BAB V KESIMPULAN Sejak kemunculan peraturan

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Sejak kemunculan peraturan-peraturan daerah ini, perempuan Aceh tidak
diberi kebebasan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Peraturan-peraturan daerah
yang muncul ternyata sangat diskriminatif terhadap perempuan. Kekerasan
maupun pembatasan hak perempuan yang terjadi dalam rumah, masyarakat dan
negara mengancam kehidupan jutaan perempuan Aceh. Beberapa bentuk
diskriminasi yang muncul adalah pembatasan ruang gerak perempuan, adanya
tindakan maupun kebijakan yang meningkatkan kerentanan perempuan terhadap
kekerasan dan keterbatasan akses keadilan. Dalam beberapa peraturan daerah
secara jelas menyatakan batasan terhadap kaum perempuan, seperti pada
peraturan mengenai jam malam, peraturan busana, pelaksanaan sunat perempuan,
poligami dan lain sebagainya. Kebijakan diskriminatif ini merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi perempuan yang
terjadi secara terorganisir bahkan
didukung oleh perundang-undangan nasional.
Dalam kasus ini, ketidakadilan terjadi dalam level negara. Ketidakadilan
dalam level negara tercermin dari munculnya peraturan yang diskriminatif.
Ketidakadilan ini berakar dari budaya diskriminasi telah menyangkal perempuan
memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan juga melegitimasi perampasan
tubuh perempuan untuk kepuasan individu atau tujuan politik. Jutaan perempuan
di Aceh terancam dengan hadirnya peraturan yang mengikat kepatuhan terutama
oleh kaum perempuan.
Melalui tesis ini, saya berpendapat bahwa perempuan hanyalah alat bagi
pihak-pihak tertentu dalam ketegangan politik yang terjadi antara Aceh dan
pemerintah pusat. Dengan semakin banyaknya perempuan yang tunduk pada
peran yang diciptakan oleh pihak tertentu melalui ketentuan-ketentuan dalam
71
hukum Syariah maka akan tercipta kolektivitas berdasarkan Islam 1. Kolektifitas
ini akan menguatkan posisi pihak tertentu, sehingga bisa memaksa pemerintah
pusat agar berkompromi dengan kepentingan mereka. Dalam hal ini keunggulan
posisional diperoleh para aktor sosial atas pemerintah pusat.
Selain digunakan sebagai alat politik, tubuh perempuan juga digunakan
sebagai alat kontrol sosial masyarakat. Seiring dengan terjadinya peningkatan
kecemasan dan kepanikan yang berlebihan terhadap perilaku kelompok tertentu,
yang dirasa akan merusak moral masyarakat, maka perempuan diwajibkan untuk
menaati peran tertentu yang merupakan simbol moral masyarakat yang “bersih”.
Sebagai alat kontrol sosial, perempuan yang tidak tunduk dan tidak mau
berperilaku tertentu (seperti yang ditentukan dalam hukum) akan didisiplinkan
bahkan bila perlu dengan cara-cara kekerasan, seperti hukuman cambuk, sanksi
sosial dan lain-lain.
Aturan yang muncul pasca otonomi dan penegakan hukum syariah ini juga
telah melanggar hak asasi perempuan internasional. Pelaksanaan hukum Syariah
ini telah melanggar Konvensi Perempuan atau CEDAW. Dengan meratifikasi
CEDAW melalui penerbitan Undang-Undang No 7 tahun 1984, Indonesia wajib
menjamin hak dan kebebasan setiap orang, tanpa perbedaan apapun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Untuk itu, Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW
berkewajiban untuk mencegah, melindungi dan menghukum oknum pelaku
kekerasan perempuan baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun publik.
Negara wajib menegakkan keadilan bagi setiap warga negaranya serta mengambil
langkah-langkah untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam melindungi hak
asasi setiap individu dari pelanggaran hak sasi manusia. Untuk itu beberapa
langkah yang seharusnya diambil oleh negara adalah:
1
“Women, in their ‘proper’ behavior, their ‘proper’ clothing, embody the line which signifies the
collectivity’s boundaries”
Yuval-Davis, Nira. (1997). Gender and Nation, London: Sage Publications. Ltd.
72
a. Menggabungkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sistem
hukum negara, menghapuskan semua hukum diskriminatif dengan merevisi
undang-undang maupun peraturan yang ada dan mengadopsi dengan tepat
larangan diskriminasi terhadap perempuan.
b. Mendirikan pengadilan dan lembaga-lembaga publik lainnya untuk menjamin
perlindungan yang efektif bagi perempuan dari diskriminasi.
c. Memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan
oleh orang, organisasi atau perusahaan maupun oleh pemerintah.
73
Download