada pasien trauma dengan perdarahan yang
banyak, belum diketahui secara jelas. Data awal
penelitian menunjukkan factor rekombinan VIIa
(rF VIIa) mampu memperbaiki koagulopati
pada trauma kepala dengan baik dan cepat yang
dapat menjadi terapi alternatif. Hal yang menarik
adalah terapi dengan rFVIIa dalam waktu
empat jam setelah onset perdarahan intrakranial
mampu menghambat perkembangan hematoma,
menurunkan mortalitas dan meningkatkan
outcome fungsional dalam waktu 90 hari.
Namun demikian rFVIIa harus diberikan secara
hati-hati karena resiko tromboemboli.8,10,12,13
IV. Manajemen Koagulopati pada TBI
V. Simpulan dan Rekomendasi
Guidelines yang pasti untuk penanganan
koagulopati pasca TBI belum ada. Juga belum
ada penelitian acak dengan intervensi pemberian
Fresh Frozen Plasma (FFP), obat antitrombosis
atau konsentrat factor koagulasi antitrombosis
setelah TBI. Secara umum terapi gangguan
koagulasi ditujukan untuk menghilangkan
penyebab primernya. Tujuan terapi seharusnya
mengatasi koagulasi, melisiskan bekuan yang ada,
mengganti faktor koagulasi serta mengembalikan
hiperfibrinolisis.1 FFP dan trombosit concentrate
(TC) direkomendasikan untuk perdarahan aktif.
Satu penelitian bahkan merekomendasikan FFP
sebagai cairan resusitasi pada pasien dengan GSC
≤7.12
Koagulopati sering terjadi padaTBI. Koagulopati
lebih berat pada trauma yang berat. Taruma otak
yang progresif terjadi lebih sering pada pasien
dengan koagulopati. Adanya koagulopati pada TBI
mengindikasikan prognosis yang buruk, sehingga
pemeriksaan rutin terhadap status koagulasi harus
selalu dilakukan pada semua pasien TBI. Secara
spesifik status koagulasi yang dimaksud adalah
hiperkoagulopati dan DIC. Guidelines terhadap
skor DIC yang direkomendasikan adalah
D-Dimer atau FDP, jumlah trombosit, protrombin
time (PTT) dan fibrinogen. Data-data ini memiliki
implikasi yang penting dalam penanganan pasien.
Namun banyak yang tidak setuju dengan
pendapatnya. Pemberian heparin sebagai
antikoagulan yang diikuti dengan penggantian
agresif dengan trombosit dan FFP dapat menjadi
indikasi terapi pada DIC secara umum.13
Sebagian besar klinisi yang menangani TBI takut
untuk memberikan heparin karena peningkatan
resiko perdarahan intrakranial dan sedikit bukti
klinis yang mendukung. Berbagai pendekatan
telah dilakukan untuk memperbaiki koagulopati
pada TBI. Pemberian dini antitrombin III
(AT III) pada pasien TBI dapat mengurangi
1. Stein SC, Smith DH. Coagulopathy in
traumatic brain injury. Neurocritical Care
2004; 1 (4) : 479 -88.
Daftar Pustaka
2. Takahashi H, Urano T, Nagai N, Takada Y,
Takada A. Neutrophil elastase may play a key
role in developing symptomatic disseminated
intravascular coagulation and multipel organ
failure in patient with head injury. Journal
of Trauma-Injury Infection & Critical Care.
July 2000; 49 (1): 86–91.
Disseminated Intravascular Coagulation pada Cedera Otak
Traumatik
3. Talving P, Benfield R, Hadjizacharia P, Inaba
K, Chan LS, Demetriades D. Coagulopathyin
severe traumatic brain injury: A Prospective
Study. Journal of Trauma–Injury Infection &
Critical Care. January 2009; 66 (1): 55–62.
4. Hess JR, Brohi K, Dutton RP, Hauser CJ,
Holcomb JB, Kluger Y, et al. The coagulopathy
of trauma: a review mechanism. Journal of
Trauma–Injury Infection & Critical Care.
October 2008; 65 (4) : 748–54.
5. Jacoby RC, Owings JT, Holmes J, Battistella
FD, Gosselin RC, Paglieroni TG. Platelet
Activation and function after trauma. Journal
of Trauma–Injury Infection & Critical Care.
October 2001; 51 (4): 639–47.
6. Vavilala MS, Dunbar PJ, Rivara FP, Lam
AM. Coagulopathy predicts poor outcome
following head injury in children less than
16 years of age. Journal of Neurosurgical
Anesthesiology. January 2001; 13 (1): 13–8.
7. Tan CW, Ward CM, Isbister JP. Haemostatic
failure. Dalam: Bersten AD, Soni, N, eds.
OH's Intensive Care Manual, 7th, China:
Elsevier 2014, 1003–16.
8. Marcel L, Evert DJ, Tom VDP, Hugo
TC. Novel aproach to the management of
205
disseminated intravascular coagulation.
Crtical Care Medicine. September 2000;
28(9): 20–4.
9. Nekludov M, Antovic J, Bredbacka S,
Blomback M. Coagulation abnormalities
asscociated with severe isolated traumatic
brain injury: cerebral arterio-venous
differences in coagulation and inflamatory
markers. Journal of Neurotrauma. January
2007; 24 (1) : 174–80.
10. Harhangi BS, Kompanje EJO, Leebeek FWG,
Maas ALR. Review article: coagulation
disorders after traumatic brain injury. Acta
Neurochir 2008; 150: 165–75.
11. Gando S. Disseminated intravascular
coagulation in trauma patient. Semin thromb
haemost 2001; 27 (6): 585–92.
12. May AK, Young JS, Butler K, Bassam D,
Brondy W. Coagulopathy in severe closed
head injury: is empiric therapy warranted.
Am.Surg 1997; 63(3): 233–36; discussion
236–37.
13. Rubin RN, Colman RW. Disseminated
intravascular coagulation. Approach to
treatment. Drugs1992; 44(6): 963–71.
Indeks Penulis
A
Agus Baratha Suyasa, 199
Ardana Tri Arianto, 164
B
Bambang Suryono, 180, 199
Buyung Hartiyo Laksono, 157
D
Dewi Yulianti Bisri, 189
H
Himendra Wargahadibrata, 149
I
Iwan Fuadi, 141
M
MH Soedjito, 164
N
Nazaruddin Umar, 149
R
Rebecca S. Mangastuti, 149
Radian Ahmad Halimi, 141
Riyadh Firdaus, 180
S
Siti Chasnak Saleh, 157, 173, 180
Sudadi, 199
T
Tatang Bisri, 141, 189
Indeks Subjek
A
Anestesi, 149
Anatomi foramen magnum, 180
Awake craniotomy, 173
B
Bispectral index, 180
C
Cedera otak traumatik, 141, 199
D
Dexmedetomidine, 173
Disseminated intravascular coagulation, 199
F
Fentanyl, 173
Fossa posterior, 164
I
Infark serebri, 157
IONM, 180
K
Koagulopati, 199
M
Malformasi Arnold Chiari, 164
Meningioma, 149
N
Numeric rating scale, 141
Non neurosurgery, 157
P
Post traumatic headache, 141
Posisi prone, 164
Posisi park bench, 180
Propofol, 173
Proteksi otak, 189
Prosedur non neurosurgery, 157
R
Resusitasi otak, 189
S
Space occupying lession, 157
T
Terapi hipotermia, 189
Tehnik proteksi otak, 157
Tumor supratentorial, 173
Total intra venous anesthesia, 149
Pedoman Bagi Penulis
1.
Ketentuan Umum
Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menerima tulisan Neurosains dalam bentuk
Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan
Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang
dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah
lengkap yang belum dipublikasikan dalam
majalah nasional lainnya. Naskah yang telah
dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah
masih dapat diterima asalkan mendapat
izin tertulis dari panitia penyelenggara.
2.
Judul
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata,
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.
3. Abstrak
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.
Abstrak Penelitian:
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method,
Result, and Discussion). Dalam introduction
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi
dan menjadi masalah serius karena dapat
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih
yang menjalani pembedahan lebih dari dua
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.
Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan
memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
mengalami gangguan atensi, 36% sampel
mengalami gangguan memori dan 52% sampel
mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
Pemeriksaan
kognitif
yang
mengalami
penurunan bermakna adalah digit repetition
test, immediate recall, dan paired associate
learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang
menjalani operasi elektif di
GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Abstrak Laporan Kasus:
Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
simpulan
Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
Abstract
Meningoencephaloceles are very rare congenital
malformations in the world that have a high
incidence in the population of Southeast Asia,
include in Indonesia. Children with anterior
meningoencephaloceles should have surgical
correction as early as possible because of the facial
dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele
caused by increasing brainprolapse, and risk
of infection of the central nervous system. In
the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt)
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital
meningoencephalocele leads the anaesthetist to
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges
in management of meningoencephalocele,
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its
associated complications and accurate assessment
of blood loss and prevention of hypothermia
pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologic
dan kebutuhan pemantauan tekanan intracranial
atau drainase ventrikel atau keduanya.
Key
words:
Anaesthesia,
difficult
ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
meningoencephalocele, padiatrics
Contoh cara penulisannya:
Abstrak Tinjauan Pustaka:
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
Abstrak
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum
dari perdarahan intracranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM),
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan
intraserebral sering dihubungkan dengan
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma,
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defist neurologic fokal
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologic
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)
Kata kunci: perdarahan intracranial, stroke
perdarahan
Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
4.
Cara Penulisan Makalah
Penulisan Daftar Pustaka:
•
Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
datang”di dalam teks, Vancouver style.
Jumlah kepustakaan minimal 10 dan
maksimal 20 buah.
•
Dari Jurnal:
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
2001; 344(19):1450–58.
Dari Buku:
1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
hemorrhage: intensive care management.
Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.
2. Rost N, Rosand J. Intracerebral hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
Care. New York: Cambridge University
Press;2010,143-56.
Materi Elektronik
Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
Fosha D. Attachment as a transformative process
in AEDP: operationalizing the intersection of
attachment theory and affective neuroscience.
Journal of Psychotherapy Integration [Online
Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011].
Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com
5.
Jumlah halaman
Laporan Kasus
Laporan Penelitian : 10-12 halaman
: 15 halaman
Tinjauan Pustaka
: 15-20 halaman
Surat Pembaca
: 1 halaman
Ditik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:
Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC, KNA
(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Atmajaya Khatolik – Jakarta)
Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Abdul Lian, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
MH. Sudjito, dr., SpAnKNA
(Universitas Sebelas Maret ‒ Surakarta)
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi
FORMULIR PESANAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap
: ………………………………………………………………...
Alamat Rumah
: ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik
: ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor
: ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan
: ………………………………. s.d ……………………………...
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui :
□
Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile: 087722631615
JNI dikirimkan ke* :
Alamat Rumah
Alamat praktik
Alamat Kantor
□
□
□
Bandung, …………………………………
Hormat Saya
(
* pilih salah satu
** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten
)
Download