Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan

advertisement
“Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan”
Negara Kehilangan Kendali
Jakarta, Kompas - Pelembagaan diskriminasi berbasis jender, etnis, agama, dan keyakinan
membuat perempuan, terutama dari kelompok minoritas, semakin kehilangan rasa aman. Teror
yang dihadapi termasuk ancaman kehilangan nyawa.
”Sejak tahun 1999 sampai awal Maret 2011 terdapat 195 kebijakan diskriminatif di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten,” kata Arimbi Heroeputri, Divisi Pemantauan Komisi
Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dalam peluncuran Catatan Tahunan Komnas
Perempuan 2010 di Jakarta, Senin (7/3). Laporan tahunan Komnas Perempuan ke-10 itu
menandai peringatan 100 tahun Hari Perempuan Internasional, Selasa (8/3).
Mengutip laporan berjudul ”Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan: Negara Kehilangan
Kendali”, Arimbi menambahkan, kebijakan yang mendukung pelaksanaan mandat konstitusi
untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sampai bulan November 2010
hanya ada 46.
Jumlah kebijakan diskriminatif meningkat dari 154 kebijakan (Maret 2009) sampai awal Maret
2011 dan tersebar di lebih dari 100 kabupaten di 25 provinsi. Enam provinsi yang paling gemar
menerbitkan perda diskriminatif, termasuk pelarangan Ahmadiyah, adalah Provinsi Jawa Barat,
Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.
”Dalam setiap konflik yang bernuansa agama, perempuan dan anak-anak adalah korban
terdepan,” kata Ninik Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan.
Penyebarluasan kebencian
Negara kehilangan kendali dan belum menyiapkan mekanisme untuk merespons kebijakankebijakan itu. ”Negara tidak bertindak tegas terhadap pelaku, malah terkesan membiarkan,
meski korban telah jatuh. Itu merupakan pelanggaran HAM,” kata Ketua Komnas Perempuan
Yunianti Chuzaifah.
Laporan itu mencatat 863 pelaku kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2010 dilakukan
pejabat dan tokoh publik. Secara khusus juga dicatat pernyataan lima pejabat publik dan empat
tokoh dan pejabat di ranah pendidikan yang melanggar etika publik, mengukuhkan kebencian
dan diskriminasi.
Ninik menggarisbawahi pola pelanggaran hak asasi manusia yang terus berulang pada pekerja
migran. I Wayan Paga dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) mengomentari laporan tersebut mengatakan, sekitar 200 dari 1.000 TKI
kembali ke Tanah Air dengan membawa masalah.
Tidak membaik
Selain itu, serangan berbasis orientasi seksual dan identitas jender juga terus berlangsung
sepanjang tahun 2010. ”Penerapan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
juga telah mengkriminalkan perempuan korban,” kata Ninik.
Laporan mencatat 105.103 kasus kekerasan ditangani 384 lembaga pelayanan sepanjang tahun
2010, turun 27 persen. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Yustina Rostiawati, bukan
berarti keadaannya membaik, tetapi karena berkurangnya kapasitas lembaga pengada layanan
yang dioperasikan negara.
”Angka yang terdata hanyalah puncak gunung es,” ujar Yustina. Sebagai gambaran, Poppy
Retnoadji dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di Erom, Papua,
seorang kepala desa menyelesaikan lima kasus kekerasan terhadap perempuan per hari.
(MH/IND)
Sumber: http://m.kompas.com/news/cread/data/2011.03.08.0444017
Download