Evidence Based Case Report HUBUNGAN ANTARA 25(OH) VITAMIN D DENGAN MORTALITAS PADA PENYAKIT HATI KRONIK Penulis dr. Luki Kusumaningtyas NPM: 1106140810 Moderator dr. Juferdy Kurniawan, SpPD-KGEH DIVISI HEPATOLOGI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, DESEMBER 2014 BAB I PENDAHULUAN Penyakit hati kronik tahap akhir (end stage chronic liver disease) erat kaitannya dengan sirosis hati. Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepar yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.1,2 Di negara barat, penyebab sirosis yang tersering adalah penyakit hati alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun hepatitis C.1 Penyakit hati kronik, terutama sirosis hepatis hingga saat ini juga masih menjadi masalah yang cukup rumit dalam dunia kesehatan karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat komplikasinya. Komplikasi yang sering ditemui pada pasien sirosis hati antara lain peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal, hipertensi porta dengan manifestasi varises esofagus, ensefalopati hepatikum, atau sindrom hepatopulmonal.1, 2 Selain dari bentuk komplikasi tersebut, didapatkan pula defisiensi vitamin D pada pasien dengan penyakit hati kronik, yang berbanding lurus sesuai dengan tingkat keparahannya.3,4Calcidiol atau 25-hidroksi (25-OH) vitamin D yang diproduksi oleh hepar, merupakan bentuk vitamin D terbanyak yang dijumpai dalam sirkulasi, sehingga kadarnya digunakan dalam penentuan status defisiensi vitamin D.Kadar 25-hidroksi vitamin D yang rendah dalam darah pasien dengan penyakit hati kronik lanjut atau gagal hati terkait dengan terganggunya sintesis maupun absorbsi vitamin D.4 Makalah berbasis bukti ini disusun dengan tujuan untuk membahas mengenai apakah terdapat hubungan antara 25 hidroksi-vitamin D terhadap risiko mortalitas pasien dengan penyakit hati kronik secara umum, terlepas dari apapun penyebabnya. BAB II ILUSTRASI KASUS Seorang laki-laki, Tn AMH, berusia 20 tahun dirawat di RSCM dengan keluhan muntah darah berulang 6 jam SMRS. Pasien mengeluh badan bertambah lemas dan menjadi pucat, tidak nafsu makan, mual dan BAB hitam sejak 2 hari SMRS. Mata tidak kuning, BAK tidak ada keluhan. Sejak 1 tahun terakhir pasien sudah pernah 8 kali dilakukan tindakan ligasi, terakhir 3 minggu SMRS. Dari hasil endoskopi terakhir dikatakan ada varises esophagus di sepertiga bawah. Pasien sudah pernah diperiksa USG perut sekitar 1 bulan SMRS, dikatakan sesuai gambaran penyakit hati kronik dengan pembesaran limpa. Hasil laboratorium sebelumnya tidak didapatkan infeksi hepatitis virus baik B atau C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva pucat, sklera anikterik, jantung dan paru dalam batas normal, palpasi limpa teraba schuffner II, sedangkan hepar tidak teraba.Shifting dullness, spider naevi, palmar eritema, dan edema tungkai bawah tidak didapatkan. Pemeriksaan penunjang radiografi thoraks tidak ditemukan kelainan, sedangkan dari pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia dengan Hb 6,1 gr/dL, lekosit 2220 dan trombosit 72.000. Hasil HbsAg, anti HCV, anti HBc, dan anti HIV non reaktif. Pemeriksaan kimia darah SGOT 14, SGPT 10, Bilirubin 0,89 / direk 0,45 / indirek 0,44, Albumin 3,05 dan Globulin 3,75. Pemeriksaan hemostasis APTT 37,2 k32,2 detik, PT 14,5 k12,1 detik, INR 1,30, Ddimer 300, Fibrinogen 154,8. Pada pasien ini dirumuskan masalah 1)hematemesis melena ec pecah varises oesofagus, 2) varises esofagus sepertiga bawah pro ligasi ke-9, 3) penyakit hati kronik dengan pansitopenia, hipoalbuminemia, dan splenomegali. Saat ini pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxim 3x 1000 mg, omeprazole 2 x 40 mg, vitamin K 3 x 10 mg. Selain itu juga diberikan transfusi PRC sampai mencapai target Hb diatas 9 gr/dL untuk persiapan tindakan ligasi varises esofagus. BAB III METODE 3.1 Masalah Klinis Kasus penyakit hati kronik dengan komplikasi pecah varises esofagus berulang di usia muda seperti ini memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi, serta risiko untuk terjadi defisiensi vitamin D.Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana hubungan antara 25hidroksi-vitamin D terhadap mortalitas penyakit hati kronik? 3.2 Metode Penelusuran Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah klinis tersebut adalah dengan menyusuri pustaka secara on-line dengan menggunakan instrumen pencari Pubmed dan Cochrane.Kata kunci pencarian yang digunakan adalah : “association of 25-hydroxy vitamin D” AND “chronic liver disease mortality” dengan menggunakan pembatasan antara lain yaitu bahasa Inggris, objek penelitian pada manusia, usia diatas 19 tahun, dan publikasi dalam lima tahun terakhir. Pada hasil pencarian di Pubmed dengan kata kunci diatas, didapatkan empat artikel. Kemudian dieksklusi dengan batasan bahasa Inggris dan objek penelitian pada manusia,usia diatas 19 tahun, publikasi dalam 5 tahun terakhir (2009 – 2014), serta ketersediaan akses artikel lengkap (full text) maka didapatkan 3 artikel. Satu artikel diantaranya kurang relevan dalam menjawab masalah klinis pada pasien ini. Dari dua artikel tersisa diantaranya yaitu: 1. Penelitian kohort di Austria selama 4 tahun olehPutz-Bankuti C, et al5 dengan judulAssociation of 25-Hydroxyvitamin-D Levels with Liver Dysfunction and Mortality in Chronic Liver Disease yang di publikasi pada jurnalLiver Int. bulan Mei tahun 2012; dan 2. Penelitian kohort di Cina selama lebih dari 22 tahun dari Wang JB, et al6 dengan judulAsssociation between Serum 25 (OH) Vitamin D, Incident Liver Cancer and Chronic Liver Disease Mortality in the Linxian Nutrition Intervention Trials: a Nested CaseControl Study yang di publikasi dalam British Journal of Cancer, bulan September tahun 2013. Dari pencarian di Cochrane dengan kata kunci pencarian diatas, tidak didapatkan hasil yang sesuai dengan masalah klinis kasus ini. 3.3 Telaah Kritis Pada makalah ini akan ditelaah secara kritis kedua jurnal tersebut terhadap studi prognostik seperti yang tercantum berikut ini. Komentar : Pada artikel pertama (Putz-Bankuti C, et al dengan simbol persegi panjang)dan yang kedua (Wang JB, et al dengan lambang bintang) disebutkan pengambilan sampel pasien pada saat awal diketahui terdapat penyakit hati kronik. Komentar : Pada studi pertama (Putz-Bankuti C, et al) didapatkan median follow up 3,6 tahun (range 0,1 – 3,9 tahun), sedangkan pada studi kedua (Wang JB, et al) dievaluasi berdasarkan tiga kategori durasi follow up yaitu kelompok < 7 tahun, ≥ 7 – < 14 tahun, dan ≥ 14 tahun dengan total durasi penelitian lebih dari 22 tahun. Komentar : Objektif kedua studi tersebut dijelaskan secara eksplisit perihal keluaran seperti apa yang ditetapkan, yaitu berupa angka mortalitas di akhir masa penelitian atau saat dilakukan follow up. Metode penelitian dari Putz-Bankuti C, et al besifat kohort konsekutif, sedangkan pada studi kedua oleh Wang JB et al menggunakan desain nested case control, sehingga keduanya tidak termasuk dalam desain blind methods. Komentar : Selain kadar 25 hikdroksi vitamin D, kedua artikeljuga mengkategorikan beberapa sub grup seperti usia dan jenis kelamin. Penggolongan berdasarkan Child Pugh / skor MELD dan beberapa parameter laboratorium lainnya juga dicantumkan pada studi Putz-Bankuti C, et al; sedangkan pada studi kedua oleh Wang JB et al dimasukkan pula penggolongan berdasarkan etiologi hepatitis B atau C, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi alkohol, kadar kalsium dan indeks massa tubuh. Pada artikel pertamaoleh Putz-Bankuti C, et al dicantumkan kurva kesintasan sebagai hasil dari studi tersebut berikut ini Sedangkan pada studi kedua oleh Wang JB et al tidak dibuatkan grafik kurva kesintasan, namun dicantumkan dalam bentuk tabel saja. Kedua artikel tersebut akan penulis sertakan pada bagian Lampiran di akhir makalah ini. Pada studi pertama oleh Putz-Bankuti Cet al, interval kepercayaan (95% CI) didapatkan per standar diviasi 25(OH)D secara kasar adalah 0,31 – 0,88 dengan nilai P 0,016. Pada studi kedua oleh Wang JB et al, didapatkan interval kepercayaan yang lebih sempit dibandingkan dengan studi pertama, sehingga lebih bermanfaat dalam memperkirakan mortalitas sebagai hasil akhir studi, yaitu dengan nilai kasar 0,82 – 0,94 dengan nilai P < 0,001. Putz-Bankuti C et al, 2012 Is my patient so different to those in the Ya study that the result cannot apply? (Kaukasia, alkoholik) Will this evidence make a clinnically Ya important impact on my conclusions about what to offer to tell my patients? Wang JB et al, 2013 Tidak (sesama ras Asia) Ya BAB IV HASIL 1. Penelitian Putz-Bankuti C, et al5 Pada penelitian kohort ini ditujukan untuk evaluasi prevalensi pasien dengan defisiensi vitamin D pada sirosis hepatis dan hubungannya dengan kadar 25-(OH)-vitamin D terhadap kesintasan, munculnya dekompensasi hati, dan derajat disfungsi hati sesuai skor Child Pugh maupun MELD (Model for End Stage Liver Disease). Penelitian tersebut terdiri dari 75 pasien sirosis yang rawat jalan di klinik hati Medical University of Graz di Austria, antara bulan Juli 2007 hingga Desember 2007, evaluasi mortalitas pada bulan Mei 2011. Hubungan antara status 25(OH) vitamin D dengan mortalitas dibedakan pada pasien dengan dan tanpa ketergantungan alkohol. Uji interaksi dilakukan dengan model Cox proportional hazard, dengan analisis SPSS versi 17.0. Hasil penelitian tersebut didapatkan rata-rata kadar 25(OH)D yaitu 16 ± 9,2 ng/mL dan berkorelasi terbalik dengan skor MELD (r = -0,34, P = 0,003 dan Child Pugh (r = -0,21. P =0,08). Sebanyak 37 pasien berkembang menjadi dekompensasi hati, dan 24 pasien meninggal dalam median follow up selama 3,6 tahun. Risiko relatif yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin (interval kepercayaan 95%) adalah 6,37 (1,75 – 23,2 ; P = 0,005) untuk dekompensasi hati, dan 4,31 (1,38 – 13,5; P – 0,012) untuk mortalitas dalam tertile 25 (OH)D pertama vs ketiga, meskipun hubungannya secara luas melemah kerah tren non signifikan setelah penyesuaian tambahan dengan skor Child Pugh dan skor MELD. Kesimpulan dari penelitian Putz-Bankuti et al ini yaitu terdapat hubungan signifikan dari 25(OH)D dengan derajat disfungsi hati dan memberi kesan bahwa rendahnya kadar 25(OH)D dapat memprediksi kejadian dekompensasi hati dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati kronik. 2. Penelitian Wang JB et al6 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi 25(OH) D serum dan risiko insiden kanker hati primer serta mortalitas dari penyakit hati kronik. Penelitian ini menggunakan metode nested case-control kohort di Linxian Nutrition Intervention Trial (NIT) di Cina, selama 22 tahun (1985 – 2007), dengan total subyek 1063 orang, didapatkan hasil sebanyak 282 kematian pada penyakit hati kronik. Pada tabel tersebut menunjukkan data demografik penelitian Wang JB et al, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok kasus baik antara usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, alkohol, indeks massa tubuh, atau musim saat pengambilan darah. Hasil nilai median kadar serum 25(OH)D lebih rendah pada kelompok yang meninggal dengan penyakit hati kronik (15,3 nmol/L) daripada kelompok kontrol (20,1 nmol/L), dengan P < 0,001.Namun hasil pada kelompok kanker hati hampir serupa dengan kelompok kontrol, yaitu dengan median 20,0 dan P 0,973. Untuk hubungan antara 25(OH) D serum dengan mortalitas penyakit hati kronik ditunjukkan pada tabel berikut, yang didapatkan hasil hubungan yang signifikan antara tingginya 25 (OH)D pada serum dengan rendahnya risiko kematian pada penyakit hati kronik. Pada subyek dengan hasil 25(OH)D di kuartil ke-4, memiliki risiko lebih rendah sebesar 66 % dalam mortalitas pada penyakit hati kronik (OR 0,34 IK95% 0,21 – 0,55). BAB IV DISKUSI Penyakit hati kronik merupakan penyebab kematian kelima terbanyak di Eropa.7penyakit hati kronik yang lanjut biasanya terkait dengan komplikasi akibat sirosis hati. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologi dan morfologi, menjadi: 1) alkoholik; 2) kriptogenik dan post hepatitis; 3) biliaris; 4) kardiak; dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat. 1Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, hepatitis C sebesar 30-40%, sedangkan 10-20% penyebab tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C.1 Defisiensi vitamin D merupakan salah satu komplikasi dari penyakit hati kronik7. Dari beberapa penelitian terdahulu telah diketahui bahwa defisiensi vitamin D menjadi penting untuk ditindaklanjuti sehubungan dengan peranannya pada imunoregulasi, pertumbuhan sel dan proliferasinya, sebagai antioksidan, serta berperan dalam regulasi proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen.3 Vitamin D berasal dari sintesis di dalam kulit setelah terpapar dengan radiasi ultraviolet B, atau dari diet dalam saluran cerna, yang kemudian disimpan di dalam sel-sel lemak. Untuk mejadikannya menjadi bentuk biologis aktif, vitamin D mengalami dua kali hidroksilasi; pertama di dalam hati, menghasilkan 25-OH vitamin D, dan yang kedua di dalam ginjal, yang menghasilkan 1,25-OH vitamin D. Bentuk aktif vitamin D memasuki selsel dan terikat dengan reseptornya. 4,8 Kadar vitamin D dalam darah digambarkan dengan kadar 25(OH)D serum, namun belum ada kesepakatan klinis yang menyebutkan nilai normalnya dengan pasti. Pada populasi umum konsentrasi 25(OH)D normal adalah 75 – 120 nmol/L (30 – 50 ng/mL), sedangkan dikatakan inadekuat bila nilainya 50 – 75 nmol/L (20 – 30 ng/mL), dikatakan defisiensi bila nilainya < 50 nmol/L (< 20 ng/mL), tanpa ada perbedaan jelas antara jenis kelamin pria maupun wanita. 9 Dalam suatu artikel dikatakan defisiensi vitamin D bila dibawah 15 – 20 ng/mL, dan target kadar vitamin D (25hidroksi vitamin D) serum pada penyakit hati kronik adalah 30 ng/mL atau lebih.4 Penelitian kohort dari Putz-Bankuti et al merupakan yang pertama kali menelaah mengenai hubungan antara25(OH)D serum dengan mortalitas pada penyakit hati kronik, terutama pada sirosis hati, sedangkan penelitian dari Wang JB et al juga merupakan penelitian pertama secara prospektif dalam kaitannya antara 25(OH)D serum dengan mortalitas pada penyakit hati kronik dan dengan insiden kanker hati. Kedua penelitian ini menyatakan bahwa semakin tinggi kadar 25(OH)D dalam serum pada pasien dengan penyakit hati kronik, maka semakin rendah risiko mortalitasnya, atau sebaliknya, bahwa semakin rendah nilai 25(OH)D dalam serum maka semakin tinggi angka mortalitasnya pada pasien dengan penyakit hati kronik. 5, 6 Pada pasien sirosis hati sangat mungkin terjadi penurunan kadar 25(OH)D karena (i) berkurangnya paparan sinar matahari yang berakibat rendahnya jumlah sintesis vitamin D pada kulit, (ii) malnutrisi, (iii) gangguan absorbsi vitamin D dan / atau hikdroksilasinya pada hati. 10 Sementara itu, defisiensi vitamin D berkaitan pula dengan tingkat keparahan fibrosis dan rendahnya respon terhadap terapi interferon pada hepatitis C kronik. 11 Hasil penelitian dari Putz-Bankuti et al memiliki beberapa keterbatasan karena jumlah sampel relatif kecil pada ras Kuakasiadengan latar belakang penyebab terbanyak merupakan penyakit hati alkoholik, sehingga kurang sesuai dengan populasi pasien di Indonesia. Namun penelitian ini memberikan gambaran berupa hubungan kadar vitamin D serum dengan stratifikasi prognosis sesuai Child Pugh maupun MELD disamping nilai akhir berupa mortalitas pada penyakit hati kronik. Penelitian dari Wang JB et al tampaknya lebih sesuai untuk menggambarkan populasi seperti di Indonesia, dengan sampel ras Asia (Cina), dan penyebab terbanyak yaitu karena hepatitis. Selain itu dengan besarnya sampel hingga 282 pasien penyakit hati kronik dengan 1063 orang pada kelompok kontrol, serta lamanya penelitian hingga 22 tahun, maka penelitian ini lebih dapat digunakan untuk prediksi mortalitas pasien penyakit hati kronik di Indonesia. Meskipun demikian penelitian ini juga memiliki keterbatasan terhadap data tingkat fibrosis hati pada awal penelitian, serta pengambilan serum sampel yang hanya dilakukan satu kali saja di awal penelitian sehingga hanya menggambarkan keadaan sesaat untuk dapat mengklasifikasikan status vitamin D pasien. Selain itu, data dari histopatologi yang menggambarkan diagnosis pasti dari penyakit hati kronik atau kanker hati hanya sedikit saja yang terlaksana. BAB VI KESIMPULAN Berdasarkan kedua penelitian tersebut, dapat diambil kesimpulan berupa terdapat hubungan antara rendahnya 25 (OH) vitamin D dengan tingginya mortalitas pasien dengan penyakit hati kronik, dengan nilai yang signifikan. Meskipun terdapat beberapa keterbatasan, namun data yang dihasilkan dapat dijadikan acuan bukti yang cukup untuk prediksi prognosis penyakit hati kronik terhadap mortalitas. Oleh karena itu, dapat disarankan kepada klinisi untuk memantau kadar 25(OH)D serum pasien untuk menilai apakah pasien termasuk dalam defisiensi vitamin D, dan apakah diperlukan suplementasi per oral untuk mengkoreksi kekurangan vitamin D tersebut sebagai usaha memperbaiki prognosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Nurdjanah S. Sirosis Hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. page 668-80. 2. Kuntz E, Kuntz H-D. Liver Cirrhosis. Hepatology: Principles and Practise. 2nd ed. Germany: Springer; 2006. page 716-45. 3. Rode A, Fourlanos S, Nicoll A. Oral Vitamin D Replacement is Effective in Chronic Liver Disease. Gastroenterologie Clinique et Biologique (2010) 34. Australia : Elsevier Masson SAS; 2010. Page 618 – 20. 4. Nair S. Vitamin D Deficiency and Liver Disease. Gastroenterology and Hepatology Journal. Volume 6, Issue 8, August 2010. Page 491 – 3. 5.Putz-Bankuti C, et al.Association of 25-Hydroxyvitamin-D Levels with Liver Dysfunction and Mortality in Chronic Liver Disease.Liver Int. May, 2012. Page845 – 51. 6. Wang JB, et al. Asssociation between Serum 25 (OH) Vitamin D, Incident Liver Cancer and Chronic Liver Disease Mortality in the Linxian Nutrition Intervention Trials: a Nested Case-Control Study.British Journal of Cancer.September. 2013. Page 1997 – 2004. www.bjcancer.com. DOI:10.1038/bjc.2013.546. 7. Stokes CS, Krawczyk M, Reichel C, Lammert F, Grünhage F. Vitamin D Deficiency is Associated with Mortality in Patients with Advanced Liver Cirrhosis.Eur J Clin Invest. 2014 Feb;44(2):176-83. 8. Bitetto D, etal. Vitamin D Supplementation Improves Response to AntiviralTreatment for Recurrent Hepatitis C. Transplant International. 2010 : European Society for Organ Transplantation: 24 (2011). Page 43 – 50 9. Chen EQ, Shi Y, Tang H. New Insight of Vitamin D in Chronic Liver Disease. Hepatobiliary Pancreat Dis Int 2014;13:580-5. www.hbpdint.com 10. Zuniga S, Firrincieli D, Housset C, Chignard N. Vitamin D and the Vvitamin D Receptor in Liver Pathophysiology. Clin Res Hepatol Gastroenterol 2011; 35: 259 – 302. 11. Petta S, Camma C, Scazzone C, et al. Low Vitamin D Serum Level is Related to Severe Fibrosis and Low Responsiveness to Interferon-Based Therapy in Genotype 1 Chronic Hepatitits C. Hepatology 2010; 51: 1158 – 67.