BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan suatu bentuk ketidakadilan di berbagai bidang yang secara tegas dilarang berdasarkan UUD 1945. Penegakan hukum melawan perlakuan diskriminatif yang lahir akibat adanya perbedaan-perbedaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan arah kebijakan yang mendorong jaminan perlindungan negara terhadap pelaksanaan hakhak dasar masyarakat. Keberpihakan negara terhadap pelaksanaan hak asasi manusia perlu diwujudkan dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas melarang praktik-praktik perlakuan diskriminatif dan pelanggaran HAM, dan untuk selanjutnya dilaksanakan upaya penegakan hukum secara konsisten. Pengetahuan dasar dan konsep pemahaman HAM sangat penting sebagai dasar penegakan HAM dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara baik untuk setiap individu masyarakat maupun aparat Pemerintah dalam menjalankan tugasnya masingmasing. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Selama kurun waktu mulai dari bulan Juni 2004 sampai dengan bulan Juni 2009, telah tersusun sejumlah peraturan perundang-undangan yang berupaya mengeliminasi praktik-praktik diskriminasi dan pelanggaran HAM di berbagai bidang. Namun, perlu diakui bahwa ketersediaan peraturan perundang-undangan belum dilakukan seiring dengan upaya sinkronisasi. Hal ini terlihat dari adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan pelaksanaan hak-hak dasar masyarakat yang telah diatur sebelumnya, terutama dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pembentukan peraturan daerah di beberapa tempat masih belum sejalan dengan konsep jaminan perlindungan HAM yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah. Dalam upaya melengkapi perangkat aturan yang menjamin perlindungan HAM, Pemerintah juga telah melakukan kebijakan untuk meratifikasi beberapa konvensi internasional di bidang HAM, dengan kewajiban untuk melaksanakan dan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Namun, sebagaimana diketahui bahwa persoalan tumpang tindih peraturan perundang-undangan nasional juga sangat berpengaruh kepada proses pengintegrasian tersebut sehingga proses tersebut juga menjadi terhambat. Dalam rangka upaya penegakan HAM, Pemerintah Indonesia masih dihadapkan kepada kasus-kasus HAM yang proses hukumnya masih belum terselesaikan. Adanya perbedaan persepsi antara masyarakat terutama korban dan penyelenggara negara masih menjadi persoalan mendasar, yang di dalamnya kebijakan di bidang HAM belum dapat ditindaklanjuti oleh aparat pelaksana di lapangan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dan perlakuan diskriminatif masih banyak yang belum dapat diselesaikan karena masih minimnya pengetahuan dan pemahaman dari aparat penegak hukum mengenai bentuk-bentuk pelanggaran HAM dan perlakuan diskriminatif. Selain itu, belum adanya penguatan masyarakat terutama dengan informasi-informasi yang memadai dalam rangka menimbulkan awareness/kesadaran terhadap hak-haknya baik sebagai individu maupun warganegara sehingga masyarakat masih tetap saja mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka. Pemerintah dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam memberikan informasi-informasi yang lengkap mengenai hak-hak dasar baik dalam penyelenggaraan Pemerintahan, antara lain, pelayanan publik, maupun perolehan hakhak masyarakat sebagai individu di sektor-sektor lainnya. 10 - 2 II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Kebijakan penghapusan diskriminasi yang telah dilakukan kurun waktu 2004 – 2009, antara lain, adalah upaya perlindungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang selanjutnya dijabarkan kembali dalam PP Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untukm menindaklanjuti upaya perlindungan terhadap perempuan melalui Perpres Nomor 65 tahun 2005, Pemerintah membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rangka penghapusan, pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Kontribusi selanjutnya berasal dari masyarakat sipil yang menggagas penyelenggaraan bantuan konseling dan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan serta pendidikan bagi organisasi perempuan di daerah, sehingga terlihat adanya peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam meminimalisasi tindak kekerasan terhadap perempuan di daerah. Di bidang lainnya, upaya penghapusan tindak diskriminatif terhadap perempuan telah diupayakan penyusunan konsep dalam Sistem Penanganan Peradilan Pidana Terpadu (SPPT), yang terkait dengan upaya penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dari tingkat penyidikan sampai peradilan, yang nantinya akan terintegasi dalam amandemen KUHAP. Terkait dengan penanganan korban kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak, berbagai kebijakan operasional sudah dikeluarkan bukan saja oleh Pemerintah Pusat, melainkan juga oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama dengan Pusat Penanganan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan membuat suatu kebijakan agar perempuan dan anak korban kekerasan mendapatkan fasilitas pelayanan medis gratis di 17 rumah sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat di tingkat kecamatan termasuk pembuatan visum. Ini diikuti oleh beberapa Pemerintah Daerah Provinsi seperti Pemprov Lampung, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Bone, Desa Jayakarta (Bengkulu), Pemkab Sidoarjo, Pemprov Sulawesi Utara dan Pemda Jawa Barat. 10 - 3 Langkah perbaikan tentu sangat diharapkan dari Pemerintah dan masyarakat untuk terus memperbaiki dan meningkatkan pemahaman terutama dalam pelaksanaan di lapangan. Perlu adanya perubahan cara pandang dalam melihat segala bentuk kekerasan terhadap perempuan khususnya untuk kasus-kasus dalam rumah tangga. Dengan demikian, dalam penanganan kasus-kasus KDRT dapat memberikan rasa keadilan yang berlandasakan keberpihakan kepada korban kekerasan tersebut. Secara faktual, yang terjadi pada kurun waktu terakhir ini, jumlah tenaga kerja Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun masih menyumbangkan berbagai permasalahan di antaranya perlakuan diskriminatif terhadap pahlawan devisa yang didominasi oleh perempuan pekerja. Untuk itu, upaya penghapusan diskriminasi terhadap tenaga kerja Indonesia di antaranya di bidang pelayanan, penempatan dan perlindungan terhadap TKI dilaksanakan melalui UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. Selain itu, upaya Pemerintah Indonesia juga dilanjutkan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Malaysia sebagai dasar jaminan perlindungan TKI Indonesia yang berdasarkan jumlah yaitu 90 persen bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 39 Tahun 2004 yang di dalamnya kebijakan penempatan dan perlindungan TKI terkoordinasi dan terintegrasi secara nasional. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan berbagai pengkajian dan penelitian peraturan perundangundangan terkait perlindungan HAM perempuan, misalnya peraturan daerah (perda) tentang TKI yang akan dijadikan pedoman perumusan perda tentang TKI dengan perspektif HAM dan gender. Keberagaman ras, suku dan etnis di wilayah Indonesia sedapat mungkin tidak menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan diskriminatif terhadap elemen-elemen masyarakat. Terkait upaya penghapusan tindak diskriminatif ras tertentu, Keppres Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menghapuskan pensyaratan Surat Keterangan Berkewarganegaraan RI (SKBRI) yang ditindaklanjuti dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan 10 - 4 Etnis yang dengannya setiap warga negara kesamaan kedudukan di depan hukum dan memperoleh hak atas perlindungan atas segala bentuk tindak diskriminasi ras dan etnis. Langkah Pemerintah lainnya adalah dengan penetapan Tahun Baru Tionghoa/Imlek sebagai hari libur nasional sebagai perwujudan aksi antidiskriminasi bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam mendukung kesetaraaan gender, perlindungan antidiskriminasi kepada golongan etnis dan minoritas, Pemerintah juga telah menetapkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menggantikan UU nomor 62 Tahun 1958. Di bidang peraturan perundang-undangan, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya, antara lain, dengan ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Tahun 1966 melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR). Kedua konvensi intenasional itu memberikan jaminan perlindungan di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, hak-hak sipil, dan politik. Di samping itu, perlindungan terhadap warga negara penyandang cacat pun menjadi perhatian penting oleh Pemerintah yang telah menandatangani Konvensi Internasional mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak dan Martabat Penyandang Cacat pada tanggal 30 Maret 2007. Selanjutnya, untuk memperkuat hak-hak masyarakat sipil di Indonesia, pada tanggal 12 Maret 2007, Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani Konvensi Internasional Perlindungan bagi semua orang dari Penghilangan Paksa yang merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelanggaran hak-hak warga negara Indonesia. Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga berupaya menindaklanjuti pembahasan RUU yang berkaitan dengan upaya penghapusan diskriminasi, antara lain, RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, RUU Pelayanan Publik, dan RUU tentang KUHP. Dalam praktiknya, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang masih mengandung unsur-unsur diskriminatif belum dapat diselesaikan karena belum terlaksananya 10 - 5 koordinasi antarkelembagaan sehingga dalam penegakan hukum HAM akhirnya terhambat. Di bidang perlindungan saksi dan korban, Pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban yang memberikan hak dan bantuan untuk memberikan rasa aman dan perlakuan yang tidak diskriminatif. Untuk menanggulangi kejahatan yang banyak memakan korban warga negara yang termasuk kelompok rentan akibat kemiskinan dan tingkat pendidikan yang minim, Pemerintah telah melakukan terobosan yaitu dengan ditetapkannya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang di dalamnya aturan ini memuat sanksi yang jelas dan tegas, antara lain jaminan perlindungan dan pelayanan pemulihan fisik dan psikis korban dan mekanisme ganti rugi dari pelaku perdagangan orang. Selanjutnya, bagi korban tindak pidana perdagangan orang tidak akan dikenakan hukuman jika ternyata posisi yang bersangkutan adalah sebagai korban praktik perdagangan orang (misalnya, pekerja seks komersial dan pengedar narkoba). Penyelenggaraan hak-hak dasar warga negara banyak bersentuhan dengan pelayanan publik, yang berupa perlakuan diskriminatif yang terjadi di berbagai sektor. Langkah-langkah yang telah diambil Pemerintah untuk mendekatkan pelayanan dan meminimalisasi bentuk perlakuan diskriminatif di bidang pelayanan publik, antara lain, adalah melakukan penyederhanaan persyaratan, prosedur serta peningkatan transparansi. Departemen hukum dan HAM mendukung pelaksanaan pendelegasian wewenang kepada 33 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM melalui proses sistem informasi penyusunan prosedur, standardisasi, dan persyaratan pelayanan jasa hukum, terkait dengan upaya peningkatan investasi dan peningkatan kualitas pelayanan. Selain itu, pengembangan pelayanan permohonan dan pendaftaran HAKI dilakukan dengan menggunakan fasilitas sistem informasi yang dikenal dengan Intellectual Property Digital Library (IPDL) dan DGIP Net di 17 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi 10 - 6 Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dalam rangka pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas, Persetujuan dan Pelaporan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, telah didelegasikan dari Menteri Menteri Hukum dan HAM kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di seluruh Indonesia melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 837-KP.04.11 Tahun 2006. Dalam pelaksanaannya, pendelegasian ini dilakukan melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) ke 8 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Pada tahun 2009, SISMINBAKUM berubah nama menjadi Sistem Administrasi Badan Hukum yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM RI. Bentuk pelayanan lainnya adalah terkait dengan pelayanan berbasis Teknologi Informasi oleh Mahkamah Konstistusi yang telah dikembangkan sejak tahun 2007 sampai sekarang, yang menyediakan pelayanan Sistem Manajemen Perkara (SIMKARA) secara online. Sistem ini memungkinkan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan pendaftaran secara online, memperoleh putusan MK, informasi risalah sidang, jadwal sidang dan monitoring perkembangan perkara secara online melalui web portal. Mahkamah Konstitusi yang berwenang dalam menyelesaikan perselisihan perkara Pemilu dan Pilkada juga telah mempersiapkan fasilitas video teleconference yang telah tersebar di 34 jaringan perguruan tinggi di 28 provinsi, yang dengannya perkara perselisihan tersebut dapat menghadirkan pihak terkait, saksi dan ahli untuk melaksanakan persidangan jarak jauh secara langsung (live). Sementara itu Mahkamah Agung, sebagai benteng terakhir peradilan, telah mengeluarkan SK Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, yang melalui peraturan ini hak-hak masyarakat terkait informasi di bidang peradilan menjadi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik dengan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan. Informasi di bidang peradilan ini mencakup informasi mengenai agenda persidangan, proses beracara dan hak-hak masyarakat pencari keadilan dalam proses peradilan, 10 - 7 termasuk informasi mengenai putusan penetapan pengadilan terhadap kasus/perkara tertentu. Sebagai langkah kebijakan lainnya, pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu ditekankan melalui UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cumacuma. Peraturan ini masih belum lengkap karena negara yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemberian bantuan hukum, belum terlihat mengambil alih peran yang berdasarkan ketentuan tersebut menjadi kewajiban dari organisasi advokat dan Lembaga Bantuan Hukum. Diharapkan penguatan lembaga bantuan hukum ini dapat mempermudah akses masyarakat terhadap hukum dan peradilan sehingga tetap diperlukan bentuk peraturan perundangundangan tersendiri mengenai mekanisme pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Pada akhirnya upaya penegakan di bidang HAM perlu dilaksanakan dengan lebih serius dan terfokus. Keadilan harus dapat ditegakkan, antara lain, dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan HAM sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sehingga penyelesaian kasus-kasus tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Pemerintah, antara lain juga akan meningkatkan upaya untuk memaksimalkan pelaksanaan RANHAM di Indonesia, yang sampai dengan tahap sekarang telah dilakukan langkah-langkah dan pembentukan serta penguatan institusi pelaksana RAN HAM di daerah dan telah dilaksanakan sosialisasi dalam penyusunan program dari insitusi pelaksana di beberapa daerah kabupaten. Diharapkan, untuk langkah selanjutnya, proses penyusunan program yang telah dilakukan tersebut dapat diterapkan di daerah-daerah tersebut serta dapat mengaplikasikan rencana-rencana kegiatan yang telah disusun sehingga sasaran dari dibentuknya RAN HAM dapat segera tercapai. III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Berbagai upaya Pemerintah telah dilakukan untuk mewujudkan negara hukum dan menghormati hak-hak asasi 10 - 8 manusia. Dalam mencapai tujuan tersebut, Pemerintah akan melakukan upaya-upaya sebagai berkut. 1. Pelaksanakan langkah-langkah koordinasi antarKementerian/Lembaga Pemerintah dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang masih belum meminimalisasi ketentuan-ketentuan yang masih diskriminatif dan bertentangan dengan hak-hak dasar manusia. Langkah ini termasuk upaya peningkatan kapasitas pembuat kebijakan dan hukum yang memiliki pemahaman dan perspektif yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. 2. Penguatan kapasitas penegak hukum dan masyarakat baik dari sisi pemahaman terhadap substansi hak-hak asasi manusia maupun dalam rangka sisi penegakan hukum yang menghargai dan menghormati hak setiap warga negara. 3. Penyelenggaraan pelayanan publik yang optimal disertai dengan perlakuan yang tidak diskriminatif, keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berlandaskan kepada langkah-langkah koordinatif yang baik antara Pemerintah, advokat, perguruan tinggi, dan masyarakat lainnya sehingga bantuan hukum dapat dilaksanakan sesuai dengan asas persamaan di muka hukum. 10 - 9