Permasalahan diskriminasi berbagai bentuk

advertisement
BAB 10
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM
BERBAGAI BENTUK
Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada
dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang
atau warga negara. Pada Pasal 28 I angka 2 ditetapkan bahwa setiap
orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminatif itu.
Disebutkan pula dalam pada Pasal 28 I angka 4 UUD 1945 bahwa
negara terutama Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia. Sehingga sangat jelas disebutkan ketentuan bagi warga
negara untuk mendapatkan dan dilindungi hak-haknya sebagai warga
negara tanpa ada diskriminasi.
Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun
tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat,
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya.
Dengan pengertian itu, diskriminasi merupakan persoalan
penting dalam rangka penyelenggaraan pelayanan umum, terutama
dalam pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara sebagaimana
diatur di dalam UUD 1945.
I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
diamanatkan baik dalam konstitusi maupun konvensi yang berkaitan
dengan penghapusan tindakan diskriminasi belum dapat berjalan
dengan baik. Walaupun konstitusi telah dengan jelas mengamanatkan
pelarangan diskriminasi dalam berbagai bentuk, namun pada
kenyataannya ketaatan untuk menjalankan ketentuan yang telah
diamanatkan tersebut sangat kurang.
Selain itu pelaksanaan ratifikasi terhadap beberapa konvensi
yang telah disahkan dalam berbagai perundang-undangan khususnya
yang berkaitan dengan hak asasi manusia belum dapat menunjukkan
hasil yang maksimal, sebagai contohnya pelaksanaan terhadap
Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah disahkan melalui Keppres No.
36 Tahun 1990 dan tindak lanjut dari ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW)
atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan yang telah disahkan melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Kurangnya kemauan atau komitmen dari para instansi terkait
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku membuat proses untuk menjalankan ketentuan tersebut
menjadi terhambat. Sehingga terkesan bahwa ikutsertanya Indonesia
dalam meratifikasi perangkat-perangkat hukum internasional yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) hanya menunjukkan
bahwa Indonesia peduli dalam penuntasan permasalahan HAM di
mata internasional, namun dari segi praktek pelaksanaannya masih
sangat kurang.
10 - 2
Selain itu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap
perempuan antara lain dengan diundangkannya UU Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun sampai saat ini
UU tersebut masih belum mempunyai daya jera yang kuat bagi pelaku
kekerasan dalam rumah tangga serta belum sepenuhnya institusi
peradilan mempergunakannya dalam pertimbangan putusan hakim.
Selain itu masih dipergunakannya peraturan perundang-undangan baik
berupa UU maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya yang
masih belum berpihak kepada kepentingan perempuan yang pada
akhirnya menimbulkan diskriminasi perlakuan antara perempuan dan
laki-laki.
Selain itu Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi sejak
tahun 1990 belum juga memberikan hasil-hasil yang signifikan dalam
upaya pemberian perlindungan terutama hak-haknya sebagai anak
Indonesia. Negara masih memberikan perhatian yang sangat kecil
dalam memprioritaskan kesejahteraan dan kepentingan anak.
Kepentingan untuk melindungi anak dalam mendukung hak-haknya
sebagai anak seperti yang tercantum dalam Konvensi dan peraturan
perundang-undangan lainnya seperti UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak banyak yang terabaikan dalam berbagai bidang
terutama di bidang pendidikan dan kesehatan dan belum merupakan
prioritas yang harus diutamakan dan masih dapat dikalahkan oleh
prioritas lain yang dirasakan lebih penting untuk membangun
Indonesia misalnya di bidang ekonomi maupun infrasruktur. Padahal
anak-anak merupakan asset bangsa yang sangat penting bagi
pembangunan Negara Indonesia di masa mendatang.
Kepentingan kelompok masyarakat kurang mampu, dan rentan
juga masih kurang mendapatkan penanganan yang memadai, padahal
mereka juga merupakan warga negara yang berhak mendapatkan
perlindungan serta pelayanan yang sama dari negara. Walaupun
konstitusi telah menjamin hak-hak setiap warga negara untuk
bersamaan di dalam hukum, tetapi pada pelaksanaannya masih sangat
jauh dari yang diharapkan.
Selain itu, pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundangundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pemberian
pelayanan kepada masyarakat secara tidak diskriminatif hanyalah
menjadi slogan belaka. Pada tingkat pelaksanaannya, hak-hak warga
10 - 3
negara yang seharusnya diberikan tanpa melihat posisi maupun
kedudukan seseorang dalam memperoleh segala hak-haknya masih
dirasakan belum memadai. Hal ini antara lain adalah peraturan
perundang-undangan yang belum memberikan batasan atau indikator
yang jelas dalam pemberian pelayanan maupun pemenuhan dalam
pemberian perlindungan hak-haknya kepada masyarakat.
Demikian pula ketiadaan sanksi terhadap satu lembaga maupun
instansi yang memberikan pelayanan berbeda kepada setiap warga
turut memberikan pengaruh terhadap kelanggengan praktek
diskriminasi di berbagai bidang. Selain itu masalah pengawasan
terhadap adanya tindakan diskriminasi, sangat sulit dilakukan. Selama
ini pengawasan lebih banyak dilakukan atas inisiatif masyarakat
dalam upaya mengurangi praktek diskriminasi yang dilakukan
terhadap berbagai golongan masyarakat.
Sementara itu, kondisi buruh atau tenaga kerja sebagai
kelompok masyarakat yang rentan terhadap tindakan diskriminatif dan
memerlukan perlindungan, masih belum membaik selama kurun
waktu tahun 2005. Penghentian hubungan kerja oleh berbagai
perusahaan karena alasan efisiensi dan belum terdapatnya kesepakatan
yang dapat memberikan keseimbangan antara pemenuhan hak dan
kewajiban di antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja tentang
hak-hak buruh, memicu demo untuk menentang kebijakan yang
dijalankan dan dirasakan masih tidak adil serta merupakan bagian dari
upaya mendiskriminasikan nasib buruh.
Kurangnya perhatian terhadap perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri juga masih turut mewarnai tindakan
diskriminasi terutama untuk para pekerja perempuan. Begitu pula
dengan timbulnya perdagangan perempuan menjadi semakin pelik dan
perlu adanya upaya yang cukup mendasar dalam memberantas
permasalahan tersebut baik dari segi peraturan perundang-undangan
maupun dalam mekanisme pelaksanaannya.
10 - 4
II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL
YANG DICAPAI
Upaya penghapusan tindakan diskriminasi yang berkaitan
dengan upaya perlindungan HAM yaitu Indonesia telah meratifikasi
Kovenan Internasional di bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya
melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant Economic, Social and Cultural Rights/Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada
tanggal 28 Oktober 2005. Selain itu untuk melakukan perlindungan
HAM di bidang sipil dan politik telah diratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights pada tanggal 28 Oktober 2005.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Pasal 43 UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), telah
dikeluarkan PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
telah ditetapkan pada tanggal 13 Februari 2006. Peraturan pelaksanaan
ini diharapkan dapat mengoperasionalkan pelaksanaan UU PKDRT
dan dapat membantu upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga.
Disahkannya RUU Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh
DPR tanggal 11 Juli 2006 yang menggantikan UU No. 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, memberikan kontribusi
dalam upaya menghapuskan tindakan diskriminatif terhadap
perempuan dan anak. Hal ini dikarenakan terdapatnya perubahan yang
mendasar dari undang-undang sebelumnya, yang hanya berorientasi
pada pria menjadi undang-undang yang berorientasi pada kesetaraan
gender. Ketentuan tersebut antara lain bahwa perempuan Indonesia
yang menikah dengan pria asing tidak secara otomatis menjadi warga
negara asal suami. Demikian pula dengan anak yang dilahirkan hasil
pernikahan tersebut tidak secara otomatis memiliki warga negara dari
negara ayahnya yaitu dengan mengakui kewarganegaraan ganda
terbatas sampai usia 18 tahun. Selain itu dalam rangka melindungi
kaum etnis dan minoritas RUU Kewarganegaraan ini juga
memberikan upaya perlindungan anti diskriminasi kepada golongan
etnis contohnya untuk kaum etnis Tionghoa/China di mana dinyatakan
10 - 5
dalam ketentuan RUU tersebut tidak
diperlukan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk keperluan
mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Ketentuan mengenai tidak diperlukannya SBKRI dicantumkan dalam
peraturan setingkat UU tentunya menimbulkan daya ikat yang lebih
kuat untuk dapat dilaksanakan. UU ini juga mengatur tentang
penetapan batas waktu dalam proses pengurusan pewarganegaraan.
Apabila pejabat terkait sengaja melanggar atau memperlambat proses
pewarganegaraan maka akan dikenakan sanksi administratif dan
sanksi pidana.
Di samping itu, dalam mendukung upaya penghapusan
diskriminasi, sampai dengan saat ini terus dilakukan pembahasan
untuk penyempurnaan berbagai rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan upaya penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan, yaitu dengan merumuskan pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang tidak bias gender. Peraturan perundangundangan yang bias gender dapat berpotensi menimbulkan
diskriminasi atau ketidakadilan terhadap kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan. RUU yang
dimaksud antara lain RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang
Kesehatan, RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu dalam rangka mendukung upaya perlindungan
terhadap tenaga kerja Indonesia saat ini sedang dilakukan pengkajian
dan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan berkaitan dengan upaya perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan misalnya Perda tentang Tenaga Kerja Indonesia di luar
negeri (TKI/TKW) yang hasilnya akan dijadikan pedoman perumusan
perda tentang TKI/TKW yang berperspektif hak asasi manusia dan
gender. Hal ini dimaksudkan untuk menyeragamkan penanganan
TKI/TKW untuk mencegah terjadinya pelecehan dan penganiayaan
yang selama ini sering dialami oleh para calon TKI/TKW.
Dalam rangka turut mendukung perlindungan buruh migran
atau TKI di luar negeri sebagai salah satu golongan yang rentan
terhadap perlakuan diskriminasi dan sebagai tindak lanjut dari
dibentuknya UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri, saat ini tengah dilakukan
10 - 6
percepatan realisasi pembentukan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang berfungsi untuk
melaksanakan kebijakan penempatan dan perlindungan TKI secara
terkoordinasi dan terintegrasi di tingkat nasional. Di mana
keanggotaan nantinya akan terdiri dari wakil-wakil instansi
pemerintah terkait serta melibatkan tenaga-tenaga profesional.
Selain itu pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat
kurang mampu yang berperkara di pengadilan terus dilanjutkan.
Kegiatan tersebut dilakukan dengan menyediakan pelayanan bantuan
hukum melalui pemanfaatan dana APBN yang disalurkan melalui
pengadilan negeri setempat. Saat ini juga terus diselenggarakan
pemberian bantuan konseling dan pendampingan bagi perempuan
korban kekerasan. Dalam rangka mendukung pemberian pelayanan
untuk perdampingan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan
tersebut, juga diselenggarakan pendidikan bagi organisasi perempuan
di daerah guna meningkatkan kapasitas masyarakat sipil di tingkat
lokal dalam rangka mengurangi tindakan kekerasan terhadap
perempuan di daerah.
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk
merupakan tugas yang perlu dilakukan secara berkesinambungan
dengan secara terus menerus didengungkan dan disosialisasikan
kepada masyarakat baik melalui media maupun melalui kebijakankebijakan yang dibuat oleh Pemerintah serta perlu adanya pengawasan
atau kontrol yang kuat dari berbagai pihak dalam upaya
menghapuskan bentuk-bentuk diskriminasi dalam berbagai bentuk.
Di samping itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran
masyarakat akan pemahaman terhadap materi-materi hukum yang
berlaku, baik kepada masyarakat maupun kepada aparat penegak
hukum agar dapat menjalankan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat serta
memutuskan berdasarkan nurani keadilan berdasarkan atas Tuhan
Yang Maha Esa.
10 - 7
Penghapusan bentuk diskriminasi yang dilakukan memerlukan
dukungan serta komitmen yang kuat dari berbagai pihak agar
pelaksanaan penghapusan diskriminasi dapat diwujudkan secara
bertahap. Untuk mengefektifkan pelaksanaan dari penghapusan
tindakan penghapusan diskriminasi maka diperlukan tindakan berupa
sanksi-sanksi bagi instansi pelaksana yang dianggap tidak
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Akan terus ditingkatkan upaya penghapusan tindakan
diskriminatif dalam berbagai bentuk terhadap kelompok yang rentan
terhadap tindakan diskriminatif termasuk didalamnya perempuan,
anak dan buruh migran, selain itu terhadap kelompok minoritas, serta
masyarakat kurang mampu, antara lain dengan pembuatan peraturan
perundang-undangan yang tidak diskriminasi terhadap perempuan,
anak, kelompok minoritas serta upaya pemberian pelayanan terutama
kepada masyarakat kurang mampu melalui penguatan dukungan,
komitmen, dan keinginan yang tegas dari semua pihak terkait dan
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal tersebut sangatlah penting, karena peraturan perundangundangan yang baik adalah peraturan perundang-undangan yang dapat
diimplementasikan serta dijalankan dengan kemauan dan komitmen
dari berbagai pihak sesuai dengan fungsi dan tugasnya masingmasing. Atau dengan perkataan lain sebagus apapun peraturan
perundang-undangan yang dibuat, namun kalau tidak dapat
dilaksanakan maka akan menjadi sia-sia dan tidak berarti.
Oleh karena itu, tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah
dengan mendorong pelaksanaan yang konsisten dan komitmen dari
pimpinan pemerintahan terhadap pelaksanaan berbagai perundangundangan yang mendukung upaya penghapusan diskriminasi terhadap
berbagai bentuk termasuk didalamnya kelompok rentan, kelompok
minoritas, maupun masyarakat kurang mampu.
Pembuatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan bidang yang berhubungan dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) perlu dibuat dengan memperhatikan
kepentingan perlindungan dan dan unsur pemenuhan HAM. Di
samping itu, juga perlu mempertimbangkan segala bentuk sumber
daya lainnya termasuk pendanaan serta infrastruktur pendukung
10 - 8
termasuk didalamnya infrastruktur pendukung hukum untuk
menjalankan peraturan perundang-undangan tersebut agar menjadi
implementatif.
10 - 9
Download