BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena masyarakat yang memutuskan untuk mengadu nasib bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia kian banyak diminati. Berbagai alasan pun muncul menjadi latar belakang banyaknya masyarakat yang memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang disebut juga Buruh Migran Indonesia (BMI) antara lain karena desakan ekonomi keluarga dan sempitnya lapangan kerja di tanah air khususnya di sekitar tempat tinggalnya. Sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Staistika (BPS) per Februari 2013 tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5, 29 persen.1 Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi orang yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah bekerja) atau sedang mempersiapkan suatu usaha, orang yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Semakin tinggi angka pengangguran terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang ditimbulkannya contoh kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial dalam masyarakat. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga sehingga hanya orang yang termasuk angkatan kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka. 2 1 BPS, Pada Februari 2013, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 5,92 Persen, diunggah tanggal 6 Mei 2013, http://www.bps.go.id/?news=1010, kategori: Berita Resmi Statistika, diakses pada tanggal 10 November 2013 pukul 19.15 WIB. 2 Statistic Indonesia, Pengangguran Terbuka (Pengangguran Terbuka.pdf) http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=80 3, kategori: Ketenagakerjaan, diakses pada tanggal 10 November 2013 pukul 19.30 WIB. 2 Besarnya angka pengangguran terbuka mempunyai implikasi sosial yang luas karena mereka yang tidak bekerja tidak mempunyai pendapatan.3 Gaji yang lebih besar dibanding gaji bekerja di dalam negeri, keinginan keluar dari masalah personal seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mencari pengalaman hingga sekedar mengikuti teman atau keluarga yang pernah menjadi TKI menjadi latar belakang keberangkatan ke luar negeri sebagai TKI. Berdasarkan data BNP2TKI, pemberangkatan TKI menurut daerah asal dan jenis kelamin sampai dengan bulan Mei Tahun 2012 secara keseluruhan mencapai 33.849 orang yang terdiri dari 12.080 laki-laki dan 21.769 perempuan.4 Jawa Tengah termasuk daerah dengan jumlah pemberangkatan TKI paling banyak mencapai total 8.177 orang. Untuk daerah Jawa Tengah 2.823 pada status pekerjaan formal dan 5.354 pada pekerjaan informal. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak TKI yang bekerja pada sektor informal seperti pembantu rumah tangga (PRT), buruh toko, pengasuh lansia atau anak-anak dan lain sebagainya.5 Jika melihat pada negara yang paling banyak menjadi tujuan dari para TKI maka akan didapat data sebagai berikut: 3 Ana Sabhana Azmy, 2012, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Menurut Laporan Biro Pusat Statistika, setiap pertumbuhan GNP (Gross National Product) negatif (turun) 1% akan mengakibatkan terjadinya pengangguran sebesar 400.000 orang. 4 Pusdatinaker, Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Tahun 2012.pdf., http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/listDokumen.php?cat=2, kategori: Arsip PDFPenempatan Tenaga Kerja, diakses pada tanggal 5 April 2013 pukul 00.36 WIB. 5 Ibid. 3 Tabel. I.1 Negara-Negara yang Banyak Menjadi Tujuan Penempatan TKI (2012)6 No. Negara Jumlah (orang) 1. Malaysia 8.152 2. Taiwan 6.101 3. Singapore 4.027 4. Hongkong 3.377 5. Arab 2.299 6. Qatar 1.693 7. Korea 1.426 Sumber: Ditjen Binapenta dan BNP2TKI, Diolah Pusdatinaker tahun 2012 Data di atas belum ditambah TKI yang berada di 72 negara lainnya dan sebagian besar dengan status pekerjaan di sektor informal. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, Indonesia dengan pengiriman TKI ke luar negeri hingga tahun 2012, negara telah menerima remitansi sebesar Rp. 561.527.226,88 dimana Malaysia menjadi negara dengan remitansi (kegiatan pengiriman uang) TKI paling tinggi sebesar Rp. 186.641.610,13 terhitung hingga bulan Mei tahun 2012.7 Data dari BNP2TKI menunjukkan perolehan devisa dari remitansi TKI yang bekerja di berbagai negara di kawasan Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia pada 2012 sampai dengan Juli 2012 mencapai US$ 3,9 miliar. Jumlah remitansi TKI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan BNP2TKI per Juli 2012 merinci untuk kawasan Saudi Arabia remitansi yang dikirim TKI sebesar US$ 1,1 miliar dan Malaysia US$ 1,3 miliar. Selebihnya disumbang oleh TKI di Amerika, Australia dan negara-negara 6 7 Pusdatinaker, Op.Cit. Ibid. 4 lain di Kawasan Asia Pasifik. Semakin banyak TKI yang diberangkatkan ke luar negeri maka semakin besar memberikan keuntungan kepada pemasukan devisa negara sehingga muncul istilah “Pahlawan Devisa” bagi para TKI yang diperkirakan menjadi penyumbang devisa negara kedua setelah sektor migas, jika terus meningkat maka akan menggeser sektor migas sehingga penempatan TKI dimungkinkan menduduki peringkat pertama.8 Fakta di lapangan menunjukkan tak sedikit dari para calon TKI maupun TKI yang terjebak dalam lingkaran setan proses menjadi TKI yang merugikan. Tahun 1999 hasil Laporan Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) menunjukkan bahwa terdapat banyak permasalahan yang dialami dalam penempatan TKI ke luar negeri baik yang berdokumen maupun tidak berdokumen, mulai saat rekruitmen, di penampungan PJTKI (sekarang disebut dengan PPTKIS), di penampungan agen ketika di negara tujuan, saat bekerja di negara tujuan, hingga kepulangan para TKI kembali ke daerah masing-masing dan permasalahan TKI secara lebih kasuistis.9 Hal ini juga sebagaimana tercantum dalam pernyataan KOPBUMI dalam menanggapi hasil The World Conference Against Racism, Racial 8 Wiji Nurhayat, Ini Dia Mengapa TKI disebut 'Pahlawan Devisa Negara', diunggah tanggal 26 September 2012, http://finance.detik.com/read/2012/09/26/164718/2038367/4/ini-diamengapa-tkidisebutpahlawan-devisa-negara, kategori: ekonomi bisnis, diakses pada tanggal 10 November 2013 pukul 23.15 WIB. 9 Tim Rachmad Syafa’at et.al., 2002, Menggagas Kebijakan Pro TKI : Rekomendasi Kebijakan Perlindungan TKI Luar Negeri di Kabupaten Blitar, Kerjasama Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya- Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Blitar dengan Lappera Pustaka Utama, Blitar, hlm. 4- 5. 5 Discrimination, Xenophobia, and Related Intolerance (WCAR) tahun 2001 dimana pada konferensi tersebut WCAR membahas isu-isu terkait dengan kemanusiaan seperti trafficking termasuk juga isu pekerja migran yang di dalamnya membahas isu permasalahan yang terjadi pada para pekerja migran Indonesia, pada saat itu meskipun Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi CEDAW dan ILO namun WCAR memberikan rekomendasi pada Indonesia untuk segera menandatangani dan meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya 1990, begitu juga dengan Konvensi PBB Melawan Kejahatan Organisasi Trasnasional, Protokol Untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak-anak, sebagai komitmen negara untuk melindungi hak-hak pekerja migran dan menghentikan terjadinya perdagangan terhadap manusia. Rekomendasi ini muncul karena di lapangan banyak ditemukan TKI yang menerima perlakukan diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran hak pekerja lainnya dimana pelanggaran ini tidak hanya terjadi di beberapa tahapan namun disemua tahap terkait pekerja migran Indonesia yaitu pada saat rekruitmen, di penampungan, pengurusan dokumen, saat bekerja di negara tujuan, maupun saat kepulangan ke tanah air dan daerah asal.10 10 KOPBUMI, Statement Of Consortium For Indonesia Migrant Workers Advocacy (Kopbumi), Responding WCAR Declaration In Protecting Indonesia Migrant Workers, (in The World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia, and related intolerance (WCAR) held in Durban, South Africa at 31 August to 8 September 2001), tanggal 14 September 2001, hlm 1. Meskipun dalam konferensi ini hadir Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., sebagai delegasi dari Indonesia yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM namun sayangnya justru beliau tidak banyak menyampaikan isu-isu permasalahan terkait pekerja migran Indonesia. Padahal pada saat itu banyak permasalahan terkait dengan pekerja migran yang ditujukan ke komisi WCAR. 6 Pada tahun 2004 Indonesia menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Perlindungan Their Families Hak-Hak Seluruh (Konvensi Pekerja Internasional Migran dan mengenai Anggota Keluarganya) tanpa reservasi.11 Meski demikian, konvensi ini baru diratifikasi pada tahun 2012 dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 6 tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya), rentan waktu yang cukup lama hingga suatu perlindungan TKI dan keluarganya di Indonesia diwujudkan dan direalisasikan dalam sebuah peraturan perundangundangan. Pada bulan Oktober 2004 diundangkan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN), dalam undang-undang tersebut diatur berbagai hal terkait dengan penempatan, dokumen-dokumen dan perlindungan TKI. Jika ditelaah secara seksama maka akan terlihat masih minimnya perlindungan terhadap para TKI hal ini dapat dilihat dari 109 pasal yang ada dalam undang-undang tersebut hanya 9 pasal yang mengatur terkait perlindungan TKI, selebihnya mengatur terkait prosedur 11 Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 6 tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). 7 penempatan.12 Setelah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN kemudian lahir beberapa kebijakan perlindungan untuk TKI antara lain Peraturan (Permenakertrans) Menteri Nomor 18 Tenaga Tahun Kerja 2007 dn tentang Transmigrasi Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diundangkan pada bulan Januari 2013, akan tetapi hingga saat ini masih banyak permasalahan yang menimpa TKI meski pun telah terdapat cukup banyak regulasi terkait TKI. Para calon TKI pun berasal dari berbagai pelosok daerah di Indonesia, sehingga dapat ditemui kantong-kantong TKI di beberapa daerah. Salah satunya adalah Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah dimana sebagian besar dari warganya menjadi TKI. Perkampungan yang berada di lereng lembah ini rata-rata masih berada dalam kondisi ekonomi yang belum mumpuni dan warga perkampungan ini banyak yang memutuskan untuk berangkat menjadi TKI. Tingkat pendidikan yang cukup rendah dan tidak merata serta hal lainnya seperti pola mikir lingkungan tempat tinggal ditambah maraknya percaloan TKI merupakan beberapa penyebab banyak diantara para calon TKI dari daerah ini tidak hanya kemudian menjadi TKI dengan banyak 12 Ana Sabhana Azmy, Op.Cit. hlm. 55. 8 risiko yang harus dihadapi tetapi juga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/trafficking. Tidak hanya berangkat dan menjadi TKI yang illegal/non-dokumen namun tidak sedikit para TKI tersebut kemudian juga mendapat perlakukan yang tidak layak pada tahap pendaftaran, penampungan, pemberangkatan, penampungan di agensi, selama bekerja di negara tujuan hingga kepulangan kembali ke daerah asalnya. Pihak-pihak yang melakukan perbuatan tidak layak tersebut pun mulai dari para calo, PPTKIS itu sendiri, agen dan majikan di negara penerima hingga petugas-petugas bandara yang notabene adalah aparatur negara yang seharusnya melindungi para TKI. Rangkaian hal-hal tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan tersebut tidak jarang menjadikan TKI korban TPPO/trafficking pulang ke daerah asal justru dengan berbagai masalah yang jauh lebih pelik. Sebagian besar korban TPPO/trafficking berasal dari kalangan tenaga kerja wanita (TKW) baik yang masih di bawah umur maupun dewasa. TKW yang menjadi korban TPPO/trafficking tersebut kemudian menjadi pribadi yang menutup diri dari kehidupan sosial bermasyarakat dengan lingkungan khususnya dengan warga di sekitar tempat tinggalnya.13 Hal ini sering terjadi pada mantan TKW yang tidak hanya menjadi korban TPPO/trafficking namun juga mendapat tindakan penganiayaan maupun kekerasan seksual seperti pemerkosaan oleh majikannya ketika bekerja di luar negeri. Banyaknya kejadian mantan 13 Informasi yang disampaikan Maizidah Salas sebagai Ketua SBMI DPC Wonosobo, saat penulis melakukan pra penelitian di Desa Tracap pada tanggal 7 Oktober 2014, pukul 13.00 WIB. 9 TKW yang pulang dalam keadaan yang tidak layak baik secara psikis maupun tataran sosial kemudian menjadi dasar perlu dilakukannya upaya untuk mengembalikan para mantan TKI/TKW tersebut kembali membuka diri pada kehidupan sosial bermasyarakatnya. Pada akhirnya kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) yang diharapkan mampu menjadi salah satu instrumen pemberantasan trafficking di Indonesia. Pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur bahwa “Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintahan apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang “, dalam pasal ini kemudian dapat ditemukan adanya pengaturan reintegrasi dalam tataran sosial yang menjadi dasar perlu adanya tindak lanjut dalam mengimplementasikan apa yang diatur oleh undang-undang sebagai reintegrasi sosial tersebut. SBMI DPC Wonosobo yang juga berkantor di Desa Tracap kemudian terus membawa isu ini untuk dapat diketahui kalangan luas dan berusaha melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut sehingga tercipta program yang disebut “Program Reintegrasi untuk para TKI korban TPPO”. Pada program tersebut terdapat berbagai macam kegiatan implementatif dan produktif yang dilaksanakan mulai dari 10 PAUD untuk anak-anak para TKI, koperasi, simpan pinjam, pelatihanpelatihan usaha dan lain sebagainya. Keaktifan dan produktifitas para mantan TKI korban TPPO/trafficking ini bersama dengan SBMI DPC Wonosobo yang kemudian menjadikan Desa Tracap diresmikan sebagai “Kampung Buruh Migran Indonesia (BMI)” pada tanggal 30 November tahun 2012 oleh BNP2TKI. Kampung BMI Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro ini merupakan kampung BMI percontohan dan pilot project dari pemerintah dalam melaksanakan reintegrasi bagi para mantan TKI korban TPPO yang diharapkan juga akan segera dapat dilaksanakan di kantongkantong TKI di daerah lain di Indonesia. Uraian di atas kemudian menjadi latar belakang penulis untuk melakukan penelitan hukum dengan judul “Pelaksanaan Program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo ? 2. Apakah kendala-kendala yang ditemui dalam melaksanakan program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai 11 Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo tersebut baik oleh para TKI, SBMI Wonosobo maupun pemerintah serta pihak-pihak yang bersangkutan? 3. Bagaimanakah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak yang bersangkutan (stakeholder) untuk menanggulangi kendala-kendala tersebut? C. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif yang hendak dicapai dari penelitian dengan judul “Pelaksanaan Program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo“ adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pelaksanaan program Reintegrasi terhadap mantan TKI yang merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/trafficking yang berada di wilayah Desa Tracap, Wonosobo; Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten 12 b. Untuk memperoleh data dan informasi terkait dengan kendala-kendala yang dihadapi baik oleh para TKI tersebut, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) DPC Wonosobo sebagai penggerak dan pelaksana, Pemerintah maupun Pihak-pihak yang bersangkutan dari dimulainya program ini hingga pelaksanaannya selama ini. c. Untuk memperoleh data dan informasi mengenai upaya apa saja yang telah dilakukan para pihak yang bersangkutan dalam menanggulangi kendalakendala yang dihadapi. Selain itu untuk mengetahui kontribusi masing-masing pihak dalam mendukung terselenggaranya program reintegrasi sehingga program ini dapat berlangsung dan terlaksana secara berkelanjutan dengan ideal dan baik. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan dalam penyusunan penulisan hukum ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 13 D. Manfaat penelitian Ada pun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagi Peneliti Penelitian ini akan memberikan pengetahuan yang baru dan mendalam terkait dengan pelaksanaan program reintegrasi terhadap TKI sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/trafficking yang terjadi di Desa Tracap dengan terjun langsung ke lokasi yang bersangkutan. Peneliti dapat mengetahui respon dan kontribusi dari pihak-pihak yang bersangkutan seperti TKI korban TPPO itu sendiri, SBMI DPC Wonosobo dan para stakeholder terhadap program ini. Selain itu menambah pengetahuan penulis terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam penempatan TKI yang terjadi di Wonosobo dan di Desa Tracap pada khususnya. 2. Bagi Perguruan Tinggi Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai mahasiswa merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang ilmu Hukum Perdata. 14 4. Bagi bidang praktik Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan berguna bagi para TKI, Praktisi Hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah serta masyarakat luas dalam menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan mengembangkan progam-program terkait TKI khususnya program reintegrasi bagi mantan TKI. E. Keaslian penelitian Menilik pada banyak penelitian baik dalam rangka penulisan hukum maupun penulisan lain yang mengambil topik hampir sama yaitu terkait TKI dan Tindak Pidana Perdagangan Orang/Trafficking maka tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa tulisan yang juga mengambil topik tersebut baik terpisah maupun menjadi satu kesatuan. Namun sepanjang pengetahuan penulis, belum ditemukan adanya pengajuan maupun hasil penelitian dengan judul dan fokus penelitian pada program reintegrasi TKI sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana penelitian penulis. Adapun beberapa penelitian dan tulisan yang memiliki topik yang sama antara lain: 1. Penulisan Hukum dengan judul “Peranan Pemerintah dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terdahap Para TKI Untuk Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kota Medan” yang ditulis oleh Harry 15 Dwi Prasetyo, pada tahun 2012. Tulisan tersebut lebih menitikberatkan perlindungan pada hukum pembahasan yang dilakukan bagaimana oleh bentuk Pemerintah khususnya oleh BP3TKI, Kepolisian dan PPTKIS kepada para TKI dalam praktek di Kota Medan untuk mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang, termasuk kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan perlindungan tersebut. Tulisan ini memang membahas terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang/trafficking terhadap TKI, namun hanya konsen pada peranan pemerintah dan PPTKIS yang berada di daerah Medan. Hal ini tentu berbeda dengan tulisan penulis yang lebih fokus membahas program reintegrasi TKI yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/trafficking di Dusun Jojogan, Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ; 2. Penulisan hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Buruh Migran Dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dan Realitas Perdagangan Perempuan Dalam Proses Penempatan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia” yang ditulis oleh A. Rita Dharani tahun 2005. Tulisan tersebut lebih menitikberatkan pada bagaimana perlindungan terhadap buruh migran yang dilihat dari sudut pandang perlindungan dalam United Nations Convention 16 Against Transnational Organized Crime yang dihubungkan dengan realitas perdagangan perempuan yang terjadi pada perempuan-perempuan Indonesia khususnya para Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia pada saat proses penempatan kerja. Tulisan tersebut tentu berbeda dengan penulisan hukum penulis karena perbedaan fokus pembahasan dimana pada tulisan di atas menggunakan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime sebagai fokus sumber hukum sedangkan penulis menggunakan beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan TKI, di samping itu pembahasan penulis lebih pada program reintegrasi para TKW yang menjadi korban TPPO. Berdasarkan penelusuran penulis terkait tulisan yang sama dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan hukum dengan judul “Pelaksanaan Program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/ Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo” belum pernah ada baik judul dan pokok pembahasan tersebut sehingga tidak ada penulisan yang sama dengan penulisan hukum yang penulis teliti.